Friday, October 11, 2019

I Love You Kiara! Part 2

I Love You Kiara!
by : A. Rafianti


sambungan dari I Love You Kiara! 

BAB DUA PULUH


POV Author

Ibu Dewi siang ini memanggil Kiara ke ruang kerjanya. Ia lalu bertanya pada Kiara apakah Dev pacarnya, Kiara menjawab bukan, tapi Kiara bilang bahwa pacar Dev adalah seorang model yang bernama Mona.

“Tapi sepertinya kau kenal dekat dengan Pak Devano,” ujar ibu Dewi lagi. “Itu terlihat dari perhatian Pak Devano pada dirimu saat kau sakit beberapa hari yang lalu.”

“Kami hanya berteman kok Bu, tidak lebih dari itu.” Jawab Kiara, ia tak tahu harus berkata apa lagi. Dia sendiri tak menyangka Pak Devano akan membantunya saat ia sakit kemarin.

“Kalian kenal dimana?” tanya Ibu Dewi lagi.

“Dulu kan Pak Devano pernah jadi klien Bright Advertising juga untuk pembuatan iklan parfum. Saat itu, ibu Selly masih di Bright Advertising. Nah dari sanalah aku kenal dengan Pak Devano.”

“Dan berteman baik?” tanya ibu Dewi.

“Ya, seperti itulah.” Jawab Kiara. Kiara tak tahu harus menjawab apa pada ibu Dewi, karena sebenarnya kedekatan Kiara dengan Dev bukan karena iklan parfum itu melainkan karena rencana perjodohan yang dilakukan tante Audrey.

“Ya, sudah, itu saja yang ingin aku tanyakan padamu, jangan lupa lusa kau ikut hadir dalam acara jamuan makan malam yang akan diadakan kantor kita. Seluruh karyawan diundang karena ini merupakan perayaan suksesnya produksi beberapa produk iklan yang dipercayakan para klien pada kita. Aku sudah mengundang Pak Devano juga dan beberapa klien lainnya. Mengenai tempatnya nanti kau tanyakan pada Della.”

“Baik Bu,” ujar Kiara, “saya akan hadir.”

Setelah dari ruang kerja ibu Dewi, Kiara langsung masuk ke ruang kerja Wina.

“Kenapa sih, semua orang ribut saat tahu Dev nolongin aku saat aku sakit.” Gerutu Kiara.

“Ada apa sih ngomel melulu.” Ujar Wina.

“Ibu Dewi barusan nanya apa hubungan aku dengan Dev. Dan bukan dia saja yang bertanya. Hampir semua karyawan disini kalau ketemu aku menanyakan hal yang sama.”

“Itu karena Pak Devano seorang CEO dari perusahaan besar yang juga klien penting dari perusahaan ini.” Jelas Wina, “coba yang nolongin kamu kemarin si Budi, tukang parkir kita, ibu Dewi nggak akan ribut.”

“Nggak lucu tahu Win.”

“Yang bilang lucu itu siapa. Selain klien penting bagi perusahaan ini, Pak Devano juga tampan, muda, cerdas. Dan, hal lainnya adalah karena ibu Dewi tertarik untuk menjodohkan Pak Devano dengan Tami.”

Setelah mamanya, kini Ibu Dewi yang ingin menjodohkan Dev… ujar Kiara dalam hati.

Income untuk Bright Advertising dari GC Cosmetics besar sekali loh Ki untuk produk masker ini.”

“O, ya?”

“Ya.” Ujar Wina, “makanya ibu Dewi senang sekali dapat klien Pak Devano.”

“Yeah, tapi kalau rencana tante Audrey untuk mendirikan perusahaan iklan terlaksana, gigit jari deh Bright Advertising dan para perusahaan iklan lainnya karena tidak dilirik lagi oleh GC Cosmetics.” Komentar Kiara.

“Tapi tanggung jawab kita nanti besar untuk bikin iklan yang bagus untuk GC Cosmetics,” ujar Wina.

“Ah, itu tidak masalah, mudah mudahan kita berdua dan tim yang akan kita rekrut nanti bisa mengatasinya.”

“Kok tante Audrey baik sekali ya Ki, nawarin kita pekerjaan ini?”

“Ssh, jangan keras keras, nanti ada yang mendengar. Kamu sudah bikin surat pengunduran diri belum?” tanya Kiara pelan.

“Belum, nanti saja setelah acara jamuan makan malam dilakukan.”

“Sama. Aku juga.” Kiara tertawa. “Aku tidak bisa membayangkan reaksi ibu Dewi saat tahu dua karyawannya mengundurkan diri sekaligus.”

“Ya, dia pasti terkejut.”

“Ehm, ngomong ngomong, undangan makan malam untuk empat orang itu tidak jadi?” tanya Kiara. “Yang Dev mau dijodohkan dengan Tami?”

“Tidak, itu tidak jadi, ibu Dewi membatalkan reservasinya. Makanya ia menggantinya dengan jamuan makan malam untuk semua karyawan.”

“Itu lebih bagus, lebih bijaksana. Ya sudah Win, aku ke atas dulu ya.”

“Ok, sampai jumpa Kiara!”

“Sampai jumpa!”




POV Kiara

Aku berusaha menenangkan diri di rest room suatu hotel bintang lima di Jakarta, dimana acara jamuan makan malam Bright Advertising dilakukan.

Aku seperti mendapat serangan jantung saat melihat Dev datang ke acara ini dengan Mona.

Walaupun aku sudah bisa memperkirakan hal ini akan terjadi, tapi tetap saja melihat Dev datang dengan Mona seperti itu membuat hatiku sakit.

Tiba tiba saja aku ingin keluar dari tempat ini dan pergi sejauh mungkin.

Tadi ketika Dev dan Mona datang, mereka langsung dikerumuni beberapa wartawan yang ingin mewawancarai mereka.

Tanpa aku duga, ternyata banyak selebritis hadir di acara ini, terutama mereka yang pernah jadi model iklan yang diproduksi Bright Advertising.

Aku akhirnya memutuskan untuk keluar ruangan rest room setelah berusaha menenangkan diri cukup lama.

Aku baru mengambil minuman soft drink saat kulihat Dev sedang melihat ke arahku dan memperhatikan aku dari kejauhan. Dev melambaikan tangannya padaku tapi tidak menghampiriku, aku membalas lambaian tangannya, lalu aku  pergi mencari Wina.

Aku tadi datang ke tempat ini bareng Wina dengan naik motor Wina. Tapi nanti aku memutuskan untuk pulang cepat dengan menggunakan taksi saja.

“Cobain dimsum ini Ki, enak deh,” Wina tiba tiba sudah berdiri disampingku dan mengulurkan sendok yang berisi dimsum padaku. Aku langsung membuka mulutku dan mengunyah dimsum yang disuapkan Wina padaku.

“Enak kan?” tanya Wina.

“Lumayan,” jawabku.

“Bebek peking bakarnya juga enak Ki.”

“Ya, nanti aku nyoba. Ngomong ngomong ini konsep acaranya kok gini sih, kayak kawinan gitu. Ada buffet, ada pondokan.”

“Memang yang kau pikirkan bagaimana?” tanya Wina.

Table gitu. Kita duduk mengelilingi meja, lalu makanan di hidangkan di hadapan kita.”

“Ah repot itu mah, enak begini, ambil makanan yang kita mau sesuka kita.”

“Ini biayanya berapa ya Win, tumben ibu Dewi baik mau mentraktir semua orang.”

“Kamu tuh ya Ki, ibu Dewi pelit kamu heran, ibu Dewi baik kamu heran, maunya apa sih.”

Aku langsung tertawa.

“Mona cantik ya, kau sudah bertemu dengannya belum Ki?”

Tawaku langsung berhenti saat Wina menyebut nama Mona. Bodo amat, emang aku pikirin.

“Ki, sudah bertemu Mona belum?” tanya Wina lagi, “tadi Pak Devano memperkenalkan Mona padaku. Maksudku sebagai pacarnya. Dulu kan aku juga sudah berkenalan dengan Mona.”

“Belum, aku belum bertemu Mona,” Jawabku. “Aku mau ambil dimsum dulu ya, seperti kamu.” Lanjutku.

“Kamu nggak cemburu kan Ki?” Wina menjejeri langkahku.

What? Cemburu? Yang benar saja.” Sahutku sok tenang.

“Baguslah. Kirain kamu juga histeris kayak Della.”

“Memang Della kenapa?” tanyaku.

“Lagi nangis di pojokan. Sedang patah hati katanya. Ia bilang ia berharap Pak Devano datang sendirian eh malah datang bersama pacarnya.”

“Terus Tami nangis juga?” tanyaku.

“Mungkin.”

“Selamat malam semuanya.” Suara ibu Dewi tiba tiba terdengar.

Ibu Dewi sedang berada di atas stage. Dan berbicara di depan mikrophone.

“Selamat menikmati hidangan yang tersedia, selamat ngobrol dengan teman dan kerabat Anda yang kebetulan Anda temui disini, siapa tahu lama tak berjumpa. Kita disini santai saja, fun saja. Tidak akan ada kata sambutan yang panjang kok dari saya. Yang mau menyalurkan hobi bernyanyinya silahkan, ada Mas Rendi yang akan mengiringi Anda bernyanyi dengan piano. Diskusi saja dengan Mas Rendi lagu apa yang ingin Anda nyanyikan.”

“Wow, keren, ada live music!” teriak Wina. “Nyanyi sana Ki!” ujar Wina padaku.

“Yang benar saja!” seruku sewot, “bisa pada kabur tamu yang datang kalau mendengar suaraku.”

Seorang selebritis wanita tiba tiba naik ke atas panggung untuk bernyanyi. Lagu  My Way - nya Frank Sinatralangsung terdengar dari suaranya yang diiringi piano yang dimainkan oleh Mas Rendi.

“Win,” ujarku.

“Apa?”

“Aku kok tiba tiba merasa sedih gini ya harus meninggalkan Bright Advertising.”

“Ya itu wajar. Kau dan Selly yang merintis perusahaan ini. Aku bergabung dua tahun setelah kau bekerja disini.”

“Setelah dipikir pikir banyak kenangannya bekerja disini. Andai Selly masih ada disini.”

“Sudahlah, jangan sentimentil begini. Kita tetap harus pergi dari sini Ki, masa depan kita bukan disini.”

“Ya, kau benar. Masa depan kita di D & D Advertising. Dan kita harus merintis dari awal lagi untuk mengembangkan D & D Advertising seperti Bright Advertising dulu.”

“Tapi, setelah kita rintis lalu menjadi besar, kau jangan pergi meninggalkan D & D Advertising seperti Selly meninggalkan Bright Advertising.” Saran Wina.

“Mudah mudahan tidak. Mudah mudahan aku tetap tinggal disana.”

“Kiara apa kabar?” Mona tiba tiba menghampiriku. Membuat aku kaget.

“Kau kenal dengan Kiara?” tanya Wina heran. “Maksudku, kau masih ingat Kiara?”

“Tentu saja,” ujar Mona. “Dulu Kiara yang menghubungiku untuk casting iklan Parfum itu. Pada mulanya aku menolaknya karena aku ada pekerjaan lain pada waktu bersamaan. Tapi Kiara tetap ngotot agar aku ikut casting.”

“Wow hebat.” ujar Wina.

“Ya, dan Kiara pernah mengantarkan aku pulang ke rumah pakai mobil Bright Advertising setelah satu scene syuting selesai karena saat itu hujan sangat deras. Lalu kita makan bakso dulu di Blok S karena kita sangat lapar.”

“Memang kita makan bakso?” tanyaku, “aku tidak ingat.”

“Iya, di blok S, yang tempatnya angkringan gitu. Baksonya enak banget, gede gede gitu.”

“O ya, aku ingat sekarang,” ujarku, “saat itu aku bilang, hujan dan bakso adalah perpaduan yang sempurna.”

“Ya, benar, itu.” Mona tertawa, “saat curah hujan sangat tinggi dan kita kedinginan, tubuh kita menjadi hangat karena kuah bakso yang panas ini.” Ujar Mona, “kamu juga ngomong begitu.”

“Ada bakso nggak sih disini?” ujar Wina tiba tiba, “aku jadi ingin makan bakso!”

~ ~ ~

POV Kiara

Ajaib.

Saat sudah ngobrol dengan Mona tadi, perasaanku sudah tidak gusar seperti sebelumnya. Rasa galauku tiba tiba hilang. Aku tersadar akan satu hal, bahwa Mona memang wanita yang tepat untuk Dev. Selain cantik, ramah, Mona ingat apa yang aku katakan tentang bakso dan hujan! Bayangkan!

Itu berarti, aku punya kenangan tersendiri di ingatannya. Karena menurutku, sebuah peristiwa itu akan menjadi kenangan kalau kita mau dan mengijinkan memori di kepala kita untuk mengingat peristiwa itu dan tidak akan menjadi kenangan kalau kita tidak mau mengingatnya.

Aku akhirnya tidak jadi pulang cepat. Aku menikmati acara malam itu dengan santai. Menikmati lagu yang dinyanyikan para tamu undangan dengan santai.

Dan makan bakso bersama Wina dengan santai.

Ya, ternyata disana ada bakso juga. Walau baksonya tidak seenak bakso yang pernah aku dan Mona makan di Blok S, tapi lumayanlah.

Selesai acara, Wina akhirnya mengantarkan aku pulang dengan motornya.

~ ~ ~

POV Author

Dev mengendarai mobilnya ke arah apartemennya setelah mengantar Mona pulang ke rumah orangtuanya di Pondok Indah.

Dev tadinya ingin datang sendiri ke acara yang diadakan Bright Advertising, tapi entah kenapa ia akhirnya memutuskan mengajak Mona.

Dev hanya ingin menjaga jarak dengan Kiara. Itu pula sebabnya malam ini ia tak menghampiri Kiara dan mengajak Kiara ngobrol.

Jarak yang Dev ciptakan bukan tanpa alasan. Mas Andra akan terus mengancamnya kalau ia nekad mendekati Kiara dan Dev paling tidak suka punya konflik atau masalah dengan orang lain, baik Mas Andra atau siapapun juga.

Kebiasaan Dev dari dulu seperti itu. Ia selalu mengalah. Daripada terjadi pertengkaran, ia memilih mengalah. Dengan siapapun. Karena menurut keyakinan Dev, mengalah bukan berarti selalu kalah.

Kiara cantik sekali malam ini, ujar Dev dalam hati.

Kiara tadi mengenakan sackdress berwarna hitam dan high heel berwarna hitam juga, lengkap dengan make up yang membuat matanya terlihat lebih besar.Kiara termasuk jarang berpenampilan feminin seperti malam ini karena yang biasa Dev lihat Kiara selalu memakai jeans, kemeja dan sepatu kets.

Dev tiba tiba merasa senang saat ingat bahwa kelak Kiara akan bekerja di kantor yang sama dengan dirinya. Di gedung yang sama, di lantai yang sama, sehingga ia bisa melihat Kiara setiap hari.

Dev tidak harus mendekati Kiara seperti yang dilarang oleh Mas Andra. Tapi Kiara yang akan datang padanya. Kiara akan datang ke tempatnya. Ke kantornya. Ke GC Cosmetics.

~ ~ ~



POV Kiara

Aku memperhatikan rumah orangtua Mona. Rumah itu tidak mengalami perubahan yang berarti. Tetap asri dengan banyak tanaman di halaman rumah.

Aku pernah ke rumah Mona satu kali saat mengantarkan Mona pulang dulu, saat Mona terlibat kerjasama dengan Bright Advertising.

Dan kini aku disini lagi. Aku datang ke sini untuk ngobrol dengan tante Mita, mamanya Mona. Aku mendapatkan nomor telepon tante Mita dari tante Jennie, entahlah tante Jennie mendapatkan nomor telepon tante Mita darimana, yang jelas, dulu, saat di SMA, tante Mita, tante Jennie dan tante Audrey sekolah di sekolah yang sama yaitu di suatu SMA Swasta di Solo.

Lewat pembicaraan di telepon aku memberitahu tante Mita kalau aku ingin ngobrol dengannya tentang masalahnya dengan tante Audrey dulu. Tante Mita bertanya apa hubungan aku dengan tante Audrey, aku bilang aku temannya, dan aku sangat perduli dan sayang pada tante Audrey sehingga jika mungkin aku akan mencoba membujuk tante Audrey agar mau berdamai dengan tante Mita. Agar masalah diantara tante Audrey dan tante Mita selesai.

Tante Mita bilang, anak tante Audrey, Devano, sudah mencoba melakukan hal yang sama yaitu mempertemukan dirinya dengan tante Audrey agar mereka bisa berdamai, tapi rencana Dev gagal.

Lalu aku bilang pada tante Mita agar aku diberi kesempatan untuk membujuk tante Audrey asal aku tahu masalahnya seperti apa. Aku sudah tahu masalahnya dari tante Jennie, tapi itu versi tante Jennie bukan versi tante Mita.

Akhirnya tante Mita mau menemuiku. Dan disinilah aku sekarang. Di depan rumah tante Mita.

Aku lalu membunyikan bel pintu. Tidak lama kemudian seorang wanita muda segera keluar rumah dan membukakan pintu pagar untukku.

“Ibu Mita ada?” tanyaku pada wanita itu.

“Ada, silahkan masuk.”

Aku lalu masuk mengikuti wanita itu. Aku masuk ke ruang tamu tante Mita yang elegan.

Foto Mona yang berukuran besar terpampang di salah satu dinding ruang tamu. Mona cantik sekali di foto itu. Ia sedang berlari dipinggir pantai sambil tersenyum memandang ke arah kamera.

“Selamat pagi.” Tante Mita tiba tiba menghampiriku.

“Selamat pagi tante.” Aku tersenyum padanya. “Maaf sudah mengganggu.”

“Tidak mengganggu kok, ayo silahkan duduk? Mau minum apa?”

“Teh saja tante. Terima kasih.”

“Ok, aku bilang Bi Inah dulu untuk bikin teh untukmu.”

“Iya, terima kasih.” Jawabku.

Tante Mita hanya pergi sebentar lalu kembali menghampiriku dan duduk di hadapanku.

“Senyum Mona cantik di foto itu” komentarku “senyumnya membuat orang yang melihat foto itu jadi ingin ikut tersenyum.”

“Senyum itu kan menular,” tante Mita tertawa, “itu foto di Malibu, ayah Mona yang mengambil foto itu. Kami sedang liburan di sana. Rumah kakek dan nenek Mona dari ayahnya ada di Los Angeles, kami sesekali mengunjungi mereka.”

“Oh,” sahutku, “Mona ada tante?”

“Mona pergi ke Lombok tadi pagi pagi sekali. Sedang ada syuting film disana.”

“Ya, aku membaca beritanya di internet. Mudah mudahan filmnya sukses.” Ujarku.

“Mudah mudahan.” Jawab tante Mita.

“Tante sendiri dong kalau Mona pergi,” ujarku lagi, “Mona anak tunggal kan?”

“Iya, aku sering sendiri karena Mona sering pergi karena pekerjaannya, suamiku juga begitu, sering banyak pekerjaan, tapi itu bukan masalah untukku,” tante Mita tersenyum, “kalau bicara soal sepi, ya pastilah tante kesepian, tapi tante mencoba menghalaunya dengan beberapa kegiatan. Contohnya yoga, berkebun.”

“Tante Audrey juga suka yoga,” sahutku, “seharusnya kapan kapan tante Mita dan tante Audrey yoga bareng.”

Tante Mita kembali tersenyum, “aku khawatir hal itu tidak bisa terwujud. Sudah bertahun tahun berlalu, tapi Audrey tetap saja marah padaku.”

“Memang apa sih tante yang terjadi sebenarnya?”

Tante Mita menghela nafas sejenak lalu mulai bercerita.

~ ~ ~

POV Kiara

Pada hari Selasa pagi, dua hari setelah aku bertemu tante Mita, tante Audrey mengajak aku dan Wina mengunjungi GC Cosmetics.

Disana aku bertemu Dev. Dev meluangkan waktunya untuk menemani kami melihat lihat ruang presentasi yang kelak akan menjadi kantor D & D Advertising.

Ruang itu sangat besar dan sangat nyaman. Ada satu buah meja lonjong yang sangat besar di tengah tengah ruangan dan disekelilinginya ada kursi yang nyaman.

Menurut Dev ruang itu selain digunakan sebagai ruang presentasi dengan para klien, juga biasa digunakan sebagai tempat jajak pendapat intern perusahaan yang biasa dilakukan oleh divisi pemasaran GC Cosmetics dengan jumlah responden minimum 100 orang.

Setelah meluncurkan produk baru, divisi pemasaran biasanya akan memberikan sample produkpada para responden yang dipilih secara acak, para responden itu diminta untuk mencoba produk tersebut, setelah itu mereka ditanyai apa pendapat mereka tentang produk tersebut dengan mengisi jawaban melalui kuesioner.

“Mama kok belum pernah melihat ruang presentasi yang ini Dev,” ujar tante Audrey, “mama tahunya ruang presentasi yang satunya.”

“Oh, itu yang lama Ma, kalau yang ini baru dibangun.”

“Ruangan ini baru dibangun tapi akan kamu bongkar lagi untuk D & D Advertising?”

Dev tertawa, “tidak masalah kok Ma. Oke, jadi Mama akan melakukan apa dengan ruangan ini? Maksudku penataan ruang ruangnya bagaimana dan seperti apa?”

“Itu semua mama serahkan pada Kiara maunya seperti apa. Mama hanya menyiapkan anggarannya saja.”

“Oke, Kiara, apa yang akan kau lakukan dengan ruangan ini?” tanya Dev pada Kiara.

“Aku akan…”

“Sebentar,” ujar Dev lagi, “ayo semuanya duduk dan kita dengarkan Kiara bicara.” Dev duduk dengan semangat dan menatapku sambil tersenyum.

Tante Audrey dan Wina ikut duduk di dekat Dev. Mereka bertiga langsung memperhatikan aku, menunggu aku bicara.

Aku langsung tersenyum diperhatikan begitu, “sebelum bicara soal ruangan, dan konsep ruangan seperti apa yang aku mau, aku mau bicara tentang berapa karyawan yang aku perlukan  untuk menjadi tim kerjaku, oke aku mulai.”

“Pertama-tama, aku perlu seorang account executive, seperti kita semua tahutugas seorang AE adalah untuk mencari klien. Selain itu tugasnya adalah melakukan penawaran atau deal deal dengan para klien tersebut. Nah untuk posisi AE ini, biar aku saja. Ini menjadi tanggung jawab pekerjaanku.”

“Penawaranmu nanti aku tunggu Ki,” ujar Dev tiba tiba membuat tante Audrey tertawa.

“Sepertinya kita harus baik pada Pak Devano Ki karena ia akan menjadi klien terbesar kita.” Wina ikut tertawa.

“Sepertinya begitu,” aku tersenyum, “ok, aku lanjutkan,  untuk bidang kreatif aku sudah punya Wina untuk posisi copywriter, nanti aku juga bisa membantu Wina di copywriter, nah karena aku dan Wina sudah punya tugas, karyawan pertama yang aku butuhkan disini adalah visualizer, yaitu pembuat gambar atau visual iklan. Karyawan kedua yang akan direkrut adalah untuk menempati posisi di bidang media, ia nanti bertanggung jawab dalam penentuan media mana yang akan dipilih untuk penayangan iklan yang sudah kita produksi.”

“Selanjutnya untuk bidang produksi aku perlu sutradara pastinya, cameraman, dan seorang asisten untuk membantu baik sutradara ataupun cameraman. Jadi total karyawan yang aku perlukan lima orang.”

“Sebenarnya aku juga perlu seorang lagi untuk riset pemasaran, tapi itu nanti saja kalau perusahaan sudah mulai berjalan.”

“Tugas riset pemasaran itu apa saja Kiara?” tanya tante Audrey.

“Dia tugasnya antara lain mencari informasi tentang kondisi pasar, bagaimana persaingan di luar sana, selera konsumen seperti apa, lalu tanggapan terhadap iklan yang sudah ditayangkan bagaimana, atau bisa juga ia melakukan jajak pendapat secara intern seperti yang dilakukan divisi pemasaran GC Cosmetics terhadap produk GC Cosmetics.”

“Kalau kau perlu orang untuk riset pemasaran, kenapa kau tidak merekrut saja?” kata tante Audrey. “Untuk salary bagi masing masing orang tidak masalah kok buat tante.”

“Iya sih Tante, aku akan merekrutnya tapi itu nanti saja setelah kita berhasil memproduksi suatu iklan.”

“Ok, baiklah, tapi apakah kau tidak perlu seorang resepsionis?” tanya tante Audrey heran.

“Tidak usah dulu tante, sama seperti bagian riset pemasaran, nanti kalau kondisi kantor sudah besar, aku akan buka lowongan untuk posisi resepsionis.”

“Sekarang tentang konsep ruangan,” lanjutku, “aku lebih menyukai kalau aku, Wina dan yang lainnya punya ruang kerja sendiri sendiri yang tertutup dan bukan hanya disekat saja, walau ruangannya kecil tidak masalah yang penting ada privacy. Bukan apa apa sih, biar masing masing dari kita bisa bekerja dengan leluasa saja, biar merasa nyaman dan tenang saja. Kalau bisa sebagian dindingnya berupa kaca yang besar. Mungkin nanti posisi masing masing ruang kerja itu, ada di sisi sebelah sini.” Tunjukku ke ke sebelah Utara ruangan presentasi itu.

“Berarti ada tujuh ruang kerja yang harus dibangun,” ujar Dev.

“Ya.” Sahutku, “nah untuk ruang meeting posisinya di tengah tengah, seperti bentuk meja ini tapi pastinya lebih kecil karena kita hanya bertujuh.”

Dev nampak mengetik sesuatu di HPnya. “Ok lanjut,” ujar Dev, “berapa toilet yang kau perlukan?”

“Dua,” ujarku, “aku juga perlu pantry.”

Pantry?” tanya Dev kaget.

“Pak Devano jangan kaget kalau nanti tercium bau sosis bakar atau sosis goreng di lantai tiga ini. Itu pasti Kiara yang sedang masak.” Ujar Wina, “Kiara suka masak waktu di Bright Advertising.”

“Ok, pantry,” Dev mengetik sesuatu lagi di HPnya. “Untuk komputer, kau suka PC atau laptop untuk tiap tiap ruang kerja?”

“PC saja dengan monitor yang besar.”

“Oke.” Ujar Dev.

“Baiklah,” ujar tante Audrey, “tante rasa, cukup untuk hari ini. Besok kalian ke rumah tante ya, dan mulai bekerja disana, mulai membuka lowongan pekerjaan di koran atau internet, kalau kalian punya teman yang punya pengalaman dengan bidang masing masing, kenapa tidak, rekrut saja mereka. Untuk gaji seperti tante bilang, diatas Bright Advertising tidak apa apa. Kalian tahu kisarannya berapa.”

“Iya tante.” Jawabku dan Wina hampir bersamaan.

~ ~ ~

POV Kiara

Aku baru punya kesempatan ngobrol berdua dengan tante Audrey saat tante Audrey mengantar aku dan Wina pulang setelah kami mengunjungi GC Cosmetics.

Tante Audrey mengantar Wina pulang lebih dulu lalu dia mengantarku.

Saat di perjalanan mengantar aku pulang akhirnya aku meminta tante Audrey untuk mampir dulu ke suatu cafe karena ingin mengatakan sesuatu.

Tante Audrey bertanya kenapa aku dan dia tidak ngobrol di cafe Mas Bima saja, aku bilang aku perlu privacy. Tante Audrey akhirnya mampir ke Starbucks yang terletak di pinggir jalan yang kami lewati.

Setelah membeli minuman, tante Audrey menatapku sambil tersenyum.

“Ok, apa yang ingin kau bicarakan? Ini berhubungan dengan masalah pekerjaan?”

“Bukan tante. Tapi aku harap tante jangan marah dulu ya, ini tentang tante Audrey dan tante Mita.”

Tante Audrey nampak menghela nafas panjang.

“Aku benar benar minta maaf kalau tante berpikiran aku sudah lancang mencampuri urusan tante, hanya saja…” aku terdiam sebentar.

“Hanya saja kenapa Kiara?”
“Aku menyayangi tante, aku ingin tante gembira, bahagia dengan hidup tante dan…”

“Aku bahagia Kiara.” Sahut tante Audrey.

“Tidak sepenuhnya. Karena tante masih merasa kesal dan marah dengan suatu kejadian di masa lalu tante.”

“Aku sangat mencintai Arman,” ujar tante Audrey sambil tersenyum kecil, “kupikir Arman hanya cinta monyetku, tapi ternyata tidak, aku tidak bisa melupakannya.”

“Lalu tante marah pada tante Mita karena sudah merebut Arman dari tante?”

“Tante marah pada keduanya. Sebenarnya tante sudah melupakan mereka Kiara, tapi saat tante tahu anak kesayangan tante pacaran dengan anak Mita, kemarahan itu datang lagi, tante tidak bisa membendungnya. Tante merasa tidak rela. Itu saja.”

“Tante tahu apa yang terjadi dengan hubungan tante Mita dan Om Arman sejak mereka pacaran?”

“Tidak tahu, tapi tante tidak perduli.”

“Boleh aku cerita dan memberitahu tante?” tanyaku. “Mungkin setelah tante tahu kemarahan tante sedikit reda.”

“Bagaimana mungkin kamu tahu tentang apa yang terjadi dengan hubungan mereka?” tanya tante Audrey. “Kamu bertemu dengan salah seorang dari Mereka?”

“Ya.” Jawabku.

“Siapa? Arman? Atau Mita”

“Tante Mita.” Jawabku. “Dari tante Mitalah aku tahu semuanya. Tapi aku tidak akan bercerita pada tante kalau tante tidak mau mendengarkan. Tapi kupikir persoalan ini tidak akan selesai kalau tante tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya.”

“Baiklah, apa yang terjadi?”

“Sama seperti tante Audrey, tante Mita juga sangat mencintai Om Arman, karena menurut cerita tante Mita Om Arman saat itu adalah idola di sekolah. Ia pintar, tampan, dan banyak siswi yang jatuh cinta padanya.”

“Tapi karena hal itu pula Om Arman jadi memanfaatkan situasi itu. Ia menerima semua perhatian siswi yang ditujukan padanya, termasuk perhatian dari tante Mita. Tante Mita yang dipilih Om Arman untuk jadi pacarnya karena selain saat itu tante Mita primadona di sekolah, ia juga berasal dari keluarga kaya seperti tante Audrey.”

“Hubungan Tante Mita dan Om Arman berlanjut sampai mereka kuliah. Karena kepintarannya Om Arman mendapat beasiswa saat kuliah, tapi untuk keperluan sehari hari, seperti untuk beli bensin, - saat itu Om Arman mengendarai motor kalau kuliah, - untuk makan, untuk hang out, untuk nonton di bioskop, tante Mita yang membiayai semuanya. Om Arman tidak pernah keluar uang baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk kencan mereka, sampai tabungan tante Mita habis, sampai semua perhiasan yang diberikan orangtuanya habis.”

“Orangtua Tante Mita marah dengan hal ini, dia meminta tante Mita memutuskan hubungannya dengan Om Arman. Tante Mita tidak mau, akhirnya orangtua Tante Mita menyetop membiayai kuliah Tante Mita termasuk uang jajan bulanan yang biasa tante Mita dapatkan. Orangtua Tante Mita menyuruh Tante Mita bekerja untuk menghidupi dirinya.”

“Akhirnya Tante Mita bekerja serabutan. Sambil kuliah ia bekerja di sebuah restoran fast food. Dan saat bekerja itu, tante Mita masih terus membiayai kebutuhan sehari hari Om Arman.”

“Arman tidak bekerja?” tanya tante Audrey heran.

“Tidak. Om Arman tidak bekerja. Hanya tante Mita yang bekerja sampai Om Arman lulus S1 lebih dulu. Saat itu tante Mita tidak bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu karena ia sempat mengambil cuti kuliah karena fokus di pekerjaannya.”

“Setelah lulus S1, Om Arman tetap tidak mau bekerja, ia malah ingin melanjutkan sekolah langsung ke S2. Ia butuh biaya banyak, lalu ia bilang pada Tante Mita, ia perlu uang 50 juta rupiah, ia bilang pada Tante Mita kalau Tante Mita sayang dan cinta padanya tante Mita pasti akan mengusahakan uang itu untuknya. Tante Mita kembali meminta bantuan orangtuanya karena tante Mita tak punya tabungan, kare gaji yang ia dapat dari pekerjaannya juga hanya cukup untuk keperluan sehari hari.”

“Orangtua Tante Mita tetap tidak mau membantu. Tante Mita lalu meminta maaf pada Om Arman karena tidak bisa mengusahakan uang itu, dan tante tahu apa yang terjadi, Om Arman langsung memutuskan hubungannya dengan tante Mita.”

What!” tante Audrey langsung berteriak kaget.

“Ya. Itu yang terjadi. Setelah putus dari Tane Mita, Om Arman lalu berpacaran dengan entah siapa, yang jelas wanita yang dipacari Om Arman itu bisa menyediakan uang yang dibutuhkan Om Arman. Tante Mita langsung depresi, orangtuanya lalu membawa tante Mita keluar negeri yaitu ke Los Angeles agar tante Mita bisa melupakan semua kenangan buruk yang menimpanya. Di Los Angeles tante Mita melanjutkan kuliah yang dulu sempat terbengkalai dan akhirnya bertemu dengan suaminya, - ayah Mona -, disana.”

“Sementara itu, Om Arman setelah menyelesaikan S2-nya, akhirnya bekerja jadi dosen, ia mengajar di beberapa perguruan tinggi di Bandung. Ia menetap di Bandung, ia menikah dengan wanita yang membiayai kuliah S2nya. Ia tidak memiliki anak dalam pernikahannya.”

Aku lalu menggenggam tangan tante Audrey erat. “Dua tahun ayang lalu Om Arman sakit keras. Ia sakit ginjal. Sudah harus cuci darah hampir setiap hari. Ia hanya mampu bertahan selama satu tahun dengan sakitnya, dan meninggal dunia tahun lalu.”

Aku diam, aku genggam tangan tante Audrey dengan semakin erat saat tante Audrey mulai menangis.

Aku lalu berdiri dari tempat dudukku untuk menghampiri tante Audrey dan memeluknya erat, “menangislah tante, tapi setelah ini, tante harus melupakan Om Arman, untuk selamanya. Om Arman tidak layak mendapatkan rasa cinta dari tante ataupun dari Tante Mita. Ia tidak mencintai kalian berdua, ia hanya mencintai dirinya sendiri.”

~ ~ ~


BAB DUA PULUH SATU


POV Author

Cafe Mas Bima sore ini agak sepi karena diluar sedang hujan. Karena sedang sepi itu pula maka Mas Bima bisa santai dengan sahabat sahabatnya, Mas Egi dan Mas Andra. Mereka duduk sambil ngopi bareng.

Kiara yang sedang bekerja Sabtu sore ini akhirnya menghampiri mereka dan memberikan ampop putih panjang pada Mas Bima.

“Apa ini?” tanya Mas Bima heran.

“Surat pengunduran diriku, bulan depan aku tidak bekerja di cafe ini lagi.”

“Kenapa Ki?” tanya Mas Andra heran.

“Aku kayaknya sudah sangat sering minta ijin pergi setiap akhir pekan, jadi aku memutuskan untuk bekerja di satu tempat saja sehingga bisa beristirahat di akhir pekan.”

“Asik, bisa nemenin aku hunting foto dong Ki.” Komentar Mas Andra senang.

“Itu bisa diatur,” jawab Kiara sambil tersenyum.

“Yahh Kiara, aku nanti kehilangan dirimu,” ujar Mas Egi. “Cafe ini sepi tanpa dirimu.”

“Mas Egi lebay, aku kan masih tinggal di lantai atas, kita masih bisa ketemu dan ngobrol.”

“Ya sudah Ki, nanti gaji terakhirmu akan ditransfer Mbak Ve ke rekeningmu.” Ujar Mas Bima.

“Ok, terima kasih ya Mas Bima untuk semuanya, untuk semua kebaikan Mas Bima dan Mbak Ve padaku selama bekerja di cafe ini.”

“Sama sama.” Mas Bima tersenyum.

“Aku gantiin Kak Kiara ya Mas!” Tia yang juga sedang hang out di cafe menghampiri Mas Bima dan berdiri di samping Kiara. “Mas Bim tidak usah cari karyawan lain, biar aku saja!”

“Kamu harus kuliah Tia, selesaikan kuliahmu dengan benar!”

“Dulu Kak Kiara saja bisa kuliah sambil bekerja. Aku juga pasti bisa! Aku bekerja setiap akhir pekan saja seperti Kak Kiara. Itu tidak mengganggu kuliahku, Sabtu dan Minggu kan aku libur kuliah. Boleh ya Mas?”

“Ya sudah, aku sih tidak apa apa. Tapi kamu minta ijin dulu pada Mbak Ve.”

“Siap!” Tia tertawa senang, “makasih Mas Bim, aku sekarang mau ketemu Mbak Ve dulu.” Tiapun berlari ke luar pintu cafe.

“Mas, aku mau minta ijin lagi minggu depan,” Kiara nyengir menatap Mas Bima. “Dua hari, Sabtu dan Minggu.”

“Kamu mau kemana lagi sih Ki?” tanya Mas Bima.

“Sahabatku menikah, aku harus datang ke pernikahannya.”

“Sampai harus menginap segala?”

“Ya, karena capek kalau tidak menginap.”

“Memang dimana acara pernikahannya?” tanya Mas Andra.

“Gianyar, Bali.”

“Wow, keren!” teriak Mas Egi.

“Kamu pergi bersama siapa ke sana Ki?” tanya Mas Andra lagi.

“Wina.” Jawab Kiara.

“Gi, kita ke Bali bareng Kiara yuk!” ajak Mas Andra pada Mas Egi.

“Hah?” Mas Egi kaget.

“Tenang, gue yang traktir!” Ujar Mas Andra lagi.

“Tumben lu nggak pelit sama gue.” Mas Egi heran.

Mas Andra langsung tertawa, “gue baru dapat transferan di paypal gue dari bos di Amerika. Jadi elu, Gi, lalu Kiara, dan juga Wina, aku traktir pergi ke Bali.”

“Aku dan Wina sudah beli tiket pesawat pulang pergi loh Mas Andra!” ujar Kiara.

“Batalkan. Kita pergi bareng. Bima, lu mau ikut juga?” tawar Mas Andra pada Mas Bima.

No, I’m Ok. Kalian saja yang bersenang senang disana.”

“Oke!” ujar Mas Andra.

Mereka lalu terdiam beberapa saat.

“Mas Bim! Kata Mba Ve aku boleh kerja di sini setiap akhir pekan!” Tia tiba tiba masuk lagi ke ruangan cafe.

“Oke kalau begitu. Kau mulai bekerja mulai bulan depan.” Ujar Mas Bima.

“Asik, terima kasih Mas.”

Sure.”

“Tia, kamu mau ikut ke Bali tidak minggu depan mumpung Mas Andra lagi baik,” ujar Mas Egi pada Tia.

“Wah boleh bingit!” seru Tia Senang, “memang aku boleh ikut Mas Andra?”

“Yap.” Mas Andra mengangguk.

“Aku ikut! Aku ikut!” Siti tiba tiba berteriak di balik counter kopi.

“Kau harus bekerja Siti! Kiara sudah minta ijin duluan.” Ujar Mas Bima.

“Ya, apes deh gue.” Keluh Siti sambil cemberut.

~ ~ ~

POV Author

Tante Audrey berjalan ke kantor Dev sambil menutup kupingnya. Pembangunan kantor D & D Advertising mulai dilakukan sehingga suara bangunan yang mulai dirubuhkan terdengar berisik.

Tante Audrey baru mengurus pembuatan akta pendirian perusahaan untuk D & D Advertising, dan mampir ke kantor Dev untuk mengajaknya makan siang.

Sekretaris Dev tadi sudah memberitahu tante Audrey kalau Dev sedang ada di ruangannya, sehingga Tante Audrey langsung berjalan ke arah ruangan Dev.

“Dev, ini Mama. Mama boleh masuk?” tanya tante Audrey.

“Ya Ma, silahkan.”

Tante Audrey masuk ke ruang kerja Dev dan tersenyum menatap Dev. “Mama mau mengajakmu makan siang.”

“Tentu,” ujar Dev. “Makan siangnya mau pesan saja dan diantarkan kesini atau makan di atas di food court?”

“Diatas saja. Disini berisik.”

Dev tertawa, “iya sih Ma, perobohan bangunan presentasi sudah dimulai.”

“Terima kasih ya Dev, sudah mau membantu mama dalam pendirian D & D Advertising ini termasuk memilihkan kantornya di lantai tiga ini. Mama sangat menghargai bantuanmu.”

“Tidak masalah Mama, kalau bukan Dev yang bantu Mama, siapa lagi? Papa sibuk dengan pekerjaannya. Dinda? Dia lagi.”

“Masa Dinda merengek minta didirikan klinik ke Mama saat tahu Mama akan mendirikan D & D Advertising. Jadi dokter saja belum, sudah mau bikin klinik segala.”

“Ya, itu masih lama.” Dev tersenyum, “untuk jadi dokter spesialis kecantikan itu masih lama. Dinda sekarang kuliah di tahun ketiga. Kalau lancar kuliahnya butuh waktu 3 tahun lagi untuk lulus dan menjadi dokter umum, habis itu ia masih harus mengambil pendidikan dokter spesialis kulit yang membutuhkan waktu kurang lebih 4 tahun kalau lancar, setelah itu Dinda harus magang bekerja di tempat yang terstandarisasi kurang lebih 2 tahun untuk punya jam terbang atau pengalaman kerja. Baru deh bisa bekerja mandiri dengan mendirikan klinik sendiri.”

“Wah lama juga ya,” gumam Tante Audrey.

“Iya Ma, lama.” Jawab Dev.

“Ngomong ngomong, itu apa Dev?” tanya Tante Audrey saat dilihatnya Dev sedang memegang sebuah kartu berwarna uang.

“Oh, ini undangan pernikahan dari Selly. Dia pemilik Bright Advertising dulu.”

“Kiara pasti diundang juga,” gumam tante Audrey, “menurutmu Kiara akan datang?”

“Seharusnya sih datang.” Ujar Dev, “Selly dan Kiara kan cukup dekat.”

“Oh, dimana acara pernikahannya?”

“Di Gianyar.”

“Wah jauh juga ya.”

“Iya jauh.”

“Kau akan datang ke sana Dev?”

Dev nampak berpikir, “ehm… atas nama pertemanan dengan Selly, ya, aku akan datang.”

“Kalau begitu kamu datang saja bersama….” Tante Audrey menghentikan kata katanya sebentar.

Bersama Kiara? Tanya Dev dalam hati dengan perasaan senang. Mau banget Mama. Aku mau datang bersama Kiara.

“Kau datang saja bersama Mona.”

Dev hampir terjatuh dari tempat duduknya saat mendengar mamanya mengatakan itu. What? WHAT! Mama menyuruhku datang bersama Mona? Apa Mama tidak salah menyebut nama?

“Ber.. sa..ma.. Mo..na?” tanya Dev lambat lambat, “bukannya bersama Ki..”

“Ya, Mona pacarmu.” Potong mamanya.

“Mama memperbolehkan aku pergi ke Bali bersama Mona?” Dev menanyakan itu untuk menyakinkan pendengarannya.

“Setelah dipikir pikir Dev, masalah mama dulu dengan tante Mita itu tidak ada hubungannya dengan relationship antara kamu dan Mona sekarang. Jadi ya, mama merestui hubungan kalian. Yang terpenting bagi mama adalah kebahagianmu Dev. Mama tidak mau menjadi orangtua yang egois. Selama kamu bahagia, dengan siapapun kamu berpacaran, mama akan ikut bahagia.”

Tapi, kenapa saat Mama merestui hubunganku dengan Mona, aku tidak bahagia, keluh Dev dalam hati.

~ ~ ~

POV Kiara

Siang ini aku packing baju untuk pergi ke Gianyar. Aku tidak membawa baju banyak, hanya seperlunya saja. Aku, Mas Andra, Mas Egi, Wina dan Tia akan berangkat ke Bali pada Jum’at sore. Kami akan menghadiri pernikahan Selly pada Sabtu pagi, setelah itu acara bebas.

Mas Andra ingin hunting foto ke Pantai Karma Kandara di Ungasan. Mas Andra pernah ke sana sebelumnya, menurutnya disana lautnya indah, pantainya bersih dan privacynyaterjaga. Masih menurut Mas Andra terakhir ia kesana pada bulan Januari, tiket masuk ke pantai Karma Kandara adalah 250.000 rupiah per orang. Tapi itu tidak masalah bagi Mas Andra, ia tetap akan mentraktir semua orang.

Lain Mas Andra lain pula Tia dan Wina. Mereka berdua ingin belanja oleh oleh di pasar seni Sukawati, selain belanja baju, mereka juga ingin belanja aksesoris seperti gelang, kalung, cincin dan oleh oleh makanan.

Sementara aku dan Mas Egi lebih menyukai wisata kuliner.

Mas Egi ingin makan malam di pinggir pantai di Jimbaran, sementara aku ingin mencicipi street food di Gianyar Night Market.
Aku ingin wisata kuliner di Gianyar Night Market karena Selly - melalui telepon - sering bercerita padaku kalau ia suka makan disana.

Setelah berdiskusi, akhirnya kami sepakat untuk mengunjungi semua tempat yang ingin kami kunjungi satu per satu.

Bermula di Gianyar Night Market, kami akan makan malam disana setelah tiba di Bali. Kami akan ke kamar hotel masing masing untuk beristirahat sejenak lalu makan malam di Gianyar Night Market. Mas Andra sudah booking dua kamar di hotel yang letaknya dekat dengan rumah Selly.

Satu kamar untuk aku, Wina dan Tia dan satu kamar untuk Mas Andra dan Mas Egi.

Lalu pada hari Sabtu siang hingga sore setelah acara pernikahan Selly, kami akan pergi ke pasar Sukawati. Malamnya makan malam di Jimbaran, lalu Minggu pagi pergi ke pantai Karma Kandara sekaligus check out dari hotel. Dari pantai Karma Kandara langsung ke Bandara untuk kembali pulang ke Jakarta.

Selama di Bali, kami akan menyewa mobil. Aku menyarankan pada Mas Andra menyewa mobil di tempat aku menyewa mobil dulu saat Selly mentraktir aku dan teman teman Bright Advertising pergi ke Bali. Dan Mas Andra setuju.

Sebenarnya semalam Selly meneleponku dan menawariku untuk menginap dirumahnya, tapi aku bilang pada Selly aku datang bersama rombongan. Aku bilang teman temanku ikut aku ke Bali karena ingin berwisata. Selly lalu meminta padaku agar aku mengajak Mas Andra, Mas Egi dan Tia untuk ikut datang ke acara pernikahannya.

“Kak Kiara, nanti Kak Wina ke sini dulu dan pergi bareng kita?” tanya Tia yang ikut sibuk packing seperti aku.

Tia bolos kuliah siang ini karena kami harus tiba di Bandara jam tiga sore. Sementara Tia ada kuliah jam satu siang. Jadi ia bolos kuliah.

“Tidak, Kak Wina langsung pergi ke Bandara diantar adiknya Adelia, naik motor,” jawabku.

“Oh, nanti kita semua pergi naik apa? Naik taksi atau diantar Mas Bima?”

“Mas Bima sibuk Tia, menurut Mas Andra tadi pagi saat menelepon aku, kita akan diantar Dilan, adik Mas Andra, pakai mobilnya.”

“Oh, Dilan cakep nggak Ka?”

“Tia!” seruku kaget, “kamu tuh sempet sempetnya cari gebetan, diomelin Mbak Ve loh.”

“Habis Mas Andra juga cakep banget, adiknya juga pasti cakep kayak Mas Andra.”

Aku cuma tertawa.

“Dilan masih kuliah seperti aku?” tanya Tia lagi.

“Masih Tia. Sudah ah, nanya melulu.”

“Kak Kiara, kayaknya Mas Andra suka deh sama kakak, dia perhatian gitu sama kakak.” Ujar Tia lagi.

“Ngaco kamu Tia. Mas Andra itu sudah punya pacar.”

“Kakak yakin?” tanya Tia, “tapi kayaknya Mas Andra suka sama kakak deh.”

“Masa sih?” tanyaku.

“Iya.”

“Itu mungkin karena Mas Andra sudah menganggap kakak seperti adik sendiri kayak Mas Bima gitu. Jadi Mas Andra merhatiin kakak gitu.”

“Menganggap adik dari hongkong!” teriak Tia. “Masa sih kak Kiara tidak peka.”

“Sebentar,” ujarku sambil mengambil HPku dan mencari foto aku berdua Yola saat Yola masih bekerja di cafe Mas Bima.

“Lihat ini,” ujarku pada Tia, “ini namanya Yola, pacarnya Mas Andra. Cantik kan?”

“Aku kok tidak pernah melihatnya.” Gumam Tia.

“Dia bekerja di cafe ini beberapa tahun yang lalu.”

“Sekarang kak Yola kerja dimana?”

“Mengelola distro sendiri, distronya ada di Kemang.”

“Keren!” seru Tia.

“Ya, kapan kapan kamu main ke sana, koleksi bajunya keren keren, tapi harganya juga cukup mahal sih.”

Branded?” tanya Tia.

“Hanya sepatu dan tas yang branded. Kalau baju kayaknya keluaran butiq mana gitu.

“Kak Kiara pernah ke sana?” tanya Tia.

“Pernah beberapa kali waktu awal mula distro itu mulai beroperasi. Sekarang sudah tidak pernah lagi. Kakak sibuk.”

Sedang asik ngobrol dengan Tia, Selly tiba tiba menelepon.

“Hallo,” ujarku.

“Ki, jadi berangkat besok subuh?” tanya Selly.

“Tidak Sel, jadinya sore ini jam lima, besok takut waktunya mepet.

“Oke deh, aku tunggu ya besok. Hati hati di jalan Ki.”

“Oke, makasih, goodluck for tomorrow Selly, I’m happy for you. Aku tetap tak percaya kau menikah secepat ini, kirain masih beberapa tahun lagi.”

“Iya sih Ki. Setelah dipikir pikir, aku ingin cepat memberi cucu pada ibuku agar ia bisa tersenyum dan tidak depresi lagi.”

“Ibumu masih …” kata kataku terhenti.

“Tidak apa apa Kiara, tidak masalah jika kau menyebutkannya. Masih, ibuku masih depresi, ia rutin minum obat penenang dari dokter, mudah mudahan suatu hari nanti ibuku sembuh.”

“Mudah mudahan.”

“Ya sudah, sampai berjumpa besok Kiara!”

See you tomorrow Selly. I Love You!”

See you. I Love you Too!”

~ ~ ~


POV Author

Mobil Dilan akhirnya datang menjemput Kiara dan Tia saat Tia sudah tak sabar ingin cepat cepat pergi. Dilan datang bersama Mas Andra dan Mas Egi.

Tia langsung bersikap sok akrab pada Dilan setelah mereka berkenalan. Sementara Mas Andra langsung memasukkan koper Kiara dan Tia ke bagasi mobil. Setelah itu mereka semua berpamitan pada Mas Bima dan Mbak Ve.

Tia berteriak girang saat Mbak Ve memberinya uang jajan yang cukup besar.

Disamping Mas Bima, Siti memperhatikan kesibukan orang orang dengan wajah cemberut.

“Oleh oleh pokoknya Mas Andra, OLEH OLEH!” Teriak Siti.

“Iya!” Jawab Mas Andra, kamu mau apa sih Siti?”

“Mau ikut.”

“Maksudnya oleh olehnya, maunya apa?”

“Mau ikut.” Ujar Siti keukeuh.

Mas Andra langsung menepuk jidatnya.

“Tenang Kak Siti, nanti biar Tia pilihin oleh oleh buat Kak Siti, Kak Fani, Kak Mega, Mas Helmi, biar Mas Andra yang bayar semuanya, oke?” Tia tersenyum sambil dadah dadah pada Siti, Mas Bima dan Mbak Ve.

Tia lalu berjalan ke pintu depan dan mengetuk kaca mobil, “permisi,” ujarnya.

Mas Egi yang duduk di kursi depan, disamping Dilan, membuka kaca mobil dengan malas, “ada apa sih Neng?”

“Aku mau duduk di situ, disamping Dilan. Jadi Mas Egi sebaiknya pindah ke kursi belakang.”

Mas Egi akhirnya keluar dari mobil dengan kesal. Tia lalu duduk dengan gembira disamping Dilan.

Dibangku belakang giliran Kiara yang ngomel, “ini apaan sih, kenapa aku jadi cewek sendiri di sini, Tia, pindah nggak!” serunya pada Tia.

“Kak Kiara, aku mau duduk disamping Dilan!”

“Pindah atau perjalanan ke Bali khusus untukmu dibatalkan!”

Tia akhirnya keluar mobil dan pindah ke bangku belakang, bertukar tempat lagi dengan Mas Egi. Mas Egi keluar mobil lagi dengan wajah bete.

Setelah Mas Egi dan Tia duduk, Tia lalu memperhatikan Mas Andra yang duduk ditengah tengah, di antara dirinya dan Kiara.

“Mas Andra kayak raja minyak saja duduk ditengah tengah cewek begini.” Komentar Tia.

Mas Andra hanya tersenyum.

Tia tiba tiba menarik tangan Mas Andra, “Mas Andra, permisi, aku ingin duduk disamping Kak Kiara. Mas Andra pindah ke pinggir.”

“Tidak mau!” ujar Mas Andra.

“Kita jadi berangkat nggak sih?” tanya Dilan.

“Mas Andra, cepat pindah!”

“Tidak mau!”

“Kenapa sih Tia, ribut terus dari tadi, nanti kita ketinggalan pesawat loh kalau nggak berangkat berangkat.” Ujar Mas Egi kesal.

“Mas Egi, Mas yang bawa deh,” ujar Dilan akhirnya. Ia lalu turun dari mobil.

Mobil akhirnya berangkat dengan Mas Egi yang mengemudi, Kiara yang duduk disamping Mas Egi dan Tia duduk diantara Dilan dan Mas Andra.

~ ~ ~







POV Kiara

Welcome to paradise.

Aku menghirup udara Bali kuat kuat. Rasanya senang berada di Bali lagi. Aku sekarang berada di balkon kamarku, di hotel yang kami sewa.

Sambil menghirup udara Bali aku memperhatikan keindahan langit malam yang bertabur bintang. Langit malam sedang bersih saat ini, tidak sedang mendung. Tapi bulan lagi sabit, tidak penuh.

Kami baru tiba di Bali beberapa saat yang lalu. Tadi kami istirahat sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi  makan malam ke Gianyar Night Market dan bersiap siap.

Sekarang Tia sedang mandi setelah sebelumnya Wina yang mandi. Aku kebagian mandi paling belakang.

Sambil memperhatikan suasana malam dari balkon kamarku aku tiba tiba teringat Dev. Aku rindu sekali padanya. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Sudah hampir dua minggu sejak aku, tante Audrey dan Wina datang ke GC Cosmetics untuk melihat ruangan yang akan dijadikan kantor D & D Advertising.

Aku juga tidak pernah bertemu Dev di rumah tante Audrey sejak aku dan Wina berkantor disana.

Menurut Bi Surti, Dev dari dulu memang jarang pulang ke rumah. Ia lebih sering menghabiskan waktu di apartemennya, kecuali mamanya memintanya datang untuk makan malam bersama.

Seolah tahu sedang aku pikirkan, Dev tiba tiba meneleponku. Membuat aku nyaris loncat saking kagetnya.

“Hallo,” ujarku.

“Selamat malam Kiara.”

“Selamat malam.” Jawabku. “Apa kabar, Dev?”

“Kabar baik.” Jawab Dev, “Kata Selly malam ini kau sudah di Bali?”

“Ya. Aku baru sampai. Sebentar lagi mau makan malam.”

“Kau bersama Wina kan? Kau ke Gianyar bersama Wina?”

“Iya, rencananya tadinya hanya berdua Wina tapi Mas Andra ingin ikut karena katanya…”

“Mas Andra ikut?” tanya Dev.

“Iya. Mas Andra mau hunting foto di Pantai Karma Kandara di Ungasan.”

Lalu sepi, Dev tidak bicara apa apa lagi.

“Dev, kamu ke Gianyarnya besok?” tanyaku setelah Dev terdiam beberapa saat.

“Ya, besok, pagi pagi sekali.”

Pasti bersama Mona. Keluhku sedih.

“Sampai bertemu besok kalau begitu.” Ujarku.

“Ya, sampai bertemu besok.”

“Ehm, Dev, aku bersiap siap dulu ya, teman teman sudah menunggu.”

“Perekrutan karyawan D & D Advertising bagaimana?” tanya Dev tiba tiba.

Hallo. Malam Sabtu Dev ngomongin pekerjaan? Ujarku heran, dalam hati. I’m on holiday now Dev Darling!

“Aku hanya buka lowongan untuk vizualizer dan untuk bagian Media,” ujarku, “karena untuk cameraman dan asisten cameraman sekaligus asisten sutradara, aku mau mengajak teman temanku yang dulu di PHK oleh ibu Dewi bergabung di D & D Advertising, aku belum bertemu mereka dan bicara dengan mereka tapi aku sudah mencari tahu tentang kegiatan mereka. Mereka ternyata belum bekerja lagi di perusahaan periklanan. Saat ini mereka bekerja sebagai ojek online, jadi ya kenapa tidak.”

“Ya, kau yang tahu mereka dan bagaimana pekerjaan mereka dulu.” Ujar Dev, “biasanya kita lebih enak bekerja dengan orang yang sudah kita kenal karena kita tahu karakter kerja dia seperti apa. Lalu setelah membuka lowongan kerja, sudah ada yang diwawancara?”

“Ada, dua orang, untuk posisi media, satu sarjana ilmu komunikasi lulusan UGM, perempuan, dan satu lulusan universitas di Singapura, laki laki. Yang lulusan UGM sudah punya pengalaman bekerja selama lima tahun, yang laki laki belum ada pengalaman, ia baru lulus.”

“Kau lebih suka yang mana?” tanya Dev.

“Yang laki laki. Dia orangnya asik banget. Tutur katanya sopan. Kelihatan smart kalau bicara. Dan punya hobi menulis. Biasanya kalau punya hobi menulis orangnya kreatif, pintar merangkai kata. Bisa membantu Wina juga bikin naskah iklan.”

“Tapi belum punya pengalaman kerja,” ujar Dev, “Itu tidak masalah untukmu?”

Dulu Selly memberi kesempatan kerja padaku saat aku juga baru lulus seperti Farrel, - pria lulusan Universitas di Singapura itu. Ujarku dalam hati.

“Tidak, tidak masalah, kita kan semua merintis D & D Advertising dari awal. Jadi bagiku tidak masalah.”

“Masalah gaji, permintaan mereka ok? Atau diatas rata rata?”

“Yang perempuan minta gaji lebih tinggi dari yang laki laki, karena sudah berpengalaman tapi itu masih berada di angka  ‘masuk akal’ menurut versiku.”

“Ya sudah, tunggu apalagi, kau terima saja kandidat yang laki laki itu.”

“Menurutmu begitu?”

“Ya.”

“Ok, nanti hari Senin aku akan meminta ia datang lagi. Kita lihat cara kerja dia selama tiga bulan seperti apa, kalau tidak cocok denganku, ya terpaksa aku cari penggantinya.”

“Posisi bidang media, done,” ujar Dev. “Untuk sutradara bagaimana?”

“Itu dia. Aku suka banget sama seorang sutradara. Aku ingin dia menjadi bagian tim kerjaku. Aku suka hasil kerja dia, dia biasa bikin video musik gitu. Dia jadi langganan beberapa penyanyi untuk membuat video musik mereka, tapi…”

“Tapi apa?” tanya Dev.

Juteknya minta ampun. Waktu kuliah dulu saat aku mengerjakan sebuah tugas, aku terlibat dalam suatu produksi pembuatan iklan, saat itu ia, namanya Henry, bekerja di sebuah production house, aku magang disana dan aku jadi asistennya. Dan dia galak, nyebelin, pokoknya bikin bete.”

“Tapi kau ingin orang yang galak, nyebelin dan bikin bete alias orang jutek ini, menjadi bagian tim kerjamu?”

“Iya.”

“Kamu ini aneh Ki, orang tuh dimana mana tidak mau bekerja sama orang jutek, kamu malah mau kerja sama orang jutek,” Dev tertawa.

“Aku kan melihat seseorang bukan dari jutek tidaknya orang itu, tapi dari hasil pekerjaannya.” Sahutku.

“Kiara!” Wina tiba tiba memanggilku, “jadi pergi tidak? Kalau tidak aku tidur nih!”

“Jadi, tunggu sebentar!” aku balas berteriak ke arah Wina.

“Dev, sudah dulu ya. Lain kali kita ngobrol lagi.”

“OK, have fun Ki.”

“Terima kasih.”

Setelah ngobrol dengan Dev, aku lalu meletakkan HPku di atas kasur dan mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi untuk mandi.

Aku merasa sangat senang Dev meneleponku malam ini. Ngobrol dengan Dev, berjam jam pun aku mau. Aku suka mendengar suaranya. Aku suka mendengar tawanya. Aku suka keseluruhan dirinya.

~ ~ ~


POV Author

Pagi ini semua orang sibuk. Semua bangun pagi pagi untuk mandi dan sarapan lalu berdandan. Jam delapan pagi mereka sudah harus berangkat ke tempat Selly.

Wina yang mandi lebih dulu sudah selesai berdandan lebih dulu. Ia sudah siap dengan baju cantiknya dan tas mungilnya dan menunggu Kiara dan Tia di lantai bawah, di ruang tunggu.

Mas Andra ternyata sudah rapi juga. Mas Andra memakai batik. Ia duduk di sebuah sofa dan sedang sibuk mengganti baterai kameranya.

Untuk sesaat Wina memperhatikan Mas Andra dengan perasaan tak karuan. Ia menyukai Mas Andra. Ia menyukainya sejak Kiara memperkenalkan Mas Andra padanya saat mereka berburu bunga hias di Cihideung, Bandung.

Walau Kiara bilang padanya bahwa Mas Andra sudah punya pacar, ia tetap suka. Menurut Wina, Mas Andra orangnya lucu, baik dan perduli pada orang orang di sekitarnya.

Sedang memperhatikan Mas Andra, orang yang diperhatikan tiba tiba melihat ke arah Wina, membuat Wina terkejut.

“Hai, kau sudah siap?” tanya Mas Andra.

“Ya.” Wina lalu duduk di hadapan Mas Andra, “Kiara dan Tia sebentar lagi turun.”

“Ya,” Mas Andra tersenyum, “Egi juga. Kau sudah sarapan?”

“Sudah, tadi sarapannya roti bakar, aku nggak mau makan yang berat berat kalau pagi pagi begini.”

“O, ya? Padahal nasi gorengnya enak banget loh.”

“Iya sih, tapi di tempat Selly juga nanti banyak makanan.”

“Kiara juga sudah sarapan?”

“Sudah.” Jawab Wina, “kiara makan sup tadi.”

“Oh.”

“Itu kenapa Mas, baterainya?”

“Tidak apa apa. Aku tadi lupa nge-charger, tapi aku bawa cadangannya kok. Nanti yang ini dicharger di mobil saja.”

Mereka lalu sama sama diam.

Wina terlonjak kaget saat HPnya bunyi, dan dilihatnya tante Audrey yang menelepon.

“Hallo tante, selamat pagi.”

“Selamat pagi Wina, tante menelepon Kiara kok nggak nyambung nyambung.”

“Oh, Kiara biasa mematikan HPnya kalau tidur, sebentar lagi juga dinyalakan.”

“Kamu mau berangkat ke pernikahan Selly?” tanya tante Audrey.

“Iya,”

“Dev juga sudah pergi subuh tadi.”

“Bersama Mona?” tanya Wina.

“Ya, bersama Mona. Ya sudah, nanti tante menelepon Kiara. O, ya Win, tante baru ingat, kalian hari Senin tidak usah masuk kerja dulu, kan capek habis jalan jalan.”

“Wah, asik,” Wina tertawa, “aku sih senang tante kalau hari Senin libur, tidak tahu deh kalau Kiara, dia itu gila kerja.”

“O, ya?”

“Ya.”

“Tapi tetap bilang Kiara tidak usah kerja dulu ok?”

“Ok.”

“Sampai bertemu di Jakarta, Wina.”

“Sampai bertemu tante.”

Wina baru mematikan HPnya saat dilihatnya Mas Andra sedang memperhatikan dirinya dengan tatapan heran.

“Kenapa tante Audrey meneleponmu dan bicara soal pekerjaan?” tanya Mas Andra.

“Ehm..” Wina kaget ditanya seperti itu. “Mas Andra mendengar apa yang tante Audrey katakan?” tanya Wina.

“Ya, suaranya cukup keras terdengar. Aku tidak bermaksud menguping, tapi memang terdengar jelas dari sini.”

“Ehm, sebenarnya aku dan Kiara bekerja di tempat tante Audrey sekarang.”

“Maksudnya?” Mas Andra heran.

“Kiara dan aku keluar dari Bright Advertising tempat kami bekerja sebelumnya dan sekarang bekerja di tempat tante Audrey.”

“Sebagai apa?”

“Sebagai… ehm, posisi aku kurang lebih sama dengan pekerjaanku sebelumnya, sementara Kiara.. dia disana sebagai Account Executive.”

“Kantornya dimana?”

Ini kenapa Mas Andra jadi menginterogasi aku gini sih, keluh Wina dalam hati.

“Kantornya dimana Wina?” tanya Mas Andra lagi.

“Kantornya sementara di rumah tante Audrey selama kantor resminya dibangun.”

“Dan kantor resmi yang dibangun itu dimana?”

“Di GC Cosmetics. Ehm, gedung GC Cosmetics itu kepunyaan Pak Devano pribadi. Ia menyewakan gedung itu pada GC Cosmetics dan beberapa outlet makanan disana. Kita nanti berkantor di GC Cosmetics.”

“APA?!”

~ ~ ~


POV Author

Pernikahan Selly berlangsung sukses. Selly tidak menggunakan adat Bali walau suami Selly asli orang Bali. Selly menikah tidak memakai adat apapun.

Selly merayakan resespsi pernikahannya di halaman rumahnya yang besar yang disulap menjadi taman yang cantik.

Selly mengusung tema garden party untuk acara pernikahannya. Semua makanan di tata di tempat yang cantik, termasuk juga pondokan yang unik.

Aneka minuman dan sari buah bisa ditemui di setiap sudut taman.

Selly dan suaminya berkeliling untuk menyapa para tamu yang hadir dan ngobrol dengan mereka.

Selly juga ngobrol dengan Ibu Dewi yang juga hadir di pernikahannya.

Selly menanyakan bagaimana perkembangan Bright Advertising sepeninggal dirinya, dan Ibu Dewi menjelaskan dengan singkat bahwa Bright Advertising baik baik saja.

Ibu Dewi tidak memberitahu Selly kalau dua orang karyawannya akhir akhir ini mengundurkan diri secara mendadak dari Bright Advertising dan ia harus mencari pengganti mereka dengan susah payah.

Ibu Dewi juga tidak menemukan Kiara dan Wina, - dua orang karyawannya yang mengundurkan diri secara mendadak itu - di pernikahan Selly tersebut. Ibu Dewi tidak tahu bahwa Kiara ataupun Wina sengaja menghindar darinya selama acara berlangsung.

Setelah ngobrol dengan ibu Dewi, Selly berkeliling lagi untuk menyapa tamu tamu yang lain.

Selly lalu menghampiri Kiara yang sedang berdiri di sebelah lampu taman. Sebelumnya Selly dan Kiara sempat ngobrol lama. Dan Selly sudah melihat penampilan Kiara, tapi tetap saja ia tak bisa menahan dirinya untuk memuji Kiara lagi.

Kiara mengenakan longdress berwarna pink muda dengan rambut disanggul tinggi sehingga terlihat anggun.

“Kau cantik sekali pagi ini Ki,” ujar Selly.

“Terima kasih.” Ujar Kiara, “kau juga cantik Selly. Kau yang tercantik di sini, pagi ini.”

Selly tertawa, “Mona kalah cantik dari aku?” bisiknya.

“Mona kalah cantik.” Jawab Kiara.

“Dasar tukang bohong!” Kembali Selly tertawa, “ayo kita foto Ki, untuk mengabadikan kecantikan kita pagi ini dalam sebuah gambar, mana HPmu, aku kan tidak bawa HP.”

“Ok,” kiara tertawa sambil mengeluarkan HPnya.

“Sini, biar aku yang pegang HPnya,” Selly lalu mengarahkan camera HP ke dirinya dan Kiara. “Say cheese.”

Cheese.” Kiara tersenyum ke arah camera HPnya.

“Aku ikut,” Dev tiba tiba berdiri disamping Kiara dan memegang pundak Kiara sambil tersenyum ke arah camera. Selly langsung menyimpan gambar mereka.

“Aku juga ikut,” Tia tiba tiba berlari ke arah mereka dan berdiri diantara Dev dan Kiara.

Selly kembali menyimpan gambar dirinya, Kiara, Dev, dan Tia.

“Kalian berfoto nggak ajak ajak aku ya!” Wina ikut datang menghampiri.

Selly tertawa, dan kembali mengabadikan foto mereka semua.

Setelah selesai, HP Kiara dikembalikan pada Kiara lalu Selly kembali berjalan untuk menyapa para tamu yang lain.

Kiara langsung memasukkan HPnya ke dalam tas kecilnya. Tapi ia segera mengeluarkannya lagi saat ada pesan WA masuk, ternyata dari Dev.

Kirim foto fotonya padaku ya. Tulis Dev pada pesan WA-nya.

Kiara langsung tersenyum, ia lalu mengirim semua foto yang Selly ambil pada Dev.

Setelah Semua terkirim, Dev mengucapkan terima kasih padanya, masih melalui pesan WA.

See you in Jakarta Kiara, take care. Aku pulang ke Jakarta sekarang.

Tulis Dev selanjutnya dalam pesannya.

Entah kenapa, Kiara tiba tiba merasa sangat sedih saat tahu Dev akan langsung pulang ke Jakarta. Secepat itu? Keluh Kiara dalam hati. Padahal mereka baru bertemu.

Ia masih ingin melihat Dev diantara para tamu yang hadir. Ia tak perduli dengan Mona yang selalu berada di sekitar Dev.

Selama ia melihat Dev di tempat itu, walaupun itu dari kejauhan, itu sudah membuat hatinya terasa hangat.

~ ~ ~

POV Author

Dev melambaikan tangannya pada Mona saat Mona berjalan memasuki terminal keberangkatan ke Lombok. Mona balas melambaikan tangannya pada Dev sambil tersenyum.

Mona harus segera kembali ke lokasi syuting di Lombok dan tidak bisa lama lama menemani Dev di Bali.

Sebenarnya Dev masih punya waktu luang untuk bersantai di Bali sampai besok kalau Dev mau, sebelum ia harus mulai bekerja lagi pada Senin pagi. Tapi Dev memutuskan untuk pulang saja ke Jakarta.

Keberangkatan pesawat Dev ke Jakarta masih satu jam lagi. Dev akhirnya pergi ke suatu kedai kopi dan memesan kopi.

Sambil minum kopi Dev teringat lagi dengan percakapannya dengan Mas Andra di pesta pernikahan Selly tadi.

Saat itu Mas Andra mendekati Dev dan kembali marah marah. Dev sungguh tak mengerti kenapa Mas Andra selalu marah marah kalau melihat dirinya.

“Gerakanmu cepat juga ya, kayak cheetah.Ujar Mas Andra. Dev saat itu sedang sendiri karena Mona sedang mengambil makanan.

“Apa lagi ini?” tanya Dev.

“Kiara berkantor ditempatmu itu, maksudnya apa?” tanya Mas Andra. “Biar dekat denganmu kan?”

“Biar irit.” Ujar Dev, “perusahaan iklan yang didirikan mamaku itu baru. Jadi banyak pengeluaran, jadi biar pengeluaran bisa ditekan, kantor mamaku untuk sementara disana, karena tidak usah bayar sewa. Jadi biar irit.”

“Kau pikir aku percaya?”

“Terserah kau mau percaya atau tidak.”

“Berapa gaji yang ditawarkan Mamamu untuk menggaji Kiara?” tanya Mas Andra lagi.

“Mana aku tahu, itu urusan mamaku, aku tidak ikut campur dalam hal ini. Memang kenapa?!”

“Aku bisa menggaji Kiara dua bahkan tiga kali lipat dari gaji yang ditawarkan mamamu asal dia keluar dari perusahaan mamamu.”

“Kenapa sih kau egois seperti ini?” Seru Dev kesal, “aku percaya kau punya banyak uang dan bisa menggaji Kiara berapapun, tapi permasalahannya bukan disitu. Permasalahannya, Kiara mau kerja apa bersamamu? Apa sesuai dengan bidangnya? Dengan keahlian yang ia miliki? Dengan ilmu yang ia peroleh saat kuliah? Mamaku hanya memberikan wadah padanya untuk berkembang. Kalau kau sayang padanya, harusnya kau mensupport dia.”

Dev menghentikan kata katanya sebentar, lalu melihat ke Mas Andra lagi, “apa sih yang sebenarnya kau takutkan?” tanya Dev.

“Dirimu.” Ujar Mas Andra, “orang lain mungkin bisa tertipu dengan kau membawa pacarmu kesini, atau kemanapun juga seolah olah kau sangat mencintai pacarmu dan kalian pasangan yang harmonis, tapi aku tidak. Aku tidak mudah tertipu. Selama acara pernikahan Selly pagi ini, matamu tidak lepas memperhatikan Kiara. Matamu tidak bisa berbohong. Kau sangat menyukai Kiara.”

“Jadi kau takut aku merebut Kiara darimu?”

“Segala hal bisa kau lakukan. Mamamu dan dirimu menyukai Kiara, sehingga kalian akan berusaha mendapatkan apa yang kalian inginkan!”

Mas Andra lalu pergi meninggalkan Dev dengan perasaan marah.

“Aku berjanji tidak akan mendekati Kiara seperti yang kau khawatirkan!” teriak Dev.

Mas Andra kembali membalikkan tubuhnya ke arah Dev, “tidak. Jangan berjanji untuk suatu hal yang tidak bisa kau tepati. Kau tahu apa yang membuatku tenang? Nikahi pacarmu secepatnya dan pergi jauh dari kehidupan Kiara!”

Setelah marah padanya, Mas Andra lalu meninggalkan Dev.

Dev kini menghela nafas panjang. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Mas Andra benar, Dev tidak bisa begitu saja mengucapkan janji yang tidak bisa ia tepati. Karena walau di bibirnya ia berjanji tidak akan mendekati Kiara, tapi hatinya berkata lain, karena keinginan hatinya adalah ia ingin selalu dekat dengan Kiara dan selalu ingin bersamanya.

~ ~ ~


POV Author

Sore ini, tante Audrey dan tante Mita sedang asik ngobrol di pinggir kolam renang di rumah tante Audrey.

Tante Audrey mengundang tante Mita untuk minum teh bareng.

Tante Jennie juga diundang, tapi tante Jennie belum datang.

Tante Jennie tidak diberitahu bahwa tante Mita juga ada disana. Itu akan jadi kejutan untuknya.

“Jadi, waktu kuliah dulu di Solo, kau mau bekerja untuk menghidupi Arman?” tanya tante Audrey pada tante Mita, “luar biasa, aku tidak pernah bekerja dimanapun, walau ibuku punya perusahaan kosmetik tradisional aku tetap tidak mau bekerja di perusahaannya, sampai akhirnya anakku yang mengambil alih perusahaan itu.”

“Tapi kau tetap punya saham disana kan?” tanya tante Mita.

“Ada, tapi tidak sebanyak anakku Dev, tadinya ibuku punya saham 100%. 30% ia hibahkan padaku. 50% ia hibahkan pada kedua cucunya, Dev dan Dinda, dimana mereka masing masing mendapat 25%. Sisanya 20% ia jual ke publik. Lalu karena Dinda kurang berminat di perusahaan ini, ia menjual sahamnya pada kakaknya setelah perusahaan menjadi lebih besar dari sebelumnya. Baik secara produksi maupun secara income.”

“Jadi Dev punya 50% saham, kau 30% dan 20% umum?”

“Ya.”

“Ibumu benar benar lepas dari perusahaan yang dirintisnya itu?”

“Ya.”

“Tidak dapat pemasukan lagi dong?”

“Masa anak dan cucunya mau menelantarkan dia, kan itu tidak  mungkin.” ujar tante Audrey, “selain itu, hasil penjualan saham yang 20% kepada publik itu, uangnya ia depositokan. Dari bunga deposito aku rasa ibuku dapat penghasilan. Selain itu Dev juga selalu memperhatikan kakek dan neneknya. Sepertinya Dev selalu mengirimi mereka uang setiap bulan, yang jelas kondisi ibu dan ayahku baik baik saja, mereka tidak kekurangan apapun.”

“Ibuku tidak pernah mau menerima uang dariku,” ujar tante Audrey lagi, “kata ibuku ia sudah punya uang sendiri dan aku jangan mengkhawatirkan dirinya. Dev disisi lain, sedikit mengancam kakek neneknya kalau mereka tidak mau menerima uang darinya, ia akan mogok kerja. Yang paling ditakutkan oleh ibuku adalah Dev tidak mau melanjutkan bisnis yang sudah dirintisnya itu, jadi yah, ayah ibuku menerima apa yang Dev berikan.”

“Sebenarnya yang terpenting dari semuanya adalah kedua orangtuamu sehat sehat saja Ndrey.”

“Iya, itu betul.” jawab tante Audrey, “semoga ayah ibuku sehat sehat saja dan bahagia dengan masa tua mereka.”

“O, ya, bicara soal Arman, setelah aku pikir pikir, ternyata ada sisi baiknya aku mengenal dia,” ujar tante Mita. “Maksudku, kalau aku tidak kenal dia dan berpacaran dengannya, aku tidak akan punya pengalaman bekerja seperti yang aku lakukan dulu. Aku juga kini jadi pribadi yang tangguh dan tidak cengeng. Aku ditempa oleh keadaanku saat itu.”

“Ya, selalu ada sisi baik dari sebuah peristiwa.” Tante Audrey setuju.

“Selamat sore,” tante Jennie tiba tiba datang menghampiri tante Audrey, “tadi pagi aku mengantar keponakanku memetik strawberry di daerah Cipanas dan aku membawa beberapa kilo strawberrynya ke sini dan…” kata kata tante Jennie terhenti saat melihat tante Mita. Ia tadi tak menyadari kehadiran tante Mita.

“Apa kabar Jennie? Kau masih cantik saja seperti dulu.” Ujar tante Mita sambil tertawa.

“Oh My God, I can’t believe this!” Teriak tante Jennie langsung.

~ ~ ~


POV Author

Tante Jennie berjalan mondar mandir di balkon teras rumah tante Audrey di lantai dua. Sesekali ia melihat ke bawah ke pinggir kolam renang tempat tante Audrey dan tante Jennie duduk dan mengobrol.

Ya Tuhan, bagaimana mungkin keajaiban ini bisa terjadi! Ujar tante Jennie sambil menelepon Kiara.

“Hallo,” jawab Kiara.

“Kiara, ini kerjaan kamu kan?” tanya tante Jennie.

“Apa tante?” tanya Kiara “tante bicara soal apa?”

“Tentang tante Audrey dan tante Mita. Mereka, kini, saat ini, detik ini, sedang ngobrol dipinggir kolam renang di rumah tante Audrey. Demi Tuhan, apa yang sudah kau lakukan Kiara?”

Kiara hanya tertawa, “syukurlah kalau mereka sudah bertemu.”

“Kiara, apa yang sudah kau lakukan?”

“Tidak penting apa yang sudah kulakukan tante Jennie, yang penting, masalah antara tante Audrey dan tante Mita benar benar sudah selesai dan menjadi masa lalu yang harus dilupakan.”

“Tapi kau tahu ini artinya apa?”

“Apa?”

“Kau tak punya kesempatan lagi untuk bisa bersama Dev karena tante Audrey tidak akan mendukungmu lagi.”

Kiara diam. Entah kenapa kata kata itu tiba tiba membuat dadanya sakit.

“Maksud tante,” ujar tante Jennie lagi, “kesempatanmu untuk menjadi menantu tante Audrey tipis, karena tante Audrey sudah memberikan restunya pada Mona, bukan berarti tante Audrey tidak menyukaimu.”

“Iya tante, aku mengerti, tidak masalah kok buatku.”

“Yakin tidak masalah? Sayang sekali, padahal aku ingin kau yang menjadi menantu tante Audrey.”

~ ~ ~

POV Devano

Aku menyenderkan kepalaku ke kursi mobil dan memutuskan untuk tidur di mobil walau sebentar. Di pesawat tadi aku tak bisa tidur. Entah kenapa.

Pak Ridwan, supir Mama, yang menjemputku saat aku tiba di  Bandara Soeta tadi.

Aku sengaja menelepon Pak Ridwan dan meminta Pak Ridwan menjemputku karena aku sedang tidak ingin sendirian di apartemenku. Aku ingin ke rumah orangtuaku untuk bertemu keluargaku.

Sejak tahu kalau Kiara akan menghabiskan waktu di Bali bersama Mas Andra, hatiku tiba tiba terasa hampa.

Aku ingin Kiara bersamaku, bukan bersama dengan Mas Andra atau siapapun. Tapi keinginanku hanya tinggal keinginan. Menghabiskan waktu bersama Kiara saat ini adalah hal yang tak mungkin terjadi.

Setelah mencoba untuk tidur lagi, akhirnya aku bisa tidur dengan pulas. Aku bahkan tetap tertidur sampai mobil tiba di rumah.

Pak Ridwan lalu membangunkan aku. Aku akhirnya keluar dari mobil sambil mengucapkan terima kasih pada Pak Ridwan.

Aku lalu berjalan melalui pintu kecil di samping garasi yang berhubungan langsung ke taman dan kolam renang.

Dan aku tertegun. Tante Mita ada di sini! Di rumah orangtuaku! Ia sedang ngobrol dengan Mama!

Mama ternyata benar benar sudah berubah. Mama tidak memusuhi tante Mita lagi. Aku merasa sangat lega dan langsung tersenyum senang memperhatikan mereka.

“Itu Dev sudah pulang!” seru Mama saat melihatku.

Aku melambaikan tangan pada Mama. “Jangan tanya oleh oleh Ma, aku tidak beli apapun.” Ujarku.

“Kau pulang dengan selamat saja, Mama sudah senang.” Mama menghampiriku. “Ada tante Mita di sini.” Ujar Mama lagi.

“Ya, Ma, aku senang tante Mita bisa berkunjung ke sini. Apa kabar tante?” Sapaku pada tante Mita.

“Kabar baik.” Tante Mita tersenyum, “Mona langsung ke Lombok ya? Tadi Mona meneleponku.”

“Iya, Mona bilang minggu depan syutingnya baru selesai.”

“Kapan kapan kita makan malam bersama di suatu restoran yang pemandangannya indah dan udaranya segar,” ujar Mama lagi, “kau, Mona, Mama dan tante Mita, bagaimana menurutmu Dev?”

“Ok, tidak masalah.” Jawabku.

“Aku tidak diajak?” protes tante Jennie.

“Ya, ampun, lupa.” Mama tertawa, “ya, tentu, kaupun boleh ikut.”

“Bersama Kiara ya?” tanya tante Jennie ke Mama.

“Bersama Kiara?” Mama balik bertanya pada tante Jennie.

“Bercanda, Drey.” tante Jennie kemudian tertawa. “Kiaranya juga belum tentu mau. Kamu juga Dev, kenapa wajahmu jadi kaget begitu?”

Ini tante Jennie maksudnya apa sih, ujarku dalam hati. Siapa juga yang kaget…

“Memang aku kelihatan kaget?” tanyaku pada tante Jennie.

“Iya.”

“Itu mungkin cuma perasaan tante Jennie saja.” Ujarku, “Ya sudah, aku ke kamar dulu ya Ma.” Ujarku pada Mama.

“Ya, selamat berisirahat Dev.”

“Ok. Sampai bertemu lagi tante Mita, tante Jennie.”

“Iya, Dev, sampai bertemu lagi.” Ujar tante Mita.

Aku berlalu dari hadapan mereka dan naik ke lantai atas, ke kamarku.

Di kamar aku langsung menyalakan laptopku, lalu aku mentransfer beberapa foto di HPku ke laptopku.

Aku memperhatikan foto yang memperlihatkan aku, Kiara dan Selly yang tersenyum menatap Camera.

Maafkan aku Selly, kau cantik, tapi harus kugunting. Aku lalu mengcropping foto itu hingga aku berdua Kiara.

This is perfect. Ujarku dalam hati. Aku lalu men-setting- foto itu  menjadi desktop background laptop di kamarku.

Paling tidak, kalau aku rindu Kiara, aku bisa melihat senyumnya di laptopku. Ujarku lagi, dalam hati.

~ ~ ~


POV Kiara

Aku tak bisa tidur. Seharusnya malam ini aku bisa tidur nyenyak mengingat seharian tadi aku capek berbelanja di pasar Sukawati lalu dilanjutkan makan malam di Jimbaran. Tapi mata ini tetap tak bisa terpejam.

Aku tiba tiba gelisah. Entah kenapa. Aku tiba tiba tidak ingin berada di sini. Walau aku menyukai Bali, tapi bagiku, Bali tidak sempurna tanpa… Dev.

Ingat Dev, aku lalu membuka HPku lagi dan memperhatikan foto foto di foto pernikahan Selly tadi. Foto foto itu akan menjadi foto favoritku sepanjang masa.

Terima kasih Tuhan, karena tadi sudah membiarkan Dev berlari ke arahku dan Selly untuk berfoto bersama kami, karena kalau tidak, aku mungkin tidak punya kenangan seindah ini.…

Aku akhirnya menguap, lalu memperhatikan Wina dan Tia yang sudah tertidur pulas.

Tia tadi berbelanja banyak sekali. Selain berbelanja untuk keperluan dirinya, ia juga berbelanja sesuai pesanan dari sahabat sahabatnya.

Sahabat sahabatnya menuduh Tia pengkhianat karena pergi ke Bali tanpa mereka. Tia akhirnya berjanji akan membawakan oleh oleh untuk mereka agar mereka tidak marah lagi padanya.

Selain membeli oleh oleh untuk sahabat sahabatnya, sesuai janji Tia pada siti, ia juga membelikan Siti dan karyawan Mas Bima yang lain oleh oleh berupa baju.

Wina berbelanja untuk dirinya dan Adelia, adiknya. Mereka membeli kaos panjang dengan motif yang sama.

Aku hanya membeli tas kerja yang terbuat dari anyaman pandan. Aku selalu suka tas etnik seperti itu.

Di Jimbaran, saat makan seafood, kami disuguhi tari Bali oleh dua penari bali yang cantik.

Cuaca sedang cerah dan tidak hujan, jadi kami bisa menikmati makan malam kami dengan santai.

Sampai di hotel kami langsung packing karena besok pagi, jam tujuh pagi, sudah harus check out dari hotel untuk pergi ke pantai Karma Kandara.

Aku menguap sekali lagi. Aku lalu menarik selimutku dan mulai tertidur.

~ ~ ~

BAB DUA PULUH DUA


POV Author

Tanpa terasa, waktu berlalu begitu cepat. Pembangunan kantor D & D Advertising sudah selesai sesuai dengan yang Kiara harapkan.

Saat D & D Advertising dibangun, Kiara sering berkonsultasi dengan Mbak Kayla, design interior yang menjadi partner kerja GC Cosmetics. Dev yang memperkenalkan Mbak Kayla pada Kiara.

Dan berkat jasa Mbak Kayla itu pula kantor D & D Advertising jadi terlihat cantik dan colourful seperti sekarang.

Ruang kerja di D & D Advertising terdiri dari delapan ruang kerja yang letaknya berhadap hadapan. Empat ruang kerja di sisi sebelah Utara dan empat ruang kerja di sisi sebelah Selatan.

Diantara ruang kerja itu diletakkan meja lonjong yang cukup besar dengan delapan tempat duduk yang nyaman. Tempat itu adalah ruang meeting karyawan D & D Advertising.

Proyektor, layar proyektor, dan whiteboard beserta alat tulisnya turut diletakkan di ruang meeting untuk keperluan meeting.

Beberapa pot bunga yang ditanami bunga hias nampak ditempatkan di pojok ruangan.

Pantry dibangun di sisi sebelah Barat, tidak jauh dari pantry ada balkon yang cukup luas dengan satu set meja dan kursi untuk bersantai.

Tanaman hias nampak digantung di beberapa tempat di balkon tersebut.

Toilet ada di sisi sebelah Timur. Toilet ada dua, dipisahkan untuk pria dan wanita.

Di samping pintu masuk utama disediakan front desk lengkap dengan kursi dan lemari arsip.

Telepon diletakkan di front desk tersebut. Dan telepon itu sifatnya pararel, bisa disambungkan ke masing masing ruang kerja.

Sementara resepsionis belum direkrut, karyawan D & D Advertising yang sedang berada di kantor diwajibkan untuk menjawab telepon kalau ada panggilan telepon atau menerima tamu kalau ada tamu yang datang.

Kiara menempati ruang kerja yang lebih besar dari yang lainnya, karena diruang kerja kiara disediakan satu set sofa untuk menerima tamu.

Tadinya Dev menyarankan untuk disediakan ruang tamu tersendiri untuk menerima tamu, tapi Kiara menolaknya. Menurut Kiara biar lebih praktis, ruang tamu itu ada di ruang kerjanya saja. Sehingga D & D Advertising terlihat luas dan tidak sumpek karena terlalu banyak ruangan.

Ruang kerja Kiara berada di sisi Utara. Di sebelah ruang kerja Kiara adalah ruang kerja Wina, lalu ruang kerja Mia, - dia menempati posisi vizualizer,  dan disamping ruang kerja Mia adalah ruang kerja Sutradara.

Posisi Sutradara masih kosong, Kiara belum mencari atau merekrut karyawan untuk posisi Sutradara sehingga ruang kerja tersebut masih kosong, tak berpenghuni.

Di sisi sebelah selatan ada ruang kerja Farrell - ia bertugas di bidang media - lalu ruang kerja Vian - ia seorang cameraman  yang juga teman Kiara dan Wina saat mereka bekerja di Bright Advertising dulu.

Di samping ruang kerja Vian adalah ruang kerja Iwan yang merupakan asisten cameraman merangkap sebagai asisten sutradara. Iwan juga teman Kiara dan Wina saat di Bright Advertising dulu.

Tapi pekerjaan Iwan sifatnya hanya sementara waktu, menurut Kiara, kalau perusahaan D & D Advertising sudah besar dan maju, tugas Iwan hanya akan menjadi asisten Sutradara, karena Iwan punya basic pendidikan sutradara saat kuliah di Institute Kesenian Jakarta dulu. Untuk posisi asisten cameraman rencananya Kiara nanti akan membuka lowongan pekerjaan lagi.

Disamping ruang kerja Iwan, nantinya akan digunakan sebagai ruang kerja riset pemasaran. Tapi sementara karyawan untuk riset pemasaran belum direkrut, maka ruang kerja itu dibiarkan kosong.

Kiara membebaskan teman teman kerjanya untuk mendekorasi ruang kerja mereka sesuai dengan yang mereka inginkan, sesuai dengan karakteristik mereka masing masing.

Wina mencat ruang kerjanya dengan perpaduan warna pink dan biru. Lampu yang ia pasang diruang kerjanya adalah lampu gantung yang unik dan cantik yang terbuat dari anyaman bambu.

Di sisi kiri meja kerja Wina dipasang rak panjang yang berisi foto dirinya, keluarganya dan teman temannya.

Semua foto memakai frame yang lucu. Foto Kiara berdua Wina juga ada disana.

Farrell lebih suka ruang kerjanya memakai konsep black and white, semuanya serba black and white, dari mulai lemari arsip, lampu, kursi, bahkan mug ia juga perpaduan warna hitam dan putih.

Farrell suka barang antik. Ia punya jam dinding antik yang berwarna hitam, lalu mesin ketik antik, juga berwarna hitam. Mesin ketik itu hanya sebagai pajangan saja dan sudah tidak bisa digunakan.

Farrell berbelanja barang antik tersebut di jalan Surabaya, Jakarta.

Konsep ruang kerja Mia adalah penuh dengan bunga. Mia sangat feminin dan sangat menyukai bunga. Sebagian dinding ruang kerja Mia, Mia tempeli wallpaper yang bermotif bunga.

Beberapa gambar kartun hasil karyanya turut mewarnai kesemarakan ruang kerja Mia.

Mia membingkai kartun kartun hasil ciptaannya dan menggantungnya di dinding.

Sementara itu, sang cameraman, Vian, suka tokoh superhero dan beberapa tokoh komik Jepang. Begitu masuk ruang kerja Vian, kau akan disambut oleh tatapan Naruto yang sedang menatapmu dengan sinis. Lukisan Naruto yang besar itu ada di belakang kursi kerja Vian, berhadapan dengan pintu. Jadi siapapun yang masuk ke ruang kerja Vian, yang ia lihat pertama kali adalah tatapan sinis Naruto itu tadi.

Vian tadinya ingin meminta bantuan temannya yang kartunis untuk menggambar Naruto di salah satu dinding ruang kerjanya. Tapi ternyata Mia dengan senang hati membantunya.

Mia-lah yang menggambar Naruto untuk Vian.

Beberapa tokoh superhero dalam bentuk miniatur Vian tata dengan rapi di lemari kaca yang khusus ia pesan.

Berbeda dengan Vian, Iwan lebih suka menghias dinding ruang kerjanya dengan tulisan tulisan yang memotivasi.

Ada motivasi yang serius, ada yang lucu.

Iwan menggunting tulisan motivasi itu dari majalah, lalu tulisan itu ia laminating agar tidak mudah robek, lalu ia tempel di dinding ruang kerjanya yang berwarna putih.

Beberapa contoh tulisan di dinding ruang kerja Iwan yang Iwan tempel :

“Menabung di dunia dengan memakai uang saja kamu bisa, kenapa menabung di akhirat yang gratis kamu tidak bisa?”

“waktu itu adalah uang, jadi jika kamu mengajak teman kamu jalan jalan dan dia bilang dia tidak punya waktu, itu artinya dia tidak punya uang”

“Jangan takut jelek selama masih ada potoshop”

“Orang keren itu, biar libur tetap bangun pagi!”

Sementara teman temannya oleh Kiara diperbolehkan untuk berkreasi menata ruang kerjanya, Kiara sendiri tidak menata ruang kerjanya sesuai gaya atau karakteristik dirinya.

Kiara suka warna pink muda, merah dan magenta. Tapi ia memilih mencat ruang kerjanya dengan warna krem.

Kiara hanya ingin ruang kerjanya terlihat bersih karena kelak tamu tamu yang datang ke D & D Advertising akan diterima di ruang kerja Kiara.

Satu satunya yang menggambarkan pribadi Kiara adalah ia meletakkan sebuah rak, tidak jauh dari sofa tamu dan di rak itu ia meletakkan beberapa pohon kaktus yang tumbuh di pot pot kecil. Kiara juga menyiapkan semprotan tanaman untuk menyiram kaktus kaktus mungil miliknya.

Kiara menyukai tumbuhan, jadi kaktus kaktus kecil itu mencerminkan pribadi Kiara di ruang kerjanya.

Selama masa persiapan kantor itu, tante Audrey sering berkunjung untuk memastikan semuanya oke dan sesuai dengan permintaan para karyawannya.

Tapi sejak D & D Advertising mulai beroperasi, Tante Audrey mulai jarang datang. Kiara lebih sering berkonsultasi melalui telepon dengan tante Audrey jika ada yang ingin ditanyakan.

Untuk memperlancar kegiatan D & D Advertising, tante Audrey turut menyediakan satu buah mobil operasional jenis SUV. Mobil itu bisa digunakan semua karyawan D & D Advertising secara bergantian sesuai keperluan mereka.

Proyek pertama yang diberikan GC Cosmetics pada D & D Advertising adalah membuat iklan shampo.

Shampo GC Cosmetics yang paling digemari oleh para pelanggan menurut survey yang sudah dilakukan tim pemasaran GC Cosmetics adalah shampo yang terbuat dari kemiri.

Iklan shampo kemiri itu dibuat kurang lebih delapan tahun yang lalu.

Dev ingin iklan yang baru untuk shampo tersebut. Dev ingin iklan yang lebih segar dan kekinian. Dan Dev meminta Kiara dan timnya untuk memproduksi iklan shampo tersebut dengan versi baru.

Kiara langsung meminta teman temannya di tim kreatif membuat konsep iklan. Ia sendiri mulai sibuk memikirkan siapa kira kira sutradara yang akan ia ajak bergabung dengan timnya.

~ ~ ~


POV Kiara

Aku mengetuk pintu rumah Mas Henry, Sutradara yang ingin aku ajak bergabung dengan D & D Advertising.

Aku benar benar menyukai hasil karya Mas Henry. Kalau Mas Henry tidak mau menjadi karyawan tetap di D & D Advertising, aku akan meminta bantuannya per proyek saja. Dan Mas Henry bisa bekerja secara freelance.

Isteri Mas Henry, Mbak Silvi, membukakan pintu dan mempersilahkan aku duduk. Aku pernah bertemu dengan Mbak Silvi dulu, tapi sepertinya Mbak Silvi lupa padaku.

“Mas Henry ada Mbak?” tanyaku.

“Ada, ini untuk keperluan apa ya?”

“Soal pekerjaan.”

“Pekerjaan apa?”

“Menyutradarai pembuatan iklan.”

“Oh, kalau menjadi Sutradara, Mas Henry sudah tidak melakukannya.”

“Kok Bisa?” seruku kaget.

“Ceritanya panjang,” Mbak Silvi nampak menghela nafas. “Begini saja, kau tinggalkan saja kartu namamu, biar nanti aku ngobrol dengan suamiku, lalu aku menghubungimu lagi.”

“Tidak bisakah aku bertemu sekarang?” tanyaku lagi, penuh harap.

“Sepertinya tidak, ngomong ngomong kau kenal Mas Henry dimana?”

“Aku dulu pernah magang di production house tempat Mas Henry bekerja dan menjadi asistennya, tapi tidak lama sih hanya tiga bulan.”

“Namamu siapa?”

“Kiara.”

“Begini Kiara, Mas Henry dulu berbeda dengan Mas Henry sekarang. Sudah tidak sama lagi. Ada suatu kejadian yang menimpanya yang membuatnya berubah.”

“Kejadian apa?” tanyaku heran.

“Kecelakaan motor. Saat kecelakaan itu terjadi, hujan sangat deras, jalanan licin, lalu ada dua anak sekolah yang menyebrang secara tiba tiba sambil berlari membuat Mas Henry kaget. Ia langsung menghindari mereka dengan berbelok ke arah kanan jalan, tapi karena kecepatan motor tinggi dan jalanan licin ia menabrak pembatas jalan.”

“Ya Tuhan.” Desisku kaget, “Mas Henry baik baik saja kan?”

“Untuk kepalanya, Mas Henry tidak mengalami benturan yang berarti, tapi kaki kanannya terluka parah dan…” Mbak Silvi tiba tiba menangis.

“Dan apa Mbak?” tanyaku lagi.

“Dan harus diamputasi.”

Oh My God!” aku langsung menangis, “itu tidak mungkin.”

“Mas Henry kemana mana harus menggunakan kursi roda sekarang. Sejak itulah dia berhenti dari pekerjaannya dan mengurung diri di kamar.”

“Maafkan aku Mbak, aku tidak tahu tentang hal ini.”

“Tidak apa apa.”

“Mas Henry sama sekali tidak bekerja lagi sejak saat itu?”

“Sebagai sutradara tidak. Ia akhirnya bekerja sebagai seorang penjahit. Ia belajar menjahit dan menerima jahitan di rumah. Aku membantunya. Jika ada yang ingin menjahit baju, aku yang mengukur badan mereka, lalu Mas Henry yang membuat pola dan memotong kain dan menjahit kain itu. Kami hidup dari sana.”

“Apakah tidak ada tawaran pekerjaan padanya secara freelance? Hasil pekerjaan Mas Henry bagus, ada beberapa video musik penyanyi terkenal kita yang merupakan hasil karya Mas Henry dan hasilnya keren.”

“Itu masa lalu. Sejak kecelakaan itu, tidak ada tawaran pekerjaan apapun lagi padanya. Semua orang sepertinya lupa padanya. Hal itu yang membuat ia tertekan dan sering mengurung diri. Apalagi kan tidak setiap hari orang menjahit baju. Kalau lagi ramai yang menjahit ya ramai, kalau lagi sepi ya sepi. Tidak pasti.”

“Kalau aku tawari pekerjaan menyutradarai iklan seperti yang aku sebutkan tadi, kira kira mau tidak? Maksudku, secara per proyek saja. Nanti honornya aku sesuaikan dengan  pengalaman kerja Mas Henry.”

Mbak Silvi tersenyum menatapku, “kau baik sekali. Kau tidak keberatan dengan kondisi tubuhnya?”

“Tidak Mbak. Bakat dan keahlian Mas Henry kan tidak ada hubungannya dengan kondisi fisiknya. Mas Henry orang yang ahli di bidangnya. Sayang kalau keahliannya disia siakan.”

“Tapi kan pekerjaan sutradara itu cukup melelahkan, aku khawatir dengan kondisi tubuh yang seperti sekarang, Mas Henry tidak bisa menjalankan pekerjaannya dengan baik.” Ujar Mbak Silvi.

“Nanti ada asisten yang membantunya kok Mbak. Mbak jangan khawatir.”

“Ya sudah kalau kau tidak keberatan, nanti aku tanya Mas Henry, lalu nanti aku menghubungi dirimu apa keputusan Mas Henry.”

“Baiklah, aku tunggu kabarnya ya Mbak.” Ujarku.

“Iya.”

~ ~ ~

POV Devano

Malam ini aku makan sendirian di rumah orangtuaku. Papa pulang larut malam, Dinda sedang tidak pulang dan Mama pergi dengan tante Jennie.

Tadinya Mama mau makan bersamaku, tapi tiba tiba tante Jennie datang dan mengajak mama makan malam diluar. Sekalian belanja kata tante Jennie, entah belanja apa.

Jadilah aku makan sendiri.

Perasaannggak ada bedanya dengan di apartemen. Keluhku dalam hati. Sama sama makan sendiri. Padahal aku ke sini ingin bertemu dengan keluargaku.

Baru saja aku mau memulai makan malamku, Bi Surti tiba tiba datang menghampiriku dan bilang kalau pacarku datang dan sedang menunggu di ruang tamu.

Aku bengong. Mona sedang ke Paris, ia baru pergi tiga hari yang lalu dan baru kembali empat hari lagi. Mona sedang mencari sekolah modelling disana. Ia ingin kursus modelling untuk menunjang profesinya.

“Mas Devano kok bengong, kasihan pacarnya nunggu.” Ujar Bi Surti lagi.

“Bi, apa Bibi tidak salah lihat? Apa Bibi sudah ngantuk? Pacarku sedang di Paris.” Ujarku pada Bi Surti.

Bi Surti sudah kenal dengan Mona. Mona dan Tante Mita pernah datang ke rumah. Dan Mama memperkenalkan Mona pada semua orang di rumah ini bahwa Mona adalah pacarku.

“Kalau tidak mau bertemu ya sudah,” ujar Bi Surti, “biar bibi bilang ke dia.”

“Tunggu Bi, aku ikut.” Aku akhirnya mengikuti Bi Surti ke ruang tamu untuk mengetahui siapa yang dimaksud Bi Surti.

Dan aku langsung tersenyum lebar saat melihat Kiara.

Andai Kiara benar pacarku, aku akan menjadi orang paling bahagia di dunia. Tapi itu hanya angan angan, karena kalau aku nekat menjadikan Kiara pacarku, Mas Andra akan langsung menghajarku.

“Selamat malam,” ujar Kiara saat melihatku.

Selamat malam sayang, ujarku dalam hati.

“Selamat malam.” Jawabku.

“Aku mau bertemu tante Audrey tapi kata Bi Surti tante Audrey pergi.”

“Iya. Mama baru pergi. Kamu tidak meneleponnya terlebih dulu?”

“Tidak, aku pikir tante Audrey ada dirumah, jadi pulang kerja tadi aku mampir ke sini.”

“Oh begitu,” aku lalu duduk di hadapan Kiara, “kamu mau membicarakan masalah pekerjaan dengan Mama?”

“Ya.” Jawab Kiara.

“Sifatnya rahasia? Boleh aku tahu?” tanyaku lagi.

“Ehm,” Kiara nampak berpikir sebentar, “gimana ya, rahasia sih tidak, tapi aku ingin tahu pendapat tante Audrey tentang sesuatu.”

“Dan sesuatu itu apa?”

Kiara diam.

Aku lalu memperhatikan Bi Surti yang masih berdiri tidak jauh dariku dan memperhatikan aku dan Kiara ngobrol. “Bi Surti, kenapa masih disini?” tanyaku.

“Oh, aku mau bertanya pada Mbak Kiara mau minum apa.” ujar Bi surti.

“Tidak usah repot Bi Surti,” sahut Kiara, “aku tidak lama kok, aku mau langsung pulang.”

“Tidak repot kok Mbak Kiara, sebentar, Bibi bikinkan jus strawberry ya. Pokoknya jangan pulang dulu sebelum jus strawberrynya diminum.” Bi Surti langsung pergi meninggalkan kami.

“Taruh jusnya di meja makan Bi.” Teriakku.

“Iya Mas Devano.” Jawab Bi Surti.

Aku lalu tersenyum menatap Kiara, “Ayo Kiara, kita makan malam.”

Kiara tampak terkejut, “tidak, terima kasih, aku sudah makan tadi.”

“Kalau begitu makan lagi.”

“Tapi aku mau langsung pulang.”

“Jusnya lagi dibikin, kasihan Bi Surti kalau kau tidak mau minum jus bikinannya.”

“Tapi…”

“Ayo Kiara.”

“Oke, baiklah.”

~ ~ ~


POV Kiara.

Aku ke sini mau ngobrol dengan tante Audrey, kenapa jadi makan malam berdua Dev. Ujarku dalam hati.

Well, tentu saja aku senang bisa makan malam berdua Dev seperti ini. Ini diluar dugaanku.

Tapi aku kan harus menjaga jarak dengannya. Dev bukan pacarku. Walau aku ingin sekali Dev jadi pacarku, tapi itu tak mungkin. Itu hanya khayalan, hanya impian kosong belaka.

Tiba tiba aku ingat kata kata Dev dulu waktu Dev datang ke cafe Mas Bima untuk pertama kalinya. “Aku sudah punya pacar” ujar Dev saat itu dengan tegas.

Aku kan jadi jiper.

Aku akhirnya menghalau semua pikiran tentang Dev dan minum jus strawberryku lagi. Bi Surti benar benar deh, ujarku dalam hati, bikinin aku jus strawberry banyak banget, ditaruh digelas yang sangat besar. Ini maksud Bi Surti apa sih, biar jus strawberrynya nggak habis habis gitu?

Aku lalu menyenderkan tubuhku pada sofa yang empuk. Aku sedang duduk di ruang keluarga rumah tante Audrey yang nyaman, menunggu Dev yang sedang membuat kopi untuk dirinya. Dev tadi menawariku untuk dibuatkan kopi juga, tapi aku tidak mau.

Selama makan tadi, Dev tidak memperbolehkan aku ngobrol, ngobrolnya nanti katanya, setelah makan. Jadi, aku yang selesai makan lebih dulu dari Dev hanya memperhatikan Dev makan.

“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan dengan Mama?” Dev kini berjalan ke arahku dan duduk dihadapanku dan tersenyum padaku, membuat dadaku berdebar tak karuan melihat senyum manis Dev. Tangan Dev memegang secangkir kopi yang baru ia buat.

“Ehm, aku sudah menawari seorang sutradara untuk bekerja di D & D Advertising, dan aku ingin tahu pendapat Tante Audrey tentang orang ini.”

“Aku rasa Mama tidak akan keberatan,” komentar Dev, “Mama kan sudah memberi kepercayaan padamu untuk mengelola semuanya termasuk perekrutan karyawan. Jadi siapapun orangnya yang akan menempati posisi sutradara, kalau menurutmu baik, aku rasa Mama setuju.”

“Permasalahannya dia disabled people. Ia mengalami kecelakaan motor dan salah satu kakinya harus diamputasi dan kemana mana sekarang ia menggunakan kursi roda.”

Dev nampak terdiam.

“Aku khawatir tante Audrey keberatan dengan hal ini.” Lanjutku.

“Ki, yang bekerja itu kan kamu, bukan Mama, jadi kamu yang tahu apa yang harus kamu lakukan, apa yang membuatmu nyaman atau bersemangat dalam bekerja, aku rasa no problem, seperti aku bilang tadi Mama tidak akan keberatan. Mama kan orangnya asik.”

“Menurutmu begitu?”

“Ya.”

“Kalau begitu, aku merasa lega sekarang.”

“Kamu jangan khawatir tentang apapun, oke?” Dev kembali tersenyum, “Sutradara ini pasti punya keistimewaan tersendiri untukmu sehingga kau memilihnya.” Lanjut Dev.

“Iya, pekerjaannya bagus, aku menyukainya.”

Lalu kami terdiam.

“Dev, aku pulang sekarang ya,” ujarku lagi, “terima kasih untuk semuanya.”

“Kamu kesini naik apa?”

“Taksi.”

“Kenapa mobil perusahaan tidak kamu gunakan? Kamu boleh membawanya pulang Kiara.”

“Tante Audrey juga bilang begitu padaku. Tapi aku yang malas mengemudi pagi pagi karena macet. Aku lebih suka naik ojek kalau berangkat kerja.”

“Ya sudah, aku antar kamu pulang.”

“Tidak usah Dev!” seruku kaget, “aku tidak mau merepotkan.”

“Aku merasa tidak direpotkan, Kiara. Aku ganti baju dulu ya.”

~ ~ ~

POV Kiara

Berkali kali aku mencubit tanganku untuk menyakinkan bahwa ini bukan mimpi, dan tanganku sakit setelah kucubit. Jadi, ini benar benar bukan mimpi.

Dev sekarang ada disampingku, sedang mengemudikan mobilnya untuk mengantar aku pulang.

Oh my God, ini sebuah keajaiban. Bisa dekat dengan Dev seperti ini adalah sebuah keajaiban.

“Mas Andra apa kabar?” ujar Dev mengagetkan.

“Mas Andra?” Aku heran dengan pertanyaan Dev, “baik, Mas Andra baik baik saja.” Jawabku.

“Kamu sering bertemu dengannya?”

“Ya. Cukup sering. Mas Andra sering menghabiskan waktu di cafe Mas Bima pada malam hari. Ia melakukan pekerjaannya disana. Dan aku bertemu dengannya setelah pulang kerja.”

“Pekerjaan Mas Andra apa?”

Programmer. Mas Andra bekerja membuat game dan ia menjualnya pada beberapa aplikasi di luar negeri secara lepas. Ia bekerja freelance.

“Oh,” ujar Dev, “kau tidak hunting foto dengannya lagi?”

“Belum. Terakhir sih waktu di Bali dulu, waktu Selly menikah. Mas Andra sebenarnya sudah mengajakku untuk menemaninya hunting foto ke Thailand dan…”

“Thailand?” tanya Dev kaget. “Jauh amat.”

Aku tertawa. “Iya, jauh.”

“Jadi, kamu akan pergi ke Thailand bersama Mas Andra?”

“Iya, tapi aku ingin menyelesaikan proyek iklan shampo ini dulu, baru setelah itu pergi ke Thailand untuk refreshing.”

Dev tiba tiba diam, dan tidak bertanya apa apa lagi tentang Mas Andra. Ia lalu bertanya tentang karekteristik teman teman kerjaku.

Aku dengan semangat menceritakan kebiasaan kebiasaan mereka.

Kami mengobrol hingga akhirnya tiba di cafe Mas Bima.

“Langsung tidur Ki, jangan hang out dulu di cafe, kau perlu banyak beristirahat.” Ujar Dev saat aku mau turun dari mobilnya.

Aku tersenyum menatap Dev, “Ok.” Sahutku. “Terima kasih Dev karena sudah mengantarku.”

“Sama sama.”

Aku lalu turun dari mobil Dev dan kembali tersenyum padanya, “sampai bertemu besok.” Ujarku sambil menutup pintu mobil.


~ ~ ~

POV Kiara

Hari Senin ini aku cukup sibuk, aku baru menerima tamu yang mempunyai bisnis penyewaan barang. Barangnya bermacam macam, yang jelas bisa disewa untuk keperluan syuting.

Ibu Siska, tamu tersebut mendengar kabar tentang D & D Advertising dari Mia. Ia bilang Mia tetangganya. Aku lalu bilang pada ibu Siska kalau aku akan menghubunginya lagi kalau aku perlu sesuatu.

Tidak lama setelah ibu Siska pulang, Wina datang ke ruanganku untuk minta pendapat tentang naskah iklan yang sudah dibuatnya, aku membacanya dan membuat beberapa perubahan lalu meminta Wina mengetik ulang naskah tersebut berdasarkan editan yang sudah aku bikin, dan meminta Mia untuk membuat sketsa dasarnya setelah Wina selesai dengan ketikannya.

Tidak lama kemudian, ada telepon masuk ke ruang kerjaku, aku lalu mengangkatnya, menurut Iwan, yang saat ini bertugas di front desk, Mbak Silvi ingin bicara denganku di line 1. Aku langsung menyapa Mbak Silvi.

“Selamat siang Mbak Silvi.” Sapaku langsung.

“Selamat siang Kiara.” Ujar Mbak Silvi, “maaf baru menelepon sekarang.”

“Tidak apa apa.”

“Aku sudah bicara dengan suamiku dan dia bilang dia tidak mau bekerja di tempatmu.”

Aku langsung mengeluh kecewa, “kenapa?” tanyaku.

“Menurut suamiku, ia takut mengecewakan dirimu, ia takut hasil pekerjaannya tidak sesuai dengan apa yang kau harapkan mengingat semua keterbatasannya.”

“Kenapa harus merasa takut kalau belum mencoba Mbak.”

“Aku tidak mengerti,” ujar Mbak Silvi, “itu saja yang disampaikan suamiku padaku, aku mohon maaf.”

“Ehm, boleh aku bertemu Mas Henry dan bicara dengannya?”

“Silahkan.”

“Ya, sudah, aku ke rumah Mbak sekarang, oke?”

“Baik, saya tunggu.”

Aku segera mengambil tas dan HPku, lalu mengambil kunci mobil perusahaan dan berteriak pada Wina kalau aku akan pergi sebentar.

“Iwan, kau ikut denganku,” ujarku saat melihat Iwan di front desk.

“Kemana Mbak?”

“Pokoknya ikut,” kataku lagi, “ini, mobil kamu yang bawa.” Ujarku sambil memberikan kunci mobil pada Iwan.

“Oke.” Iwan langsung mengikuti langkahku.

~ ~ ~

POV Kiara

Ini pertama kalinya aku bertemu Mas Henry lagi setelah beberapa tahun berlalu.

Aku tak dapat menahan tangisku melihat keadaannya. Mas Henry ikut menangis melihat aku menangis.

“Ya beginilah aku sekarang,” ujar Mas Henry, “mungkin Tuhan sedang menegurku dengan caraNYA.”

Aku segera mencari tisue dan me-lap mataku yang basah dengan tisue.

“dulu aku mungkin arogan, sering memandang rendah orang, suka berkata kasar, pemarah, tidak sabaran, aku pernah marah padamu kan Kiara?”

“Aku lupa.” Aku tertawa, “itu sudah lama sekali, jaman aku kuliah.”

“Tapi aku ingat, aku pernah memarahimu karena hal sepele. Dan begini aku sekarang, tak berdaya.”

“Jangan berkata seperti itu Mas. Jangan patah semangat. Mas harus bangkit lagi, jangan jadikan keadaan Mas sebagai penghalang untuk meraih sesuatu yang layak Mas dapatkan. Beri kesempatan pada diri Mas Henry bahwa Mas Henry mampu memulai semuanya lagi dari awal.” 

“Kamu yakin Ki dengan hal ini? Dengan tawaranmu?” tanya Mas Henry, “aku takut kamu kecewa.”

“Aku akan bilang aku kecewa atau tidak setelah melihat hasil pekerjaan Mas Henry, tidak sekarang. Jadi Mas Henry buktikan dulu padaku. Bagaimana?”

“Tapi aku akan memperlambat pekerjaan kalian.”

“Ada Iwan yang akan membantu pekerjaan Mas Henry, iya kan Wan?” tanyaku pada Iwan.

“I..iya, siap, aku siap membantu kapanpun dimanapun.” Jawab Iwan.

“Lihat kan, Iwan siap membantu. Besok aku dan Iwan akan datang lagi menjemput Mas Henry untuk datang ke D & D Advertising. Nanti disana Mas Henry aku perkenalkan pada tim kerja kita yang lain. Mas Henry juga punya ruang kerja sendiri.”

“Baiklah, akan aku coba. Terima kasih Kiara untuk kesempatan ini.”

“Sama sama. sampai bertemu besok ya.” Ujarku akhirnya dengan perasaan lega.

~ ~ ~


BAB DUA PULUH TIGA


POV Author

Iklan Shampo kemiri GC Cosmetics yang ditangani D & D Advertising berakhir dengan sukses. Iklan itu sudah selesai diproduksi dan kini sudah wara wiri di layar televisi, internet, Billboard, koran dan majalah.

Menurut tim pemasaran GC Cosmetics, sejak iklan itu dimunculkan ke publik, jumlah penjualan shampo GC Cosmetics itu terus meningkat.

Kiara tersenyum bahagia karena kerja kerasnya dan teman temannya terbayar dengan hasil iklan yang oke.

Beberapa perusahaan tiba tiba menghubungi D & D Advertising dan mengajak bekerjasama untuk membuat iklan bagi produk mereka. Ada perusahaan elektronik, ada perusahaan yang bergerak dibidang makanan dan ada yang bergerak dibidang travel.

Kiara mulai bertemu dengan para klien dan mengadakan diskusi dan deal deal.

Mas Henry, disisi lain mulai mendapatkan tawaran pekerjaan lagi untuk memproduksi video musik.

Kiara membebaskan Mas Henry untuk memilih apakah akan menjadi karyawan tetap di D & D Advertising atau karyawan freelance.

Mas Henry memilih menjadi karyawan tetap. Tapi ia tetap akan mengerjakan proyek membuat video musik tersebut diluar waktu kerjanya. Ia juga tetap meminta Iwan untuk membantunya di luar jam kerja dan Iwan bersedia.

Mas Henry mengucapkan terima kasih pada Kiara karena kalau Kiara tidak ngotot membujuknya, ia mungkin tidak punya kesempatan untuk bekerja dibidang yang ia kuasai dan yang ia sukai.

Siang ini, sebagai rasa bersyukur karena proyek pertama D & D Advertising bisa dikerjakan dengan sukses, Kiara mentraktir teman temannya makan siang di food court di lantai lima gedung GC Cosmetics. Kiara baru sempat mentraktir teman temannya sekarang karena ia sibuk dengan pekerjaannya.

Ia membebaskan teman temannya ingin makan siang apa dan langsung membayar pesanan teman temannya. Devpun tidak ketinggalan, ikut ditraktir juga oleh Kiara.

Dev sekarang sedang duduk dihadapan Kiara sambil makan gudeg Yogya lengkap dengan sambal goreng krecek dan opor ayam serta opor tahu.

Sementara Kiara memilih makan nasi dan beef terriyaki beserta tumis jamur dan perkedel jagung.

“Mama suka gudeg ini.” Ujar Dev sambil tersenyum menatap Kiara. “Kalau kesini, Mama selalu memesan ini.”

“Nanti tante Audrey aku traktir gudeg ini kalau lagi berkunjung ke D & D Advertising.” Ujar Kiara. “Tante Jennie juga.” Tambah Kiara.

“Gajimu bisa habis untuk mentraktir semua orang.” Dev tertawa.

“Tidak masalah, karena aku sangat senang proyek pertamaku sukses.”

“Ya. Mama juga senang. Mama kagum padamu Kiara, karena kau berhasil di proyek pertamamu.”

“Tapi aku tidak bekerja sendirian. Aku dibantu oleh orang orang hebat.” Ujar Kiara. “Rekan kerja satu timku semuanya luar biasa.”

“Iya, tapi insting untuk menghire mereka-nya itu loh, tidak semua orang punya. Sementara kau mempunyai insting itu Kiara. Kau memberikan posisi yang tepat pada orang yang tepat.”

“Aku hanya beruntung.” Kiara tertawa.

“Ngomong ngomong, aku sedang mempersiapkan produk baru, sekarang masih dalam tahap produksi. Nanti kalau produknya siap diluncurkan, kita diskusi lagi untuk pembuatan iklannya.”

“Tentu Dev.” Ujar Kiara, “o, ya, kau tahu tidak akhir akhir ini aku dapat omelan dari siapa?”

“Siapa?”

“Ibu Dewi!”

“Serius?” tanya Dev kaget.

“Iya. Ibu Dewi meneleponku dan bilang bahwa aku pengkhianat karena sudah merebut klien favoritnya.”

“Kau tidak merebut siapapun.” Dev tertawa. “Lalu kau bilang apa?”

“Ya aku hanya minta maaf saja, aku bilang GC Cosmetics maunya bekerja sama dengan D & D Advertising dan bukan dengan Bright Advertising.”

“Harusnya ibu Dewi ngomelnya ke Mama biar Mama ngomel balik.” Dev kembali tertawa. “Tidak tahu saja ibu Dewi kalau Mama sudah ngomel seperti apa.”

“Itu hanya ekspresi kekecewaan saja, aku bisa mengerti perasaan ibu Dewi.” Ujar Kiara lagi. “Kehilangan klien besar pasti jadi pukulan berat tersendiri untuknya.”

“Ya, kau benar.” Dev lalu meminum air mineral yang ada di hadapannya sebelum melanjutkan makannya lagi, “dengar dengar ada beberapa klien yang tertarik bikin iklan di tempatmu? Itu keren!”

“Ya, sejauh ini sih sudah terjadi kesepakatan dengan tiga klien. Aku harus mengatur jadwal pengerjaan iklan iklan mereka karena tim kerjaku hanya satu, mungkin untuk tim kreatif kerja doubel atau triple bisa-lah, tapi kalau tim produksi tidak bisa.”

“Aku yakin kau bisa mengaturnya dengan baik.”

Kiara tersenyum menatap Dev, “terima kasih karena selalu mendukung aku seperti ini Dev. Ini sangat berarti untukku. Kau pendukung nomor satuku.”

Dev tertawa. “Sama sama. Sekarang kau mau langsung bekerja atau masih mau disini bersama teman temanmu? Sepertinya aku harus kembali ke kantor, ada meeting dengan divisi pemasaran tentang produk terbaru yang akan diluncurkan.”

“Aku mau pulang saja, mau packing.” Jawab Kiara.

Packing?” tanya Dev heran.

“Ya, aku mau ke Thailand bersama Mas Andra, cuma empat hari, aku bolos kerja hari Jum’at dan hari Senin. Terhitung mulai besok, hari Jum’at, aku bolos. Tapi Wina akan menghandle segala sesuatu di kantor saat aku pergi.”

Dev merasa perasaannya langsung kacau. Ia tak rela Kiara pergi ke Thailand bersama Mas Andra. Ia merasa cemburu sekali. Tapi ia tak bisa berbuat apa apa.


~ ~ ~

POV Author

Dev duduk dikursi Kiara, di ruang kerja Kiara. Sekarang hari Jum’at, Kiara baru pergi ke Thailand hari ini, tapi Dev sudah begitu merindukannya. Dev tak bisa memikirkan hal lain kecuali Kiara.

Dev lebih mengkhawatirkan Kiara di Thailand daripada Mona di Paris.

Mona saat ini sedang ada di Paris lagi setelah sebelumnya, beberapa waktu yang lalu, pergi ke paris selama tujuh hari untuk mencari sekolah modellling yang oke menurut Mona.

Tapi berbeda dengan kepergiannya yang dulu, sekarang Mona pergi ke Paris untuk tinggal disana selama tiga bulan karena Mona sudah menemukan sekolah modelling yang cocok untuknya dan bersekolah di sana.

Karena kepergian Mona selama tiga bulan ini pula, maka hubungan Dev dan Mona dilakukan secara jarak jauh.

Sebenarnya kalau bicara soal perasaan, Dev sudah tidak mencintai Mona lagi sejak ia jatuh cinta pada Kiara. Tapi karena Dev merasa tidak punya harapan untuk bisa bersama Kiara, maka ia menjalani saja hubungannya dengan Mona begitu saja tanpa ada rencana apapun dibenaknya termasuk untuk menikah dengan Mona.

Tapi, Tante Audrey yang salah paham dengan semuanya, yang menyangka bahwa Dev benar benar mencintai Mona sudah mulai berbicara tentang pernikahan. Tante Audrey berharap bahwa Dev dan Mona bisa menikah secepatnya, demikian juga dengan tante Mita, punya harapan yang sama.

Mona sendiri, di satu sisi, belum tertarik dengan pernikahan. Bukannya ia tak mau menikah dengan Dev, tapi ia belum mau menikah sekarang karena obsesinya adalah menjadi model internasional yang terkenal.

Untuk itulah kenapa Mona mengejar cita citanya hingga ke Paris seperti sekarang.

Obsesi Mona setelah menjadi model internasional bukan untuk menghasilkan uang banyak tapi hanya untuk menjadi terkenal saja.

Mona sudah punya uang banyak. Ia pewaris tunggal dari harta kekayaan kedua orangtuanya. Kakek nenek Mona dari pihak ibu juga kaya, kakek nenek dari pihak ayahnya di Los Angeles juga kaya.

Jadi yang Mona inginkan dari karir model internasionalnya kelak adalah, terkenal, bukan uang.

Dan Pernikahan, bagi Mona adalah nomor dua setelah karirnya. Mona merasa masih sangat muda, masih dua puluh tahun, jadi pernikahan belum ada dalam rencana hidupnya dalam waktu dekat ini.

Karena kondisi ini pula maka Dev cukup santai dalam menjalani hubungannya dengan Mona.

Dev kini memperhatikan ruang kerja Kiara sambil tersenyum senang. Ia tak menyangka bisa sedekat ini dengan Kiara. Kantor Kiara satu lantai dengan kantornya. Ia bisa melihat Kiara setiap hari dan mendengar suaranya setiap hari.

Dan itu sudah cukup untuk Dev.

Dev lalu bangun dari tempat duduknya dan berjalan ke arah pohon kaktus Kiara, setidaknya ada sepuluh pohon kaktus berjejer rapi dalam pot pot yang kecil yang disusun memanjang oleh Kiara di rak tersebut. Dev lalu menyemprot kaktus kaktus itu dengan semprotan yang disediakan Kiara di atas rak.

Wina yang akan masuk ke ruang kerja Kiara untuk mengambil sesuatu langsung tersenyum saat melihat apa yang dilakukan Dev.

Ruang kerja Kiara dengan lorong ke ruang meeting dibatasi kaca yang besar sehingga Wina bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukan Dev dari luar.

Wina lalu merekam apa yang dilakukan Dev dalam bentuk video dan mengirim videonya ke Kiara dengan caption : Jangan khawatir, pohon kaktusmu aman, ada yang merawatnya.

Wina lalu mengetuk pintu ruang kerja Kiara, membuat Dev yang lagi asik menyiram kaktus terkejut.

“Maaf Pak Devano, saya mau mengambil sesuatu di meja Kiara.” Ujar Wina.

“Ya, Wina, silahkan.”

Wina lalu mencari arsip yang dicarinya di meja Kiara lalu kembali berjalan ke arah pintu.

“Pak Devano, Kiara baru menyiram kaktus kaktus itu sebelum pergi.” ujar Wina pada Dev.

“Memang tidak boleh disiram lagi?” tanya Dev.

“Boleh sih, tapi tidak boleh terlalu sering, nanti bisa cepat busuk.”

“O, ya?” tanya Dev.

“Iya Pak, Kiara yang mengatakan itu padaku, menurutnya, kaktus itu tidak perlu disiram setiap hari, cukup disiram satu kali untuk tiga hari, atau bahkan satu kali untuk seminggu biar tidak cepat busuk.”

“Aku baru tahu.” Gumam Dev.

“Aku juga.” Ujar Wina, “ya sudah ya Pak, aku kembali ke ruang kerjaku.”

“Oke,” Jawab Dev, “ehm, Wina, sebentar, apa menurutmu Kiara dan Mas Andra pacaran?”

Wina langsung merasa heran ditanya seperti itu. Apakah Pak Devano mengenal dan tahu tentang Mas Andra? Kalau iya, dimana kenalnya?

“Mas Andra dan Kiara sedang pergi ke Thailand sekarang. Apakah kau tahu bahwa mereka pacaran atau tidak?” tanya Dev lagi.

Kenapa Dev menanyakan mereka berpacaran? Apakah karena.. Oh My God, Wina langsung menutup mulutnya karena kaget. Pak Devano cemburu pada Mas Andra! Itu artinya Pak Devano mencintai Kiara! Tapi aku tidak merasa heran kalau benar Pak Devano mencintai Kiara mengingat saat menolong Kiara pingsan dulu, - saat ia dan Kiara bekerja di Bright Advertising -, Pak Devano sangat panik.

“Wina, bumi memanggil Wina,” ujar Dev lagi.

“Maaf Pak Devano, saya lagi mengingat ingat.”

“Mengingat apa?”

“Setahu saya Mas Andra sudah punya pacar. Kiara yang mengatakan itu padaku.”

“Oh itu, Mas Andra sudah putus dengan pacarnya.” Ujar Dev.

“Sungguh?” Wina merasa kaget bercampur senang.

Wina sangat menyukai Mas Andra. Kalau benar Mas Andra sudah putus dengan pacarnya, itu akan mempermudah perjuangannya untuk bisa mendekati Mas Andra.

“Iya.” Ujar Dev.

“Pak Devano tahu darimana tentang hal ini?”

“Mas Andra yang mengatakannya langsung padaku.”

“Pak Devano kenal dengan Mas Andra?”

“Iya, aku kenal. Aku kenalnya di cafe Mas Bima, lalu pernah bertemu lagi di pernikahan Selly.”

“Oh, ya, itu aku ingat.” Seru Wina.

“Apa Kiara tahu kalau Mas Andra sudah putus dengan pacarnya?” tanya Dev lagi.

“Belum, sepertinya Kiara belum tahu mengenai hal ini.”

“Kau yakin?”

“Ya.”

“Ok, baiklah, tapi pertanyaanku tadi belum kau jawab, apakah Kiara pacaran dengan Mas Andra?” tanya Dev lagi.

“Kalau itu bisa saya pastikan TIDAK Pak Devano. Mereka TIDAK PACARAN.”

“Kamu yakin Wina?”

“Yakin. Kiara cukup terbuka padaku. Lagipula yang Kiara sukai adalah…” kata kata Wina terhenti, dirimu, lanjut Wina dalam hati.

“Siapa Wina? Kiara menyukai siapa?” tanya Dev tak sabar.

Wina akan mengatakan pada Dev kalau Kiara sangat menyukai Dev, tapi Wina kemudian teringat Mona, pacar Dev. Wina tidak ingin ada kerusuhan antara Kiara dan Mona dalam memperebutkan Dev.

“Ehm, itu tidak penting, aku harus kembali bekerja.” Wina langsung mengelak.

“Wina!”

“Selamat siang Pak Devano, have a nice day.” Seru Wina sambil membuka pintu ruang kerja Kiara dan menutupnya lagi.


~ ~ ~

POV Author

Mas Andra memperhatikan Kiara dari kejauhan sambil tersenyum. Kiara sedang duduk di sebuah kursi taman. Dan Mas Andra berjalan mendekati Kiara sambil membawa dua buah es krim.

Mereka sekarang sedang berada di Nong Nooch Tropical Botanical Garden & Culture di Provinsi Chonburi, Pattaya.

Mereka baru menonton atraksi gajah. Atraksinya lucu, seru dan sangat menghibur.

Ini adalah hari kedua mereka di Thailand setelah sebelumnya, kemarin, di hari pertama mereka pergi ke pantai Pattaya.

Saat mengajak Kiara pergi ke Thailand, Mas Andra bilang ia mau hunting foto. Tapi sebenarnya itu cuma alasan Mas Andra saja. Karena niat Mas Andra mengajak Kiara jalan jalan ke Thailand hanya ingin menghabiskan waktu berdua dengan Kiara.

Mas Andra sangat merindukan Kiara. Tapi karena Kiara bekerja, ia cukup puas bisa bertemu atau ngobrol dengan Kiara pada setiap akhir pekan, itupun kalau Kiara sedang tidak bepergian.

Di waklu malam, saat Mas Andra berharap Kiara bisa menemaninya ngobrol di cafe Mas Bima, kadang Kiara sudah dalam keadaan lelah karena pekerjaannya sehingga mereka hanya bisa say hello dan Kiara langsung pergi ke tempat tinggalnya di lantai atas cafe Mas Bima untuk tidur.

Jadi, sekarang, ia memaksakan diri mengajak Kiara untuk pergi. Untungnya Kiara setuju karena menurut Kiara, walau pekerjaannya banyak, saat saat sekarang adalah saat ia tidak terlalu sibuk.

Setelah tahu Kiara setuju pergi dengannya, Mas Andra sangat gembira, tapi sayangnya Kiara tidak mau pergi hanya berdua Mas Andra. Ia lalu meminta ijin pada Mas Andra untuk membawa serta Tia.

Tia seperti mendapat durian runtuh saat diajak Kiara jalan jalan ke Thailand gratis. Tia langsung menyatakan kesediaannya untuk ikut dengan mereka.

Tapi, dengan ikutnya Tia, membuat Mas Andra khawatir kalau selama di Thailand, Kiara malah menghabiskan waktunya dengan Tia dan bukan dengan dirinya.

Untuk itulah, kenapa Mas Andra akhirnya mengajak Dilan, adiknya, dengan harapan Tia banyak menghabiskan waktu dengan Dilan, dan ia bisa berduaan saja dengan Kiara.

Untuk kedua kalinya Tia merasa mendapat durian runtuh saat tahu Dilan ikut dalam perjalanan mereka.

Tia berpikir Tuhan sedang sangat sayang padanya karena ia bisa pergi jalan jalan ke Thailand gratis dengan cowok ganteng seperti Dilan.

Sekarang Dilan dan Tia pergi entah kemana. Dengan berbekal GPS dan google map yang ada di HP canggih Dilan, Dilan sedang mengajak Tia mengeksplore Pattaya, karena Dilan mempunyai hobi mengeksplore tempat tempat yang ia kunjungi, baik tempat yang baru ataupun yang pernah ia kunjungi.

Kegemaran Dilan itu seperti kegemaran Dora the explorer alias suka menjelajah.

Dulu waktu Dilan kecil dan belum dipegangi HP oleh orangtuanya, Dilan suka menjelajah kawasan hutan dan lembah yang terletak tidak jauh dari rumah kedua orangtuanya di daerah Blitar.

Orangtua Dilan dan Mas Andra adalah petani. Orangtua mereka mempunyai sawah yang cukup luas. Mas Andra kecil dan Dilan kecil sering diajak pergi ke sawah oleh kedua orangtuanya. Mas Andra dan Dilan hanya dua bersaudara.

Nah, saat orangtua Dilan sedang asik bercocok tanam, Dilan juga asik menjelajah.

Dia pernah hilang di hutan pinus, tapi tetangganya secara tidak sengaja bertemu dengannya dan membawanya pulang. Sejak saat itulah, ibu Dilan membuat catatan di sebuah kartu tentang  alamat rumah dan nomor telepon mereka lalu kartu itu ia pakaikan peniti di kantong baju Dilan. Jadi kalau Dilan hilang, ada yang mengembalikan ke rumah. Selain dibekali kartu, Dilan juga dibekali uang di kantong bajunya.

Sejak dibekali alamat itu, hampir tiap hari ada orang yang mengantarkan Dilan pulang.

Untung tidak terjadi apa apa pada Dilan sampai Dilan besar seperti sekarang. Untung tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan.

Untuk itulah Mas Andra tidak khawatir Dilan pergi sekarang. Mas Andra sudah terbiasa.

“Hai,” sapa Mas Andra pada Kiara, “maaf menunggu agak lama. Ini es krimnya.”

“Terima kasih.” Kiara menerima es krim dari Mas Andra sambil tersenyum.

Mas Andra lalu duduk di hadapan Kiara dan mulai memakan es krimnya.

“Ini sempurna.” ujar Mas Andra.

“Apanya yang sempurna?”

Moment ini. Makan es krim berdua denganmu di salah satu taman terindah di dunia, saat ini, detik ini, adalah sempurna.”

Kiara cuma tersenyum mendengar kata kata Mas Andra. Lalu mereka asik dengan es krim masing masing.

“Cuaca di sini ternyata tidak terlalu panas, sama seperti di Jakarta.” Ujar Kiara, setelah mereka terdiam beberapa saat. “Ngomong ngomong, Tia pergi kemana ya?”

“Tia aman kok.” Ujar Mas Andra, “Dilan bisa diandalkan.”

“Aku hanya khawatir Tia kenapa kenapa karena aku yang mengajaknya.”

It’s ok Kiara. Dilan tergabung dalam klub pecinta alam di kampusnya. Ia terbiasa menjelajah gunung dan gua gua, jadi menjelalah kota Pattaya ini, kecil bagi Dilan. Dilan dan Tia tidak akan tersesat. Percayalah.”

“Oke kalau begitu,” sahut Kiara. “Besok kita hunting foto dimana lagi?”

“Pattaya floating market saja, tadinya aku ingin ke Bangkok, ke beberapa floating market di Bangkok, tapi jarak dari sini ke sana 147 km, jadinya aku mau mengambil foto di floating market sini saja. Tidak apa apa kan kita menghabiskan waktu di Pattaya saja?”

“Tidak apa apa, aku sangat berterima kasih untuk semuanya. Ini pengalaman baru untukku.” Kiara kembali tersenyum.

“Kapan kapan kita ke Bangkok.” Ujar Mas Andra.

“Tentu.” Kata Kiara. “Sekali lagi terima kasih banyak ya Mas Andra sudah mengajak aku jalan jalan kesini. Aku benar benar merasa fresh.”

“Tentu, anytime.Mas Andra ikut tersenyum “aku senang melakukan perjalanan ini denganmu Kiara. Sekarang kita habiskan dulu es krim kita, lalu kita lihat Muay Thai, tarian khas Thailand.”

“Oke,” Kiara langsung memakan es krimnya lagi.

~ ~ ~

POV Author

Tia cemberut saat mengikuti Dilan. Ia sudah merasa capek karena dari tadi berjalan kaki mengunjungi kios kios.

Mereka sekarang sedang berada di Mimosa Pattaya City of Love, tempat berbelanja aneka cinderamata, perhiasan dan kerajinan tangan.

Setidaknya ada 300 toko disana. Bangunan dari toko toko itu merupakan bangunan yang klasik dan berwarna warni lengkap dengan kincir air, kanal, air mancur dan patung patung keren.

Dilan sedang mencari aksesoris yang unik berupa cincin dan kalung. Ia mengajak Tia masuk dari satu toko ke toko lainnya. Dan sekarang Tia mulai merasa capek.

“Aku ingin ke Kak Kiara!” ujar Tia akhirnya. Biar Dilan ganteng, tapi Tia sudah tak kuat jalan kaki.

“Iya, sebentar lagi.” Ujar Dilan.

“Kak Kiara pasti lagi makan es krim. Mas Andra kan sayang banget sama Kak Kiara, jadi Kak Kiara pasti dibelikan es krim.”

“Iya, nanti kita juga beli es krim.” Ujar Dilan.

“Tapi…”

“Ini untukmu.” Dilan tiba tiba memberikan Tia sebuah kalung perak dengan bandul berinitial T.

Tia langsung merasa terharu, “terima kasih.”

“Sama sama.” Dilan tersenyum, senyumnya sama cakepnya dengan senyum Mas Andra.

“Aku ingin memakainya sekarang.” Ujar Tia lagi.

“Ok, sini aku bantu pakaikan.” Dilan langsung memasangkan kalung itu pada leher Tia.

Tia langsung tersenyum sambil memegang bandul kalungnya.

“Aku masih mencari dua aksesoris lagi untuk temanku,” ujar Dilan lagi. “Kau duduk saja dulu di bangku sebelah sana, nanti kalau aku sudah selesai aku akan menemuimu.”

“Tidak apa apa, aku ikut.” Ujar Tia.

“Kau yakin?”

“Ya. Tapi setelah itu kita beli es krim.”

“Ok, setelah itu kita beli es krim.” Ujar Dilan lagi.


~ ~ ~

POV Author

Kiara dan Tia datang ke kamar hotel dalam waktu hampir bersamaan. Selama di Pattaya mereka menginap di sebuah resort yang ada di Pattaya Beach.

Kiara satu kamar dengan Tia, sedangkan Mas Andra satu kamar dengan Dilan.

Karena datangnya hampir bersamaan, Kiara dan Tia langsung berebut kamar mandi karena sama sama ingin mandi. Tia yang menang. Ia lebih dulu masuk ke kamar mandi karena jarak Tia  lebih dekat ke kamar mandi.

Kiara akhirnya berjalan ke tempat tidurnya lalu tiduran. Ia lalu mengambil HPnya dan memperhatikan foto foto yang ia ambil dengan camera HPnya, kemarin dan hari ini.

Setelah selesai melihat semua fotonya, Kiara memilih salah satu foto dirinya di pinggir pantai Pattaya dengan latar belakang sunset yang indah dan menguploadnya ke akun instagramnya.

Dalam hitungan detik, Dev langsung menyukai fotonya. Tapi Dev tidak berkomentar apa apa.

Kiara langsung merasa kaget. Dev sedang Online? Ingin sekali Kiara langsung menyapa Dev, tapi ini malam minggu, Dev pasti sedang bersama Mona malam minggu begini.

Kiara tidak tahu kalau Mona sedang berada di Paris sekarang karena Dev sangat tertutup padanya tentang hubungan pribadinya dengan Mona. Dev tidak pernah bercerita apapun padanya tentang Mona. Kalau bertemu dengannya, Dev lebih suka berbicara tentang pekerjaan atau hal hal yang umum.

Tante Audrey juga begitu. Saat Kiara bertemu tante Audrey dan Kiara iseng bertanya tentang Mona, Tante Audrey hanya menjawab singkat, ‘Mona baik’ atau ‘Mona baik baik saja’ tidak lebih dari itu. Padahal Kiara ingin Tante Audrey bercerita banyak tentang Mona, walau hal itu akan membuat perasaannya menjadi sedih.

Kiara kini melihat video Dev yang sedang menyiram kaktus kaktus Kiara, di ruang kerja Kiara, yang dikirim Wina padanya lewat WA kemarin.

Kiara tak pernah bosan melihat video itu. Bibir Kiara selalu tersenyum kalau melihat Video itu.

Dev dan pohon kaktusnya adalah apa yang Kiara sayangi saat ini.

~ ~ ~

POV Author

Saat tiba di kantor D & D Advertising setelah pulang dari Thailand, Kiara langsung membagikan oleh oleh pada teman temannya.

Kiara membelikan teman temannya kaos dengan gambar yang lucu. Kiara memilih kaos itu satu satu disesuaikan dengan ukuran tubuh teman temannya. Kiara tidak tahu pasti ukuran baju teman temannya. Ia hanya memperkirakan saja.

Wina mendapatkan oleh oleh yang berbeda dengan teman temannya yang lain, ia bukan saja mendapat kaos, tapi juga tas selempang yang terbuat dari manik manik dan sandal pantai yang cantik.

Kaos untuk teman temannya, Kiara bungkus dengan menggunakan kertas berwarna cokelat.

Kiara lalu masuk ke ruang kerja temannya satu satu untuk memberikan oleh oleh darinya. Semua temannya mengucapkan terima kasih pada Kiara. Wina bahkan memeluk dan menciumnya.

Saat masuk ke ruang kerja Mas Henry, Kiara merasa heran karena Mas Henry tidak ada diruangannya.

Kiara akhirnya meletakkan oleh oleh untuk Mas Henry di meja kerja Mas Henry.

Kiara lalu kembali ke ruang kerjanya untuk mengambil oleh oleh untuk Dev.

Dev mendapat syal yang terbuat dari Merino Wool yang berwarna merah dengan perpaduan garis abu abu dan putih.

Kiara lalu membawa bungkusan oleh oleh untuk Dev dan pergi ke luar kantor D & D Advertising dan berjalan ke lorong yang menghubungkan D & D Advertising dengan GC Cosmetics.

Kiara mendorong pintu masuk GC Cosmetics yang terbuat dari kaca dan menghampiri Dona, sekretaris Dev.

“Selamat pagi Mbak Dona, Pak Devano ada?” tanya Kiara.

“Selamat pagi Ibu Kiara,” jawab Dona langsung, “Pak Devano sedang ke Singapura sekarang.”

“O, ya? Untuk keperluan apa?” tanya Kiara kaget.

“Saya kurang tahu. Pak Devano tidak bilang apa apa.”

“Perginya berapa lama?”

“Pak Devano minta agar agenda kerjanya dikosongkan selama dua hari ini. Jadi sepertinya Pak Devano pergi selama dua hari.”

“Ok, baiklah kalau begitu.” Kiara kembali ke kantor D & D Advertising, dan masuk ke ruang kerjanya dengan perasaan bingung. Ia bertanya tanya dalam hati ada keperluan apa Dev ke Singapura.

Tada,” Wina tiba tiba masuk ke ruang Kiara sambil memakai tas selempang dari Kiara. “Tas ini keren. Ini akan jadi tas favoritku sepanjang masa.”

“Kalah lagu,” Kiara nyengir, “lagu kenangan sepanjang masa.”

“Hahaha. Iya, kalah lagu.” Wina tertawa, “terima kasih sekali lagi Ki.”

“Sama sama.” ujar Kiara, “sekarang, duduklah dihadapanku, tolong ceritakan ada kejadian apa selama aku pergi.”

Wina duduk di hadapan Kiara.

“Tidak ada kejadian yang terlalu berarti sebenarnya saat kau pergi.” Ujar Wina.

Hari Jum’at Pak Fadil dari Sunny Travel datang dan ingin proses pembuatan iklan untuknya dipercepat. Aku mengagendakan kau bertemu dengan Pak Fadil hari ini setelah makan siang.”

“Oke, lalu?”

“Ehm, hari Senin kemarin Tante Audrey mengirim Mbak Viona ke sini untuk membantumu mengerjakan laporan keuangan perusahaan. Akhirnya aku serahkan berkas berkas yang Mbak Viona butuhkan, dan Mbak Viona kemarin bekerja disini seharian. Lalu ada penawaran kamera untuk syuting dari sebuah toko kamera di Pasar Baru, orangnya kemarin datang ke sini, kata dia, toko kamera dia adalah langganan Mas Radit, bosmu dulu di Bright Advertising. Mas Radit yang menyarankan ia datang ke sini untuk bertemu denganmu.”

“Kamera baru?”

Second.

“Tante Audrey mana mau. Kamera yang digunakan Vian sekarang saja baru.”

“Tapi katanya kualitasnya bagus.”

“Ya sudah, nanti aku ngobrol dengan Mas Radit untuk konsultasi, aku memang perlu satu camera lagi, tapi lihat nanti deh gimana.” Ujar Kiara lagi, “lalu Mas Henry mana? Mas Henry tidak masuk kerja hari ini? Aku tadi ke ruangannya dia tak ada.”

“Oh ya! Itu dia! Aku baru ingat, Mas Henry ijin tidak masuk kerja selama lima hari, tepatnya sejak hari ini. Menurut Mas Henry, mudah mudahan dalam waktu lima hari ini belum ada syuting.”

“Belum, belum ada syuting,” sahut Kiara. “Kenapa Mas Henry tidak masuk kerja selama itu?”

“Pak Devano mengajak Mas Henry ke Singapura untuk berkonsultasi dengan salah satu dokter spesialis bedah ortopedi disana.”

“O, ya?” seru Kiara kaget, “untuk memeriksa kaki Mas Henry?”

“Iya, untuk memeriksa otot otot kaki Mas Henry, dan untuk membuatkan Mas Henry kaki palsu. Semua biaya Pak Devano yang menanggung. Dan Pak Devano ingin kaki palsu yang terbaik untuk Mas Henry.”

Mata Kiara langsung berkaca kaca. Ia merasa terharu sekali dengan kebaikan Dev pada Mas Henry.

Tiba tiba, Kiara ingin memeluk Dev dengan erat.

~ ~ ~


BAB DUA PULUH EMPAT


POV  Kiara

Aku seperti bermimpi mendengar suara seorang wanita memanggil namaku. Suaranya terdengar seperti dari kejauhan. Aku lalu menutup telingaku, berharap suara itu hilang tapi ternyata tidak juga hilang.

“Kiara! Kiara!”

Suara itu terdengar lagi di depan pintu. Aku terpaksa membuka mataku dan melirik jam disamping tempat tidurku, ternyata jam 6 pagi!

“Kiara bangun!” Suara itu terdengar lagi.

Aku terpaksa bangun dengan kepala pusing. Tia yang tidur di ruang sebelah sepertinya masih tidur pulas dan tidak terganggu dengan suara itu. Aku akhirnya membuka pintu dan melihat Della sedang tersenyum menatapku.

“Selamat pagi,” sapa Della. “Boleh aku masuk?” Della masuk tanpa menunggu jawabanku.

Della lalu duduk di salah satu kursi malasku dan meletakkan tas yang dibawanya, di atas meja, di samping kursiku. “Ini donat, sarapan untukmu.”

“Terima kasih, tapi Della, tahukah sekarang jam berapa? Dan kenapa kau tahu tempat tinggalku?”

“Sekarang sudah siang, sudah saatnya bangun, kayak aku dong, sudah siap berolahraga.”

“Siang katamu!” seruku, “kau tahu, aku baru tidur jam satu dini hari setelah meeting dengan klien hingga jam sepuluh malam. Dan sekarang, hari Sabtu, aku boleh bangun siang dong!”

Della nyengir, “sudah jangan marah marah. Ayo makan donat dulu. Donatnya enak loh.”

“Aku nggak mau makan donat, aku mau tidur.” Aku kembali ke tempat tidurku dan mulai memejamkan mataku.

“Ki.” Panggil Della.

“Apa?”

“Aku kerja di tempatmu dong, jadi resepsionis.”

“Jangan, nanti aku diomeli ibu Dewi. Kau kan karyawan favoritnya.”

“Ki, ayolah.” Ujar Della lagi.

“Memang kenapa sih dengan ibu Dewi sehingga kau tidak mau kerja disana lagi?”

“Tidak kenapa kenapa, semua baik baik saja, tapi aku ingin kerja denganmu, kayaknya asik dengar cerita Iwan saat meneleponku. Iwan bercerita tentang kalian bahwa kalian kompak, kerjanya santai, tapi juga serius, saling perduli antar satu dengan yang lain seperti keluarga besar yang harmonis, dan sering ditraktir olehmu.”

“Iwan cerita begitu?” tanyaku.

“Iya.”

“Sering apaan, paling aku baru traktir dua kali.”

“Ya masih bagus dua kali daripada ibu Dewi, tidak pernah mentraktir sama sekali!” ujar Della. “Sejak acara makan malam dulu, sebelum kau dan Wina keluar dari Bright Advertising, ibu Dewi tidak pernah mentraktir karyawannya apa apa lagi.”

“Ya sudah kalau kau mau kutraktir, hari ini kau mau ditraktir apa olehku?” tanyaku pada Della masih dengan mata terpejam.

“Aduh kamu gimana sih! Bukan masalah traktirannya Kiara, tapi aku ingin bekerja bersama kalian, menjadi bagian dari tim kalian, please? Please Ki?”

“Aku tidak tahu Della, kupikir aku belum memerlukan resepsionis.”

“Ayolah Ki. Aku tidak akan meminta gaji besar, gajiku sama seperti gajiku sekarang juga tidak apa apa.”

“Nanti deh kau kuhubungi ok?”

“Secepatnya ya?”

“Iya.”

“Baiklah, terima kasih kalau begitu, aku mau melanjutkan olahragaku, dan kau lanjutkan saja tidurmu. Bye Kiara, aku tunggu kabar darimu!”

Bye Della! Hati hati mengendarai motormu!”

“Oke!”

Aku lalu mengunci pintu ruangan lagi setelah Della pergi dan kembali ke tempat tidurku.

Tapi ternyata aku malah tak bisa tidur lagi. Aku lalu mengambil handukku dan pergi ke kamar mandi untuk mandi.

Setelah mandi aku menelepon Wina, untuk mengetahui apa pendapat Wina kalau Della jadi resepsionis di D & D Advertising.

No way. Jangan Kiara. Jangan.” Teriak Wina.

“Segitu jangan-nya. Memang kenapa sih?”

“Della itu ngincer Pak Devano Kiara. Della pasti ingin dekat dekat dengan Pak Devano. Dengan Della bekerja di D & D Advertising ia akan berkesempatan bertemu Pak Devano setiap hari, itu keinginannya. Itu harapannya. Itu misinya.”

“Ya kalau Dev-nya mau sama Della, so what gitu.”

“Memang kamu rela PaK Devano dengan Della?” tanya Wina.

“Kok jadi ke aku sih?” tanyaku heran.

“Sekarang aku tanya sekali lagi, memang kamu rela Pak Devano dengan Della?”

“Kalau mereka saling menyukai kenapa tidak Wina, lagipula kan ada Mona. Mona mau dikemanain.” Komentarku.

“Tapi aku sih tidak rela. Aku lebih rela Pak Devano menjalin hubungan denganmu.”

Lalu hening. Aku tak bisa berkata apa apa saat Wina ngomong begitu.

“Ki, tahu tidak, saat kamu dan Mas Andra pergi ke Thailand, Pak Devano sepertinya cemburu pada Mas Andra.” Suara Wina terdengar lagi.

“Kamu jangan mengada ada Wina.”

“Mengada ada bagaimana sih, Pak Devano juga bertanya padaku apakah kau dan Mas Andra pacaran.”

“Lalu apa jawabanmu?”

“Aku bilang tidak. Kalian tidak berpacaran kan Ki?”

“Kamu itu gimana sih Wina, kan aku sudah bilang Mas Andra sudah punya pacar.”

“Mas Andra sudah putus sama pacarnya.”

“Apa?!” seruku kaget. “Kamu tahu darimana?”

“Dari Pak Devano.”

“Dev tahu darimana?”

“Dari Mas Andra!”

What?!”

“Jadi yang terjadi itu seperti ini ya Kiara, ini menurut pengamatanku. Mas Andra menyukaimu. Pak Devano juga menyukaimu. Yang aku tidak mengerti disini adalah: pertama, kenapa Mas Andra belum menyatakan perasaannya padamu. Kedua, kenapa Pak Devano juga belum menyatakan perasaannya padamu.”

“Dan menurut pengamatanku, kamu salah Wina. Oke, baiklah, mungkin iya Mas Andra menyukaiku, tapi Pak Devano tidak.”

“Tahu darimana Pak Devano tidak menyukaimu?” tanya Wina.

Aku diam. Dadaku tiba tiba jadi berdebar tak karuan. Aku senang kalau apa yang dikatakan Wina benar kalau Dev menyukaiku, tapi tetap saja aku tak punya kesempatan untuk bisa bersama Dev. Ada Mona diantara aku dan Dev.

“Wina, Dev itu orangnya memang baik, pada siapa saja,” ujarku pada Wina, “kau jangan mensalah artikan kebaikannya. Terutama kebaikan Dev padaku.”

“Ya, aku tahu. Pak Devano baik pada semua orang, bahkan karena kebaikannya, Mas Henry sekarang sudah bisa berjalan lagi dengan dibantu kaki palsu, tapi kebaikan Pak Devano padamu itu lain Kiara. Pak Devano menyayangimu.”

“Aku senang kalau semua yang kau katakan benar.” Ujarku lagi, “tapi aku tidak bisa berbuat apa apa dalam hal ini. Tante Audrey tiap bertemu denganku selalu berbicara tentang pernikahan dan tentang Mona, calon menantunya yang cantik. Jadi please Wina, kita tidak usah membahas hal ini lagi ok?”

“Menurutku Pak Devano bodoh kalau sampai membiarkan pernikahannya dengan Mona sampai terjadi. Ia nanti akan menyesali semuanya!”

“Wina!”

Bye Kiara! Aku mandi dulu ya!” Wina akhirnya mengakhiri pembicaraan di telepon denganku.

Setelah ngobrol dengan Wina, perasaanku jadi tak karuan. Aku sungguh merasa bahagia kalau Dev benar menyukaiku seperti yang dikatakan Wina tadi.

Dan ini cukup untukku. Rasa bahagia ini akan aku simpan rapat rapat dalam hatiku. Biar aku sendiri yang merasakannya.


~ ~ ~

POV Kiara

Aku tersenyum lebar saat scene terakhir syuting iklan Mesin cuci selesai dilaksanakan.

Senyumku bertambah saat melihat Mas Henry. Mas Henry nampak semangat dalam mengerjakan pekerjaannya.

Walau ia masih dibantu kursi roda, tapi sesekali ia berjalan jalan di lokasi syuting dengan menggunakan kaki palsunya.

Kami sekarang sedang syuting di sebuah rumah di daerah Bogor. Rumah yang kami kunjungi sekarang adalah rumah yang biasa disewakan untuk lokasi syuting. Karena hal itu pula, banyak yang antri menyewa rumah ini karena tempatnya yang strategis dan sepi, jauh dari jalan raya. Kebanyakan yang nyewa rumah ini adalah production house, biasanya untuk syuting sinetron.

D & D Advertising termasuk salah satu yang tercatat ikut menyewa rumah ini. Tapi D & D Advertising dapat jadwal menggunakan rumah itu pada hari Minggu. Karena hal ini pula tim produksi terpaksa lembur.
Tim produksi berangkat pagi pagi sekali dari kantor dengan menggunakan mobil perusahaan.

Aku yang bangun agak siang dan tidak punya acara apa apa akhirnya memutuskan untuk menyusul mereka ke lokasi syuting. Aku meminjam mobil Mas Bima untuk pergi ke Bogor.

Di perjalanan, entah kenapa aku ingin mengajak Mbak Silvi, isteri Mas Henry untuk ikut ke lokasi syuting. Aku mampir ke rumah Mbak Silvi dan ternyata Mbak Silvi mau ikut. Mbak Silvi ikut dengan anak tunggal Mbak Silvi dan Mas Henry, Gery, yang berusia tujuh tahun.

Sampai di Bogor, aku dan Mbak Silvi langsung menyiapkan makan siang untuk kami semua. Aku beli nasi dan soto Bogor, tidak lupa, akupun membeli asinan buah dan asinan sayur Bogor yang terkenal.

“Resepsionis baru di kantor kamu cantik ya Ki, kayak boneka barbie.” Ujar Mbak Silvi saat kami berdua makan asinan sayur.

“Oh, Mbak sudah ketemu?” tanyaku.

Aku akhirnya menerima Della bekerja di D & D Advertising sebagai resepsionis, karena selama aku belum memberikan jawaban, Della terus terusan meneleponku. Ia meneleponku tiga kali sehari, kayak minum obat.

“Ya, aku bertemu dengannya kemarin lusa saat menjemput Mas Henry. Aku kemarin baru belanja bahan kain di Pasar Baru, lalu pulang menjemput Mas Henry dengan taksi dan bertemu dengannya. Dia modis sekali Ki.”

Aku tersenyum ke arah Mbak Silvi. “Iya, Della memang sangat modis. Dari dulu ia begitu. Aku suka melihatnya. Kadang ia berpakaian agak seksi tapi masih dalam batas wajarlah.”

“Sepertinya kantor jadi tambah seru dengan kehadirannya,” komentar Mbak Silvi lagi.

“Sepertinya begitu.” Jawabku, “ehm Mbak Silvi belanja bahan kain ke Pasar Baru untuk keperluan menjahit baju?”

“Iya.”

“Mas Henry masih menjahit baju?”

“Tidak, sudah tidak. Aku yang melakukannya, tapi aku menjahitnya tidak berdasarkan pesanan. Aku menjahit beberapa lalu menjualnya secara online. Lumayan sih, ada saja yang beli.”

“Oh, jadi sekarang Mbak Silvi yang bisnis di rumah?”

“Iya, lumayan Ki, ada pemasukan tambahan.”

“Temanku di Bali juga punya bisnis yang sama, kalau dia jualannya kaos, bukan baju.”

“Kalau aku baju muslim.” Ujar Mbak Silvi. “Aku lihat contoh contoh bajunya di internet, tapi hanya untuk ide saja sih tidak menconteknya.”

“Ya,” aku mengangguk, “semoga sukses usahanya.”

“Mudah mudahan, amin.” Mbak Silvi tersenyum.

“Kiara, kita pulang sekarang?” Vian tiba tiba menghampiriku.

“Semuanya sudah rapi? Kamera dan peralatan syuting lainnya sudah dimasukkan ke mobil?” tanyaku pada Vian.

“Sudah.”

“Tidak ada yang tertinggal?” tanyaku lagi pada Vian.

“Tidak.”

“Ya sudah, kau pulang berdua Iwan ke kantor, biar Mas Henry dan keluarganya aku yang antar pulang.”

“Oke,” sahut Vian. “Duluan ya Ki!”

“Iya. Ehn Vian, model iklannya bagaimana? Tadi kesini datang bersama siapa?”

“Bersama temannya, ia membawa kendaraan sendiri.”

“Ya sudah kalau begitu, kau tidak perlu mengantarnya pulang, hati hati mengemudi Vian!”

I will!”

“Yuk Mbak,” aku kini tersenyum ke arah Mbak Silvi, “kita bereskan ini dan kita pulang.”

“Ehm, Ki, tadi anakku bilang ingin ngasih makan kijang di istana Bogor. Ia tadi minta dibelikan wortel untuk makan kijang di sana!”

“Baiklah, nanti sebelum kembali ke Jakarta kita kasih makan kijang dulu.” Aku tertawa dan mulai membereskan sampah sampah bekas makan siang kami.
~ ~ ~

POV Author

Della memperhatikan Dev saat Dev masuk ke kantor D & D Advertising.

“Selamat Siang.” Ujar Dev pada Della. “Aku mau bertemu Kiara.”

“Bertemu denganku juga tidak apa apa Pak.” Ujar Della langsung.

Garing banget sih!” Wina yang berdiri di dekat Della langsung menggerutu.

Wina baru selesai makan siang dan ia baru ngobrol dengan Adelia, adiknya, di telepon front desk. Ia baru mau kembali ke ruang kerjanya saat Dev datang.

“Kiara ada di ruangannya?” tanya Dev.

“Ada, biar saya antarkan Pak Devano.” Della mau beranjak dari tempat duduknya saat Wina langsung menahan langkah Della.

“Biar aku saja,” Wina langsung beranjak dari front desk, “tetap di tempatmu Della!” ujar Wina pada Della sambil ia mulai berjalan di samping Dev. “Don’t go anywhere!

“Kau tidak pernah mengantarku seperti ini, Wina.” Ujar Dev sambil terus berjalan.

“Sesekali tidak apa apa.” Wina tersenyum sambil membukakan pintu ruang kerja Kiara saat mereka sudah sampai di depan ruang kerja Kiara. “Silahkan.”

“Terima kasih.” Dev lalu melangkah masuk.

Wina kembali ke front desk untuk mengambil agendanya yang tertinggal, “bisa tidak kalau lain kali kau tidak melihat Pak Devano seperti itu?” ujar Wina pada Della.

“Seperti itu bagaimana?”

“Penuh kekaguman dan matamu nyaris tak berkedip!”

“Wina sayang, apa fungsi mata ini kalau bukan untuk melihat yang indah indah. Pak Devano itu indah. Jadi hak aku dong kalau mau melihat Pak Devano seperti apa.”

“Tapi Pak Devano itu sudah ada yang punya.”

“Ya, ya, ya, aku tahu, the lovely Mona,so what gitu loh, orangnya juga tidak ada disini.”

No. Bukan the lovely Mona. Tapi the lovely Kiara.

What? Serius?” Mona langsung berteriak kaget.

“Ya, serius. Jadi kalau kamu tidak mau didepak dari sini jaga attitudemu. Ok?”

“Hai cantik,” Iwan tiba tiba datang menghampiri Della, “aku bawakan kopi untukmu.”

“Nah, mending, kamu sama Iwan saja.” Ujar Wina pada Della.

“Sama gue? Ngapain sama gue?” tanya Iwan heran.

“Kencan. Kamu Wan, aku sarankan kencan sama Della.”

“Wah mau, mau banget!” Iwan langsung berteriak senang, sementara Della langsung cemberut.

~ ~ ~

POV Kiara.

Aku memilih milih foto dihadapanku. Semuanya foto Pria, ada sepuluh lembar foto dalam ukuran 10 R. Dan nama para pria itu ada di foto itu. Dev yang membawa foto foto itu padaku dan bertanya padaku mana yang paling aku sukai.

Dev saat ini duduk di hadapanku, menunggu aku menentukan pilihanku.

“Ini untuk apa sih Dev?” tanyaku.

“Bisakah tidak usah bertanya dan hanya memilih saja?” ujar Dev.

“Ehm, baiklah. Tapi aku perlu waktu untuk memilih.”

“Tidak apa apa, aku akan menunggumu menentukan pilihanmu.”

“Jangan sekarang. Nanti aku kabari.”

“Tidak. Kamu harus mengabariku sekarang.”

“Tapi..”

“Kiara, apa susahnya sih memilih satu?”

Aku tidak mau memilih mereka, aku mau memilih dirimu… Ujarku dalam hati.

“Oke, oke.” Sahutku sambil kembali memperhatikan foto itu lagi.

Saat aku memperhatikan foto foto itu, Wina tiba tiba mengirim pesan padaku lewat WA bahwa Mas Andra saat ini datang ke kantor D & D Advertising membawa pizza untuk makan siang  karyawan D & D Advertising dan Mas Andra ada di ruang meeting.

“Mas Andra!” seruku.

“Mas Andra tidak ada diantara foto itu!” ujar Dev, “kau memilih Mas Andra?” ujar Dev lagi, kaget.

“Bukan itu, Mas Andra datang membawa pizza, aku makan pizza dulu.”

“Ki, come on.

Sebentar Dev!” aku berdiri dari tempat dudukku lalu keluar dari ruang kerjaku dengan setengah berlari.

Teman temanku sudah berada di ruang meeting dan sedang asik makan pizza, aku lalu mengambil satu dan ikut makan.

Aku melihat Dev menghampiri ruang meeting. Mas Andra yang sedang mengeluarkan beberapa pizza dan menaruhnya di piring langsung menawari Dev pizza tapi Dev tidak mau.

Aku kembali mengambil satu buah pizza lagi. Aku belum makan dari pagi. Aku tadi tidak sempat sarapan. Jadi aku memakan pizza itu dengan lahap. Mas Andra tertawa melihatku.

“Pelan pelan Ki, makannya.”

“Mas Andra tumben datang ke sini.” Komentarku, “ini pertama kalinya Mas Andra datang ke sini kan?”

“Ini yang kedua,” sahut Wina.

“O, ya?” tanyaku pada Wina, “memang kapan Mas Andra pernah datang?”

“Waktu kau meeting untuk iklan keripik kentang. Kau kan saat itu ke Bekasi, ke pabriknya dan meeting disana.”

“Oh.”

“Mas Andra saat itu datang kesini membawa cakwe Medan.” Ujar Wina lagi.

“Kamu kok tidak pernah cerita!”

“Lupa,” Wina tertawa.

Mas Andra ternyata cuma mampir sebentar ke kantorku, ia hanya membawakan pizza saja dan tidak mau mengganggu waktu kerjaku.

Setelah Mas Andra pergi, aku kembali ke ruang kerjaku. Dev sudah tidak ada disana, tapi foto fotonya masih ia tinggal. Aku lalu mengambil foto foto itu dan pergi ke GC Cosmetics, ke ruang kerja Dev.

Aku lalu duduk di hadapan Dev setelah Dev mempersilahkan aku masuk ke ruang kerjanya.

“Nanti saja kau ke sini lagi Ki. Temani Mas Andra dulu.” Ujar Dev saat aku duduk dihadapan Dev.

“Mas Andra cuma mampir sebentar, ia sudah pulang.” Jawabku.

“O, ya?”

“Ya.” aku mengangguk lalu tersenyum pada Dev, “Sebastian,” ujarku.

“Namaku Devano, bukan sebastian.”

Aku mengacungkan satu lembar foto ke hadapan Dev, “aku milih Sebastian Anggoro.”

Dev mengambil foto Sebastian dari tanganku dan memperhatikan foto itu, “kau yakin?”

“Ya.” Jawabku.

“Apa alasanmu?”

“Dia terlihat misterius, tatapan matanya tajam, dia terlihat seperti pria yang angkuh tapi disisi lain ada kehangatan terpancar dari matanya. Karakternya sangat kuat hanya dari tatapan matanya.”

“Tidak heran,” ujar Dev, “pekerjaannya memang aktor.”

“O, ya?” tanyaku, “aku kok belum pernah melihatnya?”

“Dia banyak melakukan syuting di Jepang. Berperan untuk film film laga. Berikutnya, siapa lagi yang kau pilih.”

“Harus memilih lagi?” tanyaku heran.

“Ya. Dua foto sekaligus.”

Aku melihat lihat lagi foto foto di tanganku. Tapi aku kurang menyukai mereka semua. Akhirnya aku mengambil secara asal dua foto dan memberikannya pada Dev.

“Terima kasih Kiara atas bantuannya.” Dev tersenyum padaku.

“Sama sama.” Jawabku.

~ ~ ~

POV Author

Dua bulan sejak Dev bertanya tentang foto foto pria mana yang paling disukai Kiara, Dev akhirnya menemui Kiara lagi di ruang kerja Kiara sambil membawa sebuah parfum.

Di botol parfum itu terdapat foto Sebastian Anggoro.

“Sebastian harusnya berterima kasih padamu karena kau memilih dirinya.” Ujar Dev sambil memperlihatkan parfum yang ia pegang pada Kiara.

Kiara langsung memperhatikan foto Sebastian di botol parfum itu. “Keren! Botolnya keren! Kemasannya keren. Modelnya keren!”

Dev tersenyum, “aku tidak percaya pada pilihan orang lain, aku hanya percaya pada pilihanmu, karena saat kau memilih foto Sebastian, kau pasti punya alasan tersendiri.”

“Iya Dev, kan aku sudah bilang karakternya kuat. Jadi Sebastian dipilih untuk model iklan parfum pria?”

“Ya. Ini yang pertama diproduksi, aroma parfumnya juga baru satu, aroma white musk yang diambil dari ekstrak tanaman. Coba kau hirup aromanya, bagaimana menurutmu?” Dev menyemprotkan parfum yang dibawanya pada tangan Kiara.

Kiara lalu menghirup aroma parfum itu. “Wow, segar. Aromanya segar tapi juga tajam. Enak sih aromanya tidak bikin pusing.”

Dev hanya tersenyum.

“Tapi ngomong ngomong kenapa iklan parfum pria ini berbeda dengan iklan parfum wanita?”

“Berbeda bagaimana?” tanya Dev.

“Kamu sudah memilih model iklan, yaitu sebastian, lalu foto Sebastian sudah ditempel di produk, lalu parfum dijual, jadi dalam hal ini saat iklan untuk parfum ini diproduksi, Sebastian tidak harus ikut casting iklan karena memang dia sudah terpilih sebagai modelnya, dan hal ini berbeda saat Mona dulu. Mona harus ikut casting baru terpilih jadi model.”

“Ya, kau benar,” ujar Dev, “untuk parfum wanita, foto bunga yang ditampelkan di Produk, model dipilih belakangan, aku hanya ingin perubahan saja.”

“Tapi Sebastian nanti harus benar benar menjaga image karena ia mewakili GC Cosmetics dalam penjualan produkparfum ini.”

“Iya, aku setuju Kiara. GC Cosmetics sudah mengontrak Sebastian secara eksklusif. Ia sekarang brand ambassador dari parfum ini, jadi dengan sendirinya ia harus menjaga image.  Kalau tidak salah semua sudah tertuang dalam kontrak kerja.”

“Mudah mudahan dia tidak mengecewakan GC Cosmetics.” Harap Kiara.

“Ya, mudah mudahan.” Sahut Dev, “ngomong ngomong, ini untukmu.” Dev memberikan parfum yang ia pegang pada Kiara. “Teman temanmu yang lain di D & D Advertising juga nanti akan dapat satu satu.”

“Terima kasih Dev.”

“Ya.” Dev mengangguk, “ini parfum pria. Jadi terserah kau mau diberikan pada siapa.”

“Aku akan mengoleksinya saja,” Kiara tertawa.

“Baiklah, aku pergi dulu, nanti kita bicara lagi untuk detail iklannya seperti apa.”

“Oke Dev, sampai nanti.” Sahut Kiara, “ngomong ngomong parfum ini sudah dijual?”

“Baru online, dan ada di counter dilantai dasar. Untuk Departemen store atau rekanan butiq belum, masih dalam tahap pengepakan.” Dev melambaikan tangannya pada Kiara sebelum pergi dari ruang kerja Kiara. “Aku pergi dulu.”

“Ya.” Kiara membalas lambaian tangan Dev.

Setelah Dev pergi, Kiara langsung mengambil HPnya dan mencari harga produk parfum pria GC Cosmetics yang baru pertama diproduksi itu di google.

Dan Kiara langsung terkejut, harga parfum yang dipegangnya adalah Rp. 700.000, mendapat diskon 50% selama promosi menjadi Rp. 350.000. Promosi hanya berlaku selama satu bulan saja.

~ ~ ~

POV Author

Della mengeluh kesal. Lantai dasar, lantai yang digunakan GC Cosmetics menjual produk produknya sedang ramai, ada antrian di kasir. Langkah Della untuk mencapai lift terhalang orang orang.

“Mas ada apa sih?” tanya Kiara pada salah satu OB GC Cosmetics, “aku mau lewat susah banget.”

“Oh, itu, ada diskon dari produk terbaru, produk parfum kalau tidak salah.”

“Parfum cewek?”

“Parfum cowok.”

“Kok pembelinya banyak yang cewek.”

“Mau dikasihkan ke pacarnya barangkali.” OB itu tersenyum.

“Ya, sudah, makasih.” Della lalu nekat berjalan diantara orang orang, “permisi aku mau lewat.” Della akhirnya berhasil juga mencapai lift.

Di dalam lift ia bertemu seorang pria. Pria itu tubuhnya sangat tinggi. Ia memakai topi dan kacamata hitam.

Della dan pria itu hampir bersamaan memencet tombol 3.

“Mau ke D & D Advertising? Atau GC Cosmetics?” tanya Della pada pria itu.

D & D Advertising.” Jawab pria itu.

“Ada keperluan apa?”

“Ada keperluan bertemu dengan ibu Kiara.”

“Sudah ada janji?”

“Sudah.”

“Oke, nanti saya tunjukkan kantornya.”

“Terima kasih.”

Setelah sampai di lantai 3, Della mempersilahkan pria itu menunggu di ruang kerja Kiara.

Kiara datang dua puluh menit kemudian. Ia lalu tersenyum pada Sebastian yang sedang duduk menunggunya.

“Maaf terlambat,” ujar Kiara.

“Tidak apa apa.” Sebastian balas tersenyum pada Kiara.

“Parfummu diserbu dilantai bawah, aku agak susah naik kesini.”

Sebastian hanya tertawa.

Kiara lalu mengambil sebuah arsip di atas meja kerjanya. “Ini script iklannya. Kamu pelajari saja dulu, kita mulai syuting minggu depan, rencana di Cikole, Lembang, disana banyak pohon yang alami, sesuai naskah iklan, aku ingin banyak mengambil adegan dirimu diantara hutan hutan pinus, atau dibawah sinar matahari, pokoknya semacam itu.”

“Oke, nanti akan saya pelajari scriptnya.”

“Baik kalau begitu, itu saja yang ingin aku sampaikan. Nanti minggu depan sebelum kita mulai syuting, aku akan menghubungimu lagi.”

“Oke.” Sebastian tersenyum dan menyalami Kiara sebelum pergi.

“Sebentar Sebastian,” ujar Kiara lagi, “kau mau pergi bersama kami ke Lembang atau kita ketemu disana?”

“Ketemu disana saja. Aku pergi dengan salah seorang dari agensi modelku.”

“Ok kalau begitu, nanti aku beritahukan alamatnya padamu.”

“Ok, saya pergi dulu.”

“Ya. Sampai jumpa Sebastian.”

“Sampai jumpa.”

Setelah Sebastian pergi, Wina langsung menerobos masuk ke ruang kerja Kiara.

“Itu model parfumnya?” teriak Wina.

“Ya.” Jawab Kiara.

“Kenapa kau tidak memperkenalkannya padaku?” 

“Kau tadi tidak datang ke sini.”

“Aku tidak tahu kalau dia datang.”

“Begini saja, kau ikut denganku ke Cikole minggu depan untuk syuting. Kau bisa berkenalan dengan Sebastian disana.”

“Minggu depan aku pulang ke rumah orangtuaku di Sukabumi. Ada acara pernikahan saudara.”

“Ya sudah kapan kapan berkenalannya kalau begitu!”

“Ya, sayang sekali,” Wina kembali ke ruang kerjanya dengan wajah cemberut.


~ ~ ~

POV Author

Sebastian memperhatikan Kiara yang sedang tertawa-tawa saat Kiara ngobrol dengan Mas Henry. Sebastian memperhatikan Kiara dari kejauhan. Sebastian sedang break syuting. Ia sedang bersantai sekarang.

Sejak bertemu Kiara di kantornya seminggu yang lalu, Sebastian langsung menyukai Kiara. Menurut Sebastian Kiara orangnya ramah dan menyenangkan. Senyumnya juga manis.

Iwan, yang duduk tidak jauh dari Sebastian melihat ke arah yang dilihat Sebastian. Iwan melihat Kiara sedang tertawa  saat ngobrol dengan Mas Henry.

“Jangan coba coba,” ujar Iwan langsung.

“Jangan coba coba apa?” tanya Sebastian pada Iwan.

“Mendekati ibu Kiara.”

“Kenapa memangnya?”

“Ia pacar big bos.”

“Memangnya aku takut? Baru pacar kan? Belum menikah?”

Iwan langsung memijit keningnya. “Ya terserah kamu sih kalau mau bermasalah dengan Pak Devano.”

“Pak Devano?” tanya Sebastian terkejut. “Pak Devano CEO GC Cosmetics?”

“Iya. Pak Devano yang itu. Pak Devano yang memberimu kontrak eksklusif parfum ini. Jadi seperti aku bilang tadi, jangan coba coba mendekati Ibu Kiara kalau tidak mau kontrakmu dibatalkan.”

Sial.” Sebastian langsung menggerutu.

Obrolan Sebastian dan Iwan terhenti saat sebuah mobil datang ke lokasi syuting, dan tidak lama kemudian Dev keluar dari mobil tersebut.

“Benar kan aku bilang?” ujar Iwan, “Pak Devano tidak ada keperluan apapun dengan syuting ini, ia tinggal terima hasil jadinya saja. Ia kesini pasti karena ingin bertemu ibu Kiara.”

Sebastian menghela nafas panjang, ia lalu meminum air mineral yang ia pegang. “Sayang sekali, padahal aku menyukai Kiara.” Gumamnya setelah selesai minum.

“Siap siap lima menit lagi, Sebastian!” Mas Henry berteriak ke arah Sebastian.

“Oke.” Jawab Sebastian.

Everything ok?” Dev yang baru turun dari mobil berjalan menghampiri Kiara.

Kiara terkejut melihat Dev datang. Kiara lalu tersenyum senang saat melihat Dev memakai syal yang ia berikan saat pulang dari Thailand dulu.

“Yap. So far so good.” Jawab Kiara.

“Aku senang mendengarnya.” Ujar Dev. “Semoga semuanya bisa lancar hingga selesai, terutama cuacanya, semoga tetap cerah seperti ini.”

“Ya,  Dev, kamu benar,” sahut Kiara, “Kamu mengemudi sendiri ke sini?”

“Ya.”

“Aku tidak tahu kalau ternyata kamu akan datang, Dev.”

“Tidak apa apa Kiara. Santai saja. Ini juga mendadak, aku tidak ada rencana pergi sebelumnya tapi tiba tiba ingin melihat proses syutingnya. Tapi aku kedinginan sekarang, kau temani aku beli minuman hangat dulu yuk.”

“Ok, baiklah.” ujar Kiara, “aku ambil tasku dulu.”

Kiara dan Dev lalu pergi ke salah satu kedai kopi yang berada di sekitar lokasi syuting. Mereka ngobrol sambil minum kopi.

Kiara merasa sangat senang hari ini karena bisa menghabiskan waktu bersama dengan Dev.

~ ~ ~

POV Author

Mas Andra memperhatikan Kiara yang diantar pulang oleh Dev. Mas Andra tidak tahu Kiara dan Dev habis darimana pulang selarut ini.

Kiara mengucapkan terima kasih pada Dev lalu langsung ke atas, ke tempat tinggalnya. Kiara tidak tahu kalau Mas Andra sedang memperhatikan dirinya. Tapi Dev melihatnya. Dev melihat Mas Andra sedang memperhatikan Kiara dan dirinya.

Dev segera kembali berjalan ke mobilnya tanpa berkata apa apa pada Mas Andra, tapi ia menghentikan langkahnya saat Mas Andra berjalan menghampirinya.

“Ini hanya masalah pekerjaan,” ujar Dev langsung, “ada syuting iklan di Cikole dan aku harus mengantar Kiara pulang karena sudah malam.”

It’s Ok.” Ujar Mas Andra, “aku hanya mau mengucapkan terima kasih karena sudah mengantar Kiara pulang dengan selamat.”

“Tentu.” Sahut Dev.

“Dan tolong sampaikan terima kasihku juga pada tante Audrey karena sudah memberi kiara kesempatan bekerja di bidang yang Kiara sukai.”

Are you ok?” Dev tidak bisa menahan keheranannya, karena selama ini setiap bertemu Mas Andra, Mas Andra hanya marah marah padanya.

“Aku melihat Kiara bahagia dengan pekerjaannya.” Jawab Mas Andra, “dan selama Kiara bahagia dengan apapun yang ia lakukan, aku ikut bahagia. Itu saja yang ingin kukatakan.”

“Oke, aku akan menyampaikan ucapan terima kasihmu pada Mama.”

Thanks.

“Anytime.

Mas Andra lalu pergi meninggalkan Dev dan kembali masuk ke cafe.

Dev langsung masuk ke mobilnya dan pergi meninggalkan cafe Mas Bima.

Di Teras, di lantai atas, Kiara memperhatikan mereka berdua. Kiara tidak tahu apa yang mereka bicarakan karena jaraknya jauh.

Kiara lalu masuk ke kamar tidurnya untuk beristirahat.

~ ~ ~


BAB DUA PULUH LIMA


POV Kiara

Aku tak mengerti kenapa di kantor beredar rumor kalauaku pacar Dev. Well, tentu saja aku senang kalau itu benar. Tapi kan itu tidak benar. Aku curiga Wina yang menghembuskan rumor itu pada semua orang. Wina benar benar dah.

Bahkan, rumor ini sampai ke telinga tante Audrey. Tante Audrey meneleponku dan sambil bercanda bertanya apakah benar ada hubungan istimewa antara aku dan Dev. Tentu saja aku menjawab tidak ada apa apa antara aku dan Dev.

Akhirnya Tante Audrey mengajakku makan siang karena katanya ia sudah kangen padaku karena cukup lama tak bertemu.

Dan saat ini aku sedang menunggu Tante Audrey menjemputku karena Tante Audrey ingin makan siang diluar, tidak di gedung GC Cosmetics.

Tante Audrey akhirnya meneleponku dan mengatakan bahwa ia sedang menungguku di bawah. Aku langsung mengambil tas dan HPku dan bilang pada Wina bahwa aku akan makan siang di luar.

Tante Audrey langsung memelukku saat melihatku, kami lalu berjalan ke arah mobil tante Audrey yang diparkir tidak jauh dari pintu utama.

Tante Audrey sedang malas mengemudikan mobilnya, sehingga ia diantar oleh Pak Ridwan.

Kami lalu pergi ke restoran sea food karena Tante Audrey bilang, ia sedang ingin makan lobster.

Kami makan dengan lahap dan bercerita tentang segala macam. Tapi saat aku bertanya tentang Mona, wajah tante Audrey tiba tiba berubah sedih.

“Hubungan Mona dan Dev saat ini sedang tidak harmonis,” ujar Tante Audrey.

“Apa yang terjadi Tante?” tanyaku.

“Mona ternyata sangat berambisi untuk menjadi model internasional. Mona, tiga bulan kemarin sudah sekolah modelling di salah satu sekolah modelling di Paris.”

Tante Audrey menghela nafas sebentar. “Dev sangat mendukung karir Mona. Ia memperbolehkan Mona sekolah di Paris kemarin, tapi Dev berharap setelah itu Mona bekerja di jakarta saja, tapi Mona punya keinginan yang berbeda dengan Dev.”

“Dan apa keinginan Mona?” tanyaku.

“Saat sekolah modelling di Paris, ada beberapa agensi model di sana menawarkan Mona untuk bergabung dengan agensi mereka. Mereka berjanji akan mencarikan Mona pekerjaan. Agensi model yang mengajak Mona bergabung cukup bergengsi karena sudah melahirkan banyak model internasional yang terkenal. Selain Mona, salah satu teman Mona yang berasal dari Indonesia, namanya Tamara, sudah menyatakan diri untuk bergabung. Mona ingin bergabung seperti Tamara. Tapi ia tak bisa melakukannya begitu saja karena ia harus berdiskusi dengan Dev terlebih dahulu, ia harus meminta persetujuan dari Dev. Mona akhirnya meminta waktu pada agensi tersebut untuk memikirkan tawaran mereka. Setelah itu Mona kembali ke Indonesia dan bertanya apa pendapat Dev tentang tawaran kerja itu, Dev langsung menentang keras keinginan Mona. Dev bilang bekerja bisa dimana saja tidak harus di Paris. Tapi Mona bilang Paris adalah salah satu jalan yang terbaik untuknya untuk menunjang karir internasionalnya. Mereka lalu bertengkar.”

Tante Audrey lalu diam sebentar. “Dev bilang padaku, kalau Mona bekerja di Paris, mereka akan berjauhan dan Dev tidak bisa melakukan hubungan jarak jauh seperti itu.”

“Lalu?” tanyaku penasaran.

“Lalu,” Tante Audrey tersenyum sedih menatap Kiara, “lalu Mona tetap memutuskan pergi ke Paris.”

Oh my God.” Seruku, aku benar benar kaget dengan keputusan Mona. “Dan Mona sudah berangkat?”

“Belum, lusa jadwal keberangkatannya.”

“Aku harap Mona membatalkan kepergiannya.” Ujarku, “Dev benar, berkarir bisa dimana saja.”

“Sepertinya susah untuk merubah pikiran Mona. Tante hanya berharap bahwa Dev lebih sabar menghadapi Mona. Mona masih sangat muda. Dev harus memahami dirinya.”

Sepertinya Tante Audrey sangat sayang pada Mona, keluhku dalam hati, sampai Tante Audrey membela Mona dan bukan membela Dev.

“Tapi tante, Tante juga harus mengerti Dev, ia mungkin menginginkan hal itu karena…”

“Ini tidak lama Kiara, paling satu dua tahun Mona merasa capek dengan pekerjaannya dan ia pulang.”

“Tante bisa menjamin itu?” tanyaku, “bagaimana kalau Mona betah tinggal di sana dan terus asik dengan pekerjaannya? Sampai kapan Dev harus menunggunya?”

Tante Audrey menghela nafas panjang, “Tante hanya menyayangi putera tante, Kiara. Tante ikut bahagia kalau Dev bahagia, dan kalau Mona adalah kebahagiaan Dev, tante akan memperjuangkan kebahagian Dev itu. Itu yang terpenting buat tante, kebahagiaan putera tante.”

“Ya, mudah mudahan mereka punya jalan keluar yang baik.” Ujarku akhirnya.

“Mudah mudahan.” Tante Audrey kini tersenyum lagi, walau aku masih bisa melihat bahwa senyum tante Audrey masih diliputi kesedihan.

~ ~ ~

POV Author

Dev asik memainkan HPnya tanpa perduli dengan Mona yang sedang duduk di hadapannya. Mereka, saat ini, sedang berada di bandara Soetta.

Dev mengantar Mona ke bandara walau ia tak setuju Mona pergi.

Jadi sejak ia menjemput Mona ke rumahnya, hingga mereka tiba di bandara, Dev lebih banyak diam. Kalau Mona bertanya sesuatu padanya, Dev hanya akan menjawab singkat, ‘Ya’, ‘tidak’ atau hanya mengangguk dan menggeleng saja. Mona mulai merasa resah dengan sikap acuh Dev padanya.

Sayang, udahan dong marahnya, please?” ujar Mona. “Aku nggak akan tenang perginya kalau kau marah terus seperti ini.”

“Kalau begitu jangan pergi.”

“Kau tahu aku tak bisa. Ini masa depanku Dev.”

“Memang di sini bukan masa depanmu? Seperti sering aku bilang, banyak agensi model yang bagus di sini, kau bisa bekerja dengan mereka.”

“Aku capek harus menjelaskan ke kamu kalau kesempatan di Paris lebih…”

“Kalau begitu jangan menjelaskan apa apa.”

Mona diam lagi.

Dev lalu melihat jam di HPnya, “waktu keberangkatanmu setengah jam lagi. Aku ke mobil sekarang dan..”

“Dev, ini masih lama. Temani aku dulu.”

“Aku belum selesai bicara,” ujar Dev, “aku ke mobil sekarang. Aku akan menunggumu di mobil selama setengah jam. Kalau dalam waktu setengah jam tersebut kamu tidak kembali ke mobilku, kita selesai.”

No, Dev, jangan melakukan ini padaku.” Mona langsung menangis mendengar ucapan Dev. “Aku sangat mencintaimu Dev, please Dev, jangan seperti ini. Aku tidak mau kehilanganmu, aku sangat mencintaimu.”

“Kalau begitu jangan pergi.”

“Aku tidak bisa Dev, aku…”

“Aku? Atau Paris? Hanya itu pilihanmu.” Dev lalu meninggalkan Mona.

Mona berteriak memanggil namanya, tapi Dev tak memperdulikan teriakan Mona.

~ ~ ~

POV Devano

Sudah setengah jam berlalu, tapi tidak ada tanda tanda Mona akan kembali. Aku mendesah kecewa. Aku sudah mempersiapkan ini. Aku sudah mempersiapkan diri kalau Mona pasti lebih memilih Paris daripada aku. Tapi tetap saja rasa kecewa itu melandaku. Bagi Mona, aku ternyata tidak lebih penting dari karirnya.

Aku akhirnya turun dari mobil. Aku ingin memastikan apakah benar Mona jadi berangkat ke Paris atau tidak. Aku datang ke kantor Airlines tempat Mona membeli tiket pesawatnya.

Aku bertanya pada petugas disana apakah nama Mona ada dalam dalam penerbangan menuju Paris yang take off beberapa menit yang lalu. Dan petugas disana mengatakan kalau nama Mona berada di antara nama penumpang di pesawat yang sedang menuju ke Paris.

Aku akhirnya pulang ke rumah orangtuaku. Aku harus memberitahu Mama apa yang terjadi.

Mama tersenyum saat melihatku. “Mona sudah berangkat Dev?” tanya Mama.

“Sudah.” Jawabku.

“Semoga Mona sampai dengan selamat.”

“Ya.”

“Sudah, jangan bersedih Dev, siapa tahu nanti Mona berubah pikiran dan tiba tiba pulang kembali ke Jakarta dan…”

“Ma, aku dan Mona sudah putus.”

Mama menatapku tak percaya, matanya berkaca kaca, “apa kamu bilang?”

“Hubungan aku dan Mona sudah selesai. Mama jangan berharap apapun lagi tentang Mona mulai dari sekarang.”

“Tapi Dev…”

“Aku ke kamarku dulu Ma. Aku mau beristirahat. Selamat malam.” Aku lalu pergi meninggalkan Mama dan berjalan ke arah kamarku tanpa menunggu jawaban Mama.

~ ~ ~

POV Author

Kiara tidak bisa berkonsentrasi bekerja karena suara ribut di luar ruang kerjanya. Kiara lalu menelepon Wina menanyakan ada apa, Wina bilang Della lagi sibuk Selfie dengan Sebastian. Dan selain Della, ada beberapa wanita entah siapa dan darimana, ikut selfie bersama Sebastian.

Kiara lalu bertanya lagi ada kepentingan apa Sebastian datang, Wina bilang ia tidak tahu.

“Kau sudah berkenalan belum dengan Sebastian?” tanya Kiara lagi.

“Sudah.”

“Kapan?”

“Beberapa hari yang lalu saat Sebastian datang ke lantai dasar GC Cosmetics untuk ikut mempromosikan parfum.”

“Oh, ya sudah kalau begitu, kirain belum berkenalan.”

Crowded banget loh Ki waktu itu. Waktu Sebastian datang, banyak cewek cewek yang minta foto bareng. Rebutan malah.”

“O, ya?”

“Ya. Sepertinya Sebastian jadi idola baru.”

Kiara langsung tertawa.

“Pak Devano keren ya, instingnya tajam. Dia memilih model yang tepat. Sebastian itu mewakili produk parfumnya banget. Tampan, karismatik, ada kesan kesan misteriusnya juga.” Ujar Wina lagi.

“Kamu tahu darimana Dev yang memilih Sebastian sebagai model produknya?” tanya Kiara.

“Begini, kemarin aku ketemu ibu Clara diatas, pas makan siang.”

“Ibu Clara itu siapa?”

“Direktur pemasaran GC Cosmetics. Ia yang bertanggung jawab untuk pemilihan model produk parfum ini.”

“Lalu?” tanya Kiara.

“Iya, menurut ibu Clara, untuk produk parfum pria, Pak Devano ingin dicarikan seorang model yang bisa mempresentasikan produk itu. Karena hal itu pula, ibu Clara langsung menghubungi beberapa agensi model di Jakarta dan mengatakan pada mereka bahwa ia sedang mencari model pria untuk produk parfum. Para agensi itu lalu mengirimkan foto foto model mereka lengkap dengan data diri mereka. Ada banyak foto yang masuk ke email ibu Clara, hingga terpilihlah 10 foto yang menurut ibu Clara bisa mempresentasikan parfum itu. Nah, kesepuluh foto itu ibu Clara berikan pada Pak Devano untuk penentuan akhir, lalu terpilih-lah Sebastian.”

Kiara langsung menahan tawanya, ia ingin bilang pada Wina bahwa ia yang memilih Sebastian, bukan Dev, tapi tidak jadi.

“Jadi begitu ceritanya?” tanya Kiara.

“Iya.”

“Ya sudah kalau begitu, selamat bekerja lagi ya Wina.”

“Oke.”

Baru saja Kiara selesai ngobrol dengan Wina, seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya, Kiara langsung mempersilahkan orang itu masuk.

Sebastian masuk sambil tersenyum lebar. “Selamat siang, maaf mengganggu.” Ujar Sebastian.

“Tidak mengganggu kok, ada keperluan apa datang ke sini?” tanya Kiara.

“Aku hanya ingin memberikan ini buat Ibu Kiara.” Sebastian memberikan sebuah kantong berwarna merah.

“Apa ini?” tanya Kiara.

“Cokelat dari Swiss.”

“Wow, keren, kau habis pulang dari Swiss?” tanya Kiara.

“Temanku yang habis dari sana. Temanku ada pemotretan disana, dan ia membawa cokelat yang banyak dan aku kurang begitu suka cokelat jadi aku berikan ini untuk ibu Kiara, mudah mudahan ibu suka.”

“Tentu saja aku suka.” Kiara langsung tertawa, “berbeda denganmu, aku suka sekali cokelat. Terima kasih ya.”

“Sama sama.” Ujar Sebastian.

“Pacar kamu sudah dikasih juga kan cokelat ini?” ujar Kiara lagi sambil tersenyum.

“Aku tidak punya pacar.” Jawab Sebastian.

“Masa sih?”

“Iya.”

“Ya sudah, sekali lagi terima kasih cokelatnya.”

“Iya, sama sama, aku pamit sekarang ibu Kiara.”

“Oke, sampai bertemu lagi.”

Sebastian lalu keluar dari pintu ruang kerja kiara, tapi di pintu masuk D & D Advertising, ada beberapa orang wanita yang sepertinya sedang menunggu dirinya.

Sebastian tidak jadi pulang. Ia berkeliling lagi di kantor D & D Advertising. ‘Ia lalu melihat Vian masuk ke ruang kerjanya. Sebastian langsung berjalan ke arah Vian dan ikut masuk ke ruang kerja Vian. Disana ia kaget melihat gambar Naruto.

“Wow, Naruto.” Serunya. “Aku juga suka Naruto, ini yang gambar siapa, bagus banget, kamu?”

“Bukan, kalau gue pinter gambar, gue nyambi jadi kartunis kali.” Jawab Vian, “ngomong ngomong ngapain elu disini tengah hari bolong gini, emang ada syuting tambahan?”

“Enggak, lagi iseng saja main ke sini.” Jawab Sebastian, “aku mau dong digambarin kayak gini, maksudku, aku mau gambar Naruto di apartemenku. Boleh tahu enggak siapa yang gambar?”

“Kalau udah gue kenalin, nanti kalau dia gambar, bayar ya. Hitung hitungannya harus profesional.”

“Ya, iyalah, masa gratis.” Jawab Sebastian.

“Sebentar, gue panggilin dulu orangnya.” Vian pergi keluar ruang kerjanya, lalu kembali lagi bersama Mia.

“Ini, temen gue, namanya Mia, dia yang gambar kartun itu.”

“Hai Mia, aku Sebastian.” Ujar Sebastian. “Kalau ada waktu luang, tolong gambarin Naruto dong di apartemenku.”

“Tentu, tidak masalah.” Jawab Mia sambil tersenyum menatap Sebastian.

~ ~ ~

POV Kiara

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi aku tak bisa tidur juga.

Aku lalu berjalan ke lemari bajuku, lalu mengambil sesuatu di balik tumpukan bajuku.

Sesuatu itu adalah cincin. Aku membuka kotak cincin itu dan memandangi cincinnya. Cincinnya nampak berkilau terkena lampu tempat tidurku.

Itu adalah cincin dari Mas Andra. Mas Andra melamarku minggu lalu. Ia mengajak aku makan malam dan menyatakan perasaan sayangnya padaku. Dan melamarku. Aku terlalu terkejut dengan lamaran itu sehingga aku tidak tahu harus berbuat apa. Atau berkata apa.

Aku sudah bisa memperkirakan tentang rasa suka Mas Andra padaku selama ini, tapi langsung melamarku?

Aku akhirnya meminta waktu pada Mas Andra untuk  memberi Mas Andra jawaban karena aku benar benar belum bisa memberikan jawaban apa apa saat itu karena terlalu terkejut.

Mas Andra tak keberatan dengan hal itu, ia akan memberiku waktu sebanyak aku mau sampai aku siap menjawab lamarannya.

Tapi malam ini, aku tetap belum menemukan jawabannya. Aku tidak mencintai Mas Andra. Aku mencintai Dev. Tapi mengingat Laras yang terus mendesakku agar cepat cepat menikah, aku lalu berpikir apa sebaiknya aku menerima lamaran Mas Andra saja.

“Ini apa,” Tia tiba tiba mengambil kotak cincin yang kupegang dan melihat isinya. Aku terlalu asik dengan pikiranku sampai tidak tahu Tia datang menghampiriku.

Oh My God!” Tia langsung berteriak kaget. “Ini pasti Mas Andra. Mas Andra yang melamar Kak Kiara kan?”

“Tia jangan berisik, kembalikan tidak!”

No, jawab dulu pertanyaanku, Mas Andra yang melamar Kak Kiara kan?!”

“Iya, tapi kembalikan cepat.”

No, tidak semudah itu! Mas Bimaaa…” Tia langsung lari keluar dan turun kebawah sambil membawa cincin itu.

Aku membiarkan Tia pergi, aku malas mengejarnya. Di cafe pasti banyak pelanggan, dan aku malas kalau nanti terjadi keributan.

Aku hanya memijit kepalaku yang tiba tiba terasa sakit.

Tia kembali sepuluh menit kemudian sambil mengembalikan cincin itu. “Cincinnya indah,” Komentarnya, “selamat ya Kak Kiara.”

“Aku belum mengatakan iya pada Mas Andra.” Ujarku.

“Itu hanya masalah waktu,” Tia lalu menelepon seseorang.

“Siapa yang kau telepon Tia?” ujarku, “jangan macam macam.”

“Sst, jangan berisik Kak Kiara. Hallo, ya, hallo Kak Wina apa kabar?”

“Tia, matikan teleponnya!” teriakku.

No!” sahut Tia. “Kak Wina, kak Wina sudah tahu belum kalau Mas Andra sudah melamar Kak Kiara?! Hah belum tahu?! Yang benar! Cincinnya bagus loh kak. Oh, oke, nanti aku telepon kakak lagi.”

“Kenapa kamu tidak sekalian saja menelepon Presiden Indonesia dan memberitahu dia kalau Mas Andra melamarku?” tanyaku kesal pada Tia.

“Kalau aku punya nomor teleponnya akan kuberitahu,” ujar Tia, “siapa tahu nanti Pak Jokowi ngasih hadiah sepeda.”

“Hadiah sepeda? Ke pernikahan?”

“Siapa tahu.”

Tidak berapa lama Wina langsung meneleponku.

“Akhirnya,” ujar Wina setelah aku menerima panggilan telepon darinya, “ada yang berani menyatakan perasaannya padamu. Ini keren. Harusnya Mas Andra melakukan ini dari dulu.”

“Ini tidak seperti yang kau bayangkan Wina.”

“Ah, terserahlah, yang penting bagiku ini kabar yang menggembirakan.”

Please Wina, jangan bikin rumor yang aneh aneh lagi di kantor, aku belum memberikan jawaban pada Mas Andra.”

“Serius belum memberikan jawaban?” tanya Wina kaget. “Are you kidding me?”

“Ini terlalu mendadak. Ini sangat mengejutkan aku.”

“Aku rasa bukan karena itu.” Ujar Wina lagi.

“Jadi, menurutmu karena apa?”

“Karena Pak Devano.”

Aku diam, aku suka kehabisan kata kata kalau sudah bicara tentang Dev.

“Aku tidak punya kesempatan apa apa tentang diri Dev, Win, kau tahu betul itu.”

“Hm, baiklah, mumpung kamu belum memberikan jawaban pada Mas Andra, saranku, tanyakan lagi pada hati nuranimu yang paling dalam apa yang kau inginkan sebenarnya. Jangan menikah karena terpaksa Kiara. Aku menyayangimu, aku ingin yang terbaik untukmu.”

“Oke, terima kasih Wina.”

“Sama sama.”

Baru selesai aku ngobrol dengan Wina, giliran Mas Andra yang  meneleponku.

“Hallo,” ujarku.

“Ki, aku tidak sedang berada di cafe Mas Bima malam ini, aku sedang dirumah, barusan Mas Bima meneleponku dan mengucapkan selamat itu maksudnya apa ya?”

“Aku minta maaf,” ujarku langsung, “itu kerjaan Tia. Ia memergoki aku sedang melihat cincin dari Mas Andra, lalu Tia mengambil cincin itu lalu memamerkannya ke Mas Bima dan entah ke siapa lagi di cafe sana. Aku benar benar minta maaf.”

It’s ok, itu tidak penting, yang penting adalah jawabanmu, kau sudah siap menjawabnya?”

“Minggu depan ok? Aku akan menjawabnya minggu depan.”

“Ok, sampai bertemu minggu depan. Sleep well Kiara. I Love You.”

Aku meletakkan HPku di kasur setelah ngobrol dengan Mas Andra. Lalu setelah itu aku duduk termenung, karena tidak tahu harus melakukan apa.

~ ~ ~

POV Author

“Rileks sebastian, tanganmu harus rileks,” ujar Mia.

“O, oke.” Ujar Sebastian.

“Kalian sedang apa sih?” Della yang baru makan siang langsung heran melihat Mia dan Sebastian duduk di ruang kerjanya, di ruang front desk.

“Bikin tatto temporary,” jawab Sebastian.

“Bikin tatto temporary ditempatku!” Omel Della, Della merasa cemburu pada Mia yang bisa memegang tangan Sebastian seperti itu, “kenapa tidak ditempatmu saja Mia?”

“Tempatku berantakan, belum aku beresin.” Jawab Mia.

Della akhirnya mencari kursi dan duduk disamping Sebastian.

“Apa yang kau gambar?” tanya Della pada Mia.

“Burung hantu. Sebastian maunya gambar burung hantu.”

“Kau menggambar menggunakan apa?”

“Eyeliner, tapi yang padat bukan yang cair, kalau yang cair susah nempel.”

“Eyeliner, kosmetik untuk mata?” tanya Della.

“Eyeliner memang untuk mata,” Ujar Sebastian, “kalau untuk hidung itu noseliner, untuk telinga earliner.”

“Ih, kamu lucu ya Sebastian, aku suka.” Della tersenyum manis pada Sebastian.

“Woi kerja, kerja, ngapain ngerumpi disini.” Iwan tiba tiba datang menghampiri mereka.

“Iwan,” ujar Mia sambil terus menggambar, “Ibu Kiara bilang jam makan siang kita boleh melakukan apa saja, mau yoga silahkan, mau pilates silahkan, asal pas masuk waktu kerja semua kegiatan itu kita hentikan dan kita bekerja lagi. Sekarang masih jam setengah satu, masih setengah jam lagi sebelum waktu makan siang habis.”

Karena tidak ada jawaban dari Iwan, Mia mendongak mencari Iwan, tapi Iwan tidak ada disana. “Kalian kenapa tidak memberitahu aku kalau Iwan langsung pergi!” seru Mia Kesal.

Della dan Sebastian langsung tertawa.

~ ~ ~

POV Author

Mas Bima tersenyum melihat tante Audrey. Ia lalu menghampiri tante Audrey yang duduk sendiri di salah satu pojok Cafe.

“Selamat sore tante, sudah lama tidak kesini.” Ujar Mas Bima.

“Selamat sore. Iya nih baru sempat.”

“Pesan yang seperti biasa tante?” tanya Mas Bima lagi.

“Ya.”

“Oke, sebentar saya bilang Siti dulu.” Mas Bima beranjak pergi untuk memberitahu Siti agar menyiapkan minum untuk tante Audrey lalu kembali lagi menghampiri tante Audrey dan duduk di hadapan tante Audrey.

“Kalau datang ke sini, aku selalu ingat Kiara,” ujar Tante Audrey sambil tersenyum menatap Mas Bima, “Kiara dulu sering menemaniku ngobrol di sini. Kiara juga selalu menghiburku kalau aku sedang sedih sehingga aku tertawa lagi.”

“Tante tahu dimana Kiara sekarang berada. Kiara ada dikantornya, di ruang kerjanya. Tante masih bisa menemui Kiara dan ngobrol dengannya.” Ujar Mas Bima.

“Ya, tapi tetap lain Bim, suasananya tetap lain. Di sini sejuk, banyak pohon, suasananya sepi. Yang membuat lain itu adalah, saat aku masuk ke sini tadi, tidak ada Kiara yang menyambutku dengan ceria dan ramah seperti dulu. Saat aku datang tadi, tidak ada Kiara disini.” Tante Audrey tiba tiba menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia saat ini sedang sangat sedih. Sejak tahu Dev dan Mona putus, ia terus terusan merasa sedih.

“Tante ini aneh,” Mas Bima tertawa, “tante sendiri yang mendirikan D & D Advertising  agar Kiara bekerja disana. Tapi tante sekarang merindukan Kiara bekerja disini.”

Tante Audrey tersenyum, “ya kau benar, aku sedang terbawa suasana.”

“Tante, karena aku jarang bertemu tante, aku mau mengucapkan terima kasih sekarang pada tante karena tante sudah memberi kesempatan pada Kiara menjadi seperti sekarang. Kiara berubah pesat sejak bekerja di D & D Advertising. Ia jadi lebih tegas, smart, bijak, dewasa.”

“Sama sama Bima, Kiara memang punya kemampuan untuk itu. Tante melihat potensi seorang pemimpin di diri Kiara. Untuk itulah tante memberi kepercayaan pada Kiara untuk memimpin D & D Advertising seperti sekarang.”

“Sejauh ini pekerjaannya tidak mengecewakan?” tanya Mas Bima sambil tertawa.

“Sejauh ini aman aman saja.”

“Syukurlah.” Ujar Mas Bima lagi, “aku harap saat Kiara menikah nanti, suaminya mengijinkan Kiara untuk tetap bekerja di D & D Advertising, dan tidak harus keluar dari sana.”

“Menikah? Kiara mau menikah?” teriak Tante Audrey kaget, “dengan siapa?”

“Andra.”

“Apa?!”

“Andra sudah melamar Kiara. Jadi, ya kita tunggu saja undangan pernikahan dari mereka.”

~ ~ ~

POV Devano

Aku mengemudikan mobilku dengan cepat, jalanan sedang tidak terlalu ramai. Aku harus cepat sampai di rumah karena Bi Surti meneleponku dan memberitahuku kalau Mama terus terusan menangis.

Setelah sampai di rumah aku lalu berlari ke dalam rumah dan mendapati Mama sedang duduk di ruang keluarga.

Dan Mama sedang menangis. Aku langsung menghampiri Mama.

“Ma, Mama kenapa?” tanyaku.

Mama tidak menjawab, Mama masih menangis.

“Ada masalah apa Ma?”

“Tidak ada apa apa, Mama hanya sedih saja.”

“Sedih kenapa sih Ma? Masalah Mona? Aku kan sudah bilang…”

“Bukan, ini bukan masalah Mona.”

“Lalu apa?”

“Ini masalah Kiara.”

“Kiara?” tanyaku kaget, “ada apa dengan Kiara?”

“Kiara mau menikah Dev. Mama tidak mau Kiara meninggalkan Mama, suaminya pasti akan membawa Kiara pergi. Mama akan kehilangan Kiara.”

“Apa maksud Mama Kiara akan menikah?”

“Andra sudah melamarnya. Dan.. dan.. Dev, Mama sayang Kiara, Mama tidak mau kehilangan dia.”

“Mama tidak akan kehilangan siapapun.” Aku lalu memeluk Mama erat, “Mama tidak akan kehilangan Kiara. Kiara akan selalu ada untuk Mama.”

“Menurutmu begitu?”

“Ya. Kiara bahagia kerja di D & D Advertising. Dan Mas Andra tidak akan mengambil kebahagiaan Kiara itu. Mas Andra sangat menyayangi Kiara, ia akan membiarkan Kiara tetap bekerja, percayalah.”

Setelah membujuk Mama beberapa lama lagi, akhirnya Mama tenang dan tidak menangis lagi.

Setelah Mama tenang, aku akhirnya pergi ke kamarku. Di hadapan Mama tadi aku tidak menangis. Tapi aku tidak dapat menahan tangisku saat aku sendirian di kamarku.

Dadaku sesak dan sakit. Hari ini, aku kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupku. Aku kehilangan universe-ku. Aku kehilangan cintaku. Aku kehilangan Kiara-ku.

~ ~ ~


BAB DUA PULUH ENAM


POV Kiara

Aku tersenyum memperhatikan rumahku dari kejauhan. Rumahku sederhana, tapi punya kebun bunga yang cukup luas sehingga jadi kelihatan cantik dan asri.

Kebun bunga itu ibu dan aku yang menanam, karena kebetulan, hanya aku dan ibu yang suka tanaman dan suka berkebun, yang lain tidak.

Aku pulang ke Yogya karena ibu besok berulangtahun. Sebenarnya tidak ada kewajiban bagiku untuk pulang dan merayakan ulang tahun ibu. Tapi entah kenapa aku kangen saja ingin ketemu ibu dan keluargaku. Aku terakhir bertemu mereka saat hari raya lebaran kurang lebih tujuh bulan yang lalu.

Aku pergi ke Yogya selama empat hari, tapi tidak masuk kerja hanya pada hari Senin dan Selasa saja, karena hari Sabtu dan Minggu tidak terhitung hari kerja.

Aku berangkat ke Yogya naik kereta api dari stasiun Gambir pada hari Sabtu dini hari.

Aku berencana kembali pulang ke Jakarta pada hari Selasa dini hari. Dan kembali masuk kerja pada hari Rabu.

Selama aku tidak masuk kerja, aku meminta Wina untuk menghandle pekerjaanku di kantor.


Aku memberitahu kakakku Mbak Tari, dan adikku, Laras kalau aku mau pulang. Aku minta bantuan mereka untuk berbelanja dan masak bareng untuk merayakan ulang tahun ibu.

Mbak Tari siap membantuku, tapi Laras tidak bisa karena hari Sabtu ini Laras ada acara ke luar kota. Laras bisa pulang ke rumah pas hari Minggu, besok, saat ulangtahun ibu berlangsung. Jadi terpaksa hanya aku dan Mbak Tari yang masak.

Dan rencananya kami akan masak nasi kuning beserta lauk pauknya. Sedangkan untuk kue ulang tahun aku sudah minta tetanggaku yang pintar membuat kue. Aku memesannya lewat WA, dan ia sanggup mengantarkan kue itu besok.

Aku lalu berjalan mendekati rumahku, membuka pintu pagarnya dan masuk melalui pintu dapur. Itu kebiasaan aku kalau pulang ke rumah, selalu lewat pintu dapur, karena kalau lewat sana, aku selalu mendapati ibuku sedang masak sesuatu. Dan benar saja ibu ternyata sedang masak rempeyek kacang tanah dan rempeyek ikan teri.

“Ibuuu!” teriakku.

“Kiara! Kamu ngagetin saja!” Seru ibu, “kamu pulang kok tidak bilang bilang!”

“Aku ingin bikin kejutan!” aku tertawa. Aku lalu mencium tangan ibuku, “ayah mana Bu?”

“Ada di kamar.”

“Ya sudah aku pergi ke ayah dulu.” Tapi belum sempat aku pergi, ayah ternyata sudah keluar lebih dulu, mungkin karena mendengar suaraku.

“Kiara, kamu pulang.” Ujar ayah, “apa kabar Nak?”

“Baik Ayah.” Aku mencium tangan ayah.

“Ada apa pulang dadakan begini?”

“Tidak ada apa apa, iseng saja. Mau refreshing.” Sahutku.

“Kamu pulang karena ibumu besok ulangtahun kan?”

“Kok Ayah tahu? Mbak Tari yang cerita ya?”

“Tidak, ayah sudah menduganya.”

“Ya sudah Kiara, kamu istirahat dulu,” ujar Ibu. “Nanti ibu pesankan gudeg favoritmu pada Mbok Ratmi, tetangga kita.”

“Asiik!” seruku, “makasih Ibu.”

“Iya.”

“Krecekannya yang banyak ya Bu!”

“Iya.”

Aku lalu berjalan ke kamarku dan tiduran untuk menghilangkan rasa penatku.

~ ~ ~

POV Kiara

Salah satu kebiasaan keluargaku kalau sudah berkumpul adalah saling bercerita tentang keadaan masing masing.
Dulu waktu kami masih kecil juga begitu. Kalau kami berkumpul ayah dan ibu akan bertanya bagaimana kegiatan kami di sekolah, ada kejadian lucu atau kejadian menarik apa yang kami alami.

Aku, Mbak Tari dan Laras akan rebutan bercerita, sementara ibu dan ayah hanya mendengarkan. Sesekali mereka tertawa kalau kami bercerita sesuatu yang lucu.

Malam inipun begitu, minus Laras, yang memang sedang pergi keluar kota, aku, ayah, ibu, Mbak Tari, Mas Dito, suami Mbak Tari, dan Surya, - anak Mbak Tari dan Mas Dito yang baru berusia delapan tahun, - berkumpul dan saling bertukar cerita.

Mbak Tari lebih banyak bercerita tentang keseharian Surya di sekolah, tentang teman teman Surya, tentang makanan favorit Surya. Mbak Tari juga bercerita tentang beberapa tetangganya yang punya hobi ngerumpi dan selalu keppo dengan urusan orang lain.

Ayah bercerita tentang hobi mancingnya yang akhir akhir ini ia tekuni lagi setelah beberapa waktu yang lalu ayah malas melakukannya.

Ibu bercerita tentang beberapa resep baru yang sedang ia coba bikin tapi kebanyakan gagalnya daripada berhasilnya.

Aku bercerita tentang teman teman kerjaku yang lucu lucu, sedangkan Mas Dito bercerita tentang murid muridnya.

Seperti ayah, Mas Dito bekerja sebagai guru SMA. Hanya bedanya ayah sudah pensiun dan Mas Dito masih aktif mengajar.

Sambil ngobrol, ibu turut menyediakan kacang rebus, ubi rebus, singkong rebus dan wedang ronde untuk camilan kami.

Menjelang tengah malam, satu per satu tumbang karena mengantuk.

Ayah pamit untuk tidur lebih dulu, Mbak Tari juga pergi ke kamarnya untuk menidurkan Surya yang sudah terlelap. Mbak Tari juga pamit untuk tidur lebih dulu, sementara Mas Dito pulang ke rumah mereka di Kulon Progo, dan tidak menginap. Mas Dito akan datang lagi besok sore untuk merayakan ulang tahun ibu sekaligus menjemput Mbak Tari dan Surya pulang ke rumah mereka.

Kini tinggal aku berdua ibu.

Aku lalu memeluk ibu erat. “Aku kangen ibu.” Ujarku.

Ibu cuma tersenyum.

“Ibu belum ngantuk?” tanyaku.

“Belum, sebentar lagi ibu tidur.”

“Aku juga.”

“Bagaimana kabar Mas Bima Ki?”

“Baik, Mas Bima baik.”

“Syukurlah,” sahut ibu. “Kalau Mas Bima tidak ada di Jakarta, dulu ibu tidak akan mengijinkan kamu pergi ke Jakarta untuk kuliah. Berhubung Mas Bima sanggup untuk memperhatikan dan menjagamu disana, ibu jadi setuju.”

“Ya,” aku tersenyum menatap ibu.

“Usaha cafenya bagaimana?”

“Sukses Bu, banyak langganan yang selalu datang ke cafe Mas Bima.”

Lalu kami sama sama terdiam.

“Bu,”

“Hm,”

“Laras apa kabar?”

“Besok kan Laras pulang, kamu ketemu Laras besok, Laras baik baik saja.”

“Maksudku tentang rencana pernikahannya.”

Ibu hanya menghela nafas.

“Aku ikhlas kok Laras menikah lebih dulu, ibu jangan mengkhawatirkan aku.”

“Benar kamu ikhlas?” tanya ibu.

“Iya Ibu, kan dari dulu aku sudah bilang ke ibu.”

Kami terdiam lagi.

“Sebenarnya idealnya itu, kamu menikah lebih dulu dari Laras, Kiara.”

“Idealnya memang begitu Ibu, tapi kalau jodoh Laras datang lebih dulu, aku harus bagaimana dong.”

“Masa sih di Jakarta yang segitu luasnya tidak ada satupun pria yang kamu sukai?”

Aku langsung tertawa mendengar pertanyaan ibu. Ada sih bu satu, ujarku dalam hati, namanya Devano, dia lucu, tampan, ngangenin, tapi dia bukan untukku…

“Kenapa tertawa?” tanya ibu, “memang pertanyaan ibu lucu?”

“Tidak, tidak lucu, tapi ibu benar. Harusnya ada yang aku sukai. Pulang dari sini, aku akan berusaha lebih keras Bu, untuk dapetin pacar.”

“Kamu tuh, bercanda saja kerjaannya.”

“Tidak bu, tidak bercanda, aku akan berusaha, sungguh.”

“Ya sudah, kalau kamu tidak apa apa. Ibu setuju Laras menikah lebih dulu dari kamu.”

“Sungguh?” teriakku tak percaya.

Ibu mengangguk.

“Terima kasih ibu. Ibu tahu nggak, jawaban ibu ini bikin aku lega.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Ya, karena aku tidak punya kewajiban menikah cepat cepat dengan orang yang tidak aku cintai.”

“Ya jangan Kiara. Siapa juga yang menyuruh kamu menikah dengan orang yang tidak kamu cintai. Menikahlah dengan orang yang kamu sayangi, yang mampu membuat kamu bahagia, yang membuat kamu semangat dalam menjalani hari harimu bersamanya.”

“Iya, ibu benar. Makasih sekali lagi Bu, aku sayang ibu.”

“Ibu juga sayang padamu.”

~ ~ ~

POV Kiara

Perayaan ulang tahun ibu, walau dirayakan secara sederhana, tapi sangat berkesan untukku.

Karena pada hari itu pula, Mas Arya, pacar Laras, meminta restu pada ayah dan ibuku untuk menikahi Laras.

Laras sendiri langsung memelukku dengan gembira dan mengucapkan terima kasih.

Aku hanya bilang pada Laras agar ia jangan mendesakku lagi dan Laras langsung tertawa.

Well, paling tidak, kepulanganku ke rumah kali ini membuahkan sesuatu yang manis.

Aku bahagia kalau melihat Laras bahagia.

~ ~ ~



POV Author

Wina baru mau memesan kopi secara online saat ketukan di pintu ruang kerjanya terdengar.

Hari Senin pagi ini banyak pekerjaan yang harus Wina lakukan sehingga ia tak sempat sarapan dan bikin kopi.

“Ya, masuk.” Ujar Wina saat ketukan pintu terdengar lagi.

Mas Andra masuk ke ruang kerja Wina sambil menenteng dua gelaskopi dan satu kotak donat ukuran sedang.

Oh My God, donat! Aku mau donat, aku lapar.”

Mas Andra tersenyum dan memberikan dus donat yang dipegangnya pada Wina. Wina langsung mengambil donat satu dan mengunyahnya.

“Boleh minta kopinya juga?” tanya Wina.

Mas Andra kembali tersenyum, “silahkan.” Ujar Mas Andra sambil menaruh dua gelas kopi itu di atas meja kerja Wina.

Wina langsung mengambil satu gelas dan meminum kopinya. Lalu ia menaruh kopinya lagi.

“Aku belum sarapan, aku lapar sekali.” Ujar Wina sambil mengunyah donatnya lagi.

“Ya,” ujar Mas Andra, “makannya pelan pelan, nanti keselek.”

Wina tertawa, “aku tahu donat dan kopi ini untuk sarapan Kiara, tapi Kiara tidak masuk kerja hari ini.”

“Ya, barusan aku mengetuk ruang kerjanya, tapi tidak ada jawaban. Kenapa Kiara tidak kerja hari ini?”

“Pulang kampung untuk merayakan ulang tahun ibunya. Memang Kiara tidak memberi tahu Mas Andra?”

Mas Andra menggeleng.

“Duduk Mas, pegel tahu berdiri terus kayak gitu.”

“Tapi aku mau langsung pulang.”

“Duduk dulu kenapa sih. Senin pagi begini jalanan macet. Mas Andra bawa mobil?”

“Motor.”

“Sama, naik motor juga macet.”

“Tidak ah, naik motor bisa lewat jalan tikus.”

“Mau jalan tikus, jalan kucing, jalan kelinci, tetap macet.”

Mas Andra lalu duduk di hadapan Wina.

“Diminum kopinya Mas, mumpung masih hangat.”

“Terima kasih,” Mas Andra lalu meminum kopi yang ia bawa.

“Sama sama.” Wina tersenyum, “lain kali kalau mau datang ke sini dan bertemu Kiara, telepon aku dulu, nanti aku beritahu Kiaranya ada atau tidak.”

“Aku cuma sekalian mampir.”

It’s Ok.”

“Aku sudah duduk, sekarang aku harus ngapain?” tanya Mas Andra.

“Ngeliatin aku kerja.” Jawab Wina. “Ya dimakanlah donatnya, kita sarapan bareng.”

Mas Andra hanya melihat donat yang ia bawa tanpa mengambilnya.

“Jadi, Mas Andra yang ganteng, jawaban Kiara hari Jum’at malam kemarin apa?”

“Aku tahu,, pasti ada sesuatu yang ingin kau tanyakan.” Ujar Mas Andra langsung, “hingga kau memintaku duduk manis seperti ini.”

“Masalahnya, Kiara tidak mau cerita apa apa padaku.”

“O, ya? Kau kan teman dekatnya. Tidak mungkin Kiara tidak cerita.”

“Itu dia yang bikin aneh. Kiara seolah olah tidak percaya pada teman dekatnya sendiri.”

“Mungkin karena teman dekatnya suka menyebar gosip yang tidak tidak tentang dirinya.”

“Mungkin,” sahut Wina, “ayolah Mas Andra, cerita padaku.”

Mas Andra diam.

“Begini saja,” ujar Wina sambil mengambil kertas dan mengguntingnya. “Mas Andra tidak usah menjawab, Mas Andra tinggal mengambil kertas yang kugunting, bentuk love kalau jawaban Kiara kemarin yes, dan bentuk kotak, kalau jawaban Kiara kemarin tidak.”

Wina masih terus asik menggunting, hingga guntingannya selesai, lalu ia menaruh guntingan kertas itu di hadapan Mas Andra.

Mas Andra hanya memandangi kertas itu tanpa mengambilnya.

Wina masih menunggu, tapi setelah beberapa saat Mas Andra diam, Wina akhirnya menghela nafas kesal.

“Ya sudah deh, Mas pulang saja, aku banyak kerjaan, tapi terima kasih donat dan kopinya.”

Mas Andra tiba tiba mengambil kertas berbentuk love membuat Wina terkejut.

“Diterima?” teriak Wina tak percaya.

Mas Andra tersenyum, lalu merobek kertas berbentuk love itu.
“Kiara menolakku.”

I’m so sorry.”

“Tidak apa apa. Mungkin ini yang terbaik untuk semuanya. Aku juga tidak mau memaksakan sesuatu yang nantinya aku sesali.”

“Maksudnya?” tanya Wina, “pagi pagi begini, aku suka agak error, jadi suka telmi. Maksudnya apa?”

“Katakanlah Kiara menerimaku, tapi menerimaku karena terpaksa dan tidak sepenuh hati, - karena Kiara bilang padaku kalau ia menyayangiku seperti ia menyayangi Mas Bima - Lalu Kiara tidak bahagia hidup denganku, kurasa itu akan lebih menyakitkan dari penolakannya saat ini. Itu yang aku maksud mungkin ini yang terbaik untuk semuanya.”

“Kalau aku, aku akan bahagia hidup denganmu Mas Andra.”

“Wina, jangan ngaco, jangan mengalihkan pembicaraan.”

“Aku serius, aku menyukaimu Mas Andra, kalau Mas Andra melamarku saat ini, aku akan bilang iya.”

“Itu kopi yang aku bawa tidak mengandung alkohol loh, kenapa kamu jadi mabuk seperti ini?”

“Atau aku yang melamar Mas Andra saja gimana?” tanya Wina tanpa memperdulikan kata kata Mas Andra.

“Tidak, aku akan menolaknya, aku lagi patah hati sekarang. Aku belum mau bicara soal pernikahan lagi.”

It’s ok. Aku akan mencobanya lagi lain waktu.” Wina tersenyum, “aku akan sabar menunggu Mas Andra, sampai Mas Andra mau membukakan pintu hati Mas Andra untukku.”

~ ~ ~

POV Author

Setelah Mas Andra pergi, Wina langsung menelepon Kiara, “Jadi kamu menolak Mas Andra?” tanya Wina langsung saat Kiara menjawab panggilan teleponnya.

“Kamu tahu darimana sih?” Kiara heran. “Aku kan belum cerita apa apa.”

“Bukan Wina namanya kalau hal seperti ini tidak tahu. Jadi kamu mendengarkan apa kata hatimu seperti yang kusarankan?”

“Ya,” jawab Kiara pelan, “ini tidak adil buat Mas Andra. Mas Andra orangnya sangat baik, ia layak mendapatkan seseorang yang menyayanginya dengan tulus. Mungkin sekarang Mas Andra merasa terluka dengan penolakan ini, tapi suatu saat nanti, saat ia benar benar bertemu dengan orang yang sangat sayang padanya dengan sepenuh jiwa raganya dan juga yang ia sayangi, ia akan berterima kasih padaku.”

“Mudah mudahan Ki,” sahut Wina, “ini hanya masalah waktu, waktu nanti akan menyembuhkan luka hatinya.”

~ ~ ~

POV Author

Wina menulis sesuatu di selembar kertas. Ia lalu keluar dari ruangannya dan pergi ke GC Cosmetics untuk bertemu Dev. Tapi kata Donna, - sekretaris Dev -, Dev sedang rapat.

“Rapatnya dimana?” tanya Wina.

“Di ruang rapat di sebelah sini.”

“Ok,” Wina lalu berjalan ke arah ruang rapat yang ditunjuk Donna.

“Anda mau apa Ibu Wina?” tanya Donna khawatir

“Bertemu Pak Devano sebentar saja.”

“Iya, tapi..”

Kata kata Donna terhenti karena wina sudah masuk ke ruangan rapat.

Semua orang disana memandang Wina heran.

“Selamat pagi semuanya, saya ada perlu dengan Pak Devano sebentar.”

Dev berdiri dari duduknya, “ada apa Wina?”

“Bisa kita bicara diluar sebentar?” tanya Wina.

“Ok.” Dev mengambil HPnya lalu pamit pada orang orang di ruang rapat tersebut untuk pergi sebentar.

Setelah diluar ruang rapat, Wina langsung memberikan kertas yang dibawanya.

“Ini alamat Kiara di Yogya. Kiara saat ini sedang pulang ke rumah orangtuanya di Yogya. Datanglah padanya Pak Devano, nyatakan perasaan Anda padanya. Aku tahu Anda menderita karena mencintai Kiara tapi tidak bisa menyatakan perasaan Anda.”

“Wina, ini hari Senin pagi, aku sedang rapat dan kau bicara tentang perasaanku?” Dev memperhatikan keadaan disekelilingnya, “di hadapan Donna? Kau membicarakan perasaanku di hadapan Donna?”

“Pak Devano, Kiara menolak lamaran Mas Andra. Kiara mencintaimu.”

“Oh my..” Dev nampak berpikir sejenak, “Donna, bilang Ibu Clara agar memimpin rapat pagi ini dan bilang pada Lucy untuk memesankan tiket pesawat untukku.”

“Iya, Pak Devano.” Jawab Donna.

“Terima kasih Wina,” ujar Dev pada Wina, “aku pergi sekarang.”

“Iya Pak Devano, semoga berhasil.”

~ ~ ~

POV Author

Kiara memperhatikan anak anak yang sedang main ayunan sambil tersenyum. Ia ingat saat kecil dulu ia suka main ayunan disana.

Kiara sore ini sedang berada di taman bermain anak yang terletak tidak jauh dari rumahnya.

Sebelum pulang ke Jakarta besok, Kiara ingin bernostalgia dengan tempat tempat yang sering ia kunjungi dulu.

Seorang anak kecil sedang menendang bola dan bola itu menghampiri Kiara. Kiara langsung berjongkok untuk memungut bola tersebut, tapi saat Kiara berdiri Dev sudah berada di hadapannya.

Kiara benar benar terkejut dengan kehadiran Dev di sana, ia merasa ia terlalu memikirkan Dev sehingga ia seperti sedang melihat Dev. Tapi itu bukan bayangan atau apapun. Itu benar benar Dev.

“Dev?” tanya Kiara heran. “Kenapa kamu ada disini?”

“Karena aku merindukanmu.”

Kiara tersenyum menatap Dev, akupun sangat merindukanmu, ujar Kiara dalam hati.

“Tahu darimana aku disini?” tanya Kiara lagi.

“Dari ibumu. Ibumu memberitahu kalau kau sedang pergi ke taman ini.”

“Dan tahu dari mana alamat rumah ibuku?”

“Wina yang memberikan.” Dev tersenyum, “Kiara,”

“Ya?”

“Boleh aku memelukmu?”

“Ya.”

Devpun langsung memeluk Kiara dengan erat. Ia menumpahkan semua kerinduannya pada Kiara, “I love you, Kiara,” ujar Dev.

Dev lalu melepaskan pelukannya dan menatap Kiara sambil tersenyum. “Be my baby please, maukah kau jadi pacarku?”

Kiara tertawa bahagia, “Ya, Dev, aku mau.”


~ ~ ~


POV Author

Malam ini Dev melakukan video call dengan Tante Audrey. Tante Audrey sudah mau tidur saat Dev meneleponnya.

“Mama, tebak aku ada dimana.” Ujar Dev.

“Mama sudah mau tidur Dev, mama tidak mau main tebak tebakan malam malam begini.”

“Yogya! Aku sedang ada di Yogya!” Ujar Dev.

“Ngapain kamu ke Yogya?”

“Bertemu pacarku.”

“Bertemu pacar?” teriak Tante Audrey tak percaya.

“Iya, aku sudah move on Ma. Aku sudah punya pacar baru sekarang.”

“Cepat amat move onnya Dev.”

“Mama gimana sih, aku nggak punya pacar Mama sedih terus, aku move on dibilang move on nya cepat.”

Tante Audrey tertawa, “ya sudah kalau begitu, Mama ikut senang, Mama tidur dulu ya Dev, Mama ngantuk.”

“Ma, Mama tidak mau berkenalan dengan pacar baruku?”

“Kapan kapan saja Dev.”

“Pacarku sedang berada disampingku sekarang loh Ma.”

“Iya tapi…”

“Selamat malam Tante.” Kiara tersenyum sambil menyapa Tante Audrey.

“Kiara!” seru tante Audrey kaget, “kau pacar Dev sekarang?”

“Ya.” Jawab Kiara.

“Tapi menurut Mas Bima kau akan menikah dengan Mas Andra, tante tidak mengerti.”

“Ma, nanti aku jelaskan semuanya saat aku pulang, ok?” ujar Dev, “sekarang mama tidur dulu, istirahat dulu, selamat malam Mama.”

“Tapi..”

Suara tante Audrey terputus karena Dev terlanjur mematikan HPnya.

~ ~ ~

POV Kiara

Tiga Bulan kemudian…

Pernikahan Laras dan Arya berjalan lancar dan cukup meriah. Pernikahan mereka diselenggarakan di sebuah gedung, di Yogyakarta sini.

Saudara saudaraku dari ayah dan saudara saudaraku dari ibu hadir semuanya. Kami jadi bisa ngobrol dan temu kangen. Mas Bima dan Mbak Ve juga turut datang. Tia tidak ikut karena sedang ada ujian semester.
Dan Dev, pastinya turut mendampingiku di pernikahan Laras ini.

Buklik aku, buklik Yayuk - yang dulu sering meributkan kapan aku menikah - sangat menyukai Dev. Tiap kali bertemu denganku, buklik selalu bilang ‘pacarmu kok ganteng banget sih Ki, buklik tidak bosan melihatnya’, dan aku hanya bisa tertawa.

Aku turut mengundang keluarga Dev ke pernikahan ini. Mama Dev, Papa Dev, dan Dinda, turut hadir disini.

Aku juga mengundang tante Jennie, tapi sayangnya, tante Jennie tidak bisa hadir.

Dan, pastinya, aku mengundang Wina, sahabat terbaikku.

Tebak Wina datang bersama siapa?! Sebastian Anggoro! Model pria yang sedang digandrungi remaja remaja puteri saat ini. Model eksklusif yang merupakan brand Ambassador dari GC Cosmetics. Wina dan Sebastian sekarang pacaran.

Aku tidak mengerti Wina, sungguh. Wina bilang ia sangat mencintai Mas Andra, tapi ia nembak Sebastian untuk pacaran dengannya.

Tapi terserahlah, itu hidup Wina. Wina yang menjalaninya.

~ ~ ~







POV Kiara

Satu tahun setelah pernikahan Laras

Aku saat ini duduk di ruang keluarga tante Audrey, ups, maksudku Mama Audrey. Dev duduk disampingku. Ia memeluk tubuhku. Di hadapan aku dan Dev, Mama Audrey dan tante Jennie sedang sibuk menulis daftar undangan, tentang siapa saja yang akan mereka undang ke acara pernikahan aku dan Dev.

Sejak Dev melamarku bulan lalu dan aku menerima lamaran Dev, tante Audrey langsung memintaku untuk memanggilnya Mama Audrey. Dan sejak itu pula Mama Audrey dan tante Jennie sibuk mempersiapkan pernikahan kami.

Dev kini mengambil sebuah daftar nama undangan yang sudah ditulis tante Jennie.

“Bapak Samuel dari PT. Jaya sentosa itu siapa ya Tante?” tanya Dev, “rasanya aku tidak kenal.”

“Oh, itu rekan bisnis suamiku.” Jawab tante Jennie.

“Rekan bisnis suami tante?” tanya Dev, “tapi tidak ada hubungannya dengan aku dan Kiara kan?”

“Devano, kamu itu sudah seperti anak sendiri bagi tante, jadi pernikahanmu itu, seperti pernikahan anak tante.”

“Oh, jadi rekan bisnis Om dan tante juga jadi kenalan aku juga?” tanya Dev.

“Iya.” Jawab Tante Jennie.

“Kiara, darling, listmu, mau ditambah?” tanya Mama Audrey padaku, “siapa tahu ada yang lupa yang tidak kau undang?”

“Tidak Ma, temanku tidak banyak, itu saja,” jawabku.

“Dev,” Mama Audrey bertanya pada Dev, “kau bagaimana?”

“Ehm, begini saja, teman Mama, teman Papa, teman Dinda, teman tante Jennie, semua kenalanku. Jadi undang mereka semua.” Ujar Dev.

Aku langsung tertawa mendengar kata kata Dev.

Really?”tanyaku pada Dev.

“Ya.” Dev menatapku sambil tersenyum, “Ma,” ujar Dev pada Mama Audrey, “aku dan Kiara makan siang diluar dulu ya?”

“Tidak, Bi Surti sudah masak yang enak, mubajir nanti kalau tidak dimakan.”

“Baiklah, kalau begitu aku dan Kiara minum kopi diluar setelah makan siang nanti.”

“Dirumah kopi banyak Dev.” Ujar Mama Audrey lagi. “Kiara tidak boleh kemana mana hari ini, sebentar lagi perancang gaun pengantin Kiara akan datang dan tubuh Kiara akan diukur.”

“Terus aku punya waktu berdua Kiaranya kapan Kalau tiap akhir pekan Mama menguasai Kiara seperti ini?”

“Nanti kalau semua urusan pernikahan sudah beres!”

~ ~ ~
POV Kiara

Aku tersenyum bahagia. This is my big day. Hari bersejarah dalam hidupku, karena pada hari ini, aku resmi menjadi isteri dari seorang Devano Adinegoro.

Dev, cintaku, belahan jiwaku.

Satu fase kehidupan sudah kulewati, fase sebagai Kiara yang lajang, mandiri, yang semua keputusan dalam hidup hanya aku yang menentukan.

Fase berikutnya, aku sudah tidak sendiri lagi. Ada Dev disisiku, yang selalu siap mendampingiku kapan saja dan dimana saja dan membantuku dalam hal apapun yang aku butuhkan. Berbagi cerita, berbagi suka dan berbagi duka secara bersama sama.

Ibu benar, menikah dengan seseorang yang kau sayangi, kau akan bersemangat dalam menjalani hari harimu bersamanya, kau tidak akan merasa bosan dalam menjalani hari demi hari.

Teman temanku dari D & D Advertising datang semua ke pernikahanku.

Mas Henry datang bersama Mbak Silvy dan putera mereka.

Farrell datang bersama pacarnya, yang menurut Farrell adalah teman kuliahnya dulu.

Vian datang bersama tunangannya.

Iwan datang bersama Della. Iwan dan Della sekarang berpacaran.

Mia datang bersama Sebastian.

Menurut Wina, ia dan sebastian selama ini hanya pura pura pacaran. Wina senang saja melakukan itu, ia senang membuat para wanita iri padanya karena punya pacar yang jadi idola seperti Sebastian.

Masih menurut Wina, Sebastian ternyata sangat menyukai Mia, sehingga Sebastian meminta Mia jadi pacarnya.

Dan, Wina, pada resepsi pernikahanku ini datang bersama… Mas Andra.

Salah satu alasan kenapa Wina pura pura pacaran dengan Sebastian adalah ingin membuat Mas Andra cemburu. Dan Wina berhasil. Mas Andra ternyata cemburu pada Sebastian, dan akhirnya mau menerima Wina sebagai pacarnya, karena Wina yang nembak Mas Andra duluan.

Aku merasa senang karena sepertinya Mas Andra sudah bisa move on dari aku.
~ ~ ~


POV Author

Dua tahun sejak pernikahan Kiara …

Kiara membaca undangan yang diberikan Wina padanya  sambil tersenyum. Ia sekarang berada di ruang tamu apartemennya dan apartemen Dev.

Sejak menikah, Kiara memutuskan untuk tinggal di apartemen Dev dan tidak tinggal dirumah keluarga besar Adinegoro atau membeli rumah baru.

Di apartemen Dev, ia melakukan beberapa perubahan. Ia memisahkan ruang tamu dengan ruang TV/ruang keluarga dengan penyekat. Ia juga merubah kamar tidur tamu menjadi kamar tidur Rio, putra pertamanya yang kini berusia 1 tahun. Dan karena hanya ada dua kamar tidur disana, maka tidak ada lagi kamar tamu.

Nenek dan kakek Rio di Yogya kalau datang ke Jakarta untuk menjenguk Rio, akan tidur di kamar Rio. Sementara Nenek Audrey kalau kangen pada Rio akan ‘menculik’ Rio dan membawanya kerumahnya, sampai Dev datang ke rumah nenek Audrey dan membawa Rio kembali pulang.

Kini, Rio sedang tertidur pulas dalam pelukan Dev, yang sedang duduk disamping Kiara.

“Anakmu tampan, Kiara.” ujar Wina sambil tersenyum memperhatikan Rio. Wina duduk di hadapan Kiara dan Dev. Ia malam ini sedang berkunjung ke apartemen Kiara dan Dev untuk memberikan undangan pernikahannya. “Tapi Rio tidak mirip dirimu Kiara.”

“Masa sih,” Kiara tertawa, “yang benar?”

“Iya.”

“Berarti mirip aku dong?” ujar Dev.

“Hmm.. sedikit, dia lebih mirip nenek Audrey.”

“Wah Mama akan senang kalau kau bilang begitu.” Dev tertawa.

“Benarkah nenek Audrey sering ‘menculik’ Rio Dev?” tanya Wina pada Dev.

“Aku kerja, Kiara kerja, disini Rio hanya berdua babysitternya. Ya, Mama sering datang kesini dan membawa Rio ke rumah Mama.”

“Tadinya Mama Audrey ngotot agar kami tinggal di Menteng, Win.” Ujar Kiara, “tepatnya sejak kami menikah. Tapi ya bagaimana ya, aku dan Dev kan ingin mandiri, apalagi sebelum menikah, Dev sudah tidak tinggal dengan orangtuanya.”

“Iya sih, lagi pula Menteng - Senayan kan jaraknya dekat, Nenek Audrey bisa nengok cucunya kapan saja.”

“Ngomong ngomong, undangan ini,” Kiara kembali tersenyum, “sudah aku prediksikan. Selamat ya Wina. Akhirnya.”

“Akhirnya.” Wina ikut tersenyum.

“Ini, Mas Andra yang melamarmu, atau kau yang melamarnya?” tanya Kiara, “kau kan punya hobi nembak cowok.”

“Mas Andra dong yang melamarku,” senyum Wina semakin lebar, “ngomong ngomong Ki, Mas Andra tidak bisa menemaniku ke sini malam ini karena harus menjemput kedua orangtuanya di Blitar. Kami akan mengadakan pertemuan keluarga di Jakarta sini.”

Good Luck Wina untuk semuanya, semoga acaranya berlangsung sukses dan tidak ada kendala apapun.” Ujar Dev.

“Terima kasih.” Wina tersenyum dan berdiri dari duduknya. “Aku harus pulang sekarang. Besok kita bekerja lagi.”

“Ya,” Kiara tersenyum. Ia lalu mengantar Wina sampai pintu dan memeluknya sebelum Wina pergi meninggalkan apartemen sahabatnya.

Setelah Wina pergi, Kiara kembali duduk disamping Dev.

“Biar aku tidurkan Rio di kamar, Pak,” Lastri, babysitter Rio, menghampiri Dev dan mengambil Rio dari pelukan Dev.

“Terima kasih,” ujar Dev sambil memberikan Rio pada Lastri. Lastri segera memeluk dan menggendong Rio ke kamar.

So,” Dev kini memeluk Kiara dengan perasaan sayang, “kita akan menonton film apa malam ini?”

“Aku tidak ingin menonton film apapun, aku hanya ingin memelukmu seperti ini.” Ujar Kiara.

Dev tertawa, ia memeluk Kiara makin erat.


~ the end ~


Terima kasih sudah membaca, jangan pada baper ya, heuheu. Sampai berjumpa dengan cerita selanjutnya!