by : A. Rafianti
sambungan dari I Love You Kiara!
BAB DUA PULUH
POV Author
Ibu Dewi siang ini memanggil Kiara ke
ruang kerjanya. Ia lalu bertanya pada Kiara apakah Dev pacarnya, Kiara menjawab
bukan, tapi Kiara bilang bahwa pacar Dev adalah seorang model yang bernama
Mona.
“Tapi sepertinya kau kenal dekat
dengan Pak Devano,” ujar ibu Dewi lagi. “Itu terlihat dari perhatian Pak Devano
pada dirimu saat kau sakit beberapa hari yang lalu.”
“Kami hanya berteman kok Bu, tidak
lebih dari itu.” Jawab Kiara, ia tak tahu harus berkata apa lagi. Dia sendiri
tak menyangka Pak Devano akan membantunya saat ia sakit kemarin.
“Kalian kenal dimana?” tanya Ibu Dewi
lagi.
“Dulu kan Pak Devano pernah jadi klien
Bright Advertising juga untuk pembuatan iklan parfum. Saat itu, ibu Selly
masih di Bright Advertising. Nah dari sanalah aku kenal dengan Pak
Devano.”
“Dan berteman baik?” tanya ibu Dewi.
“Ya, seperti itulah.” Jawab Kiara.
Kiara tak tahu harus menjawab apa pada ibu Dewi, karena sebenarnya kedekatan
Kiara dengan Dev bukan karena iklan parfum itu melainkan karena rencana
perjodohan yang dilakukan tante Audrey.
“Ya, sudah, itu saja yang ingin aku
tanyakan padamu, jangan lupa lusa kau ikut hadir dalam acara jamuan makan malam
yang akan diadakan kantor kita. Seluruh karyawan diundang karena ini merupakan
perayaan suksesnya produksi beberapa produk iklan yang dipercayakan para klien
pada kita. Aku sudah mengundang Pak Devano juga dan beberapa klien lainnya.
Mengenai tempatnya nanti kau tanyakan pada Della.”
“Baik Bu,” ujar Kiara, “saya akan
hadir.”
Setelah dari ruang kerja ibu Dewi,
Kiara langsung masuk ke ruang kerja Wina.
“Kenapa sih, semua orang ribut saat
tahu Dev nolongin aku saat aku sakit.” Gerutu Kiara.
“Ada apa sih ngomel melulu.” Ujar
Wina.
“Ibu Dewi barusan nanya apa hubungan
aku dengan Dev. Dan bukan dia saja yang bertanya. Hampir semua karyawan disini
kalau ketemu aku menanyakan hal yang sama.”
“Itu karena Pak Devano seorang CEO
dari perusahaan besar yang juga klien penting dari perusahaan ini.” Jelas Wina,
“coba yang nolongin kamu kemarin si Budi, tukang parkir kita, ibu Dewi nggak
akan ribut.”
“Nggak lucu tahu Win.”
“Yang bilang lucu itu siapa. Selain
klien penting bagi perusahaan ini, Pak Devano juga tampan, muda, cerdas. Dan,
hal lainnya adalah karena ibu Dewi tertarik untuk menjodohkan Pak Devano dengan
Tami.”
Setelah mamanya, kini Ibu Dewi yang
ingin menjodohkan Dev… ujar Kiara dalam hati.
“Income untuk Bright
Advertising dari GC Cosmetics besar sekali loh Ki untuk produk
masker ini.”
“O, ya?”
“Ya.” Ujar Wina, “makanya ibu Dewi
senang sekali dapat klien Pak Devano.”
“Yeah, tapi kalau rencana tante
Audrey untuk mendirikan perusahaan iklan terlaksana, gigit jari deh Bright
Advertising dan para perusahaan iklan lainnya karena tidak dilirik lagi
oleh GC Cosmetics.” Komentar Kiara.
“Tapi tanggung jawab kita nanti besar
untuk bikin iklan yang bagus untuk GC Cosmetics,” ujar Wina.
“Ah, itu tidak masalah, mudah mudahan
kita berdua dan tim yang akan kita rekrut nanti bisa mengatasinya.”
“Kok tante Audrey baik sekali ya Ki,
nawarin kita pekerjaan ini?”
“Ssh, jangan keras keras, nanti ada
yang mendengar. Kamu sudah bikin surat pengunduran diri belum?” tanya Kiara
pelan.
“Belum, nanti saja setelah acara
jamuan makan malam dilakukan.”
“Sama. Aku juga.” Kiara tertawa. “Aku
tidak bisa membayangkan reaksi ibu Dewi saat tahu dua karyawannya mengundurkan
diri sekaligus.”
“Ya, dia pasti terkejut.”
“Ehm, ngomong ngomong, undangan makan
malam untuk empat orang itu tidak jadi?” tanya Kiara. “Yang Dev mau dijodohkan
dengan Tami?”
“Tidak, itu tidak jadi, ibu Dewi
membatalkan reservasinya. Makanya ia menggantinya dengan jamuan makan
malam untuk semua karyawan.”
“Itu lebih bagus, lebih bijaksana. Ya
sudah Win, aku ke atas dulu ya.”
“Ok, sampai jumpa Kiara!”
“Sampai jumpa!”
Aku berusaha menenangkan diri di rest
room suatu hotel bintang lima di Jakarta, dimana acara jamuan makan malam Bright
Advertising dilakukan.
Aku seperti mendapat serangan jantung
saat melihat Dev datang ke acara ini dengan Mona.
Walaupun aku sudah bisa memperkirakan
hal ini akan terjadi, tapi tetap saja melihat Dev datang dengan Mona seperti
itu membuat hatiku sakit.
Tiba tiba saja aku ingin keluar dari
tempat ini dan pergi sejauh mungkin.
Tadi ketika Dev dan Mona datang,
mereka langsung dikerumuni beberapa wartawan yang ingin mewawancarai mereka.
Tanpa aku duga, ternyata banyak
selebritis hadir di acara ini, terutama mereka yang pernah jadi model iklan
yang diproduksi Bright Advertising.
Aku akhirnya memutuskan untuk keluar
ruangan rest room setelah berusaha menenangkan diri cukup lama.
Aku baru mengambil minuman soft
drink saat kulihat Dev sedang melihat ke arahku dan memperhatikan aku dari
kejauhan. Dev melambaikan tangannya padaku tapi tidak menghampiriku, aku
membalas lambaian tangannya, lalu aku
pergi mencari Wina.
Aku tadi datang ke tempat ini bareng
Wina dengan naik motor Wina. Tapi nanti aku memutuskan untuk pulang cepat
dengan menggunakan taksi saja.
“Cobain dimsum ini Ki, enak
deh,” Wina tiba tiba sudah berdiri disampingku dan mengulurkan sendok yang
berisi dimsum padaku. Aku langsung membuka mulutku dan mengunyah dimsum
yang disuapkan Wina padaku.
“Enak kan?” tanya Wina.
“Lumayan,” jawabku.
“Bebek peking bakarnya juga enak Ki.”
“Ya, nanti aku nyoba. Ngomong ngomong
ini konsep acaranya kok gini sih, kayak kawinan gitu. Ada buffet, ada
pondokan.”
“Memang yang kau pikirkan bagaimana?”
tanya Wina.
“Table gitu. Kita duduk
mengelilingi meja, lalu makanan di hidangkan di hadapan kita.”
“Ah repot itu mah, enak
begini, ambil makanan yang kita mau sesuka kita.”
“Ini biayanya berapa ya Win, tumben
ibu Dewi baik mau mentraktir semua orang.”
“Kamu tuh ya Ki, ibu Dewi pelit kamu
heran, ibu Dewi baik kamu heran, maunya apa sih.”
Aku langsung tertawa.
“Mona cantik ya, kau sudah bertemu dengannya
belum Ki?”
Tawaku langsung berhenti saat Wina
menyebut nama Mona. Bodo amat, emang aku pikirin.
“Ki, sudah bertemu Mona belum?” tanya
Wina lagi, “tadi Pak Devano memperkenalkan Mona padaku. Maksudku sebagai
pacarnya. Dulu kan aku juga sudah berkenalan dengan Mona.”
“Belum, aku belum bertemu Mona,”
Jawabku. “Aku mau ambil dimsum dulu ya, seperti kamu.” Lanjutku.
“Kamu nggak cemburu kan Ki?” Wina
menjejeri langkahku.
“What? Cemburu? Yang benar
saja.” Sahutku sok tenang.
“Baguslah. Kirain kamu juga histeris
kayak Della.”
“Memang Della kenapa?” tanyaku.
“Lagi nangis di pojokan. Sedang patah
hati katanya. Ia bilang ia berharap Pak Devano datang sendirian eh malah datang
bersama pacarnya.”
“Terus Tami nangis juga?” tanyaku.
“Mungkin.”
“Selamat malam semuanya.” Suara ibu
Dewi tiba tiba terdengar.
Ibu Dewi sedang berada di atas stage.
Dan berbicara di depan mikrophone.
“Selamat menikmati hidangan yang
tersedia, selamat ngobrol dengan teman dan kerabat Anda yang kebetulan Anda
temui disini, siapa tahu lama tak berjumpa. Kita disini santai saja, fun saja.
Tidak akan ada kata sambutan yang panjang kok dari saya. Yang mau menyalurkan
hobi bernyanyinya silahkan, ada Mas Rendi yang akan mengiringi Anda bernyanyi
dengan piano. Diskusi saja dengan Mas Rendi lagu apa yang ingin Anda
nyanyikan.”
“Wow, keren, ada live music!”
teriak Wina. “Nyanyi sana Ki!” ujar Wina padaku.
“Yang benar saja!” seruku sewot,
“bisa pada kabur tamu yang datang kalau mendengar suaraku.”
Seorang selebritis wanita tiba tiba
naik ke atas panggung untuk bernyanyi. Lagu My Way - nya Frank Sinatralangsung
terdengar dari suaranya yang diiringi piano yang dimainkan oleh Mas Rendi.
“Win,” ujarku.
“Apa?”
“Aku kok tiba tiba merasa sedih gini
ya harus meninggalkan Bright Advertising.”
“Ya itu wajar. Kau dan Selly yang
merintis perusahaan ini. Aku bergabung dua tahun setelah kau bekerja disini.”
“Setelah dipikir pikir banyak
kenangannya bekerja disini. Andai Selly masih ada disini.”
“Sudahlah, jangan sentimentil
begini. Kita tetap harus pergi dari sini Ki, masa depan kita bukan disini.”
“Ya, kau benar. Masa depan kita di D
& D Advertising. Dan kita harus merintis dari awal lagi untuk
mengembangkan D & D Advertising seperti Bright Advertising
dulu.”
“Tapi, setelah kita rintis lalu
menjadi besar, kau jangan pergi meninggalkan D & D Advertising seperti
Selly meninggalkan Bright Advertising.” Saran Wina.
“Mudah mudahan tidak. Mudah mudahan
aku tetap tinggal disana.”
“Kiara apa kabar?” Mona tiba tiba
menghampiriku. Membuat aku kaget.
“Kau kenal dengan Kiara?” tanya Wina
heran. “Maksudku, kau masih ingat Kiara?”
“Tentu saja,” ujar Mona. “Dulu Kiara
yang menghubungiku untuk casting iklan Parfum itu. Pada mulanya aku
menolaknya karena aku ada pekerjaan lain pada waktu bersamaan. Tapi Kiara tetap
ngotot agar aku ikut casting.”
“Wow hebat.” ujar Wina.
“Ya, dan Kiara pernah mengantarkan
aku pulang ke rumah pakai mobil Bright Advertising setelah satu scene
syuting selesai karena saat itu hujan sangat deras. Lalu kita makan bakso
dulu di Blok S karena kita sangat lapar.”
“Memang kita makan bakso?” tanyaku,
“aku tidak ingat.”
“Iya, di blok S, yang tempatnya
angkringan gitu. Baksonya enak banget, gede gede gitu.”
“O ya, aku ingat sekarang,” ujarku, “saat
itu aku bilang, hujan dan bakso adalah perpaduan yang sempurna.”
“Ya, benar, itu.” Mona tertawa, “saat
curah hujan sangat tinggi dan kita kedinginan, tubuh kita menjadi hangat karena
kuah bakso yang panas ini.” Ujar Mona, “kamu juga ngomong begitu.”
“Ada bakso nggak sih disini?” ujar
Wina tiba tiba, “aku jadi ingin makan bakso!”
~ ~ ~
POV Kiara
Ajaib.
Saat sudah ngobrol dengan Mona tadi,
perasaanku sudah tidak gusar seperti sebelumnya. Rasa galauku tiba tiba hilang.
Aku tersadar akan satu hal, bahwa Mona memang wanita yang tepat untuk Dev.
Selain cantik, ramah, Mona ingat apa yang aku katakan tentang bakso dan hujan!
Bayangkan!
Itu berarti, aku punya kenangan
tersendiri di ingatannya. Karena menurutku, sebuah peristiwa itu akan menjadi
kenangan kalau kita mau dan mengijinkan memori di kepala kita untuk mengingat
peristiwa itu dan tidak akan menjadi kenangan kalau kita tidak mau
mengingatnya.
Aku akhirnya tidak jadi pulang cepat.
Aku menikmati acara malam itu dengan santai. Menikmati lagu yang dinyanyikan
para tamu undangan dengan santai.
Dan makan bakso bersama Wina dengan
santai.
Ya, ternyata disana ada bakso juga.
Walau baksonya tidak seenak bakso yang pernah aku dan Mona makan di Blok S,
tapi lumayanlah.
Selesai acara, Wina akhirnya
mengantarkan aku pulang dengan motornya.
~ ~ ~
POV Author
Dev mengendarai mobilnya ke arah
apartemennya setelah mengantar Mona pulang ke rumah orangtuanya di Pondok
Indah.
Dev tadinya ingin datang sendiri ke
acara yang diadakan Bright Advertising, tapi entah kenapa ia akhirnya
memutuskan mengajak Mona.
Dev hanya ingin menjaga jarak dengan
Kiara. Itu pula sebabnya malam ini ia tak menghampiri Kiara dan mengajak Kiara
ngobrol.
Jarak yang Dev ciptakan bukan tanpa
alasan. Mas Andra akan terus mengancamnya kalau ia nekad mendekati Kiara dan
Dev paling tidak suka punya konflik atau masalah dengan orang lain, baik Mas
Andra atau siapapun juga.
Kebiasaan Dev dari dulu seperti itu.
Ia selalu mengalah. Daripada terjadi pertengkaran, ia memilih mengalah. Dengan
siapapun. Karena menurut keyakinan Dev, mengalah bukan berarti selalu kalah.
Kiara cantik sekali malam ini, ujar Dev dalam hati.
Kiara tadi mengenakan sackdress berwarna
hitam dan high heel berwarna hitam juga, lengkap dengan make up yang
membuat matanya terlihat lebih besar.Kiara termasuk jarang berpenampilan
feminin seperti malam ini karena yang biasa Dev lihat Kiara selalu memakai jeans,
kemeja dan sepatu kets.
Dev tiba tiba merasa senang saat
ingat bahwa kelak Kiara akan bekerja di kantor yang sama dengan dirinya. Di
gedung yang sama, di lantai yang sama, sehingga ia bisa melihat Kiara setiap
hari.
Dev tidak harus mendekati Kiara
seperti yang dilarang oleh Mas Andra. Tapi Kiara yang akan datang padanya.
Kiara akan datang ke tempatnya. Ke kantornya. Ke GC Cosmetics.
~ ~ ~
POV Kiara
Aku memperhatikan rumah orangtua
Mona. Rumah itu tidak mengalami perubahan yang berarti. Tetap asri dengan
banyak tanaman di halaman rumah.
Aku pernah ke rumah Mona satu kali
saat mengantarkan Mona pulang dulu, saat Mona terlibat kerjasama dengan Bright
Advertising.
Dan kini aku disini lagi. Aku datang
ke sini untuk ngobrol dengan tante Mita, mamanya Mona. Aku mendapatkan nomor
telepon tante Mita dari tante Jennie, entahlah tante Jennie mendapatkan nomor
telepon tante Mita darimana, yang jelas, dulu, saat di SMA, tante Mita, tante
Jennie dan tante Audrey sekolah di sekolah yang sama yaitu di suatu SMA Swasta
di Solo.
Lewat pembicaraan di telepon aku
memberitahu tante Mita kalau aku ingin ngobrol dengannya tentang masalahnya
dengan tante Audrey dulu. Tante Mita bertanya apa hubungan aku dengan tante
Audrey, aku bilang aku temannya, dan aku sangat perduli dan sayang pada tante
Audrey sehingga jika mungkin aku akan mencoba membujuk tante Audrey agar mau
berdamai dengan tante Mita. Agar masalah diantara tante Audrey dan tante Mita
selesai.
Tante Mita bilang, anak tante Audrey,
Devano, sudah mencoba melakukan hal yang sama yaitu mempertemukan dirinya
dengan tante Audrey agar mereka bisa berdamai, tapi rencana Dev gagal.
Lalu aku bilang pada tante Mita agar
aku diberi kesempatan untuk membujuk tante Audrey asal aku tahu masalahnya
seperti apa. Aku sudah tahu masalahnya dari tante Jennie, tapi itu versi tante
Jennie bukan versi tante Mita.
Akhirnya tante Mita mau menemuiku.
Dan disinilah aku sekarang. Di depan rumah tante Mita.
Aku lalu membunyikan bel pintu. Tidak
lama kemudian seorang wanita muda segera keluar rumah dan membukakan pintu
pagar untukku.
“Ibu Mita ada?” tanyaku pada wanita
itu.
“Ada, silahkan masuk.”
Aku lalu masuk mengikuti wanita itu.
Aku masuk ke ruang tamu tante Mita yang elegan.
Foto Mona yang berukuran besar
terpampang di salah satu dinding ruang tamu. Mona cantik sekali di foto itu. Ia
sedang berlari dipinggir pantai sambil tersenyum memandang ke arah kamera.
“Selamat pagi.” Tante Mita tiba tiba
menghampiriku.
“Selamat pagi tante.” Aku tersenyum
padanya. “Maaf sudah mengganggu.”
“Tidak mengganggu kok, ayo silahkan
duduk? Mau minum apa?”
“Teh saja tante. Terima kasih.”
“Ok, aku bilang Bi Inah dulu untuk
bikin teh untukmu.”
“Iya, terima kasih.” Jawabku.
Tante Mita hanya pergi sebentar lalu
kembali menghampiriku dan duduk di hadapanku.
“Senyum Mona cantik di foto itu”
komentarku “senyumnya membuat orang yang melihat foto itu jadi ingin ikut
tersenyum.”
“Senyum itu kan menular,” tante Mita
tertawa, “itu foto di Malibu, ayah Mona yang mengambil foto itu. Kami sedang
liburan di sana. Rumah kakek dan nenek Mona dari ayahnya ada di Los Angeles,
kami sesekali mengunjungi mereka.”
“Oh,” sahutku, “Mona ada tante?”
“Mona pergi ke Lombok tadi pagi pagi
sekali. Sedang ada syuting film disana.”
“Ya, aku membaca beritanya di
internet. Mudah mudahan filmnya sukses.” Ujarku.
“Mudah mudahan.” Jawab tante Mita.
“Tante sendiri dong kalau Mona
pergi,” ujarku lagi, “Mona anak tunggal kan?”
“Iya, aku sering sendiri karena Mona
sering pergi karena pekerjaannya, suamiku juga begitu, sering banyak pekerjaan,
tapi itu bukan masalah untukku,” tante Mita tersenyum, “kalau bicara soal sepi,
ya pastilah tante kesepian, tapi tante mencoba menghalaunya dengan beberapa
kegiatan. Contohnya yoga, berkebun.”
“Tante Audrey juga suka yoga,”
sahutku, “seharusnya kapan kapan tante Mita dan tante Audrey yoga bareng.”
Tante Mita kembali tersenyum, “aku
khawatir hal itu tidak bisa terwujud. Sudah bertahun tahun berlalu, tapi Audrey
tetap saja marah padaku.”
“Memang apa sih tante yang terjadi
sebenarnya?”
Tante Mita menghela nafas sejenak
lalu mulai bercerita.
~ ~ ~
POV Kiara
Pada hari Selasa pagi, dua hari
setelah aku bertemu tante Mita, tante Audrey mengajak aku dan Wina mengunjungi GC
Cosmetics.
Disana aku bertemu Dev. Dev
meluangkan waktunya untuk menemani kami melihat lihat ruang presentasi yang
kelak akan menjadi kantor D & D Advertising.
Ruang itu sangat besar dan sangat
nyaman. Ada satu buah meja lonjong yang sangat besar di tengah tengah ruangan
dan disekelilinginya ada kursi yang nyaman.
Menurut Dev ruang itu selain
digunakan sebagai ruang presentasi dengan para klien, juga biasa digunakan
sebagai tempat jajak pendapat intern perusahaan yang biasa dilakukan
oleh divisi pemasaran GC Cosmetics dengan jumlah responden minimum 100
orang.
Setelah meluncurkan produk baru,
divisi pemasaran biasanya akan memberikan sample produkpada para
responden yang dipilih secara acak, para responden itu diminta untuk mencoba
produk tersebut, setelah itu mereka ditanyai apa pendapat mereka tentang produk
tersebut dengan mengisi jawaban melalui kuesioner.
“Mama kok belum pernah melihat ruang
presentasi yang ini Dev,” ujar tante Audrey, “mama tahunya ruang presentasi
yang satunya.”
“Oh, itu yang lama Ma, kalau yang ini
baru dibangun.”
“Ruangan ini baru dibangun tapi akan
kamu bongkar lagi untuk D & D Advertising?”
Dev tertawa, “tidak masalah kok Ma.
Oke, jadi Mama akan melakukan apa dengan ruangan ini? Maksudku penataan ruang
ruangnya bagaimana dan seperti apa?”
“Itu semua mama serahkan pada Kiara
maunya seperti apa. Mama hanya menyiapkan anggarannya saja.”
“Oke, Kiara, apa yang akan kau
lakukan dengan ruangan ini?” tanya Dev pada Kiara.
“Aku akan…”
“Sebentar,” ujar Dev lagi, “ayo
semuanya duduk dan kita dengarkan Kiara bicara.” Dev duduk dengan semangat dan
menatapku sambil tersenyum.
Tante Audrey dan Wina ikut duduk di
dekat Dev. Mereka bertiga langsung memperhatikan aku, menunggu aku bicara.
Aku langsung tersenyum diperhatikan
begitu, “sebelum bicara soal ruangan, dan konsep ruangan seperti apa yang aku
mau, aku mau bicara tentang berapa karyawan yang aku perlukan untuk menjadi tim kerjaku, oke aku mulai.”
“Pertama-tama, aku perlu seorang account
executive, seperti kita semua tahutugas seorang AE adalah untuk mencari
klien. Selain itu tugasnya adalah melakukan penawaran atau deal deal dengan
para klien tersebut. Nah untuk posisi AE ini, biar aku saja. Ini menjadi
tanggung jawab pekerjaanku.”
“Penawaranmu nanti aku tunggu Ki,”
ujar Dev tiba tiba membuat tante Audrey tertawa.
“Sepertinya kita harus baik pada Pak
Devano Ki karena ia akan menjadi klien terbesar kita.” Wina ikut tertawa.
“Sepertinya begitu,” aku tersenyum,
“ok, aku lanjutkan, untuk bidang kreatif
aku sudah punya Wina untuk posisi copywriter, nanti aku juga bisa
membantu Wina di copywriter, nah karena aku dan Wina sudah punya tugas,
karyawan pertama yang aku butuhkan disini adalah visualizer, yaitu
pembuat gambar atau visual iklan. Karyawan kedua yang akan direkrut adalah
untuk menempati posisi di bidang media, ia nanti bertanggung jawab dalam
penentuan media mana yang akan dipilih untuk penayangan iklan yang sudah kita
produksi.”
“Selanjutnya untuk bidang produksi
aku perlu sutradara pastinya, cameraman, dan seorang asisten untuk
membantu baik sutradara ataupun cameraman. Jadi total karyawan yang aku
perlukan lima orang.”
“Sebenarnya aku juga perlu seorang
lagi untuk riset pemasaran, tapi itu nanti saja kalau perusahaan sudah mulai
berjalan.”
“Tugas riset pemasaran itu apa saja
Kiara?” tanya tante Audrey.
“Dia tugasnya antara lain mencari
informasi tentang kondisi pasar, bagaimana persaingan di luar sana, selera
konsumen seperti apa, lalu tanggapan terhadap iklan yang sudah ditayangkan
bagaimana, atau bisa juga ia melakukan jajak pendapat secara intern seperti
yang dilakukan divisi pemasaran GC Cosmetics terhadap produk GC
Cosmetics.”
“Kalau kau perlu orang untuk riset
pemasaran, kenapa kau tidak merekrut saja?” kata tante Audrey. “Untuk salary
bagi masing masing orang tidak masalah kok buat tante.”
“Iya sih Tante, aku akan merekrutnya
tapi itu nanti saja setelah kita berhasil memproduksi suatu iklan.”
“Ok, baiklah, tapi apakah kau tidak
perlu seorang resepsionis?” tanya tante Audrey heran.
“Tidak usah dulu tante, sama seperti
bagian riset pemasaran, nanti kalau kondisi kantor sudah besar, aku akan buka
lowongan untuk posisi resepsionis.”
“Sekarang tentang konsep ruangan,”
lanjutku, “aku lebih menyukai kalau aku, Wina dan yang lainnya punya ruang
kerja sendiri sendiri yang tertutup dan bukan hanya disekat saja, walau
ruangannya kecil tidak masalah yang penting ada privacy. Bukan apa apa
sih, biar masing masing dari kita bisa bekerja dengan leluasa saja, biar merasa
nyaman dan tenang saja. Kalau bisa sebagian dindingnya berupa kaca yang besar.
Mungkin nanti posisi masing masing ruang kerja itu, ada di sisi sebelah sini.”
Tunjukku ke ke sebelah Utara ruangan presentasi itu.
“Berarti ada tujuh ruang kerja yang
harus dibangun,” ujar Dev.
“Ya.” Sahutku, “nah untuk ruang meeting
posisinya di tengah tengah, seperti bentuk meja ini tapi pastinya lebih
kecil karena kita hanya bertujuh.”
Dev nampak mengetik sesuatu di HPnya.
“Ok lanjut,” ujar Dev, “berapa toilet yang kau perlukan?”
“Dua,” ujarku, “aku juga perlu pantry.”
“Pantry?” tanya Dev kaget.
“Pak Devano jangan kaget kalau nanti
tercium bau sosis bakar atau sosis goreng di lantai tiga ini. Itu pasti Kiara
yang sedang masak.” Ujar Wina, “Kiara suka masak waktu di Bright Advertising.”
“Ok, pantry,” Dev mengetik
sesuatu lagi di HPnya. “Untuk komputer, kau suka PC atau laptop untuk tiap tiap
ruang kerja?”
“PC saja dengan monitor yang besar.”
“Oke.” Ujar Dev.
“Baiklah,” ujar tante Audrey, “tante
rasa, cukup untuk hari ini. Besok kalian ke rumah tante ya, dan mulai bekerja
disana, mulai membuka lowongan pekerjaan di koran atau internet, kalau kalian
punya teman yang punya pengalaman dengan bidang masing masing, kenapa tidak,
rekrut saja mereka. Untuk gaji seperti tante bilang, diatas Bright
Advertising tidak apa apa. Kalian tahu kisarannya berapa.”
“Iya tante.” Jawabku dan Wina hampir
bersamaan.
~ ~ ~
POV Kiara
Aku baru punya kesempatan ngobrol
berdua dengan tante Audrey saat tante Audrey mengantar aku dan Wina pulang
setelah kami mengunjungi GC Cosmetics.
Tante Audrey mengantar Wina pulang
lebih dulu lalu dia mengantarku.
Saat di perjalanan mengantar aku
pulang akhirnya aku meminta tante Audrey untuk mampir dulu ke suatu cafe karena
ingin mengatakan sesuatu.
Tante Audrey bertanya kenapa aku dan
dia tidak ngobrol di cafe Mas Bima saja, aku bilang aku perlu privacy.
Tante Audrey akhirnya mampir ke Starbucks yang terletak di pinggir jalan
yang kami lewati.
Setelah membeli minuman, tante Audrey
menatapku sambil tersenyum.
“Ok, apa yang ingin kau bicarakan?
Ini berhubungan dengan masalah pekerjaan?”
“Bukan tante. Tapi aku harap tante
jangan marah dulu ya, ini tentang tante Audrey dan tante Mita.”
Tante Audrey nampak menghela nafas
panjang.
“Aku benar benar minta maaf kalau
tante berpikiran aku sudah lancang mencampuri urusan tante, hanya saja…” aku
terdiam sebentar.
“Hanya saja kenapa Kiara?”
“Aku menyayangi tante, aku ingin
tante gembira, bahagia dengan hidup tante dan…”
“Aku bahagia Kiara.” Sahut tante
Audrey.
“Tidak sepenuhnya. Karena tante masih
merasa kesal dan marah dengan suatu kejadian di masa lalu tante.”
“Aku sangat mencintai Arman,” ujar
tante Audrey sambil tersenyum kecil, “kupikir Arman hanya cinta monyetku, tapi
ternyata tidak, aku tidak bisa melupakannya.”
“Lalu tante marah pada tante Mita
karena sudah merebut Arman dari tante?”
“Tante marah pada keduanya.
Sebenarnya tante sudah melupakan mereka Kiara, tapi saat tante tahu anak
kesayangan tante pacaran dengan anak Mita, kemarahan itu datang lagi, tante
tidak bisa membendungnya. Tante merasa tidak rela. Itu saja.”
“Tante tahu apa yang terjadi dengan
hubungan tante Mita dan Om Arman sejak mereka pacaran?”
“Tidak tahu, tapi tante tidak
perduli.”
“Boleh aku cerita dan memberitahu
tante?” tanyaku. “Mungkin setelah tante tahu kemarahan tante sedikit reda.”
“Bagaimana mungkin kamu tahu tentang
apa yang terjadi dengan hubungan mereka?” tanya tante Audrey. “Kamu bertemu
dengan salah seorang dari Mereka?”
“Ya.” Jawabku.
“Siapa? Arman? Atau Mita”
“Tante Mita.” Jawabku. “Dari tante
Mitalah aku tahu semuanya. Tapi aku tidak akan bercerita pada tante kalau tante
tidak mau mendengarkan. Tapi kupikir persoalan ini tidak akan selesai kalau
tante tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya.”
“Baiklah, apa yang terjadi?”
“Sama seperti tante Audrey, tante
Mita juga sangat mencintai Om Arman, karena menurut cerita tante Mita Om Arman
saat itu adalah idola di sekolah. Ia pintar, tampan, dan banyak siswi yang
jatuh cinta padanya.”
“Tapi karena hal itu pula Om Arman
jadi memanfaatkan situasi itu. Ia menerima semua perhatian siswi yang ditujukan
padanya, termasuk perhatian dari tante Mita. Tante Mita yang dipilih Om Arman
untuk jadi pacarnya karena selain saat itu tante Mita primadona di sekolah, ia
juga berasal dari keluarga kaya seperti tante Audrey.”
“Hubungan Tante Mita dan Om Arman
berlanjut sampai mereka kuliah. Karena kepintarannya Om Arman mendapat beasiswa
saat kuliah, tapi untuk keperluan sehari hari, seperti untuk beli bensin, -
saat itu Om Arman mengendarai motor kalau kuliah, - untuk makan, untuk hang
out, untuk nonton di bioskop, tante Mita yang membiayai semuanya. Om Arman
tidak pernah keluar uang baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk kencan
mereka, sampai tabungan tante Mita habis, sampai semua perhiasan yang diberikan
orangtuanya habis.”
“Orangtua Tante Mita marah dengan hal
ini, dia meminta tante Mita memutuskan hubungannya dengan Om Arman. Tante Mita
tidak mau, akhirnya orangtua Tante Mita menyetop membiayai kuliah Tante Mita
termasuk uang jajan bulanan yang biasa tante Mita dapatkan. Orangtua Tante Mita
menyuruh Tante Mita bekerja untuk menghidupi dirinya.”
“Akhirnya Tante Mita bekerja serabutan.
Sambil kuliah ia bekerja di sebuah restoran fast food. Dan saat bekerja
itu, tante Mita masih terus membiayai kebutuhan sehari hari Om Arman.”
“Arman tidak bekerja?” tanya tante
Audrey heran.
“Tidak. Om Arman tidak bekerja. Hanya
tante Mita yang bekerja sampai Om Arman lulus S1 lebih dulu. Saat itu tante
Mita tidak bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu karena ia sempat mengambil
cuti kuliah karena fokus di pekerjaannya.”
“Setelah lulus S1, Om Arman tetap
tidak mau bekerja, ia malah ingin melanjutkan sekolah langsung ke S2. Ia butuh
biaya banyak, lalu ia bilang pada Tante Mita, ia perlu uang 50 juta rupiah, ia
bilang pada Tante Mita kalau Tante Mita sayang dan cinta padanya tante Mita
pasti akan mengusahakan uang itu untuknya. Tante Mita kembali meminta bantuan
orangtuanya karena tante Mita tak punya tabungan, kare gaji yang ia dapat dari
pekerjaannya juga hanya cukup untuk keperluan sehari hari.”
“Orangtua Tante Mita tetap tidak mau
membantu. Tante Mita lalu meminta maaf pada Om Arman karena tidak bisa
mengusahakan uang itu, dan tante tahu apa yang terjadi, Om Arman langsung
memutuskan hubungannya dengan tante Mita.”
“What!” tante Audrey langsung
berteriak kaget.
“Ya. Itu yang terjadi. Setelah putus
dari Tane Mita, Om Arman lalu berpacaran dengan entah siapa, yang jelas wanita
yang dipacari Om Arman itu bisa menyediakan uang yang dibutuhkan Om Arman.
Tante Mita langsung depresi, orangtuanya lalu membawa tante Mita keluar negeri
yaitu ke Los Angeles agar tante Mita bisa melupakan semua kenangan buruk yang
menimpanya. Di Los Angeles tante Mita melanjutkan kuliah yang dulu sempat
terbengkalai dan akhirnya bertemu dengan suaminya, - ayah Mona -, disana.”
“Sementara itu, Om Arman setelah
menyelesaikan S2-nya, akhirnya bekerja jadi dosen, ia mengajar di beberapa
perguruan tinggi di Bandung. Ia menetap di Bandung, ia menikah dengan wanita
yang membiayai kuliah S2nya. Ia tidak memiliki anak dalam pernikahannya.”
Aku lalu menggenggam tangan tante
Audrey erat. “Dua tahun ayang lalu Om Arman sakit keras. Ia sakit ginjal. Sudah
harus cuci darah hampir setiap hari. Ia hanya mampu bertahan selama satu tahun
dengan sakitnya, dan meninggal dunia tahun lalu.”
Aku diam, aku genggam tangan tante
Audrey dengan semakin erat saat tante Audrey mulai menangis.
Aku lalu berdiri dari tempat dudukku
untuk menghampiri tante Audrey dan memeluknya erat, “menangislah tante, tapi
setelah ini, tante harus melupakan Om Arman, untuk selamanya. Om Arman tidak
layak mendapatkan rasa cinta dari tante ataupun dari Tante Mita. Ia tidak mencintai
kalian berdua, ia hanya mencintai dirinya sendiri.”
~ ~ ~
BAB DUA PULUH SATU
POV Author
Cafe Mas Bima sore ini agak sepi
karena diluar sedang hujan. Karena sedang sepi itu pula maka Mas Bima bisa
santai dengan sahabat sahabatnya, Mas Egi dan Mas Andra. Mereka duduk sambil
ngopi bareng.
Kiara yang sedang bekerja Sabtu sore
ini akhirnya menghampiri mereka dan memberikan ampop putih panjang pada Mas
Bima.
“Apa ini?” tanya Mas Bima heran.
“Surat pengunduran diriku, bulan
depan aku tidak bekerja di cafe ini lagi.”
“Kenapa Ki?” tanya Mas Andra heran.
“Aku kayaknya sudah sangat sering
minta ijin pergi setiap akhir pekan, jadi aku memutuskan untuk bekerja di satu
tempat saja sehingga bisa beristirahat di akhir pekan.”
“Asik, bisa nemenin aku hunting foto
dong Ki.” Komentar Mas Andra senang.
“Itu bisa diatur,” jawab Kiara sambil
tersenyum.
“Yahh Kiara, aku nanti kehilangan
dirimu,” ujar Mas Egi. “Cafe ini sepi tanpa dirimu.”
“Mas Egi lebay, aku kan masih
tinggal di lantai atas, kita masih bisa ketemu dan ngobrol.”
“Ya sudah Ki, nanti gaji terakhirmu
akan ditransfer Mbak Ve ke rekeningmu.” Ujar Mas Bima.
“Ok, terima kasih ya Mas Bima untuk
semuanya, untuk semua kebaikan Mas Bima dan Mbak Ve padaku selama bekerja di
cafe ini.”
“Sama sama.” Mas Bima tersenyum.
“Aku gantiin Kak Kiara ya Mas!” Tia
yang juga sedang hang out di cafe menghampiri Mas Bima dan berdiri di
samping Kiara. “Mas Bim tidak usah cari karyawan lain, biar aku saja!”
“Kamu harus kuliah Tia, selesaikan
kuliahmu dengan benar!”
“Dulu Kak Kiara saja bisa kuliah
sambil bekerja. Aku juga pasti bisa! Aku bekerja setiap akhir pekan saja
seperti Kak Kiara. Itu tidak mengganggu kuliahku, Sabtu dan Minggu kan aku
libur kuliah. Boleh ya Mas?”
“Ya sudah, aku sih tidak apa apa.
Tapi kamu minta ijin dulu pada Mbak Ve.”
“Siap!” Tia tertawa senang, “makasih
Mas Bim, aku sekarang mau ketemu Mbak Ve dulu.” Tiapun berlari ke luar pintu
cafe.
“Mas, aku mau minta ijin lagi minggu
depan,” Kiara nyengir menatap Mas Bima. “Dua hari, Sabtu dan Minggu.”
“Kamu mau kemana lagi sih Ki?” tanya
Mas Bima.
“Sahabatku menikah, aku harus datang
ke pernikahannya.”
“Sampai harus menginap segala?”
“Ya, karena capek kalau tidak
menginap.”
“Memang dimana acara pernikahannya?”
tanya Mas Andra.
“Gianyar, Bali.”
“Wow, keren!” teriak Mas Egi.
“Kamu pergi bersama siapa ke sana
Ki?” tanya Mas Andra lagi.
“Wina.” Jawab Kiara.
“Gi, kita ke Bali bareng Kiara yuk!”
ajak Mas Andra pada Mas Egi.
“Hah?” Mas Egi kaget.
“Tenang, gue yang traktir!” Ujar Mas
Andra lagi.
“Tumben lu nggak pelit sama gue.” Mas
Egi heran.
Mas Andra langsung tertawa, “gue baru
dapat transferan di paypal gue dari bos di Amerika. Jadi elu, Gi, lalu
Kiara, dan juga Wina, aku traktir pergi ke Bali.”
“Aku dan Wina sudah beli tiket
pesawat pulang pergi loh Mas Andra!” ujar Kiara.
“Batalkan. Kita pergi bareng. Bima, lu
mau ikut juga?” tawar Mas Andra pada Mas Bima.
“No, I’m Ok. Kalian saja yang
bersenang senang disana.”
“Oke!” ujar Mas Andra.
Mereka lalu terdiam beberapa saat.
“Mas Bim! Kata Mba Ve aku boleh kerja
di sini setiap akhir pekan!” Tia tiba tiba masuk lagi ke ruangan cafe.
“Oke kalau begitu. Kau mulai bekerja
mulai bulan depan.” Ujar Mas Bima.
“Asik, terima kasih Mas.”
“Sure.”
“Tia, kamu mau ikut ke Bali tidak
minggu depan mumpung Mas Andra lagi baik,” ujar Mas Egi pada Tia.
“Wah boleh bingit!” seru Tia
Senang, “memang aku boleh ikut Mas Andra?”
“Yap.” Mas Andra mengangguk.
“Aku ikut! Aku ikut!” Siti tiba tiba
berteriak di balik counter kopi.
“Kau harus bekerja Siti! Kiara sudah
minta ijin duluan.” Ujar Mas Bima.
“Ya, apes deh gue.” Keluh Siti sambil
cemberut.
~ ~ ~
POV Author
Tante Audrey berjalan ke kantor Dev
sambil menutup kupingnya. Pembangunan kantor D & D Advertising mulai
dilakukan sehingga suara bangunan yang mulai dirubuhkan terdengar berisik.
Tante Audrey baru mengurus pembuatan
akta pendirian perusahaan untuk D & D Advertising, dan mampir ke
kantor Dev untuk mengajaknya makan siang.
Sekretaris Dev tadi sudah memberitahu
tante Audrey kalau Dev sedang ada di ruangannya, sehingga Tante Audrey langsung
berjalan ke arah ruangan Dev.
“Dev, ini Mama. Mama boleh masuk?”
tanya tante Audrey.
“Ya Ma, silahkan.”
Tante Audrey masuk ke ruang kerja Dev
dan tersenyum menatap Dev. “Mama mau mengajakmu makan siang.”
“Tentu,” ujar Dev. “Makan siangnya
mau pesan saja dan diantarkan kesini atau makan di atas di food court?”
“Diatas saja. Disini berisik.”
Dev tertawa, “iya sih Ma, perobohan
bangunan presentasi sudah dimulai.”
“Terima kasih ya Dev, sudah mau
membantu mama dalam pendirian D & D Advertising ini termasuk
memilihkan kantornya di lantai tiga ini. Mama sangat menghargai bantuanmu.”
“Tidak masalah Mama, kalau bukan Dev
yang bantu Mama, siapa lagi? Papa sibuk dengan pekerjaannya. Dinda? Dia lagi.”
“Masa Dinda merengek minta didirikan
klinik ke Mama saat tahu Mama akan mendirikan D & D Advertising.
Jadi dokter saja belum, sudah mau bikin klinik segala.”
“Ya, itu masih lama.” Dev tersenyum,
“untuk jadi dokter spesialis kecantikan itu masih lama. Dinda sekarang kuliah
di tahun ketiga. Kalau lancar kuliahnya butuh waktu 3 tahun lagi untuk lulus
dan menjadi dokter umum, habis itu ia masih harus mengambil pendidikan dokter
spesialis kulit yang membutuhkan waktu kurang lebih 4 tahun kalau lancar,
setelah itu Dinda harus magang bekerja di tempat yang terstandarisasi kurang
lebih 2 tahun untuk punya jam terbang atau pengalaman kerja. Baru deh bisa
bekerja mandiri dengan mendirikan klinik sendiri.”
“Wah lama juga ya,” gumam Tante
Audrey.
“Iya Ma, lama.” Jawab Dev.
“Ngomong ngomong, itu apa Dev?” tanya
Tante Audrey saat dilihatnya Dev sedang memegang sebuah kartu berwarna uang.
“Oh, ini undangan pernikahan dari
Selly. Dia pemilik Bright Advertising dulu.”
“Kiara pasti diundang juga,” gumam
tante Audrey, “menurutmu Kiara akan datang?”
“Seharusnya sih datang.” Ujar Dev,
“Selly dan Kiara kan cukup dekat.”
“Oh, dimana acara pernikahannya?”
“Di Gianyar.”
“Wah jauh juga ya.”
“Iya jauh.”
“Kau akan datang ke sana Dev?”
Dev nampak berpikir, “ehm… atas nama
pertemanan dengan Selly, ya, aku akan datang.”
“Kalau begitu kamu datang saja
bersama….” Tante Audrey menghentikan kata katanya sebentar.
Bersama Kiara? Tanya Dev dalam hati dengan perasaan
senang. Mau banget Mama. Aku mau datang bersama Kiara.
“Kau datang saja bersama Mona.”
Dev hampir terjatuh dari tempat
duduknya saat mendengar mamanya mengatakan itu. What? WHAT! Mama menyuruhku
datang bersama Mona? Apa Mama tidak salah menyebut nama?
“Ber.. sa..ma.. Mo..na?” tanya Dev
lambat lambat, “bukannya bersama Ki..”
“Ya, Mona pacarmu.” Potong mamanya.
“Mama memperbolehkan aku pergi ke
Bali bersama Mona?” Dev menanyakan itu untuk menyakinkan pendengarannya.
“Setelah dipikir pikir Dev, masalah
mama dulu dengan tante Mita itu tidak ada hubungannya dengan relationship antara
kamu dan Mona sekarang. Jadi ya, mama merestui hubungan kalian. Yang terpenting
bagi mama adalah kebahagianmu Dev. Mama tidak mau menjadi orangtua yang egois.
Selama kamu bahagia, dengan siapapun kamu berpacaran, mama akan ikut bahagia.”
Tapi, kenapa saat Mama merestui
hubunganku dengan Mona, aku tidak bahagia, keluh Dev dalam hati.
~ ~ ~
POV Kiara
Siang ini aku packing baju
untuk pergi ke Gianyar. Aku tidak membawa baju banyak, hanya seperlunya saja.
Aku, Mas Andra, Mas Egi, Wina dan Tia akan berangkat ke Bali pada Jum’at sore.
Kami akan menghadiri pernikahan Selly pada Sabtu pagi, setelah itu acara bebas.
Mas Andra ingin hunting foto
ke Pantai Karma Kandara di Ungasan. Mas Andra pernah ke sana sebelumnya,
menurutnya disana lautnya indah, pantainya bersih dan privacynyaterjaga.
Masih menurut Mas Andra terakhir ia kesana pada bulan Januari, tiket masuk ke
pantai Karma Kandara adalah 250.000 rupiah per orang. Tapi itu tidak masalah
bagi Mas Andra, ia tetap akan mentraktir semua orang.
Lain Mas Andra lain pula Tia dan
Wina. Mereka berdua ingin belanja oleh oleh di pasar seni Sukawati, selain
belanja baju, mereka juga ingin belanja aksesoris seperti gelang, kalung,
cincin dan oleh oleh makanan.
Sementara aku dan Mas Egi lebih
menyukai wisata kuliner.
Mas Egi ingin makan malam di pinggir
pantai di Jimbaran, sementara aku ingin mencicipi street food di Gianyar
Night Market.
Aku ingin wisata kuliner di Gianyar
Night Market karena Selly - melalui telepon - sering bercerita padaku kalau
ia suka makan disana.
Setelah berdiskusi, akhirnya kami
sepakat untuk mengunjungi semua tempat yang ingin kami kunjungi satu per satu.
Bermula di Gianyar Night Market,
kami akan makan malam disana setelah tiba di Bali. Kami akan ke kamar hotel
masing masing untuk beristirahat sejenak lalu makan malam di Gianyar Night
Market. Mas Andra sudah booking dua kamar di hotel yang letaknya
dekat dengan rumah Selly.
Satu kamar untuk aku, Wina dan Tia
dan satu kamar untuk Mas Andra dan Mas Egi.
Lalu pada hari Sabtu siang hingga
sore setelah acara pernikahan Selly, kami akan pergi ke pasar Sukawati.
Malamnya makan malam di Jimbaran, lalu Minggu pagi pergi ke pantai Karma
Kandara sekaligus check out dari hotel. Dari pantai Karma Kandara
langsung ke Bandara untuk kembali pulang ke Jakarta.
Selama di Bali, kami akan menyewa
mobil. Aku menyarankan pada Mas Andra menyewa mobil di tempat aku menyewa mobil
dulu saat Selly mentraktir aku dan teman teman Bright Advertising pergi
ke Bali. Dan Mas Andra setuju.
Sebenarnya semalam Selly meneleponku
dan menawariku untuk menginap dirumahnya, tapi aku bilang pada Selly aku datang
bersama rombongan. Aku bilang teman temanku ikut aku ke Bali karena ingin
berwisata. Selly lalu meminta padaku agar aku mengajak Mas Andra, Mas Egi dan
Tia untuk ikut datang ke acara pernikahannya.
“Kak Kiara, nanti Kak Wina ke sini
dulu dan pergi bareng kita?” tanya Tia yang ikut sibuk packing seperti
aku.
Tia bolos kuliah siang ini karena
kami harus tiba di Bandara jam tiga sore. Sementara Tia ada kuliah jam satu
siang. Jadi ia bolos kuliah.
“Tidak, Kak Wina langsung pergi ke
Bandara diantar adiknya Adelia, naik motor,” jawabku.
“Oh, nanti kita semua pergi naik apa?
Naik taksi atau diantar Mas Bima?”
“Mas Bima sibuk Tia, menurut Mas
Andra tadi pagi saat menelepon aku, kita akan diantar Dilan, adik Mas Andra,
pakai mobilnya.”
“Oh, Dilan cakep nggak Ka?”
“Tia!” seruku kaget, “kamu tuh sempet
sempetnya cari gebetan, diomelin Mbak Ve loh.”
“Habis Mas Andra juga cakep banget,
adiknya juga pasti cakep kayak Mas Andra.”
Aku cuma tertawa.
“Dilan masih kuliah seperti aku?”
tanya Tia lagi.
“Masih Tia. Sudah ah, nanya melulu.”
“Kak Kiara, kayaknya Mas Andra suka
deh sama kakak, dia perhatian gitu sama kakak.” Ujar Tia lagi.
“Ngaco kamu Tia. Mas Andra itu sudah
punya pacar.”
“Kakak yakin?” tanya Tia, “tapi
kayaknya Mas Andra suka sama kakak deh.”
“Masa sih?” tanyaku.
“Iya.”
“Itu mungkin karena Mas Andra sudah
menganggap kakak seperti adik sendiri kayak Mas Bima gitu. Jadi Mas
Andra merhatiin kakak gitu.”
“Menganggap adik dari hongkong!”
teriak Tia. “Masa sih kak Kiara tidak peka.”
“Sebentar,” ujarku sambil mengambil
HPku dan mencari foto aku berdua Yola saat Yola masih bekerja di cafe Mas Bima.
“Lihat ini,” ujarku pada Tia, “ini
namanya Yola, pacarnya Mas Andra. Cantik kan?”
“Aku kok tidak pernah melihatnya.”
Gumam Tia.
“Dia bekerja di cafe ini beberapa
tahun yang lalu.”
“Sekarang kak Yola kerja dimana?”
“Mengelola distro sendiri, distronya
ada di Kemang.”
“Keren!” seru Tia.
“Ya, kapan kapan kamu main ke sana,
koleksi bajunya keren keren, tapi harganya juga cukup mahal sih.”
“Branded?” tanya Tia.
“Hanya sepatu dan tas yang branded.
Kalau baju kayaknya keluaran butiq mana gitu.”
“Kak Kiara pernah ke sana?” tanya
Tia.
“Pernah beberapa kali waktu awal mula
distro itu mulai beroperasi. Sekarang sudah tidak pernah lagi. Kakak
sibuk.”
Sedang asik ngobrol dengan Tia, Selly
tiba tiba menelepon.
“Hallo,” ujarku.
“Ki, jadi berangkat besok subuh?”
tanya Selly.
“Tidak Sel, jadinya sore ini jam
lima, besok takut waktunya mepet.”
“Oke deh, aku tunggu ya besok. Hati
hati di jalan Ki.”
“Oke, makasih, goodluck for
tomorrow Selly, I’m happy for you. Aku tetap tak percaya kau menikah
secepat ini, kirain masih beberapa tahun lagi.”
“Iya sih Ki. Setelah dipikir pikir,
aku ingin cepat memberi cucu pada ibuku agar ia bisa tersenyum dan tidak
depresi lagi.”
“Ibumu masih …” kata kataku terhenti.
“Tidak apa apa Kiara, tidak masalah
jika kau menyebutkannya. Masih, ibuku masih depresi, ia rutin minum obat
penenang dari dokter, mudah mudahan suatu hari nanti ibuku sembuh.”
“Mudah mudahan.”
“Ya sudah, sampai berjumpa besok
Kiara!”
“See you tomorrow Selly. I
Love You!”
“See you. I Love you Too!”
~ ~ ~
POV Author
Mobil Dilan akhirnya datang menjemput
Kiara dan Tia saat Tia sudah tak sabar ingin cepat cepat pergi. Dilan datang
bersama Mas Andra dan Mas Egi.
Tia langsung bersikap sok akrab
pada Dilan setelah mereka berkenalan. Sementara Mas Andra langsung memasukkan
koper Kiara dan Tia ke bagasi mobil. Setelah itu mereka semua berpamitan pada
Mas Bima dan Mbak Ve.
Tia berteriak girang saat Mbak Ve
memberinya uang jajan yang cukup besar.
Disamping Mas Bima, Siti
memperhatikan kesibukan orang orang dengan wajah cemberut.
“Oleh oleh pokoknya Mas Andra, OLEH
OLEH!” Teriak Siti.
“Iya!” Jawab Mas Andra, kamu mau apa
sih Siti?”
“Mau ikut.”
“Maksudnya oleh olehnya, maunya apa?”
“Mau ikut.” Ujar Siti keukeuh.
Mas Andra langsung menepuk jidatnya.
“Tenang Kak Siti, nanti biar Tia
pilihin oleh oleh buat Kak Siti, Kak Fani, Kak Mega, Mas Helmi, biar Mas Andra
yang bayar semuanya, oke?” Tia tersenyum sambil dadah dadah pada Siti,
Mas Bima dan Mbak Ve.
Tia lalu berjalan ke pintu depan dan
mengetuk kaca mobil, “permisi,” ujarnya.
Mas Egi yang duduk di kursi depan,
disamping Dilan, membuka kaca mobil dengan malas, “ada apa sih Neng?”
“Aku mau duduk di situ, disamping
Dilan. Jadi Mas Egi sebaiknya pindah ke kursi belakang.”
Mas Egi akhirnya keluar dari mobil
dengan kesal. Tia lalu duduk dengan gembira disamping Dilan.
Dibangku belakang giliran Kiara yang
ngomel, “ini apaan sih, kenapa aku jadi cewek sendiri di sini, Tia, pindah
nggak!” serunya pada Tia.
“Kak Kiara, aku mau duduk disamping
Dilan!”
“Pindah atau perjalanan ke Bali khusus
untukmu dibatalkan!”
Tia akhirnya keluar mobil dan pindah
ke bangku belakang, bertukar tempat lagi dengan Mas Egi. Mas Egi keluar mobil
lagi dengan wajah bete.
Setelah Mas Egi dan Tia duduk, Tia
lalu memperhatikan Mas Andra yang duduk ditengah tengah, di antara dirinya dan
Kiara.
“Mas Andra kayak raja minyak saja
duduk ditengah tengah cewek begini.” Komentar Tia.
Mas Andra hanya tersenyum.
Tia tiba tiba menarik tangan Mas
Andra, “Mas Andra, permisi, aku ingin duduk disamping Kak Kiara. Mas Andra
pindah ke pinggir.”
“Tidak mau!” ujar Mas Andra.
“Kita jadi berangkat nggak sih?”
tanya Dilan.
“Mas Andra, cepat pindah!”
“Tidak mau!”
“Kenapa sih Tia, ribut terus dari
tadi, nanti kita ketinggalan pesawat loh kalau nggak berangkat berangkat.” Ujar
Mas Egi kesal.
“Mas Egi, Mas yang bawa deh,” ujar
Dilan akhirnya. Ia lalu turun dari mobil.
Mobil akhirnya berangkat dengan Mas
Egi yang mengemudi, Kiara yang duduk disamping Mas Egi dan Tia duduk diantara
Dilan dan Mas Andra.
~ ~ ~
POV Kiara
Welcome to paradise.
Aku menghirup udara Bali kuat kuat.
Rasanya senang berada di Bali lagi. Aku sekarang berada di balkon kamarku, di
hotel yang kami sewa.
Sambil menghirup udara Bali aku
memperhatikan keindahan langit malam yang bertabur bintang. Langit malam sedang
bersih saat ini, tidak sedang mendung. Tapi bulan lagi sabit, tidak penuh.
Kami baru tiba di Bali beberapa saat
yang lalu. Tadi kami istirahat sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk
pergi makan malam ke Gianyar Night
Market dan bersiap siap.
Sekarang Tia sedang mandi setelah
sebelumnya Wina yang mandi. Aku kebagian mandi paling belakang.
Sambil memperhatikan suasana malam
dari balkon kamarku aku tiba tiba teringat Dev. Aku rindu sekali padanya. Sudah
lama aku tidak bertemu dengannya. Sudah hampir dua minggu sejak aku, tante
Audrey dan Wina datang ke GC Cosmetics untuk melihat ruangan yang akan
dijadikan kantor D & D Advertising.
Aku juga tidak pernah bertemu Dev di
rumah tante Audrey sejak aku dan Wina berkantor disana.
Menurut Bi Surti, Dev dari dulu
memang jarang pulang ke rumah. Ia lebih sering menghabiskan waktu di
apartemennya, kecuali mamanya memintanya datang untuk makan malam bersama.
Seolah tahu sedang aku pikirkan, Dev
tiba tiba meneleponku. Membuat aku nyaris loncat saking kagetnya.
“Hallo,” ujarku.
“Selamat malam Kiara.”
“Selamat malam.” Jawabku. “Apa kabar,
Dev?”
“Kabar baik.” Jawab Dev, “Kata Selly
malam ini kau sudah di Bali?”
“Ya. Aku baru sampai. Sebentar lagi
mau makan malam.”
“Kau bersama Wina kan? Kau ke Gianyar
bersama Wina?”
“Iya, rencananya tadinya hanya berdua
Wina tapi Mas Andra ingin ikut karena katanya…”
“Mas Andra ikut?” tanya Dev.
“Iya. Mas Andra mau hunting foto
di Pantai Karma Kandara di Ungasan.”
Lalu sepi, Dev tidak bicara apa apa
lagi.
“Dev, kamu ke Gianyarnya besok?”
tanyaku setelah Dev terdiam beberapa saat.
“Ya, besok, pagi pagi sekali.”
Pasti bersama Mona. Keluhku sedih.
“Sampai bertemu besok kalau begitu.”
Ujarku.
“Ya, sampai bertemu besok.”
“Ehm, Dev, aku bersiap siap dulu ya,
teman teman sudah menunggu.”
“Perekrutan karyawan D & D
Advertising bagaimana?” tanya Dev tiba tiba.
Hallo. Malam Sabtu Dev ngomongin
pekerjaan? Ujarku
heran, dalam hati. I’m on holiday now Dev Darling!
“Aku hanya buka lowongan untuk vizualizer
dan untuk bagian Media,” ujarku, “karena untuk cameraman dan asisten
cameraman sekaligus asisten sutradara, aku mau mengajak teman temanku
yang dulu di PHK oleh ibu Dewi bergabung di D & D Advertising, aku
belum bertemu mereka dan bicara dengan mereka tapi aku sudah mencari tahu
tentang kegiatan mereka. Mereka ternyata belum bekerja lagi di perusahaan
periklanan. Saat ini mereka bekerja sebagai ojek online, jadi ya kenapa tidak.”
“Ya, kau yang tahu mereka dan
bagaimana pekerjaan mereka dulu.” Ujar Dev, “biasanya kita lebih enak bekerja
dengan orang yang sudah kita kenal karena kita tahu karakter kerja dia seperti
apa. Lalu setelah membuka lowongan kerja, sudah ada yang diwawancara?”
“Ada, dua orang, untuk posisi media,
satu sarjana ilmu komunikasi lulusan UGM, perempuan, dan satu lulusan
universitas di Singapura, laki laki. Yang lulusan UGM sudah punya pengalaman bekerja
selama lima tahun, yang laki laki belum ada pengalaman, ia baru lulus.”
“Kau lebih suka yang mana?” tanya
Dev.
“Yang laki laki. Dia orangnya asik
banget. Tutur katanya sopan. Kelihatan smart kalau bicara. Dan punya
hobi menulis. Biasanya kalau punya hobi menulis orangnya kreatif, pintar
merangkai kata. Bisa membantu Wina juga bikin naskah iklan.”
“Tapi belum punya pengalaman kerja,”
ujar Dev, “Itu tidak masalah untukmu?”
Dulu Selly memberi kesempatan kerja
padaku saat aku juga baru lulus seperti Farrel, - pria lulusan Universitas di
Singapura itu.
Ujarku dalam hati.
“Tidak, tidak masalah, kita kan semua
merintis D & D Advertising dari awal. Jadi bagiku tidak masalah.”
“Masalah gaji, permintaan mereka ok?
Atau diatas rata rata?”
“Yang perempuan minta gaji lebih
tinggi dari yang laki laki, karena sudah berpengalaman tapi itu masih berada di
angka ‘masuk akal’ menurut versiku.”
“Ya sudah, tunggu apalagi, kau terima
saja kandidat yang laki laki itu.”
“Menurutmu begitu?”
“Ya.”
“Ok, nanti hari Senin aku akan
meminta ia datang lagi. Kita lihat cara kerja dia selama tiga bulan seperti
apa, kalau tidak cocok denganku, ya terpaksa aku cari penggantinya.”
“Posisi bidang media, done,”
ujar Dev. “Untuk sutradara bagaimana?”
“Itu dia. Aku suka banget sama
seorang sutradara. Aku ingin dia menjadi bagian tim kerjaku. Aku suka hasil
kerja dia, dia biasa bikin video musik gitu. Dia jadi langganan beberapa
penyanyi untuk membuat video musik mereka, tapi…”
“Tapi apa?” tanya Dev.
“Juteknya minta ampun. Waktu kuliah
dulu saat aku mengerjakan sebuah tugas, aku terlibat dalam suatu produksi
pembuatan iklan, saat itu ia, namanya Henry, bekerja di sebuah production
house, aku magang disana dan aku jadi asistennya. Dan dia galak, nyebelin,
pokoknya bikin bete.”
“Tapi kau ingin orang yang galak,
nyebelin dan bikin bete alias orang jutek ini, menjadi bagian tim
kerjamu?”
“Iya.”
“Kamu ini aneh Ki, orang tuh dimana
mana tidak mau bekerja sama orang jutek, kamu malah mau kerja sama orang
jutek,” Dev tertawa.
“Aku kan melihat seseorang bukan dari
jutek tidaknya orang itu, tapi dari hasil pekerjaannya.” Sahutku.
“Kiara!” Wina tiba tiba memanggilku,
“jadi pergi tidak? Kalau tidak aku tidur nih!”
“Jadi, tunggu sebentar!” aku balas
berteriak ke arah Wina.
“Dev, sudah dulu ya. Lain kali kita
ngobrol lagi.”
“OK, have fun Ki.”
“Terima kasih.”
Setelah ngobrol dengan Dev, aku lalu
meletakkan HPku di atas kasur dan mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi
untuk mandi.
Aku merasa sangat senang Dev
meneleponku malam ini. Ngobrol dengan Dev, berjam jam pun aku mau. Aku suka
mendengar suaranya. Aku suka mendengar tawanya. Aku suka keseluruhan dirinya.
~ ~ ~
POV Author
Pagi ini semua orang sibuk. Semua
bangun pagi pagi untuk mandi dan sarapan lalu berdandan. Jam delapan pagi
mereka sudah harus berangkat ke tempat Selly.
Wina yang mandi lebih dulu sudah
selesai berdandan lebih dulu. Ia sudah siap dengan baju cantiknya dan tas
mungilnya dan menunggu Kiara dan Tia di lantai bawah, di ruang tunggu.
Mas Andra ternyata sudah rapi juga.
Mas Andra memakai batik. Ia duduk di sebuah sofa dan sedang sibuk mengganti
baterai kameranya.
Untuk sesaat Wina memperhatikan Mas
Andra dengan perasaan tak karuan. Ia menyukai Mas Andra. Ia menyukainya sejak
Kiara memperkenalkan Mas Andra padanya saat mereka berburu bunga hias di
Cihideung, Bandung.
Walau Kiara bilang padanya bahwa Mas
Andra sudah punya pacar, ia tetap suka. Menurut Wina, Mas Andra orangnya lucu,
baik dan perduli pada orang orang di sekitarnya.
Sedang memperhatikan Mas Andra, orang
yang diperhatikan tiba tiba melihat ke arah Wina, membuat Wina terkejut.
“Hai, kau sudah siap?” tanya Mas
Andra.
“Ya.” Wina lalu duduk di hadapan Mas
Andra, “Kiara dan Tia sebentar lagi turun.”
“Ya,” Mas Andra tersenyum, “Egi juga.
Kau sudah sarapan?”
“Sudah, tadi sarapannya roti bakar,
aku nggak mau makan yang berat berat kalau pagi pagi begini.”
“O, ya? Padahal nasi gorengnya enak
banget loh.”
“Iya sih, tapi di tempat Selly juga
nanti banyak makanan.”
“Kiara juga sudah sarapan?”
“Sudah.” Jawab Wina, “kiara makan sup
tadi.”
“Oh.”
“Itu kenapa Mas, baterainya?”
“Tidak apa apa. Aku tadi lupa nge-charger,
tapi aku bawa cadangannya kok. Nanti yang ini dicharger di mobil saja.”
Mereka lalu sama sama diam.
Wina terlonjak kaget saat HPnya
bunyi, dan dilihatnya tante Audrey yang menelepon.
“Hallo tante, selamat pagi.”
“Selamat pagi Wina, tante menelepon
Kiara kok nggak nyambung nyambung.”
“Oh, Kiara biasa mematikan HPnya
kalau tidur, sebentar lagi juga dinyalakan.”
“Kamu mau berangkat ke pernikahan
Selly?” tanya tante Audrey.
“Iya,”
“Dev juga sudah pergi subuh tadi.”
“Bersama Mona?” tanya Wina.
“Ya, bersama Mona. Ya sudah, nanti
tante menelepon Kiara. O, ya Win, tante baru ingat, kalian hari Senin tidak
usah masuk kerja dulu, kan capek habis jalan jalan.”
“Wah, asik,” Wina tertawa, “aku sih
senang tante kalau hari Senin libur, tidak tahu deh kalau Kiara, dia itu gila
kerja.”
“O, ya?”
“Ya.”
“Tapi tetap bilang Kiara tidak usah
kerja dulu ok?”
“Ok.”
“Sampai bertemu di Jakarta, Wina.”
“Sampai bertemu tante.”
Wina baru mematikan HPnya saat
dilihatnya Mas Andra sedang memperhatikan dirinya dengan tatapan heran.
“Kenapa tante Audrey meneleponmu dan
bicara soal pekerjaan?” tanya Mas Andra.
“Ehm..” Wina kaget ditanya seperti
itu. “Mas Andra mendengar apa yang tante Audrey katakan?” tanya Wina.
“Ya, suaranya cukup keras terdengar.
Aku tidak bermaksud menguping, tapi memang terdengar jelas dari sini.”
“Ehm, sebenarnya aku dan Kiara
bekerja di tempat tante Audrey sekarang.”
“Maksudnya?” Mas Andra heran.
“Kiara dan aku keluar dari Bright
Advertising tempat kami bekerja sebelumnya dan sekarang bekerja di tempat
tante Audrey.”
“Sebagai apa?”
“Sebagai… ehm, posisi aku kurang
lebih sama dengan pekerjaanku sebelumnya, sementara Kiara.. dia disana sebagai Account
Executive.”
“Kantornya dimana?”
Ini kenapa Mas Andra jadi
menginterogasi aku gini sih, keluh Wina dalam hati.
“Kantornya dimana Wina?” tanya Mas
Andra lagi.
“Kantornya sementara di rumah tante
Audrey selama kantor resminya dibangun.”
“Dan kantor resmi yang dibangun itu
dimana?”
“Di GC Cosmetics. Ehm, gedung GC
Cosmetics itu kepunyaan Pak Devano pribadi. Ia menyewakan gedung itu pada GC
Cosmetics dan beberapa outlet makanan disana. Kita nanti berkantor
di GC Cosmetics.”
“APA?!”
~ ~ ~
POV Author
Pernikahan Selly berlangsung sukses.
Selly tidak menggunakan adat Bali walau suami Selly asli orang Bali. Selly
menikah tidak memakai adat apapun.
Selly merayakan resespsi
pernikahannya di halaman rumahnya yang besar yang disulap menjadi taman yang
cantik.
Selly mengusung tema garden party untuk
acara pernikahannya. Semua makanan di tata di tempat yang cantik, termasuk juga
pondokan yang unik.
Aneka minuman dan sari buah bisa
ditemui di setiap sudut taman.
Selly dan suaminya berkeliling untuk
menyapa para tamu yang hadir dan ngobrol dengan mereka.
Selly juga ngobrol dengan Ibu Dewi
yang juga hadir di pernikahannya.
Selly menanyakan bagaimana
perkembangan Bright Advertising sepeninggal dirinya, dan Ibu Dewi
menjelaskan dengan singkat bahwa Bright Advertising baik baik saja.
Ibu Dewi tidak memberitahu Selly
kalau dua orang karyawannya akhir akhir ini mengundurkan diri secara mendadak
dari Bright Advertising dan ia harus mencari pengganti mereka dengan
susah payah.
Ibu Dewi juga tidak menemukan Kiara
dan Wina, - dua orang karyawannya yang mengundurkan diri secara mendadak itu -
di pernikahan Selly tersebut. Ibu Dewi tidak tahu bahwa Kiara ataupun Wina
sengaja menghindar darinya selama acara berlangsung.
Setelah ngobrol dengan ibu Dewi,
Selly berkeliling lagi untuk menyapa tamu tamu yang lain.
Selly lalu menghampiri Kiara yang
sedang berdiri di sebelah lampu taman. Sebelumnya Selly dan Kiara sempat
ngobrol lama. Dan Selly sudah melihat penampilan Kiara, tapi tetap saja ia tak
bisa menahan dirinya untuk memuji Kiara lagi.
Kiara mengenakan longdress berwarna
pink muda dengan rambut disanggul tinggi sehingga terlihat anggun.
“Kau cantik sekali pagi ini Ki,” ujar
Selly.
“Terima kasih.” Ujar Kiara, “kau juga
cantik Selly. Kau yang tercantik di sini, pagi ini.”
Selly tertawa, “Mona kalah cantik
dari aku?” bisiknya.
“Mona kalah cantik.” Jawab Kiara.
“Dasar tukang bohong!” Kembali Selly
tertawa, “ayo kita foto Ki, untuk mengabadikan kecantikan kita pagi ini dalam
sebuah gambar, mana HPmu, aku kan tidak bawa HP.”
“Ok,” kiara tertawa sambil
mengeluarkan HPnya.
“Sini, biar aku yang pegang HPnya,”
Selly lalu mengarahkan camera HP ke dirinya dan Kiara. “Say cheese.”
“Cheese.” Kiara tersenyum ke
arah camera HPnya.
“Aku ikut,” Dev tiba tiba berdiri
disamping Kiara dan memegang pundak Kiara sambil tersenyum ke arah camera.
Selly langsung menyimpan gambar mereka.
“Aku juga ikut,” Tia tiba tiba
berlari ke arah mereka dan berdiri diantara Dev dan Kiara.
Selly kembali menyimpan gambar
dirinya, Kiara, Dev, dan Tia.
“Kalian berfoto nggak ajak ajak aku
ya!” Wina ikut datang menghampiri.
Selly tertawa, dan kembali
mengabadikan foto mereka semua.
Setelah selesai, HP Kiara
dikembalikan pada Kiara lalu Selly kembali berjalan untuk menyapa para tamu
yang lain.
Kiara langsung memasukkan HPnya ke
dalam tas kecilnya. Tapi ia segera mengeluarkannya lagi saat ada pesan WA
masuk, ternyata dari Dev.
Kirim foto fotonya padaku ya. Tulis Dev pada pesan WA-nya.
Kiara langsung tersenyum, ia lalu
mengirim semua foto yang Selly ambil pada Dev.
Setelah Semua terkirim, Dev
mengucapkan terima kasih padanya, masih melalui pesan WA.
See you in Jakarta Kiara, take care.
Aku pulang ke Jakarta sekarang.
Tulis Dev selanjutnya dalam pesannya.
Entah kenapa, Kiara tiba tiba merasa
sangat sedih saat tahu Dev akan langsung pulang ke Jakarta. Secepat itu?
Keluh Kiara dalam hati. Padahal mereka baru bertemu.
Ia masih ingin melihat Dev diantara
para tamu yang hadir. Ia tak perduli dengan Mona yang selalu berada di sekitar
Dev.
Selama ia melihat Dev di tempat itu,
walaupun itu dari kejauhan, itu sudah membuat hatinya terasa hangat.
~ ~ ~
POV Author
Dev melambaikan tangannya pada Mona
saat Mona berjalan memasuki terminal keberangkatan ke Lombok. Mona balas
melambaikan tangannya pada Dev sambil tersenyum.
Mona harus segera kembali ke lokasi
syuting di Lombok dan tidak bisa lama lama menemani Dev di Bali.
Sebenarnya Dev masih punya waktu
luang untuk bersantai di Bali sampai besok kalau Dev mau, sebelum ia harus
mulai bekerja lagi pada Senin pagi. Tapi Dev memutuskan untuk pulang saja ke
Jakarta.
Keberangkatan pesawat Dev ke Jakarta
masih satu jam lagi. Dev akhirnya pergi ke suatu kedai kopi dan memesan kopi.
Sambil minum kopi Dev teringat lagi
dengan percakapannya dengan Mas Andra di pesta pernikahan Selly tadi.
Saat itu Mas Andra mendekati Dev dan
kembali marah marah. Dev sungguh tak mengerti kenapa Mas Andra selalu marah
marah kalau melihat dirinya.
“Gerakanmu cepat juga ya, kayak cheetah.”
Ujar Mas Andra. Dev saat itu sedang sendiri karena Mona sedang mengambil
makanan.
“Apa lagi ini?” tanya Dev.
“Kiara berkantor ditempatmu itu,
maksudnya apa?” tanya Mas Andra. “Biar dekat denganmu kan?”
“Biar irit.” Ujar Dev, “perusahaan
iklan yang didirikan mamaku itu baru. Jadi banyak pengeluaran, jadi biar
pengeluaran bisa ditekan, kantor mamaku untuk sementara disana, karena tidak
usah bayar sewa. Jadi biar irit.”
“Kau pikir aku percaya?”
“Terserah kau mau percaya atau
tidak.”
“Berapa gaji yang ditawarkan Mamamu
untuk menggaji Kiara?” tanya Mas Andra lagi.
“Mana aku tahu, itu urusan mamaku,
aku tidak ikut campur dalam hal ini. Memang kenapa?!”
“Aku bisa menggaji Kiara dua bahkan
tiga kali lipat dari gaji yang ditawarkan mamamu asal dia keluar dari
perusahaan mamamu.”
“Kenapa sih kau egois seperti ini?”
Seru Dev kesal, “aku percaya kau punya banyak uang dan bisa menggaji Kiara
berapapun, tapi permasalahannya bukan disitu. Permasalahannya, Kiara mau kerja
apa bersamamu? Apa sesuai dengan bidangnya? Dengan keahlian yang ia miliki?
Dengan ilmu yang ia peroleh saat kuliah? Mamaku hanya memberikan wadah
padanya untuk berkembang. Kalau kau sayang padanya, harusnya kau mensupport
dia.”
Dev menghentikan kata katanya
sebentar, lalu melihat ke Mas Andra lagi, “apa sih yang sebenarnya kau
takutkan?” tanya Dev.
“Dirimu.” Ujar Mas Andra, “orang lain
mungkin bisa tertipu dengan kau membawa pacarmu kesini, atau kemanapun juga
seolah olah kau sangat mencintai pacarmu dan kalian pasangan yang harmonis,
tapi aku tidak. Aku tidak mudah tertipu. Selama acara pernikahan Selly pagi
ini, matamu tidak lepas memperhatikan Kiara. Matamu tidak bisa berbohong. Kau
sangat menyukai Kiara.”
“Jadi kau takut aku merebut Kiara
darimu?”
“Segala hal bisa kau lakukan. Mamamu
dan dirimu menyukai Kiara, sehingga kalian akan berusaha mendapatkan apa yang
kalian inginkan!”
Mas Andra lalu pergi meninggalkan Dev
dengan perasaan marah.
“Aku berjanji tidak akan mendekati
Kiara seperti yang kau khawatirkan!” teriak Dev.
Mas Andra kembali membalikkan
tubuhnya ke arah Dev, “tidak. Jangan berjanji untuk suatu hal yang tidak bisa
kau tepati. Kau tahu apa yang membuatku tenang? Nikahi pacarmu secepatnya dan
pergi jauh dari kehidupan Kiara!”
Setelah marah padanya, Mas Andra lalu
meninggalkan Dev.
Dev kini menghela nafas panjang. Ia
tak tahu apa yang harus ia lakukan. Mas Andra benar, Dev tidak bisa begitu saja
mengucapkan janji yang tidak bisa ia tepati. Karena walau di bibirnya ia
berjanji tidak akan mendekati Kiara, tapi hatinya berkata lain, karena
keinginan hatinya adalah ia ingin selalu dekat dengan Kiara dan selalu ingin
bersamanya.
~ ~ ~
POV Author
Sore ini, tante Audrey dan tante Mita
sedang asik ngobrol di pinggir kolam renang di rumah tante Audrey.
Tante Audrey mengundang tante Mita
untuk minum teh bareng.
Tante Jennie juga diundang, tapi
tante Jennie belum datang.
Tante Jennie tidak diberitahu bahwa
tante Mita juga ada disana. Itu akan jadi kejutan untuknya.
“Jadi, waktu kuliah dulu di Solo, kau
mau bekerja untuk menghidupi Arman?” tanya tante Audrey pada tante Mita, “luar
biasa, aku tidak pernah bekerja dimanapun, walau ibuku punya perusahaan
kosmetik tradisional aku tetap tidak mau bekerja di perusahaannya, sampai
akhirnya anakku yang mengambil alih perusahaan itu.”
“Tapi kau tetap punya saham disana
kan?” tanya tante Mita.
“Ada, tapi tidak sebanyak anakku Dev,
tadinya ibuku punya saham 100%. 30% ia hibahkan padaku. 50% ia hibahkan
pada kedua cucunya, Dev dan Dinda, dimana mereka masing masing mendapat 25%.
Sisanya 20% ia jual ke publik. Lalu karena Dinda kurang berminat di perusahaan
ini, ia menjual sahamnya pada kakaknya setelah perusahaan menjadi lebih besar
dari sebelumnya. Baik secara produksi maupun secara income.”
“Jadi Dev punya 50% saham, kau 30%
dan 20% umum?”
“Ya.”
“Ibumu benar benar lepas dari
perusahaan yang dirintisnya itu?”
“Ya.”
“Tidak dapat pemasukan lagi dong?”
“Masa anak dan cucunya mau
menelantarkan dia, kan itu tidak mungkin.”
ujar tante Audrey, “selain itu, hasil penjualan saham yang 20% kepada publik
itu, uangnya ia depositokan. Dari bunga deposito aku rasa ibuku dapat
penghasilan. Selain itu Dev juga selalu memperhatikan kakek dan neneknya.
Sepertinya Dev selalu mengirimi mereka uang setiap bulan, yang jelas kondisi
ibu dan ayahku baik baik saja, mereka tidak kekurangan apapun.”
“Ibuku tidak pernah mau menerima uang
dariku,” ujar tante Audrey lagi, “kata ibuku ia sudah punya uang sendiri dan
aku jangan mengkhawatirkan dirinya. Dev disisi lain, sedikit mengancam kakek
neneknya kalau mereka tidak mau menerima uang darinya, ia akan mogok kerja.
Yang paling ditakutkan oleh ibuku adalah Dev tidak mau melanjutkan bisnis yang
sudah dirintisnya itu, jadi yah, ayah ibuku menerima apa yang Dev berikan.”
“Sebenarnya yang terpenting dari
semuanya adalah kedua orangtuamu sehat sehat saja Ndrey.”
“Iya, itu betul.” jawab tante Audrey,
“semoga ayah ibuku sehat sehat saja dan bahagia dengan masa tua mereka.”
“O, ya, bicara soal Arman, setelah
aku pikir pikir, ternyata ada sisi baiknya aku mengenal dia,” ujar tante Mita.
“Maksudku, kalau aku tidak kenal dia dan berpacaran dengannya, aku tidak akan
punya pengalaman bekerja seperti yang aku lakukan dulu. Aku juga kini jadi
pribadi yang tangguh dan tidak cengeng. Aku ditempa oleh keadaanku saat
itu.”
“Ya, selalu ada sisi baik dari sebuah
peristiwa.” Tante Audrey setuju.
“Selamat sore,” tante Jennie tiba
tiba datang menghampiri tante Audrey, “tadi pagi aku mengantar keponakanku
memetik strawberry di daerah Cipanas dan aku membawa beberapa kilo
strawberrynya ke sini dan…” kata kata tante Jennie terhenti saat melihat tante
Mita. Ia tadi tak menyadari kehadiran tante Mita.
“Apa kabar Jennie? Kau masih cantik saja
seperti dulu.” Ujar tante Mita sambil tertawa.
“Oh My God, I can’t believe this!” Teriak tante Jennie langsung.
~ ~ ~
POV Author
Tante Jennie berjalan mondar mandir
di balkon teras rumah tante Audrey di lantai dua. Sesekali ia melihat ke bawah
ke pinggir kolam renang tempat tante Audrey dan tante Jennie duduk dan
mengobrol.
Ya Tuhan, bagaimana mungkin keajaiban
ini bisa terjadi!
Ujar tante Jennie sambil menelepon Kiara.
“Hallo,” jawab Kiara.
“Kiara, ini kerjaan kamu kan?” tanya
tante Jennie.
“Apa tante?” tanya Kiara “tante
bicara soal apa?”
“Tentang tante Audrey dan tante Mita.
Mereka, kini, saat ini, detik ini, sedang ngobrol dipinggir kolam renang di
rumah tante Audrey. Demi Tuhan, apa yang sudah kau lakukan Kiara?”
Kiara hanya tertawa, “syukurlah kalau
mereka sudah bertemu.”
“Kiara, apa yang sudah kau lakukan?”
“Tidak penting apa yang sudah
kulakukan tante Jennie, yang penting, masalah antara tante Audrey dan tante
Mita benar benar sudah selesai dan menjadi masa lalu yang harus dilupakan.”
“Tapi kau tahu ini artinya apa?”
“Apa?”
“Kau tak punya kesempatan lagi untuk
bisa bersama Dev karena tante Audrey tidak akan mendukungmu lagi.”
Kiara diam. Entah kenapa kata kata
itu tiba tiba membuat dadanya sakit.
“Maksud tante,” ujar tante Jennie
lagi, “kesempatanmu untuk menjadi menantu tante Audrey tipis, karena tante
Audrey sudah memberikan restunya pada Mona, bukan berarti tante Audrey tidak
menyukaimu.”
“Iya tante, aku mengerti, tidak
masalah kok buatku.”
“Yakin tidak masalah? Sayang sekali,
padahal aku ingin kau yang menjadi menantu tante Audrey.”
~ ~ ~
POV Devano
Aku menyenderkan kepalaku ke kursi
mobil dan memutuskan untuk tidur di mobil walau sebentar. Di pesawat tadi aku
tak bisa tidur. Entah kenapa.
Pak Ridwan, supir Mama, yang menjemputku
saat aku tiba di Bandara Soeta tadi.
Aku sengaja menelepon Pak Ridwan dan
meminta Pak Ridwan menjemputku karena aku sedang tidak ingin sendirian di
apartemenku. Aku ingin ke rumah orangtuaku untuk bertemu keluargaku.
Sejak tahu kalau Kiara akan
menghabiskan waktu di Bali bersama Mas Andra, hatiku tiba tiba terasa hampa.
Aku ingin Kiara bersamaku, bukan
bersama dengan Mas Andra atau siapapun. Tapi keinginanku hanya tinggal
keinginan. Menghabiskan waktu bersama Kiara saat ini adalah hal yang tak
mungkin terjadi.
Setelah mencoba untuk tidur lagi,
akhirnya aku bisa tidur dengan pulas. Aku bahkan tetap tertidur sampai mobil
tiba di rumah.
Pak Ridwan lalu membangunkan aku. Aku
akhirnya keluar dari mobil sambil mengucapkan terima kasih pada Pak Ridwan.
Aku lalu berjalan melalui pintu kecil
di samping garasi yang berhubungan langsung ke taman dan kolam renang.
Dan aku tertegun. Tante Mita ada di
sini! Di rumah orangtuaku! Ia sedang ngobrol dengan Mama!
Mama ternyata benar benar sudah
berubah. Mama tidak memusuhi tante Mita lagi. Aku merasa sangat lega dan
langsung tersenyum senang memperhatikan mereka.
“Itu Dev sudah pulang!” seru Mama
saat melihatku.
Aku melambaikan tangan pada Mama.
“Jangan tanya oleh oleh Ma, aku tidak beli apapun.” Ujarku.
“Kau pulang dengan selamat saja, Mama
sudah senang.” Mama menghampiriku. “Ada tante Mita di sini.” Ujar Mama lagi.
“Ya, Ma, aku senang tante Mita bisa
berkunjung ke sini. Apa kabar tante?” Sapaku pada tante Mita.
“Kabar baik.” Tante Mita tersenyum,
“Mona langsung ke Lombok ya? Tadi Mona meneleponku.”
“Iya, Mona bilang minggu depan
syutingnya baru selesai.”
“Kapan kapan kita makan malam bersama
di suatu restoran yang pemandangannya indah dan udaranya segar,” ujar Mama
lagi, “kau, Mona, Mama dan tante Mita, bagaimana menurutmu Dev?”
“Ok, tidak masalah.” Jawabku.
“Aku tidak diajak?” protes tante
Jennie.
“Ya, ampun, lupa.” Mama tertawa, “ya,
tentu, kaupun boleh ikut.”
“Bersama Kiara ya?” tanya tante
Jennie ke Mama.
“Bersama Kiara?” Mama balik bertanya
pada tante Jennie.
“Bercanda, Drey.” tante Jennie
kemudian tertawa. “Kiaranya juga belum tentu mau. Kamu juga Dev, kenapa wajahmu
jadi kaget begitu?”
Ini tante Jennie maksudnya apa sih, ujarku dalam hati. Siapa juga yang
kaget…
“Memang aku kelihatan kaget?” tanyaku
pada tante Jennie.
“Iya.”
“Itu mungkin cuma perasaan tante
Jennie saja.” Ujarku, “Ya sudah, aku ke kamar dulu ya Ma.” Ujarku pada Mama.
“Ya, selamat berisirahat Dev.”
“Ok. Sampai bertemu lagi tante Mita,
tante Jennie.”
“Iya, Dev, sampai bertemu lagi.” Ujar
tante Mita.
Aku berlalu dari hadapan mereka dan
naik ke lantai atas, ke kamarku.
Di kamar aku langsung menyalakan
laptopku, lalu aku mentransfer beberapa foto di HPku ke laptopku.
Aku memperhatikan foto yang
memperlihatkan aku, Kiara dan Selly yang tersenyum menatap Camera.
Maafkan aku Selly, kau cantik, tapi
harus kugunting. Aku
lalu mengcropping foto itu hingga aku berdua Kiara.
This is perfect. Ujarku dalam hati. Aku lalu men-setting-
foto itu menjadi desktop background laptop
di kamarku.
Paling tidak, kalau aku rindu Kiara,
aku bisa melihat senyumnya di laptopku. Ujarku lagi, dalam hati.
~ ~ ~
POV Kiara
Aku tak bisa tidur. Seharusnya malam
ini aku bisa tidur nyenyak mengingat seharian tadi aku capek berbelanja di pasar
Sukawati lalu dilanjutkan makan malam di Jimbaran. Tapi mata ini tetap tak bisa
terpejam.
Aku tiba tiba gelisah. Entah kenapa.
Aku tiba tiba tidak ingin berada di sini. Walau aku menyukai Bali, tapi bagiku,
Bali tidak sempurna tanpa… Dev.
Ingat Dev, aku lalu membuka HPku lagi
dan memperhatikan foto foto di foto pernikahan Selly tadi. Foto foto itu akan
menjadi foto favoritku sepanjang masa.
Terima kasih Tuhan, karena tadi sudah
membiarkan Dev berlari ke arahku dan Selly untuk berfoto bersama kami, karena
kalau tidak, aku mungkin tidak punya kenangan seindah ini.…
Aku akhirnya menguap, lalu
memperhatikan Wina dan Tia yang sudah tertidur pulas.
Tia tadi berbelanja banyak sekali.
Selain berbelanja untuk keperluan dirinya, ia juga berbelanja sesuai pesanan
dari sahabat sahabatnya.
Sahabat sahabatnya menuduh Tia
pengkhianat karena pergi ke Bali tanpa mereka. Tia akhirnya berjanji akan
membawakan oleh oleh untuk mereka agar mereka tidak marah lagi padanya.
Selain membeli oleh oleh untuk
sahabat sahabatnya, sesuai janji Tia pada siti, ia juga membelikan Siti dan
karyawan Mas Bima yang lain oleh oleh berupa baju.
Wina berbelanja untuk dirinya dan
Adelia, adiknya. Mereka membeli kaos panjang dengan motif yang sama.
Aku hanya membeli tas kerja yang
terbuat dari anyaman pandan. Aku selalu suka tas etnik seperti itu.
Di Jimbaran, saat makan seafood, kami
disuguhi tari Bali oleh dua penari bali yang cantik.
Cuaca sedang cerah dan tidak hujan,
jadi kami bisa menikmati makan malam kami dengan santai.
Sampai di hotel kami langsung packing
karena besok pagi, jam tujuh pagi, sudah harus check
out dari hotel untuk pergi ke pantai Karma Kandara.
Aku menguap sekali lagi. Aku lalu
menarik selimutku dan mulai tertidur.
~ ~ ~
BAB DUA PULUH DUA
POV Author
Tanpa terasa, waktu berlalu begitu
cepat. Pembangunan kantor D & D Advertising sudah selesai sesuai
dengan yang Kiara harapkan.
Saat D & D Advertising dibangun,
Kiara sering berkonsultasi dengan Mbak Kayla, design interior yang
menjadi partner kerja GC Cosmetics. Dev yang memperkenalkan Mbak
Kayla pada Kiara.
Dan berkat jasa Mbak Kayla itu pula
kantor D & D Advertising jadi terlihat cantik dan colourful seperti
sekarang.
Ruang kerja di D & D
Advertising terdiri dari delapan ruang kerja yang letaknya berhadap
hadapan. Empat ruang kerja di sisi sebelah Utara dan empat ruang kerja di sisi
sebelah Selatan.
Diantara ruang kerja itu diletakkan
meja lonjong yang cukup besar dengan delapan tempat duduk yang nyaman. Tempat
itu adalah ruang meeting karyawan D & D Advertising.
Proyektor, layar proyektor, dan whiteboard
beserta alat tulisnya turut diletakkan di ruang meeting untuk keperluan meeting.
Beberapa pot bunga yang ditanami
bunga hias nampak ditempatkan di pojok ruangan.
Pantry dibangun di sisi sebelah Barat, tidak
jauh dari pantry ada balkon yang cukup luas dengan satu set meja dan
kursi untuk bersantai.
Tanaman hias nampak digantung di
beberapa tempat di balkon tersebut.
Toilet ada di sisi sebelah Timur.
Toilet ada dua, dipisahkan untuk pria dan wanita.
Di samping pintu masuk utama
disediakan front desk lengkap dengan kursi dan lemari arsip.
Telepon diletakkan di front desk
tersebut. Dan telepon itu sifatnya pararel, bisa disambungkan ke masing masing
ruang kerja.
Sementara resepsionis belum direkrut,
karyawan D & D Advertising yang sedang berada di kantor diwajibkan
untuk menjawab telepon kalau ada panggilan telepon atau menerima tamu kalau ada
tamu yang datang.
Kiara menempati ruang kerja yang
lebih besar dari yang lainnya, karena diruang kerja kiara disediakan satu set
sofa untuk menerima tamu.
Tadinya Dev menyarankan untuk
disediakan ruang tamu tersendiri untuk menerima tamu, tapi Kiara menolaknya.
Menurut Kiara biar lebih praktis, ruang tamu itu ada di ruang kerjanya saja.
Sehingga D & D Advertising terlihat luas dan tidak sumpek karena
terlalu banyak ruangan.
Ruang kerja Kiara berada di sisi
Utara. Di sebelah ruang kerja Kiara adalah ruang kerja Wina, lalu ruang kerja
Mia, - dia menempati posisi vizualizer, dan disamping ruang kerja Mia adalah ruang
kerja Sutradara.
Posisi Sutradara masih kosong, Kiara
belum mencari atau merekrut karyawan untuk posisi Sutradara sehingga ruang
kerja tersebut masih kosong, tak berpenghuni.
Di sisi sebelah selatan ada ruang kerja
Farrell - ia bertugas di bidang media - lalu ruang kerja Vian - ia seorang cameraman
yang juga teman Kiara dan Wina saat
mereka bekerja di Bright Advertising dulu.
Di samping ruang kerja Vian adalah
ruang kerja Iwan yang merupakan asisten cameraman merangkap sebagai
asisten sutradara. Iwan juga teman Kiara dan Wina saat di Bright Advertising
dulu.
Tapi pekerjaan Iwan sifatnya hanya
sementara waktu, menurut Kiara, kalau perusahaan D & D Advertising sudah
besar dan maju, tugas Iwan hanya akan menjadi asisten Sutradara, karena Iwan
punya basic pendidikan sutradara saat kuliah di Institute Kesenian
Jakarta dulu. Untuk posisi asisten cameraman rencananya Kiara nanti akan
membuka lowongan pekerjaan lagi.
Disamping ruang kerja Iwan, nantinya
akan digunakan sebagai ruang kerja riset pemasaran. Tapi sementara karyawan
untuk riset pemasaran belum direkrut, maka ruang kerja itu dibiarkan kosong.
Kiara membebaskan teman teman
kerjanya untuk mendekorasi ruang kerja mereka sesuai dengan yang mereka
inginkan, sesuai dengan karakteristik mereka masing masing.
Wina mencat ruang kerjanya dengan
perpaduan warna pink dan biru. Lampu yang ia pasang diruang kerjanya adalah
lampu gantung yang unik dan cantik yang terbuat dari anyaman bambu.
Di sisi kiri meja kerja Wina dipasang
rak panjang yang berisi foto dirinya, keluarganya dan teman temannya.
Semua foto memakai frame yang lucu.
Foto Kiara berdua Wina juga ada disana.
Farrell lebih suka ruang kerjanya
memakai konsep black and white, semuanya serba black and white,
dari mulai lemari arsip, lampu, kursi, bahkan mug ia juga perpaduan
warna hitam dan putih.
Farrell suka barang antik. Ia punya
jam dinding antik yang berwarna hitam, lalu mesin ketik antik, juga berwarna
hitam. Mesin ketik itu hanya sebagai pajangan saja dan sudah tidak bisa
digunakan.
Farrell berbelanja barang antik
tersebut di jalan Surabaya, Jakarta.
Konsep ruang kerja Mia adalah penuh
dengan bunga. Mia sangat feminin dan sangat menyukai bunga. Sebagian dinding
ruang kerja Mia, Mia tempeli wallpaper yang bermotif bunga.
Beberapa gambar kartun hasil karyanya
turut mewarnai kesemarakan ruang kerja Mia.
Mia membingkai kartun kartun hasil
ciptaannya dan menggantungnya di dinding.
Sementara itu, sang cameraman, Vian,
suka tokoh superhero dan beberapa tokoh komik Jepang. Begitu masuk ruang
kerja Vian, kau akan disambut oleh tatapan Naruto yang sedang menatapmu dengan
sinis. Lukisan Naruto yang besar itu ada di belakang kursi kerja Vian,
berhadapan dengan pintu. Jadi siapapun yang masuk ke ruang kerja Vian, yang ia
lihat pertama kali adalah tatapan sinis Naruto itu tadi.
Vian tadinya ingin meminta bantuan
temannya yang kartunis untuk menggambar Naruto di salah satu dinding ruang
kerjanya. Tapi ternyata Mia dengan senang hati membantunya.
Mia-lah yang menggambar Naruto untuk
Vian.
Beberapa tokoh superhero dalam
bentuk miniatur Vian tata dengan rapi di lemari kaca yang khusus ia pesan.
Berbeda dengan Vian, Iwan lebih suka
menghias dinding ruang kerjanya dengan tulisan tulisan yang memotivasi.
Ada motivasi yang serius, ada yang
lucu.
Iwan menggunting tulisan motivasi itu
dari majalah, lalu tulisan itu ia laminating agar tidak mudah robek,
lalu ia tempel di dinding ruang kerjanya yang berwarna putih.
Beberapa contoh tulisan di dinding
ruang kerja Iwan yang Iwan tempel :
“Menabung di dunia dengan memakai
uang saja kamu bisa, kenapa menabung di akhirat yang gratis kamu tidak bisa?”
“waktu itu adalah uang, jadi jika
kamu mengajak teman kamu jalan jalan dan dia bilang dia tidak punya waktu, itu
artinya dia tidak punya uang”
“Jangan takut jelek selama masih ada
potoshop”
“Orang keren itu, biar libur tetap
bangun pagi!”
Sementara teman temannya oleh Kiara
diperbolehkan untuk berkreasi menata ruang kerjanya, Kiara sendiri tidak menata
ruang kerjanya sesuai gaya atau karakteristik dirinya.
Kiara suka warna pink muda, merah dan
magenta. Tapi ia memilih mencat ruang kerjanya dengan warna krem.
Kiara hanya ingin ruang kerjanya
terlihat bersih karena kelak tamu tamu yang datang ke D & D Advertising akan
diterima di ruang kerja Kiara.
Satu satunya yang menggambarkan
pribadi Kiara adalah ia meletakkan sebuah rak, tidak jauh dari sofa tamu dan di
rak itu ia meletakkan beberapa pohon kaktus yang tumbuh di pot pot kecil. Kiara
juga menyiapkan semprotan tanaman untuk menyiram kaktus kaktus mungil miliknya.
Kiara menyukai tumbuhan, jadi kaktus
kaktus kecil itu mencerminkan pribadi Kiara di ruang kerjanya.
Selama masa persiapan kantor itu,
tante Audrey sering berkunjung untuk memastikan semuanya oke dan sesuai dengan
permintaan para karyawannya.
Tapi sejak D & D Advertising mulai
beroperasi, Tante Audrey mulai jarang datang. Kiara lebih sering berkonsultasi
melalui telepon dengan tante Audrey jika ada yang ingin ditanyakan.
Untuk memperlancar kegiatan D
& D Advertising, tante Audrey turut menyediakan satu buah mobil
operasional jenis SUV. Mobil itu bisa digunakan semua karyawan D & D
Advertising secara bergantian sesuai keperluan mereka.
Proyek pertama yang diberikan GC
Cosmetics pada D & D Advertising adalah membuat iklan shampo.
Shampo GC Cosmetics yang
paling digemari oleh para pelanggan menurut survey yang sudah dilakukan tim
pemasaran GC Cosmetics adalah shampo yang terbuat dari kemiri.
Iklan shampo kemiri itu dibuat kurang
lebih delapan tahun yang lalu.
Dev ingin iklan yang baru untuk
shampo tersebut. Dev ingin iklan yang lebih segar dan kekinian. Dan Dev
meminta Kiara dan timnya untuk memproduksi iklan shampo tersebut dengan versi
baru.
Kiara langsung meminta teman temannya
di tim kreatif membuat konsep iklan. Ia sendiri mulai sibuk memikirkan siapa
kira kira sutradara yang akan ia ajak bergabung dengan timnya.
~ ~ ~
POV Kiara
Aku mengetuk pintu rumah Mas Henry,
Sutradara yang ingin aku ajak bergabung dengan D & D Advertising.
Aku benar benar menyukai hasil karya
Mas Henry. Kalau Mas Henry tidak mau menjadi karyawan tetap di D & D
Advertising, aku akan meminta bantuannya per proyek saja. Dan Mas Henry
bisa bekerja secara freelance.
Isteri Mas Henry, Mbak Silvi,
membukakan pintu dan mempersilahkan aku duduk. Aku pernah bertemu dengan Mbak
Silvi dulu, tapi sepertinya Mbak Silvi lupa padaku.
“Mas Henry ada Mbak?” tanyaku.
“Ada, ini untuk keperluan apa ya?”
“Soal pekerjaan.”
“Pekerjaan apa?”
“Menyutradarai pembuatan iklan.”
“Oh, kalau menjadi Sutradara, Mas
Henry sudah tidak melakukannya.”
“Kok Bisa?” seruku kaget.
“Ceritanya panjang,” Mbak Silvi
nampak menghela nafas. “Begini saja, kau tinggalkan saja kartu namamu, biar
nanti aku ngobrol dengan suamiku, lalu aku menghubungimu lagi.”
“Tidak bisakah aku bertemu sekarang?”
tanyaku lagi, penuh harap.
“Sepertinya tidak, ngomong ngomong
kau kenal Mas Henry dimana?”
“Aku dulu pernah magang di production
house tempat Mas Henry bekerja dan menjadi asistennya, tapi tidak lama sih
hanya tiga bulan.”
“Namamu siapa?”
“Kiara.”
“Begini Kiara, Mas Henry dulu berbeda
dengan Mas Henry sekarang. Sudah tidak sama lagi. Ada suatu kejadian yang
menimpanya yang membuatnya berubah.”
“Kejadian apa?” tanyaku heran.
“Kecelakaan motor. Saat kecelakaan
itu terjadi, hujan sangat deras, jalanan licin, lalu ada dua anak sekolah yang
menyebrang secara tiba tiba sambil berlari membuat Mas Henry kaget. Ia langsung
menghindari mereka dengan berbelok ke arah kanan jalan, tapi karena kecepatan
motor tinggi dan jalanan licin ia menabrak pembatas jalan.”
“Ya Tuhan.” Desisku kaget, “Mas Henry
baik baik saja kan?”
“Untuk kepalanya, Mas Henry tidak
mengalami benturan yang berarti, tapi kaki kanannya terluka parah dan…” Mbak
Silvi tiba tiba menangis.
“Dan apa Mbak?” tanyaku lagi.
“Dan harus diamputasi.”
“Oh My God!” aku langsung
menangis, “itu tidak mungkin.”
“Mas Henry kemana mana harus
menggunakan kursi roda sekarang. Sejak itulah dia berhenti dari pekerjaannya
dan mengurung diri di kamar.”
“Maafkan aku Mbak, aku tidak tahu
tentang hal ini.”
“Tidak apa apa.”
“Mas Henry sama sekali tidak bekerja
lagi sejak saat itu?”
“Sebagai sutradara tidak. Ia akhirnya
bekerja sebagai seorang penjahit. Ia belajar menjahit dan menerima jahitan di
rumah. Aku membantunya. Jika ada yang ingin menjahit baju, aku yang mengukur
badan mereka, lalu Mas Henry yang membuat pola dan memotong kain dan menjahit
kain itu. Kami hidup dari sana.”
“Apakah tidak ada tawaran pekerjaan
padanya secara freelance? Hasil pekerjaan Mas Henry bagus, ada beberapa
video musik penyanyi terkenal kita yang merupakan hasil karya Mas Henry dan
hasilnya keren.”
“Itu masa lalu. Sejak kecelakaan itu,
tidak ada tawaran pekerjaan apapun lagi padanya. Semua orang sepertinya lupa
padanya. Hal itu yang membuat ia tertekan dan sering mengurung diri. Apalagi
kan tidak setiap hari orang menjahit baju. Kalau lagi ramai yang menjahit ya
ramai, kalau lagi sepi ya sepi. Tidak pasti.”
“Kalau aku tawari pekerjaan
menyutradarai iklan seperti yang aku sebutkan tadi, kira kira mau tidak?
Maksudku, secara per proyek saja. Nanti honornya aku sesuaikan dengan pengalaman kerja Mas Henry.”
Mbak Silvi tersenyum menatapku, “kau
baik sekali. Kau tidak keberatan dengan kondisi tubuhnya?”
“Tidak Mbak. Bakat dan keahlian Mas
Henry kan tidak ada hubungannya dengan kondisi fisiknya. Mas Henry orang yang
ahli di bidangnya. Sayang kalau keahliannya disia siakan.”
“Tapi kan pekerjaan sutradara itu
cukup melelahkan, aku khawatir dengan kondisi tubuh yang seperti sekarang, Mas
Henry tidak bisa menjalankan pekerjaannya dengan baik.” Ujar Mbak Silvi.
“Nanti ada asisten yang membantunya
kok Mbak. Mbak jangan khawatir.”
“Ya sudah kalau kau tidak keberatan,
nanti aku tanya Mas Henry, lalu nanti aku menghubungi dirimu apa keputusan Mas
Henry.”
“Baiklah, aku tunggu kabarnya ya
Mbak.” Ujarku.
“Iya.”
~ ~ ~
POV Devano
Malam ini aku makan sendirian di
rumah orangtuaku. Papa pulang larut malam, Dinda sedang tidak pulang dan Mama
pergi dengan tante Jennie.
Tadinya Mama mau makan bersamaku,
tapi tiba tiba tante Jennie datang dan mengajak mama makan malam diluar.
Sekalian belanja kata tante Jennie, entah belanja apa.
Jadilah aku makan sendiri.
Perasaannggak ada bedanya dengan di
apartemen. Keluhku
dalam hati. Sama sama makan sendiri. Padahal aku ke sini ingin bertemu
dengan keluargaku.
Baru saja aku mau memulai makan
malamku, Bi Surti tiba tiba datang menghampiriku dan bilang kalau pacarku
datang dan sedang menunggu di ruang tamu.
Aku bengong. Mona sedang ke Paris, ia
baru pergi tiga hari yang lalu dan baru kembali empat hari lagi. Mona sedang
mencari sekolah modelling disana. Ia ingin kursus modelling untuk menunjang
profesinya.
“Mas Devano kok bengong, kasihan
pacarnya nunggu.” Ujar Bi Surti lagi.
“Bi, apa Bibi tidak salah lihat? Apa
Bibi sudah ngantuk? Pacarku sedang di Paris.” Ujarku pada Bi Surti.
Bi Surti sudah kenal dengan Mona.
Mona dan Tante Mita pernah datang ke rumah. Dan Mama memperkenalkan Mona pada
semua orang di rumah ini bahwa Mona adalah pacarku.
“Kalau tidak mau bertemu ya sudah,”
ujar Bi Surti, “biar bibi bilang ke dia.”
“Tunggu Bi, aku ikut.” Aku akhirnya
mengikuti Bi Surti ke ruang tamu untuk mengetahui siapa yang dimaksud Bi Surti.
Dan aku langsung tersenyum lebar saat
melihat Kiara.
Andai Kiara benar pacarku, aku akan menjadi
orang paling bahagia di dunia. Tapi itu hanya angan angan, karena kalau aku
nekat menjadikan Kiara pacarku, Mas Andra akan langsung menghajarku.
“Selamat malam,” ujar Kiara saat
melihatku.
Selamat malam sayang, ujarku dalam hati.
“Selamat malam.” Jawabku.
“Aku mau bertemu tante Audrey tapi
kata Bi Surti tante Audrey pergi.”
“Iya. Mama baru pergi. Kamu tidak
meneleponnya terlebih dulu?”
“Tidak, aku pikir tante Audrey ada
dirumah, jadi pulang kerja tadi aku mampir ke sini.”
“Oh begitu,” aku lalu duduk di
hadapan Kiara, “kamu mau membicarakan masalah pekerjaan dengan Mama?”
“Ya.” Jawab Kiara.
“Sifatnya rahasia? Boleh aku tahu?”
tanyaku lagi.
“Ehm,” Kiara nampak berpikir
sebentar, “gimana ya, rahasia sih tidak, tapi aku ingin tahu pendapat
tante Audrey tentang sesuatu.”
“Dan sesuatu itu apa?”
Kiara diam.
Aku lalu memperhatikan Bi Surti yang
masih berdiri tidak jauh dariku dan memperhatikan aku dan Kiara ngobrol. “Bi
Surti, kenapa masih disini?” tanyaku.
“Oh, aku mau bertanya pada Mbak Kiara
mau minum apa.” ujar Bi surti.
“Tidak usah repot Bi Surti,” sahut
Kiara, “aku tidak lama kok, aku mau langsung pulang.”
“Tidak repot kok Mbak Kiara,
sebentar, Bibi bikinkan jus strawberry ya. Pokoknya jangan pulang dulu sebelum
jus strawberrynya diminum.” Bi Surti langsung pergi meninggalkan kami.
“Taruh jusnya di meja makan Bi.”
Teriakku.
“Iya Mas Devano.” Jawab Bi Surti.
Aku lalu tersenyum menatap Kiara,
“Ayo Kiara, kita makan malam.”
Kiara tampak terkejut, “tidak, terima
kasih, aku sudah makan tadi.”
“Kalau begitu makan lagi.”
“Tapi aku mau langsung pulang.”
“Jusnya lagi dibikin, kasihan Bi
Surti kalau kau tidak mau minum jus bikinannya.”
“Tapi…”
“Ayo Kiara.”
“Oke, baiklah.”
~ ~ ~
POV Kiara.
Aku ke sini mau ngobrol dengan tante
Audrey, kenapa jadi makan malam berdua Dev. Ujarku dalam hati.
Well, tentu saja aku senang bisa
makan malam berdua Dev seperti ini. Ini diluar dugaanku.
Tapi aku kan harus menjaga jarak
dengannya. Dev bukan pacarku. Walau aku ingin sekali Dev jadi pacarku, tapi itu
tak mungkin. Itu hanya khayalan, hanya impian kosong belaka.
Tiba tiba aku ingat kata kata Dev
dulu waktu Dev datang ke cafe Mas Bima untuk pertama kalinya. “Aku sudah punya
pacar” ujar Dev saat itu dengan tegas.
Aku kan jadi jiper.
Aku akhirnya menghalau semua pikiran
tentang Dev dan minum jus strawberryku lagi. Bi Surti benar benar deh, ujarku
dalam hati, bikinin aku jus strawberry banyak banget, ditaruh digelas yang
sangat besar. Ini maksud Bi Surti apa sih, biar jus strawberrynya nggak habis
habis gitu?
Aku lalu menyenderkan tubuhku pada
sofa yang empuk. Aku sedang duduk di ruang keluarga rumah tante Audrey yang
nyaman, menunggu Dev yang sedang membuat kopi untuk dirinya. Dev tadi
menawariku untuk dibuatkan kopi juga, tapi aku tidak mau.
Selama makan tadi, Dev tidak
memperbolehkan aku ngobrol, ngobrolnya nanti katanya, setelah makan. Jadi, aku
yang selesai makan lebih dulu dari Dev hanya memperhatikan Dev makan.
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan dengan
Mama?” Dev kini berjalan ke arahku dan duduk dihadapanku dan tersenyum padaku,
membuat dadaku berdebar tak karuan melihat senyum manis Dev. Tangan Dev
memegang secangkir kopi yang baru ia buat.
“Ehm, aku sudah menawari seorang
sutradara untuk bekerja di D & D Advertising, dan aku ingin tahu
pendapat Tante Audrey tentang orang ini.”
“Aku rasa Mama tidak akan keberatan,”
komentar Dev, “Mama kan sudah memberi kepercayaan padamu untuk mengelola
semuanya termasuk perekrutan karyawan. Jadi siapapun orangnya yang akan
menempati posisi sutradara, kalau menurutmu baik, aku rasa Mama setuju.”
“Permasalahannya dia disabled
people. Ia mengalami kecelakaan motor dan salah satu kakinya harus
diamputasi dan kemana mana sekarang ia menggunakan kursi roda.”
Dev nampak terdiam.
“Aku khawatir tante Audrey keberatan
dengan hal ini.” Lanjutku.
“Ki, yang bekerja itu kan kamu, bukan
Mama, jadi kamu yang tahu apa yang harus kamu lakukan, apa yang membuatmu
nyaman atau bersemangat dalam bekerja, aku rasa no problem, seperti aku
bilang tadi Mama tidak akan keberatan. Mama kan orangnya asik.”
“Menurutmu begitu?”
“Ya.”
“Kalau begitu, aku merasa lega
sekarang.”
“Kamu jangan khawatir tentang apapun,
oke?” Dev kembali tersenyum, “Sutradara ini pasti punya keistimewaan tersendiri
untukmu sehingga kau memilihnya.” Lanjut Dev.
“Iya, pekerjaannya bagus, aku
menyukainya.”
Lalu kami terdiam.
“Dev, aku pulang sekarang ya,” ujarku
lagi, “terima kasih untuk semuanya.”
“Kamu kesini naik apa?”
“Taksi.”
“Kenapa mobil perusahaan tidak kamu
gunakan? Kamu boleh membawanya pulang Kiara.”
“Tante Audrey juga bilang begitu
padaku. Tapi aku yang malas mengemudi pagi pagi karena macet. Aku lebih suka
naik ojek kalau berangkat kerja.”
“Ya sudah, aku antar kamu pulang.”
“Tidak usah Dev!” seruku kaget, “aku
tidak mau merepotkan.”
“Aku merasa tidak direpotkan, Kiara.
Aku ganti baju dulu ya.”
~ ~ ~
POV Kiara
Berkali kali aku mencubit tanganku
untuk menyakinkan bahwa ini bukan mimpi, dan tanganku sakit setelah kucubit.
Jadi, ini benar benar bukan mimpi.
Dev sekarang ada disampingku, sedang
mengemudikan mobilnya untuk mengantar aku pulang.
Oh my God, ini sebuah keajaiban. Bisa
dekat dengan Dev seperti ini adalah sebuah keajaiban.
“Mas Andra apa kabar?” ujar Dev
mengagetkan.
“Mas Andra?” Aku heran dengan
pertanyaan Dev, “baik, Mas Andra baik baik saja.” Jawabku.
“Kamu sering bertemu dengannya?”
“Ya. Cukup sering. Mas Andra sering
menghabiskan waktu di cafe Mas Bima pada malam hari. Ia melakukan pekerjaannya
disana. Dan aku bertemu dengannya setelah pulang kerja.”
“Pekerjaan Mas Andra apa?”
“Programmer. Mas Andra bekerja
membuat game dan ia menjualnya pada beberapa aplikasi di luar negeri
secara lepas. Ia bekerja freelance.”
“Oh,” ujar Dev, “kau tidak hunting
foto dengannya lagi?”
“Belum. Terakhir sih waktu di Bali
dulu, waktu Selly menikah. Mas Andra sebenarnya sudah mengajakku untuk
menemaninya hunting foto ke Thailand dan…”
“Thailand?” tanya Dev kaget. “Jauh
amat.”
Aku tertawa. “Iya, jauh.”
“Jadi, kamu akan pergi ke Thailand
bersama Mas Andra?”
“Iya, tapi aku ingin menyelesaikan
proyek iklan shampo ini dulu, baru setelah itu pergi ke Thailand untuk refreshing.”
Dev tiba tiba diam, dan tidak
bertanya apa apa lagi tentang Mas Andra. Ia lalu bertanya tentang karekteristik
teman teman kerjaku.
Aku dengan semangat menceritakan
kebiasaan kebiasaan mereka.
Kami mengobrol hingga akhirnya tiba
di cafe Mas Bima.
“Langsung tidur Ki, jangan hang
out dulu di cafe, kau perlu banyak beristirahat.” Ujar Dev saat aku mau
turun dari mobilnya.
Aku tersenyum menatap Dev, “Ok.”
Sahutku. “Terima kasih Dev karena sudah mengantarku.”
“Sama sama.”
Aku lalu turun dari mobil Dev dan
kembali tersenyum padanya, “sampai bertemu besok.” Ujarku sambil menutup pintu
mobil.
~ ~ ~
POV Kiara
Hari Senin ini aku cukup sibuk, aku
baru menerima tamu yang mempunyai bisnis penyewaan barang. Barangnya bermacam
macam, yang jelas bisa disewa untuk keperluan syuting.
Ibu Siska, tamu tersebut mendengar
kabar tentang D & D Advertising dari Mia. Ia bilang Mia tetangganya.
Aku lalu bilang pada ibu Siska kalau aku akan menghubunginya lagi kalau aku
perlu sesuatu.
Tidak lama setelah ibu Siska pulang,
Wina datang ke ruanganku untuk minta pendapat tentang naskah iklan yang sudah
dibuatnya, aku membacanya dan membuat beberapa perubahan lalu meminta Wina
mengetik ulang naskah tersebut berdasarkan editan yang sudah aku bikin, dan
meminta Mia untuk membuat sketsa dasarnya setelah Wina selesai dengan
ketikannya.
Tidak lama kemudian, ada telepon
masuk ke ruang kerjaku, aku lalu mengangkatnya, menurut Iwan, yang saat ini
bertugas di front desk, Mbak Silvi ingin bicara denganku di line 1.
Aku langsung menyapa Mbak Silvi.
“Selamat siang Mbak Silvi.” Sapaku
langsung.
“Selamat siang Kiara.” Ujar Mbak
Silvi, “maaf baru menelepon sekarang.”
“Tidak apa apa.”
“Aku sudah bicara dengan suamiku dan
dia bilang dia tidak mau bekerja di tempatmu.”
Aku langsung mengeluh kecewa,
“kenapa?” tanyaku.
“Menurut suamiku, ia takut
mengecewakan dirimu, ia takut hasil pekerjaannya tidak sesuai dengan apa yang
kau harapkan mengingat semua keterbatasannya.”
“Kenapa harus merasa takut kalau
belum mencoba Mbak.”
“Aku tidak mengerti,” ujar Mbak
Silvi, “itu saja yang disampaikan suamiku padaku, aku mohon maaf.”
“Ehm, boleh aku bertemu Mas Henry dan
bicara dengannya?”
“Silahkan.”
“Ya, sudah, aku ke rumah Mbak
sekarang, oke?”
“Baik, saya tunggu.”
Aku segera mengambil tas dan HPku,
lalu mengambil kunci mobil perusahaan dan berteriak pada Wina kalau aku akan
pergi sebentar.
“Iwan, kau ikut denganku,” ujarku
saat melihat Iwan di front desk.
“Kemana Mbak?”
“Pokoknya ikut,” kataku lagi, “ini,
mobil kamu yang bawa.” Ujarku sambil memberikan kunci mobil pada Iwan.
“Oke.” Iwan langsung mengikuti
langkahku.
~ ~ ~
POV Kiara
Ini pertama kalinya aku bertemu Mas
Henry lagi setelah beberapa tahun berlalu.
Aku tak dapat menahan tangisku
melihat keadaannya. Mas Henry ikut menangis melihat aku menangis.
“Ya beginilah aku sekarang,” ujar Mas
Henry, “mungkin Tuhan sedang menegurku dengan caraNYA.”
Aku segera mencari tisue dan me-lap
mataku yang basah dengan tisue.
“dulu aku mungkin arogan, sering
memandang rendah orang, suka berkata kasar, pemarah, tidak sabaran, aku pernah
marah padamu kan Kiara?”
“Aku lupa.” Aku tertawa, “itu sudah
lama sekali, jaman aku kuliah.”
“Tapi aku ingat, aku pernah
memarahimu karena hal sepele. Dan begini aku sekarang, tak berdaya.”
“Jangan berkata seperti itu Mas.
Jangan patah semangat. Mas harus bangkit lagi, jangan jadikan keadaan Mas
sebagai penghalang untuk meraih sesuatu yang layak Mas dapatkan. Beri
kesempatan pada diri Mas Henry bahwa Mas Henry mampu memulai semuanya lagi dari
awal.”
“Kamu yakin Ki dengan hal ini? Dengan
tawaranmu?” tanya Mas Henry, “aku takut kamu kecewa.”
“Aku akan bilang aku kecewa atau
tidak setelah melihat hasil pekerjaan Mas Henry, tidak sekarang. Jadi Mas Henry
buktikan dulu padaku. Bagaimana?”
“Tapi aku akan memperlambat pekerjaan
kalian.”
“Ada Iwan yang akan membantu
pekerjaan Mas Henry, iya kan Wan?” tanyaku pada Iwan.
“I..iya, siap, aku siap membantu
kapanpun dimanapun.” Jawab Iwan.
“Lihat kan, Iwan siap membantu. Besok
aku dan Iwan akan datang lagi menjemput Mas Henry untuk datang ke D & D
Advertising. Nanti disana Mas Henry aku perkenalkan pada tim kerja kita
yang lain. Mas Henry juga punya ruang kerja sendiri.”
“Baiklah, akan aku coba. Terima kasih
Kiara untuk kesempatan ini.”
~ ~ ~
BAB DUA PULUH TIGA
POV Author
Iklan Shampo kemiri GC Cosmetics yang
ditangani D & D Advertising berakhir dengan sukses. Iklan itu sudah
selesai diproduksi dan kini sudah wara wiri di layar televisi, internet,
Billboard, koran dan majalah.
Menurut tim pemasaran GC
Cosmetics, sejak iklan itu dimunculkan ke publik, jumlah penjualan shampo GC
Cosmetics itu terus meningkat.
Kiara tersenyum bahagia karena kerja
kerasnya dan teman temannya terbayar dengan hasil iklan yang oke.
Beberapa perusahaan tiba tiba
menghubungi D & D Advertising dan mengajak bekerjasama untuk membuat
iklan bagi produk mereka. Ada perusahaan elektronik, ada perusahaan yang
bergerak dibidang makanan dan ada yang bergerak dibidang travel.
Kiara mulai bertemu dengan para klien
dan mengadakan diskusi dan deal deal.
Mas Henry, disisi lain mulai
mendapatkan tawaran pekerjaan lagi untuk memproduksi video musik.
Kiara membebaskan Mas Henry untuk
memilih apakah akan menjadi karyawan tetap di D & D Advertising atau
karyawan freelance.
Mas Henry memilih menjadi karyawan
tetap. Tapi ia tetap akan mengerjakan proyek membuat video musik tersebut
diluar waktu kerjanya. Ia juga tetap meminta Iwan untuk membantunya di luar jam
kerja dan Iwan bersedia.
Mas Henry mengucapkan terima kasih pada
Kiara karena kalau Kiara tidak ngotot membujuknya, ia mungkin tidak punya
kesempatan untuk bekerja dibidang yang ia kuasai dan yang ia sukai.
Siang ini, sebagai rasa bersyukur
karena proyek pertama D & D Advertising bisa dikerjakan dengan
sukses, Kiara mentraktir teman temannya makan siang di food court di
lantai lima gedung GC Cosmetics. Kiara baru sempat mentraktir teman
temannya sekarang karena ia sibuk dengan pekerjaannya.
Ia membebaskan teman temannya ingin
makan siang apa dan langsung membayar pesanan teman temannya. Devpun tidak
ketinggalan, ikut ditraktir juga oleh Kiara.
Dev sekarang sedang duduk dihadapan
Kiara sambil makan gudeg Yogya lengkap dengan sambal goreng krecek dan opor
ayam serta opor tahu.
Sementara Kiara memilih makan nasi
dan beef terriyaki beserta tumis jamur dan perkedel jagung.
“Mama suka gudeg ini.” Ujar Dev
sambil tersenyum menatap Kiara. “Kalau kesini, Mama selalu memesan ini.”
“Nanti tante Audrey aku traktir gudeg
ini kalau lagi berkunjung ke D & D Advertising.” Ujar Kiara. “Tante
Jennie juga.” Tambah Kiara.
“Gajimu bisa habis untuk mentraktir
semua orang.” Dev tertawa.
“Tidak masalah, karena aku sangat
senang proyek pertamaku sukses.”
“Ya. Mama juga senang. Mama kagum
padamu Kiara, karena kau berhasil di proyek pertamamu.”
“Tapi aku tidak bekerja sendirian.
Aku dibantu oleh orang orang hebat.” Ujar Kiara. “Rekan kerja satu timku
semuanya luar biasa.”
“Iya, tapi insting untuk menghire
mereka-nya itu loh, tidak semua orang punya. Sementara kau mempunyai insting
itu Kiara. Kau memberikan posisi yang tepat pada orang yang tepat.”
“Aku hanya beruntung.” Kiara tertawa.
“Ngomong ngomong, aku sedang
mempersiapkan produk baru, sekarang masih dalam tahap produksi. Nanti kalau
produknya siap diluncurkan, kita diskusi lagi untuk pembuatan iklannya.”
“Tentu Dev.” Ujar Kiara, “o, ya, kau
tahu tidak akhir akhir ini aku dapat omelan dari siapa?”
“Siapa?”
“Ibu Dewi!”
“Serius?” tanya Dev kaget.
“Iya. Ibu Dewi meneleponku dan bilang
bahwa aku pengkhianat karena sudah merebut klien favoritnya.”
“Kau tidak merebut siapapun.” Dev
tertawa. “Lalu kau bilang apa?”
“Ya aku hanya minta maaf saja, aku
bilang GC Cosmetics maunya bekerja sama dengan D & D Advertising dan
bukan dengan Bright Advertising.”
“Harusnya ibu Dewi ngomelnya ke Mama
biar Mama ngomel balik.” Dev kembali tertawa. “Tidak tahu saja ibu Dewi
kalau Mama sudah ngomel seperti apa.”
“Itu hanya ekspresi kekecewaan saja,
aku bisa mengerti perasaan ibu Dewi.” Ujar Kiara lagi. “Kehilangan klien besar
pasti jadi pukulan berat tersendiri untuknya.”
“Ya, kau benar.” Dev lalu meminum air
mineral yang ada di hadapannya sebelum melanjutkan makannya lagi, “dengar
dengar ada beberapa klien yang tertarik bikin iklan di tempatmu? Itu keren!”
“Ya, sejauh ini sih sudah terjadi
kesepakatan dengan tiga klien. Aku harus mengatur jadwal pengerjaan iklan iklan
mereka karena tim kerjaku hanya satu, mungkin untuk tim kreatif kerja doubel
atau triple bisa-lah, tapi kalau tim produksi tidak bisa.”
“Aku yakin kau bisa mengaturnya
dengan baik.”
Kiara tersenyum menatap Dev, “terima
kasih karena selalu mendukung aku seperti ini Dev. Ini sangat berarti untukku.
Kau pendukung nomor satuku.”
Dev tertawa. “Sama sama. Sekarang kau
mau langsung bekerja atau masih mau disini bersama teman temanmu? Sepertinya
aku harus kembali ke kantor, ada meeting dengan divisi pemasaran
tentang produk terbaru yang akan diluncurkan.”
“Aku mau pulang saja, mau packing.”
Jawab Kiara.
“Packing?” tanya Dev heran.
“Ya, aku mau ke Thailand bersama Mas
Andra, cuma empat hari, aku bolos kerja hari Jum’at dan hari Senin. Terhitung
mulai besok, hari Jum’at, aku bolos. Tapi Wina akan menghandle segala
sesuatu di kantor saat aku pergi.”
Dev merasa perasaannya langsung
kacau. Ia tak rela Kiara pergi ke Thailand bersama Mas Andra. Ia merasa cemburu
sekali. Tapi ia tak bisa berbuat apa apa.
~ ~ ~
POV Author
Dev duduk dikursi Kiara, di ruang
kerja Kiara. Sekarang hari Jum’at, Kiara baru pergi ke Thailand hari ini, tapi
Dev sudah begitu merindukannya. Dev tak bisa memikirkan hal lain kecuali Kiara.
Dev lebih mengkhawatirkan Kiara di
Thailand daripada Mona di Paris.
Mona saat ini sedang ada di Paris
lagi setelah sebelumnya, beberapa waktu yang lalu, pergi ke paris selama tujuh
hari untuk mencari sekolah modellling yang oke menurut Mona.
Tapi berbeda dengan kepergiannya yang
dulu, sekarang Mona pergi ke Paris untuk tinggal disana selama tiga bulan
karena Mona sudah menemukan sekolah modelling yang cocok untuknya dan
bersekolah di sana.
Karena kepergian Mona selama tiga
bulan ini pula, maka hubungan Dev dan Mona dilakukan secara jarak jauh.
Sebenarnya kalau bicara soal
perasaan, Dev sudah tidak mencintai Mona lagi sejak ia jatuh cinta pada Kiara.
Tapi karena Dev merasa tidak punya harapan untuk bisa bersama Kiara, maka ia
menjalani saja hubungannya dengan Mona begitu saja tanpa ada rencana apapun
dibenaknya termasuk untuk menikah dengan Mona.
Tapi, Tante Audrey yang salah paham
dengan semuanya, yang menyangka bahwa Dev benar benar mencintai Mona sudah
mulai berbicara tentang pernikahan. Tante Audrey berharap bahwa Dev dan Mona
bisa menikah secepatnya, demikian juga dengan tante Mita, punya harapan yang
sama.
Mona sendiri, di satu sisi, belum
tertarik dengan pernikahan. Bukannya ia tak mau menikah dengan Dev, tapi ia
belum mau menikah sekarang karena obsesinya adalah menjadi model internasional
yang terkenal.
Untuk itulah kenapa Mona mengejar
cita citanya hingga ke Paris seperti sekarang.
Obsesi Mona setelah menjadi model
internasional bukan untuk menghasilkan uang banyak tapi hanya untuk menjadi
terkenal saja.
Mona sudah punya uang banyak. Ia
pewaris tunggal dari harta kekayaan kedua orangtuanya. Kakek nenek Mona dari
pihak ibu juga kaya, kakek nenek dari pihak ayahnya di Los Angeles juga kaya.
Jadi yang Mona inginkan dari karir
model internasionalnya kelak adalah, terkenal, bukan uang.
Dan Pernikahan, bagi Mona adalah
nomor dua setelah karirnya. Mona merasa masih sangat muda, masih dua puluh
tahun, jadi pernikahan belum ada dalam rencana hidupnya dalam waktu dekat ini.
Karena kondisi ini pula maka Dev
cukup santai dalam menjalani hubungannya dengan Mona.
Dev kini memperhatikan ruang kerja
Kiara sambil tersenyum senang. Ia tak menyangka bisa sedekat ini dengan Kiara.
Kantor Kiara satu lantai dengan kantornya. Ia bisa melihat Kiara setiap hari
dan mendengar suaranya setiap hari.
Dan itu sudah cukup untuk Dev.
Dev lalu bangun dari tempat duduknya
dan berjalan ke arah pohon kaktus Kiara, setidaknya ada sepuluh pohon kaktus
berjejer rapi dalam pot pot yang kecil yang disusun memanjang oleh Kiara di rak
tersebut. Dev lalu menyemprot kaktus kaktus itu dengan semprotan yang
disediakan Kiara di atas rak.
Wina yang akan masuk ke ruang kerja
Kiara untuk mengambil sesuatu langsung tersenyum saat melihat apa yang
dilakukan Dev.
Ruang kerja Kiara dengan lorong ke
ruang meeting dibatasi kaca yang besar sehingga Wina bisa melihat dengan
jelas apa yang dilakukan Dev dari luar.
Wina lalu merekam apa yang dilakukan
Dev dalam bentuk video dan mengirim videonya ke Kiara dengan caption : Jangan
khawatir, pohon kaktusmu aman, ada yang merawatnya.
Wina lalu mengetuk pintu ruang kerja
Kiara, membuat Dev yang lagi asik menyiram kaktus terkejut.
“Maaf Pak Devano, saya mau mengambil
sesuatu di meja Kiara.” Ujar Wina.
“Ya, Wina, silahkan.”
Wina lalu mencari arsip yang
dicarinya di meja Kiara lalu kembali berjalan ke arah pintu.
“Pak Devano, Kiara baru menyiram
kaktus kaktus itu sebelum pergi.” ujar Wina pada Dev.
“Memang tidak boleh disiram lagi?”
tanya Dev.
“Boleh sih, tapi tidak boleh terlalu
sering, nanti bisa cepat busuk.”
“O, ya?” tanya Dev.
“Iya Pak, Kiara yang mengatakan itu
padaku, menurutnya, kaktus itu tidak perlu disiram setiap hari, cukup disiram
satu kali untuk tiga hari, atau bahkan satu kali untuk seminggu biar tidak
cepat busuk.”
“Aku baru tahu.” Gumam Dev.
“Aku juga.” Ujar Wina, “ya sudah ya
Pak, aku kembali ke ruang kerjaku.”
“Oke,” Jawab Dev, “ehm, Wina,
sebentar, apa menurutmu Kiara dan Mas Andra pacaran?”
Wina langsung merasa heran ditanya
seperti itu. Apakah Pak Devano mengenal dan tahu tentang Mas Andra? Kalau
iya, dimana kenalnya?
“Mas Andra dan Kiara sedang pergi ke
Thailand sekarang. Apakah kau tahu bahwa mereka pacaran atau tidak?” tanya Dev
lagi.
Kenapa Dev menanyakan mereka
berpacaran? Apakah karena.. Oh My God, Wina langsung menutup mulutnya karena kaget. Pak Devano
cemburu pada Mas Andra! Itu artinya Pak Devano mencintai Kiara! Tapi aku tidak
merasa heran kalau benar Pak Devano mencintai Kiara mengingat saat menolong
Kiara pingsan dulu, - saat ia dan Kiara bekerja di Bright Advertising -, Pak
Devano sangat panik.
“Wina, bumi memanggil Wina,” ujar Dev
lagi.
“Maaf Pak Devano, saya lagi mengingat
ingat.”
“Mengingat apa?”
“Setahu saya Mas Andra sudah punya
pacar. Kiara yang mengatakan itu padaku.”
“Oh itu, Mas Andra sudah putus dengan
pacarnya.” Ujar Dev.
“Sungguh?” Wina merasa kaget
bercampur senang.
Wina sangat menyukai Mas Andra. Kalau
benar Mas Andra sudah putus dengan pacarnya, itu akan mempermudah perjuangannya
untuk bisa mendekati Mas Andra.
“Iya.” Ujar Dev.
“Pak Devano tahu darimana tentang hal
ini?”
“Mas Andra yang mengatakannya
langsung padaku.”
“Pak Devano kenal dengan Mas Andra?”
“Iya, aku kenal. Aku kenalnya di cafe
Mas Bima, lalu pernah bertemu lagi di pernikahan Selly.”
“Oh, ya, itu aku ingat.” Seru Wina.
“Apa Kiara tahu kalau Mas Andra sudah
putus dengan pacarnya?” tanya Dev lagi.
“Belum, sepertinya Kiara belum tahu
mengenai hal ini.”
“Kau yakin?”
“Ya.”
“Ok, baiklah, tapi pertanyaanku tadi
belum kau jawab, apakah Kiara pacaran dengan Mas Andra?” tanya Dev lagi.
“Kalau itu bisa saya pastikan TIDAK
Pak Devano. Mereka TIDAK PACARAN.”
“Kamu yakin Wina?”
“Yakin. Kiara cukup terbuka padaku.
Lagipula yang Kiara sukai adalah…” kata kata Wina terhenti, dirimu, lanjut
Wina dalam hati.
“Siapa Wina? Kiara menyukai siapa?”
tanya Dev tak sabar.
Wina akan mengatakan pada Dev kalau
Kiara sangat menyukai Dev, tapi Wina kemudian teringat Mona, pacar Dev. Wina
tidak ingin ada kerusuhan antara Kiara dan Mona dalam memperebutkan Dev.
“Ehm, itu tidak penting, aku harus
kembali bekerja.” Wina langsung mengelak.
“Wina!”
“Selamat siang Pak Devano, have a
nice day.” Seru Wina sambil membuka pintu ruang kerja Kiara dan menutupnya
lagi.
~ ~ ~
POV Author
Mas Andra memperhatikan Kiara dari
kejauhan sambil tersenyum. Kiara sedang duduk di sebuah kursi taman. Dan Mas
Andra berjalan mendekati Kiara sambil membawa dua buah es krim.
Mereka sekarang sedang berada di Nong
Nooch Tropical Botanical Garden & Culture di Provinsi Chonburi,
Pattaya.
Mereka baru menonton atraksi gajah.
Atraksinya lucu, seru dan sangat menghibur.
Ini adalah hari kedua mereka di
Thailand setelah sebelumnya, kemarin, di hari pertama mereka pergi ke pantai
Pattaya.
Saat mengajak Kiara pergi ke
Thailand, Mas Andra bilang ia mau hunting foto. Tapi sebenarnya
itu cuma alasan Mas Andra saja. Karena niat Mas Andra mengajak Kiara jalan
jalan ke Thailand hanya ingin menghabiskan waktu berdua dengan Kiara.
Mas Andra sangat merindukan Kiara.
Tapi karena Kiara bekerja, ia cukup puas bisa bertemu atau ngobrol dengan Kiara
pada setiap akhir pekan, itupun kalau Kiara sedang tidak bepergian.
Di waklu malam, saat Mas Andra
berharap Kiara bisa menemaninya ngobrol di cafe Mas Bima, kadang Kiara sudah
dalam keadaan lelah karena pekerjaannya sehingga mereka hanya bisa say hello
dan Kiara langsung pergi ke tempat tinggalnya di lantai atas cafe Mas Bima
untuk tidur.
Jadi, sekarang, ia memaksakan diri
mengajak Kiara untuk pergi. Untungnya Kiara setuju karena menurut Kiara, walau
pekerjaannya banyak, saat saat sekarang adalah saat ia tidak terlalu sibuk.
Setelah tahu Kiara setuju pergi
dengannya, Mas Andra sangat gembira, tapi sayangnya Kiara tidak mau pergi hanya
berdua Mas Andra. Ia lalu meminta ijin pada Mas Andra untuk membawa serta Tia.
Tia seperti mendapat durian runtuh
saat diajak Kiara jalan jalan ke Thailand gratis. Tia langsung menyatakan kesediaannya
untuk ikut dengan mereka.
Tapi, dengan ikutnya Tia, membuat Mas
Andra khawatir kalau selama di Thailand, Kiara malah menghabiskan waktunya
dengan Tia dan bukan dengan dirinya.
Untuk itulah, kenapa Mas Andra
akhirnya mengajak Dilan, adiknya, dengan harapan Tia banyak menghabiskan waktu
dengan Dilan, dan ia bisa berduaan saja dengan Kiara.
Untuk kedua kalinya Tia merasa
mendapat durian runtuh saat tahu Dilan ikut dalam perjalanan mereka.
Tia berpikir Tuhan sedang sangat
sayang padanya karena ia bisa pergi jalan jalan ke Thailand gratis dengan cowok
ganteng seperti Dilan.
Sekarang Dilan dan Tia pergi entah
kemana. Dengan berbekal GPS dan google map yang ada di HP canggih Dilan,
Dilan sedang mengajak Tia mengeksplore Pattaya, karena Dilan mempunyai
hobi mengeksplore tempat tempat yang ia kunjungi, baik tempat yang baru
ataupun yang pernah ia kunjungi.
Kegemaran Dilan itu seperti kegemaran
Dora the explorer alias suka menjelajah.
Dulu waktu Dilan kecil dan belum
dipegangi HP oleh orangtuanya, Dilan suka menjelajah kawasan hutan dan lembah
yang terletak tidak jauh dari rumah kedua orangtuanya di daerah Blitar.
Orangtua Dilan dan Mas Andra adalah
petani. Orangtua mereka mempunyai sawah yang cukup luas. Mas Andra kecil dan
Dilan kecil sering diajak pergi ke sawah oleh kedua orangtuanya. Mas Andra dan
Dilan hanya dua bersaudara.
Nah, saat orangtua Dilan sedang asik
bercocok tanam, Dilan juga asik menjelajah.
Dia pernah hilang di hutan pinus,
tapi tetangganya secara tidak sengaja bertemu dengannya dan membawanya pulang.
Sejak saat itulah, ibu Dilan membuat catatan di sebuah kartu tentang alamat rumah dan nomor telepon mereka lalu
kartu itu ia pakaikan peniti di kantong baju Dilan. Jadi kalau Dilan hilang,
ada yang mengembalikan ke rumah. Selain dibekali kartu, Dilan juga dibekali
uang di kantong bajunya.
Sejak dibekali alamat itu, hampir
tiap hari ada orang yang mengantarkan Dilan pulang.
Untung tidak terjadi apa apa pada
Dilan sampai Dilan besar seperti sekarang. Untung tidak terjadi hal hal yang
tidak diinginkan.
Untuk itulah Mas Andra tidak khawatir
Dilan pergi sekarang. Mas Andra sudah terbiasa.
“Hai,” sapa Mas Andra pada Kiara, “maaf
menunggu agak lama. Ini es krimnya.”
“Terima kasih.” Kiara menerima es
krim dari Mas Andra sambil tersenyum.
Mas Andra lalu duduk di hadapan Kiara
dan mulai memakan es krimnya.
“Ini sempurna.” ujar Mas Andra.
“Apanya yang sempurna?”
“Moment ini. Makan es krim
berdua denganmu di salah satu taman terindah di dunia, saat ini, detik ini,
adalah sempurna.”
Kiara cuma tersenyum mendengar kata
kata Mas Andra. Lalu mereka asik dengan es krim masing masing.
“Cuaca di sini ternyata tidak terlalu
panas, sama seperti di Jakarta.” Ujar Kiara, setelah mereka terdiam beberapa
saat. “Ngomong ngomong, Tia pergi kemana ya?”
“Tia aman kok.” Ujar Mas Andra,
“Dilan bisa diandalkan.”
“Aku hanya khawatir Tia kenapa kenapa
karena aku yang mengajaknya.”
“It’s ok Kiara. Dilan
tergabung dalam klub pecinta alam di kampusnya. Ia terbiasa menjelajah gunung
dan gua gua, jadi menjelalah kota Pattaya ini, kecil bagi Dilan. Dilan dan Tia
tidak akan tersesat. Percayalah.”
“Oke kalau begitu,” sahut Kiara.
“Besok kita hunting foto dimana lagi?”
“Pattaya floating market saja,
tadinya aku ingin ke Bangkok, ke beberapa floating market di Bangkok,
tapi jarak dari sini ke sana 147 km, jadinya aku mau mengambil foto di floating
market sini saja. Tidak apa apa kan kita menghabiskan waktu di Pattaya
saja?”
“Tidak apa apa, aku sangat berterima
kasih untuk semuanya. Ini pengalaman baru untukku.” Kiara kembali tersenyum.
“Kapan kapan kita ke Bangkok.” Ujar
Mas Andra.
“Tentu.” Kata Kiara. “Sekali lagi
terima kasih banyak ya Mas Andra sudah mengajak aku jalan jalan kesini. Aku
benar benar merasa fresh.”
“Tentu, anytime.” Mas
Andra ikut tersenyum “aku senang melakukan perjalanan ini denganmu Kiara.
Sekarang kita habiskan dulu es krim kita, lalu kita lihat Muay Thai,
tarian khas Thailand.”
“Oke,” Kiara langsung memakan es
krimnya lagi.
~ ~ ~
POV Author
Tia cemberut saat mengikuti Dilan. Ia
sudah merasa capek karena dari tadi berjalan kaki mengunjungi kios kios.
Mereka sekarang sedang berada di Mimosa
Pattaya City of Love, tempat berbelanja aneka cinderamata, perhiasan dan
kerajinan tangan.
Setidaknya ada 300 toko disana.
Bangunan dari toko toko itu merupakan bangunan yang klasik dan berwarna warni
lengkap dengan kincir air, kanal, air mancur dan patung patung keren.
Dilan sedang mencari aksesoris yang
unik berupa cincin dan kalung. Ia mengajak Tia masuk dari satu toko ke toko
lainnya. Dan sekarang Tia mulai merasa capek.
“Aku ingin ke Kak Kiara!” ujar Tia
akhirnya. Biar Dilan ganteng, tapi Tia sudah tak kuat jalan kaki.
“Iya, sebentar lagi.” Ujar Dilan.
“Kak Kiara pasti lagi makan es krim.
Mas Andra kan sayang banget sama Kak Kiara, jadi Kak Kiara pasti dibelikan es
krim.”
“Iya, nanti kita juga beli es krim.”
Ujar Dilan.
“Tapi…”
“Ini untukmu.” Dilan tiba tiba
memberikan Tia sebuah kalung perak dengan bandul berinitial T.
Tia langsung merasa terharu, “terima
kasih.”
“Sama sama.” Dilan tersenyum,
senyumnya sama cakepnya dengan senyum Mas Andra.
“Aku ingin memakainya sekarang.” Ujar
Tia lagi.
“Ok, sini aku bantu pakaikan.” Dilan
langsung memasangkan kalung itu pada leher Tia.
Tia langsung tersenyum sambil
memegang bandul kalungnya.
“Aku masih mencari dua aksesoris lagi
untuk temanku,” ujar Dilan lagi. “Kau duduk saja dulu di bangku sebelah sana,
nanti kalau aku sudah selesai aku akan menemuimu.”
“Tidak apa apa, aku ikut.” Ujar Tia.
“Kau yakin?”
“Ya. Tapi setelah itu kita beli es
krim.”
“Ok, setelah itu kita beli es krim.”
Ujar Dilan lagi.
~ ~ ~
POV Author
Kiara dan Tia datang ke kamar hotel
dalam waktu hampir bersamaan. Selama di Pattaya mereka menginap di sebuah
resort yang ada di Pattaya Beach.
Kiara satu kamar dengan Tia,
sedangkan Mas Andra satu kamar dengan Dilan.
Karena datangnya hampir bersamaan, Kiara
dan Tia langsung berebut kamar mandi karena sama sama ingin mandi. Tia yang
menang. Ia lebih dulu masuk ke kamar mandi karena jarak Tia lebih dekat ke kamar mandi.
Kiara akhirnya berjalan ke tempat
tidurnya lalu tiduran. Ia lalu mengambil HPnya dan memperhatikan foto foto yang
ia ambil dengan camera HPnya, kemarin dan hari ini.
Setelah selesai melihat semua
fotonya, Kiara memilih salah satu foto dirinya di pinggir pantai Pattaya dengan
latar belakang sunset yang indah dan menguploadnya ke akun instagramnya.
Dalam hitungan detik, Dev langsung
menyukai fotonya. Tapi Dev tidak berkomentar apa apa.
Kiara langsung merasa kaget. Dev
sedang Online? Ingin sekali Kiara langsung menyapa Dev, tapi ini malam
minggu, Dev pasti sedang bersama Mona malam minggu begini.
Kiara tidak tahu kalau Mona sedang
berada di Paris sekarang karena Dev sangat tertutup padanya tentang hubungan
pribadinya dengan Mona. Dev tidak pernah bercerita apapun padanya tentang Mona.
Kalau bertemu dengannya, Dev lebih suka berbicara tentang pekerjaan atau hal
hal yang umum.
Tante Audrey juga begitu. Saat Kiara
bertemu tante Audrey dan Kiara iseng bertanya tentang Mona, Tante Audrey hanya
menjawab singkat, ‘Mona baik’ atau ‘Mona baik baik saja’ tidak lebih dari itu.
Padahal Kiara ingin Tante Audrey bercerita banyak tentang Mona, walau hal itu
akan membuat perasaannya menjadi sedih.
Kiara kini melihat video Dev yang
sedang menyiram kaktus kaktus Kiara, di ruang kerja Kiara, yang dikirim Wina
padanya lewat WA kemarin.
Kiara tak pernah bosan melihat video
itu. Bibir Kiara selalu tersenyum kalau melihat Video itu.
Dev dan pohon kaktusnya adalah apa
yang Kiara sayangi saat ini.
~ ~ ~
POV Author
Saat tiba di kantor D & D
Advertising setelah pulang dari Thailand, Kiara langsung membagikan oleh
oleh pada teman temannya.
Kiara membelikan teman temannya kaos
dengan gambar yang lucu. Kiara memilih kaos itu satu satu disesuaikan dengan
ukuran tubuh teman temannya. Kiara tidak tahu pasti ukuran baju teman temannya.
Ia hanya memperkirakan saja.
Wina mendapatkan oleh oleh yang
berbeda dengan teman temannya yang lain, ia bukan saja mendapat kaos, tapi juga
tas selempang yang terbuat dari manik manik dan sandal pantai yang cantik.
Kaos untuk teman temannya, Kiara
bungkus dengan menggunakan kertas berwarna cokelat.
Kiara lalu masuk ke ruang kerja
temannya satu satu untuk memberikan oleh oleh darinya. Semua temannya
mengucapkan terima kasih pada Kiara. Wina bahkan memeluk dan menciumnya.
Saat masuk ke ruang kerja Mas Henry,
Kiara merasa heran karena Mas Henry tidak ada diruangannya.
Kiara akhirnya meletakkan oleh oleh
untuk Mas Henry di meja kerja Mas Henry.
Kiara lalu kembali ke ruang kerjanya
untuk mengambil oleh oleh untuk Dev.
Dev mendapat syal yang terbuat dari Merino
Wool yang berwarna merah dengan perpaduan garis abu abu dan putih.
Kiara lalu membawa bungkusan oleh
oleh untuk Dev dan pergi ke luar kantor D & D Advertising dan
berjalan ke lorong yang menghubungkan D & D Advertising dengan GC
Cosmetics.
Kiara mendorong pintu masuk GC
Cosmetics yang terbuat dari kaca dan menghampiri Dona, sekretaris Dev.
“Selamat pagi Mbak Dona, Pak Devano
ada?” tanya Kiara.
“Selamat pagi Ibu Kiara,” jawab Dona
langsung, “Pak Devano sedang ke Singapura sekarang.”
“O, ya? Untuk keperluan apa?” tanya
Kiara kaget.
“Saya kurang tahu. Pak Devano tidak
bilang apa apa.”
“Perginya berapa lama?”
“Pak Devano minta agar agenda
kerjanya dikosongkan selama dua hari ini. Jadi sepertinya Pak Devano pergi
selama dua hari.”
“Ok, baiklah kalau begitu.” Kiara
kembali ke kantor D & D Advertising, dan masuk ke ruang kerjanya
dengan perasaan bingung. Ia bertanya tanya dalam hati ada keperluan apa Dev ke
Singapura.
“Tada,” Wina tiba tiba masuk
ke ruang Kiara sambil memakai tas selempang dari Kiara. “Tas ini keren. Ini
akan jadi tas favoritku sepanjang masa.”
“Kalah lagu,” Kiara nyengir, “lagu
kenangan sepanjang masa.”
“Hahaha. Iya, kalah lagu.” Wina
tertawa, “terima kasih sekali lagi Ki.”
“Sama sama.” ujar Kiara, “sekarang,
duduklah dihadapanku, tolong ceritakan ada kejadian apa selama aku pergi.”
Wina duduk di hadapan Kiara.
“Tidak ada kejadian yang terlalu
berarti sebenarnya saat kau pergi.” Ujar Wina.
“Hari Jum’at
Pak Fadil dari Sunny Travel datang dan ingin proses pembuatan iklan
untuknya dipercepat. Aku mengagendakan kau bertemu dengan Pak Fadil hari ini
setelah makan siang.”
“Oke, lalu?”
“Ehm, hari Senin kemarin Tante Audrey
mengirim Mbak Viona ke sini untuk membantumu mengerjakan laporan keuangan perusahaan.
Akhirnya aku serahkan berkas berkas yang Mbak Viona butuhkan, dan Mbak Viona
kemarin bekerja disini seharian. Lalu ada penawaran kamera untuk syuting dari
sebuah toko kamera di Pasar Baru, orangnya kemarin datang ke sini, kata dia,
toko kamera dia adalah langganan Mas Radit, bosmu dulu di Bright
Advertising. Mas Radit yang menyarankan ia datang ke sini untuk bertemu
denganmu.”
“Kamera baru?”
“Second.”
“Tante Audrey mana mau. Kamera yang
digunakan Vian sekarang saja baru.”
“Tapi katanya kualitasnya bagus.”
“Ya sudah, nanti aku ngobrol dengan
Mas Radit untuk konsultasi, aku memang perlu satu camera lagi, tapi lihat nanti
deh gimana.” Ujar Kiara lagi, “lalu Mas Henry mana? Mas Henry tidak masuk kerja
hari ini? Aku tadi ke ruangannya dia tak ada.”
“Oh ya! Itu dia! Aku baru ingat, Mas
Henry ijin tidak masuk kerja selama lima hari, tepatnya sejak hari ini. Menurut
Mas Henry, mudah mudahan dalam waktu lima hari ini belum ada syuting.”
“Belum, belum ada syuting,” sahut
Kiara. “Kenapa Mas Henry tidak masuk kerja selama itu?”
“Pak Devano mengajak Mas Henry ke
Singapura untuk berkonsultasi dengan salah satu dokter spesialis bedah ortopedi
disana.”
“O, ya?” seru Kiara kaget, “untuk
memeriksa kaki Mas Henry?”
“Iya, untuk memeriksa otot otot kaki Mas
Henry, dan untuk membuatkan Mas Henry kaki palsu. Semua biaya Pak Devano yang
menanggung. Dan Pak Devano ingin kaki palsu yang terbaik untuk Mas Henry.”
Mata Kiara langsung berkaca kaca. Ia
merasa terharu sekali dengan kebaikan Dev pada Mas Henry.
Tiba tiba, Kiara ingin memeluk Dev
dengan erat.
~ ~ ~
BAB DUA PULUH EMPAT
POV
Kiara
Aku seperti bermimpi mendengar suara
seorang wanita memanggil namaku. Suaranya terdengar seperti dari kejauhan. Aku
lalu menutup telingaku, berharap suara itu hilang tapi ternyata tidak juga
hilang.
“Kiara! Kiara!”
Suara itu terdengar lagi di depan
pintu. Aku terpaksa membuka mataku dan melirik jam disamping tempat tidurku,
ternyata jam 6 pagi!
“Kiara bangun!” Suara itu terdengar
lagi.
Aku terpaksa bangun dengan kepala
pusing. Tia yang tidur di ruang sebelah sepertinya masih tidur pulas dan tidak
terganggu dengan suara itu. Aku akhirnya membuka pintu dan melihat Della sedang
tersenyum menatapku.
“Selamat pagi,” sapa Della. “Boleh
aku masuk?” Della masuk tanpa menunggu jawabanku.
Della lalu duduk di salah satu kursi
malasku dan meletakkan tas yang dibawanya, di atas meja, di samping kursiku.
“Ini donat, sarapan untukmu.”
“Terima kasih, tapi Della, tahukah
sekarang jam berapa? Dan kenapa kau tahu tempat tinggalku?”
“Sekarang sudah siang, sudah saatnya
bangun, kayak aku dong, sudah siap berolahraga.”
“Siang katamu!” seruku, “kau tahu,
aku baru tidur jam satu dini hari setelah meeting dengan klien hingga
jam sepuluh malam. Dan sekarang, hari Sabtu, aku boleh bangun siang dong!”
Della nyengir, “sudah jangan
marah marah. Ayo makan donat dulu. Donatnya enak loh.”
“Aku nggak mau makan donat, aku mau
tidur.” Aku kembali ke tempat tidurku dan mulai memejamkan mataku.
“Ki.” Panggil Della.
“Apa?”
“Aku kerja di tempatmu dong, jadi
resepsionis.”
“Jangan, nanti aku diomeli ibu Dewi.
Kau kan karyawan favoritnya.”
“Ki, ayolah.” Ujar Della lagi.
“Memang kenapa sih dengan ibu Dewi
sehingga kau tidak mau kerja disana lagi?”
“Tidak kenapa kenapa, semua baik baik
saja, tapi aku ingin kerja denganmu, kayaknya asik dengar cerita Iwan saat
meneleponku. Iwan bercerita tentang kalian bahwa kalian kompak, kerjanya
santai, tapi juga serius, saling perduli antar satu dengan yang lain seperti
keluarga besar yang harmonis, dan sering ditraktir olehmu.”
“Iwan cerita begitu?” tanyaku.
“Iya.”
“Sering apaan, paling aku baru
traktir dua kali.”
“Ya masih bagus dua kali daripada ibu
Dewi, tidak pernah mentraktir sama sekali!” ujar Della. “Sejak acara makan
malam dulu, sebelum kau dan Wina keluar dari Bright Advertising, ibu
Dewi tidak pernah mentraktir karyawannya apa apa lagi.”
“Ya sudah kalau kau mau kutraktir,
hari ini kau mau ditraktir apa olehku?” tanyaku pada Della masih dengan mata
terpejam.
“Aduh kamu gimana sih! Bukan masalah
traktirannya Kiara, tapi aku ingin bekerja bersama kalian, menjadi bagian dari
tim kalian, please? Please Ki?”
“Aku tidak tahu Della, kupikir aku
belum memerlukan resepsionis.”
“Ayolah Ki. Aku tidak akan meminta
gaji besar, gajiku sama seperti gajiku sekarang juga tidak apa apa.”
“Nanti deh kau kuhubungi ok?”
“Secepatnya ya?”
“Iya.”
“Baiklah, terima kasih kalau begitu,
aku mau melanjutkan olahragaku, dan kau lanjutkan saja tidurmu. Bye
Kiara, aku tunggu kabar darimu!”
“Bye Della! Hati hati
mengendarai motormu!”
“Oke!”
Aku lalu mengunci pintu ruangan lagi
setelah Della pergi dan kembali ke tempat tidurku.
Tapi ternyata aku malah tak bisa
tidur lagi. Aku lalu mengambil handukku dan pergi ke kamar mandi untuk mandi.
Setelah mandi aku menelepon Wina,
untuk mengetahui apa pendapat Wina kalau Della jadi resepsionis di D & D
Advertising.
“No way. Jangan Kiara.
Jangan.” Teriak Wina.
“Segitu jangan-nya. Memang kenapa
sih?”
“Della itu ngincer Pak Devano
Kiara. Della pasti ingin dekat dekat dengan Pak Devano. Dengan Della bekerja di
D & D Advertising ia akan berkesempatan bertemu Pak Devano setiap
hari, itu keinginannya. Itu harapannya. Itu misinya.”
“Ya kalau Dev-nya mau sama Della, so
what gitu.”
“Memang kamu rela PaK Devano dengan
Della?” tanya Wina.
“Kok jadi ke aku sih?” tanyaku heran.
“Sekarang aku tanya sekali lagi,
memang kamu rela Pak Devano dengan Della?”
“Kalau mereka saling menyukai kenapa
tidak Wina, lagipula kan ada Mona. Mona mau dikemanain.” Komentarku.
“Tapi aku sih tidak rela. Aku lebih
rela Pak Devano menjalin hubungan denganmu.”
Lalu hening. Aku tak bisa berkata apa
apa saat Wina ngomong begitu.
“Ki, tahu tidak, saat kamu dan Mas
Andra pergi ke Thailand, Pak Devano sepertinya cemburu pada Mas Andra.” Suara
Wina terdengar lagi.
“Kamu jangan mengada ada Wina.”
“Mengada ada bagaimana sih, Pak
Devano juga bertanya padaku apakah kau dan Mas Andra pacaran.”
“Lalu apa jawabanmu?”
“Aku bilang tidak. Kalian tidak
berpacaran kan Ki?”
“Kamu itu gimana sih Wina, kan aku
sudah bilang Mas Andra sudah punya pacar.”
“Mas Andra sudah putus sama
pacarnya.”
“Apa?!” seruku kaget. “Kamu tahu
darimana?”
“Dari Pak Devano.”
“Dev tahu darimana?”
“Dari Mas Andra!”
“What?!”
“Jadi yang terjadi itu seperti ini ya
Kiara, ini menurut pengamatanku. Mas Andra menyukaimu. Pak Devano juga
menyukaimu. Yang aku tidak mengerti disini adalah: pertama, kenapa Mas
Andra belum menyatakan perasaannya padamu. Kedua, kenapa Pak Devano juga
belum menyatakan perasaannya padamu.”
“Dan menurut pengamatanku, kamu salah
Wina. Oke, baiklah, mungkin iya Mas Andra menyukaiku, tapi Pak Devano tidak.”
“Tahu darimana Pak Devano tidak
menyukaimu?” tanya Wina.
Aku diam. Dadaku tiba tiba jadi
berdebar tak karuan. Aku senang kalau apa yang dikatakan Wina benar kalau Dev
menyukaiku, tapi tetap saja aku tak punya kesempatan untuk bisa bersama Dev.
Ada Mona diantara aku dan Dev.
“Wina, Dev itu orangnya memang baik,
pada siapa saja,” ujarku pada Wina, “kau jangan mensalah artikan kebaikannya.
Terutama kebaikan Dev padaku.”
“Ya, aku tahu. Pak Devano baik pada
semua orang, bahkan karena kebaikannya, Mas Henry sekarang sudah bisa berjalan
lagi dengan dibantu kaki palsu, tapi kebaikan Pak Devano padamu itu lain Kiara.
Pak Devano menyayangimu.”
“Aku senang kalau semua yang kau
katakan benar.” Ujarku lagi, “tapi aku tidak bisa berbuat apa apa dalam hal
ini. Tante Audrey tiap bertemu denganku selalu berbicara tentang pernikahan dan
tentang Mona, calon menantunya yang cantik. Jadi please Wina, kita tidak
usah membahas hal ini lagi ok?”
“Menurutku Pak Devano bodoh
kalau sampai membiarkan pernikahannya dengan Mona sampai terjadi. Ia nanti akan
menyesali semuanya!”
“Wina!”
“Bye Kiara! Aku mandi dulu
ya!” Wina akhirnya mengakhiri pembicaraan di telepon denganku.
Setelah ngobrol dengan Wina,
perasaanku jadi tak karuan. Aku sungguh merasa bahagia kalau Dev benar
menyukaiku seperti yang dikatakan Wina tadi.
Dan ini cukup untukku. Rasa bahagia
ini akan aku simpan rapat rapat dalam hatiku. Biar aku sendiri yang
merasakannya.
~ ~ ~
POV Kiara
Aku tersenyum lebar saat scene terakhir
syuting iklan Mesin cuci selesai dilaksanakan.
Senyumku bertambah saat melihat Mas
Henry. Mas Henry nampak semangat dalam mengerjakan pekerjaannya.
Walau ia masih dibantu kursi roda,
tapi sesekali ia berjalan jalan di lokasi syuting dengan menggunakan kaki
palsunya.
Kami sekarang sedang syuting di
sebuah rumah di daerah Bogor. Rumah yang kami kunjungi sekarang adalah rumah
yang biasa disewakan untuk lokasi syuting. Karena hal itu pula, banyak yang
antri menyewa rumah ini karena tempatnya yang strategis dan sepi, jauh dari
jalan raya. Kebanyakan yang nyewa rumah ini adalah production house,
biasanya untuk syuting sinetron.
D & D Advertising termasuk salah satu yang tercatat
ikut menyewa rumah ini. Tapi D & D Advertising dapat jadwal
menggunakan rumah itu pada hari Minggu. Karena hal ini pula tim produksi
terpaksa lembur.
Tim produksi berangkat pagi pagi sekali
dari kantor dengan menggunakan mobil perusahaan.
Aku yang bangun agak siang dan tidak
punya acara apa apa akhirnya memutuskan untuk menyusul mereka ke lokasi
syuting. Aku meminjam mobil Mas Bima untuk pergi ke Bogor.
Di perjalanan, entah kenapa aku ingin
mengajak Mbak Silvi, isteri Mas Henry untuk ikut ke lokasi syuting. Aku mampir
ke rumah Mbak Silvi dan ternyata Mbak Silvi mau ikut. Mbak Silvi ikut dengan
anak tunggal Mbak Silvi dan Mas Henry, Gery, yang berusia tujuh tahun.
Sampai di Bogor, aku dan Mbak Silvi
langsung menyiapkan makan siang untuk kami semua. Aku beli nasi dan soto Bogor,
tidak lupa, akupun membeli asinan buah dan asinan sayur Bogor yang terkenal.
“Resepsionis baru di kantor kamu
cantik ya Ki, kayak boneka barbie.” Ujar Mbak Silvi saat kami berdua makan
asinan sayur.
“Oh, Mbak sudah ketemu?” tanyaku.
Aku akhirnya menerima Della bekerja
di D & D Advertising sebagai resepsionis, karena selama aku
belum memberikan jawaban, Della terus terusan meneleponku. Ia meneleponku tiga
kali sehari, kayak minum obat.
“Ya, aku bertemu dengannya kemarin
lusa saat menjemput Mas Henry. Aku kemarin baru belanja bahan kain di Pasar
Baru, lalu pulang menjemput Mas Henry dengan taksi dan bertemu dengannya. Dia
modis sekali Ki.”
Aku tersenyum ke arah Mbak Silvi.
“Iya, Della memang sangat modis. Dari dulu ia begitu. Aku suka melihatnya.
Kadang ia berpakaian agak seksi tapi masih dalam batas wajarlah.”
“Sepertinya kantor jadi tambah seru
dengan kehadirannya,” komentar Mbak Silvi lagi.
“Sepertinya begitu.” Jawabku, “ehm
Mbak Silvi belanja bahan kain ke Pasar Baru untuk keperluan menjahit baju?”
“Iya.”
“Mas Henry masih menjahit baju?”
“Tidak, sudah tidak. Aku yang
melakukannya, tapi aku menjahitnya tidak berdasarkan pesanan. Aku menjahit
beberapa lalu menjualnya secara online. Lumayan sih, ada saja yang beli.”
“Oh, jadi sekarang Mbak Silvi yang
bisnis di rumah?”
“Iya, lumayan Ki, ada pemasukan
tambahan.”
“Temanku di Bali juga punya bisnis
yang sama, kalau dia jualannya kaos, bukan baju.”
“Kalau aku baju muslim.” Ujar Mbak
Silvi. “Aku lihat contoh contoh bajunya di internet, tapi hanya untuk ide saja
sih tidak menconteknya.”
“Ya,” aku mengangguk, “semoga sukses
usahanya.”
“Mudah mudahan, amin.” Mbak Silvi
tersenyum.
“Kiara, kita pulang sekarang?” Vian
tiba tiba menghampiriku.
“Semuanya sudah rapi? Kamera dan
peralatan syuting lainnya sudah dimasukkan ke mobil?” tanyaku pada Vian.
“Sudah.”
“Tidak ada yang tertinggal?” tanyaku
lagi pada Vian.
“Tidak.”
“Ya sudah, kau pulang berdua Iwan ke kantor,
biar Mas Henry dan keluarganya aku yang antar pulang.”
“Oke,” sahut Vian. “Duluan ya Ki!”
“Iya. Ehn Vian, model iklannya
bagaimana? Tadi kesini datang bersama siapa?”
“Bersama temannya, ia membawa
kendaraan sendiri.”
“Ya sudah kalau begitu, kau tidak
perlu mengantarnya pulang, hati hati mengemudi Vian!”
“I will!”
“Yuk Mbak,” aku kini tersenyum ke
arah Mbak Silvi, “kita bereskan ini dan kita pulang.”
“Ehm, Ki, tadi anakku bilang ingin
ngasih makan kijang di istana Bogor. Ia tadi minta dibelikan wortel untuk makan
kijang di sana!”
“Baiklah, nanti sebelum kembali ke
Jakarta kita kasih makan kijang dulu.” Aku tertawa dan mulai membereskan sampah
sampah bekas makan siang kami.
~ ~ ~
POV Author
Della memperhatikan Dev saat Dev
masuk ke kantor D & D Advertising.
“Selamat Siang.” Ujar Dev pada Della.
“Aku mau bertemu Kiara.”
“Bertemu denganku juga tidak apa apa
Pak.” Ujar Della langsung.
“Garing banget sih!” Wina yang
berdiri di dekat Della langsung menggerutu.
Wina baru selesai makan siang dan ia
baru ngobrol dengan Adelia, adiknya, di telepon front desk. Ia baru mau
kembali ke ruang kerjanya saat Dev datang.
“Kiara ada di ruangannya?” tanya Dev.
“Ada, biar saya antarkan Pak Devano.”
Della mau beranjak dari tempat duduknya saat Wina langsung menahan langkah
Della.
“Biar aku saja,” Wina langsung
beranjak dari front desk, “tetap di tempatmu Della!” ujar Wina pada
Della sambil ia mulai berjalan di samping Dev. “Don’t go anywhere!”
“Kau tidak pernah mengantarku seperti
ini, Wina.” Ujar Dev sambil terus berjalan.
“Sesekali tidak apa apa.” Wina
tersenyum sambil membukakan pintu ruang kerja Kiara saat mereka sudah sampai di
depan ruang kerja Kiara. “Silahkan.”
“Terima kasih.” Dev lalu melangkah
masuk.
Wina kembali ke front desk untuk
mengambil agendanya yang tertinggal, “bisa tidak kalau lain kali kau tidak
melihat Pak Devano seperti itu?” ujar Wina pada Della.
“Seperti itu bagaimana?”
“Penuh kekaguman dan matamu nyaris
tak berkedip!”
“Wina sayang, apa fungsi mata ini
kalau bukan untuk melihat yang indah indah. Pak Devano itu indah. Jadi hak aku
dong kalau mau melihat Pak Devano seperti apa.”
“Tapi Pak Devano itu sudah ada yang
punya.”
“Ya, ya, ya, aku tahu, the lovely
Mona,so what gitu loh, orangnya juga tidak ada disini.”
“No. Bukan the lovely Mona.
Tapi the lovely Kiara.”
“What? Serius?” Mona langsung
berteriak kaget.
“Ya, serius. Jadi kalau kamu tidak
mau didepak dari sini jaga attitudemu. Ok?”
“Hai cantik,” Iwan tiba tiba datang
menghampiri Della, “aku bawakan kopi untukmu.”
“Nah, mending, kamu sama Iwan saja.”
Ujar Wina pada Della.
“Sama gue? Ngapain sama gue?” tanya
Iwan heran.
“Kencan. Kamu Wan, aku sarankan
kencan sama Della.”
“Wah mau, mau banget!” Iwan langsung
berteriak senang, sementara Della langsung cemberut.
~ ~ ~
POV Kiara.
Aku memilih milih foto dihadapanku.
Semuanya foto Pria, ada sepuluh lembar foto dalam ukuran 10 R. Dan nama para
pria itu ada di foto itu. Dev yang membawa foto foto itu padaku dan bertanya
padaku mana yang paling aku sukai.
Dev saat ini duduk di hadapanku,
menunggu aku menentukan pilihanku.
“Ini untuk apa sih Dev?” tanyaku.
“Bisakah tidak usah bertanya dan
hanya memilih saja?” ujar Dev.
“Ehm, baiklah. Tapi aku perlu waktu
untuk memilih.”
“Tidak apa apa, aku akan menunggumu
menentukan pilihanmu.”
“Jangan sekarang. Nanti aku kabari.”
“Tidak. Kamu harus mengabariku
sekarang.”
“Tapi..”
“Kiara, apa susahnya sih memilih
satu?”
Aku tidak mau memilih mereka, aku mau
memilih dirimu… Ujarku
dalam hati.
“Oke, oke.” Sahutku sambil kembali
memperhatikan foto itu lagi.
Saat aku memperhatikan foto foto itu,
Wina tiba tiba mengirim pesan padaku lewat WA bahwa Mas Andra saat ini datang
ke kantor D & D Advertising membawa pizza untuk makan
siang karyawan D & D Advertising dan
Mas Andra ada di ruang meeting.
“Mas Andra!” seruku.
“Mas Andra tidak ada diantara foto
itu!” ujar Dev, “kau memilih Mas Andra?” ujar Dev lagi, kaget.
“Bukan itu, Mas Andra datang membawa pizza,
aku makan pizza dulu.”
“Ki, come on.”
“Sebentar Dev!” aku berdiri dari tempat dudukku lalu
keluar dari ruang kerjaku dengan setengah berlari.
Teman temanku sudah berada di ruang meeting
dan sedang asik makan pizza, aku lalu mengambil satu dan ikut makan.
Aku melihat Dev menghampiri ruang meeting.
Mas Andra yang sedang mengeluarkan beberapa pizza dan menaruhnya di
piring langsung menawari Dev pizza tapi Dev tidak mau.
Aku kembali mengambil satu buah pizza
lagi. Aku belum makan dari pagi. Aku tadi tidak sempat sarapan. Jadi aku
memakan pizza itu dengan lahap. Mas Andra tertawa melihatku.
“Pelan pelan Ki, makannya.”
“Mas Andra tumben datang ke sini.”
Komentarku, “ini pertama kalinya Mas Andra datang ke sini kan?”
“Ini yang kedua,” sahut Wina.
“O, ya?” tanyaku pada Wina, “memang
kapan Mas Andra pernah datang?”
“Waktu kau meeting untuk iklan
keripik kentang. Kau kan saat itu ke Bekasi, ke pabriknya dan meeting disana.”
“Oh.”
“Mas Andra saat itu datang kesini
membawa cakwe Medan.” Ujar Wina lagi.
“Kamu kok tidak pernah cerita!”
“Lupa,” Wina tertawa.
Mas Andra ternyata cuma mampir
sebentar ke kantorku, ia hanya membawakan pizza saja dan tidak mau
mengganggu waktu kerjaku.
Setelah Mas Andra pergi, aku kembali
ke ruang kerjaku. Dev sudah tidak ada disana, tapi foto fotonya masih ia
tinggal. Aku lalu mengambil foto foto itu dan pergi ke GC Cosmetics, ke
ruang kerja Dev.
Aku lalu duduk di hadapan Dev setelah
Dev mempersilahkan aku masuk ke ruang kerjanya.
“Nanti saja kau ke sini lagi Ki.
Temani Mas Andra dulu.” Ujar Dev saat aku duduk dihadapan Dev.
“Mas Andra cuma mampir sebentar, ia
sudah pulang.” Jawabku.
“O, ya?”
“Ya.” aku mengangguk lalu tersenyum
pada Dev, “Sebastian,” ujarku.
“Namaku Devano, bukan sebastian.”
Aku mengacungkan satu lembar foto ke
hadapan Dev, “aku milih Sebastian Anggoro.”
Dev mengambil foto Sebastian dari
tanganku dan memperhatikan foto itu, “kau yakin?”
“Ya.” Jawabku.
“Apa alasanmu?”
“Dia terlihat misterius, tatapan
matanya tajam, dia terlihat seperti pria yang angkuh tapi disisi lain ada
kehangatan terpancar dari matanya. Karakternya sangat kuat hanya dari tatapan
matanya.”
“Tidak heran,” ujar Dev,
“pekerjaannya memang aktor.”
“O, ya?” tanyaku, “aku kok belum
pernah melihatnya?”
“Dia banyak melakukan syuting di
Jepang. Berperan untuk film film laga. Berikutnya, siapa lagi yang kau pilih.”
“Harus memilih lagi?” tanyaku heran.
“Ya. Dua foto sekaligus.”
Aku melihat lihat lagi foto foto di
tanganku. Tapi aku kurang menyukai mereka semua. Akhirnya aku mengambil secara
asal dua foto dan memberikannya pada Dev.
“Terima kasih Kiara atas bantuannya.”
Dev tersenyum padaku.
“Sama sama.” Jawabku.
~ ~ ~
POV Author
Dua bulan sejak Dev bertanya tentang
foto foto pria mana yang paling disukai Kiara, Dev akhirnya menemui Kiara lagi
di ruang kerja Kiara sambil membawa sebuah parfum.
Di botol parfum itu terdapat foto
Sebastian Anggoro.
“Sebastian harusnya berterima kasih
padamu karena kau memilih dirinya.” Ujar Dev sambil memperlihatkan parfum yang
ia pegang pada Kiara.
Kiara langsung memperhatikan foto
Sebastian di botol parfum itu. “Keren! Botolnya keren! Kemasannya keren.
Modelnya keren!”
Dev tersenyum, “aku tidak percaya
pada pilihan orang lain, aku hanya percaya pada pilihanmu, karena saat kau
memilih foto Sebastian, kau pasti punya alasan tersendiri.”
“Iya Dev, kan aku sudah bilang
karakternya kuat. Jadi Sebastian dipilih untuk model iklan parfum pria?”
“Ya. Ini yang pertama diproduksi,
aroma parfumnya juga baru satu, aroma white musk yang diambil dari
ekstrak tanaman. Coba kau hirup aromanya, bagaimana menurutmu?” Dev
menyemprotkan parfum yang dibawanya pada tangan Kiara.
Kiara lalu menghirup aroma parfum
itu. “Wow, segar. Aromanya segar tapi juga tajam. Enak sih aromanya tidak bikin
pusing.”
Dev hanya tersenyum.
“Tapi ngomong ngomong kenapa iklan
parfum pria ini berbeda dengan iklan parfum wanita?”
“Berbeda bagaimana?” tanya Dev.
“Kamu sudah memilih model iklan,
yaitu sebastian, lalu foto Sebastian sudah ditempel di produk, lalu parfum
dijual, jadi dalam hal ini saat iklan untuk parfum ini diproduksi, Sebastian
tidak harus ikut casting iklan karena memang dia sudah terpilih sebagai
modelnya, dan hal ini berbeda saat Mona dulu. Mona harus ikut casting baru
terpilih jadi model.”
“Ya, kau benar,” ujar Dev, “untuk
parfum wanita, foto bunga yang ditampelkan di Produk, model dipilih belakangan,
aku hanya ingin perubahan saja.”
“Tapi Sebastian nanti harus benar
benar menjaga image karena ia mewakili GC Cosmetics dalam
penjualan produkparfum ini.”
“Iya, aku setuju Kiara. GC
Cosmetics sudah mengontrak Sebastian secara eksklusif. Ia sekarang brand
ambassador dari parfum ini, jadi dengan sendirinya ia harus menjaga image. Kalau tidak salah semua sudah tertuang dalam
kontrak kerja.”
“Mudah mudahan dia tidak mengecewakan
GC Cosmetics.” Harap Kiara.
“Ya, mudah mudahan.” Sahut Dev,
“ngomong ngomong, ini untukmu.” Dev memberikan parfum yang ia pegang pada
Kiara. “Teman temanmu yang lain di D & D Advertising juga nanti akan
dapat satu satu.”
“Terima kasih Dev.”
“Ya.” Dev mengangguk, “ini parfum
pria. Jadi terserah kau mau diberikan pada siapa.”
“Aku akan mengoleksinya saja,” Kiara
tertawa.
“Baiklah, aku pergi dulu, nanti kita
bicara lagi untuk detail iklannya seperti apa.”
“Oke Dev, sampai nanti.” Sahut Kiara,
“ngomong ngomong parfum ini sudah dijual?”
“Baru online, dan ada di counter dilantai
dasar. Untuk Departemen store atau rekanan butiq belum, masih dalam
tahap pengepakan.” Dev melambaikan tangannya pada Kiara sebelum pergi dari
ruang kerja Kiara. “Aku pergi dulu.”
“Ya.” Kiara membalas lambaian tangan
Dev.
Setelah Dev pergi, Kiara langsung
mengambil HPnya dan mencari harga produk parfum pria GC Cosmetics yang
baru pertama diproduksi itu di google.
Dan Kiara langsung terkejut, harga parfum
yang dipegangnya adalah Rp. 700.000, mendapat diskon 50% selama promosi menjadi
Rp. 350.000. Promosi hanya berlaku selama satu bulan saja.
~ ~ ~
POV Author
Della mengeluh kesal. Lantai dasar,
lantai yang digunakan GC Cosmetics menjual produk produknya sedang
ramai, ada antrian di kasir. Langkah Della untuk mencapai lift terhalang orang
orang.
“Mas ada apa sih?” tanya Kiara pada
salah satu OB GC Cosmetics, “aku mau lewat susah banget.”
“Oh, itu, ada diskon dari produk
terbaru, produk parfum kalau tidak salah.”
“Parfum cewek?”
“Parfum cowok.”
“Kok pembelinya banyak yang cewek.”
“Mau dikasihkan ke pacarnya
barangkali.” OB itu tersenyum.
“Ya, sudah, makasih.” Della lalu
nekat berjalan diantara orang orang, “permisi aku mau lewat.” Della akhirnya berhasil
juga mencapai lift.
Di dalam lift ia bertemu seorang
pria. Pria itu tubuhnya sangat tinggi. Ia memakai topi dan kacamata hitam.
Della dan pria itu hampir bersamaan
memencet tombol 3.
“Mau ke D & D Advertising?
Atau GC Cosmetics?” tanya Della pada pria itu.
“D & D Advertising.” Jawab
pria itu.
“Ada keperluan apa?”
“Ada keperluan bertemu dengan ibu
Kiara.”
“Sudah ada janji?”
“Sudah.”
“Oke, nanti saya tunjukkan
kantornya.”
“Terima kasih.”
Setelah sampai di lantai 3, Della
mempersilahkan pria itu menunggu di ruang kerja Kiara.
Kiara datang dua puluh menit
kemudian. Ia lalu tersenyum pada Sebastian yang sedang duduk menunggunya.
“Maaf terlambat,” ujar Kiara.
“Tidak apa apa.” Sebastian balas
tersenyum pada Kiara.
“Parfummu diserbu dilantai bawah, aku
agak susah naik kesini.”
Sebastian hanya tertawa.
Kiara lalu mengambil sebuah arsip di
atas meja kerjanya. “Ini script iklannya. Kamu pelajari saja dulu, kita
mulai syuting minggu depan, rencana di Cikole, Lembang, disana banyak pohon
yang alami, sesuai naskah iklan, aku ingin banyak mengambil adegan dirimu
diantara hutan hutan pinus, atau dibawah sinar matahari, pokoknya semacam itu.”
“Oke, nanti akan saya pelajari scriptnya.”
“Baik kalau begitu, itu saja yang
ingin aku sampaikan. Nanti minggu depan sebelum kita mulai syuting, aku akan
menghubungimu lagi.”
“Oke.” Sebastian tersenyum dan
menyalami Kiara sebelum pergi.
“Sebentar Sebastian,” ujar Kiara
lagi, “kau mau pergi bersama kami ke Lembang atau kita ketemu disana?”
“Ketemu disana saja. Aku pergi dengan
salah seorang dari agensi modelku.”
“Ok kalau begitu, nanti aku
beritahukan alamatnya padamu.”
“Ok, saya pergi dulu.”
“Ya. Sampai jumpa Sebastian.”
“Sampai jumpa.”
Setelah Sebastian pergi, Wina
langsung menerobos masuk ke ruang kerja Kiara.
“Itu model parfumnya?” teriak Wina.
“Ya.” Jawab Kiara.
“Kenapa kau tidak memperkenalkannya
padaku?”
“Kau tadi tidak datang ke sini.”
“Aku tidak tahu kalau dia datang.”
“Begini saja, kau ikut denganku ke
Cikole minggu depan untuk syuting. Kau bisa berkenalan dengan Sebastian
disana.”
“Minggu depan aku pulang ke rumah
orangtuaku di Sukabumi. Ada acara pernikahan saudara.”
“Ya sudah kapan kapan berkenalannya
kalau begitu!”
“Ya, sayang sekali,” Wina kembali ke
ruang kerjanya dengan wajah cemberut.
~ ~ ~
POV Author
Sebastian memperhatikan Kiara yang
sedang tertawa-tawa saat Kiara ngobrol dengan Mas Henry. Sebastian
memperhatikan Kiara dari kejauhan. Sebastian sedang break syuting. Ia
sedang bersantai sekarang.
Sejak bertemu Kiara di kantornya
seminggu yang lalu, Sebastian langsung menyukai Kiara. Menurut Sebastian Kiara
orangnya ramah dan menyenangkan. Senyumnya juga manis.
Iwan, yang duduk tidak jauh dari
Sebastian melihat ke arah yang dilihat Sebastian. Iwan melihat Kiara sedang
tertawa saat ngobrol dengan Mas Henry.
“Jangan coba coba,” ujar Iwan
langsung.
“Jangan coba coba apa?” tanya
Sebastian pada Iwan.
“Mendekati ibu Kiara.”
“Kenapa memangnya?”
“Ia pacar big bos.”
“Memangnya aku takut? Baru pacar kan?
Belum menikah?”
Iwan langsung memijit keningnya. “Ya
terserah kamu sih kalau mau bermasalah dengan Pak Devano.”
“Pak Devano?” tanya Sebastian
terkejut. “Pak Devano CEO GC Cosmetics?”
“Iya. Pak Devano yang itu. Pak Devano
yang memberimu kontrak eksklusif parfum ini. Jadi seperti aku bilang tadi,
jangan coba coba mendekati Ibu Kiara kalau tidak mau kontrakmu dibatalkan.”
“Sial.” Sebastian langsung
menggerutu.
Obrolan Sebastian dan Iwan terhenti
saat sebuah mobil datang ke lokasi syuting, dan tidak lama kemudian Dev keluar
dari mobil tersebut.
“Benar kan aku bilang?” ujar Iwan,
“Pak Devano tidak ada keperluan apapun dengan syuting ini, ia tinggal terima
hasil jadinya saja. Ia kesini pasti karena ingin bertemu ibu Kiara.”
Sebastian menghela nafas panjang, ia
lalu meminum air mineral yang ia pegang. “Sayang sekali, padahal aku menyukai
Kiara.” Gumamnya setelah selesai minum.
“Siap siap lima menit lagi,
Sebastian!” Mas Henry berteriak ke arah Sebastian.
“Oke.” Jawab Sebastian.
“Everything ok?” Dev yang baru
turun dari mobil berjalan menghampiri Kiara.
Kiara terkejut melihat Dev datang.
Kiara lalu tersenyum senang saat melihat Dev memakai syal yang ia berikan saat
pulang dari Thailand dulu.
“Yap. So far so good.” Jawab
Kiara.
“Aku senang mendengarnya.” Ujar Dev.
“Semoga semuanya bisa lancar hingga selesai, terutama cuacanya, semoga tetap
cerah seperti ini.”
“Ya,
Dev, kamu benar,” sahut Kiara, “Kamu mengemudi sendiri ke sini?”
“Ya.”
“Aku tidak tahu kalau ternyata kamu
akan datang, Dev.”
“Tidak apa apa Kiara. Santai saja.
Ini juga mendadak, aku tidak ada rencana pergi sebelumnya tapi tiba tiba ingin
melihat proses syutingnya. Tapi aku kedinginan sekarang, kau temani aku beli
minuman hangat dulu yuk.”
“Ok, baiklah.” ujar Kiara, “aku ambil
tasku dulu.”
Kiara dan Dev lalu pergi ke salah
satu kedai kopi yang berada di sekitar lokasi syuting. Mereka ngobrol sambil
minum kopi.
Kiara merasa sangat senang hari ini
karena bisa menghabiskan waktu bersama dengan Dev.
~ ~ ~
POV Author
Mas Andra memperhatikan Kiara yang
diantar pulang oleh Dev. Mas Andra tidak tahu Kiara dan Dev habis darimana
pulang selarut ini.
Kiara mengucapkan terima kasih pada
Dev lalu langsung ke atas, ke tempat tinggalnya. Kiara tidak tahu kalau Mas
Andra sedang memperhatikan dirinya. Tapi Dev melihatnya. Dev melihat Mas Andra
sedang memperhatikan Kiara dan dirinya.
Dev segera kembali berjalan ke
mobilnya tanpa berkata apa apa pada Mas Andra, tapi ia menghentikan langkahnya
saat Mas Andra berjalan menghampirinya.
“Ini hanya masalah pekerjaan,” ujar
Dev langsung, “ada syuting iklan di Cikole dan aku harus mengantar Kiara pulang
karena sudah malam.”
“It’s Ok.” Ujar Mas Andra,
“aku hanya mau mengucapkan terima kasih karena sudah mengantar Kiara pulang
dengan selamat.”
“Tentu.” Sahut Dev.
“Dan tolong sampaikan terima kasihku
juga pada tante Audrey karena sudah memberi kiara kesempatan bekerja di bidang
yang Kiara sukai.”
“Are you ok?” Dev tidak bisa
menahan keheranannya, karena selama ini setiap bertemu Mas Andra, Mas Andra
hanya marah marah padanya.
“Aku melihat Kiara bahagia dengan
pekerjaannya.” Jawab Mas Andra, “dan selama Kiara bahagia dengan apapun yang ia
lakukan, aku ikut bahagia. Itu saja yang ingin
kukatakan.”
“Oke, aku akan menyampaikan ucapan
terima kasihmu pada Mama.”
“Thanks.”
“Anytime.”
Mas Andra lalu pergi meninggalkan Dev
dan kembali masuk ke cafe.
Dev langsung masuk ke mobilnya dan
pergi meninggalkan cafe Mas Bima.
Di Teras, di lantai atas, Kiara
memperhatikan mereka berdua. Kiara tidak tahu apa yang mereka bicarakan karena
jaraknya jauh.
Kiara lalu masuk ke kamar tidurnya
untuk beristirahat.
~ ~ ~
BAB DUA PULUH LIMA
POV Kiara
Aku tak mengerti kenapa di kantor
beredar rumor kalauaku pacar Dev. Well, tentu saja aku senang
kalau itu benar. Tapi kan itu tidak benar. Aku curiga Wina yang menghembuskan rumor
itu pada semua orang. Wina benar benar dah.
Bahkan, rumor ini sampai ke
telinga tante Audrey. Tante Audrey meneleponku dan sambil bercanda bertanya
apakah benar ada hubungan istimewa antara aku dan Dev. Tentu saja aku menjawab
tidak ada apa apa antara aku dan Dev.
Akhirnya Tante Audrey mengajakku
makan siang karena katanya ia sudah kangen padaku karena cukup lama tak
bertemu.
Dan saat ini aku sedang menunggu
Tante Audrey menjemputku karena Tante Audrey ingin makan siang diluar, tidak di
gedung GC Cosmetics.
Tante Audrey akhirnya meneleponku dan
mengatakan bahwa ia sedang menungguku di bawah. Aku langsung mengambil tas dan
HPku dan bilang pada Wina bahwa aku akan makan siang di luar.
Tante Audrey langsung memelukku saat
melihatku, kami lalu berjalan ke arah mobil tante Audrey yang diparkir tidak
jauh dari pintu utama.
Tante Audrey sedang malas
mengemudikan mobilnya, sehingga ia diantar oleh Pak Ridwan.
Kami lalu pergi ke restoran sea
food karena Tante Audrey bilang, ia sedang ingin makan lobster.
Kami makan dengan lahap dan bercerita
tentang segala macam. Tapi saat aku bertanya tentang Mona, wajah tante Audrey
tiba tiba berubah sedih.
“Hubungan Mona dan Dev saat ini
sedang tidak harmonis,” ujar Tante Audrey.
“Apa yang terjadi Tante?” tanyaku.
“Mona ternyata sangat berambisi untuk
menjadi model internasional. Mona, tiga bulan kemarin sudah sekolah modelling
di salah satu sekolah modelling di Paris.”
Tante Audrey menghela nafas sebentar.
“Dev sangat mendukung karir Mona. Ia memperbolehkan Mona sekolah di Paris
kemarin, tapi Dev berharap setelah itu Mona bekerja di jakarta saja, tapi Mona
punya keinginan yang berbeda dengan Dev.”
“Dan apa keinginan Mona?” tanyaku.
“Saat sekolah modelling di Paris, ada
beberapa agensi model di sana menawarkan Mona untuk bergabung dengan agensi
mereka. Mereka berjanji akan mencarikan Mona pekerjaan. Agensi model yang
mengajak Mona bergabung cukup bergengsi karena sudah melahirkan banyak model
internasional yang terkenal. Selain Mona, salah satu teman Mona yang berasal
dari Indonesia, namanya Tamara, sudah menyatakan diri untuk bergabung. Mona
ingin bergabung seperti Tamara. Tapi ia tak bisa melakukannya begitu saja
karena ia harus berdiskusi dengan Dev terlebih dahulu, ia harus meminta
persetujuan dari Dev. Mona akhirnya meminta waktu pada agensi tersebut untuk
memikirkan tawaran mereka. Setelah itu Mona kembali ke Indonesia dan bertanya
apa pendapat Dev tentang tawaran kerja itu, Dev langsung menentang keras
keinginan Mona. Dev bilang bekerja bisa dimana saja tidak harus di Paris. Tapi
Mona bilang Paris adalah salah satu jalan yang terbaik untuknya untuk menunjang
karir internasionalnya. Mereka lalu bertengkar.”
Tante Audrey lalu diam sebentar. “Dev
bilang padaku, kalau Mona bekerja di Paris, mereka akan berjauhan dan Dev tidak
bisa melakukan hubungan jarak jauh seperti itu.”
“Lalu?” tanyaku penasaran.
“Lalu,” Tante Audrey tersenyum sedih
menatap Kiara, “lalu Mona tetap memutuskan pergi ke Paris.”
“Oh my God.” Seruku, aku benar
benar kaget dengan keputusan Mona. “Dan Mona sudah berangkat?”
“Belum, lusa jadwal
keberangkatannya.”
“Aku harap Mona membatalkan
kepergiannya.” Ujarku, “Dev benar, berkarir bisa dimana saja.”
“Sepertinya susah untuk merubah
pikiran Mona. Tante hanya berharap bahwa Dev lebih sabar menghadapi Mona. Mona
masih sangat muda. Dev harus memahami dirinya.”
Sepertinya Tante Audrey sangat sayang
pada Mona, keluhku
dalam hati, sampai Tante Audrey membela Mona dan bukan membela Dev.
“Tapi tante, Tante juga harus
mengerti Dev, ia mungkin menginginkan hal itu karena…”
“Ini tidak lama Kiara, paling satu
dua tahun Mona merasa capek dengan pekerjaannya dan ia pulang.”
“Tante bisa menjamin itu?” tanyaku,
“bagaimana kalau Mona betah tinggal di sana dan terus asik dengan pekerjaannya?
Sampai kapan Dev harus menunggunya?”
Tante Audrey menghela nafas panjang,
“Tante hanya menyayangi putera tante, Kiara. Tante ikut bahagia kalau Dev
bahagia, dan kalau Mona adalah kebahagiaan Dev, tante akan memperjuangkan
kebahagian Dev itu. Itu yang terpenting buat tante, kebahagiaan putera tante.”
“Ya, mudah mudahan mereka punya jalan
keluar yang baik.” Ujarku akhirnya.
“Mudah mudahan.” Tante Audrey kini
tersenyum lagi, walau aku masih bisa melihat bahwa senyum tante Audrey masih
diliputi kesedihan.
~ ~ ~
POV Author
Dev asik memainkan HPnya tanpa
perduli dengan Mona yang sedang duduk di hadapannya. Mereka, saat ini, sedang
berada di bandara Soetta.
Dev mengantar Mona ke bandara walau
ia tak setuju Mona pergi.
Jadi sejak ia menjemput Mona ke
rumahnya, hingga mereka tiba di bandara, Dev lebih banyak diam. Kalau Mona
bertanya sesuatu padanya, Dev hanya akan menjawab singkat, ‘Ya’, ‘tidak’ atau
hanya mengangguk dan menggeleng saja. Mona mulai merasa resah dengan sikap acuh
Dev padanya.
“Sayang, udahan dong marahnya,
please?” ujar Mona. “Aku nggak akan tenang perginya kalau kau marah
terus seperti ini.”
“Kalau begitu jangan pergi.”
“Kau tahu aku tak bisa. Ini masa
depanku Dev.”
“Memang di sini bukan masa depanmu?
Seperti sering aku bilang, banyak agensi model yang bagus di sini, kau bisa
bekerja dengan mereka.”
“Aku capek harus menjelaskan ke kamu
kalau kesempatan di Paris lebih…”
“Kalau begitu jangan menjelaskan apa
apa.”
Mona diam lagi.
Dev lalu melihat jam di HPnya, “waktu
keberangkatanmu setengah jam lagi. Aku ke mobil sekarang dan..”
“Dev, ini masih lama. Temani aku
dulu.”
“Aku belum selesai bicara,” ujar Dev,
“aku ke mobil sekarang. Aku akan menunggumu di mobil selama setengah jam. Kalau
dalam waktu setengah jam tersebut kamu tidak kembali ke mobilku, kita selesai.”
“No, Dev, jangan melakukan ini
padaku.” Mona langsung menangis mendengar ucapan Dev. “Aku sangat mencintaimu
Dev, please Dev, jangan seperti ini. Aku tidak mau kehilanganmu, aku
sangat mencintaimu.”
“Kalau begitu jangan pergi.”
“Aku tidak bisa Dev, aku…”
“Aku? Atau Paris? Hanya itu
pilihanmu.” Dev lalu meninggalkan Mona.
Mona berteriak memanggil namanya,
tapi Dev tak memperdulikan teriakan Mona.
~ ~ ~
POV Devano
Sudah setengah jam berlalu, tapi
tidak ada tanda tanda Mona akan kembali. Aku mendesah kecewa. Aku sudah
mempersiapkan ini. Aku sudah mempersiapkan diri kalau Mona pasti lebih memilih
Paris daripada aku. Tapi tetap saja rasa kecewa itu melandaku. Bagi Mona, aku
ternyata tidak lebih penting dari karirnya.
Aku akhirnya turun dari mobil. Aku
ingin memastikan apakah benar Mona jadi berangkat ke Paris atau tidak. Aku
datang ke kantor Airlines tempat Mona membeli tiket pesawatnya.
Aku bertanya pada petugas disana
apakah nama Mona ada dalam dalam penerbangan menuju Paris yang take off beberapa
menit yang lalu. Dan petugas disana mengatakan kalau nama Mona berada di antara
nama penumpang di pesawat yang sedang menuju ke Paris.
Aku akhirnya pulang ke rumah
orangtuaku. Aku harus memberitahu Mama apa yang terjadi.
Mama tersenyum saat melihatku. “Mona
sudah berangkat Dev?” tanya Mama.
“Sudah.” Jawabku.
“Semoga Mona sampai dengan selamat.”
“Ya.”
“Sudah, jangan bersedih Dev, siapa
tahu nanti Mona berubah pikiran dan tiba tiba pulang kembali ke Jakarta dan…”
“Ma, aku dan Mona sudah putus.”
Mama menatapku tak percaya, matanya
berkaca kaca, “apa kamu bilang?”
“Hubungan aku dan Mona sudah selesai.
Mama jangan berharap apapun lagi tentang Mona mulai dari sekarang.”
“Tapi Dev…”
“Aku ke kamarku dulu Ma. Aku mau
beristirahat. Selamat malam.” Aku lalu pergi meninggalkan Mama dan berjalan ke
arah kamarku tanpa menunggu jawaban Mama.
~ ~ ~
POV Author
Kiara tidak bisa berkonsentrasi
bekerja karena suara ribut di luar ruang kerjanya. Kiara lalu menelepon Wina
menanyakan ada apa, Wina bilang Della lagi sibuk Selfie dengan Sebastian. Dan
selain Della, ada beberapa wanita entah siapa dan darimana, ikut selfie bersama
Sebastian.
Kiara lalu bertanya lagi ada
kepentingan apa Sebastian datang, Wina bilang ia tidak tahu.
“Kau sudah berkenalan belum dengan
Sebastian?” tanya Kiara lagi.
“Sudah.”
“Kapan?”
“Beberapa hari yang lalu saat
Sebastian datang ke lantai dasar GC Cosmetics untuk ikut mempromosikan
parfum.”
“Oh, ya sudah kalau begitu, kirain
belum berkenalan.”
“Crowded banget loh Ki waktu
itu. Waktu Sebastian datang, banyak cewek cewek yang minta foto bareng. Rebutan
malah.”
“O, ya?”
“Ya. Sepertinya Sebastian jadi idola
baru.”
Kiara langsung tertawa.
“Pak Devano keren ya, instingnya
tajam. Dia memilih model yang tepat. Sebastian itu mewakili produk parfumnya
banget. Tampan, karismatik, ada kesan kesan misteriusnya juga.” Ujar Wina lagi.
“Kamu tahu darimana Dev yang memilih
Sebastian sebagai model produknya?” tanya Kiara.
“Begini, kemarin aku ketemu ibu Clara
diatas, pas makan siang.”
“Ibu Clara itu siapa?”
“Direktur pemasaran GC Cosmetics.
Ia yang bertanggung jawab untuk pemilihan model produk parfum ini.”
“Lalu?” tanya Kiara.
“Iya, menurut ibu Clara, untuk produk
parfum pria, Pak Devano ingin dicarikan seorang model yang bisa
mempresentasikan produk itu. Karena hal itu pula, ibu Clara langsung
menghubungi beberapa agensi model di Jakarta dan mengatakan pada mereka bahwa
ia sedang mencari model pria untuk produk parfum. Para agensi itu lalu
mengirimkan foto foto model mereka lengkap dengan data diri mereka. Ada banyak
foto yang masuk ke email ibu Clara, hingga terpilihlah 10 foto yang menurut ibu
Clara bisa mempresentasikan parfum itu. Nah, kesepuluh foto itu ibu Clara
berikan pada Pak Devano untuk penentuan akhir, lalu terpilih-lah Sebastian.”
Kiara langsung menahan tawanya, ia
ingin bilang pada Wina bahwa ia yang memilih Sebastian, bukan Dev, tapi tidak
jadi.
“Jadi begitu ceritanya?” tanya Kiara.
“Iya.”
“Ya sudah kalau begitu, selamat
bekerja lagi ya Wina.”
“Oke.”
Baru saja Kiara selesai ngobrol
dengan Wina, seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya, Kiara langsung
mempersilahkan orang itu masuk.
Sebastian masuk sambil tersenyum
lebar. “Selamat siang, maaf mengganggu.” Ujar Sebastian.
“Tidak mengganggu kok, ada keperluan
apa datang ke sini?” tanya Kiara.
“Aku hanya ingin memberikan ini buat
Ibu Kiara.” Sebastian memberikan sebuah kantong berwarna merah.
“Apa ini?” tanya Kiara.
“Cokelat dari Swiss.”
“Wow, keren, kau habis pulang dari
Swiss?” tanya Kiara.
“Temanku yang habis dari sana.
Temanku ada pemotretan disana, dan ia membawa cokelat yang banyak dan aku
kurang begitu suka cokelat jadi aku berikan ini untuk ibu Kiara, mudah mudahan
ibu suka.”
“Tentu saja aku suka.” Kiara langsung
tertawa, “berbeda denganmu, aku suka sekali cokelat. Terima kasih ya.”
“Sama sama.” Ujar Sebastian.
“Pacar kamu sudah dikasih juga kan
cokelat ini?” ujar Kiara lagi sambil tersenyum.
“Aku tidak punya pacar.” Jawab
Sebastian.
“Masa sih?”
“Iya.”
“Ya sudah, sekali lagi terima kasih
cokelatnya.”
“Iya, sama sama, aku pamit sekarang
ibu Kiara.”
“Oke, sampai bertemu lagi.”
Sebastian lalu keluar dari pintu
ruang kerja kiara, tapi di pintu masuk D & D Advertising, ada
beberapa orang wanita yang sepertinya sedang menunggu dirinya.
Sebastian tidak jadi pulang. Ia
berkeliling lagi di kantor D & D Advertising. ‘Ia lalu melihat Vian
masuk ke ruang kerjanya. Sebastian langsung berjalan ke arah Vian dan ikut
masuk ke ruang kerja Vian. Disana ia kaget melihat gambar Naruto.
“Wow, Naruto.” Serunya. “Aku juga
suka Naruto, ini yang gambar siapa, bagus banget, kamu?”
“Bukan, kalau gue pinter gambar, gue
nyambi jadi kartunis kali.” Jawab Vian, “ngomong ngomong ngapain elu
disini tengah hari bolong gini, emang ada syuting tambahan?”
“Enggak, lagi iseng saja main ke
sini.” Jawab Sebastian, “aku mau dong digambarin kayak gini, maksudku, aku mau
gambar Naruto di apartemenku. Boleh tahu enggak siapa yang gambar?”
“Kalau udah gue kenalin, nanti kalau
dia gambar, bayar ya. Hitung hitungannya harus profesional.”
“Ya, iyalah, masa gratis.” Jawab
Sebastian.
“Sebentar, gue panggilin dulu
orangnya.” Vian pergi keluar ruang kerjanya, lalu kembali lagi bersama Mia.
“Ini, temen gue, namanya Mia, dia
yang gambar kartun itu.”
“Hai Mia, aku Sebastian.” Ujar
Sebastian. “Kalau ada waktu luang, tolong gambarin Naruto dong di apartemenku.”
“Tentu, tidak masalah.” Jawab Mia
sambil tersenyum menatap Sebastian.
~ ~ ~
POV Kiara
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh
malam, tapi aku tak bisa tidur juga.
Aku lalu berjalan ke lemari bajuku,
lalu mengambil sesuatu di balik tumpukan bajuku.
Sesuatu itu adalah cincin. Aku
membuka kotak cincin itu dan memandangi cincinnya. Cincinnya nampak berkilau
terkena lampu tempat tidurku.
Itu adalah cincin dari Mas Andra. Mas
Andra melamarku minggu lalu. Ia mengajak aku makan malam dan menyatakan
perasaan sayangnya padaku. Dan melamarku. Aku terlalu terkejut dengan lamaran
itu sehingga aku tidak tahu harus berbuat apa. Atau berkata apa.
Aku sudah bisa memperkirakan tentang
rasa suka Mas Andra padaku selama ini, tapi langsung melamarku?
Aku akhirnya meminta waktu pada Mas
Andra untuk memberi Mas Andra jawaban
karena aku benar benar belum bisa memberikan jawaban apa apa saat itu karena
terlalu terkejut.
Mas Andra tak keberatan dengan hal
itu, ia akan memberiku waktu sebanyak aku mau sampai aku siap menjawab
lamarannya.
Tapi malam ini, aku tetap belum
menemukan jawabannya. Aku tidak mencintai Mas Andra. Aku mencintai Dev. Tapi
mengingat Laras yang terus mendesakku agar cepat cepat menikah, aku lalu
berpikir apa sebaiknya aku menerima lamaran Mas Andra saja.
“Ini apa,” Tia tiba tiba mengambil
kotak cincin yang kupegang dan melihat isinya. Aku terlalu asik dengan
pikiranku sampai tidak tahu Tia datang menghampiriku.
“Oh My God!” Tia langsung
berteriak kaget. “Ini pasti Mas Andra. Mas Andra yang melamar Kak Kiara kan?”
“Tia jangan berisik, kembalikan
tidak!”
“No, jawab dulu pertanyaanku,
Mas Andra yang melamar Kak Kiara kan?!”
“Iya, tapi kembalikan cepat.”
“No, tidak semudah itu! Mas
Bimaaa…” Tia langsung lari keluar dan turun kebawah sambil membawa cincin itu.
Aku membiarkan Tia pergi, aku malas
mengejarnya. Di cafe pasti banyak pelanggan, dan aku malas kalau nanti terjadi
keributan.
Aku hanya memijit kepalaku yang tiba
tiba terasa sakit.
Tia kembali sepuluh menit kemudian
sambil mengembalikan cincin itu. “Cincinnya indah,” Komentarnya, “selamat ya
Kak Kiara.”
“Aku belum mengatakan iya pada Mas
Andra.” Ujarku.
“Itu hanya masalah waktu,” Tia lalu
menelepon seseorang.
“Siapa yang kau telepon Tia?” ujarku,
“jangan macam macam.”
“Sst, jangan berisik Kak Kiara.
Hallo, ya, hallo Kak Wina apa kabar?”
“Tia, matikan teleponnya!” teriakku.
“No!” sahut Tia. “Kak Wina,
kak Wina sudah tahu belum kalau Mas Andra sudah melamar Kak Kiara?! Hah belum
tahu?! Yang benar! Cincinnya bagus loh kak. Oh, oke, nanti aku telepon kakak
lagi.”
“Kenapa kamu tidak sekalian saja
menelepon Presiden Indonesia dan memberitahu dia kalau Mas Andra melamarku?”
tanyaku kesal pada Tia.
“Kalau aku punya nomor teleponnya
akan kuberitahu,” ujar Tia, “siapa tahu nanti Pak Jokowi ngasih hadiah sepeda.”
“Hadiah sepeda? Ke pernikahan?”
“Siapa tahu.”
Tidak berapa lama Wina langsung
meneleponku.
“Akhirnya,” ujar Wina setelah aku
menerima panggilan telepon darinya, “ada yang berani menyatakan perasaannya
padamu. Ini keren. Harusnya Mas Andra melakukan ini dari dulu.”
“Ini tidak seperti yang kau bayangkan
Wina.”
“Ah, terserahlah, yang penting bagiku
ini kabar yang menggembirakan.”
“Please Wina, jangan bikin rumor
yang aneh aneh lagi di kantor, aku belum memberikan jawaban pada Mas
Andra.”
“Serius belum memberikan jawaban?”
tanya Wina kaget. “Are you kidding me?”
“Ini terlalu mendadak. Ini sangat
mengejutkan aku.”
“Aku rasa bukan karena itu.” Ujar
Wina lagi.
“Jadi, menurutmu karena apa?”
“Karena Pak Devano.”
Aku diam, aku suka kehabisan kata
kata kalau sudah bicara tentang Dev.
“Aku tidak punya kesempatan apa apa
tentang diri Dev, Win, kau tahu betul itu.”
“Hm, baiklah, mumpung kamu belum
memberikan jawaban pada Mas Andra, saranku, tanyakan lagi pada hati nuranimu
yang paling dalam apa yang kau inginkan sebenarnya. Jangan menikah karena
terpaksa Kiara. Aku menyayangimu, aku ingin yang terbaik untukmu.”
“Oke, terima kasih Wina.”
“Sama sama.”
Baru selesai aku ngobrol dengan Wina,
giliran Mas Andra yang meneleponku.
“Hallo,” ujarku.
“Ki, aku tidak sedang berada di cafe
Mas Bima malam ini, aku sedang dirumah, barusan Mas Bima meneleponku dan
mengucapkan selamat itu maksudnya apa ya?”
“Aku minta maaf,” ujarku langsung,
“itu kerjaan Tia. Ia memergoki aku sedang melihat cincin dari Mas Andra, lalu
Tia mengambil cincin itu lalu memamerkannya ke Mas Bima dan entah ke siapa lagi
di cafe sana. Aku benar benar minta maaf.”
“It’s ok, itu tidak penting,
yang penting adalah jawabanmu, kau sudah siap menjawabnya?”
“Minggu depan ok? Aku akan
menjawabnya minggu depan.”
“Ok, sampai bertemu minggu depan. Sleep
well Kiara. I Love You.”
Aku meletakkan HPku di kasur setelah
ngobrol dengan Mas Andra. Lalu setelah itu aku duduk termenung, karena tidak
tahu harus melakukan apa.
~ ~ ~
POV Author
“Rileks sebastian, tanganmu harus
rileks,” ujar Mia.
“O, oke.” Ujar Sebastian.
“Kalian sedang apa sih?” Della yang
baru makan siang langsung heran melihat Mia dan Sebastian duduk di ruang
kerjanya, di ruang front desk.
“Bikin tatto temporary,” jawab
Sebastian.
“Bikin tatto temporary
ditempatku!” Omel Della, Della merasa cemburu pada Mia yang bisa memegang
tangan Sebastian seperti itu, “kenapa tidak ditempatmu saja Mia?”
“Tempatku berantakan, belum aku
beresin.” Jawab Mia.
Della akhirnya mencari kursi dan
duduk disamping Sebastian.
“Apa yang kau gambar?” tanya Della
pada Mia.
“Burung hantu. Sebastian maunya
gambar burung hantu.”
“Kau menggambar menggunakan apa?”
“Eyeliner, tapi yang padat bukan yang
cair, kalau yang cair susah nempel.”
“Eyeliner, kosmetik untuk mata?”
tanya Della.
“Eyeliner memang untuk mata,” Ujar
Sebastian, “kalau untuk hidung itu noseliner, untuk telinga earliner.”
“Ih, kamu lucu ya Sebastian, aku
suka.” Della tersenyum manis pada Sebastian.
“Woi kerja, kerja, ngapain ngerumpi
disini.” Iwan tiba tiba datang menghampiri mereka.
“Iwan,” ujar Mia sambil terus
menggambar, “Ibu Kiara bilang jam makan siang kita boleh melakukan apa saja,
mau yoga silahkan, mau pilates silahkan, asal pas masuk waktu kerja semua
kegiatan itu kita hentikan dan kita bekerja lagi. Sekarang masih jam setengah
satu, masih setengah jam lagi sebelum waktu makan siang habis.”
Karena tidak ada jawaban dari Iwan,
Mia mendongak mencari Iwan, tapi Iwan tidak ada disana. “Kalian kenapa tidak
memberitahu aku kalau Iwan langsung pergi!” seru Mia Kesal.
Della dan Sebastian langsung tertawa.
~ ~ ~
POV Author
Mas Bima tersenyum melihat tante
Audrey. Ia lalu menghampiri tante Audrey yang duduk sendiri di salah satu pojok
Cafe.
“Selamat sore tante, sudah lama tidak
kesini.” Ujar Mas Bima.
“Selamat sore. Iya nih baru sempat.”
“Pesan yang seperti biasa tante?”
tanya Mas Bima lagi.
“Ya.”
“Oke, sebentar saya bilang Siti
dulu.” Mas Bima beranjak pergi untuk memberitahu Siti agar menyiapkan minum
untuk tante Audrey lalu kembali lagi menghampiri tante Audrey dan duduk di
hadapan tante Audrey.
“Kalau datang ke sini, aku selalu
ingat Kiara,” ujar Tante Audrey sambil tersenyum menatap Mas Bima, “Kiara dulu
sering menemaniku ngobrol di sini. Kiara juga selalu menghiburku kalau aku
sedang sedih sehingga aku tertawa lagi.”
“Tante tahu dimana Kiara sekarang
berada. Kiara ada dikantornya, di ruang kerjanya. Tante masih bisa menemui
Kiara dan ngobrol dengannya.” Ujar Mas Bima.
“Ya, tapi tetap lain Bim, suasananya
tetap lain. Di sini sejuk, banyak pohon, suasananya sepi. Yang membuat lain itu
adalah, saat aku masuk ke sini tadi, tidak ada Kiara yang menyambutku dengan
ceria dan ramah seperti dulu. Saat aku datang tadi, tidak ada Kiara disini.”
Tante Audrey tiba tiba menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia saat ini sedang
sangat sedih. Sejak tahu Dev dan Mona putus, ia terus terusan merasa sedih.
“Tante ini aneh,” Mas Bima tertawa,
“tante sendiri yang mendirikan D & D Advertising agar Kiara bekerja disana. Tapi tante
sekarang merindukan Kiara bekerja disini.”
Tante Audrey tersenyum, “ya kau
benar, aku sedang terbawa suasana.”
“Tante, karena aku jarang bertemu
tante, aku mau mengucapkan terima kasih sekarang pada tante karena tante sudah
memberi kesempatan pada Kiara menjadi seperti sekarang. Kiara berubah pesat
sejak bekerja di D & D Advertising. Ia jadi lebih tegas, smart, bijak,
dewasa.”
“Sama sama Bima, Kiara memang punya
kemampuan untuk itu. Tante melihat potensi seorang pemimpin di diri Kiara. Untuk
itulah tante memberi kepercayaan pada Kiara untuk memimpin D & D
Advertising seperti sekarang.”
“Sejauh ini pekerjaannya tidak
mengecewakan?” tanya Mas Bima sambil tertawa.
“Sejauh ini aman aman saja.”
“Syukurlah.” Ujar Mas Bima lagi, “aku
harap saat Kiara menikah nanti, suaminya mengijinkan Kiara untuk tetap bekerja
di D & D Advertising, dan tidak harus keluar dari sana.”
“Menikah? Kiara mau menikah?” teriak
Tante Audrey kaget, “dengan siapa?”
“Andra.”
“Apa?!”
“Andra sudah melamar Kiara. Jadi, ya
kita tunggu saja undangan pernikahan dari mereka.”
~ ~ ~
POV Devano
Aku mengemudikan mobilku dengan
cepat, jalanan sedang tidak terlalu ramai. Aku harus cepat sampai di rumah
karena Bi Surti meneleponku dan memberitahuku kalau Mama terus terusan menangis.
Setelah sampai di rumah aku lalu
berlari ke dalam rumah dan mendapati Mama sedang duduk di ruang keluarga.
Dan Mama sedang menangis. Aku
langsung menghampiri Mama.
“Ma, Mama kenapa?” tanyaku.
Mama tidak menjawab, Mama masih
menangis.
“Ada masalah apa Ma?”
“Tidak ada apa apa, Mama hanya sedih
saja.”
“Sedih kenapa sih Ma? Masalah Mona?
Aku kan sudah bilang…”
“Bukan, ini bukan masalah Mona.”
“Lalu apa?”
“Ini masalah Kiara.”
“Kiara?” tanyaku kaget, “ada apa
dengan Kiara?”
“Kiara mau menikah Dev. Mama tidak
mau Kiara meninggalkan Mama, suaminya pasti akan membawa Kiara pergi. Mama akan
kehilangan Kiara.”
“Apa maksud Mama Kiara akan menikah?”
“Andra sudah melamarnya. Dan.. dan..
Dev, Mama sayang Kiara, Mama tidak mau kehilangan dia.”
“Mama tidak akan kehilangan
siapapun.” Aku lalu memeluk Mama erat, “Mama tidak akan kehilangan Kiara. Kiara
akan selalu ada untuk Mama.”
“Menurutmu begitu?”
“Ya. Kiara bahagia kerja di D
& D Advertising. Dan Mas Andra tidak akan mengambil kebahagiaan Kiara
itu. Mas Andra sangat menyayangi Kiara, ia akan
membiarkan Kiara tetap bekerja, percayalah.”
Setelah membujuk Mama beberapa lama
lagi, akhirnya Mama tenang dan tidak menangis lagi.
Setelah Mama tenang, aku akhirnya
pergi ke kamarku. Di hadapan Mama tadi aku tidak menangis. Tapi aku tidak dapat
menahan tangisku saat aku sendirian di kamarku.
Dadaku sesak dan sakit. Hari ini, aku
kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupku. Aku kehilangan universe-ku.
Aku kehilangan cintaku. Aku kehilangan Kiara-ku.
~ ~ ~
BAB DUA PULUH ENAM
POV Kiara
Aku tersenyum memperhatikan rumahku
dari kejauhan. Rumahku sederhana, tapi punya kebun bunga yang cukup luas
sehingga jadi kelihatan cantik dan asri.
Kebun bunga itu ibu dan aku yang
menanam, karena kebetulan, hanya aku dan ibu yang suka tanaman dan suka
berkebun, yang lain tidak.
Aku pulang ke Yogya karena ibu besok
berulangtahun. Sebenarnya tidak ada kewajiban bagiku untuk pulang dan merayakan
ulang tahun ibu. Tapi entah kenapa aku kangen saja ingin ketemu ibu dan keluargaku.
Aku terakhir bertemu mereka saat hari raya lebaran kurang lebih tujuh bulan
yang lalu.
Aku pergi ke Yogya selama empat hari,
tapi tidak masuk kerja hanya pada hari Senin dan Selasa saja, karena hari Sabtu
dan Minggu tidak terhitung hari kerja.
Aku berangkat ke Yogya naik kereta
api dari stasiun Gambir pada hari Sabtu dini hari.
Aku berencana kembali pulang ke
Jakarta pada hari Selasa dini hari. Dan kembali masuk kerja pada hari Rabu.
Selama aku tidak masuk kerja, aku
meminta Wina untuk menghandle pekerjaanku di kantor.
Aku memberitahu kakakku Mbak Tari,
dan adikku, Laras kalau aku mau pulang. Aku minta bantuan mereka untuk
berbelanja dan masak bareng untuk merayakan ulang tahun ibu.
Mbak Tari siap membantuku, tapi Laras
tidak bisa karena hari Sabtu ini Laras ada acara ke luar kota. Laras bisa
pulang ke rumah pas hari Minggu, besok, saat ulangtahun ibu berlangsung. Jadi
terpaksa hanya aku dan Mbak Tari yang masak.
Dan rencananya kami akan masak nasi
kuning beserta lauk pauknya. Sedangkan untuk kue ulang tahun aku sudah minta
tetanggaku yang pintar membuat kue. Aku memesannya lewat WA, dan ia sanggup
mengantarkan kue itu besok.
Aku lalu berjalan mendekati rumahku,
membuka pintu pagarnya dan masuk melalui pintu dapur. Itu kebiasaan aku kalau
pulang ke rumah, selalu lewat pintu dapur, karena kalau lewat sana, aku selalu
mendapati ibuku sedang masak sesuatu. Dan benar saja ibu ternyata sedang masak
rempeyek kacang tanah dan rempeyek ikan teri.
“Ibuuu!” teriakku.
“Kiara! Kamu ngagetin saja!” Seru ibu,
“kamu pulang kok tidak bilang bilang!”
“Aku ingin bikin kejutan!” aku
tertawa. Aku lalu mencium tangan ibuku, “ayah mana Bu?”
“Ada di kamar.”
“Ya sudah aku pergi ke ayah dulu.”
Tapi belum sempat aku pergi, ayah ternyata sudah keluar lebih dulu, mungkin
karena mendengar suaraku.
“Kiara, kamu pulang.” Ujar ayah, “apa
kabar Nak?”
“Baik Ayah.” Aku mencium tangan ayah.
“Ada apa pulang dadakan begini?”
“Tidak ada apa apa, iseng saja. Mau refreshing.”
Sahutku.
“Kamu pulang karena ibumu besok
ulangtahun kan?”
“Kok Ayah tahu? Mbak Tari yang cerita
ya?”
“Tidak, ayah sudah menduganya.”
“Ya sudah Kiara, kamu istirahat
dulu,” ujar Ibu. “Nanti ibu pesankan gudeg favoritmu pada Mbok Ratmi, tetangga
kita.”
“Asiik!” seruku, “makasih Ibu.”
“Iya.”
“Krecekannya yang banyak ya Bu!”
“Iya.”
Aku lalu berjalan ke kamarku dan
tiduran untuk menghilangkan rasa penatku.
~ ~ ~
POV Kiara
Salah satu kebiasaan keluargaku kalau
sudah berkumpul adalah saling bercerita tentang keadaan masing masing.
Dulu waktu kami masih kecil juga
begitu. Kalau kami berkumpul ayah dan ibu akan bertanya bagaimana kegiatan kami
di sekolah, ada kejadian lucu atau kejadian menarik apa yang kami alami.
Aku, Mbak Tari dan Laras akan rebutan
bercerita, sementara ibu dan ayah hanya mendengarkan. Sesekali mereka tertawa
kalau kami bercerita sesuatu yang lucu.
Malam inipun begitu, minus Laras,
yang memang sedang pergi keluar kota, aku, ayah, ibu, Mbak Tari, Mas Dito,
suami Mbak Tari, dan Surya, - anak Mbak Tari dan Mas Dito yang baru berusia
delapan tahun, - berkumpul dan saling bertukar cerita.
Mbak Tari lebih banyak bercerita
tentang keseharian Surya di sekolah, tentang teman teman Surya, tentang makanan
favorit Surya. Mbak Tari juga bercerita tentang beberapa tetangganya yang punya
hobi ngerumpi dan selalu keppo dengan urusan orang lain.
Ayah bercerita tentang hobi
mancingnya yang akhir akhir ini ia tekuni lagi setelah beberapa waktu yang lalu
ayah malas melakukannya.
Ibu bercerita tentang beberapa resep
baru yang sedang ia coba bikin tapi kebanyakan gagalnya daripada berhasilnya.
Aku bercerita tentang teman teman
kerjaku yang lucu lucu, sedangkan Mas Dito bercerita tentang murid muridnya.
Seperti ayah, Mas Dito bekerja
sebagai guru SMA. Hanya bedanya ayah sudah pensiun dan Mas Dito masih aktif
mengajar.
Sambil ngobrol, ibu turut menyediakan
kacang rebus, ubi rebus, singkong rebus dan wedang ronde untuk camilan
kami.
Menjelang tengah malam, satu per satu
tumbang karena mengantuk.
Ayah pamit untuk tidur lebih dulu,
Mbak Tari juga pergi ke kamarnya untuk menidurkan Surya yang sudah terlelap.
Mbak Tari juga pamit untuk tidur lebih dulu, sementara Mas Dito pulang ke rumah
mereka di Kulon Progo, dan tidak menginap. Mas Dito akan datang lagi besok sore
untuk merayakan ulang tahun ibu sekaligus menjemput Mbak Tari dan Surya pulang
ke rumah mereka.
Kini tinggal aku berdua ibu.
Aku lalu memeluk ibu erat. “Aku
kangen ibu.” Ujarku.
Ibu cuma tersenyum.
“Ibu belum ngantuk?” tanyaku.
“Belum, sebentar lagi ibu tidur.”
“Aku juga.”
“Bagaimana kabar Mas Bima Ki?”
“Baik, Mas Bima baik.”
“Syukurlah,” sahut ibu. “Kalau Mas
Bima tidak ada di Jakarta, dulu ibu tidak akan mengijinkan kamu pergi ke
Jakarta untuk kuliah. Berhubung Mas Bima sanggup untuk memperhatikan dan
menjagamu disana, ibu jadi setuju.”
“Ya,” aku tersenyum menatap ibu.
“Usaha cafenya bagaimana?”
“Sukses Bu, banyak langganan yang
selalu datang ke cafe Mas Bima.”
Lalu kami sama sama terdiam.
“Bu,”
“Hm,”
“Laras apa kabar?”
“Besok kan Laras pulang, kamu ketemu
Laras besok, Laras baik baik saja.”
“Maksudku tentang rencana
pernikahannya.”
Ibu hanya menghela nafas.
“Aku ikhlas kok Laras menikah lebih
dulu, ibu jangan mengkhawatirkan aku.”
“Benar kamu ikhlas?” tanya ibu.
“Iya Ibu, kan dari dulu aku sudah
bilang ke ibu.”
Kami terdiam lagi.
“Sebenarnya idealnya itu, kamu
menikah lebih dulu dari Laras, Kiara.”
“Idealnya memang begitu Ibu, tapi
kalau jodoh Laras datang lebih dulu, aku harus bagaimana dong.”
“Masa sih di Jakarta yang segitu
luasnya tidak ada satupun pria yang kamu sukai?”
Aku langsung tertawa mendengar
pertanyaan ibu. Ada sih bu satu, ujarku dalam hati, namanya Devano,
dia lucu, tampan, ngangenin, tapi dia bukan untukku…
“Kenapa tertawa?” tanya ibu, “memang
pertanyaan ibu lucu?”
“Tidak, tidak lucu, tapi ibu benar.
Harusnya ada yang aku sukai. Pulang dari sini, aku akan berusaha lebih keras
Bu, untuk dapetin pacar.”
“Kamu tuh, bercanda saja kerjaannya.”
“Tidak bu, tidak bercanda, aku akan
berusaha, sungguh.”
“Ya sudah, kalau kamu tidak apa apa.
Ibu setuju Laras menikah lebih dulu dari kamu.”
“Sungguh?” teriakku tak percaya.
Ibu mengangguk.
“Terima kasih ibu. Ibu tahu nggak,
jawaban ibu ini bikin aku lega.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Ya, karena aku tidak punya kewajiban
menikah cepat cepat dengan orang yang tidak aku cintai.”
“Ya jangan Kiara. Siapa juga yang
menyuruh kamu menikah dengan orang yang tidak kamu cintai. Menikahlah dengan
orang yang kamu sayangi, yang mampu membuat kamu bahagia, yang membuat kamu
semangat dalam menjalani hari harimu bersamanya.”
“Iya, ibu benar. Makasih sekali lagi
Bu, aku sayang ibu.”
“Ibu juga sayang padamu.”
~ ~ ~
POV Kiara
Perayaan ulang tahun ibu, walau
dirayakan secara sederhana, tapi sangat berkesan untukku.
Karena pada hari itu pula, Mas Arya,
pacar Laras, meminta restu pada ayah dan ibuku untuk menikahi Laras.
Laras sendiri langsung memelukku
dengan gembira dan mengucapkan terima kasih.
Aku hanya bilang pada Laras agar ia
jangan mendesakku lagi dan Laras langsung tertawa.
Well, paling tidak, kepulanganku ke rumah
kali ini membuahkan sesuatu yang manis.
Aku bahagia kalau melihat Laras
bahagia.
~ ~ ~
POV Author
Wina baru mau memesan kopi secara
online saat ketukan di pintu ruang kerjanya terdengar.
Hari Senin pagi ini banyak pekerjaan
yang harus Wina lakukan sehingga ia tak sempat sarapan dan bikin kopi.
“Ya, masuk.” Ujar Wina saat ketukan
pintu terdengar lagi.
Mas Andra masuk ke ruang kerja Wina
sambil menenteng dua gelaskopi dan satu kotak donat ukuran sedang.
“Oh My God, donat! Aku mau
donat, aku lapar.”
Mas Andra tersenyum dan memberikan
dus donat yang dipegangnya pada Wina. Wina langsung mengambil donat satu dan
mengunyahnya.
“Boleh minta kopinya juga?” tanya
Wina.
Mas Andra kembali tersenyum,
“silahkan.” Ujar Mas Andra sambil menaruh dua gelas kopi itu di atas meja kerja
Wina.
Wina langsung mengambil satu gelas
dan meminum kopinya. Lalu ia menaruh kopinya lagi.
“Aku belum sarapan, aku lapar
sekali.” Ujar Wina sambil mengunyah donatnya lagi.
“Ya,” ujar Mas Andra, “makannya pelan
pelan, nanti keselek.”
Wina tertawa, “aku tahu donat dan
kopi ini untuk sarapan Kiara, tapi Kiara tidak masuk kerja hari ini.”
“Ya, barusan aku mengetuk ruang
kerjanya, tapi tidak ada jawaban. Kenapa Kiara tidak kerja hari ini?”
“Pulang kampung untuk merayakan ulang
tahun ibunya. Memang Kiara tidak memberi tahu Mas Andra?”
Mas Andra menggeleng.
“Duduk Mas, pegel tahu berdiri terus
kayak gitu.”
“Tapi aku mau langsung pulang.”
“Duduk dulu kenapa sih. Senin
pagi begini jalanan macet. Mas Andra bawa mobil?”
“Motor.”
“Sama, naik motor juga macet.”
“Tidak ah, naik motor bisa lewat
jalan tikus.”
“Mau jalan tikus, jalan kucing, jalan
kelinci, tetap macet.”
Mas Andra lalu duduk di hadapan Wina.
“Diminum kopinya Mas, mumpung masih
hangat.”
“Terima kasih,” Mas Andra lalu
meminum kopi yang ia bawa.
“Sama sama.” Wina tersenyum, “lain
kali kalau mau datang ke sini dan bertemu Kiara, telepon aku dulu, nanti aku
beritahu Kiaranya ada atau tidak.”
“Aku cuma sekalian mampir.”
“It’s Ok.”
“Aku sudah duduk, sekarang aku harus
ngapain?” tanya Mas Andra.
“Ngeliatin aku kerja.” Jawab Wina.
“Ya dimakanlah donatnya, kita sarapan bareng.”
Mas Andra hanya melihat donat yang ia
bawa tanpa mengambilnya.
“Jadi, Mas Andra yang ganteng,
jawaban Kiara hari Jum’at malam kemarin apa?”
“Aku tahu,, pasti ada sesuatu yang
ingin kau tanyakan.” Ujar Mas Andra langsung, “hingga kau memintaku duduk manis
seperti ini.”
“Masalahnya, Kiara tidak mau cerita
apa apa padaku.”
“O, ya? Kau kan teman dekatnya. Tidak
mungkin Kiara tidak cerita.”
“Itu dia yang bikin aneh. Kiara
seolah olah tidak percaya pada teman dekatnya sendiri.”
“Mungkin karena teman dekatnya suka
menyebar gosip yang tidak tidak tentang dirinya.”
“Mungkin,” sahut Wina, “ayolah Mas
Andra, cerita padaku.”
Mas Andra diam.
“Begini saja,” ujar Wina sambil
mengambil kertas dan mengguntingnya. “Mas Andra tidak usah menjawab, Mas Andra
tinggal mengambil kertas yang kugunting, bentuk love kalau jawaban Kiara
kemarin yes, dan bentuk kotak, kalau jawaban Kiara kemarin tidak.”
Wina masih terus asik menggunting,
hingga guntingannya selesai, lalu ia menaruh guntingan kertas itu di hadapan
Mas Andra.
Mas Andra hanya memandangi kertas itu
tanpa mengambilnya.
Wina masih menunggu, tapi setelah
beberapa saat Mas Andra diam, Wina akhirnya menghela nafas kesal.
“Ya sudah deh, Mas pulang saja, aku
banyak kerjaan, tapi terima kasih donat dan kopinya.”
Mas Andra tiba tiba mengambil kertas
berbentuk love membuat Wina terkejut.
“Diterima?” teriak Wina tak percaya.
Mas Andra tersenyum, lalu merobek
kertas berbentuk love itu.
“Kiara menolakku.”
“I’m so sorry.”
“Tidak apa apa. Mungkin ini yang
terbaik untuk semuanya. Aku juga tidak mau memaksakan sesuatu yang nantinya aku
sesali.”
“Maksudnya?” tanya Wina, “pagi pagi
begini, aku suka agak error, jadi suka telmi. Maksudnya apa?”
“Katakanlah Kiara menerimaku, tapi
menerimaku karena terpaksa dan tidak sepenuh hati, - karena Kiara bilang padaku
kalau ia menyayangiku seperti ia menyayangi Mas Bima - Lalu Kiara tidak bahagia
hidup denganku, kurasa itu akan lebih menyakitkan dari penolakannya saat ini.
Itu yang aku maksud mungkin ini yang terbaik untuk semuanya.”
“Kalau aku, aku akan bahagia hidup
denganmu Mas Andra.”
“Wina, jangan ngaco, jangan
mengalihkan pembicaraan.”
“Aku serius, aku menyukaimu Mas
Andra, kalau Mas Andra melamarku saat ini, aku akan bilang iya.”
“Itu kopi yang aku bawa tidak
mengandung alkohol loh, kenapa kamu jadi mabuk seperti ini?”
“Atau aku yang melamar Mas Andra saja
gimana?” tanya Wina tanpa memperdulikan kata kata Mas Andra.
“Tidak, aku akan menolaknya, aku lagi
patah hati sekarang. Aku belum mau bicara soal pernikahan lagi.”
“It’s ok. Aku akan mencobanya
lagi lain waktu.” Wina tersenyum, “aku akan sabar menunggu Mas Andra, sampai
Mas Andra mau membukakan pintu hati Mas Andra untukku.”
~ ~ ~
POV Author
Setelah Mas Andra pergi, Wina
langsung menelepon Kiara, “Jadi kamu menolak Mas Andra?” tanya Wina langsung
saat Kiara menjawab panggilan teleponnya.
“Kamu tahu darimana sih?” Kiara
heran. “Aku kan belum cerita apa apa.”
“Bukan Wina namanya kalau hal seperti
ini tidak tahu. Jadi kamu mendengarkan apa kata hatimu seperti yang
kusarankan?”
“Ya,” jawab Kiara pelan, “ini tidak
adil buat Mas Andra. Mas Andra orangnya sangat baik, ia layak mendapatkan
seseorang yang menyayanginya dengan tulus. Mungkin sekarang Mas Andra merasa
terluka dengan penolakan ini, tapi suatu saat nanti, saat ia benar benar
bertemu dengan orang yang sangat sayang padanya dengan sepenuh jiwa raganya dan
juga yang ia sayangi, ia akan berterima kasih padaku.”
“Mudah mudahan Ki,” sahut Wina, “ini
hanya masalah waktu, waktu nanti akan menyembuhkan luka hatinya.”
~ ~ ~
POV Author
Wina menulis sesuatu di selembar
kertas. Ia lalu keluar dari ruangannya dan pergi ke GC Cosmetics untuk
bertemu Dev. Tapi kata Donna, - sekretaris Dev -, Dev sedang rapat.
“Rapatnya dimana?” tanya Wina.
“Di ruang rapat di sebelah sini.”
“Ok,” Wina lalu berjalan ke arah
ruang rapat yang ditunjuk Donna.
“Anda mau apa Ibu Wina?” tanya Donna
khawatir
“Bertemu Pak Devano sebentar saja.”
“Iya, tapi..”
Kata kata Donna terhenti karena wina
sudah masuk ke ruangan rapat.
Semua orang disana memandang Wina
heran.
“Selamat pagi semuanya, saya ada
perlu dengan Pak Devano sebentar.”
Dev berdiri dari duduknya, “ada apa
Wina?”
“Bisa kita bicara diluar sebentar?”
tanya Wina.
“Ok.” Dev mengambil HPnya lalu pamit
pada orang orang di ruang rapat tersebut untuk pergi sebentar.
Setelah diluar ruang rapat, Wina
langsung memberikan kertas yang dibawanya.
“Ini alamat Kiara di Yogya. Kiara
saat ini sedang pulang ke rumah orangtuanya di Yogya. Datanglah padanya Pak
Devano, nyatakan perasaan Anda padanya. Aku tahu Anda menderita karena mencintai
Kiara tapi tidak bisa menyatakan perasaan Anda.”
“Wina, ini hari Senin pagi, aku
sedang rapat dan kau bicara tentang perasaanku?” Dev memperhatikan keadaan
disekelilingnya, “di hadapan Donna? Kau membicarakan perasaanku di hadapan
Donna?”
“Pak Devano, Kiara menolak lamaran
Mas Andra. Kiara mencintaimu.”
“Oh my..” Dev nampak berpikir
sejenak, “Donna, bilang Ibu Clara agar memimpin rapat pagi ini dan bilang pada
Lucy untuk memesankan tiket pesawat untukku.”
“Iya, Pak Devano.” Jawab Donna.
“Terima kasih Wina,” ujar Dev pada
Wina, “aku pergi sekarang.”
“Iya Pak Devano, semoga berhasil.”
~ ~ ~
POV Author
Kiara memperhatikan anak anak yang
sedang main ayunan sambil tersenyum. Ia ingat saat kecil dulu ia suka main
ayunan disana.
Kiara sore ini sedang berada di taman
bermain anak yang terletak tidak jauh dari rumahnya.
Sebelum pulang ke Jakarta besok,
Kiara ingin bernostalgia dengan tempat tempat yang sering ia kunjungi dulu.
Seorang anak kecil sedang menendang
bola dan bola itu menghampiri Kiara. Kiara langsung berjongkok untuk memungut
bola tersebut, tapi saat Kiara berdiri Dev sudah berada di hadapannya.
Kiara benar benar terkejut dengan
kehadiran Dev di sana, ia merasa ia terlalu memikirkan Dev sehingga ia seperti
sedang melihat Dev. Tapi itu bukan bayangan atau apapun. Itu benar benar Dev.
“Dev?” tanya Kiara heran. “Kenapa
kamu ada disini?”
“Karena aku merindukanmu.”
Kiara tersenyum menatap Dev, akupun
sangat merindukanmu, ujar Kiara dalam hati.
“Tahu darimana aku disini?” tanya
Kiara lagi.
“Dari ibumu. Ibumu memberitahu kalau
kau sedang pergi ke taman ini.”
“Dan tahu dari mana alamat rumah
ibuku?”
“Wina yang memberikan.” Dev
tersenyum, “Kiara,”
“Ya?”
“Boleh aku memelukmu?”
“Ya.”
Devpun langsung memeluk Kiara dengan
erat. Ia menumpahkan semua kerinduannya pada Kiara, “I love you, Kiara,” ujar
Dev.
Dev lalu melepaskan pelukannya dan
menatap Kiara sambil tersenyum. “Be my baby please, maukah kau jadi
pacarku?”
Kiara tertawa bahagia, “Ya, Dev, aku
mau.”
~ ~ ~
POV Author
Malam ini Dev melakukan video call
dengan Tante Audrey. Tante Audrey sudah mau tidur saat Dev meneleponnya.
“Mama, tebak aku ada dimana.” Ujar
Dev.
“Mama sudah mau tidur Dev, mama tidak
mau main tebak tebakan malam malam begini.”
“Yogya! Aku sedang ada di Yogya!”
Ujar Dev.
“Ngapain kamu ke Yogya?”
“Bertemu pacarku.”
“Bertemu pacar?” teriak Tante Audrey
tak percaya.
“Iya, aku sudah move on Ma.
Aku sudah punya pacar baru sekarang.”
“Cepat amat move onnya Dev.”
“Mama gimana sih, aku nggak punya
pacar Mama sedih terus, aku move on dibilang move on nya cepat.”
Tante Audrey tertawa, “ya sudah kalau
begitu, Mama ikut senang, Mama tidur dulu ya Dev, Mama ngantuk.”
“Ma, Mama tidak mau berkenalan dengan
pacar baruku?”
“Kapan kapan saja Dev.”
“Pacarku sedang berada disampingku
sekarang loh Ma.”
“Iya tapi…”
“Selamat malam Tante.” Kiara
tersenyum sambil menyapa Tante Audrey.
“Kiara!” seru tante Audrey kaget,
“kau pacar Dev sekarang?”
“Ya.” Jawab Kiara.
“Tapi menurut Mas Bima kau akan
menikah dengan Mas Andra, tante tidak mengerti.”
“Ma, nanti aku jelaskan semuanya saat
aku pulang, ok?” ujar Dev, “sekarang mama tidur dulu, istirahat dulu, selamat
malam Mama.”
“Tapi..”
Suara tante Audrey terputus karena
Dev terlanjur mematikan HPnya.
~ ~ ~
POV Kiara
Tiga Bulan kemudian…
Pernikahan Laras dan Arya berjalan
lancar dan cukup meriah. Pernikahan mereka diselenggarakan di sebuah gedung, di
Yogyakarta sini.
Saudara saudaraku dari ayah dan
saudara saudaraku dari ibu hadir semuanya. Kami jadi bisa ngobrol dan temu
kangen. Mas Bima dan Mbak Ve juga turut datang. Tia tidak ikut karena
sedang ada ujian semester.
Dan Dev, pastinya turut mendampingiku
di pernikahan Laras ini.
Buklik aku, buklik Yayuk - yang dulu
sering meributkan kapan aku menikah - sangat menyukai Dev. Tiap kali bertemu
denganku, buklik selalu bilang ‘pacarmu kok ganteng banget sih Ki, buklik
tidak bosan melihatnya’, dan aku hanya bisa tertawa.
Aku turut mengundang keluarga Dev ke
pernikahan ini. Mama Dev, Papa Dev, dan Dinda, turut hadir disini.
Aku juga mengundang tante Jennie,
tapi sayangnya, tante Jennie tidak bisa hadir.
Dan, pastinya, aku mengundang Wina,
sahabat terbaikku.
Tebak Wina datang bersama siapa?!
Sebastian Anggoro! Model pria yang sedang digandrungi remaja remaja puteri saat
ini. Model eksklusif yang merupakan brand Ambassador dari GC
Cosmetics. Wina dan Sebastian sekarang pacaran.
Aku tidak mengerti Wina, sungguh.
Wina bilang ia sangat mencintai Mas Andra, tapi ia nembak Sebastian untuk
pacaran dengannya.
Tapi terserahlah, itu hidup Wina.
Wina yang menjalaninya.
~ ~ ~
POV Kiara
Satu tahun setelah pernikahan Laras
Aku saat ini duduk di ruang keluarga
tante Audrey, ups, maksudku Mama Audrey. Dev duduk disampingku. Ia memeluk
tubuhku. Di hadapan aku dan Dev, Mama Audrey dan tante Jennie sedang sibuk
menulis daftar undangan, tentang siapa saja yang akan mereka undang ke acara
pernikahan aku dan Dev.
Sejak Dev melamarku bulan lalu dan
aku menerima lamaran Dev, tante Audrey langsung memintaku untuk memanggilnya
Mama Audrey. Dan sejak itu pula Mama Audrey dan tante Jennie sibuk
mempersiapkan pernikahan kami.
Dev kini mengambil sebuah daftar nama
undangan yang sudah ditulis tante Jennie.
“Bapak Samuel dari PT. Jaya sentosa
itu siapa ya Tante?” tanya Dev, “rasanya aku tidak kenal.”
“Oh, itu rekan bisnis suamiku.” Jawab
tante Jennie.
“Rekan bisnis suami tante?” tanya
Dev, “tapi tidak ada hubungannya dengan aku dan Kiara kan?”
“Devano, kamu itu sudah seperti anak
sendiri bagi tante, jadi pernikahanmu itu, seperti pernikahan anak tante.”
“Oh, jadi rekan bisnis Om dan tante
juga jadi kenalan aku juga?” tanya Dev.
“Iya.” Jawab Tante Jennie.
“Kiara, darling, listmu, mau
ditambah?” tanya Mama Audrey padaku, “siapa tahu ada yang lupa yang tidak kau
undang?”
“Tidak Ma, temanku tidak banyak, itu
saja,” jawabku.
“Dev,” Mama Audrey bertanya pada Dev,
“kau bagaimana?”
“Ehm, begini saja, teman Mama, teman
Papa, teman Dinda, teman tante Jennie, semua kenalanku. Jadi undang mereka
semua.” Ujar Dev.
Aku langsung tertawa mendengar kata
kata Dev.
“Really?”tanyaku pada Dev.
“Ya.” Dev menatapku sambil tersenyum,
“Ma,” ujar Dev pada Mama Audrey, “aku dan Kiara makan siang diluar dulu ya?”
“Tidak, Bi Surti sudah masak yang
enak, mubajir nanti kalau tidak dimakan.”
“Baiklah, kalau begitu aku dan Kiara
minum kopi diluar setelah makan siang nanti.”
“Dirumah kopi banyak Dev.” Ujar Mama
Audrey lagi. “Kiara tidak boleh kemana mana hari ini, sebentar lagi perancang
gaun pengantin Kiara akan datang dan tubuh Kiara akan diukur.”
“Terus aku punya waktu berdua
Kiaranya kapan Kalau tiap akhir pekan Mama menguasai Kiara seperti ini?”
“Nanti kalau semua urusan pernikahan
sudah beres!”
~ ~ ~
POV Kiara
Aku tersenyum bahagia. This is my
big day. Hari bersejarah dalam hidupku, karena pada hari ini, aku resmi
menjadi isteri dari seorang Devano Adinegoro.
Dev, cintaku, belahan jiwaku.
Satu fase kehidupan sudah kulewati,
fase sebagai Kiara yang lajang, mandiri, yang semua keputusan dalam hidup hanya
aku yang menentukan.
Fase berikutnya, aku sudah tidak
sendiri lagi. Ada Dev disisiku, yang selalu siap mendampingiku kapan saja dan
dimana saja dan membantuku dalam hal apapun yang aku butuhkan. Berbagi cerita,
berbagi suka dan berbagi duka secara bersama sama.
Ibu benar, menikah dengan seseorang
yang kau sayangi, kau akan bersemangat dalam menjalani hari harimu bersamanya,
kau tidak akan merasa bosan dalam menjalani hari demi hari.
Teman temanku dari D & D
Advertising datang semua ke pernikahanku.
Mas Henry datang bersama Mbak Silvy
dan putera mereka.
Farrell datang bersama pacarnya, yang
menurut Farrell adalah teman kuliahnya dulu.
Vian datang bersama tunangannya.
Iwan datang bersama Della. Iwan dan
Della sekarang berpacaran.
Mia datang bersama Sebastian.
Menurut Wina, ia dan sebastian selama
ini hanya pura pura pacaran. Wina senang saja melakukan itu, ia senang membuat
para wanita iri padanya karena punya pacar yang jadi idola seperti Sebastian.
Masih menurut Wina, Sebastian
ternyata sangat menyukai Mia, sehingga Sebastian meminta Mia jadi pacarnya.
Dan, Wina, pada resepsi pernikahanku
ini datang bersama… Mas Andra.
Salah satu alasan kenapa Wina pura
pura pacaran dengan Sebastian adalah ingin membuat Mas Andra cemburu. Dan Wina
berhasil. Mas Andra ternyata cemburu pada Sebastian, dan akhirnya mau menerima
Wina sebagai pacarnya, karena Wina yang nembak Mas Andra duluan.
Aku merasa senang karena sepertinya
Mas Andra sudah bisa move on dari aku.
~ ~ ~
POV Author
Dua tahun sejak pernikahan Kiara …
Kiara membaca undangan yang diberikan
Wina padanya sambil tersenyum. Ia
sekarang berada di ruang tamu apartemennya dan apartemen Dev.
Sejak menikah, Kiara memutuskan untuk
tinggal di apartemen Dev dan tidak tinggal dirumah keluarga besar Adinegoro
atau membeli rumah baru.
Di apartemen Dev, ia melakukan
beberapa perubahan. Ia memisahkan ruang tamu dengan ruang TV/ruang keluarga
dengan penyekat. Ia juga merubah kamar tidur tamu menjadi kamar tidur Rio,
putra pertamanya yang kini berusia 1 tahun. Dan karena hanya ada dua kamar
tidur disana, maka tidak ada lagi kamar tamu.
Nenek dan kakek Rio di Yogya kalau
datang ke Jakarta untuk menjenguk Rio, akan tidur di kamar Rio. Sementara Nenek
Audrey kalau kangen pada Rio akan ‘menculik’ Rio dan membawanya kerumahnya,
sampai Dev datang ke rumah nenek Audrey dan membawa Rio kembali pulang.
Kini, Rio sedang tertidur pulas dalam
pelukan Dev, yang sedang duduk disamping Kiara.
“Anakmu tampan, Kiara.” ujar Wina
sambil tersenyum memperhatikan Rio. Wina duduk di hadapan Kiara dan Dev. Ia
malam ini sedang berkunjung ke apartemen Kiara dan Dev untuk memberikan
undangan pernikahannya. “Tapi Rio tidak mirip dirimu Kiara.”
“Masa sih,” Kiara tertawa, “yang
benar?”
“Iya.”
“Berarti mirip aku dong?” ujar Dev.
“Hmm.. sedikit, dia lebih mirip nenek
Audrey.”
“Wah Mama akan senang kalau kau
bilang begitu.” Dev tertawa.
“Benarkah nenek Audrey sering ‘menculik’
Rio Dev?” tanya Wina pada Dev.
“Aku kerja, Kiara kerja, disini Rio
hanya berdua babysitternya. Ya, Mama sering datang kesini dan membawa
Rio ke rumah Mama.”
“Tadinya Mama Audrey ngotot agar kami
tinggal di Menteng, Win.” Ujar Kiara, “tepatnya sejak kami menikah. Tapi ya
bagaimana ya, aku dan Dev kan ingin mandiri, apalagi sebelum menikah, Dev sudah
tidak tinggal dengan orangtuanya.”
“Iya sih, lagi pula Menteng - Senayan
kan jaraknya dekat, Nenek Audrey bisa nengok cucunya kapan saja.”
“Ngomong ngomong, undangan ini,”
Kiara kembali tersenyum, “sudah aku prediksikan. Selamat ya Wina. Akhirnya.”
“Akhirnya.” Wina ikut tersenyum.
“Ini, Mas Andra yang melamarmu, atau
kau yang melamarnya?” tanya Kiara, “kau kan punya hobi nembak cowok.”
“Mas Andra dong yang melamarku,”
senyum Wina semakin lebar, “ngomong ngomong Ki, Mas Andra tidak bisa menemaniku
ke sini malam ini karena harus menjemput kedua orangtuanya di Blitar. Kami akan
mengadakan pertemuan keluarga di Jakarta sini.”
“Good Luck Wina untuk semuanya,
semoga acaranya berlangsung sukses dan tidak ada kendala apapun.” Ujar Dev.
“Terima kasih.” Wina tersenyum dan
berdiri dari duduknya. “Aku harus pulang sekarang. Besok kita bekerja lagi.”
“Ya,” Kiara tersenyum. Ia lalu mengantar Wina sampai pintu dan memeluknya sebelum Wina
pergi meninggalkan apartemen sahabatnya.
Setelah Wina pergi, Kiara kembali
duduk disamping Dev.
“Biar aku tidurkan Rio di kamar,
Pak,” Lastri, babysitter Rio, menghampiri Dev dan mengambil Rio dari
pelukan Dev.
“Terima kasih,” ujar Dev sambil
memberikan Rio pada Lastri. Lastri segera memeluk dan menggendong Rio ke kamar.
“So,” Dev kini memeluk Kiara
dengan perasaan sayang, “kita akan menonton film apa malam ini?”
“Aku tidak ingin menonton film
apapun, aku hanya ingin memelukmu seperti ini.” Ujar Kiara.
Dev tertawa, ia memeluk Kiara makin
erat.
~ the end ~
Terima kasih sudah membaca, jangan
pada baper ya, heuheu. Sampai berjumpa dengan cerita selanjutnya!