Friday, March 23, 2018

Be With You (The Series) Serie Keempat : CASEY

Be With You
By. A. Rafianti

Serie Keempat : CASEY

Catatan:

Cerita Be With You adalah cerita fiksi. 

Be with you serie pertama (Katherine) lokasi bukan karangan, tapi ada di peta.

Sementara cerita Be With You serie kedua hingga keempat (Bianca, Sandra dan Casey) lokasi ceritanya yaitu kerajaan Fillmore Green tidak ada di peta hehe alias fiksi fantasy.

Jika dalam cerita Be With You serie keempat ini ada kesamaan nama dan peristiwa, itu hanya kebetulan saja.

Sebelum membaca Be With You serie keempat (Casey) ada baiknya membaca serie sebelumnya (Bianca dan Sandra) untuk lebih memahami cerita yang disampaikan.

Selamat membaca.


BAB SATU

Minggu pagi yang cerah, Casey tampak sibuk memindahkan barangnya dari lantai bawah rumah kontrakannya ke lantai atas rumah kontrakannya. Casey berniat menempati kamar Sandra.

Sandra kemarin sudah mengepak barang barangnya dan membawanya ke rumah barunya sehingga kamar Sandra jadi kosong.

Setelah kosong itulah, Casey baru pindah. Tadinya Casey ingin mengecat kamar Sandra terlebih dahulu, tapi cat di kamar Sandra masih terlihat baru sehingga Casey tidak jadi mengecatnya.

Yang menempati kamar Casey sekarang adalah teman Ivanka. Namanya Carol. Sama dengan Ivanka, Carol bekerja sebagai Public Relations di sebuah perusahaan Public Relations yang besar di Hall of City.

Matthew tidak bisa membantu Casey hari ini karena ada pekerjaan sehingga Philip yang membantunya.

Kamar yang disewakan di rumah Philip masing masing dilengkapi oleh tempat tidur, lemari dan seperangkat kursi dan meja, sehingga Casey hanya tinggal membawa baju bajunya dan barang barangnya yang lain dan tidak perlu memindahkan tempat tidur segala.

“Terima kasih Philip sudah membawakan barang barangku.” Ujar Casey sambil tersenyum.

“Sama sama Casey.”

“Nanti kau kutraktir deh.”

“Asik, aku suka ditraktir.”

“Ngomong ngomong pacarmu tidak kau ajak main ke sini?”

“Pacarku?”

“Ya, yang kau bawa ke pernikahan Sandra kemarin.”

“Oh, dia hanya temanku, bukan pacarku, namanya Diona.”

“Dia cantik loh.”

“Yah, tapi kami cuma berteman.”

“Kau yakin?”

“Yup.”

“Mau kuatur kencan dengan temanku Viola? Ia masih sendiri sama sepertimu.”

“Jangan mulai Casey, aku baik baik saja.”

“Baiklah.”

“Aku ke kamarku sekarang ya? Semua barangmu sudah ada di atas sini kan?” tanya Philip.

“Sudah.”

“Baiklah. Kapan teman Ivanka akan pindah ke kamarmu?”

“Kata Ivanka minggu depan.”

“Oke, nanti kamarnya aku bersihkan.”

“Tidak usah Philip, biar aku saja, biar aku yang menyapu dan mengepelnya.”

“Oke, thanks, Case.”

“Sama sama. Jangan lupa makan siang nanti kau kutraktir.”

“Oke.”

Setelah Philip pergi Casey menutup pintu dan mulai merapikan barang barangnya.


~
~

“Jadi aku harus menemukan ayah Casey tanpa petunjuk apapun?” tanya John ke arah Sandra saat Sandra datang ke kantor John setelah pulang dari berbulan madu.

“Ya, itu tugasmu mencari tahu, katanya kau detektif handal.”

“Ayah dan ibu Casey menikah?”

“Sepertinya tidak, Ibu Casey mengandung dan melahirkan Casey tanpa didampingi ayah Casey. Ibu Casey juga tidak pernah mau bercerita pada kakaknya, yaitu Tante Casey tentang siapa ayah Casey, jadi tidak ada yang tahu siapa ayah Casey sebenarnya.”

“Wah ini berat.”

“Ya, memang. Ayolah, katanya kau suka tantangan.”

“Aku tak mengerti dirimu Sandra, kenapa kau mau mengeluarkan uang banyak untuk mencari tahu tentang siapa ayah Casey dan dimana keberadaannya. Kalau ibu dari suami Anda okelah, Suami Anda kan orang terdekat dengan Anda. Tapi Casey?”

“Casey juga orang terdekatku. Ia sahabatku. Aku berharap hubungan Casey dan Matthew berlanjut hingga mereka menikah nanti.”

“Kalau tidak berlanjut hingga ke pernikahan, berarti Anda sudah mengeluarkan uang secara sia sia.”

“Ya tidak sia sia juga John. Kalau Ayah Casey sudah ketemu, tidak sia sia. Karena Casey jadi tahu siapa ayahnya.”

“Kalau waktu yang kuperlukan lama bagaimana? Karena aku tidak merasa yakin aku bisa memecahkan kasus ini.”

“Tidak apa apa, waktunya lumayan lama juga, yang penting kau mengerjakan tugasmu dengan sungguh sungguh.”

“Oke kalau begitu, aku siap membantumu.”

“Terima kasih.”

“Sama sama Mrs. Maxmillian.”

~ ~

“Jadi semuanya sudah rapi? Kamarmu tidak berantakan lagi? Bantuanku tidak kau perlukan?” tanya Matthew sambil memeluk Casey.

Matthew dan Casey duduk di sebuah sofa di balkon tempat Sandra dan Casey biasa duduk duduk di sana.

“Untuk saat ini tidak, tapi lain kali aku mungkin akan perlu bantuanmu.”

“Baiklah kalau begitu, aku siap membantumu kapan saja.”

“Tentu,” Casey tersenyum, “bagaimana pemotretannya tadi, apa berjalan lancar?”

“Ada beberapa kendala tapi bisa kuatasi.”

“Kendala apa Matt?”

“Aku harus difoto dengan tubuh basah seperti tertimpa air hujan begitu, jadi pastinya air hujan bohongan terus terusan diguyurkan pada tubuhku sehingga aku kedinginan. Itu kendalanya. AKU KEDINGINAN.”

“Ya Tuhan, kasihan sekali. Sini kupeluk biar tidak dingin lagi.”

“GOL!” Philip berteriak keras. Philip duduk tidak jauh dari sofa yang Casey dan Matthew duduki.

“Philip, bisakah kau main game online-nya di kamarmu saja?” tanya Matthew kesal ke arah Philip.

“Tidak mau, aku bosan di kamar terus.”

“Bagaimana kalau di ruang televisi di ruang dalam sana?”

Philip memperhatikan ruang televisi sekilas, “tidak ah, malam ini udaranya sedang hangat, aku betah duduk diluar sini.”

“Bagaimana kalau...”

“Bagaimana kalau kau dan Casey saja yang tidak duduk di balkon sini malam ini, bagaimana?” potong Philip kesal.

“Bagaimana kalau Casey keluar saja dari rumahmu sekarang juga dan tidak menyewa kamar dirumahmu lagi?”

“Tidak masalah, Casey keluar juga rumahku tetap laku, masih banyak yang antri yang mau menyewa kamar dirumahku.”

“Ini apa sih!” teriak Casey kesal, “aku tidak mau keluar dari sini, aku betah disini.”

“Tapi pemilik rumahnya gila Casey, dia tidak mau mengalah pada penyewa rumah, bagaimana mungkin ada pemilik rumah seperti itu?”

“Dia tidak gila, dia cuma sedang bersedih,” komentar Casey.

“Sedih?” tanya Philip kesal. “Aku sedih?”

“Ya, kau sedih karena pernikahan Sandra, kau patah hati.” Ujar Casey.

“Ya ampun Philip, masih banyak Sandra Sandra lainnya.” Seru Matthew.

“Tidak, Sandra Ricardo cuma satu. Dia tak tergantikan.”

“Yaelah, seperti judul lagu saja TAK TERGANTIKAN.” Sahut Matthew, “bagaimana kalau kau kukenalkan pada salah satu teman model wanitaku yang sangat cantik.”

“Tidak, terima kasih.”

“Aku juga mau mengenalkan dia pada Viola,” ujar Casey, “tapi dia tak mau.”

“O, ya?”

“Ya. Padahal Viola juga orangnya lucu seperti Sandra.”

“Bisakah kalian mengurus diri kalian sendiri saja dan tidak mengurusiku?” tanya Philip sambil matanya tidak lepas dari layar tablet yang dipegangnya.

“Sebaiknya kita biarkan dia,” usul Casey pada Matthew.

“Aku setuju.”

“Kau lapar?” tanya Casey sambil berdiri.

“Tidak begitu sih.”

“Tidak apa apa. Ayo aku bikinkan sup hangat, biar tubuhmu terasa hangat.”

~ ~

Casey baru pulang kerja saat melihat Sandra sedang sibuk mengisi kulkas dengan buah buahan dan sayuran.

“Sandra, apa yang kau lakukan disini?” tanya Casey heran. “Kau tidak tinggal di sini lagi, kau tidak harus menyetok isi kulkas seperti yang biasa kau lakukan dulu.”

Sandra tersenyum, “ini sudah jadi kebiasaan.”

Casey mengambil sebutir apel dan menggigitnya. “Iya, sih, ngomong ngomong terima kasih untuk buah dan sayurannya.”

“Sama sama.”

“Kamarku sudah rapi sekarang. Mau lihat?”

“Oke.” Sandra mencuci tangannya dulu sebelum mengikuti Casey ke lantai atas.

“Tada,” teriak Casey setelah membuka pintu kamarnya. “Asik kan?”

“Asik sekali. Aku jadi sedih. Kamar ini banyak sekali kenangannya.”

“Tidak Sandra, kau tidak sedih, kau bahagia, kau sekarang bersama sama dengan orang yang kau cintai.”

“Kau benar.” Sandra tertawa. “Dan itu tidak bisa digantikan oleh apapun.”

“Suamimu sedang kerja?”

“Ya, dia sedang ke Giltown City, diundang salah satu kliennya menghadiri peresmian gedung yang dibangun oleh perusahaan konstruksinya. Mungkin pulang malam, jadi aku kesini untuk menghabiskan waktu.”

“Baiklah, santai saja di sini. Aku mandi dulu ya, setelah itu kita lihat nanti aku mau masak apa, lalu kita makan malam bersama.”

“Oke.”

Sambil menunggu Casey mandi,  Sandra tiduran di kasur Casey yang sebelumnya adalah kasur yang sering ia tiduri.

Tidak lama Sandra tiduran, handphone Casey bunyi. Casey tidak mendengar handphonenya bunyi karena suara shower.

Sandra akhirnya meraih tas Casey untuk melihat siapa yang menelepon, dan saat dilihatnya, ternyata Matthew yang menelepon. Sandra langsung menerima panggilan Matthew.

Babe, Mr. Humberto lusa membatalkan pemotretan untuk iklan otomotif, katanya masih negosiasi harga. Aku libur sehari, kita bisa ke toko cokelat ibu. Kau ijin kerja setengah hari ya? Agar kita bisa pergi setelah makan siang.”

Hening, tidak  ada jawaban.

Babe?” tanya Matthew lagi.

“Siapa Mr. Humberto?” tanya Sandra.

“Sandra?” teriak Matthew kaget. “Kenapa kau yang menerima handphone Casey. Casey mana?”

“Siapa Mr. Humberto?”

Matthew akhirnya menjelaskan semuanya.

“Kau tidak usah memberiku uang lagi Sandra," ujar Matthew setelah ia bercerita kenapa ia memutuskan untuk bekerja, "aku sudah bisa mencari uang sendiri. Dan kau jangan khawatir dengan kuliahku, kuliahku tidak terganggu dengan hal ini, aku janji.”

“Kau yakin?”

“Ya.”

“Entahlah, kupikir...”

“Sandra, begini, kau sudah menikah sekarang, kau sudah tidak perlu khawatir lagi padaku dan pada Aaron, oke? Kau punya kewajiban untuk mengurusi keluargamu. Biar Aaron jadi tanggunganku sekarang, biar aku yang membiayai Aaron kuliah dan...”

“Enak saja, aku tetap akan membiayai Aaron. Kau tabung saja uangmu. Baiklah aku tidak akan memberimu uang lagi tapi aku tetap membiayai Aaron kuliah.”

“Oke, setuju.”

“Dan aku akan kecewa kalau kau nanti tidak jadi pengacara seperti cita citamu, Matt.”

“Aku akan melamar pekerjaan di suatu firma hukum kalau aku sudah lulus Sandra. Sekarang sedang tahap akhir, aku harus mengikuti beberapa ujian lagi dan kuliahku selesai.”

“Baiklah.”

“Sekarang bisa aku bicara dengan Casey?”

“Casey sedang mandi, nanti kau telepon saja lagi.” Ujar Sandra sambil mengakhiri pembicaraan dengan Matthew.

“Siapa yang menelepon?” Casey heran saat keluar dari kamar mandi melihat handphonenya ada di atas tempat tidur. Seingat Casey ia belum mengeluarkan handphone dari tasnya.

“Matthew.”

“Matt bilang apa?” tanya Casey.

“Nanti dia meneleponmu lagi. Casey, aku tak percaya kau benar benar menjadikan Matthew seorang model.”

“Jadi kau sudah tahu?”

“Ya, Matt barusan cerita.”

“Matt punya potensi untuk itu Sandra, tubuhnya, wajahnya, mendukung untuk itu. Ia harus mengambil kesempatan yang ia punya dan tidak menyia nyiakannya, karena tidak semua orang punya kesempatan yang sama.”

“Tapi kuliahnya jadi terganggu Casey.”

“Tidak, tidak terganggu. Matt mengambil pekerjaan disela sela waktu senggangnya. Beberapa kali ia membatalkan pekerjaan karena harus menghadiri mata kuliah tertentu atau harus ujian. Pekerjaan ini tidak mengganggu kuliahnya Sandra.”

“Aku harap begitu.”

“Aku akan selalu mengingatkan Matt untuk tidak mengecewakanmu, aku janji.”

“Baiklah.”

“Terima kasih atas pengertianmu Sandra.”

“Ya.”

“Sekarang aku mau masak dulu, kau mau kubikinkan apa?”

“Apa saja. Masakanmu enak semua, aku menyukai semua masakanmu.”

“Oke kalau begitu,” Casey tersenyum menatap Sandra. “Ayo kita turun ke bawah.”

~



Hari rabu pagi yang cerah, Casey menenteng tasnya dengan semangat.  Ia baru turun dari bis untuk selanjutnya berjalan ke arah studio Luke.

Casey baru bikin roti bakar untuk sarapan. Ia bikin roti bakar agak banyak. Ia biasa membawa sarapan ke tempat kerja dan memakan sarapan yang ia bikin bersama teman temannya.

Kadang ia bikin pancake, kadang bikin omellete telur, dan hari ini bikin roti bakar dengan taburan keju yang banyak.

Sampai di tempat kerja, teman temannya belum datang, hanya Luke yang terlihat sedang minum kopi di teras halaman belakang. Luke tinggal di studio karena sejak studio ini dibangun, Luke mengkhususkan studio itu sebagai tempat bekerjanya dan tempat tinggalnya.

“Selamat pagi,” Casey tersenyum, “mau roti bakar?”

“Tentu.” Luke balas tersenyum, “duduklah Case,”

“Biar aku duduk di meja kerjaku saja. Aku hanya akan memberikan roti bakar ini untukmu.” Ujar Casey sambil menyerahkan satu dus roti bakar ke arah Luke.

“Dudukla di sini dulu, rasanya sudah lama kita tidak berbincang bincang seperti ini.” Ujar Luke sambil menerima roti bakar dari Casey.

“Baik.” Casey akhirnya duduk di hadapan Luke.

“Apa kabar Erica?”

“Baik.”

“Aku senang kalian bertunangan dan.. “

“Kami sudah putus,” jawab Luke pelan.

“Apa?” teriak Casey tak percaya.

“Ya, hubungan ini ternyata tak berhasil untukku dan Erica.”

“Tapi kalian nampak baik baik saja.”

“Erica belum mau menikah dalam waktu dekat ini sementara ibuku menuntutku untuk segera menikah.”

‘Aku tidak tahu harus mengatakan apa tapi aku ikut menyesal semuanya berjalan tidak seperti yang diharapkan.”

“Tidak apa apa,” Luke tersenyum, “lagipula aku sebenarnya tidak terlalu menyukai Erica. Dulu waktu aku memperkenalkan Erica pada orangtuaku sebenarnya tidak ada maksud untuk melanjutkan hubunganku ke tahap yang lebih serius, tapi orangtuaku menaruh harapan padanya sehingga kami bertunangan.”

“Dan kalau tahu hubunganmu putus, pastinya orangtuamu kecewa.”

“Pastinya.” Luke setuju, “hanya saja yang menjalani hidup ini kan aku, dan aku tahu siapa yang kuinginkan sekarang.”

“Siapa?” tanya Casey.

“Kau.”

Casey terkejut, “aku?”

“Ya, Casey, aku jatuh cinta padamu.”

“Tidak Luke, itu tidak benar, kau bohong, kau tidak jatuh cinta padaku.”

“Aku juga menyangkal perasaan itu, kupikir itu tidak mungkin, aku menganggapmu sebagai sahabatku, tapi ketika aku melihatmu dengan adik Sandra di pernikahan Sandra kemarin, aku cemburu. Dari situlah aku tersadar kalau aku mencintaimu.”

“Luke, kupikir aku harus pergi ke meja kerjaku sekarang.”

“Aku terbiasa dengan kehadiranmu, Casey, dengan berbagai sarapan yang kau bawakan untukku, dengan semua pertolonganmu, aku terbiasa dengan hal itu. Dan aku tidak mau kehilangan itu semua, aku tidak mau kehilanganmu.”

“Aku tidak kemana mana Luke, aku tetap disini. Tapi aku sudah bersama Matthew sekarang dan...”

“Tidak apa apa, aku mengerti. Aku juga tidak berharap banyak. Aku hanya merasa lega karena aku sudah mengungkapkan semua ini padamu.”

“Ya. Aku sangat menghargainya.” Ujar Casey pelan. “Boleh aku ke meja kerjaku sekarang?”

“Oke.” Luke mengangguk dan membiarkan Casey pergi.

Memasuki ruang tamu Casey terkejut ketika melihat Brenda sedang duduk di salah satu kursi di sana padahal tadi belum ada orang yang datang. Casey tidak berkata apa apa saat melewati Brenda. Ia pergi ke meja kerjanya dan mulai sarapan roti yang ia bawa.

~

Matthew datang menjemput Casey sambil membawakan Casey makan siang. Ia membawa masakan cina, karena Casey suka masakan cina. Casey bilang ia ketularan Sandra yang juga suka masakan cina.

Matthew membawakan Casey mie goreng dan sayur capcay.

Matthew dan Casey akhirnya makan di meja kerja Casey.

Sedang asik makan, Brenda tiba tiba masuk ke ruang kerja Casey. “Matthew, kita bertemu lagi,” serunya pada Matthew.

“Apa kabar?” Matthew berusaha bersikap sopan walau ia lupa dengan nama teman Casey. “Maaf, aku lupa namamu. Kita hanya bertemu sekali waktu Mr. Lucas ulang tahun.”

“Aku Brenda.” Ujar Brenda sambil tersenyum. “Akhir akhir ini aku sering melihat wajahmu dimana mana.”

“Aku jadi model iklan beberapa produk.”

“Oh, pantas.”

Casey memperhatikan Brenda tanpa menawarinya makan. Ia merasa sebal. Brenda tidak menutupi rasa ketertarikannya pada Matthew sama sekali.

“Boleh aku kapan kapan memotomu? Untuk koleksi pribadi saja.” tanya Brenda sambil terus memperhatikan Matthew makan.

“Tidak boleh,” Casey yang menjawab.

“Aku bertanya padanya Casey, bukan padamu.”

“Dan aku berbicara atas namanya. Kau harus jadi klien Mr. Humberto dulu sebelum memoto Matt.”

“Serumit itu? Ini hanya antar teman Casey, kau tahu seperti selfie- we-fie.

“Kalau mau berurusan hukum dengan Mr. Humberto silahkan saja, Mr. Humberto paling nanti menuntutmu kalau kau punya foto Matt tanpa seijinnya.”

“O, sial.” Brenda akhirnya pergi dengan kesal.

“Memang benar seperti itu?” tanya Matthew ketika Brenda pergi.

“Ya tidaklah, itu bisa bisa aku saja.”

Matthew langsung tertawa, “kau bisa saja. Memang kenapa sih kalau temanmu ambil fotoku?”

“Tidak boleh, pokoknya tidak boleh.”

“Case, aku keluar dulu dan...” Luke masuk ke ruang kerja Casey dan terkejut melihat Matthew di sana.

“Apa kabar Mr. Lucas?” Matthew berdiri dan menyalami Luke. “Aku kesini untuk menjemput Casey.”

“Menjemput Casey? Bukankah Casey sedang bekerja?”

“Kau belum minta ijin padanya babe?” tanya Matthew pada Casey.

“Ya ampun, aku lupa.” Casey menepuk kepalanya. “Luke, aku minta maaf, aku harusnya bilang padamu tadi pagi kalau hari ini aku bekerja setengah hari, boleh?”

Luke terdiam sebentar, “ya, tentu.” Ujar Luke akhirnya. “Apa ada kejadian penting sehingga kau harus pergi seperti ini?”

Casey jadi serba salah, “ti.. tidak juga, tapi...”

“Apa Casey pernah bolos kerja Mr. Lucas?” tanya Matthew kesal.

“Tidak.”

“Dan sekarang Casey hanya minta ijin sekali dan anda sepertinya keberatan? Yang benar saja.”

“Aku tidak keberatan, aku hanya bertanya apakah ada kejadian penting sehingga Casey harus pergi.”

“Penting tidak penting itu urusan Casey, bukan urusan Anda.”

“Tentu jadi urusanku karena Casey karyawanku. Aku bertanya karena mungkin aku bisa membantu.”

“Tidak, Casey tidak perlu bantuanmu, dia baik baik saja.”

“Oke, begini,” Casey akhirnya bangun dari duduknya dan berdiri di tengah tengah Matthew dan Luke. “Ya, Luke, aku baik baik saja, terima kasih atas perhatianmu. Sekarang pergilah dan mengemudi hati hati.”

“Baiklah.” Luke akhirnya pergi dari ruang kerja Casey.

“Apakah dia selalu perhatian seperti itu padamu?” tanya Matthew ketika Luke sudah pergi.

“Tidak. Luke perhatian pada semua orang. Ayo habiskan makannya Sayang, dan kita segera pergi dari sini.”

~ ~


Matthew tersenyum saat memperhatikan toko cokelat ibunya. Ia memperhatikannya dari mobil karena tepat di depan toko cokelat ibunya ada parkir yang cukup luas. Di depan toko selain ada display yang luas yang tertutup kaca, ada juga beberapa bunga cantik di tata di depan toko sehingga tokonya jadi terlihat menarik.

“Tokonya yang itu?” tunjuk Casey pada sebuah toko yang catnya berwarna orange garis garis merah.

"Iya."

“Wah cantik sekali.”

“Ya, kami berempat yang menghias toko, aku, ibu, Sandra dan Aaron.”

“Aku baru sekali ke sini dan aku langsung suka.”

“Ya, ide Sandra benar benar hebat. Ibu sekarang kelihatan sangat antusias dalam menjalani hari harinya.”

“Biasanya kalau kita menyukai pekerjaan kita, kita akan antusias.” Casey setuju, “karyawan ibumu banyak?”

“Saat ini baru dua. Satu orang koki yang bertugas membuat cokelat cokelat itu dengan dibantu ibu tentunya, dan seorang pelayan yang bertugas melayani pembeli. Ibu bekerja di bagian kasir. Tapi kalau nanti tokonya tambah ramai, mungkin ibu akan menambah karyawan baru.”

“Wah keren.”

“Ya. Ayo kita turun dan ketemu ibu.”

“Oke.”

Casey turun dari mobil dan berjalan disamping Matthew. Mereka lalu masuk ke toko cokelat ibu Matthew.

“Matthew, ini kejutan,” ibunya berteriak senang ketika melihat Matthew, “kau tidak menelepon ibu dulu kalau mau datang.”

Matthew tertawa, “aku takut tidak jadi datang kalau menelepon dulu. Nanti ibu kecewa menungguku. Lebih baik mendadak seperti ini. O, ya ibu masih ingat Casey? Ibu bertemu dengannya di pernikahan Sandra.”

“Tentu saja ibu ingat. Apa kabar cantik?” Ibu Matthew memeluk Casey hangat.

“Kabar baik Miss. Martin. Toko cokelat Anda cantik sekali.”

“Ya, itu berkat anak anakku yang kreatif.” Ibu Matthew tertawa. “Ayo aku ajak berkeliling tempat ini.”

“Aku mau menyiapkan minum Bu, nanti aku menyusul.” Matthew berjalan ke arah tangga menuju lantai dua untuk mengambil minum untuk Casey dan dirinya.

“Tentu Matt.” Teriak ibunya, “kita mulai dari mana ya. O, ya perkenalkan dulu ini Alberta.” Ujar ibu Matt pada salah satu karyawannya. “Alberta, ini Casey, pacar Matthew.”

“Hai senang bertemu denganmu,” ujar Alberta sopan.

“Aku juga.” Sahut Casey.

“Tidak begitu banyak tempat di sini, hanya ruangan ini, dan tentu saja dapur.” Ibu Matthew melanjutkan tour toko cokelatnya.

“Tidak apa apa Miss. Martin. Menurutku ini sangat keren.”

“Terima kasih, ayo kita ke dapur.”

“Oke.”

“Nah, kalau ini koki aku, namanya Hilary Clyde. Ia sudah menikah dan memiliki satu anak perempuan yang masih kecil.”

“Apa kabar Mrs. Clyde?”

“Kabar baik, terimakasih.”

“Aku Casey.”

“Aku Hilary.”

“Hilary sekarang sedang terus terusan mengajariku bikin cokelat yang akan kujual.”

“Wah, Anda menemukan Mrs. Clyde dimana?”

“Sandra yang membawanya padaku.”

“Aku memasang iklan mencari pekerjaan di internet. Disanalah Mrs. Maxmillian menemukanku – ia saat itu belum menikah -. Ia menghubungiku lewat telepon.” Jelas Hillary.

“Oh. Anda belajar membuat cokelat dimana?”

“Keahlian turun temurun dari keluargaku, dulu keluarga kami punya toko cokelat seperti ini, tapi kemudian toko cokelatnya dijual.”

“Sayang sekali. Anda tidak usaha sendiri saja?”

“Tidak, saat itu aku baru memiliki bayi, aku sibuk ngurus si kecil. Aku berencana mencari pekerjaan saja di tempat lain, tidak membuat toko cokelat sendiri. Dan akhirnya dapat kesempatan bekerja di sini.”

“Sekarang si kecil sudah bisa ditinggal?”

“Ya,” Hilary tertawa, “kalau aku bekerja aku titip ke neneknya, rumah ibuku tidak jauh dari rumahku.”

“Jam kerjanya disini sampai jam berapa Miss. Martin?” tanya Casey ke ibu Matthew.

“Aku biasa menutup toko jam sembilan malam tapi kadang kadang jam sepuluh malam. Buka jam sepuluh pagi.”

“Siang amat bukanya Miss. Martin. Mungkin sebaiknya anda menambah karyawan baru lalu jam kerjanya dibagi dua shift agar mereka tidak lelah.”

“Casey,” Matthew tiba tiba muncul diantara mereka, ia datang sambil memberikan sebotol air mineral pada Casey, “kau tertarik dengan bisnis toko cokelat ibuku?”

“Tidak, aku hanya memberi saran. Maaf Miss. Martin, ini kebiasaanku.”

“Tidak apa apa sayang.” Miss. Martin tersenyum, “idemu akan aku tampung. Mungkin ke depannya akan seperti itu, tapi untuk sementara seperti ini saja dulu.”

“Pelanggannya sudah banyak Miss. Martin?”

“Cukup banyak.”

“Hei aku punya ide, bagaimana kalau Matt jadi model toko cokelat ini, pasti laku.” Teriak Casey tiba tiba.

“Aku juga punya ide,” seru Matthew, “bagaimana kalau kau juga jadi model toko cokelat ini.”

Casey tertawa, “tidak jadi masalah.”

“Ayo, bu, ambil foto kami berdua.” Matthew menyerahkan handphonenya pada ibunya. “Sebentar, aku ambil coklat dulu,” Matthew mengambil sebuah cokelat, lalu membuka bungkusnya, “ayo buka mulutmu sayang,”

Casey membuka mulutnya, dan Matthew memasukkan cokelat itu ke mulut Casey. “Ayo Bu, foto sekarang.”

Ibu Matthew mengambil foto mereka, lalu menyerahkan hasil fotonya pada Matthew.

“Ini keren,” Matthew tertawa, “akan aku promosikan toko cokelat ibu di instagramku.” Matthew lalu menulis sesuatu di handphonenya.

Hidupmu terasa hambar? Permanis hidupmu dengan berbelanja cokelat termanis dan terenak sedunia di toko cokelat Sweet Valley, at Rose boulevard E 71 National Flower Park of Redwood, Redwood City, Fillmore Green. *With my babe CaseyCarlton* #CaseyCarlton #MattRicardo #AaronRicardo #SandraMaxmillian #EgarMaxmillian #HeidiMartin

Casey langsung melihat dan membaca upload-an foto mereka berdua di instagram Matthew melalui handphone­nya. “Mr. Maxmillian dibawa bawa?” tanya Casey.

“Dia daya tariknya kuat, walau sudah menikah dengan kakakku, gadis gadis masih histeris melihatnya.”

“Oh, begitu.”

“Ya, begitu. Lagipula kontribusinya sangat besar terhadap renovasi bangunan ini. Itu bukan hal yang terlalu serius.”

“Kalian lapar?” tanya ibu Matthew.

“Kami sebenarnya tadi sudah makan siang sebelum ke sini Bu.” Jawab Matthew.

“Tapi ibu tetap akan menyiapkan sesuatu untuk kalian untuk minum teh nanti.”

“Baiklah, tidak masalah,” Matthew tersenyum menatap ibunya, “terima kasih Bu.”

“Sama sama. Bagaimana sambil menunggu ibu menyiapkan kudapan untuk kalian, kalian jalan jalan di kebun bunga depan sana. Kau pernah ke kebun bunga itu Casey?”

“Belum pernah,” Casey tertawa, “ini kunjungan pertamaku ke Redwood.”

“Kau juga belum sempat ke sana kan Matthew?”

“Isinya bunga semua Bu, aku sudah sering lihat di balkon bunga bunga itu.”

“Melihat dari jauh berbeda dengan bersentuhan langsung dengan bunga bunga itu. Ayo, ajak pacarmu foto foto di sana.” Ibu Matthew mendorong tubuh Matthew ke arah pintu.

Matthew tertawa, “baiklah, ayo Sayang.” Ujar Matthew sambil mengulurkan tangannya pada Casey.

Casey tersenyum dan langsung menyambut dan menggenggam tangan Matthew.

“Kami pergi Bu,” ujar Matthew.

“Ya. Selamat bersenang senang.”

~ ~


Ibu Matthew membuat muffin cokelat yang enak. Muffinnya masih hangat, langsung diambil dari oven. Aromanya menyebar kemana mana, sangat menggugah selera. Selain muffin, Ibu Matthew juga membuat crepes keju yang diguyur saus bluberry.

Mereka bertiga makan kudapan yang dibikin ibu Matthew di depan balkon, sambil duduk duduk memperhatikan keindahan taman bunga di hadapan mereka.

“Bagaimana tadi, asik kan?” tanya ibu Matthew pada Matthew dan Casey.

“Asik sekali,” ujar Casey, “air mancurnya indah.”

“Aku mau memasukkan foto Casey didepan air mancur ke instagramku lagi,” ujar Matthew sambil membuka handphonenya. “Wow, komentar yang masuk tentang promosi cokelat tadi banyak sekali.” Teriak Matthew. “Tadi tidak sebanyak ini.”

“Aku baca ah komentar komentarnya,” Casey mengeluarkan handphonenya juga. Lalu ia membaca salah satu komentar.

“@Sheline520 : Kurasa kamu lebih manis dari coklat yang kamu promosikan Matthew Ricardo. - Ini apa apaan,” protes Casey. Lalu ia membaca salah satu komentar.ap serius, dia selalu menggodaku."Matthew Ricardo.
k memperhatikan keindahan taman.

Matthew tertawa, “Sheline teman kuliahku, jangan dianggap serius, dia selalu menggodaku.”

“Ada komentar dari Lord Egar,” teriak Casey.

“Menantuku bilang apa?” tanya Ibu Matthew.

“@EgarMaxmillian : mungkin mom @PrincessSabrinaNormandV tertarik memborong cokelat disana?”

“Kakak iparku mention Bianca untuk berbelanja cokelat disini? Haduuh.” Ujar Matthew.

Matthew dan Casey terus membaca komentar itu satu satu. Matthew mulai sibuk membalas komentar komentar itu yang menanyakan ini itu.

“Ada komentar dari Bianca,” teriak Casey, “Bianca membalas komentar Mr. Maxmillian katanya, tentu aku akan ke sana kapan kapan, dan Bianca juga mention aku.”

“Bianca bilang apa?”

“Ini.” Casey memperlihatkan komentar Bianca tentang dirinya pada Matthew.

@PrincessSabrinaNormandV : @CaseyCarlton ini Bianca, kau punya pacar tidak bilang bilang padaku???!!!

 ~ ~


BAB DUA


Paparazi tampak berseliweran di sekitar toko cokelat ibu Matthew karena hari ini Bianca berkunjung ke toko tersebut dengan didampingi Casey. Toko cokelat ibu Matthew terpaksa ditutup selama Bianca berkunjung untuk keamanan diri Bianca dan puteri kecilnya.

Bianca datang dengan menggunakan limousine. Lengkap dengan pengamanan dan penjagaan untuk keluarga kerajaan yang sangat ketat.

Hal itu dikarenakan Princess Sabrina (untuk sementara) adalah satu satunya penerus Dinasti Normand V dari pasangan Prince Larry dan Bianca. Sama seperti ayahnya yang anak tunggal, saat ini Princess Sabrina adalah anak tunggal dari Prince Larry dan Bianca sehingga penjagaan terhadap diri Bianca dan Princess Sabrina sangat ketat. Hal itu dilakukan untuk menghindari hal hal yang tidak diinginkan.

Bianca ingin berkunjung ke toko cokelat ibu Matthew dengan ditemani Casey. Casey tadi pergi ke Crown Palace dengan menggunakan taksi sebelum akhirnya mereka sama sama pergi ke Redwood dengan menggunakan limousine. Prince Larry tidak bisa menemani Bianca hari ini karena harus bekerja. Begitupun Matthew tidak bisa menemani Casey dan berkenalan langsung dengan Bianca karena hari ini ada ujian.

Halaman parkir di depan toko cokelat ibu Matthew penuh dengan orang orang yang ingin melihat Princess Sabrina dari dekat. Princess Sabrina sudah berubah menjadi selebritis cilik yang digandrungi semua orang. Bukan saja anak kecil tapi juga orang dewasa.

Princess Sabrina tertawa tawa ketika orang orang memanggil namanya saat ia turun dari limousine. Ia sudah terbiasa dengan keramaian. Usianya sekarang sudah satu setengah tahun.

Bianca yang menggendong Princess Sabrina akhirnya menghampiri sekumpulan anak kecil yang menjerit jerit memanggil nama Princess Sabrina. Beberapa diantaranya ada yang mengacung acungkan boneka Princess Sabrina. Bianca berjongkok di depan anak anak itu, lalu mengulurkan tangan Princess Sabrina untuk menyalami mereka satu satu.

“Kau keren,” teriak seorang anak perempuan kecil.

“Kau sangat cantik, kau seperti boneka kepunyaanku.” Teriak anak yang lain.

“Yang Mulia, anda harus masuk sekarang,” seorang bodyguard mengingatkan Bianca agar tidak terlalu lama diluar.

Bianca mengangguk, “baiklah Pete, aku masuk sekarang.”

“Bye bye,” ujar Bianca pada anak anak itu, “sampai bertemu lagi.”

Bye bye Princess Sabrina,” teriak mereka.

Saat memasuki toko cokelat, Bianca menyerahkan Princess Sabrina pada salah satu babysitternya yang ikut dalam rombongan tersebut. Bianca lalu mengambil keranjang cokelat.

“Selamat datang di toko cokelatku Yang Mulia.” Ibu Matthew menghampiri Bianca dan tersenyum padanya.

“Ini Ibu Matthew, aku biasa memanggilnya Miss Martin.” Casey memperkenalkan ibu Matthew pada Bianca.

“Senang berkenalan dengan Anda.” Bianca menyalami ibu Matthew sambil tersenyum, “Sandra dulu sering bercerita tentang Anda, tapi aku baru berkesempatan bertemu Anda sekarang.”

“Ya, Yang Mulia. Ini juga kesempatan langka untukku, tidak tiap hari anggota keluarga kerajaan datang ke tokoku.”

Bianca tertawa, “aku dapat rekomendasi dari menantu Anda.”

“Tentu, menantuku juga banyak membantu dalam mendirikan toko cokelat ini.”

“Ya, tentu.”

“Ini Princess Sabrina yang lucu dan menggemaskan itu?” tanya ibu Matthew sambil mengelus pipi Princess Sabrina yang tembam.

“Ya.” Bianca tersenyum. “Ia terpaksa digendong, karena kalau tidak ia akan mengambil apa saja yang ada dihadapannya.”

“Tidak apa apa,” ibu Matthew tertawa, “namanya juga anak kecil. Baiklah Yang Mulia, selamat berbelanja.”

“Terima kasih.” Bianca mulai berjalan ke arah sekumpulan cokelat yang disusun dalam stoples kecil dan mulai memilih cokelat. “Kau tidak ikut berbelanja?” tanya Bianca saat Casey melihat lihat cokelat itu tanpa membelinya.

“Tidak, aku sudah berbelanja  minggu lalu. Persediaan cokelatku masih banyak.”

Mereka berkeliling toko lagi. Bianca menaruh keranjang cokelat yang sudah penuh di dekat kasir, dan mengambil keranjang baru.

“Kau benar benar memborong,” komentar Casey.

“Cokelat ini akan kubagi bagikan. Aku mengambilnya hanya sebagian. Pelayan di Crown Palace cukup banyak.”

“Wah kau baik sekali.”

“Aku banyak dibantu oleh mereka.” Bianca tersenyum, “jadi kapan aku bisa bertemu pacarmu yang tampan itu?”

“Entahlah, mungkin lain waktu, ia agak sibuk.”

“Tentu, tidak masalah, mudah mudahan aku bisa cepat bertemu dengannya.”

“Mudah mudahan.”

“Ngomong ngomong apa kabar Luke?”

“Luke?” tanya Casey kaget.

“Ya. Kapan dia menikah? Aku melihat tunangannya di pernikahan Sandra kemarin, tapi saat itu aku tidak sempat ngobrol dengan Luke.”

“Luke bilang sih hubungannya tidak berjalan sesuai dengan yang ia harapkan.”

“O ya? Apa yang terjadi?”

“Kata Luke sih, Erica belum mau menikah sementara ibu Luke mendesak Luke untuk segera menikah.”

“Ya ampun, sayang sekali.”

“Ya. Sayang sekali.”

Setelah keranjang Bianca yang kedua penuh, Bianca akhirnya berjalan ke arah kasir untuk membayar semua cokelatnya.

“Apakah di sini ada restoran yang enak Miss. Martin? Aku lapar.” Tanya Bianca setelah menyerahkan kantong cokelat yang baru dibelinya pada salah seorang pelayannya yang langsung membawa cokelat itu keluar toko untuk disimpan di dalam mobil.

“Wah, disini komplit Yang Mulia, ada restoran Perancis, restoran Italia, restoran Spanyol, restoran Jepang, semua ada.”

“Wah asik sekali, tapi pasti akan terjadi kehebohan kalau aku mendatangi salah satu restoran itu.”

“Bagaimana kalau karyawanku yang membelikan makanan itu untuk  Yang Mulia dan Yang Mulia makan di taman belakang saja? Di sana tempatnya nyaman, tidak terbuka karena dipagari tembok tinggi.”

“Tidak merepotkan?”

“Tidak. Katakan saja Anda ingin makan apa?”

“Masakan Perancis saja, terserah menunya apa, terserah rekomendasi Anda.”

“Baiklah makanan Perancis kalau begitu.”

“Casey, kau mau makan apa?”

“Sama saja. Apa saja aku suka,” Casey tertawa.

“Baik, masakan Perancis untuk kita semua yang ada disini, termasuk untuk karyawan Anda. Nanti setelah itu tolong belikan untuk para bodyguard dan supirku yang ada di luar? Benar tidak merepotkan?”

“Benar Yang Mulia, tidak merepotkan sama sekali.”

“Terima kasih kalau begitu Miss. Martin. Ini uangnya.” Bianca memberikan uang tunai yang sangat banyak pada ibu Matthew. Bianca tidak tahu berapa harga masakan Perancis yang ia pesan untuk semua orang. “Kalau uangnya kurang, bilang padaku.”

“Cukup, kurasa ini lebih dari cukup. Sebentar, aku catatkan dulu pesanannya apa.”

“Baik, terima kasih.”

~

“Kau pergi ke toko cokelat ibuku tanpa mengajak aku Bianca?” Seru Sandra di telepon saat Bianca dan Casey duduk di taman belakang toko cokelat ibu Matthew untuk makan siang. Princess Sabrina juga sedang makan disuapi oleh babysitternya. Sandra menelepon Bianca setelah ditelepon oleh ibunya.

“Kau sedang tidak ada di Hall of City Sandra. Jadi aku pergi tanpa mengajakmu. Mungkin lain kali aku ke sini bersamamu.”

“Baiklah kalau begitu. Ngomong ngomong terima kasih sudah berbelanja cokelat di toko ibuku, ibu bilang kau memborong cokelat banyak sekali.”

“Ya, sama sama, sebagian akan aku bagikan pada pelayanku di Crown Palace.”

“Itu keren.”

“Ya.”

“Kau masih lama di toko cokelat ibuku Bianca?”

“Sebentar lagi pulang, kami baru makan siang.”

“Oh, oke kalau begitu, sampai bertemu lagi. Salam untuk Casey.”

“Sampai bertemu lagi. Akan kusampaikan.” Bianca tersenyum sambil memutuskan hubungan teleponnya dengan Sandra. “Sandra titip salam untukmu.”

“Oke, tentu,” Casey tersenyum. “Setelah ini kita langsung pulang?”

“Ya, sepertinya Sabrina mulai ngantuk, sekarang memang jam tidur siang dia.”

“Baik kalau begitu. Ehm, Bianca, ngomong ngomong kau tidak ingin memberikan Princess Sabrina adik lagi? Kau belum hamil lagi?”

“Tidak sekarang Casey, aku ingin puas mengurus Sabrina sampai ia agak besar.”

“Oh begitu.” Gumam Casey, “suamimu tidak keberatan?”

Bianca tertawa, “sebenarnya keberatan sih. Tapi yah mau tidak mau dia ikut kemauanku.”

“Kenapa kau tidak memberikan adik saja lagi pada Princess Sabrina, setelah itu kau membesarkan mereka sama sama. Kau bisa mencurahkan kasih sayang kepada Princess Sabrina dan adiknya secara bersamaan, jangan takut tidak bisa mengurus keduanya berbarengan, itu bisa diatur.”

“Menurutmu begitu?”

“Ya.” Casey mengangguk. “Semakin banyak Princess Sabrina punya adik akan semakin baik, akan semakin seru. Aku anak tunggal Bianca, aku sendirian, aku sering berkhayal aku punya saudara perempuan agar bisa berbelanja bareng atau ke salon bareng. Sayangnya aku tidak punya saudara.”

“Jangan bersedih, masih ada aku.” Hibur Bianca.

“Ya, kau dan Sandra dan Ivanka membuat aku tidak terlalu kesepian. Aku juga punya Viola di tempat kerjaku yang selalu menemaniku. Dan punya Matthew.” Casey lalu tertawa.

“Nah itu yang paling asik. Yang terakhir.” Bianca ikut tertawa. “Ayo, kita siap siap untuk pulang.”

“Ayo. Terima kasih sudah mengajakku ke sini hari ini Bianca.”

“Aku yang berterima kasih.” Bianca tersenyum menatap Casey sambil mulai merapikan tasnya. “Terima kasih untuk selalu ada untukku Casey.”

~ ~

 BAB TIGA



Suasana malam ini terasa hangat. Casey merasakannya dari udara yang masuk dari angin yang berhembus melalui kaca kaca besar yang terbuka lebar di samping sebuah taman yang indah.

Casey sedang menghadiri acara jamuan makan malam yang diadakan Sandra dan suaminya di rumah mereka yang mewah di sebelah Utara Hall of City, di sebuah perumahan eksklusif yang bernama Pasadena Residences. Hanya keluarga Sandra yang diundang oleh Sandra malam ini; Ibunya, Casey dan Matthew dan Aaron serta pacar Aaron yang bernama Adrianne.

Casey datang dengan dijemput Matthew menggunakan mobil Matthew, sedangkan Aaron datang bersama Adrianne dan ibunya dengan menggunakan mobil Aaron. Dari The Metropolis Aaron mampir ke Redwood untuk menjemput ibunya.

Menurut Sandra, tidak ada acara khusus dalam jamuan makan malam tersebut. Ia hanya ingin berkumpul dengan keluarganya. Sandra juga berencana mengundang ayah dan ibu tirinya serta keluarga besar ayahnya minggu depan di rumah mereka. Kemungkinan Aaron dan Matthew akan diundang lagi bersama pacar pacar mereka karena ayah mereka juga pasti kangen pada Matthew dan Aaron dan ingin ngobrol dengan mereka.

Bagi Matthew tidak masalah ia datang ke rumah Sandra kapan saja selama ia sedang tak ada pekerjaan.

Casey menggunakan gaun yang sangat feminin malam ini sehingga terlihat cantik dan menawan. Bagitupun Adrianne.

Casey baru bertemu Adrianne sekarang, karena pacar yang dibawa Aaron saat pernikahan Sandra kemarin bukan Adrianne. Casey mengerutkan kening saat Aaron tadi memperkenalkan Adrianne padanya. Sepertinya, Aaron ketularan kakak iparnya. Dulu, waktu belum menikah dengan Sandra, Lord Egar mudah sekali berganti pacar.

Aneka makanan yang dihidangkan malam ini sangat lezat. Ada bebek panggang, ayam panggang, daging panggang, sup cream jagung campur irisan sosis dan taburan keju, irisan roti yang rotinya dibuat sendiri oleh koki Sandra, aneka pasta, salad buah dan salad sayur untuk makanan pembuka, cocktail, puding agar kelapa muda dan pancake labu kuning untuk pencuci mulut dan aneka buah dan minuman.

Bergaul dengan orang orang kaya membuat Casey kenyang. Casey berkesempatan makan makanan enak tanpa harus keluar uang banyak.

Dua minggu yang lalu Bianca mentraktirnya makanan Perancis, dan sekarang, Sandra menyuguhinya makanan yang enak enak.

Casey merasa beruntung bisa mengenal mereka dan berteman baik dengan mereka.

“Jadi, kapan kuliahmu selesai Matthew?” tanya Lord Egar.

“Bulan depan aku wisuda.” Matthew tertawa senang, “akhirnya.”

“Akhirnya.” Sandra mendesah lega, “Setelah semua perjuanganmu selama ini.”

“Setelah semua perjuangan kita selama ini,” ujar Matthew “terima kasih banyak Sandra untuk semua bantuanmu.”

“Sama sama Matt,” Sandra tersenyum.

“Bagaimana kalau setelah lulus nanti kau kukenalkan pada salah satu sahabatku yang punya firma hukum yang sangat besar di Hall of City sini?” ujar Lord Egar. “Kontrak kontrak di perusahaanku biasanya memakai jasa firma kepunyaannya.”

“Dengan senang hati.” Matthew tertawa. “Aku akan siap bekerja keras.”

“Ya, tapi walau kau kukenalkan pada pemilik langsung firma itu, bukan berarti kau istimewa di sana, kau harus mulai dari tahap awal, sebagai pengacara junior.”

“Tidak masalah, tantangan seperti apapun akan aku hadapi dengan penuh semangat, tidak masalah.”

“Kau belum akan diberi kasus. Kau biasanya hanya membantu dulu para pengacara senior, menyediakan apa yang mereka butuhkan, misal mencari pasal pasal yang diperlukan. Mencari tahu ini itu lewat penyelidikan yang harus kau lakukan, mengetik laporan mereka bahkan memfotocopy berkas berkas mereka.”

“Aku bilang tidak masalah kakak iparku tersayang, aku siap dengan itu semua.”

Lord Egar tertawa, “aku senang dengan pekerja keras macam dia.”

That’s my brother.” Sandra ikut tertawa, “siapa dulu kakaknya.”

“Aku juga siap bekerja seperti Matt,” celutuk Aaron.

“Nanti!” teriak Sandra dan suaminya berbarengan.

Aaron langsung cemberut.

Matthew tertawa, “salad sayur ini enak sekali.”

“Ya, kokiku khusus membuat salad itu untukmu, aku berpesan padanya agar jangan menaburinya dengan irisan daging, hanya telur saja.”

“Matthew paling jadi vegetarian sebentar saja,” komentar Aaron. "Dia sangat suka dengan daging burger bikinan ibu."

“Enak saja, ini sudah berjalan beberapa bulan, aku akan bertahan.” Seru Matthew.

“Ibu, toko cokelat ibu sekarang ramai?” tanya Sandra pada ibunya.

“Ya, sejak Bianca dan puteri kecilnya datang ke sana, banyak pembeli yang datang. Aku sekarang sudah menambah karyawan baru di bagian kasir.”

“Syukurlah, aku senang mendengarnya.”

“Casey,”

“Ya?”

“Bagaimana pekerjaanmu?”

“Sandra, bagaimana kalau kau tidak berbasa basi seperti itu? Cepat sampaikan kabar gembira itu pada kami, kau mengundang kami makan malam di sini untuk bilang pada kami kau sedang hamil kan?”

“Casey! Kau merusak momentku, seharusnya aku yang bilang pada mereka!”

“Kau tidak bilang dari tadi!” seru Casey.

“Casey tahu?” tanya Lord Egar kaget, “kau bercerita padanya Sandra?”

“Tidak, aku tidak bercerita. Casey itu cenayang.”

“Aku bukan cenayang. Kau terus terusan makan. Pipimu mulai tembam, tubuhmu sedikit gemuk Sandra, kau pikir aku tidak memperhatikan?”

“O, ya Tuhan, ibu senang sekali kalau ibu mau punya cucu.” Ujar Ibu Matthew gembira.

“Ya Bu, kami juga senang,” Lord Egar tersenyum, “terutama ayah dan ibuku, mereka pasti akan histeris. Tapi kalian beruntung, kalian yang pertama tahu. Setelah makan malam, aku baru mau memberitahu orangtuaku.”

Yes, aku akan punya keponakan.” Seru Matthew gembira, “aku harap keponakanku laki laki biar aku bisa mengajaknya main bola.”

“Aku harap perempuan,” Casey tersenyum, “biar bisa menemani Princess Sabrina bermain. Kalau anak kalian perempuan,” ujar Casey ke arah Sandra dan Lord Egar, “kalian pasti akan langsung membuat boneka seperti boneka Princess Sabrina.”

“Itu tidak mungkin.”

“Tidak, sepertinya tidak.”

Hampir bersamaan Sandra dan Lord Egar menjawab.

~

John memperhatikan pohon keluarga yang dibuatnya. Belum apa apa John sudah menemui jalan buntu. Ia tak tahu harus mulai darimana untuk mengetahui siapa ayah Casey dan dimana keberadaannya.

Untuk memulai semuanya ia akhirnya bikin pohon keluarga.

Kakek Casey ( Jim Carlton) menikah dengan nenek Casey (Hannah Russell)

Punya dua orang anak :

1. Florence Carlton (ibu Casey) ============== (ayah Casey ???)
                                                         Berpasangan

                                                                 !!
                                                                 !!    

                                                      Casey Carlton

2. Irine Carlton (Tante Casey) ================= Bernard Austin (Paman Casey)                          
                                                             Menikah
                                                                  !!
                                                                  !!
             ===============================================
             !!                                                   !!                                                !!

     Barry Austin                               Taylor Austin                               Rodney Austin
             !!                                                   !!                                        (belum menikah)
   Menikah dengan                            bercerai dengan
     Katty Rex                                     Alton Robin
             !!                                                    !!
    
    Anak : Corey Austin                 anak : Felicia Robin



Haduh, aku harus mulai darimana ya? John garuk garuk kepalanya yang tidak gatal. Sepertinya John harus menyiapkan banyak uang cash untuk menyogok orang orang agar mau bicara dengannya. Dan itu semua dimulai dari tante Casey atau paman Casey; Bernard Austin. Mereka mungkin punya informasi tentang siapa ayah Casey.

Untungnya Sandra membayar down payment terlebih dahulu untuk menyelidiki kasus tersebut sehingga uang yang diberikan Sandra padanya bisa dipakai untuk keperluan penyelidikan.

Baiklah, mulai besok aku akan bertanya pada keluarga Austin. Tekad John kemudian.

~



Matahari di langit Fillmore Green siang ini cukup terik. John yang terbiasa memakai jaket kemana mana kali ini memutuskan meninggalkan jaketnya di mobil dan hanya mengenakan kaos lengan pendek dan celana jeans saja.

John berniat mengunjungi tempat kerja Bernard Austin, paman Casey. Bernard bekerja di sebuah home industry yang menjual pahatan dan ukiran kayu, baik itu berupa meja, tempat duduk, peralatan memasak maupun patung patung kayu.

Pekerjaan sebagai tukang kayu ini sudah ditekuni oleh Bernard sejak puluhan tahun lalu. Ia sejak mudanya sudah ahli dalam membuat pahatan atau ukiran dari kayu. Tapi ia tak pernah mempunyai perusahaan kayu sendiri karena tak pernah punya modal yang cukup. Ia selalu bekerja pada orang lain. Dan kali ini ia bekerja pada bosnya yang bernama Mr. Jorge Lewis.

“Selamat siang,” ujar John saat memasuki gudang kayu Mr. Lewis.

“Salamat siang,” sahut Bernard tanpa menghentikan pekerjaannya. Ia sedang menyerut kayu.

“Aku mencari patung patung kayu untuk hiasan dirumahku.”

“Wah Sophie lagi makan siang, biasanya dia yang melayani pembeli di toko.” Ujar Bernard.

“Iya, tadi aku sudah ke toko, tokonya tutup. Tapi biar kutunggu saja.” John duduk di sebuah kursi tinggi dan memperhatikan Bernard bekerja.

“Kau mau menungguku di sini? Disini banyak serbuk kayu, nanti Anda batuk.”

“Tidak apa apa.” Kata John. “Mr. Austin, apa kabar Casey?”

“Casey?” tanya Bernard kaget. “Kau kenal Casey?”

“Ya, dia teman keponakanku Mandy.” Ujar John berbohong. “Mereka dulu sekolah di sekolah yang sama di National Green High School.”

“Kurasa Casey baik baik saja. Ia sudah tidak tinggal bersama kami sekarang.”

“O, ya, Casey tinggal dimana?”

Bernard memperhatikan John dengan heran, karena sepertinya John sangat tertarik pada Casey.

“Ehm, masalahnya Mr. Austin, kata Mandy, sekolah mereka mau mengadakan reuni jadi Mandy sebagai salah satu panitia harus mendata semua alamat teman temannya.”

“Oh begitu.” Sahut Bernard. “Entahlah Casey tinggal dimana sekarang, yang jelas masih di sekitar Hall of City.”

“Apa ada kemungkinan Casey tinggal bersama ayahnya?”

“Ayahnya?” Bernard terkejut. “Tinggal bersama ayahnya adalah sesuatu yang mustahil. Casey bahkan tidak mengenal siapa ayahnya.”

“Oh, maaf, aku tidak tahu. Tapi bagaimana mungkin Casey tidak mengenal ayahnya?”

“Ibu Casey datang pada isteriku saat ia mengandung Casey. Ia tak mau bercerita siapa ayah dari bayi yang dikandungnya. Dan rahasia itu ia simpan sampai ia meninggal.”

“Anda atau isteri Anda benar benar tidak tahu siapa ayah Casey?”

“Tidak. Kalau kami tahu kami sudah meminta pertanggungjawaban dia akan diri Casey. Bukan aku dan isteriku mengungkit ungkit biaya yang sudah kukeluarkan untuk membiayai Casey, hanya saja sebagai seorang ayah, harusnya pria brengsek itu, siapapun dia, bertanggung jawab pada diri Casey.”

“Ya Anda benar.”

“Itu Sophie sudah datang,” ujar Bernard saat melihat Sopie di kejauhan. “Anda sudah bisa memilih patung kayu yang anda inginkan.”

“Baiklah, terima kasih.” John akhirnya pergi ke toko kepunyaan Jorge Lewis. Ia pura pura memilih milih tanpa membeli apapun.

Sampai di mobilnya, John mencoret nama Bernard Austin dari orang yang harus ia interogasi. Berikutnya ia harus menginterogasi tante Casey.


~ ~

John menghabiskan burrito­nya sambil memperhatikan kesibukan Rhonda di salah satu restoran cepat saji di Hall of City yang menghidangkan masakan meksiko.

Setelah burritonya habis, John sekarang mulai menghabiskan minuman cokenya. John lalu melambaikan tangan pada Rhonda. Tapi Rhonda tetap mengacuhkan dirinya. Rhonda adalah salah satu bekas pacar John. Tapi John dan Rhonda tetap berteman walau sudah tidak pacaran lagi. John hari ini bertemu Rhonda karena ingin meminta bantuannya.

Tadi waktu datang ke restoran cepat saji itu John sudah mengatakan hal itu pada Rhonda, tapi Rhonda bilang ia sedang sibuk, ia tak tahu apakah ia bisa berbicara dengan John atau tidak.

Sambil menunggu Rhonda tidak sibuk akhirnya John memesan makanan. Tapi sekarang makanan John sudah habis, dan Rhonda masih sibuk.

John akhirnya mengeluarkan sejumlah uang yang cukup besar untuk Rhonda.

“Lima menit saja, ok?” John memberikan uang itu pada Rhonda, “aku hanya perlu bicara lima menit.”

“Apa yang harus kulakukan?” Rhonda terlihat kesal, tapi ia tetap menerima uang dari John.

“Kau pura pura ingin dirias oleh seorang penata rias, namanya Irine Austin, lalu saat dirias itulah kau korek korek informasi tentang keluarganya, terutama tentang keponakannya Casey, siapa ayahnya, seperti itu.”

“Tapi aku tidak akan pergi kemana mana. Untuk apa aku dirias.”

“Kan namanya juga pura pura.” Seru John kesal, “ini aku kasih uang untuk biaya meriasnya, dan ini nomor telepon Irine. Kau janjian sama Irine kapan kau akan dirias. Aku akan meneleponmu lagi untuk memberikan daftar pertanyaan yang harus kau tanyakan pada Irine nanti.”

“Tapi...”

“Sampai nanti Rhonda.” John akhirnya pergi meninggalkan Rhonda. “Aku benar benar mengandalkanmu!” teriak John sebelum keluar dari pintu restoran.

~


Rhonda memperhatikan alamat rumah Irine Austin. Ia sudah menelepon Irine Austin untuk membuat janji. Irine bersedia merias wajahnya tapi tidak bisa datang ke rumah Rhonda, sehingga Rhonda yang terpaksa datang ke rumah Irine.

Bila tidak sibuk bekerja di istana kerajaan Normand sebagai salah satu perias di sana, Irine bekerja di rumahnya. Ia membuka salon. Tapi khusus untuk make up dan menata rambut, tidak untuk memotong rambut atau hal hal lainnya seperti luluran, creambath, paddy maddy  atau hal semacam itu.

Rhonda lalu mengetuk pintu rumah Irine. Irine membuka pintu dan tersenyum pada Rhonda.

“Masuklah,” ujar Irine.

“Terima kasih.” Rhonda masuk ke rumah Irine sambil memperhatikan suasana rumah Irine.

Di hadapan Rhonda ada ruang tamu yang tampak berantakan, tidak jauh dari ruang tamu ada dua buah kaca besar lengkap dengan kursi di depan kaca tersebut.

“Silahkan duduk di sana,” ujar Irine.

“Iya, baik.” Jawab Rhonda.

“Darimana Anda tahu tentang salon dirumahku?”

“Dari seorang teman.”

“Oh. Anda memang terbiasa dirias? Dan tidak bisa make up sendiri?”

“Aku tidak terlalu ahli,” Rhonda tertawa.

“Baik, aku bersihkan wajahmu dulu dengan cairan pembersih.”

“Oke.”

Irine lalu mulai menuangkan cairan putih pada kapas dan mulai membersihkan wajah Rhonda.

“Anda sudah lama bekerja sebagai penata rias?” tanya Rhonda.

“Cukup lama. Sejak belum menikah aku sudah bekerja sebagai penata rias.”

“Oh, belajar sendiri atau ikut pendidikan khusus?”

“Ada pelatihan khusus, yang mengadakan kalau tidak salah adalah departemen tenaga kerja dari pemerintahan dinasti Normand V ini, aku dulu langsung ikut karena gratis, dan dari sana aku bekerja hingga sekarang.”

“Oh.” Sahut Rhonda. “Berapa putera puteri Anda?”

“Tiga orang. Dua laki laki, satu perempuan.”

“Yang perempuan tidak berminat mengikuti jejak Anda sebagai penata rias?”

“Tidak, ia tidak berminat. Ia sekarang bekerja di sebuah butiq sebagai kasir.”

“Oh.”

Irine kini memberikan bedak dasar pada wajah Rhonda.

“Anda punya saudara perempuan?” tanya Rhonda lagi.

“Kenapa memangnya?”

“Ya, siapa tahu berminat seperti Anda jadi perias.”

“Tidak, ia juga tidak berminat. Sama seperti anak perempuanku, ia bekerja biasa saja.”

“Oh, apa pekerjaannya?”

“Banyak, dia selalu ganti ganti pekerjaan.”

“Sekarang dia tinggal dimana?”

“Dia sudah meninggal.”

“Maaf, aku tidak tahu.”

“Tidak apa apa.”

“Meninggal karena sakit?”

“Ya, waktu itu dia terkena sakit demam berdarah, dan penanganannya terlambat sehingga ia tidak bisa bertahan.”

“Aku ikut berduka.”

“Ya, terimakasih.” Setelah memberikan bedak dasar, Irine mulai membedaki wajah Rhonda dengan bedak tabur.

“Adik Anda sudah menikah? Karena pasti kasihan suami dan anaknya kehilangan dirinya.”

“Tidak, dia tidak menikah.”

“Wah, sayang sekali, berarti dia tak punya keturunan?”

“Ada sih. Dia punya anak satu, tapi tak punya suami.”

“Kok bisa?”

“Ya, hal itu kan memang biasa terjadi pada banyak orang.”

“Iya sih.” Ujar Rhonda, “tetanggaku juga ada yang seperti itu. Ia punya anak tanpa menikah, yang kasihan sih ya anaknya jadi tidak mengenal ayahnya.”

“Ya, yang jadi korban selalu anak.”

“Tapi keponakan Anda tahu dong siapa ayahnya.”

“Tidak, dia tidak tahu siapa ayahnya.”

“Masa sih? Ibunya tidak memberitahu?”

“Tidak, ibunya tak pernah memberitahukan padanya siapa ayahnya.”

“Anda juga tidak diberitahu?”

“Tidak. Aku pernah menginterogasi dia tentang siapa ayah keponakanku, tapi dia tetap tutup mulut.”

“Dia egois sekali. Kasihan keponakan Anda kalau begitu, tidak tahu siapa ayahnya.”

“Ya, tapi mau bagaimana lagi. Kau mau pakai eyeshadow warna apa?”

“Hijau saja, aku suka warna hijau.”

~ ~

John tersenyum ketika Rhonda masuk ke mobilnya. “Kau cantik,” komentar John saat Rhonda duduk disampingnya.

“Bosku akan heran aku bekerja dengan make up seperti ini. Biasanya aku kerja dengan make up yang tipis.” Rhonda mengeluh.

John tertawa, “kau bisa menghapusnya.”

“Iya sih, tapi sayang juga, hasil riasannya bagus.”

“Ya, kau benar. Bagaimana hasil interogasinya?”

Nihil. Bibi Casey juga tidak tahu siapa ayah Casey.”

“Oh sial.”

“Bagaimana kalau kau bertanya pada Casey langsung? Siapa tahu Casey tahu sesuatu?” saran Rhonda.

Klienku pernah bertanya tentang hal itu pada Casey, tapi Casey benar benar tidak tahu siapa ayahnya.”

“Tapi kau harus mencari petunjuk, siapa tahu ibunya meninggalkan surat atau apa untuk Casey, atau siapa tahu ibunya pernah mengatakan sesuatu tentang ayahnya, walau bukan tentang siapa dia, tapi siapa tahu pernah berbicara tentang ciri cirinya atau apa.”

“Ya, kau benar. Akan kuusahakan nanti ngobrol dengan Casey.”

“Jadi tugasku sudah selesai?”

“Ya, Rhonda, untuk sementara sudah selesai. Terima kasih atas bantuannya. Jangan bosan kalau nanti aku minta bantuanmu lagi.”

“Tidak masalah. Aku siap membantumu lagi asal uang yang kau berikan padaku sama banyaknya seperti kemarin.”

~ ~

Setelah mengantar Rhonda ke tempat kerjanya, John kembali ke kantornya. Di tempat duduknya yang nyaman di ruang kerjanya, John langsung menelepon Sandra.

“Mrs. Maxmillian, aku perlu berbicara dengan Casey.” Ujar John langsung saat Sandra menjawab panggilan telepon darinya. “Jadi terserah Anda, kalau Anda ingin Casey tahu bahwa aku menyelidiki tentang siapa ayahnya dan dimana keberadaannya, maka mau tidak mau aku harus memberitahu Casey bahwa Anda menyewaku untuk mencari tahu tentang ayahnya.”

“Tidak John, jangan, aku tidak mau Casey tahu. Aku takut nanti dia kecewa karena akan berharap banyak pada kita tapi kita tidak menemukan hasil apapun. Aku lebih suka memberi kejutan padanya. Kalau kelak ayahnya benar benar sudah ketemu, aku baru akan memberitahu Casey siapa ayahnya.”

“Tapi aku perlu bicara dengan Casey untuk menanyakan ini itu.”

“Biar aku saja yang bicara dengan Casey, apa yang ingin kau tanyakan pada Casey?”

“Aku ingin tahu apakah ibunya pernah meninggalkan surat untuknya yang berisi petunjuk tentang siapa ayahnya, atau ibunya pernah bercerita tentang ayahnya, atau Casey sendiri pernah bertanya tentang ayahnya pada ibunya dan apa jawaban ibunya saat itu, ya pertanyaan pertanyaan seperti itu. Aku perlu petunjuk. Mungkin ibu Casey pernah memberitahu Casey tentang ciri ciri ayahnya.”

“Oke, baiklah, nanti aku akan menanyakan itu pada Casey.”

“Terima kasih Mrs. Maxmillian.”

“Sama sama John.”

~ ~


Casey berteriak senang saat mobil mewah Sandra memasuki halaman rumah Philip. Sandra semalam meneleponnya dan ingin ngobrol dengannya. Sandra rindu pada Casey dan bertanya apakah Minggu siang ini Casey pergi. Casey bilang ia ada di rumah kontrakannya karena Matthew sedang ada pekerjaan di Giltown City. Casey malas bepergian kalau tidak bersama Matthew.

“Langsung naik saja Sandra, rumah tidak dikunci,” teriak Casey dari Balkon.

Sandra tertawa dan melambaikan tangannya. Sandra tampak cantik dengan kaca mata hitam mahalnya.

Casey kembali ke ruang televisi dan menuangkan jus mangga untuk Sandra.

“Hai,” Sandra berjalan ke arah Casey sambil membuka kaca mata hitamnya. Tangannya menenteng sesuatu. “Ini untuk kita.” Ujar Sandra sambil menyerahkan bungkusan yang dibawanya.

“Apa ini?” tanya Casey.

“Makanan Cina.” Sandra tertawa, “kau belum makan siang kan?”

“Belum.”

“Sama, aku juga.”

“Sebentar aku ambilkan piring dan sendok.”

“Tidak usah kita makan di cupnya saja. Ada sumpitnya juga kok.”

“Oke.”

Casey langsung membuka makanan yang dibawa Sandra. “Wah banyak sekali.” Komentar Casey.

“Ya, siapa tahu Philip dan Ivanka mau, sama teman Ivanka yang sekarang tidur dikamarmu di lantai bawah, siapa namanya?”

“Carol.”

“Iya, untuk Carol juga.”

“Mereka semua sedang pergi,” ujar Casey.

“O,ya?”

“Ya. Philip kerja, Ivanka pergi sama pacarnya, Carol tadi dijemput temannya katanya mereka mau berbelanja baju.”

“Ya sudah nanti dihangatkan saja di microwave. Ayo kita makan.” Sandra mengambil satu cup chow mein, lalu membuka satu cup wonton lengkap dengan kuah supnya yang pedas. Dan mulai makan.

“Kenapa kau suka sekali masakan Cina?” tanya Casey sambil mulai mencelupkan wonton ke kuah supnya dan mulai memakannya.

“Entahlah, kupikir itu karena kebiasaan saja.” Sandra tertawa, “dulu saat masih bekerja, kalau teman temanku makan siang, aku selalu pesan masakan Cina. Mereka sampai hafal dengan makanan favoritku.”

“Aku juga jadi ketularan.” Casey tertawa. “Kadang aku juga memesan masakan Cina untuk makan siangku.”

“Ya, ini enak sekali.”

“Jangan makan makanan pedas terlalu banyak Sandra, kasihan baby diperutmu.”

“Tidak kok, sudah aku kurangi makan masakan pedasnya.”

“Itu bagus, tadi kau diantar supir? Supirmu menunggumu dibawah?”

“Ya, suamiku agak berlebihan menjagaku. Sejak aku hamil aku tidak boleh mengendarai mobil sendiri.”

“Itu wajar, dia takut kau kenapa kenapa.”

“Ya.”

“Mertuamu pastinya sangat gembira dengan berita tentang kehamilanmu.”

“Tentu saja. Ibu tiri suamiku sekarang cukup sering meneleponku menanyakan apakah aku perlu sesuatu.”

“Mereka semua sayang padamu.” Ujar Casey sambil mengambil chow mein dengan sumpit dan memasukkan ke mulutnya lalu mengunyahnya.

“Kau suka menengok keluarga tantemu?” tanya Sandra.

“Cukup sering.” Ujar Casey, “tempat kerjaku kan dekat dengan rumah tanteku. Aku suka menyempatkan diri mampir ke sana untuk membawa makanan sepulang kerja. Tapi cuma mampir tidak pernah lama kalau mengunjungi mereka.”

“Baguslah kalau begitu. Kau harus terus menjalin hubungan dengan mereka Casey, hanya mereka keluargamu satu satunya. Kakek nenekmu sudah meninggal. Sehingga kau juga tidak bisa mengunjungi kakek nenekmu.”

“Ya, kecuali mendatangi makam mereka.”

“Kecuali mendatangi makam mereka.” Sandra setuju, “makam kakek nenekmu sama tempatnya dengan makam ibumu?”

“Tidak, kakek nenek dimakamkam di Leefsmall, kampung halaman mereka. Ibuku di Hall of City sini, di pemakaman umum Green Hills of  Cemetery.”

“Seandainya kau tahu siapa ayahmu, kau pasti punya keluarga lain selain keluarga Tantemu.”

“Tapi aku baik baik saja,” Casey tersenyum. “Itu bukan suatu masalah buatku.”

“Ibumu tidak pernah bercerita tentang ayahmu?”

“Tidak, ibu tidak pernah bercerita.”

“Atau kau pernah bertanya padanya?”

“Pernah. Aku pernah bertanya mengenai hal itu pada ibu. Saat itu aku masih elementary school. Sekolahku mengadakan acara camping dan boleh ditemani oleh salah satu orangtua kita. Kebanyakan teman temanku saat itu ditemani oleh ayah mereka, kecuali aku yang ditemani ibu. Terus aku bertanya pada ibu dimana ayahku tinggal, ibu hanya bilang ayah tinggal jauh dari sini. Terus aku bertanya lagi apakah masih di Fillmore Green, ibu bilang tidak, ayah ada di luar negeri. Begitu katanya.”

“Oke, di luar negeri.  Ibumu saat itu tidak bilang secara khusus luar negerinya dimana?”

Casey menggeleng. “Sandra, kalaupun aku tahu luar negerinya dimana, belum tentu aku juga bisa ke sana.”

“Kau tidak ingin bertemu dengan ayahmu kalau kau tahu siapa dia?”

“Ya inginlah, tapi kan situasiku seperti ini, aku tidak punya uang banyak untuk jalan jalan ke luar negeri.”

“Masalah uang jangan terlalu dipikirkan, aku bisa membantumu.”

“Kau sudah terlalu baik padaku selama ini Sandra, aku tidak mau merepotkanmu.”

“Aku tidak merasa repot. Hanya saja kita sama sekali tidak punya petunjuk siapa ayahmu sehingga kita akan sulit menemukan dirinya. Ibumu tidak meninggalkan surat untukmu tentang ayahmu? Siapa tahu ia menulis suatu petunjuk untukmu tentang ayahmu sebelum ibumu meninggal.”

“Tidak, ibu tidak meninggalkan apa apa. Aku sudah mengecek semua barang ibu, surat, diary, atau apapun, tapi aku tidak menemukan petunjuk apapun.”

“Ibumu pernah bilang tentang ciri ciri ayahmu?”

“Ibu hanya bilang ayah sangat tampan. Itu saja.”

“Ya, semua wanita yang sedang jatuh cinta pasti akan bilang pacarnya tampan. Aku juga akan bilang hal yang sama.”

“Sandra, Mr. Maxmillian memang tampan. Kau bagaimana sih.” Seru Casey kesal.

Sandra tertawa.

“Kata Matt, gadis gadis masih histeris melihat Mr. Maxmillian walau ia sudah menikah denganmu.”

“Masa sih? Aku tak tahu itu.”

“Casey, mobil siapa yang ada....” Philip baru naik tangga dan berteriak pada Casey, saat ia melihat Sandra. “Wah, lihat siapa yang datang.” Lanjutnya.

“Apa kabar Philip?” Sandra tersenyum, “aku bawakan makanan untukmu.”

“Wah asik.” Philip langsung berseru senang dan melihat bungkusan makanan di meja. “kebetulan aku sedang lapar.”

“Tumben kau pulang cepat,” komentar Casey, “biasanya pulang sore.”

“Ya, aku mau istirahat sebentar, temanku yang shift malam sedang tidak masuk kerja, jadi aku menggantikan dia nanti malam. Jadi aku pulang dulu untuk beristirahat, nanti sore pergi lagi. Ini apa?”

“Masakan Cina,” ujar Sandra dan Casey berbarengan.

“Mau masakan Cina, masakan Jepang, masakan Spanyol, tidak masalah, aku lapar.” Philip tertawa. Ia lalu membuka makanannya dan langsung makan. “Kata Casey, kau sedang hamil.” Ujar Philip pada Sandra disela sela makannya.

“Ya.” Jawab Sandra, “aku senang sekali.”

“Aku ikut senang untukmu.”

“Terima kasih.”

“Aku ambilkan minum untukmu.” Casey bangun dari duduknya untuk mengambil gelas di dapur.

“Wah terima kasih Casey cantik.” Seru Philip, “aku beruntung punya kalian sebagai sahabat sahabatku. Yang satu memberi makan, yang satu memberi aku minum. Ini hebat.”

“Kenapa kau tidak cari pacar saja Philip, biar hidupmu lebih hebat?” saran Sandra.

“Gimana kalau kau meng-kloning-kan diri, agar aku punya pacar persis seperti dirimu?” balas Philip.

“Dia tidak bisa move on darimu Sandra,” teriak Casey dari lantai bawah.

“Itu tindakan bodoh.” Ujar Sandra kesal.

Yeah, aku suka dengan kebodohan ini.”

“Aku sudah berusaha mengatur kencan untuknya dengan temanku, tapi Philip tak pernah mau,” Casey kembali sambil membawa gelas kosong dan menuangkan jus mangga dari teko kaca ke gelas yang dibawanya. “Ini minummu.” Ujar Casey sambil memberikan minum pada Philip.

“Terima kasih.” Jawab Philip, “dan aku sudah sering bilang Casey agar jangan mencampuri hidupku.”

“Casey mencampuri hidupmu karena dia perduli padamu.” Komentar Sandra.

“Sudahlah, lebih baik kau diam Sandra. Aku tidak akan mendengar apa katamu.”

“Walau yang kubilang adalah nasehat yang baik?” teriak Sandra.

“Aku kangen suasana ini.” Casey tertawa. “Kangen dengan pertengkaran kalian. Pertengkaran kalian membuat suasana rumah ini menjadi ramai.”

~

Sandra menelepon John ketika sudah berada dimobilnya, dalam perjalanan menuju rumahnya setelah tadi mengunjungi Casey.

“Jadi kau pun tak dapat petunjuk apapun dari Casey?” tanya John.

“Ya petunjuknya hanya kemungkinan besar ayah Casey ada di luar negeri, tidak berada di Fillmore Green dan dia tampan sekali.”

“Wah itu petunjuk yang hebat sekali. Banyak pria tampan di luar negeri sana.”

Sandra tertawa. “Kau tidak akan menyerah sekarang kan John?”

“Tidak, aku tidak akan menyerah. Tadi kau bilang makam ibu Casey ada dimana?”

Green Hills of  Cemetery. Nama ibu Casey Florence Carlton.”

“Ya, aku tahu siapa namanya.”

“Kenapa kau menanyakan makamnya John?”

“Aku ingin berkunjung ke sana.”

“Kau ingin berkunjung ke makam Florence Carlton?”

“Ya. Siapa tahu aku dapat inspirasi dari sana.”

“Baiklah kalau begitu, semoga kau berhasil.”

“Terimakasih Mrs. Maxmillian. Nanti aku akan meneleponmu lagi kalau ada perkembangan lain.”

“Oke, aku akan menunggu telepon darimu.”

~ ~





Pemakaman Green Hills of Cemetery adalah pemakaman umum terbesar di Hall of City, letaknya adalah di sebelah Selatan Hall of City di sebuah dataran tinggi yang luas.

John datang ke makam ibu Casey, Florence Carlton seorang diri. Ia berdiri disamping makam Florence cukup lama.

“Kenapa kau menyimpan rahasia tentang ayah Casey pada semua orang?” John berdialog sendiri, “apa kau tidak kasihan pada Puteri Anda? Ia sendirian sekarang. Walau ada adik Anda yang mengurusnya, atau minimal selalu ada untuknya, tapi ia tetap sendirian dalam menjalani hidup ini. Coba ia tahu siapa ayahnya, mungkin sekarang ia sudah bersama dengan ayahnya.” John lalu melepaskan kaca mata hitamnya, dan menaruhnya di atas rumput. John berjongkok untuk membersihkan beberapa daun kering yang bertebaran di atas makam.

“Aku tidak tahu harus mulai dari mana untuk mencari tahu siapa ayah dari Puterimu.” Ujar John lagi. “Hidupmu dulu sepertinya normal normal saja. Pekerjaanmu berganti ganti. Kau pernah bekerja di Supermarket, di restoran, di sebuah taman hiburan sebagai kasir dan terakhir bekerja di toko roti. Kau bisa saja bertemu dengan ayah Casey ditempat kau bekerja, tapi kau bilang pada Casey ayahnya ada di luar negeri? Apakah dia seorang turis? Kau bertemu turis itu saat ia berbelanja roti ditoko tempat kau bekerja atau bagaimana?” tanya John kesal.

John akhirnya memutuskan untuk menyudahi kunjungannya ke makam Florence. Dia takut lama lama dia gila karena ngomong sendiri.

John berjalan beberapa blok sebelum akhirnya sampai ke pintu gerbang dan kemudian ke pelataran parkir dimana mobilnya ia parkir. Sekarang hari Selasa, pemakaman tidak terlalu ramai tidak seperti di akhir pekan, dimana orang orang banyak yang berkunjung ke makam keluarga mereka. Jadi tempat parkir John juga tidak terlalu penuh.

Saat duduk di belakang kemudi, mata John tiba tiba terasa silau. Ia hendak mengambil kaca mata hitamnya, tapi ia tak menemukannya di saku jaketnya. John lalu teringat kalau ia menaruh kaca mata hitamnya di atas rumput, di makam Florence. John akhirnya keluar dari mobilnya dan mengunci mobilnya lagi. Ia berjalan lagi ke makam Florence untuk mengambil kaca mata hitamnya.

Sampai di makam Florence ia terkejut saat melihat seorang pria sedang berdiri di samping makam Florence. John memperhatikan pria itu agak lama. Ia lalu menghampiri makam Florence untuk mengambil kaca matanya.

“Permisi, kaca mataku ketinggalan,” ujar John sambil memperhatikan pria setengah baya itu. Raut wajahnya mirip Casey, jangan jangan ia ayah Casey? John tiba tiba merasa bersemangat.

“Ya, silahkan,” Pria itu membiarkan John mengambil kacamatanya tanpa beranjak dari tempatnya berdiri. Sepertinya ia kembali berdoa di samping makam Florence.

John akhirnya pergi dari tempat itu dan memperhatikan pria itu dari kejauhan. Tadinya John ingin bertanya tentang Florence pada pria itu secara langsung, tapi akhirnya John memutuskan untuk mengikuti pria itu untuk tahu dimana rumahnya.

John kembali ke mobilnya dan menunggu pria itu muncul di pintu gerbang. Ketika akhirnya pria itu muncul dan naik ke mobilnya, John mengikuti pria itu dengan jarak agak jauh.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima kilometer, di sebuah tikungan jalan yang sepi pria itu tiba tiba menghentikan mobilnya. John ikut menghentikan mobilnya karena terkejut. Dan lebih terkejut ketika pria itu tiba tiba turun dari mobilnya dan berjalan menghampiri mobil John. Ia lalu meminta John membuka kaca mobilnya.

“Aku tahu kau mengikutiku. Ada apa? Apa aku berbuat kesalahan?” tanya pria itu langsung.

John jadi serba salah. “Ada yang ingin kutanyakan pada Anda.” Ujar John akhirnya.

“Kenapa kau tidak bertanya tadi dan malah mengikutiku seperti ini?”

“Maaf, aku tadi sedikit bingung antara bertanya langsung atau mengikuti Anda seperti ini.”

“Baiklah, apa yang ingin kau tanyakan?”

“Bisakah kita minum kopi sebentar dan bicara?”

Pria itu nampak menimbang nimbang permintaan John. “Baiklah, tapi aku tidak punya waktu banyak.”

“Tidak apa apa. Nanti begitu melihat kedai kopi Anda berhenti saja, kita bicara di sana. Tidak lama kok, aku hanya ingin menanyakan beberapa pertanyaan.” Ujar John.

“Baik.” Pria itu lalu berjalan kembali ke mobilnya.

John mengikuti mobil pria itu dan ia menghentikan mobilnya ketika dilihatnya mobil pria dihadapannya parkir di depan restoran cepat saji.

John segera memarkirkan mobilnya dan turun dari mobil.

“Di sini saja,” Pria itu memperhatikan John yang berjalan menghampirinya. “Disini juga ada kopi.”

“Oke, tentu, tidak masalah,” ujar John, “ngomong ngomong namaku John.”

“Aku Randy.”

“Baik Randy, aku yang mentraktir kau minum kopi. Kau mencari kursi saja, biar kupesankan kopi untuk kita berdua.”

“Oke,” Randy masuk ke restoran tersebut dan mencari kursi sementara John langsung berjalan ke arah kasir. John lalu memesan dua cangkir dengan gula dipisah karena ia tak tahu selera kopi Randy seperti apa.

John lalu membawa kedua kopi panas itu ke meja yang dipilih Randy. Ia lalu duduk di hadapan Randy sambil mulai menambahkan gula pada kopinya. Randy melakukan hal yang sama pada kopinya. Ia lalu mulai menyeruput kopinya.

“Aku merasa penasaran, apa hubungan kau dengan Florence karena tadi kau mengunjungi makamnya.”

“Aku temannya. Memang kenapa kau penasaran?” tanya Randy.

“Florence punya anak perempuan, sudah besar anak perempuannya, sudah bekerja. Tapi Florence tak pernah memberitahu anak perempuannya, - namanya Casey - siapa ayahnya. Dan sekarang aku sedang menyelidiki siapa ayah Casey.”

“Wah kalau itu aku tak tahu,” ujar Randy, aku tidak bisa membantu.”

“Lalu hubungan pertemanan apa antara kau dan Florence?”

“Teman biasa. Aku cukup perduli padanya. Florence dulu adalah sahabat isteriku. Jadi aku juga cukup akrab dengan Florence.”

“Anda cukup sering mendatangi makam Florence seperti tadi?”

“Sesekali ya, tapi tidak sering. Biasanya aku datang dengan isteriku, tapi hari ini isteriku sedang kurang enak badan. Rumah kami di Leefsmall, aku datang ke Hall of City sini karena ada urusan pekerjaan. Dan karena kupikir sedang disini jadi aku mengunjungi makam Florence.”

“Jadi Anda dan isteri Anda berteman dengan Florence di Leefsmall?”

“Ya. Seperti orangtuanya, Florence lahir dan besar di Florence. Ia baru ikut adiknya di Hall of City sini setelah pulang dari Italia.”

“Italia?” tanya John kaget. “Florence pernah ke Italia?”

“Ya, dia bekerja di sana, di suatu restoran pizza.”

“Bagaimana mungkin Florence bisa bekerja di italia? Berapa lama ia bekerja disana?”

“Kurang lebih tiga tahun-an. Ia sering mengirim poscard pada isteriku saat ia bekerja disana. Aku tidak tahu bagaimna Florence bisa bekerja di Italia.”

“Kalau isteri Anda tahu mengenai hal ini?”

“Mungkin. Mungkin Florence pernah bercerita padanya.”

“Boleh aku mengunjungi isteri Anda kapan kapan untuk bertanya tentang hal ini?”

“Ya, tentu saja. Tapi tidak sekarang. Kami sedang agak repot.”

“Tentu, tidak masalah, aku akan mengunjungi isteri Anda dalam beberapa hari ini. Boleh aku tahu alamatmu di Leefsmall?”

“Kau ada kertas atau pulpen?” tanya pria itu. John langsung mengambil notebook kecilnya dan memberikan pulpen pada pria itu.

“Kau tulis di sini saja.” Ujar John.

“Baiklah,” ujar Pria itu sambil menuliskan alamat rumahnya. “Ini alamatnya, boleh aku pergi sekarang?”

“Ya, tentu, terima kasih atas bantuannya Randy.”

“Sama sama.”

~ ~

BAB EMPAT



Poseidon Cafe malam ini cukup ramai. Poseidon Cafe adalah salah satu cafe eksklusif di Hall of City.

Terletak di tengah tengah kota Hall of City yang sibuk, Poseidon Cafe selalu menjadi tempat favorit untuk anak muda anak muda kaya di Hall of City. Bisa dikatakan 80%  dari selebriti dan sosialita Fillmore Green sering hang out di sana.

Menu makanan di sana sangat mahal, tapi sangat enak. Champagne champagne mahal dari Perancis seperti Dom Porignon, konon juga dijual di sana.

Ada live music untuk menghibur pengunjung cafe di sana. Dan yang perform di live music tersebut adalah penyanyi penyanyi papan atas Fillmore Green.

Untuk bisa makan atau sekedar hang out di Poseidon Cafe harus booking jauh jauh hari, tidak bisa dadakan.

Malam ini Casey beruntung bisa makan di Cafe eksklusif seperti Poseidon Cafe. Selama ini Casey hanya sering melihat para selebriti memamerkan makanan yang mereka makan atau minuman yang mereka minum di cafe tersebut di instagram instagram mereka. Casey tidak pernah menyangka bahwa suatu saat ia bisa ada di Poseidon Cafe dan mencicipi champagne mahal di sana.

Casey berada di Poseidon Cafe atas undangan Sandra. Sandra mengundang Casey untuk merayakan kelulusan kuliah Matthew.

Sandra hanya mengundang adik adiknya dan pacar adik adiknya untuk merayakan kelulusan Matthew di sana sehingga Sandra booking di cafe itu untuk enam orang; Sandra, Lord Egar, Matthew, Casey, Aaron dan Adrianne.

Sebelum ke Poseidon Cafe, Casey juga merayakan kelulusan kuliah Matthew di toko cokelat ibu Matthew. Mereka barbekyu-an di taman belakang toko cokelat ibu Matthew. Sandra, suaminya dan Aaron saat itu juga hadir di sana.

Setelah dari toko cokelat ibunya, Matthew dan Casey berkunjung ke rumah ayah Matthew di Leefsmall. Ibu tiri Matthew menyediakan aneka makanan yang enak untuk mereka. Hanya Matthew dan Casey yang pergi ke Leefsmall. Sandra dan Aaron tidak ikut.

“Untuk kelulusan Matthew,” Sandra mengangkat gelas champagnenya.

“Untuk kelulusan Matthew,” seru semua orang sambil mengangkat gelas champagne mereka.

Sandra hanya mencicipi champagnenya sedikit karena ia sedang hamil, selebihnya ia minum jus buah. Dan Aaron dengan senang hati menghabiskan champagne Sandra.

“Jadi kapan kau siap untuk kuperkenalkan pada sahabatku yang punya firma hukum itu?” tanya Lord Egar setelah mereka minum champagne mereka.

“Kapan saja aku siap,” Matthew tersenyum.

“Baiklah, lusa kau kuhubungi. Besok aku agak sibuk.”

“Oke, tidak masalah, aku akan menunggu telepon darimu.”

“Baik.”

“Kapan kau keluar dari Asrama Matt?” tanya Sandra.

“Aku sedang packing. Sahabat Aaron, Steve, sudah tak sabar saja ingin pindah ke sana.”

“Ya,” Aaron tertawa. “Steve bahkan sudah menaruh sebagian barangnya di sana.”

“Kau tinggal dimana setelah keluar dari asrama?” tanya Lord Egar.

“Gampang, aku nanti akan mencari apartemen saja kalau sudah bekerja, sementara itu aku akan tinggal bersama ibu dulu di Redwood.”

“Tidak tertarik tinggal di rumahku saja di Hall of City sini?” tanya Lord Egar lagi, “dirumahku banyak kamar dan...”

“Tidak,” potong Matthew sambil tertawa, “aku butuh privacy. Aku lebih suka tinggal sendiri. Tapi terima kasih atas tawarannya.”

“Tentu, tidak masalah.”

“Kalau kau sudah tinggal di Hall of City, kau akan lebih mudah bertemu Casey,” Sandra tersenyum pada Casey dan Matthew.

“Ya, itu sisi positif aku pindah ke Hall of City,” Matthew kembali tertawa. “Aku bisa sering bertemu Casey.”

Casey hanya tersenyum menatap Matthew sambil kembali meminum champagnenya.

~ ~

Hujan turun dengan derasnya siang ini. Casey memperhatikan hujan dari balik jendela ruang kerjanya. Ia memperhatikan hujan sambil menyeruput kopi yang baru dibikinnya.

Casey sedang istirahat makan siang. Tapi ia sedang malas makan sehingga ia bikin kopi dan makan beberapa biskuit yang baru dibelinya tadi padi di salah satu mini market yang terletak tidak jauh dari tempat ia kerja.

Tugas Casey di studio foto milik Luke adalah mencetak foto foto yang sudah diedit oleh Luke atau Craig. Craig adalah fotographer di studio Luke yang bertugas di dalam studio jika ada customer ingin difoto di sana. Sementara yang bertugas di luar studio adalah Luke dan Brenda. Tapi Brenda tidak mengedit foto foto hasil jepretannya  karena ia kurang mengerti tentang photoshop.

Setelah mencetak foto foto itu, Casey biasanya akan mengirimkan foto foto itu lewat paket kilat bila customernya ingin foto itu dikirim. Casey bekerjasama dengan tempat pengiriman paket tempat ia bekerja dulu. Casey akan menelepon salah seorang temannya di sana untuk mengambil paket itu ke studio.

Kalau customernya ingin hasil fotonya dikirim lewat internet dalam bentuk file, Casey juga yang melakukan tugas itu. Luke dan Craig hanya bertugas memoto dan mengedit foto hasil jepretan mereka, finishing foto dan yang lain lainnya, Casey yang mengerjakan.

Jika Casey bekerja di bagian mencetak foto dan finishing foto,  Viola bekerja di  bagian customer service melayani kebutuhan customer apa. Viola juga akan menyerahkan hasil foto yang sudah dicetak oleh Casey pada para customer jika mereka mengambil langsung hasil foto mereka.

Karyawan Luke yang lain, Goldie, bertugas di toko pernak pernik foto yang terletak di samping pintu gerbang. Toko itu terpisah dari bangunan utama studio foto.

Dulu, waktu Casey bekerja pertama kali di sini, toko itu belum ada. Tapi ketika customer mulai menanyakan album, frame photo, bahkan kamera, akhirnya Luke membangun toko itu dan menyediakan berbagai pernak pernik foto untuk dijual.

Casey, Goldie dan Viola yang biasanya berburu frame foto atau album foto yang cantik cantik untuk dijual di toko. Sementara Luke dan Craig yang berbelanja kamera, baterai untuk kamera, tripod, atau perlengkapan lainnya karena mereka yang lebih mengerti tentang kamera.

Casey punya ruang kerja tersendiri di studio foto milik Luke. Selain Casey, Luke dan Craig juga punya ruang kerja sendiri. Brenda tidak punya ruang kerja. Jika ia sedang tidak sibuk, ia biasanya membantu Goldie di toko.

Dan siang ini, di ruang kerjanya, di kursinya yang nyaman, Casey memutuskan untuk tidur sebentar. Tapi baru saja ia memejamkan mata, Viola tiba tiba memanggil namanya.

“Cas, boleh aku masuk?” teriak Viola dari balik pintu.

“Ya, masuk saja Vi.”

Viola masuk dengan wajah khawatir. “Sejak pagi Luke tidak turun, dia tidak masuk ke ruang kerjanya. Aku khawatir dia kenapa kenapa.”

“Mungkin Luke pergi, ada pemotretan pagi pagi.” Komentar Casey.

“Tidak, Luke tidak pergi, mobilnya ada. Biasanya Luke turun untuk bikin kopi atau apa.”

“Viola, Luke bisa saja bikin kopi di lantai atas. Lantai atas kan sudah ia sulap jadi semacam tempat tinggal mewah untuknya. Semua ada di sana, termasuk dapur kecil dan lain lain.”

“Iya sih, tapi aku tetap khawatir.” Ujar Viola. “Bisakah kau lihat dia sebentar Casey? Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku, sedang banyak customer sekarang.”

“Baiklah,” Casey akhirnya bangun dari duduknya. Ia memakai jaketnya dulu sebelum akhirnya pergi ke lantai atas.

Studio foto tempat Casey bekerja sekarang dulunya adalah rumah biasa. Letaknya tidak jauh dari rumah kontrakan tante Casey.

Luke waktu itu butuh tempat untuk memulai bisnisnya untuk membangun studio foto, dan karena Casey tahu dari tetangganya bahwa rumah ini dijual, ia lalu memberitahu Luke. Luke pun melihat lihat dan ia tertarik untuk membelinya.

Dan seperti rumah biasa pada umumnya, lantai atas dan lantai bawah rumah ini terbuka dan tidak disekat. Tapi karena Luke menjadikan lantai atas sebagai tempat tinggalnya, maka Luke menyekat lantai atas dan membuat pintu tersendiri untuk bisa masuk ke tempat tinggalnya.

Di tempat tinggal Luke, selain dibangun dua kamar lengkap dengan kamar mandi didalamnya, ada ruang tamu yang cukup luas, ruang santai yang nyaman lengkap dengan seperangkat televisi besar dengan audio yang oke. Ada dapur kecil, ada balkon yang luas dan ada ruang makan yang kecil.

Casey beberapa kali main ke tempat tinggal Luke, tapi tidak terlalu sering. Casey pergi ke lantai atas kalau Luke sedang meminta bantuannya. Biasanya Luke akan memanggil Casey bila sedang punya banyak makanan yang dikirim ibunya. Casey akan diminta Luke untuk membagi bagikan makanan tersebut pada para karyawan Luke yang lain. Casey adalah orang yang paling Luke percaya untuk mengurusi semuanya, terutama bertanggung jawab terhadap studio fotonya bila Luke sedang pergi keluar kota.

Bila tidak sedang mengunjungi ayah ibunya di Giltown City, biasanya ayah dan ibu Luke yang datang ke Hall of City untuk menemui Luke. Dan walau mereka orang kaya mereka lebih suka tinggal di tempat tinggal Luke daripada di hotel kalau sedang berkunjung ke Hall of City. Mereka ingin menghabiskan waktu dengan putera mereka sehingga mereka menginap beberapa hari. Bahkan mereka pernah menginap selama seminggu.

Luke hanya dua bersaudara. Ia punya adik perempuan yang masih senior high school yang sekarang sekolah di sekolah asrama elit, yang kebanyakan siswa siswinya adalah para kaum bangsawan.

Casey sudah berkenalan dengan orangtua Luke tapi tidak pernah punya kesempatan berkenalan dengan adik perempuannya, karena adik perempuan Luke belum pernah datang ke Hall of City.

Ibu Luke dulu sering mengajak Casey main ke rumah mereka di Giltown City, dan Casey hanya bisa tersenyum mengiyakan tanpa tahu kapan Luke akan mengajaknya main ke sana.

Saat itu, Casey punya harapan yang besar pada Luke. Ia jatuh cinta pada Luke dan sering berkhayal menjadi kekasih Luke. Tapi sejak Luke bertunangan dengan Erica, ia mulai menepis harapannya.

Casey merasa sedih ketika kemudian mengetahui bahwa hubungan Luke dan Erica tidak berhasil, tapi ia tidak bisa secara tiba tiba menggantikan sosok Erica di hati Luke begitu saja walau Luke pernah bilang padanya bahwa ia ternyata mencintai Casey.

Sejak berpacaran dengan Matthew, Casey terus terusan belajar mencintai Matthew dan melupakan Luke. Dan Casey berhasil, rasa cintanya pada Matthew sekarang lebih besar dari sebelum sebelumnya.

Casey mengetuk pintu tempat kediaman Luke, tapi tidak ada jawaban. Casey akhirnya masuk karena pintu ternyat tidak dikunci.

“Luke?” panggil Casey. Tapi tidak ada jawaban. Casey lalu berjalan ke arah kamar Luke.

Pintu kamar Luke terbuka, Luke terlihat sedang tidur di kasurnya.

“Luke, kau sakit?” tanya Casey sambil meraba kening Luke dan Casey terkejut karena badan Luke panas sekali.

“Kepalaku pusing sekali,” ujar Luke dengan suara lemah. “Perutku juga sakit.”

“Kau harus ke dokter.”

“Tidak, aku hanya perlu istirahat, tadi aku sudah minum obat pusing.”

“Kau tetap harus ke dokter.” Ujar Casey lagi.

“Tidak usah Casey, aku baik baik saja.”

“Tidak, kau tidak baik baik saja, suhu tubuh badanmu tinggi sekali. Aku akan panggil Craig untuk membantumu naik ke mobil. Biar Craig yang mengemudikan mobilmu ke rumah sakit. Ayo pakai jaketmu dulu.” Casey segera mengambil jaket Luke dan memakaikan jaket itu pada diri Luke.

Luke bangun dengan badan yang lemah. Ia lalu duduk di tempat tidur sementara Casey berlari ke bawah untuk memanggil Craig.

Craig datang dengan segera. Ia lalu membantu Luke berdiri dan memapahnya turun hingga mencapai mobil Luke.

“Aku ke rumah sakit dulu bersama Luke dan Craig. Badan Luke panas sekali.” Teriak Casey pada Viola sambil berlari mengambil tas di ruang kerjanya.

“Ya, Tuhan, aku bilang apa, pasti terjadi sesuatu.” Viola berjalan ke arah Casey dengan panik.

“Tidak apa apa, biar aku dan Craig yang menangani ini, kau di sini saja. Tidak usah panik begitu.”

“Oke, baik, hati hati Cas, kabari aku nanti ya.”

“Oke,” ujar Casey sambil setengah berlari ke arah mobil. “Nanti kau kutelepon.”

~ ~

Setelah mengalami pemeriksaan di rumah sakit, Luke ternyata harus dirawat. Casey langsung menelepon orangtua Luke. Ibu Luke langsung berangkat ke Hall of City untuk menemui Luke.

Casey menemani Luke sampai ibunya datang. Craig tadi sudah pulang lebih dulu ke studio untuk mengabari teman temannya bahwa Luke harus dirawat.

Ibu Luke datang dengan panik. Dia bilang ayah Luke tidak bisa datang dengannya karena sedang pergi keluar negeri, tapi secepatnya ayah Luke akan menyusul ke rumah sakit.

“Terima kasih Casey karena sudah membawa Luke ke rumah sakit.” Ujar Mrs. Lucas.

“Sama sama.” Ujar Casey, “aku harus kembali ke studio membawa beberapa baju ganti untuk Luke.”

“Ya, tentu.” Mrs. Lucas mengangguk, “dokter bilang Luke harus dirawat berapa lama?”

“Pertama tama sampai suhu tubuhnya turun dulu, setelah itu akan ada pemeriksaan lanjutan, entah pemeriksaan apa.”

“Jadi belum diketahui Luke sakit apa?”

“Belum, tapi kemungkinan awal demam biasa, tapi menurut dokter tetap akan diadakan pemeriksaan lanjutan, nanti Anda berbicara dengan dokter saja.”

“Oke, baik Casey, terima kasih.”

“Sama sama, aku pergi sekarang.”

“Ya, tentu, hati hati.”
“Baik.” Casey berlalu dari kamar tempat Luke dirawat. Ia kembali ke studio dengan naik taksi.

Sampai di studio Casey langsung naik ke kamar Luke, mencari tas travelling Luke lalu mulai membuka lemari Luke untuk mencari baju Luke.

Brenda yang heran melihat kesibukan Casey mengikuti Casey hingga ke lantai atas.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Brenda.

“Luke sakit.”

“Aku tahu Luke sakit, Craig tadi memberitahuku. Tapi apa yang kau lakukan?”

“Apa maksudmu apa yang kulakukan?” ujar Casey kesal. “Aku mengambil beberapa baju Luke untuk ganti. Aku tidak tahu berapa lama Luke harus dirawat di rumah sakit.”

“Kau yang mengambil baju gantinya dan bukan ibunya?”

“Ibunya sedang menunggui Luke di rumah sakit sekarang, memang ini masalah besar?”

“Ya, masalah besar. Kau berperan seolah olah kau pacarnya.”

“Aku tidak berperan sebagai apa apa.” Teriak Casey kesal. “Aku hanya perduli padanya. Luke sahabatku.”

“Perduli? Kau pikir aku percaya? Kau mencintai Luke sejak dulu.”

“Brenda, aku sedang tidak ingin berdebat apapun denganmu sekarang, aku harus kembali ke rumah sakit secepatnya.”

“Ya, tentu saja, ini kesempatan untukmu untuk bisa dekat dengan Luke kan? Luke hanya demam biasa dan kau bertindak seolah olah ada kejadian luar biasa.”

“Masalahmu denganku sebenarnya apa sih?” Casey mulai emosi. “Tidak boleh aku memperhatikan Luke seperti ini?”

“Tidak boleh. Kau berpacaran dengan Matthew. Jadi jauhi Luke dan jangan mengambil kesempatan apapun dengannya.”

“Ya Tuhan, kau menyukai Luke?” Casey terkejut.

“Ya. Tapi diluar aku menyukai Luke, kau tetap tidak boleh bertindak seperti ini padanya. Kasihan pacarmu.”

“Aku sudah bilang, Luke sahabatku.”

“Ya, tentu saja,”
“Baik, sekarang, begini saja, kau antar baju baju ini ke rumah sakit. Aku pulang saja.”

“Tentu, tidak masalah, lebih baik memang seperti itu.”

“Kau mau melanjutkan membereskan baju bajunya atau aku saja?”

“Kau saja, aku tinggal membawa tasnya.”

“Oke, tidak masalah.” Casey kembali ke lemari Luke dan mencari beberapa baju lagi. Handphone Casey bunyi saat Casey mencari baju Luke.

“Ya, hallo,” ujar Casey sambil bingung dengan nomor yang masuk karena Casey tidak menyimpan nomor tersebut di handphonenya. “Oh, Mrs. Lucas, maaf aku tidak mengenali nomor Anda. Ya. Kenapa? Luke menanyakanku? Ya. Aku masih membereskan bajunya. Ya. Aku segera ke sana dengan teman temanku, oke, baik. Ya sampai nanti.”

“Aku tak percaya ini,” Brenda mendesis kesal.

“Aku hanya mengantarkan baju ini saja setelah itu pulang, kau pikir aku juga tidak perlu beristirahat?” Ujar Casey sambil membawa tas Luke. “Ayo, kau dan Viola ikut denganku.”

~ ~

Pemotretan untuk baju baju pengantin rancangan Annamarie cukup ramai. Pemotretan tersebut dilakukan di pinggir pantai di Parklane Annamarie akan mengeluarkan koleksi gaun pengantinnya yang terbaru. Pagelaran busananya akan dilakukan minggu depan di salah satu hotel eksklusif di Hall of City. Tapi ia perlu melakukan beberapa foto session untuk memperkenalkan beberapa baju rancangannya di internet.

Beberapa model cantik nampak berseliweran memakai baju rancangan Annamarie yang sangat mahal. Mereka sangat hati hati dalam melangkah, karena kalau gaun itu robek atau rusak mereka harus bertanggung jawab dengan kerusakan yang terjadi.

Mendampingi para model wanita itu, beberapa model pria juga hadir disana. Mereka memakai tuxedo. Annamarie tidak merancang baju untuk pria. Jadi tuxedo yang dikenakan para model pria adalah hasil rancangan teman bisnis Annamarie.

Matthew hadir di sana sebagai salah satu model pria. Ia tampak tampan dengan tuxedo yang dikenakannya.

Dari jauh, Brenda memperhatikan semua kesibukan itu. Brenda tadi malam ditelepon temannya yang fotographer, temannya mengatakan  bahwa ia akan ada pemotretan gaun rancangan Annamarie di Parklane. Kalau Brenda ingin melihat gaun gaun tersebut, temannya mempersilahkan Brenda datang.

Seperti gadis gadis lainnya yang sangat menyukai gaun rancangan Annamarie, Brenda tidak melewatkan kesempatan itu, apalagi pemotretan dilakukan saat ia sedang tak ada pekerjaan.
Oleh temannya, Brenda diperbolehkan melihat tapi tidak boleh memoto, karena hak tayang foto itu ada pada situs Annamarie. Siapapun akan dituntut kalau menayangkan foto foto baju rancangannya di internet tanpa meminta persetujuan Annamarie.

Bagi Brenda hal itu bukan merupakan suatu masalah. Ia cukup senang bisa melihat baju baju cantik itu di hadapannya.

Yang Brenda tidak menduga sama sekali adalah, ternyata Matthew juga ada disana bertindak sebagai salah satu model pria.

Brenda terus memperhatikan sesi pemotretan itu sampai selesai. Ketika akhirnya dilihatnya Matthew sudah mengganti baju tuxedonya dengan baju casual yang biasa ia kenakan. Brenda lalu berjalan menghampirinya.

“Hai, kau Matthew kan, masih ingat padaku?” tanya Brenda.

Matthew memperhatikan Brenda sekilas, lalu ia minum air mineral dari botol kaca yang dipegangnya. “Apakah kita pernah bertemu?”

“Dulu, kita pernah bertemu dulu, Casey pernah memperkenalkan kau padaku.”

“Casey?”

“Ya. Waktu itu bos kami, Luke, ulang tahun, kau dan beberapa temanmu ditraktir oleh Luke karena kebetulan makan di restoran yang sama.”

“Oh ya, aku ingat sekarang. Maksudku aku ingat peristiwa itu, tapi aku lupa namamu.”

“Aku Brenda.”

“Oke Brenda, jadi kau bekerja di studio Luke seperti Casey?”

“Ya, aku membantu Luke memotret di luar studio kalau kebetulan pekerjaan Luke banyak.”

“Oh, begitu.”

“Ya. Dan akhir akhir ini aku sibuk sekali dengan klien Luke yang banyak karena Luke sakit sehingga Luke tidak bisa bekerja seperti biasanya.”

“Luke sakit?” tanya Matthew heran, “Luke sakit apa?”

“Tidak tahu sakit apa, tapi ia masih dirawat di rumah sakit, sudah dua hari ini dia dirawat. Casey tidak cerita padamu?”

“Aku agak jarang bertemu Casey, akhir akhir ini aku sibuk sekali.”

“Matthew, aku sarankan, kalau kau tidak mau kehilangan Casey, kau harus sering bertemu Casey sehingga Casey tidak sering sering datang menjenguk Luke di rumah sakit.”

“Luke temannya, Casey perduli padanya, apa yang harus kukhawatirkan?” tanya Matthew.

“Banyak. Banyak yang harus kau khawatirkan. Luke mencintai Casey, dan Casey juga pernah mencintai Luke atau mungkin masih mencintainya.”

“Tidak, Luke tidak mencintai Casey, ia sudah bertunangan.”

“Luke mencintai Casey, aku mendengar sendiri saat Luke mengatakan itu pada Casey. Waktu itu masih pagi, aku melihat Casey memberikan Luke sarapan roti bakar. Lalu mereka...”

“Roti bakar? Casey memberi Luke sarapan roti bakar?” potong Matthew.

“Itu bukan hal yang aneh. Casey selalu memberikan Luke apa saja untuk sarapan. Casey selalu membuatkan sarapan untuk Luke. Roti bakar, pancake, omeleet, crepes dengan saus blueberry. Ehm, tadi aku mau ngomong apa ya, o iya, saat itu melihat mereka ngobrol, Luke bilang pada Casey kalau ia mencintai Casey.”

Matthew kini menaruh botol air mineral ke dalam tasnya. “Oke, jadi Luke mencintai Casey saat ia sudah bertunangan dengan orang lain?”

“Luke tidak bertunangan lagi dengan Erica. Hubungan mereka sudah berakhir. Casey juga tidak cerita mengenai hal ini?”

~ ~



BAB LIMA


Cuaca di sekitar Green Park Hall of City tampak cerah. Namun walau begitu Matthew tetap menggunakan jaketnya.

Green Park Hall of City adalah salah satu pusat perbelanjaan dan apartemen yang cukup besar di Hall of City. Tidak jauh dari Green Park Hall of City ada pusat perkantoran. Diantara pusat perbelanjaan dan pusat perkantoran dibatasi dengan taman yang sangat indah dengan dua sungai yang mengalir diantara taman tersebut.

Sungai disana sangat bersih, karena pengaturan sampah di ibukota Fillmore Green tersebut sangat teratur dan terjaga. Hampir di setiap sudut taman atau perkantoran tersedia tempat sampah.

Warga Fillmore Green rata rata sudah sadar dengan kebersihan dan tidak membuang sampah sembarangan.

Green Park Hall of City terletak di sebelah Timur Hall of City. Bersebelahan dengan taman hiburan dan beberapa rumah ibadah.

Hari ini Sandra mengajak Matthew pergi ke Green Park  Hall of City. Sandra minta dijemput oleh Matthew sehingga mereka pergi ke sana dengan menggunakan mobil Matthew.

Memasuki gedung utama Green Park, Sandra langsung mengajak Matthew ke lantai 16 dengan menggunakan lift. Matthew mengikuti Sandra walau tidak tahu Sandra mau membawanya ke mana.

Di sebuah pintu apartemen bernomor 167, Sandra akhirnya membuka pintu itu dengan menggunakan password. Ia lalu mengajak Matthew masuk dan melihat lihat ruangan di apartemen itu yang kosong. Ada beberapa ruangan di sana. Ada dua kamar tidur utama yang besar lengkap dengan kamar mandi yang ada bathtub dan shower-nya, ada kitchen set, dan ruang ruang lainnya.

“Ini apa?” tanya Matthew bingung sambil memandang ke sekelilingnya.

“Kondominiumku.” Jawab Sandra. “Aku membelinya sebelum menikah dulu dengan cara kredit. Saat itu aku berpikir bahwa suatu saat aku akan menempatinya walau tak tahu kapan saat itu, tapi ternyata aku menikah dengan seorang pria yang punya rumah di Hall of City sini, sehingga setelah kupikir pikir, kondominiumku ini tidak mungkin akan kupakai.”

“Kau membelinya sudah lama?” tanya Matthew.

“Hampir setahun.”

“Dan selama itu dibiarkan kosong?”

“Tidak, aku menyewakannya pada orang lain dan minta dibayar per bulan karena uangnya aku gunakan untuk membayar cicilannya. Dulu down payment yang aku bayarkan cukup besar jadi cicilan yang harus aku bayar tidak terlalu besar.”

“Lalu sekarang kemana penghuninya?”

“Sudah aku hentikan penyewaannya bulan kemarin. Dan dalam waktu satu bulan itu pula aku minta mereka untuk mengosongkan ruangan ini seperti pertama kali dulu mereka menyewanya.”

“Lalu sekarang mau kau apakan setelah kosong begini?”

“Sekarang, tempat ini milikmu, jadi terserah kau mau diapakan.”

“Kau bercanda Sandra. Itu tidak mungkin.”

“Apanya yang tidak mungkin. Tempat ini milikmu. Aku memberikan kondominium ini padamu. Terserah kau, kapan mau pindah ke sini. ”

“Begini saja, bagaimana kalau nanti aku yang mencicil per bulannya setelah aku bekerja di firma hukum Maurice Grant & Co.

“Tidak usah Matt. Kau juga perlu uang untuk melengkapi apartemenmu. Pembayaran kredit tempat ini tetap menjadi tanggung jawabku.”

“Tapi Sandra ini tidak mungkin. Kau sudah terlalu banyak membantuku. Kau membiayai kuliahku, kau membelikan aku mobil dan sekarang aku dapat kondominium juga?”

“Kau adikku, Aaron juga, aku senang bisa membahagian kalian.”

“Tapi ini terlalu banyak untukku.”

“Tapi aku akan sangat marah kalau kau menolaknya, Matt.”

“Aku tidak tahu harus berkata apa.” Mata Matthew berkaca kaca, “aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membalas semua kebaikanmu.”

“Hanya menjadi Matthew yang baik.” Sandra tersenyum, “yang tidak mengecewakan orangtua dan saudara saudaranya. Yang penyayang, sabar, pekerja keras, tidak mudah putus asa. Dan yang terutama adalah berani mengejar cita citanya sebagai seorang pengacara dengan sungguh sungguh seperti apa yang ia harapkan selama ini. Itu saja yang kuharapkan darimu Matt.”

“Aku akan berusaha.” Matthew memeluk Sandra dengan perasaan haru, “terima kasih untuk semuanya.”

“Sama sama.”  Sandra balas memeluk Matthew erat. “Nanti aku berikan password apartemen ini. Kau bisa mengubah passwordnya.”

“Ya, tentu, sekali lagi terima kasih.” Ujar Matthew sambil melepaskan pelukannya. “Sekarang, kita lihat apa saja yang perlu aku beli untuk membuat tempat ini tidak kosong seperti ini lagi.”

~


Matthew memeluk Casey erat. Matthew dan Casey sedang duduk di balkon atas rumah Philip. Matthew merasa lega karena ia punya waktu untuk bersama sama Casey lagi.

Matthew sudah mengundurkan diri dari agency model milik Mr. Humberto karena mulai minggu depan Matthew sudah bekerja di firma hukum milik sahabat Lord Egar; Maurice Grant.

Walau firma hukum milik Mr. Grant sudah sangat terkenal dan dipercaya oleh banyak klien mereka, tapi seperti yang Lord Egar bilang pada Matthew bahwa Matthew harus memulai semuanya dari bawah sebagai seorang pengacara junior.

Bagi Matthew itu bukan suatu masalah. Tantangan apapun akan ia hadapi dengan semangat. Matthew merasa sangat bersyukur tidak harus mengikuti seleksi penerimaan pegawai yang sangat ketat di Maurice Grant & Co karena firma hukum tersebut selalu menjadi incaran para Sarjana Hukum atau Pasca Sarjana yang baru lulus dari kuliah mereka untuk bekerja di sana. Matthew bisa masuk bekerja disana dengan mudah karena rekomendasi dari kakak iparnya.

Gaji yang diberikan di Maurice Grant & Co sangat besar karena klien klien mereka adalah orang orang kaya Filmore Green yang punya bisnis macam macam. Standar gaji untuk pekerja pemula di Maurice Grant & Co sama besarnya dengan standar gaji untuk pengacara senior di firma hukum lainnya. Untuk itulah kenapa para lulusan Sarjana Hukum atau Pasca Sarjana berebut untuk masuk ke sana.

Sarjana Hukum atau Pasca Sarjana yang bergabung bekerja di Maurice Grant & Co kebanyakan adalah lulusan terbaik dari almamater mereka. Banyak juga diantaranya yang lulus dari universitas universitas terkenal di dunia seperti Yale, Harvard dan Oxford.

Maurice Grant & Co saat ini mempunyai 150 pengacara handal, lima diantaranya adalah partner, dan lima pengacara lainnya merupakan pengacara senior yang merupakan konsultan hukum yang berasal dari New York, London dan Boston. Sementara total karyawan yang bekerja di Maurice Grant & Co mencapai 300 orang karyawan.

Maurice Grant & Co melayani jasa hukum dalam bidang perbankan, perusahaan umum, real estate, pertambangan, perkapalan, teknologi informasi, telekomunikasi, minyak dan gas, kekayaan intelektual, merger, akuisisi perusahaan, penanaman modal,  bisnis ekspor hingga mediasi.

Matthew sangat bersemangat untuk memulai pekerjaan yang ia idam idamkan selama ini. Ia sudah berkunjung ke kantor Maurice Grant & Co selama empat kali.

Kunjungan pertama ia lakukan bersama Lord Egar saat ia memberikan curriculum vitae-nya. Saat itu pula Lord Egar memperkenalkan Matthew pada Maurice Grant.

Kunjungan kedua adalah saat Matthew di panggil untuk mengisi berkas tentang data diri dan lain lain. Ada banyak pertanyaan dalam berkas berkas itu untuk Matthew isi. Menurut Mr. Frederick, yang bertugas di bagian personalia, berkas berkas itu diperlukan untuk diarsipkan dan memang harus diisi oleh calon pegawai di sana.

Kunjungan ketiga Matthew adalah saat Matthew diinterview oleh Maurice Grant dan partnernya yang saat itu hadir sebanyak dua orang. Matthew juga diwawancara oleh tiga pengacara senior lainnya.

Kunjungan keempat Matthew adalah saat Matthew kembali bertemu Mr. Frederick untuk diberitahu tentang gambaran umum pekerjaannya.

Semua proses yang Matthew lalui harus dilalui juga oleh calon pegawai lainnya, hanya saja Matthew tidak harus mengikuti tes tertulis yang harus menjawab banyak pertanyaan secara essay tentang pengetahuan di bidang hukum.

Matthew hanya harus mengikuti tes psikologi, tapi itu bisa dilakukan saat ia sudah bekerja nanti.

Tapi walau bersemangat untuk memulai pekerjaan barunya, Matthew tetap akan merindukan pekerjaannya sebagai seorang model, karena bagaimanapun Matthew sudah mendapat uang yang cukup banyak dari sana.

Mr. Humberto sangat kecewa saat Matthew bilang padanya bahwa ia tak bisa bekerja lagi di agency model miliknya. Mr. Humberto tetap berharap di waktu luang Matthew nanti, Matthew masih mau menerima pekerjaan darinya secara freelance, dibayar per job tidak per bulan seperti saat Matthew terikat kontrak kerja dengannya dan Matthew setuju dengan hal itu.

“Mr. Humberto pasti sedih karena kehilangan dirimu.” Komentar Casey sambil menyandarkan kepalanya pada bahu Matthew.

“Aku masih akan bertemu dengannya,” Matthew tertawa, “aku tidak benar benar pergi meninggalkan dirinya. Aku nanti masih akan bekerja di waktu luangku.”

“Aku meragukan itu,” ujar Casey, “mungkin nanti kau akan sangat sibuk.”

“Mungkin, lihat saja nanti.” Sahut Matthew. “Bagaimana pekerjaanmu?”

“Pekerjaanku baik baik saja.”

“O, ya?”

“Ya.”

“Teman teman kerjamu oke?”

“Oke semua. Viola kemarin memamerkan kucingnya padaku. Ia membawa kucingnya ke tempat kerja. Aku tidak begitu suka kucing. Jadi aku lihat saja kucing Viola dari kejauhan tanpa berminat untuk mengelusnya.”

Kucing? Matthew termenung. Casey lebih suka membicarakan kucing Viola daripada tentang Luke?

“Kabar Luke bagaimana?” akhirnya Matthew tidak bisa menahan rasa penasarannya.

“Baik, Luke baik baik saja.”

“Jadi kapan Luke berencana untuk menikah dengan tunangannya?”

“Luke tidak jadi menikah. Untuk sementara tidak jadi, entah nanti.”

“Tidak jadi?”

“Tidak.”  Casey tiba tiba berdiri, “aku ingin keripik jagung. Aku akan mengambil keripik jagung dulu di kamarku.”

“Kenapa tidak jadi menikah Casey? Apakah hubungan Luke dengan tunangannya sudah putus?”

“Sepertinya begitu.”  Sahut Casey sambil mulai berjalan ke arah kamarnya. “Kau mau rasa keju atau original?” teriak Casey. “Baiklah, aku ambil dua duanya saja.” Putus Casey kemudian tanpa menunggu jawaban Matthew.

Casey kembali sambil membawa dua kantong keripik jagung yang cukup besar dan mulai membukanya. Ia lalu duduk lagi disamping Matt dan menyandarkan kepalanya ke bahu Matt lagi sambil mulai makan keripik.

“Jadi, Luke sekarang tidak punya tunangan.” Gumam Matthew pelan.

“Bisakah kita tidak usah membicarakan Luke?” ujar Casey kesal.

~

Casey duduk di kursi kerjanya dengan gelisah. Akhir akhir ini perhatian Luke padanya sangat besar. Luke bersikap seperti itu sejak ia sakit. Luke hanya dua hari dirawat di rumah sakit. Setelah demamnya turun, ia boleh pulang. Tapi dokter sudah melakukan pemeriksaan menyeluruh pada tubuh Luke untuk mengetahui penyebab demam pada tubuh Luke karena menurut dokter panas tinggi di tubuh Luke saat itu bukan demam biasa.

Tapi hasil pemeriksaan Luke baru tiga hari lagi keluar. Ibu Luke yang akan mengambil hasil itu ke rumah sakit.

Selama hampir seminggu ini, tepatnya sejak Luke keluar dari rumah sakit, Luke sering membelikan Casey makan siang. Walau Luke sedang ada pekerjaan di luar, ia akan pesan secara delivery sehingga makanan itu akan diantar ke studio dan diberikan pada Casey. Casey jadi tidak enak pada teman temannya karena hanya dia yang dibelikan makan siang oleh Luke.

Untung Brenda sedang banyak pekerjaan sehingga tidak tahu kalau Casey setiap hari mendapat makan siang gratis dari Luke, kalau tahu Brenda bisa marah marah padanya.

Casey tidak tahu harus bersikap bagaimana dengan semua kebaikan Luke ini. Casey tahu Luke tidak menuntut apa apa padanya, tapi tetap saja Casey merasa tidak enak, karena walau Luke tidak menuntut apa apa pada dirinya, Luke terlihat sering memperlakukan Casey sebagai “pacar”nya daripada sebagai teman biasa. Viola pun bisa melihat hal itu. Luke menaruh harapan besar pada Casey dan sedang berjuang untuk mendapatkan hati Casey. Tapi Casey mencintai Matthew sekarang, itu yang membuat Casey bingung.

“Pizza yang enak untuk Casey yang cantik,” Craig tiba tiba masuk ke ruang kerja Casey dan menaruh satu bungkus pizza besar di hadapan Casey.

“Wah terima kasih.” Seru Casey sambil membuka pizza itu. “Aromanya wangi sekali. Kebetulan aku sedang lapar.” Casey mengambil seiris pizza dan mulai memakannya. “Kau ambil saja Craig kalau mau, ambil buat Viola sekalian, atau Viola suruh datang ke sini.”

“Tidak, terimakasih,” Craig tersenyum. “Masih ada lima bungkus pizza besar diluar sana. Aku sudah mengamankan untukku satu. Viola dapat satu, Goldie dapat satu, Brenda dapat satu dan sisanya kurasa untuk Luke, jadi sudah aku simpan juga di ruang kerja Luke.”

“Wah, tumben Luke baik mentraktir kita semua.”

“Ya, sepertinya begitu, mungkin Luke sebentar lagi pulang. Aku kembali ke ruang kerjaku ya.”

“Oke, Craig, terima kasih.”

“Sama sama.”

Casey langsung mengambil handphonenya dan menelepon Luke.

“Hallo,” sahut Luke.

“Luke, terima kasih pizzanya ya. Pizzanya enak.”

“Pizza? Aku tidak pesan pizza. Aku baru mau pesan masakan cina untukmu.”

“Tidak usah pesan Luke, aku sudah kenyang makan pizza. Lalu siapa yang membeli pizza ini kalau bukan dirimu?”

“Aku tidak tahu, tapi aku belum pesan makanan apapun.”

“Baiklah kalau begitu, nanti kau kuhubungi lagi.”

Casey cukup terkejut saat tahu bukan Luke yang memesan pizza untuknya dan teman teman mereka. Tiba tiba Casey tersenyum lebar. Apa mungkin Matt? Teriaknya senang dalam hati. Sekarang hari pertama Matt bekerja, mungkin ia mau merayakan hari pertamanya bekerja di firma hukum besar dengan mentraktirku pizza?

Casey langsung menelepon Matthew.

“Sayang, kau sedang sibuk?” tanya Casey ketika Matthew menerima panggilannya.

“Ya, cukup sibuk, ada apa babe?”

“Ehm, aku cuma mau bertanya, apakah kau memesan pizza untukku?”

“Pizza?” Matthew balik bertanya. “Tidak, aku tidak sempat menelepon siapapun hari ini. Aku tidak memesan apapun lewat telepon.”
“Baiklah, nanti kuhubungi lagi.”

“Memang ada yang membelikan pizza untukmu?” tanya Matthew.

“Ya, aku sedang mencari tahu siapa yang mentraktirku, nanti kuhubungi lagi. Selamat bekerja lagi.”

“Terima kasih babe. Kau juga.”

Casey sedang menduga duga kira kira siapa yang mengiriminya pizza saat teleponnya tiba tiba berbunyi.

Casey memperhatikan nomor yang masuk, ia tak kenal nomor tersebut karena tidak pernah menyimpannya, tapi Casey tetap menerima panggilan untuknya.

“Selamat Siang, dengan Casey Carlton di sini.”

“Casey, apa kabar?” suara seorang pria yang sepertinya pernah Casey dengar sangat ramah menyapanya.

“Kabar baik, terima kasih.”

“Kau dan teman temanmu sudah menerima pizzanya?”

“Sudah.” Sahut Casey langsung. “Jadi Anda yang membelikan pizza untuk kami?”

“Ya, mudah mudahan cukup untuk semua yang ada di sana.”

“Cukup, tapi dengan siapa aku bicara?”

Terdengar tawa di seberang sana. “Aku Larry.”

Casey berusaha mengingat ingat temannya yang bernama Larry. Di tempat kerjanya dulu di perusahaan pengiriman paket tidak ada yang bernama Larry. Tetangganya di rumah Tante Casey juga tidak ada yang bernama Larry.

“Larry? Kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Casey. Ia menyerah karena tak ingat satupun temannya yang bernama Larry.

“Cukup sering kita bertemu, aku Larry, suami Bianca.”

“Su..ami Bi.. ini Yang Mulia Prince Lawrence Albert Norman V?” teriak Casey tak percaya. Casey sering ngobrol dengan Bianca melalui telepon tapi tidak pernah ngobrol dengan Putera Mahkota Kerajaan Fillmore Green di telepoon sebelumnya.

‘Ya.”

“Yang Mulia, Anda baik sekali mentraktirku pizza hari ini, terima kasih banyak untuk pizzanya.”

“Sama sama Casey, aku sedang gembira sekali hari ini.”

“Wah aku ikut senang, tapi kalau boleh aku tahu apa yang menyebabkan Anda gembira?”

“Bianca hamil lagi.”

“Apa?! Oh My God, ini berita besar.” Teriak Casey senang.

“Ya, dan baru kau dan orangtuaku yang tahu. Pengumuman resmi dari istana mungkin baru dilakukan minggu depan.”

“Aku benar benar senang mendengarnya Yang Mulia. Selamat untuk Anda dan Bianca.”

“Terima kasih.” Ujar Prince Larry. “Ngomong ngomong Casey, apa yang sudah kau katakan pada Bianca sehingga Bianca mau memberikan adik lagi buat Sabrina?”

“Aku?” tanya Casey bingung. “Aku tidak tahu, aku lupa bicara apa saja dengan Bianca.”

“Bianca ingin memberi Sabrina adik paling tidak kalau Sabrina sudah berusia empat tahun. Dan aku menyetujui keinginannya. Tapi Bianca bilang kau menyarankan padanya agar secepatnya memberi Sabrina adik dan kalau perlu adik yang banyak.”

“Oh.. itu.. ya.. aku baru ingat sekarang. Aku pernah ngobrol mengenai hal itu saat menemani Bianca beli cokelat di toko cokelat ibu Sandra. Tapi kurasa perkataanku tidak banyak berpengaruh ah. Ini semua keputusan Bianca sendiri.”

“Ya, tapi kata katamu jadi bahan pemikirannya juga. Aku cukup terkejut ketika ia ingin mulai program memiliki anak lagi dan mulai berhenti minum pil.”

“Wow ini luar biasa.” Casey tertawa, “dan Ya Tuhan, Sandra juga sedang hamil. Wow baby booming. Bayi kalian nanti bisa bersahabat. Anda pasti berharap anak kedua Anda laki laki ya Yang Mulia?”

“Ya, betul sekali. Tapi perempuan lagi juga tidak apa apa.”

“Boleh aku menengok Bianca kapan kapan?”

“Tentu saja Casey, Crown Palace selalu terbuka untukmu.”

“Terima kasih, mungkin nanti aku akan mengajak Sandra ke sana.”

“Oke, kami tunggu.”

“Terima kasih Yang Mulia.”

“Ya, sama sama. Selamat melanjutkan aktivitasnya lagi Casey, sampai bertemu lagi.”

“Sampai bertemu lagi Yang Mulia.”

Casey menjerit tak percaya saat Prince Larry mengakhiri pembicaraan mereka. Casey masih tak percaya Putera Mahkota Fillmore Green ngobrol akrab dengannya. Casey lalu berlari mencari Viola untuk menceritakan semuanya.

~


“Akhirnya, aku bisa berkenalan dengan pacarmu yang tampan,” Bianca tertawa sambil menyalami Matthew.

Casey mengajak Matthew dan Sandra ke Crown Palace pada hari Sabtu siang, dan mereka bisa pergi dengan Casey karena sedang tidak ada kesibukan. Lord Egar yang sedang berada di Giltown City untuk urusan pekerjaan sedang dalam perjalanan menuju Crown Palace, untuk menyusul Sandra.

“Apa kabar Yang Mulia?” Matthew tersenyum menatap Bianca.

“Kabar baik, terima kasih. Ini suamiku,” Bianca memperkenalkan Prince Larry pada Matthew.

“Senang berkenalan dengan Anda Yang mulia.” Ujar Matthew sopan.

“Aku juga,” Prince Larry tersenyum ramah, “kau mirip Sandra, tapi versi laki lakinya.”

Sandra tertawa, “banyak orang yang bilang begitu.”

“Ayo silahkan duduk, santai saja di sini.” Prince Larry mempersilahkan tamu tamunya duduk. “Rasanya sudah lama kita tidak berkumpul seperti ini, terakhir kita berkumpul waktu di Lotus Village ya hampir setahun yang lalu?”

“Ya, waktu Sandra belum menikah.” Jawab Casey. “Saat itu Lord Egar masih berpacaran dengan Faye.”

“Casey!” protes Sandra.

“Itu benar,” Casey tertawa, “dan saat itu Sandra dekat dengan Philip.”

“O, ya, apa kabar Philip? Philip tidak ikut ke sini?” tanya Prince Larry pada Casey.

“Philip sedang bekerja. Kadang ia suka mengambil dua shift sekaligus, siang dan malam. Entah apa yang dikejarnya, padahal tidak bekerjapun Philip sudah mendapat uang sewa dari kita kita. Belum lagi ayahnya suka mengiriminya uang.”

“Ya ampun,” komentar Sandra, “Philip kurang ajar sekali bukan dia yang mengirimi ayahnya uang.”

“Ayahnya yang memaksanya Sandra, padahal Philip sudah menolaknya, bisnis ayahnya disana berkembang pesat, sehingga ayahnya sering mengirimi Philip dan adiknya uang.”

“Kalau boleh tahu Philip kerja apa?” tanya Prince Larry.

“Supervisor di sebuah hypermarket.” Sandra yang menjawab.

“Ooh.”

“Bianca, aku bahagia untukmu,” ujar Casey pada Bianca, “suamimu bilang kau sedang hamil. Sandra sampai terkejut saat kuberitahu.”

“Terima kasih Casey.” Bianca tersenyum, “sepertinya bayiku nanti akan punya teman sebaya.”

“Ya.” Sandra tertawa. “Ini benar benar hebat. Aku tak percaya ini terjadi pada kita.”

“Aku juga.” Bianca ikut tertawa, “ngomong ngomong nanti kita makan siang bersama ya, kokiku sedang masak makan siang untuk kita semua.”

“Oke, dengan senang hati.” Ujar Casey.

“Suamimu sudah sampai mana? Apa perjalanannya masih lama?” tanya Prince Larry pada Sandra.

“Sebentar aku telepon dulu.” Sandra mengeluarkan handphonenya, tapi mobil Lord Egar tiba tiba memasuki halaman Crown Palace. “Itu dia sudah datang, sebentar, aku akan menjemputnya.” Sandra lalu berjalan ke halaman untuk menjemput Lord Egar.

Lord Egar muncul di ruang tamu Crown Palace dan langsung memeluk Prince Larry.

“Selamat.” Ujarnya pada Prince Larry, “wow, bayi lagi. Aku ikut berbahagia untukmu Larry.”

“Selamat untukmu juga.” Prince Larry tertawa dan balas memeluk sahabatnya. “Aku tak percaya ini terjadi pada kita.”

“Ya. Ini benar benar luar biasa.”

~ ~

Siang itu di salah satu ruang makan Crown Palace yang elegan, Casey dan sahabat sahabatnya dan suami suami mereka makan siang bersama.

Casey benar benar tak menyangka bisa menjadi bagian dari pergaulan orang orang hebat di negaranya. Padahal ia hanya orang biasa yang sudah tidak mempunyai ibu karena ibunya sudah meninggal dan yang ayahnya entah dimana.

Tapi kini ia ada di Crown Palace, suatu tempat yang sangat eksklusif dan tertutup bagi banyak orang keculi orang orang yang dekat dengan Prince Larry dan keluarganya.

Banyak orang yang ingin mengetahui keindahan dan kemegahan suasana di Crown Palace, tapi tak punya kesempatan untuk masuk ke sana, jadi Casey merasa bahwa ia adalah salah seorang yang beruntung bisa masuk ke Crown Palace.

Sebenarnya sudah cukup sering Casey bolak balik ke Crown Palace, dari mulai Bianca masih bertunangan, yang mengundangnya pada acara jamuan makan malam beberapa hari sebelum ia menikah, lalu saat pernikahan, lalu saat Princess Sabrina lahir, lalu saat mau pergi ke Lotus Village sama sama walau berbeda kendaraan, lalu saat mau pergi ke toko cokelat ibu Sandra dan beberapa kunjungan lainnya, tapi entah kenapa Casey sedang sentimentil saat ini. Ia sekarang bahkan teringat lagi saat dulu sering makan siang bareng Bianca saat mereka berdua masih bekerja di perusahaan pengiriman paket. Saat itu mereka sangat berhemat kalau memilih menu makan siang. Bianca harus menyisihkan uangnya untuk membayar sewa kamar di rumah Philip dan Casey pun harus menyisihkan uang untuk ditabung karena sewaktu waktu ia akan keluar dari rumah Tante dan omnya dan menyewa kamar di tempat lain.

Seolah tahu Casey sedang memikirkan dirinya, Bianca tersenyum ke arah Casey, “ada apa Casey?” tanya Bianca.

“Tidak, tidak ada apa apa. Kau cantik Bianca, aku tidak pernah bosan melihatmu.”

Bianca tertawa, “kau juga cantik Casey.”

“Tidak, kau sangat, sangat cantik, terlebih lebih saat sedang hamil seperti sekarang.”

“Terima kasih Casey, aku menyayangimu.”

“Aku juga menyayangimu.”

~

BAB ENAM


Kantor Firma Hukum Maurice Grant & Co terletak tidak jauh dari komplek Istana Normand. Bangunan kantornya merupakan bangunan tersendiri yang cukup luas dan megah yang terdiri dari sepuluh lantai. Dan masing masing lantai ada parkir tersendiri.

Lantai pertama atau lantai bawah hanya merupakan ruangan kosong yang diisi oleh beberapa sofa empuk untuk para klien duduk duduk atau beristirahat. Di lantai satu ini pula tersedia restoran atau cafe yang sifatnya komersil. Pemilik cafe dan resto tersebut menyewa tempat pada Maurice Grant untuk berjualan di sana.

Setidaknya terdapat sepuluh cafe dan resto yang berjualan di lantai pertama gedung Maurice Grant & Co.

Para pengacara di firma hukum Maurice Grant & Co biasanya hangout di cafe atau resto tersebut untuk sekedar beristirahat atau mengadakan pertemuan dengan klien mereka.

Seluruh karyawan Maurice Grant & Co mendapat makan siang yang diberikan dalam bentuk nasi box. Menu makan siang yang disajikan selalu enak enak. Tapi karena para pegawai di sana rata rata gajinya besar besar semua, maka banyak diantara mereka yang tidak mengambil jatah makan siang mereka dan mereka lebih suka hangout di lantai bawah, membeli makanan atau minuman mahal dengan uang mereka sendiri.

Matthew yang memperhatikan perilaku beberapa temannya tersebut hanya bisa geleng geleng kepala. Menurut Matthew tindakan itu  adalah tindakan pemborosan. Matthew dengan senang hati memakan jatah makan siangnya karena memang lezat dan hampir jarang mengeluarkan uang untuk membeli makan siang atau membeli minuman. Matthew lebih suka minum air putih. Dan air putih disediakan dengan cuma cuma dan dalam jumlah yang banyak di ruang kerjanya.

Lantai dua gedung Maurice Grant & Co diperuntukkan untuk para klien yang datang untuk meminta bantuan hukum. Ada beberapa customer service di lantai dua. Keluhan para klien biasanya disampaikan terlebih dahulu pada customer service disana, baru setelah itu pekerjaannya akan diserahkan pada para pengacara sesuai bidang dan keahlian masing masing.

Pengacara di Maurice Grant & Co kalau pernah menangani kasus di bidang perbankan, akan terus dipekerjakan di bidang yang sama jika ada kasus yang sama dari klien. Begitupun pengacara yang khusus menangani masalah eksport, sehingga para pengacara tersebut sudah berpengalaman di bidang masing masing.

Lantai tiga dari gedung Maurice & Co adalah khusus untuk para pengacara senior. Setidaknya ada dua puluh lima ruangan yang sangat nyaman untuk para pengacara senior di sana. Di masing masing ruangan mereka terdapat seperangkat sofa untuk menerima tamu dan fasilitas lainnya seperti televisi, kulkas, CD player dan yang lainnya. Kepala Personalia, Mr. Frederick, mempunyai ruang kerja di lantai ini.

Lantai empat dari gedung Maurice & Co adalah khusus untuk ruang kerja Maurice Grant dan partners, mereka dilengkapi dengan sekrektaris pribadi masing masing di depan ruang kerja mereka. Siapapun yang ingin bertemu dengan Maurice Grant dan partner kerjanya harus melalui sekretari mereka.

Lantai lima sampai lantai tujuh adalah diperuntukkan untuk pengacara yang bekerja sudah agak lama. Mereka berada di tengah tengah, antara pengacara senior dan pengacara junior. Ruang kerja mereka sendiri sendiri dan tidak disekat sekat walau besarnya tidak sebesar ruang kerja para pengacara senior di lantai tiga.

Lantai delapan dan lantai sembilan gedung Maurice & Co diperuntukkan untuk pengacara junior atau pegawai baru. Berbeda dengan pengacara yang bekerja di lantai lima sampai lantai tujuh yang mempunyai ruang kerja sendiri, pegawai di lantai delapan dan lantai sembilan ruang kerjanya hanya di sekat, sehingga antara satu pegawai dengan pegawai lainnya bisa saling bertegur sapa. Masing masing pegawai difasilitasi satu meja kerja yang cukup besar dengan monitor komputer dan printer dan fasilitas kerja lainnya. Dan sebuah kursi kerja yang nyaman. Mereka juga punya lemari kecil untuk menyimpan barang barang mereka.

Lantai sepuluh gedung Maurice & Co diperuntukkan untuk gudang, arsip, perpustakaan dan dapur umum. Semua data yang diperlukan ada di lantai sepuluh. Makanan siang yang diterima para pegawai Maurice & Co juga dimasak di dapur umum di lantai sepuluh tersebut.

Karena masing masing lantai mempunyai parkir sendiri sendiri, maka tiap berangkat kerja Matthew langsung memarkir mobilnya di lantai delapan, karena ruang kerja Matthew ada di lantai delapan.

Berbeda dengan lantai lantai lainnya, tempat parkir di lantai empat gedung tersebut dijaga ketat oleh keamanan. Setidaknya ada empat orang petugas keamanan yang bertugas di sana secara bergantian. Kalau bos mereka sedang overtime, mereka juga ada yang bertugas untuk shift malam. Petugas keamanan itu diperlukan karena mobil mobil yang parkir di sana adalah mobil mobil mewah.

Karena keberhasilan firma hukumnya, Maurice Grant tercatat sebagai salah satu orang terkaya di Fillmore Green. Ia mengendari mobil Koenigsegg Agera R ke tempat kerjanya dan berganti ganti dengan koleksi mobil mewah lain miliknya, dan konon katanya, ia juga punya pesawat pribadi.

Tugas pertama Matthew di firma hukum milik Maurice adalah membuat dokumen hukum khusus Perusahaan Perseroan Terbatas.

Matthew ditugaskan membuat draf  untuk kontrak kerja karyawan, kontrak bisnis atau kontrak kontrak perjanjian dengan pihak ketiga, Surat Kuasa, dan lain lain sesuai permintaan Perusahaan yang menjadi klien Maurice Grant & Co..

Hasil kerja Matthew akan direview oleh atasannya. Jika ada yang harus diperbaiki harus Matthew perbaiki, jika tidak, atasan Matthew akan mengirimkan dokumen hukum tersebut pada Perusahaan yang meminta jasa Maurice & Co untuk menyiapkan itu semua.

Kehadiran Matthew di firma hukum milik Maurice sepertinya memberikan angin segar bagi para wanita lajang yang bekerja di sana. Dalam hitungan hari Matthew jadi idola bagi mereka. Matthew diperbincangkan dan diperebutkan oleh mereka, bahkan ada beberapa diantaranya yang nekad mengajak Matthew kencan. Dan Matthew menolak mereka satu satu dengan sopan dan dengan cara yang halus.

Matthew lebih sering berada di tempat kerjanya daripada di tempat lainnya. Ia jarang hang out di cafe. Sesekali ia pergi ke lantai sepuluh ke ruang perpustakaan untuk mencari data data pendukung bagi dokumen yang sedang ia kerjakan.

Saat makan siang, Matthew lebih sering menghabiskan waktu diperpustakaan setelah sebelumnya makan nasi box di meja kerjanya.

Pulang kerja, Matthew pulang ke kondominiumnya. Ia sudah menempati kondominiumnya sejak ia mulai bekerja. Ia belum berbelanja banyak barang. Ia baru punya tempat tidur, meja kerja, lemari untuk pakaiannya, lemari untuk buku bukunya yang kebanyakan tentang hukum, sebuah sofa yang nyaman dan sebuah televisi.

Ia belum membeli sofa untuk ruang tamunya dan perlengkapan lainnya. Ia akan mengajak Casey untuk membeli itu semua. Ia ingin minta saran pada Casey tentang jenis sofa apa yang sebaiknya ia beli.

Matthew belum bercerita tentang kondominium miliknya pada Casey. Ia ingin membawa Casey langsung main ke sana daripada bercerita tentang tempat tinggalnya sekarang.

~


Casey berjalan dengan setengah tergesa ke lantai atas, ke tempat kediaman Luke. Mrs. Lucas baru menelepon Casey dan meminta Casey datang menemuinya di tempat kediaman Luke.

Casey yang baru selesai sarapan langsung pergi ke lantai atas karena Mrs. Lucas ingin bicara dengan Casey sekarang juga.

Saat Casey mengetuk pintu terdengar suara Mrs. Lucas yang menyuruh Casey masuk. Caseypun segera masuk dan sangat terkejut melihat Mrs. Lucas sedang menangis.

“Mrs. Lucas, ada apa?” tanya Casey khawatir.

“Duduklah Casey.” Mrs. Lucas mempersilahkan Casey duduk tanpa berusaha menghapus air matanya yang terus turun.

“Luke masih tidur?” Casey memperhatikan pintu kamar Luke yang tertutup.

“Tidak, dia pergi pagi pagi sekali dengan ayahnya, katanya mau berolahraga.”

“Lalu kenapa Anda menangis seperti ini?” tanya Casey.

“Dua hari yang lalu aku baru menerima hasil kesehatan Luke dari dokter yang memeriksanya saat itu.”

“Lalu apa hasilnya?”

“Hasilnya sangat buruk,” Mrs. Lucas menangis lagi.

“Seburuk apa?”

“Buruk sekali. Luke ternyata menderita Leukimia. Jenis LMA, Leukimia Mieloblastik Akut.”

“Itu tidak mungkin,” desis Casey tak percaya, seperti Mrs. Lucas, Casey juga mulai menangis.

“Aku juga tak percaya, tapi hasil pemeriksaan benar benar menunjukkan itu.”

“Aku sangat menyesal mendengar ini Mrs. Lucas, sungguh.”

“Ya.”

“Kalau begitu Luke harus mulai berobat?”

“Untuk itulah aku memanggilmu ke sini, aku ingin minta bantuanmu Casey.”

“Tentu, aku akan membantu kalau aku bisa.”

“Aku punya seorang adik perempuan, ia seorang dokter. Ia akan menangani pengobatan Luke, tapi ia bekerja di rumah sakit miliknya di Leefsmall. Ia sangat sayang pada Luke. Ia sangat histeris saat kuberitahu Luke sakit kanker darah. Ia memohon padaku agar membawa Luke ke sana agar ia bisa merawatnya disana.” Mrs. Lucas menghapus air matanya dengan tisu sebelum melanjutkan kata katanya. “Aku sudah minta Luke untuk pergi ke sana dan memulai pengobatan, tapi Luke tidak mau, aku terus membujuk, akhirnya Luke mau asal kau ikut dengannya.”

“Aku?” tanya Casey kaget.

“Ya, Luke mau berobat di Leefsmall di rumah sakit milik tantenya asal ditemani olehmu Casey.”

“Berapa lama pengobatannya Mrs. Lukas?”

“Sally, adikku, ingin merawat Luke paling tidak enam minggu, mungkin lebih. Ia akan menempatkan Luke di salah satu paviliun rumah sakit miliknya.”

“Enam minggu lebih?” tanya Casey kaget, “aku harus menemani Luke selama enam minggu lebih?”

“Sepertinya begitu Casey.”

“Tapi aku harus bekerja Mrs. Lucas.”

“Kau jangan khawatirkan soal pekerjaanmu, biar Craig yang menggantikan pekerjaanmu untuk sementara.”

“Bukan itu masalahnya, aku harus bekerja karena harus mendapatkan uang. Aku harus menyewa kamar kontrakanku dan...”

“Casey, selama kau menemani Luke di Leefsmall, gajimu tetap utuh, tidak akan dikurangi apalagi dihentikan, kau tetap akan menerima gajimu seperti biasanya.”

“Tapi...” Casey terdiam, ia tak tahu apa yang harus dikatakan pada Matthew tentang hal ini, Matthew pasti tidak setuju walau apa yang Casey lakukan adalah untuk menolong Luke.

“Sebagai seorang ibu, aku sangat memohon bantuanmu Casey,” Mrs. Lucas menangis lagi. “Aku tidak tahu harus bilang apa lagi padamu. Aku sedih sekali, ini menyakitkan sekali, aku tidak ingin kehilangan anakku, aku ingin Luke sembuh. Kumohon bantu aku.”

‘Ya, Mrs. Lucas, baiklah.” Ujar Casey bingung. Casey benar benar tidak tahu harus mengatakan apa pada Matthew.

“Terima kasih banyak Casey, aku sangat menghargai pertolonganmu.”

“Sama sama Mrs. Lucas, semoga Luke bisa cepat sembuh dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi dari penyakitnya ini.”

“Amin.”

“Yang aku tidak mengerti bagaimana mungkin Luke bisa terkena penyakit ini di usianya yang sekarang. Apakah waktu kecil Luke sehat sehat saja Mrs. Lucas?”

“Sehat, waktu kecil Luke sehat. Menurut dokter penyakit ini bisa datang kapan saja. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Antara lain faktor makanan yang tidak sehat, radiasi, antibodi yang lemah, virus.”

“Kapan pengobatan Luke mulai dilakukan?” tanya Casey.

“Kalau bisa secepatnya. Besok kau sudah siap?”

“Ya, tentu, aku akan packing barang barangku nanti malam.”

“Biar kami yang menjemputmu besok ke rumah kontrakanmu.”

“Tidak usah Mrs. Lucas, besok pagi pagi sekali aku akan kesini naik taksi.”

“Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu Casey.”

“Sama sama Mrs.Lukas.  Sekarang boleh aku kembali bekerja?”

“Ya, dan tolong panggil Craig kesini, aku ingin bicara dengannya. Dan Casey, tolong rahasiakan tentang penyakit Luke ini pada siapapu, aku tidak ingin teman temannya disini merasa khawatir.”

“Kalau mereka bertanya tanya kemana aku dan Luke pergi selama enam minggu ini bagaimana?”

“Katakan saja Luke ingin membuka bisnis baru di Leefsmall dan ia butuh dirimu untuk memulai usahanya di sana. Jadi selama Luke dan kau tidak ada di sini, Craig yang bertanggung jawab dengan studio ini, untuk itulah aku ingin bicara dengan Craig.”

“Baik Mrs. Lucas, aku panggil Craig sekarang.”

“Ya, terima kasih.”

Casey turun untuk memanggil Craig, setelah itu ia kembali ke ruang kerjanya. Di tempat duduknya Casey tidak tahu harus melakukan apa. Ia tak bisa menolak permintaan Mrs. Lucas karena ia sama khawatirnya dengan Mrs. Lucas. Casey akan melakukan apa saja agar Luke mau berobat.

Walau ia tidak mencintai Luke lagi, ia merasa sayang pada Luke. Luke adalah salah satu sahabat yang bisa ia andalkan. Casey lebih dekat dengan Luke daripada dengan kedua saudara sepupunya yang laki laki; Barry dan Rodney, yang merupakan anak anak Tante Casey.

Dan teringat akan pesan Mrs. Lucas bahwa sebaiknya Casey jangan menceritakan tentang penyakit Luke pada siapapun, Casey akhirnya memutuskan untuk tidak bercerita pada Matthew.

Ingat Matthew Casey menjadi sangat sedih. Tapi Casey berusaha untuk menguatkan hatinya. Ia lalu mengirim pesan pada Matthew bahwa pulang kerja nanti ia ingin bicara dengan Matthew karena ada suatu hal penting yang ingin ia sampaikan.

~ ~

Casey berjalan memasuki Radley & Radley Cafe. Cafe yang Casey datangi terletak diantara studio tempat Casey bekerja dan kantor Maurice Grant & Co tempat Matthew bekerja. Tadinya Matthew ingin menjemput Casey, tapi Casey menolak. Casey bilang ia akan menemui Matthew dengan menggunakan taksi.

Dan sekarang Casey sudah berhasil menemukan Matthew yang sedang duduk menunggunya di dekat jendela Cafe. Sudah terhidang dua minuman di atas meja di hadapan Matthew dengan beberapa muffin kesukaan Casey. Sambil kembali menguatkan hatinya, Casey akhirnya menghampiri Matthew.

“Hai, maaf agak telat, tadi lumayan macet.” Ujar Casey sambil duduk di hadapan Matthew.

“Tidak apa apa, aku juga tidak terlalu lama datangnya kok,” Matthew tersenyum, “ini vanilla-late-nya.”

“Terima kasih,” Casey mengambil cangkir yang berisi vanilla-late kesukaannya dan mulai meminumnya.

“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” Matthew menatap Casey lekat lekat.

Casey terdiam agak lama.

Babe, apa yang ingin kau sampaikan?” tanya Matthew lagi.

“Aku tidak tahu harus mulai darimana, tapi...” mata casey tiba tiba berkaca kaca.

“Tapi apa?” Matthew mulai khawatir, “apa yang terjadi?”

“Aku ingin kita putus.”

“Apa?!” Matthew berteriak kaget, “kau ingin kita apa?”

“Aku minta maaf Matt, aku benar benar minta maaf.” Casey kini menangis karena tak bisa menahan rasa sedihnya lagi, “kupikir aku bisa melupakan Luke, tapi ternyata tidak.” Lanjut Casey lagi.

Selama ini Casey hampir tidak pernah berbohong dalam hidupnya dan ini adalah salah satu kebohongan terbesar yang pernah ia katakan.

“Oh, jadi itu masalah penting yang ingin kau sampaikan.”Gumam Matthew. “Masalah Luke. Tentu saja. Seharusnya aku bisa menebaknya. Tapi sialnya aku tidak kepikiran tentang hal itu sebelumnya, tapi setelah diingat ingat lagi kau selalu enggan membicarakan Luke karena kau tak bisa melupakannya?”

“Aku minta maaf.”

“Dan Luke juga tidak bisa melupakanmu?”

“Aku bilang aku minta maaf.”

“Tidak, jangan meminta maaf. Jangan. Berhentilah meminta maaf karena yang salah disini adalah aku. Aku sudah bertindak salah karena jatuh cinta pada orang yang salah.”

“Matthew, aku tidak bermaksud untuk menyakiti hatimu, aku hanya berusaha di sini dan..”

“Tapi kau sudah menyakitiku.” Potong Matthew, “kau tahu kenapa aku mau bekerja di tempat Mr. Humberto? Karena aku ingin bertemu denganmu, karena aku ingin bersamamu. Bekerja di Mr. Humberto adalah alasanku untuk bisa sering bertemu dirimu karena aku tidak punya alasan lainnya. Aku sebenarnya tidak perduli dengan pekerjaan itu karena yang terpenting bagiku adalah dirimu. Aku menyayangimu dengan sungguh sungguh Casey. Tapi ternyata aku sudah menyia nyiakan waktuku dengan percuma.” Matt tiba tiba berdiri dari duduknya, dan tanpa bicara apa apa lagi ia meninggalkan Casey.

Casey hanya bisa menangis melihat kepergian Matthew. Ia ingin sekali berlari mengejar Matthew dan memeluknya dan mengatakan bahwa ia terpaksa melakukan semua itu untuk kesembuhan Luke.


Tapi hal itu tidak Casey lakukan. Casey hanya berharap bahwa suatu saat nanti ia dan Matthew masih punya kesempatan untuk bisa bersama lagi.

~ ~

BAB TUJUH


John memarkir mobilnya di pinggir jalan. Rumah keluarga Randy Chester terletak di sebuah komplek perumahan untuk kalangan menengah. Tidak elit tapi tidak kecil juga. Dari satu rumah ke rumah lainnya dibatasi pagar tanaman.

Di halaman masing masing rumah lahan yang cukup kosong. Rata rata rumah menjadikan lahan itu sebagai kebun bunga, naman Randy merubah halamannya menjadi taman bermain untuk anak anak. Di sana ada ayunan dan perosotan.

Setelah mencocokan alamat rumah Randy yang ada di sebrang tempat ia memarkir mobil dengan catatan di tanganny sekali lagi, John akhirnya turun dari mobil dan mulai menyebrang jalan ke arah rumah Randy untuk menemui keluarga Chester. John lalu mengetuk pintu.

Tidak lama kemudian seorang wanita setengah baya membuka pintu. Ia menggendong seorang anak perempuan kecil yang kira kira baru berusia satu tahun.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita itu.

“Apakah Anda isteri dari Randy Chester?”

“Ya, betul.”

“Aku John. Aku kesini untuk bertanya beberapa hal mengenai Florence Carlton. Aku pernah bertemu dengan suami Anda di Hall of City.”

“Oh, ya, Randy pernah bercerita bahwa ia bertemu denganmu di makam Florence.”

“Itu betul.”

“Baiklah, silahkan masuk, maaf berantakan. Maklum ada anak kecil.”

“Tidak apa apa berantakan. Terima kasih sudah mau menerima kehadiranku.”

“Iya, tidak masalah. Apa yang bisa kulakukan untuk Anda?”

“Hanya menjawab beberapa pertanyaan.”

“Baik. Silahkan duduk, aku akan memberikan cucuku dulu pada ibunya di kamar.”

“Ya, tentu.”

Mrs. Chester segera berlalu dari hadapan John sambil tetap menggendong anak kecil yang ternyata cucunya tersebut.

Ia muncul tidak lama kemudian sambil membawa segelas air putih untuk John.

“Silahkan minum,”

“Terima kasih.”

“Ini hanya air putih, tapi kalau Anda ingin teh atau kopi, biar saya buatkan.”

“Tidak usah Mrs. Chester. Air putih saja cukup, terima kasih.”

“Baiklah.” Mrs. Chester akhirnya duduk di hadapan John di ruang tamu rumahnya. “Kata suamiku, Florence ternyata mempunyai seorang anak perempuan yang sudah dewasa, itu benar?”

“Ya, benar. Namanya Casey. Ia kini berusia 25 tahun. Ia bekerja di Hall of City.”

“Aku benar benar tidak tahu kalau Florence mempunyai anak. Anaknya pasti mirip dengannya, aku jadi ingin bertemu dengannya.”

“Aku bisa memberikan alamat Casey di Hall of City kalau Anda ingin bertemu dengannya.”

“Tentu, aku mau alamatnya, sekalian nomor handphonenya.”

“Nanti akan kuberikan, tapi seperti tujuanku semula kesini, aku ingin tahu beberapa hal tentang masa lalu Florence. Aku dengar Anda salah satu sahabat Florence yang paling dekat.”

“Ya, kami bersahabat sejak kami kecil. Kami sekolah di sekolah yang sama dari mulai playgroup sampai senior high school.”

“Apa ada kemungkinan Anda tahu tentang siapa ayah Casey.”

“Tidak, aku tidak tahu siapa ayah Casey. Jangankan ayah Casey, keberadaan Casey saja aku baru tahu sekarang. Dulu, waktu Florence kerja ke Italia, ia pergi dalam kondisi belum menikah dan tidak punya pacar dan pulangpun begitu. Aku bahkan sempat bertemu dengannya saat ia pulang dari Italia. Kami makan siang bersama di Leefsmall sini, dan dia tidak kelihatan sedang hamil atau apa, atau aku yang saat itu kurang memperhatikan. Florence sama sekali tidak bilang padaku kalau dia hamil.”

“Setelah pertemuan itu, Anda pernah bertemu dengannya lagi?” tanya John penasaran.

“Pernah, tapi dua tahun kemudian. Kalau dipikir pikir berarti saat itu ia sudah melahirkan Casey. Tapi ia tak pernah bercerita padaku kalau ia punya anak, apalagi bercerita tentang siapa ayahnya.”

“Selama di Italia, apakah ia pernah bilang pada Anda bahwa ia dekat dengan seorang pria atau jatuh cinta pada seorang pria?”

“Dia banyak bercerita tentang teman teman prianya di tempat kerjanya yang tampan tampan. Tapi dia tak pernah bercerita secara khusus bahwa ia punya pacar.”

“Kata suami Anda Florence pergi ke Italia selama tiga tahun?”

“Ya, kurang lebih tiga tahun.”

“Ia di sana hanya bekerja di restoran pizza saja atau pernah pindah kerja ke tempat lain?”

“Aku saat itu banyak berkomunikasi dengan Florence diawal awal kedatangannya saja di Italia. Setelah itu perlahan lahan komunikasi diantara kami jarang terjadi. Hanya sesekali ia mengirim pesan padaku mengatakan bahwa ia baik baik saja.”

“Italia-nya tepatnya dimana?”

“Tuscany.”

“Wow, tempat yang cantik.” Seru John langsung.

“Anda pernah ke sana?” tanya Mrs. Chester penasaran.

“Pernah, aku pernah  ke sana. Aku pernah keliling dunia bahkan ke tempat tempat terpencil sekalipun. Aku pernah ke Afrika Selatan, ke India bahkan ke Kalimantan di Indonesia. Tapi bukan untuk jalan jalan, melainkan karena berhubungan dengan pekerjaanku.”

“Anda benar benar seorang detektif?”

John tertawa, “sepertinya begitu. Itu memang pekerjaanku.”

Klien yang menyewa Anda, kenapa ingin tahu tentang ayah Casey?”

“Karena ia sayang pada Casey. Casey tidak punya siapa siapa. Keluarganya hanya keluarga tantenya, adik ibunya. Kalau Casey bisa bertemu dengan ayahnya, Casey akan punya keluarga lain. Keluarga Casey akan bertambah.”

“Aku juga keluarganya,” ujar Mrs. Chester sambil tersenyum. “Karena Casey puteri sahabatku, aku akan menganggap Casey seperti puteriku juga. Aku tidak sabar ingin bertemu dengan Casey. Ia pasti cantik sekali seperti Florence.”

“Ya, sangat cantik. Kalau melihat foto Florence yang mempunyai rambut cokelat tua, sepertinya Casey banyak mewarisi gen dari ayahnya karena rambut Casey cokelat terang. Mungkin ayahnya berambut pirang atau cokelat terang seperti Casey. Mata Casey berwarna campuran antara biru dan abu abu. Padahal mata Florence berwarna hijau. Jadi bisa aku ambil kesimpulan bahwa ayah Casey mempunyai mata yang berwarna biru atau abu abu.”

“Wow,” Mrs. Chester berdecak kagum, “mata berwarna campuran antara warna biru dan abu abu itu termasuk langka. Aku jadi benar benar tak sabar ingin bertemu Casey.”



“Ya, tentu, ngomong ngomong Anda punya anak berapa Mrs. Chester?”

“Cuma satu, perempuan juga. Sepertinya lebih tua dari Casey, karena waktu Florence pergi ke Italia aku sedang mengandung anakku, berarti usianya kurang lebih tiga tahun lebih tua dari Casey.”

“Cucu juga satu?”

“Ya, yang tadi kugendong, namanya Sinead.”

“Cucu Anda cantik sekali,” John tersenyum.

“Terima kasih.”

“Oke, kembali ke Tuscany tadi, bagaimana cara Florence bisa pergi ke sana?”

“Oh, ya ampun aku baru ingat sekarang. Florence tidak langsung pergi ke Tuscany, ia di Milan dulu selama beberapa waktu baru bekerja di Tuscany. Berarti Florence pindah kerja. Ya, aku baru ingat. Florence mengirimiku foto saat ia berada di restoran pizza tempat ia bekerja di Milan dan saat ia berada di sebuah perkebunan anggur di Tuscany.”

“Wah, ini menarik. Oke, keterangan Anda aku catat dulu.” Ujar John sambil membuat beberapa ketikan di handphonenya. “Mengenai pertanyaanku tadi, bagaimana cara Florence pergi ke Italia? Ada kenalan disana?”

“Florence diajak teman kerjanya yang sama sama bekerja di sebuah toko roti di Leefsmall sini. Saat itu teman Florence, maaf aku lupa namanya, ingin pulang ke negara ibunya di Italia. Teman Florence itu orangtuanya berasal dari dua negara yang berbeda. Ibunya orang Italia dan ayahnya penduduk asli Fillmore Green dan bermukim di Leefsmall. Sejak kecil, teman kerja Florence itu tinggal bersama ayahnya karena ayah dan ibunya bercerai, tapi setelah dewasa ia memutuskan untuk tinggal bersama ibunya. Saat itulah ia mengajak Florence pergi ke Italia.”

“Oke,” ujar John masih terus sibuk mengetik sesuatu di handphonenya.  “Florence saat itu punya uang untuk pergi ke Italia?”

“Ada, ia dan adiknya, Irine, punya warisan rumah dan mobil dari orangtua mereka yang saat itu sudah meninggal dunia. Orangtua mereka meninggal karena kecelakaan mobil. Tapi mereka berdua sudah dewasa saat orangtua mereka meninggal. Florence sudah bekerja dan Irine sudah menikah. Florence dan Irine akhirnya sepakat untuk menjual rumah dan mobil orangtua mereka dan membagi uangnya secara rata. Dari sanalah Florence mempunyai bekal untuk pergi ke Italia.”

“Tapi Irine sekarang tinggal di Hall of City, itu bagaimana ceritanya?”

“Ya, karena suaminya orang Hall of City sehingga Irine ikut suaminya, tapi suaminya bekerja sebagai tukang kayu biasa, ia bukan orang kaya sehingga di Hall of City mereka ngontrak sebuah rumah.”

“Oke, baiklah. Mungkin itu dulu saja yang ingin aku tanyakan. Kalau nanti aku ada pertanyaan tambahan Anda tidak keberatan kan aku hubungi?”

“Tidak, aku tidak keberatan.” Jawab Mrs. Chester.

“Baiklah kalau begitu, ini alamat rumah kontrakan Casey di Hall of City dan ini nomor handphonenya.” John kemudian memberikan selembar kertas pada Mrs. Chester yang berisi alamat dan nomor telepon Casey.

“Terima kasih banyak,” Mrs. Chester tersenyum. “Aku akan menghubungi Casey dan janjian bertemu dengannya begitu aku punya waktu luang.”

“Tentu,” John mengangguk, “Casey pasti senang kalau bertemu Anda nanti. Tapi jangan bilang kau mendapatkan alamat dan nomor teleponnya dariku. Casey tidak tahu kalau aku sedang menyelidiki keberadaan ayahnya. Nanti ia akan bertanya tanya kalau tahu kau mendapatkan alamat dan nomor teleponnya dariku.”

“Baik, aku akan bilang tahu dari orang lain.” Mrs. Chester tersenyum.

“Ya, lebih baik begitu. O, ya, ngomong ngomong nama toko roti tempat Florence bekerja dulu apa?”

“Namanya Auntie’s Annie bakery. Itu merupakan toko roti keluarga. Masih bertahan hingga sekarang karena diwariskan secara turun temurun. Alamatnya di downstreet boulevard no. 42 A.”

“Ok, terima kasih.” Ujar John lagi sebelum pamit.

“Sama sama.” Mrs. Chester tersenyum saat John pergi dari hadapannya.

~

John sudah menghabiskan dua donat ukuran besar dan secangkir kopi pahit sebelum akhirnya bertanya tanya tentang Florence pada pemilik Auntie Annie Bakery, tapi pemilik Auntie Annie Bakery tidak mengenal Florence karena baru mengelola toko roti tersebut selama sepuluh tahun. Ia merupakan keponakan dari Annie Sinclair yang merupakan pemilik pertama dari toko roti tersebut.

Tapi keponakan Annie mau memberikan alamat rumah Annie sehingga John langsung pergi ke rumah Annie.

Rumah Annie terletak di sebuah perbukitan. Rumahnya sangat cantik karena banyak ditanami bunga.

Annie menerima kehadiran John dengan hangat. Usianya menurut perkiraan John sekitar tujuh puluh tahunan. John disuguhi darjeeling tea yaitu teh aromatik beraroma campuran antara bunga bunga liar dan almond. Sementara untuk kudapannya, Annie menyuguhi John scone kismis yang ditabur cokelat serut. Salah satu keahlian Annie adalah membuat scone dari gandum dan ia selalu menyuguhi tamu tamunya dengan scone buatannya.

Annie tinggal bertiga dengan dua pelayannya di rumahnya yang cantik. Ia tidak menikah dan tidak punya keturunan sehingga toko roti miliknya ia wariskan pada salah satu keponakannya. Kegiatan Annie sekarang hanya menikmati masa tuanya di rumah cantiknya itu. Annie selalu senang dikunjungi orang orang, baik sahabat ataupun kenalannya. Jadi kunjungan John ke rumahnya sore itu juga membuat Annie senang.

Ia sangat ramah dan suka bercerita. Dan dengan senang hati ia bercerita tentang Florence dan temannya, Luisa, yang bekerja padanya kurang lebih tiga puluh tahun lalu.

“Ya, aku ingat mereka. Mereka gadis gadis yang cantik. Aku ingat karena mereka bekerja cukup lama di tempatku, hampir enam tahun sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke Italia.” Ujar Mrs. Sinclair.

“Ingatan Anda hebat,” komentar John sambil tersenyum.

“Ya, karena mereka sangat menyenangkan. Mereka pekerja keras. Bekerja dengan tekun dan sungguh sungguh. Aku patah hati waktu ditinggal mereka pergi.”

“Kalau boleh tahu nama belakang Luisa apa?”

“Thompson. Namanya Luisa Thompson.”

“Aku dengar dari sahabat Florence, bahwa ayah Luisa tinggal di Leefsmall, kira kira Anda tahu tentang hal ini?”

“Tidak, dulu aku tidak pernah main ke rumah para karyawanku, tapi aku dengar dengar Luisa dulu tinggal di sebelah Timur Leefsmall. Di sana ada industri tekstil. Ayah Luisa dulu bekerja di salah satu pabrik tekstil di sana.”

“Oke, baiklah, itu saja yang ingin kuketahui, terima kasih untuk bantuan Anda Miss Sinclair.”

“Sama sama, senang bisa membantu.”

~

Penelitian John selanjutnya John lakukan di sekitar Pabrik tekstil yang berada di sebelah Timur Leefsmall. John butuh waktu seharian penuh bertanya tanya tentang keluarga Thompson sebelum akhirnya ia berhasil bertemu dengan isteri Mr. Thompson.

Mr. Thompson atau ayah Luisa ternyata sudah meninggal dunia lima tahun yang lalu karena sakit diabetes.

“Luisa tahu ayahnya sudah meninggal?” tanya John kaget.
“Sudah, Luisa sudah tahu,” ujar ibu tiri Luisa. “Ia waktu itu sempat datang ke sini dan menunggui ayahnya saat ayahnya dirawat di rumah sakit selama sepuluh hari. Ia terus menunggui ayahnya sampai ayahnya meninggal. Ia juga masih di sini sampai pemakaman ayahnya selesai.”

“Luisa masih punya saudara lain? Kakak atau Adik? Di sini atau di Italia sana?”

“Ya, adik tiri laki laki, anakku. Dari ibunya, Luisa tak punya kakak atau adik.”

“Anda tahu alamat Luisa di Italia?”

“Ada.” Mrs. Thompson tersenyum.  “Sebentar aku lihat dulu di agendaku.”

“Ya, akan kutunggu, terima kasih.”

Mrs. Thompson kemudan berlalu dari hadapan John dan pergi ke kamarnya. Tidak lama kemudian ia muncul sambil membawa katu alamat Luisa dan memberikan kartu itu pada John. “Kartu nama ini untukmu saja. Aku tadi sudah mencatatnya. Tapi sepertinya Luisa mengganti nomor teleponnya karena aku pernah menghubunginya tapi nomornya tidak aktif.”

“Tidak apa apa, alamat ini saja cukup. Terima kasih atas bantuan Anda Mrs.Thompson.”

“Sama sama.”

John akhirnya pergi dari rumah keluarga Thompson dengan perasaan lega karena sudah mengantongi alamat Luisa di Milan.

Italia, aku datang. Teriak John dalam hati.


~ ~


Rumah sakit Umum Victoria Hospital siang ini cukup ramai. Hujan yang turun sejak tadi pagi tidak mempengaruhi para pasien untuk berobat di sana.

Rumah sakit umum Victoria adalah salah satu rumah sakit swasta yang ada di Leefsmall. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit milik suami isteri Milton.

Tante Luke, Sally Milton, mempunyai suami seorang pengusaha di bidang industri Film. Ia sudah banyak memproduseri banyak film yang menjadi box office di Fillmore Green.

Mr. Milton kemudian membangun sebuah rumah sakit untuk dikelola oleh isterinya yang seorang dokter.

Rumah sakit yang ia bangun ia beri nama Victoria sesuai dengan nama puterinya. Suami Isteri Milton hanya mempunyai satu anak perempuan yaitu Victoria Milton yang kini berusia 15 tahun.

Sally adalah adik dari ibu Luke. Sally dan ibu Luke hanya dua bersaudara. Berbeda dengan kakaknya yang seorang pengusaha, Sally memilih menjadi seorang dokter.

Dulu, sebelum menikah, Sally sangat dekat dengan Luke. Luke lebih dekat dengan tantenya daripada dengan ibunya karena ibunya selalu sibuk. Maka tidak usah heran, saat tahu Luke menderita sakit kanker darah, Sally langsung histeris. Ia berpesan pada kakaknya agar jangan membawa Luke ke rumah sakit lain kecuali rumah sakit miliknya karena ia akan menangani Luke secara langsung bersama sama dengan temannya yang seorang dokter ahli onkologi (dokter spesialis yang menangani diagnosis dan pengobatan kanker).

Maka ketika Luke datang ke Victoria Hospital dengan diantar ayahnya, ibunya dan Casey, dokter Sally langsung menempatkan Luke di sebuah pavilion di rumah sakit miliknya. Hanya ada sepuluh pavilion di sana. Pavilion tersebut berada di sisi sebelah Timur Victoria Hospital. Bentuknya seperti rumah. Pavilion tersebut mempunyai dua kamar, satu kamar khusus untuk pasien, dan satu kamar lagi untuk yang menunggui pasien. Selain dua kamar ada satu set ruang tamu, dapur kecil, kamar mandi dan halaman yang cukup luas dengan aneka tanaman yang berwarna warni.

Pavilion tersebut biasanya dipesan oleh orang orang kaya yang berobat di Victoria Hospital. Sehingga tidak perlu heran kalau pavilion tersebut selalu laku karena fasilitasnya yang berbeda dengan kamar perawatan lainnya. Semua pavilion yang ada di Victoria Hospital saat ini sedang terisi oleh para pasien, dan dokter Sally khusus menyisihkan satu Pavilion untuk Luke.

Luke langsung ditempatkan di kamar khusus pasien di salah satu pavilion tersebut. Ia akan langsung menjalani pemeriksaan umum seperti menjalani tes laboratorium untuk mengetahui kekuatan fisik Luke seperti apa saat nanti menjalani kemoterapi pertamanya.

Tes laboratorium yang harus Luke jalani adalah tes darah secara menyeluruh; termasuk tes HIV, hepatitis, fungsi ginjal dan hati. Luke juga nanti harus menjalani tes jantung dan paru paru.

Selain harus menjalani kemoterapi, Luke juga harus menjalani pemeriksaan bone marrow puncture (BMP) atau pemeriksaan sum sum tulang belakang. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak sel sel darah yang terkumpul dan seberapa banyak sel darah yang mengandung kanker. Dari hasil pemeriksaan BMP akan diketahui Luke mengidap Leukimia akut stadium berapa.

Menurut penjelasan dokter Sally, pengobatan untuk jenis leukemia yang diderita Luke yaitu leukemia myeloid akut didasarkan pada susunan genetik dari sel myeloid penderita. Rencana pengobatan pada AML dilakukan dalam dua tahap terapi kemoterapi, yaitu induksi remisi dan terapi post-remisi.

Terapi induksi remisi bertujuan untuk membunuh sel sel leukimia di dalam darah dan sum sum tulang untuk mencapai remisi komplit. Kemoterapi dilakukan melalui intravena yaitu pengobatan dimasukkan melalui pembuluh darah. Terapi ini berlangsung selama empat minggu, dengan satu minggu kemoterapi dan tiga minggu untuk pemulihan sum sum tulang.

Terapi post remisi bertujuan untuk membunuh sel sel leukemia yang tidak terdeteksi. Pada terapi ini pasien akan mendapatkan terapi tambahan atau transplantasi sumsum tulang.

Setelah menjelaskan secara singkat tentang jenis pengobatan yang harus dilakukan Luke, dokter Sally lalu meminta semuanya untuk beristirahat.

Seorang suster yang bernama Suster Karen baru mengambil sampel darah dari tubuh Luke dan sedang membawa darah itu ke laboratorium untuk diperiksa.

Dokter Sally menempatkan ayah dan ibu Luke di kamar yang ada di pavilion tersebut, di samping kamar perawatan Luke. Sementara untuk Casey, ia akan menempatkan Casey di sebuah kamar di asrama khusus para suster tidak jauh dari pavilion tempat Luke dirawat.

Asrama untuk para suster tersebut terdiri dari dua puluh kamar. Bangunan asramanya adalah tingkat dua. Sepuluh kamar ada di lantai atas dan sepuluh kamar ada di lantai bawah. Masing masing kamar diisi oleh dua orang suster, sehingga disediakan dua tempat tidur single bed di masing masing kamar.

“Ayo aku antar ke asrama suster tersebut,” ujar dokter Sally pada Casey setelah ia menjelaskan pada Casey tentang asrama para suster yang ada di komplek Victoria Hospital. Luke saat itu sudah tidur.

“Tentu.” jawab Casey.

“Aku sangat berterima kasih karena kau mau menemani Luke ke sini,” ujar dokter Sally sambil berjalan di samping Casey. “Luke pasti sangat mencintai dirimu sehingga ingin ditemani olehmu.”

“Aku ingin Luke sembuh.” Casey tersenyum. “Sehingga aku bersedia ikut dengannya.”

“Mudah mudahan Luke bisa sembuh. Aku perlu Luke tinggal disini selama kurang lebih enam minggu untuk memastikan bahwa Luke mendapat penanganan yang tepat. Dalam waktu enam minggu tersebut paling tidak bisa dilakukan kemoterapi sebanyak dua kali. Setelah itu Luke harus rutin datang ke rumah sakit ini untuk terus menjalani kemoterapi sampai ia benar benar sembuh.”

“Memang sakit yang diderita Luke bisa sembuh total?” tanya Casey.

“Mudah mudahan bisa. Untuk beberapa kasus ada pasien yang sembuh total dari sakit kanker darahnya. Dulu pernah ada pasien yang berobat di sini sembuh dari kanker darahnya. Usia dia waktu terserang kanker darah adalah 18 tahun, dan pada usia 21 tahun ia sembuh total dari sakitnya. Sel sel kanker itu sudah tidak ada lagi dalam darah ditubuhnya. Ia bisa sembuh karena ia disiplin dalam berobat. Ia rajin kemoterapi dan tidak pernah putus asa dalam pengobatannya. Total ia menjalani kemoterapi sebanyak tujuh puluh tiga kali dalam kurun waktu tiga tahun.”

“Wow, banyak sekali.”

“Ya, memang harus begitu.”

“Mudah mudahan Luke bisa sembuh. Kasihan kalau ia sakit terlalu lama.” Komentar Casey.

“Mudah mudahan. Yang Luke perlukan saat ini memang dukungan dari orang orang terdekatnya, orang yang ia sayang dan ia percaya.”

“Ya tentu.” Ujar Casey setuju.

Dokter Sally masih mengajak Casey berjalan melewati kantin rumah sakit sebelum akhirnya sampai di asrama para suster.

Dokter Sally disambut oleh seorang suster senior yang bertanggung jawab dalam pengelolaan asrama para suster tersebut.

“Apakah ada kamar kosong untuk tamuku?” tanya dokter Sally pada salah satu suster di sana.

“Ada, tapi harus berbagi kamar.”

“Kamar yang benar benar kosong tidak ada?”

“Tidak. Suster Melisa yang kebetulan sendiri di kamarnya saat ini. Teman sekamarnya baru menikah dan sekarang tinggal dengan suaminya.”

“Casey, apakah tidak masalah untukmu berbagi kamar dengan seorang suster?” tanya dokter Sally pada Casey.

“Tidak, tidak masalah.” Jawab Casey langsung.

“Baiklah kalau begitu, selama di sini kau sekamar dengan suster Melisa.”

“Tentu.”

“Suster Geraldine, tolong antar tamuku ke kamar suster Melisa.”

“Baik dokter,” jawab suster Geraldine.

“Aku mengantarmu sampai di sini saja ya?” ujar dokter Sally pada Casey. “Aku masih ada pekerjaan lain.”

“Ya, tentu, tidak masalah, terima kasih sudah mengantarku ke sini.”

“Sama sama Casey. Sampai bertemu lagi.”

“Sampai bertemu lagi dokter.”

Dokter Sally melambaikan tangan pada Casey sebelum pergi dari hadapan Casey.

“Hai, aku Geraldine,” suster Geraldine tersenyum ke arah Casey ketika dokter Sally sudah pergi meninggalkan mereka.

“Aku Casey.”

“Senang berkenalan denganmu Casey. Ayo aku perkenalkan pada suster Melisa, kamarnya ada di lantai dua.”

“Baik, terima kasih.”

Suster Melisa menyambut kedatangan Casey dikamarnya dengan hangat. Ia langsung membuatkan Casey teh hangat.

“Aku senang sekali ada teman. Sudah beberapa hari ini aku tidur sendiri. Teman sekamarku beberapa hari yang lalu keluar dari asrama ini karena menikah dan sekarang tinggal dengan suaminya.”

“Bukannya enak kalau tidur sendiri?” ujar Casey sambil membereskan bajunya ke lemari.

“Enak sih. Tapi lebih enak punya teman untuk ngobrol.”

“Ya, kau benar.” Casey tersenyum, “maaf direpotkan dengan kehadiranku.”

“Tidak, tidak repot kok. Kau disini untuk apa?”

“Menemani temanku menjalani pengobatan. Ia menderita Leukemia.”

“O, ya? Kasihan sekali.”

“Ya.”

“Dia dirawat di kamar apa?”

“Memang ada berapa jenis kamar perawatan disini?” Casey balik bertanya pada suster Melisa.

“Ada kamar kelas satu, terdiri dari satu tempat tidur untuk pasien, ruang tamu dan kamar mandi. Lalu ada kamar kelas dua dengan dua tempat tidur untuk pasien dan sebuah kamar mandi, dan terakhir kamar kelas tiga dengan empat tempat tidur untuk empat pasien.”

“Temanku di rawat di pavilion.

“Wow, itu mahal sekali. Tarifnya semalam sama dengan hotel bintang lima. Temanmu pasti orang kaya,”

“Ya, sepertinya begitu. Dia keponakan dokter Sally.”
“Dia apa?” tanya suster Melisa kaget. “Oh ya Tuhan, temanmu ternyata keponakan dari bosku.”

“Ya. Dokter Sally sangat sedih dengan sakit yang diderita keponakannya. Ia ingin keponakannya berobat di sini.”

“Tentu, rumah sakit ini salah satu rumah sakit yang punya reputasi yang baik. Alat alat untuk mendukung kesembuhan para pasien cukup lengkap di sini. Lengkap dan canggih. Aku termasuk beruntung bisa bekerja di rumah sakit ini.”

“Ya, aku senang mendengarnya.”

“Dan lebih beruntung lagi mendapatkan kamar di asrama suster ini sehingga aku bisa menghemat pengeluaranku dan tidak harus menyewa kamar di luar komplek rumah sakit ini. Disini aku tinggal gratis.”

“Tentu,” Casey setuju. “Menyewa kamar atau rumah atau apartemen saat ini benar benar mahal. Aku juga harus menyisihkan gajiku untuk menyewa sebuah kamar.”

“Kau bekerja dimana?” tanya suster Melisa.

“Di sebuah studio foto.”

“Oh.”

“Aku mau ke toilet dulu sekarang.” Ujar Casey kemudian, “dimana letak toiletnya?”

“Ada di luar. Di tiap lantai masing masing ada empat toilet. Ayo aku tunjukkan.” Suster Melisa berjalan mendahului Casey ke luar pintu kamar.


~ ~




Casey terus terusan menguap. Ia merasa ngantuk sekali. Ia mulai merasa jenuh, padahal ia baru tiga hari menemani Luke berobat. Ia sudah menonton televisi, menonton film secara online di internet, membaca majalah, browsing internet untuk mengetahui berita terkini di luaran sana, tapi ia tetap merasa bosan.

Casey saat ini sedang berada di pavilion Luke. Dan Luke sedang ada pemeriksaan lanjutan di bagian penyakit dalam. Ia ke sana dengan ditemani dokter Sally. Orangtua Luke sudah kembali ke Giltown City. Tapi mereka nanti akan bolak balik untuk menjenguk Luke di sini.

Sejak berada di Victoria Hospital, Casey lebih sering berada di pavilion Luke daripada di kamar asrama para suster. Casey pergi ke asrama kalau malam saja, saat ia harus beristirahat dan tidur.

Casey akhirnya menelepon Viola karena tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.

“Casey, apa kabar?” teriak Viola senang.

“Kabar baik.” Jawab Casey. “Bagaimana keadaan di sana?”

“Keadaan di sini baik baik saja. Semua bisa dijalankan dengan sempurna.”

“Apa Craig bisa menangani pekerjaanku?”

“Sedikit kerepotan sih, tapi kurasa bisa.”

“Baguslah kalau begitu.”

“Memang Luke mau membuka bisnis apa sih di Leefsmall?” tanya Viola penasaran.

“Aku belum bisa cerita sekarang.”

“Apakah studio foto juga seperti di sini?”

“Aku bilang aku belum bisa cerita sekarang Viola.”

“Jadi kapan ceritanya?”

“Nanti kalau kita bertemu aku akan cerita semuanya.”

“Baiklah kalau begitu. Apa Luke sehat sehat saja? Aku khawatir dengan kesehatannya. Kemarin kemarin aku melihat Luke terlihat lemah.”

“Luke baik baik saja. Doakan  ya Viola agar Luke tetap sehat seperti biasanya.”

“Tentu, aku akan selalu mendoakan Luke juga mendoakanmu agar kalian selalu sehat.”

“Terima kasih Viola.”

“Sama sama. O, ya, bilang Luke ya aku rindu padanya.”

Casey tertawa, “baru tiga hari dan kau sudah rindu?”

“Yah.. bagaimana ya, sebenarnya aku sangat menyukai Luke, tapi aku tahu aku tak bisa bersaing denganmu. Selain kau sangat cantik, Luke juga sangat menyayangimu.”

“Viola, kami hanya bersahabat.”

“Ya terserah kau mau bilang apa Casey. Tapi aku tetap tidak bisa bersaing denganmu. Selain itu aku juga pasti akan dibully Brenda kalau Brenda tahu aku menyukai pria pujaannya. Aku paling nggak tahan dibully, apalagi oleh Brenda yang galak.”

Casey kembali tertawa, “sekarang Brenda ada di studio?”

“Ada. Sejak Luke pergi dia terus terusan berada di ruang kerja Luke. Dia keluar studio sesekali.”

“Memang Brenda jarang mendapat klien yang ingin difoto diluar?”

“Casey, klien Luke selama ini para wanita yang hanya mencari cara untuk bisa bersama sama Luke. Alasan mereka difoto hanya ingin bertemu Luke bukan difoto olehnya. Kamera handphone sekarang canggih canggih. Bahkan ada yang resolusi kameranya hingga 41 megapixel. Dengan kata lain, mereka bisa selfie dengan kamera canggih mereka dengan hasil yang sangat bagus.”

“Oke, lalu?”

“Lalu, siapa juga yang mau bertemu Brenda yang galak?” Viola  terkikik geli sebelum melanjutkan, “para wanita itu ingin bertemu Luke yang seksi, bukan Brenda yang galak. Jadi mereka rela menunggu Luke pulang dari Leefsmall daripada difoto oleh Brenda.”

“Jadi pemasukan berkurang dong?” Protes Casey.

“Ya mau gimana lagi. Bosnya banyak urusan. Bisnis di Leefsmalllah, inilah, itulah. Tapi jangan khawatir, yang minta foto di studio juga banyak, belum lagi toko juga cukup ramai dengan para pembeli.”

“Baiklah kalau begitu, nanti kutelepon lagi. Selamat bekerja lagi Viola.”

“Ya, terima kasih Casey. See you.”

See you. I Love You Viola.”

I love you too.”

Baru saja Casey selesai ngobrol dengan Viola, Sandra tiba tiba meneleponnya.

“Aku dengar kau putus dengan Matt?” tanya Sandra langsung begitu Casey menerima panggilan telepon darinya. “Semalam aku, suamiku dan Matt makan malam bersama. Matt terlihat sangat sedih. Tadinya ia tak mau bercerita ada apa, tapi setelah kudesak ia akhirnya bercerita juga. Dia bilang kau tak bisa melupakan Luke. Demi Tuhan, apa yang sesungguhnya terjadi Casey?”

“Sandra, aku... kupikir.. kita membicarakan mengenai hal ini nanti saja ok?”

“Tidak, aku mau membicarakannya sekarang. Kau sekarang berpacaran dengan Luke?”

“Aku tidak bisa menjawabnya Sandra, nanti kapan kapan kita ketemu dan bicara.”

“Bagaimana kalau nanti malam aku ke rumah kontrakanmu dan kita bicara?”

“Tidak, aku tidak ada disana.”

“Tidak ada di sana? Nanti malam kau akan pergi atau apa?”

“Tidak, tidak pergi. Aku tidak ada di kontrakanku selama sebulan lebih.”

“Lalu kau dimana? Kau berhenti kerja?”

“Tidak, aku tidak berhenti kerja.”

“Aku tidak mengerti.”

“Aku sekarang sedang di Leefsmall bersama Luke.”

Hening. Sandra terdiam dan tidak bicara apa apa lagi.

“Aku ada urusan bisnis di sini Sandra.”

Sandra masih diam.

“Tolong, jangan marah padaku. Apa yang terjadi antara aku dan Matt jangan merusak persahabatan kita, kumohon? Aku menyayangimu Sandra.”

“Aku juga menyayangimu Casey,” ujar Sandra akhirnya, “dan aku juga menyayangi Matt. Tapi kau sudah menyakiti hatinya. Aku tak percaya kau melakukan itu padanya.”

“Aku minta maaf.”

“Ini bukan masalah memaafkan. Ini masalah perasaan. Dulu kau seharusnya menolak menjadi pacar Matt kalau pada akhirnya akan menyakitinya seperti ini. Matt sudah menaruh harapan banyak padamu, pada hubungan kalian.”

“Aku bilang aku minta maaf.”

“Terserahlah.” Sandra akhirnya memutuskan pembicaraan dan mematikan hubungan telepon mereka.

Casey menatap handphonenya dengan sedih. Ia ingin menangis tapi ia berusaha agar tidak menangis.

“Apa yang terjadi antara kau dan Matthew?” tanya Luke tiba tiba, mengagetkan Casey. Luke ternyata sudah duduk tidak jauh dari Casey duduk. Casey tadi terlalu asik ngobrol di telepon sehingga tidak menyadari kedatangan Luke.

“Tidak terjadi apa apa Luke. Kami baik baik saja.”

“Aku tidak percaya.”

“Luke, bisakah kita tidak membicarakan Matthew?”

“Apakah kalian bertengkar?”

“Tidak, kami tidak bertengkar. Lebih baik kita tidak membicarakan Matt sekarang.”

“Tapi aku ingin bicara. Aku akan menjelaskan pada Matthew apa yang terjadi agar Matthew mengerti.”

“Tidak usah Luke, sungguh, kami baik baik saja.”

“Kau yakin?”

“Ya.”

Luke diam sejenak sebelum akhirnya bicara lagi. “Sebenarnya aku merasa tidak enak dengan ini semua. Seolah olah aku bertindak egois ingin ditemani olehmu disini.”

“Luke, itu bukan masalah besar, aku senang menemanimu di sini.”

“Aku merasa sangat ketakutan Casey, menyadari aku bisa meninggal kapan saja karena penyakitku ini membuat aku jadi merasa ketakutan dan depresi. Aku merasa sendirian dan tidak bisa bertahan. Aku perlu seseorang untuk menguatkanku bahwa aku bisa bertahan. Aku perlu dirimu. Kau orang terdekatku saat ini selain keluargaku. Kau penyemangat hidupku.”

“Aku mengerti Luke, kau jangan merasa khawatir. Aku akan terus mendampingimu bukan hanya di Leefsmall sini tapi sampai kau benar benar sembuh. Aku akan menjadi orang yang paling sedih kalau kau tidak bisa bertahan mengatasi semua proses pengobatan ini. Kau harus kuat. Kau tidak akan meninggal dalam usia muda, kau masih akan hidup lama.”

“Kuharap begitu,” Luke tersenyum, “terima kasih atas semua pengertianmu.”

“Ya, tentu.” Casey ikut tersenyum menatap Luke.

~

Casey memasuki kamarnya di asrama suster Victoria Hospital sambil menenteng satu dus besar yang berisi donat.

“Wah apa itu?” tanya suster Melisa begitu Casey menaruh donat itu di atas meja, diantara tempat tidur mereka.

“Donat untuk kita berdua.”

“Asik.” Suster Melisa langsung membuka dus donat tersebut, “aku mau satu.”

“Ambil saja suster, lebih dari satu juga boleh,” Casey tertawa.

“Bagaimana kalau kau memanggil namaku saja dan jangan memanggilku suster?” ujar suster Melisa.

“Memang kenapa?” tanya Casey heran.

“Tidak apa apa, aku lebih suka dipanggil namaku saja. Rasanya terdengar akrab.”

“Baiklah Melisa.”

“Nah, itu lebih baik.”

“Kau sedang tidak bertugas saat ini?” tanya Casey.

“Nanti malam. Aku dapat shift malam.”

“Oh.”

“Donat ini enak sekali,” komentar suster Melisa sambil memakan donatnya.

“Ya, banyak sekali makanan di pavilion Luke. Ibu Luke yang memberikan donat ini padaku dan memaksaku membawanya ke sini. Ibu Luke, ayahnya dan adiknya sedang menjenguknya sekarang. Mereka bilang mereka akan datang tiap akhir pekan seperti ini dan menginap di sana.”

“Wah, pasti ramai sekali suasananya.”

“Ya, belum lagi kakek dan nenek Luke juga rencananya besok akan datang, jadi akan lebih ramai.”

“Kalau suasana sedang ramai begitu, apakah kau boleh pergi sebentar?”

“Memang kenapa Melisa?”

“Aku ingin kau besok menemaniku berbelanja. Hanya sebentar, paling dua jam-an.”

“Kurasa tidak masalah. Tentu, besok aku akan menemanimu berbelanja.”

“Asik, besok kita belanja bareng!”


~ ~


Leefsmall Grandcity Mall adalah salah satu mal terbesar di Leefsmall. Di sana semua perlengkapan yang kita perlukan ada. Dari mulai pakaian, makanan, peralatan rumah tangga hingga buah dan sayuran segar ada.

Melisa mengajak Casey berbelanja karena ia ingin mencari kado ulang tahun untuk adiknya. Melisa merupakan anak pertama dari empat bersaudara yang kesemuanya perempuan.

Adik adik Melisa masih sekolah semua. Adik pertamanya sekolah di Senior High School of Leefsmall. Adik keduanya bersekolah di Junior high School of Leefsmall. Dan adik bungsunya sekolah di Elementary School of Leefsmall. Hanya Melisa yang baru bekerja. Sehingga Melisa menjadi andalan keluarganya untuk membantu ayah dan ibunya menafkahi keluarganya.

Ayah dan ibu Melisa mempunyai bisnis di bidang makanan. Mereka punya restoran yang menjual aneka makanan snack ringan dengan menu andalan fish and chips lengkap dengan saus tar tarnya yang terkenal lezat. Usaha bisnis makanan orangtua Melisa dilakukan di rumah kontrakan mereka sehingga rumah kontrakan mereka berfungsi sebagai tempat tinggal dan tempat usaha sekaligus.

Melisa  berjanji akan membawa Casey ke restoran orangtuanya dan menyuguhi Casey  fish and chips bikinan ibunya yang terkenal lezat kalau Casey main ke sana. Tapi Melisa tidak tahu kapan bisa mengajak Casey main ke sana.

Melisa sudah terbiasa memberikan hadiah kalau adik adiknya berulang tahun. Dan saat ini yang mau berulang tahun adalah adik Melisa yang paling kecil. Melisa bingung mau membelikan kado untuk adiknya apa, antara baju atau tas. Casey mengusulkan untuk membeli baju saja, sehingga Casey dan Melisa sibuk mencari baju yang unik dan lucu sesuai dengan nomor ukuran  tubuh adik Melisa.

Sedang asik asiknya memilih baju, handphone Casey tiba tiba berbunyi. Casey melihat nomor telepon yang masuk tapi ia tak mengenalinya karena tidak pernah menyimpan nomor tersebut sebelumnya.

Tapi karena takut itu telepon penting, akhirnya Casey menerima panggilan untuknya.

“Hallo, selamat siang.” Ujar Casey sopan.

“Apakah ini dengan Casey Carlton?” terdengar suara seorang wanita di seberang sana.

“Iya, betul.”

“Oh, ya ampun, aku akhirnya bisa mendengar suaramu juga sayang. Aku Darlene Chester, aku sahabat ibumu.”

“Sahabat ibuku?”

“Ya. Aku ingin sekali bertemu denganmu, tapi aku tidak tahu kapan punya waktu ke Hall of City dan...”

“Aku tidak sedang berada di Hall of City sekarang,” potong Casey.

“Tidak?”

“Tidak.”

“Jadi kau sedang berada di mana?”

“Di Leefsmall.”

“Di Leefsmall? Kebetulan, aku juga tinggal di Leefsmall. Kau lama berada di Leefsmall?”

“Cukup lama, mungkin sebulan lebih.”

“Apakah kita bisa bertemu?”

“Aku tidak tahu, aku agak sibuk di Leefsmall sini.”

“Ya sudah, tidak apa apa, kapan kapan aku main ke tempatmu saja di Hall of City. Aku sudah cukup senang bisa mendengar suaramu. Kau pasti sama cantiknya dengan ibumu.”

“Anda teman ibuku saat masih bersekolah?” tanya Casey penasaran.

“Ya. Saat bersekolah, saat bermain, saat sudah lulus sekolah. Aku teman ibumu dari bayi. Aku cukup sering juga mengunjungi makam ibumu.”

“O, ya?”

“Ya. Seandainya kau bisa bermain ke rumahku, akan aku tunjukkan foto fotoku dengan ibumu saat kami anak anak dulu.”

“Ehm, kalau boleh tahu alamat rumah Anda, mungkin aku akan menyempatkan diri berkunjung ke rumah Anda sebelum kembali ke Hall of City nanti.”

“Tentu, akan kukirim alamat rumahku melalui pesan. Senang bisa berkenalan denganmu Casey walau hanya lewat telepon.”

“Aku juga Mrs... maaf aku lupa, tadi siapa?”

“Darlene. Darlene Chester.”

“Oh ya, Mrs. Chester, senang bisa berkenalan dengan Anda.”

“Tentu sayang, aku tidak sabar untuk bertemu denganmu. Kabari aku kalau mau mampir ke rumahku oke?”

“Tentu Mrs. Chester, nanti akan aku kabari.”

“Terima kasih kalau begitu.”

“Sama sama.”

Casey tersenyum gembira setelah berbicara dengan Mrs. Chester. Tiba tiba ia merasa bersemangat dan tidak merasa bosan lagi tinggal di Leefsmall.


~ ~

BAB DELAPAN


Sudah beberapa hari ini Matthew malas kerja. Tapi ia memaksakan diri untuk tetap menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu. Matthew jadi seperti ini sejak ia dan Casey putus. Matthew patah hati. Dan parahnya ia belum bisa menerima semuanya dengan hati yang lapang. Ia sangat menyayangi Casey dan ia tak bisa melupakan Casey begitu saja dari pikirannya dan dari hatinya.

Matthew termasuk orang yang sulit untuk jatuh cinta. Hal ini berbanding terbalik dengan adiknya, Aaron yang sepertinya mudah sekali untuk jatuh cinta. Jika sudah putus dengan seseorang, dalam hitungan hari Aaron akan bisa dengan mudah mendapatkan pacar baru dan melupakan pacar lama yang sudah putus dengannya. Aaron sering bilang padanya, kenapa juga harus memikirkan atau mengharapkan orang yang sudah tidak perduli atau sayang pada kita, itu semua hanya buang buang waktu saja.

Tapi untuk Casey, Matthew mau buang buang waktu. Selama apapun waktu yang harus ia buang. Dulu, waktu Sandra mengatur kencan Matthew dengan Casey untuk pertama kalinya, Matthew malas sekali melakukannya, tapi karena ia sangat sayang pada Sandra dan sangat menghormati Sandra, maka ia setuju untuk kencan dengan Casey. Saat itu Matthew berpikir bahwa setelah kencan pertamanya dengan Casey, ia akan bilang pada Sandra bahwa ia tidak tertarik pada temannya dan tidak mau kencan lagi dengannya.

Tapi yang tidak Matthew duga adalah bahwa ia ternyata sangat menyukai Casey. Ia suka senyumnya, ia suka matanya, ia suka saat melihat wajah Casey saat Casey sedang menceritakan sesuatu. Ia suka semua yang ada pada diri Casey. Dan saat itu ia marah sekali karena Casey menyukai Luke. Ia marah pada Sandra karena sudah mempertemukan ia dengan Casey, ia marah pada dirinya sendiri kenapa jatuh cinta pada Casey, dan ia marah pada Casey kenapa saat itu Casey mau kencan dengannya. Casey seharusnya menolak pergi kencan dengannya kalau ia menyukai Luke.

Dan sekarang, pada akhirnya, Casey bersama Luke. Casey dulu mau berpacaran dengannya karena Luke sudah bertunangan dengan Erica. Saat hubungan Luke dan Erica putus, Casey ternyata tidak menunggu lama untuk masuk dalam kehidupan Luke seperti yang ia inginkan selama ini. Dan Matthew tidak bisa berbuat apa apa dengan hal ini. Walau hati Matthew sedih karena harus putus dengan Casey, tapi Matthew ingin Casey bahagia, karena kebahagiaan Casey yang terpenting untuknya.

Tapi yang jadi permasalahannya sekarang adalah, Matthew tidak tahu apa ia akan bisa jatuh cinta pada wanita lain selain Casey. Dan berapa lama waktu yang ia perlukan untuk menjalin hubungan dengan wanita lain. Ia bukan Aaron. Ia tidak bisa berpacaran dengan wanita lain dengan mudah dalam hitungan hari. Jangankan hitungan hari, hitungan minggu dan bulanpun belum tentu ia bisa. Mungkin baru dalam hitungan tahun ia bisa. Tapi itu juga masih melihat bagaimana nanti.

Kalau Matthew mau, sebenarnya banyak wanita di tempat kerjanya di Maurice Grant & Co, antri ingin jadi pacarnya. Sejak Matthew masuk kerja di firma tersebut, Matthew menjadi pria yang berada di urutan teratas sebagai pria yang paling ingin dijadikan teman kencan oleh para wanita lajang yang bekerja disana, membuat pria pria lain jadi kesal pada Matthew.

Bahkan ada beberapa wanita yang nekat memberikan Matthew coklat mahal. Cokelat cokelat mahal itu sekarang menumpuk di lemari es Matthew di apartemennya. Sebenarnya Matthew sudah menolak dengan halus pemberian teman teman wanitanya yang suka padanya, tapi mereka tetap memaksa. Cokelat cokelat itu mereka taruh begitu saja di meja kerja Matthew. Mau tidak mau akhirnya cokelat cokelat itu Matthew bawa pulang.

Dan karena cokelat cokelat itu pula Matthew akhirnya terpaksa membeli lemari es. Tapi hanya lemari es itu saja yang Matthew beli. Perlengkapan lainnya belum Matthew beli. Sejak Matthew punya rencana untuk berbelanja sofa bareng dengan Casey untuk mengisi ruang kosong di apartemennya, sejak itu pula apartemen Matthew masih kosong. Entah kenapa, ia masih menyimpan harapan untuk bisa bersama sama Casey lagi dan berbelanja sofa bersama sama seperti yang ia inginkan.

Matthew tidak punya sofa untuk ruang tamu, tidak punya kursi makan untuk ruang makan. Ia hanya punya satu tempat tidur, dua lemari, seperangkat meja kerja dan satu buah sofa untu membaca buku. Semua perlengkapan itu adalah perlengkapan yang pertama ia beli dulu.

“Oke, jadi mana yang bernama Matthew Ricardo di ruangan ini?” suara seorang wanita tiba tiba terdengar di ruang tempat Matthew bekerja.

Matthew memperhatikan wanita itu tanpa berminat untuk memberitahu. Ia lalu berpaling ke arah Jeslyn, teman kerjanya, yang ruang kerjanya berada di samping ruang kerja Matthew. Ruang kerja mereka berdua dipisah oleh sekat saja.

“Siapa dia?” tanya Matthew pelan. Matthew baru pertama kalinya melihat wanita tersebut.

Belum sempat Jeslyn memberitahu, wanita yang mencari Matthew tadi tiba tiba menghampiri  Matthew dan Jeslyn.

“Hai tampan, tadi aku bercanda, aku tahu kau ada disini. Wajahmu sudah tersebar luas di grup chattingku.” Wanita itu tersenyum ke arah Matthew. “Dan mereka tidak mengada ada, kau memang tampan dan seksi seperti yang mereka bilang.”

“Maaf, aku sedang bekerja.” Ujar Matthew pelan. Matthew tidak ingin jadi pusat perhatian, tapi tetap saja semua mata yang ada di ruangan itu memperhatikan dirinya dan wanita yang datang menyapanya.

Dia bukan wanita pertama yang datang ke meja kerja Matthew. Ada beberapa wanita lainnya sebelumnya. Dan rata rata senior semua. Mana ada karyaan baru yang berani menyaingi para senior mereka.

“Ya, tentu saja. Kita di sini kan memang untuk bekerja, bukan untuk tamasya.” Wanita itu masih tersenyum manis. Ia mengenakan rok yang sangat pendek dan membiarkan rambut pirangnya tergerai bebas. “Jeslyn,” ujar wanita itu pada Jeslyn.

“Ya?” tanya Jeslyn kaget.

“Bereskan barang barangmu. Ruang kerjaku mulai hari ini disini.”

“Apa?” teriak Jeslyn kaget. “Lalu aku kerja dimana?”

“Dimana saja terserah kau, tidak bekerja pun aku tak perduli.”

“Tentu saja aku harus bekerja Miss. Grant. Aku harus membayar sewa apartemenku.”

Miss Grant? Matthew memperhatikan Jeslyn kaget. Jeslyn hanya memberi kode dengan matanya seolah olah memberi tahu Matthew jangan macam macam dengannya.

“Ya, baiklah, kau mungkin memang harus bekerja, “ ujar wanita yang dipanggil Miss. Grant oleh Jeslyn. “Ini kunci ruang kerjaku, kau kerja di sana saja.”

“Aku kerja di lantai empat?” teriak Jeslyn tak percaya. “Apa yang harus kukatakan kalau kakak Anda masuk ke ruang kerja Anda dan menemukan aku disana?”

“Terserah kau mau bilang apa. Ayo cepat bereskan pekerjaanmu, aku perlu duduk di tempat dudukmu.”

Dengan bingung akhirnya Jeslyn membereskan beberapa berkas berkas yang harus ia kerjakan. Pekerjaan Jeslyn sama dengan Matthew yaitu membuat dokumen hukum, hanya saja kalau Matthew untuk perusahaan Perseroan Terbatas, Jeslyn membuatnya untuk perorangan.

Jeslyn mengambil tasnya dan botol minumannya terlebih dahulu sebelum akhirnya pergi dari ruang kerjanya.

“Miss. Grant, berapa lama aku harus bekerja di ruang kerja Anda?” tanya Jeslyn sebelum menghilang di balik pintu.

“Nanti kuberitahu, sekarang pergilah.”

Jeslyn terpaksa pergi dengan kesal. Jeslyn tidak bisa protes atau apa, karena pernah ada salah satu temannya protes karena dibully oleh Miss. Grant, besoknya ia tidak bekerja lagi di Maurice Grant & Co karena sudah dipecat oleh Maurice Grant. Karena tentu saja cerita yang disampaikan oleh Miss Grant pada kakaknya berbeda dengan cerita teman Jeslyn yang dipecat tersebut.

Jeslyn butuh pekerjaan di sana, jadi ia tidak berani macam macam pada Miss. Grant.

“Sebenarnya ruang kerja Jeslyn tidak begitu nyaman untukku, tapi menjadi nyaman karena ada kau disampingku Mr. Ricardo.” Miss. Grant memperhatikan Matthew bekerja, “ngomong ngomong aku Ivy Grant, adik satu satunya dari Maurice Grant yang sangat ia sayangi. Saking sayangnya, semua permintaanku akan ia turuti.”

“Aku Matthew. Senang berkenalan dengan Anda.” Jawab Matthew sopan.

“Jangan formal begitu ah, kurang akrab kedengarannya. Kalau kau mau memanggilku, panggil namaku saja, ok?”

“Ya, tentu.”

“Kenapa kau baru masuk sekarang ke tempat ini Matthew? Kenapa tidak dari dulu?” tanya Miss. Grant.

“Aku baru lulus tahun ini.”

“Seharusnya, saat kuliah pun kau bisa magang di sini. Kehadiranmu di tempat ini membuat suasana jadi berbeda. Jadi cerah dan hangat, seperti sinar matahari yang sedang bersinar di luar sana.”

“Miss Grant maaf, bisakah kita ngobrolnya pas makan siang saja? Aku harus menyerahkan hasil pekerjaanku pada atasanku satu jam lagi.”

“Bisa, sangat bisa. Itu ide bagus Mr. Ricardo. Saat makan siang nanti kau akan kutraktir makan di salah satu restoran paling eksklusif di kota ini.”

“Tapi aku lebih suka jatah makan siangku. Masakannya enak enak. Kokinya sudah kuberitahu kalau aku vegetarian sehingga ia tak pernah memasukkan daging pada kotak makan siangku.”

“Wow, kau seorang vegetarian?” Ivi Grant berteriak kaget. “Aku juga tahu salah satu restoran vegetarian paling eksklusif di kota ini.”

“Tapi aku suka jatah makan siangku.” Ujar Matthew lagi.

“Untuk kali ini saja, kau harus mau kutraktir Mr. Ricardo. Kita harus merayakan perkenalan kita.”

“Tapi...”

“Ini kunci mobil dan remote mobil Porsche Carrera GT-ku, kau nanti yang mengemudi.” Potong Ivy Grant sambil meletakkan kunci mobilnya di meja kerja Matthew.

Matthew hanya bisa menatap kunci mobil Ivi Grant dengan kaget. Ia tak bisa protes atau apa karena takut berbuat kesalahan.  Untuk sementara Matthew memutuskan untuk mengikuti kemauan Ivy.

Ivy kembali duduk di kursi Jeslyn dan mulai membuka komputer Jeslyn untuk browsing di internet.

“Kau tidak bekerja?” tanya Matthew melihat Ivy santai seperti itu.

“Aku punya banyak anak buah, mereka yang mengerjakan pekerjaanku.” Jawab Ivy Grant.

“Oh, apa kau lulusan Fakultas Hukum juga seperti kakakmu?”

“Tidak, aku lulus dari Fakultas ekonomi. Aku bekerja di bagian keuangan di firma ini, aku menangani gaji untuk para karyawan di sini.”

“Oh,” ujar Matthew sambil kembali melanjutkan pekerjaannya dan tidak bertanya tanya lagi.

~ ~



“Casey, apakah pria yang bernama Luke orangnya tinggi, tampan, punya rambut berwarna cokelat gelap, mata berwarna biru gelap?” tanya Melisa saat ia masuk ke dalam kamarnya di asrama para suster.

“Ya, benar, memang kenapa Melisa?” Casey yang sedang tiduran langsung bangun dari tidurnya. Siang ini Casey agak kurang enak badan dan memilih beristirahat di kamar.

“Dia datang ke bagian perawatan anak tempat aku bekerja sambil menenteng nenteng kamera.”

“Dia apa?” Casey kaget.

“Ya, dan dia mengambil foto beberapa anak yang sedang dirawat dan memang ingin difoto olehnya. Sepertinya ia sedang bosan jadi ia keliling rumah sakit untuk mengambil foto orang orang.”

Casey tertawa, “dia yang sakit dan sedang berobat saja bosan, apalagi aku.”

“Bagaimana kalau besok kita ke rumahku dan makan fish and chips bikinan ibuku yang terkenal itu?” tawar Melisa tiba tiba.

“Entahlah,” gumam Casey.

“Ayolah Casey, katanya kau bosan. Aku kalau sedang kangen dengan masakan ibuku selalu menyempatkan diri untuk pulang.”

“Tapi kita pergi tidak lama kan?”

“Tidak. Tidak lama. Besok aku libur, jadi kita pergi pas jam makan siang saja.”

“Baiklah kalau begitu, aku setuju.”

“Aku senang mendengarnya.” Melisa tersenyum, “baiklah, aku akan kembali ke tempat kerjaku, aku kesini hanya ingin menanyakan tentang Luke.”

“Tunggu, aku ikut.” Casey akhirnya bangun dari tempat tidur dan memakai jaketnya “Aku akan menemani Luke mengambil foto orang orang di rumah sakit ini,” ujarnya sambil mencari sandalnya.

~ ~

Casey menyantap fish and chips bikinan Mrs. Derrick, ibu Melisa, dengan lahap. Selain karena Casey memang lapar, fish and chips  bikinan ibu Melisa memang sangat lezat.

Casey pergi ke rumah Melisa bersama sama dengan Melisa setelah ia minta ijin terlebih dahulu pada Luke. Luke mengijinkan. Luke saat ini hanya beristirahat di kamarnya. Besok, kemoterapi pertamanya baru akan dilakukan. Berdasarkan hasil serangkaian tes, Luke dinyatakan cukup kuat untuk mulai menjalani kemoterapi. Jantung dan paru paru Luke dinyatakan sehat.

Casey tadinya bingung antara pergi dan tidak. Ia ingin menemani Luke seperti biasanya, tapi ia merasa tak enak pada Melisa yang sepertinya sangat antusias memperkenalkan fish and chips bikinan ibunya yang terkenal enak. Akhirnya Casey memutuskan untuk pergi. Dan Casey tidak menyesal karena masakan ibu Melisa memang enak.

Saus tar tarnya enak Mrs. Derrick,” komentar Casey pada ibu Melisa.

Mrs. Derrick tersenyum, “orang orang bilang begitu. Terima kasih atas pujiannya.”

“Sama sama. Resep saus tar tarnya apa?” tanya Casey lagi.

“Memang kau suka masak? Menanyakan resep segala. ” Komentar Melisa tak percaya.

“Masak adalah bagian dari hidupku,” seru Casey. “Di Hall of City, tiap pulang kerja aku selalu menyempatkan masak untuk makan malamku.”

“Wah, asik sekali, kapan kapan aku harus mencicipi masakanmu.”

“Tentu.” Jawab Casey, “kapan kapan kau harus ke tempatku di Hall of City dan mencicipi masakanku. Kau mau apa tinggal bilang saja. Casey Carlton akan siap memasakkan makanan kesukaanmu.”

Melisa tertawa, “aku suka krim jagung manis dengan keju yang banyak.”

“Baik, krim jagung manis dengan keju yang banyak untuk Miss. Derrick yang cantik kalau ia datang ke tempatku nanti.” Sahut Casey. “Ya, ampun, tadi aku bertanya apa pada ibumu? O, ya, resep saus tar tarnya. Boleh aku tahu Mrs. Derrick?”

“Resepnya sederhana saja, saus tar tar buatanku terdiri dari campuran acar capers, yaitu sejenis acar tanaman dari Italia, lalu irisan bawang bombay, daun parsley, putih telur, mayonaise dan perasan jeruk lemon.”

Mayonaise-nya bikin sendiri atau membeli yang sudah jadi?” tanya Casey.

“Bikin sendiri. Gampang kok bikin mayonaise. Kau tinggal mengocok campuran kuning telur, garam dan mustard lalu tambahkan minyak zaitun ke dalam kocokan kuning telur tersebut, lalu masukkan perasan air jeruk lemon jika adonan sudah mengembang. Aduk rata, sajikan. Mudah kan.”

“Ya kedengarannya mudah, tapi tidak tahu kalau sudah membikinnya nanti.” Ujar Casey sambil tersenyum, “aku selalu membeli saus mayonaise botolan, tidak pernah membuatnya sendiri.”

“Kapan kapan kau harus mencoba membuatnya,” saran Mrs. Derrick.

“Tentu, nanti akan kucoba.”

“Ayo, makannya dilanjutkan Casey, kalau perlu tambah.” Ujar Mrs. Derrick lagi.

Casey tertawa, “tidak usah tambah, tapi aku akan membungkusnya untuk Luke dan untukku lagi nanti. Aku minta dibungkus dua porsi.”

“Tentu, nanti aku bungkuskan untukmu.” Ujar Mrs. Derrick sambil tersenyum.

“Terima kasih Mrs. Derrick.”

“Sama sama.”

“Ini uangnya.” Ujar Casey.

“Apa apaan ini.” Melisa cemberut menatap Casey. “Aku tidak menyuruhmu untuk membeli masakan ibuku, tapi mencicipinya, berarti aku mentraktirmu. Simpan lagi uangmu.”

“Baiklah,” Casey tertawa, “tapi aku berhutang krim jagung manis dengan keju yang banyak padamu.”

“Tentu, aku akan menagihnya kapan kapan,” Melisa melanjutkan makannya dengan memasukkan kentang goreng ke mulutnya dan mengunyahnya.

~

Matthew mengendarai porsche Carrera GT kepunyaan Ivy dengan kecepatan sedang. Tapi yang namanya mobil mahal, sepelan apapun kecepatannya, tetap saja melaju kencang.

Malam ini Ivy mengajak Matthew pergi ke Poseidon Cafe untuk merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh empat tahun. Disana sahabat sahabat Ivy sudah menunggu. Mereka yang memesankan tempat di Poseidon Cafe untuk merayakan ulang tahun Ivy.

Tadinya Matthew malas mengikuti ajakan Ivy. Matthew lebih suka menghabiskan waktu di apartemennya, membaca buku buku non fiksi tentang kasus kasus hukum yang terjadi di seluruh dunia atau membaca buku buku fiksi bergenre hukum dan kriminal.

Untuk itulah kenapa koleksi buku Matthew lumayan banyak, Ia sampai mempunyai lemari tersendiri untuk menyimpan semua koleksi bukunya.

Tapi Ivy memaksanya pergi. Dan Matthew terpaksa ikut karena takut Ivy marah. Karena kata Jeslyn kalau Ivy marah, Matthew bisa dipecat dari pekerjaannya. Dan Matthew tidak mau dipecat dari pekerjaannya. Ia bekerja belum mencapai sebulan. Gaji pertamapun belum ia dapatkan, masa sudah dipecat, itu pasti tidak lucu. Apa kata kakak iparnya nanti?

Sahabat sahabat Ivy menyambut Ivy dan Matthew dengan gembira ketika akhirnya mereka tiba di Poseidon Cafe.

Setidaknya ada lima orang sahabat Ivy dengan pasangan mereka masing masing, jadi total dua belas orang yang hadir dalam perayaan ulang tahun Ivy tersebut termasuk Ivy dan Matthew.

Makanan yang enak enak disajikan di atas meja lengkap dengan champagne mahal dan minuman lainnya.

Sebuah kue tart tiga tingkat berwarna pink, yang merupakan kue ulang tahun Ivy, terletak di tengah tengah meja. Sahabat sahabat Ivy langsung meminta Ivy meniup tart ulang tahunnya.

Ivy meniup tart ulang tahunnya setelah make a wish terlebih dahulu. Ia lalu menyerahkan potongan tart pertamanya pada Matthew.

“Cium, cium, cium.” Teriak sahabat sahabat Ivy sambil tertawa tawa.

Dan Ivypun mencium Matthew.

~ ~

“Viola, demi Tuhan, ini jam dua belas malam, kau meneleponku jam dua belas malam! Kau insomnia atau apa? Kalau aku tidak insomnia, aku sedang tertidur nyenyak.” Casey memijit kepalanya yang pusing. Ia tadi reflek menerima panggilan dari Viola lewat telepon genggamnya, padahal ia sudah tidur dengan nyenyaknya.

“Aku mengganggumu ya?” sahut Viola.

“Iya. Udah tahu pakai tanya lagi.”

“Tapi kenapa kau menjawab panggilanku? Biar saja handphonemu bunyi terus.”

“Aku menerima panggilan darimu sambil tidur. Itu terjadi begitu saja.”

“Maaf kalau begitu.”

“Ya sudah tidak apa apa.” Casey kembali memegang kepalanya yang terasa sakit. Untung malam ini Melisa sedang shift malam sehingga tidur Melisa tidak terganggu dengan percakapannya. “Ada perlu apa meneleponku malam malam?”

“Apakah hubunganmu dengan Matthew baik baik saja?” tanya Viola mengagetkan.

“Memang kenapa?” tanya Casey heran.

“Kakakku, Miranda, kau ingat Miranda kan, aku pernah mengenalkanmu padanya dan pada Matthew saat kalian bertemu di studio?”

“Ya, aku ingat,” jawab Casey, “kenapa dengan Miranda?”

“Tadi malam sekitar jam sembilan-an, Miranda ada di Poseidon Cafe. Ia berada disana untuk bertemu kliennya karena urusan bisnis dan ia melihat Matthew.”

“Lalu?” tanya Casey penasaran. Dada Casey berdegup kencang. Casey sangat merindukan Matthew. Ia rindu mendengar suara Matthew, mendengar tawanya.

“Matthew... ehm..” Viola menghentikan kata katanya sebentar, “dia pergi ke sana dengan seorang wanita.”

Hening. Casey tidak tahu harus ngomong apa. Ia merasa kecewa sekali. Ia tahu suatu saat Matthew akan pergi kencan dengan seseorang. Tapi Casey tak menyangka bahwa waktunya akan secepat ini.

“Cas, kau tidak tertidur kan?” tanya Viola saat Casey tidak berkomentar apa apa.

“Tidak Viola, aku tidak tidur.”

“Kau dan Matthew baik baik saja kan?” tanya Viola lagi.

“Ya, tentu.”

“Tapi kalau hubungan kalian baik baik saja, kenapa wanita itu menciumnya? Kakakku melihat mereka berciuman dan teman teman mereka menggoda mereka.”

“Jadi begitu?” tanya Casey. Casey tiba tiba ingin menangis.

“Ya.”

“Ya sudah, terima kasih informasinya Viola. Boleh aku melanjutkan tidur lagi?”

“Cas, apa Matthew berselingkuh darimu?”

“Tidak Viola, Matt tidak selingkuh dariku. Hubunganku dan dia sekarang memang sedang tidak oke.”

“Kalian putus?” teriak Viola.

“Aku belum bisa bicara banyak tentang hal ini sekarang, Viola. Kapan kapan aku menceritakannya padamu, ok? Sekarang boleh aku tidur lagi?”

“Ya, tentu, selamat tidur Casey, sekali lagi maaf sudah mengganggumu.”

“Tidak apa apa. Selamat tidur juga Viola.”

Tapi ternyata untuk beberapa saat Casey tidak bisa tidur lagi.  Informasi yang diterima Casey dari Viola benar benar membuat Casey sedih. Dan tanpa dapat ditahan lagi, Casey pun akhirnya menangis.

~ ~

Casey terbangun dengan mata silau. Sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar dan membuat tubuhnya terasa hangat. Tempat tidur Casey terletak tidak jauh dari jendela kamar.

“Selamat pagi Puteri tidur,” Melisa tersenyum melihat Casey. “Kau mau kopi? Biar kubuatkan.”

“Ya, terima kasih.” Ujar Casey sambil bangun dari tidurnya. “Sekarang jam berapa?”

“Jam sembilan pagi.”

“Kau pulang jam berapa?”

“Jam enam pagi.”

“Kau tidak langsung tidur? Kau tidak ngantuk?” tanya Casey heran.

“Sebentar lagi aku tidur, aku mau sarapan donat dulu.” Ujar Melisa sambil membuatkan kopi untuk Casey.

Casey menguap sambil melipat selimutnya.

“Ini kopimu,” Melisa memberikan kopi pada Casey.

“Terima kasih banyak.”

“Sama sama,” ujar Melisa sambil tersenyum memperhatikan Casey, tapi senyumnya hilang saat melihat mata Casey yang bengkak, “kau kenapa? Kau habis menangis?”

“Kau tahu?” tanya Casey.

“Ya, kelihatan dengan jelas.”

“Tidak apa apa, aku sedang sedih saja.”

“Ini masalah keluargamu? Atau Luke?”

“Bukan kedua duanya. Luke baik baik saja. Aku yakin Luke baik baik saja.”

“Lalu kenapa kau sedih?”

Casey diam, ia mulai menyeruput kopinya lambat lambat. Casey tidak tahu apa harus bercerita pada Melisa atau tidak. Tapi Melisa berbeda dengan Viola. Kalau ia bercerita pada Melisa, Melisa tidak akan menyampaikannya pada siapapun, ia pasti akan menyimpan sendiri apa yang disampaikan Casey padanya, sementara kalau ia bercerita pada Viola, gosip akan mudah menyebar. Viola akan bercerita pada Goldie, lalu Goldie akan cerita pada Brenda dan semua orang akan tahu kalau Casey putus dengan Matthew. Padahal Casey tidak mau orang orang tahu. Ia ingin menyimpan hal itu untuk dirinya sendiri saja. Casey akhirnya memutuskan untuk bercerita saja pada Melisa.

“Aku merasa sedih karena mantan pacarku sudah punya pacar lagi.” Ujar Casey akhirnya.

“Mantan pacarmu?”

“Ya. Namanya Matthew.”

“Ok, jadi kau sedih karena Matthew sudah punya pacar lagi?”

“Ya.”

“Tapi seharusnya kau tidak usah sedih Casey. Masih ada Luke. Luke sangat menyayangimu. Aku memperhatikan itu saat kau menemaninya mengambil foto anak anak di ruang perawatan anak kemarin.”

“Tentu saja Luke sangat menyayangiku, aku juga sangat menyayanginya.”

“Kalau begitu masalah selesai. Tidak ada hal yang harus dikhawatirkan lagi.”

“Ya, kau benar. Hanya saja aku tak menyangka kalau rasa kehilangan ternyata akan sesakit ini, Matthew sangat baik padaku selama ini, tapi aku sudah mengecewakannya. Aku masih menaruh harapan pada Matthew, tapi Matthew sudah bersama seseorang sekarang.”

“Kau mengecewakan Matthew?”

“Ya, aku sudah mengecewkan Matthew.” Gumam Casey pelan.

“Oke, baiklah, kau mungkin sudah bikin Matthew kecewa. Tapi sekarang Matthew sudah punya pacar lagi, Matthew pasti sudah berbahagia sekarang. Ia bahagia dengan pacar barunya.”

“Kuharap begitu.” Casey tersenyum. “Aku ingin Matthew bahagia.”

“Dia pasti bahagia. Sekarang perasaanmu agak lega? Kau sudah tidak sedih lagi kan?”

“Masih. Aku tetap tidak rela Matthew berhubungan dengan wanita lain. Aku sangat mencintainya.”

“Kau mencintai Matthew tapi berpacaran dengan Luke?” tanya Melisa bingung.

“Aku tidak berpacaran dengan Luke, aku hanya bersahabat saja dengannya. Luke sahabatku.”

“Tidak, itu tidak mungkin.” Seru Melisa.

“Apanya yang tidak mungkin?”

“Kupikir kalian berpacaran.”

“Kami saling menyayangi itu benar, tapi kami tidak berpacaran. Luke sudah seperti keluarga bagiku, sudah seperti kakakku. Aku tidak punya saudara. Tidak punya kakak, tidak punya adik, aku anak tunggal. Aku merasa sendirian. Dan saat aku tahu Luke sakit aku benar benar takut kehilangan dirinya. Aku ingin Luke sembuh. Untuk itulah aku menemani Luke disini saat ini. Aku akan terus ada untuk Luke sampai Luke benar benar sembuh.”

“Wow, ini menakjubkan.” Komentar Casey. “Aku jadi terharu.”

“Dan karena ini pula, karena aku harus menemani Luke di sini, aku putus dengan Matthew.”

“Matthew tidak setuju kau menemani Luke?”

“Matthew tidak tahu tentang hal ini. Matthew tidak tahu Luke sakit. Matthew tidak tahu aku disini untuk menemani Luke berobat.”

“Matthew tidak tahu?” teriak Melisa kaget. “Aku tak mengerti. Seharusnya kau memberitahu Matthew tentang ini semua.”

“Matthew tidak akan mengijinkan aku menemani Luke kalau aku cerita padanya. Sementara Luke tidak mau berobat kalau aku tidak menemaninya.”

“Darimana kau tahu Matthew tidak akan mengijinkan? Kau bahkan tidak bercerita apa apa pada Matthew. Kau kan tidak tahu tindakan Matthew akan seperti apa.”

“Ia tetap tidak akan mengijinkan Melisa. Matthew selama ini sangat cemburu pada Luke.”

“Matthew selama ini sangat cemburu pada Luke? Ya Tuhan Casey, hidupmu rumit sekali, aku jadi tambah tak mengerti sekarang. Kenapa juga Matthew harus cemburu pada Luke, kau bilang Luke sahabatmu kan?”

“Ka.. karena dulu aku pernah mencintai Luke. Tapi sejak berpacaran dengan Matthew, perasaanku berubah, aku tidak mencintai Luke lagi. Aku mencintai Matthew.”

“Dan Matthew tahu kalau kau pernah mencintai Luke?”

“Ya. Matthew tahu dan Matthew berpikiran bahwa aku masih mencintai Luke hingga sekarang.”

“Kalau begitu kisah cintamu dengan Matthew benar benar selesai Casey. Tidak heran kalau Matthew sekarang sudah punya pacar lagi.”

“Itulah kenapa aku menangis semalaman. Aku patah hati.”

“Andai hidupku bisa serumit dirimu,” ujar Melisa sambil makan donat.

“Memang hidupmu tidak rumit?” tanya Casey heran.

“Tidak. Hidupku datar. Aku tidak punya pacar, dan aku tidak punya sahabat laki laki. Sahabatku perempuan semua. Jadi hidupku kurang seru.”

“Bagaimana mungkin kau tak punya sahabat laki laki? Kau dulu waktu bersekolah bertemu dengan banyak teman laki laki kan?”

“Sekolahku dari aku kecil hingga besar di sekolah khusus perempuan, Casey. Ibuku bahkan ingin aku menjadi biarawati. Aku menentang keras kemauan ibu dan akhirnya menjadi suster seperti sekarang.”

“Bagaimana kalau kau kukenalkan pada sahabat laki lakiku yang lain, namanya Philip?”

“Tentu, tidak masalah.”

“Tapi Philip belum bisa move on dari wanita yang dicintainya yang juga sahabatku.”

“Kau ingin mengenalkan aku pada Philip yang mencintai sahabatmu?” tanya Melisa kesal. “Casey, aku disini sering diacuhkan oleh dokter dokter ganteng. Aku masih harus diacuhkan oleh sahabatmu Philip?”

“Katanya kau ingin hidupmu rumit. Di situ letak tantangannya. Kalau kau berusaha siapa tahu Philip bisa jatuh cinta padamu.”

“Ya tuhan, bahkan untuk dicintai seseorang saja aku harus berjuang?”

“Aku bilang di situ letak tantangannya. Ayolah Melisa, aku yakin kau mampu.”

“Kalau tidak berhasil?”

“Ya tidak apa apa. Kau coba dengan pria lain sampai usahamu berhasil.”

“Baiklah.”

“Oke, kalau begitu. Nanti setelah pulang dari sini, aku akan mengajakmu main ke tempatku dan kukenalkan pada Philip.”

“Aku tak sabar menunggu saat itu.” Melisa tertawa sambil kembali makan donatnya.

~


Jeslyn tersenyum saat melihat Matthew datang. Ia memperhatikan Matthew yang berjalan ke ruang kerjanya dan duduk di kursinya, di samping ruang kerjanya.

Jeslyn sudah kembali ke ruang kerjanya. Ivy hanya bertahan tiga hari duduk di kursi favorit Jeslyn dalam rangka mendekati Matthew. Setelah itu Ivy kembali ke ruang kerjanya yang nyaman dan luas di lantai empat.

“Ada yang sudah berciuman,” gumam Jeslyn saat Matthew mulai menyalakan komputernya.

“Diamlah Jes, itu tidak seperti yang kau pikirkan.”

“Tidak seperti yang kupikirkan? Jadi diantara kau dan Ivy tidak ada hubungan apa apa?”

“Tidak.”

“Tapi kalian berciuman. Foto kalian sudah tersebar di internet. Ivy mengunggahnya ke instagram miliknya dengan hashtag : cinta baru dalam hidupku.”

“Ivy menciumku dengan tiba tiba dan sahabatnya mengambil foto kami saat Ivy menciumku, itu yang terjadi.” Ujar Matthew lagi.

“Tapi kau tidak memberontak atau apa.”

“Aku terlalu terkejut dengan semuanya. Dan tidak tahu harus melakukan apa. Semuanya terjadi secara tiba tiba.”

Yeah, aku tahu, Ivy memang cukup agresif orangnya. Ia tergila gila padamu Matthew.”

Matthew mulai sibuk dengan berkas berkas di hadapannya tanpa menanggapi komentar Jeslyn barusan, “bisa kita bekerja sekarang dan tidak ngobrol lagi?”

“Ya, tentu.” Jeslyn setuju. “Pekerjaanku juga banyak.”

Jeslyn akhirnya mulai mengetik sesuatu di komputernya. Tapi tiba tiba ia ngomong lagi, “tapi aku tidak akan kaget kalau sebentar lagi Ivy akan mengumumkan pada semua orang bahwa kau pacarnya.”

“Terserah Ivy mau bilang apa, aku tak perduli, kenyataannya tidak seperti itu.” Jawab Matthew sambil membuat beberapa catatan.

Jeslyn mengetik lagi.

“Kemauan Ivy keras loh Matthew.. dia...”

“Jeslyn, berhenti ngobrol, please?”

Jeslyn akhirnya diam dan mulai sibuk dengan pekerjaannya.

~



BAB SEMBILAN



Pesawat Fillmore Airlines  yang ditumpangi John mendarat di bandara internasional Malpensa, Italia. Waktu yang ditempuh John dalam penerbangan dari Hall of City ke Malpensa adalah sekitar dua jam lebih tanpa transit.

Bandara internasional Malpensa terletak di provinsi Varese, dekat Milan, Italia. Dari bandara tersebut John akan dijemput oleh mobil sewaan yang sudah ia pesan lewat internet untuk tiga hari ke depan selama John berada di Italia. Bila dalam tiga hari John belum mendapat petunjuk juga tentang ayah Casey, John mungkin akan memperpanjang lagi sewa mobilnya.

Mobil yang John sewa adalah jenis Volkwagen Tiguan. Entah kenapa, John suka sekali dengan mobil buatan Jerman tersebut. Di Hall of City, John juga punya mobil  Volkwagen tapi jenis lain.

Dari bandara internasional Malpensa, John langsung mendatangi alamat Luisa Thompson yang sudah diberikan oleh ibu tirinya pada John beberapa hari yang lalu. John merasa sangat penasaran sehingga ia tak beristirahat dulu di hotelnya dan langsung mencari alamat tersebut. Selama di pesawat tadi John tidur, jadi ia merasa tidak lelah atau ngantuk. John merasa bersemangat sekali.

Alamat rumah Luisa Thompson yang diberikan oleh ibu tirinya pada John saat John bertemu dengannya adalah di daerah via Spartaco, Milan. Di kawasan ini, selain terdapat komplek perumahan dan apartemen, terdapat juga beberapa industri rumahan dan outlet outlet baju.

Tapi ketika John menuju kesana, apartemen Ibu Luisa sudah berubah menjadi toko baju. John lalu bertanya tanya pada orang orang disana apa mereka kenal dengan Luisa Thompson, tapi tak ada satupun yang kenal.

Setelah lelah berkeliling dan bertanya tanya, John akhirnya memutuskan minum kopi di sebuah cafe yang terletak tidak jauh dari apartemen ibu Luisa.

Ia lalu bertanya pada salah seorang pelayan cafe yang cukup berumur tentang Luisa. John bertanya dalam bahasa Italia. John menguasai sedikitnya enam bahasa karena urusan pekerjaannya. Bahasa umum John tentu saja bahasa Inggris, tapi biar urusan pekerjaannya lancar John kadang menggunakan bahasa sesuai dengan tempat ia melakukan penyelidikan. Selain bahasa Italia John juga menguasai bahasa Perancis, Spanyol, Jepang dan Cina.

John bertanya pada pelayan cafe tersebut sambil menunjukkan foto Luisa bersama ibunya saat Luisa kecil. Foto itu John minta dari ibu tiri Luisa saat John sudah berada di Hall of City. Ibu tiri Luisa mengirim foto tersebut melalui handphone.

Pelayan toko itu menyaksikan dengan seksama foto yang diperlihatkan John padanya.

“Aku tidak mengenal gadis kecil ini,” ujar pelayan toko tersebut, “tapi ibunya sepertinya aku kenal. Dia De La Rosa. Aku lupa nama depannya, tapi aku merasa yakin kalau nama belakangnya De La Rosa.”

“Baiklah kalau begitu,” ujar John sambil kembali meminum kopinya “terima kasih atas informasinya.”

“Sama sama.”

John lalu browsing tentang Luisa De La Rosa di internet. Dan ia menemukannya. Luisa De La Rosa ternyata tedaftar sebagai pekerja di sebuah pabrik baju. Data diri dan foto Luisa tercantum di situs pabrik tersebut.

Sebelumnya John browsing tentang Luisa Thompson tapi tak menemukan apa apa kecuali menemukan buku agenda tahunan Luisa saat ia terdaftar sebagai siswa di sebuah sekolah di Leefsmall, Fillmore Green.

John lalu mencatat alamat dan nomor telepon pabrik baju tempat Luisa De La Rosa bekerja. Ia langsung menelepon bagian personalia di pabrik tersebut untuk menanyakan tentang keberadaan Luisa De La Rosa. Petugas disana bilang bahwa tidak ada yang namanya Luisa De La Rosa bekerja disana. Ada juga yang bernama Luisa Mancini.

John akhirnya pergi ke pabrik tersebut untuk bertemu petugas personalia tersebut. Ia ingin memperlihatkan foto Luisa karena siapa tahu petugas itu mengenalnya. Petugas itu ternyata kenal dengan Luisa.

“Ini Luisa Mancini yang aku bilang di telepon tadi.” Ujar petugas tersebut.

“Tapi ia bekerja di sini kan?” tanya John tak sabar. Ia merasa senang kalau benar benar bisa bertemu Luisa.

“Ya, iya bekerja di sini.”

“Boleh aku bertemu dengannya?”

“Tidak sekarang karena sekarang adalah jam kerjanya. Anda bisa menemuinya saat jam pulang nanti.”

“Kira kira jam berapa?”

“Jam lima sore.”

“Baiklah, jam lima sore aku ke sini lagi.”

“Tentu.”

John akhirnya memutuskan untuk pergi ke hotel yang sudah ia pesan untuk beristirahat. Saat ini baru jam dua siang. John punya waktu tiga jam untuk beristirahat di hotelnya.  Ia akan kembali tiga jam kemudian untuk menemui Luisa.

~


Luisa meminum tehnya sampai setengah gelas. Ia terlihat sangat haus. John sudah menawari Luisa makan, tapi Luisa menolaknya. Ia mau berbicara dengan John di cafe tempat mereka minum, tapi hanya sebentar karena ia harus pulang dan memasak untuk keluarganya.

Suami Luisa bekerja di sebuah pabrik mobil. Luisa harus menyiapkan makan malam untuk suami dan dua anak laki lakinya sehingga ia tak bisa ngobrol lama dengan John.

“Tidak apa apa,” ujar John saat Luisa mengatakan itu padanya, “aku hanya perlu tahu beberapa hal saja, setelah itu Anda boleh pergi.”

“Apa yang ingin Anda ketahui?” tanya Luisa.

“Tentang Florence. Ia punya anak perempuan, tapi tidak tahu siapa ayahnya. Aku sedang menyelidiki siapa ayah dari anak perempuan Florence.”

“Apa ada kemungkinan ayahnya ada di Fillmore Green?” Luisa malah balik bertanya pada John.

“Tidak.” John menggeleng, “kemungkinan besar ayahnya orang Italia. Itulah kenapa aku melacaknya sampai ke sini.”

“Tapi aku tidak tahu apa apa tentang hal itu,” ujar Luisa. “Saat dulu berpisah dengan Florence di restoran Pizza tersebut, Florence dalam keadaan tidak hamil dan tidak punya pacar.”

“Kalian berpisah di restoran Pizza karena Florence punya pekerjaan baru di Tuscany?” tanya John menyimpulkan.

“Sepertinya begitu. Aku tidak tahu Florence punya pekerjaan baru atau tidak, yang jelas ia berhenti kerja di restoran pizza tersebut.”

“Florence saat itu tidak cerita ia akan bekerja di mana?”

“Tidak, Florence tidak cerita. Aku merasa sedih sekali ketika Florence pergi meninggalkanku.” Ujar Luisa lagi, “saat itu aku mencoba menahannya, tapi Florence tetap ingin pergi ke Tuscany.”

“Ada seseorang yang mengajaknya ke sana?” tanya John penasaran.

“Ya. Temanku dan teman Florence yang bernama Silvana. Keluarganya tinggal di Tuscany tepatnya di daerah Chianti. Florence dan Silvana pergi kesana. Itulah terakhir kalinya aku bertemu Florence. Di awal awal kepergiannya ke Chianti, Florence masih suka meneleponku, tapi setelah itu ia tak pernah mengabariku lagi. Terakhir ia mengabariku lewat telepon saat ia mau kembali pulang ke Leefsmall. Ia berterimakasih padaku karena telah memperkenalkan negara Italia padanya. Tapi dia bilang petualangannya di Italia sudah berakhir. Aku saat itu meminta padanya untuk bertemu dulu denganku sebelum ia pulang ke Leefsmall, tapi ia bilang ia tak sempat karena sudah memesan tiket pesawat. Itu adalah pembicaraan terakhirku dengannya. Setelah itu aku tak tahu apa apa lagi tentang dirinya, sampai akhirnya aku tahu dari Anda kalau Florence sudah meninggal.”

“Ya, Florence meninggal saat usia anak perempuannya sembilan tahun, berarti kurang lebih Florence meninggal 16 tahun yang lalu.”

“Aku sangat sedih mendengar ini.”

“Ya.” Sahut John. “Saat itu Florence pulang ke Leefsmall cuma sebentar. Ia tak punya rumah lagi di sana karena rumah warisan orangtuanya sudah ia jual. Ia di Leefsmall hanya tinggal selama sebulan. Ia menyewa sebuah kamar untuk tinggal di sana, setelah itu ia pergi ke Hall of City untuk menemui adiknya, Irine, dan tinggal dengan Irine sampai ia melahirkan, membesarkan Casey, - puterinya, - sampai berusia sembilan tahun, dan kemudian akhirnya, meninggal.”

“Kasihan Casey, ibunya meninggal saat ia masih kecil.”

“Ya.” John setuju, “dan Casey tidak tahu siapa ayahnya.”

“Kenapa Irine merahasiakan siapa ayah anaknya pada adiknya Irine? Harusnya ia bercerita.”

“Aku tak tahu, mungkin Florence punya alasan tersendiri. O, ya kalau boleh tahu, nama belakang Silvana apa? Aku harus mencari Silvana di Chianti.”

“Guerra. Nama belakang Silvana adalah Guerra.”

“Baiklah,” ujar John akhirnya “besok pagi pagi sekali aku akan pergi ke Chianti. Terima kasih atas bantuannya Mrs. Mancini, aku sangat menghargai bantuan Anda.”

“Sama sama.” Luisa tersenyum sambil mulai menghabiskan tehnya. “Senang bisa membantumu.”

~ ~

Chianti adalah sebuah desa yang terkenal dengan kebun anggurnya. Keahlian pengolahan anggur di Chianti menjadikannya salah satu kawasan anggur terkenal di dunia. Desa perkebunan anggur di Chianti sangat indah, dengan hamparan luas bukit hijau, lembah, kebun anggur, perkebunan zaitun, dan hutan tua. Chianti dipadati pedesaan abad pertengahan, dengan gereja tua, kastil dan menara.

Chianti telah menghasilkan anggur selama lebih dari 2.000 tahun, mencapai puncaknya sebagai kawasan anggur di abad ke 13. Sebutan paling terkenalnya adalah Chianti Classico yang berawal dari tahun 1716.

Salah satu yang terkenal dari Chianti adalah Chianti Classico Wine Festival yang diperingati tiap bulan September setiap tahunnya.

Chianti meliputi wilayah sekitar 260 km2. Untuk mencapai Chianti dari Milan, John harus mengendarai mobil sewaannya kurang lebih tiga jam setengah.

John sudah memesan sebuah penginapan di Chianti dan ia tinggal di sana untuk sementara waktu. Ia juga sudah browsing beberapa nama Silvana Guerra yang tinggal di Chianti. Tapi sayangnya John tak menemukannya. Ia lalu menelepon Luisa menanyakan apakah ia punya foto Silvana. Luisa bilang ia akan mencarinya dulu. Luisa lalu menelepon John pada sore hari bahwa ia punya foto Silvana bertiga dengan dirinya dan Florence waktu mereka bekerja di restoran Pizza di Milan dulu. John lalu meminta Luisa memoto ulang foto mereka bertiga lewat kamera ponselnya dan mengirimkannya pada John.

Dengan berbekal foto itu John akan menanyai orang orang yang ada di Chianti. John akan mendatangi restoran, toko toko, penginapan atau apapun juga untuk menemukan Silvana Guerra. John tidak putus asa. Ia pun menelepon tempat ia menyewa mobil, memperpanjang penyewaan mobilnya secara otomatis dan membayar uang sewanya melalui internet banking.

~

Wilayah Chianti ternyata cukup luas, di wilayah ini masih terbagi lagi dalam beberapa wilayah lainnya seperti Castellina, Gaiole, Brolio dan Radda.

Castellina  terletak di puncak sebuah bukit sekitar 15 km selatan Panzano. Daya tarik wilayah ini adalah tembok, benteng dan via delle volte, semacam saluran bawah tanah yang mengarah ke arah Timur. Produksi anggur dan minyak zaitun banyak di temukan di Castellina.

Gaiole adalah wilayah komersial yang meriah. Disana terdapat tempat wisata utama berupa kastil Vertine yang terletak sekitar 3 km sebelah barat desa. Di sini terdapat juga desa Barbischio yang terletak di sebuah jalan kecil menuju ke Timur. Masih di wilayah Gaiole terdapat Strada dei Castelli, sebuah wilayah yang penuh dengan kastil dan benteng untuk dikunjungi. Di sini juga terdapat Enoteca Montagnani, tempat mencicipi anggur dengan kualitas terbaik.

Wilayah Brolio adalah sebuah wilayah yang terletak di sebelah selatan Gaiole. Tepat setelah desa Brolio terdapat sebuah bangunan atau kastil yang dulu merupakan milik Ricasoli, salah satu keluarga perintis tradisi pembuatan anggur setempat.

Radda merupakan wilayah yang menarik untuk dikunjungi. Di sini terdapat sebuah gereja tua. Di sini juga terdapat sebuah restoran yang menjadi favorit turis mancanegara untuk berkunjung yang bernama Le vigne, yang terletak  di jalan Villa Radda.

Dengan cukup luasnya wilayah Chianti di Tuscany tersebut, John memerlukan waktu lebih dari seminggu untuk menemukan alamat Silvana Guerra karena John tidak punya petunjuk apapun kecuali foto Silvana saat masih muda.

Tapi John tidak mudah menyerah. John masih merasa beruntung berada di wilayah yang cantik dan eksotik di Chianti dalam melakukan pekerjaannya. Dulu ia pernah sampai harus berada di pedalaman Afrika Selatan untuk mengungkap suatu kasus.

Ketika akhirnya John mendapatkan alamat Silvana Guerra, rasa lelah John akhirnya terbayar.

Silvana ternyata bekerja di sebuah penginapan yang ia kelola bersama anak dan menantunya. John mendapatkan alamat Silvana dari seorang penjual cinderamata. Penjual cinderamata tersebut menjajakan dagangannya di beberapa tempat yang selalu ramai didatangi turis. Ia dan Silvana kadang bekerjasama. Jika ada turis yang butuh penginapan dan penginapan Silvana sedang kosong, maka penjual cinderamata tersebut akan membawa turis tersebut ke penginapan Silvana, dan iapun akan mendapatkan tips dari Silvana.

John diterima Silvana dengan senang hati. Silvana lalu bercerita saat ia bekerja dengan Luisa dan Florence di restoran pizza di Milan dulu. Menurut Silvana ia sering merasa lelah dengan pekerjaannya sehingga ia memutuskan untuk keluar dari sana. Restoran pizza itu sangat ramai, tapi ia jarang menerima tips yang banyak dari sana sementara ia harus lembur. Silvana jarang sekali bisa istirahat. Ia bekerja, bekerja dan terus bekerja. Ia akhirnya menyerah. Ia memutuskan pulang ke rumah orangtuanya di Chianti walau ia tak tahu akan bekerja apa di Chianti. Tanpa Silvana duga, Florence ternyata ingin ikut dengannya.

“Saat itu aku bilang pada Florence kalau aku tidak bisa menjamu dia di rumahku karena keluarga kami miskin.” Ujar Silvana pada John, saat ia mengenang kebersamaannya dengan Florence dulu, “tapi Florence bilang tidak apa apa. Ia punya sedikit tabungan untuk menghidupi dirinya saat ia tidak bekerja. Ia akan mencari pekerjaan di Chianti, apapun jenis pekerjaannya ia tak akan mengeluh.”

“Lalu Florence ikut Anda dan tinggal di rumah Anda?” tanya John.

“Untuk beberapa hari ya, tapi karena rumahku sempit, sementara aku dan Florence harus berbagi kamar dengan dua adikku, akhirnya Florence mencari penginapan murah. Dan sama sepertiku kami mulai mencari kerja.”

“Lalu?”

“Berdasarkan rekomendasi dari kakakku, aku diterima bekerja di sebuah pabrik minuman anggur. Florence saat itu ingin bekerja ditempatku, tapi sayangnya lowongan pekerjaan hanya untuk satu orang. Akhirnya Florence mencari pekerjaan lain lagi.”

“Lalu?” tanya John penasaran.

“Pada akhirnya, Florence berhasil menemukan pekerjaan. Ia bekerja sebagai pelayan di sebuah keluarga kaya raya di Castellina. Keluarga itu sedang butuh seorang pelayan karena salah seorang pelayan mereka sedang cuti melahirkan. Pelayan yang mereka butuhkan adalah untuk bagian dapur, membantu koki di sana untuk masak.”

“Florence mendapat informasi darimana tentang lowongan pekerjaan disana?”

“Dari Ibu pemilik penginapan tempat Florence menginap. Ibu tersebut ternyata bibi dari pelayan yang akan melahirkan. Ia tahu Florence sedang mencari kerja, akhirnya, ia merekomendasikan Florence pada nyonya rumah di sana dan Florence diterima bekerja di sana.”

“Lama Florence kerja disana?”

“Ya, mungkin dua tahun lebih, Florence tidak kemana mana lagi sejak bekerja disana, ia sehari hari bahkan tinggal di sana. Ia keluar dari pekerjaannya ketika ia pulang ke negaranya.”

“Apakah Florence pernah bercerita pada Anda ia punya seorang kekasih atau bahkan pernah memperkenalkan siapa kekasihnya pada Anda?” tanya John lagi.

“Tidak, seingatku tidak. Florence tidak pernah bercerita apa apa tentang hubungan asmaranya dengan seseorang. Ia saat itu suka meneleponku, tapi hanya menanyakan kabarku, itu saja, ia tak pernah bercerita tentang kehidupan pribadinya.”

“Baiklah kalau begitu, kalau boleh tahu, nama keluarga tempat Florence bekerja dulu siapa?”

“Keluarga Caruso. Florence bekerja di keluarga Caruso. Dulu Mr. Caruso senior yang menjalankan usaha minuman anggur mereka, tapi beliau sudah meninggal lima tahun yang lalu.”

“O, ya?”

“Ya.”

“Apakah isterinya yang melanjutkan usahanya?”

“Tidak, isterinya sekarang malah tinggal di New York dengan puteri bungsunya. Mr dan Mrs. Caruso hanya punya dua orang anak. Satu laki laki, anak tertua, dan satu anak perempuan, anak yang bungsu.”

“Berarti dengan kata lain yang melanjutkan usaha keluarga Caruso adalah anak laki laki pertama di keluarga tersebut?”

“Sepertinya begitu.”

“Baiklah kalau begitu, aku nanti akan mengunjungi keluarga tersebut, aku akan browsing alamatnya di internet, kupikir akan cukup mudah menemukan alamat mereka.”

“Ya, bisnis mereka sangat sukses. Mereka mengekspor minuman anggur keluar negeri.”

“Oke, terima kasih untuk bantuannya.”

“Sama sama.” Ujar Silvana sambil tersenyum.

~ ~


Akhirnya. John menghela nafas panjang. Ia merasa senang sekaligus lega. Pencarian panjangnya tentang petualangan Florence di Italia ternyata berakhir di keluarga Caruso. John hanya tinggal mencari tahu siapa siapa saja pria yang dekat dengan Florence saat Florence kerja di sana.

John tidak menunggu lama untuk pergi ke sana. John mendapatkan alamat rumah keluarga tersebut dengan mudah di internet.

Rumah keluarga Caruso terletak di sebuah perbukitan yang asri. Jarak antara pintu gerbang dan rumah cukup jauh, dibatasi oleh kebun anggur yang terhampar luas dan indah. Walau belum musim panen anggur, tapi anggur anggur tersebut sudah berbuah lebat walau masih berwarna hijau.

John pergi ke sana masih dengan mobil sewaannya. Ia terus terusan memperpanjang mobil sewaannya tersebut per tiga hari.

Rumah keluarga Caruso tampak luas, indah dan elegan. Teras rumahnya sangat asri dengan banyak sofa ditata di teras tersebut. Di halaman rumah ada beberapa tempat duduk terbuat dari batu marmer. Tidak jauh dari sana ada air mancur dengan patung patung yang cantik. Di dekat garasi yang terbentang luas terparkir beberapa mobil mahal dan mewah, tidak jauh dari garasi ada taman bunga yang cukup indah.

John memencet bel rumah. Ia menunggu hanya sebentar sebelum akhirnya seorang pelayan membukakan pintu untuknya.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya pelayan tersebut yang merupakan seorang wanita muda.

“Bisa saya bicara dengan pemilik rumah ini?”

“Tuan dan nyonya sedang pergi ke Paris. Mereka sedang tidak ada di rumah saat ini.”

“Kapan mereka kembali?”

“Saya kurang tahu, tapi sepertinya masih lama. Mereka baru berangkat semalam, biasanya kalau bepergian, mereka paling sebentar pergi selama seminggu.”

“Oh. Aku ingin bertanya tentang pelayan yang dulu pernah bekerja di sini, tapi karena kau masih muda sepertinya kau tak mengenalnya. Ada pelayan lain yang lebih tua darimu?”

“Ada, Martha, sebentar saya panggilkan.”

“Ya, terima kasih.”

John duduk di salah satu sofa yang berada di teras rumah tersebut. Ia duduk sambil memperhatikan keindahan taman bunga dan air mancur di hadapannya.

“Selamat siang.” Ujar wanita setengah baya yang datang menghampiri John, lalu duduk di hadapa John. “Saya Martha, ada yang bisa saya bantu?”

“Ya,” John tersenyum, “saya sedang mencari informasi yang berkenaan dengan diri Florence, apa Anda mengenal Florence? Dia bekerja di sini kurang lebih dua puluh enam tahun lalu?”

Martha tampak diam. Ia duduk di hadapan John tanpa berkata apa apa.

“Ini fotonya untuk mengingatkan siapa tahu Anda lupa.” John mengeluarkan foto Florence dan memberikannya pada Martha.

“Tidak, aku tidak lupa. Ya, aku ingat Florence, dia temanku. Bagaimana kabar Florence sekarang?”

“Florence sudah meninggal dunia.”

“Bagaimana mungkin? Apa yang terjadi?” Martha tak percaya.

“Dia sakit deman berdarah dan pengobatannya terlambat.”

“Ya Tuhan.”

“Aku minta maaf harus menyampaikan kabar duka ini pada Anda.”

“Kapan meninggalnya?”

“Kurang lebih enam belas tahun yang lalu.”

“Aku sangat sedih mendengar ini. Florence dulu gadis yang cantik. Dia sangat sehat dan penuh semangat. Ia pekerja yang rajin.”

“Ya, tentu. Ngomong ngomong Martha, apa Florence dulu punya kekasih?”

“Memang kenapa?”

“Aku hanya ingin tahu.”

“Ia saat itu dekat dengan beberapa orang pria. Florence sangat cantik, banyak yang suka padanya dan banyak yang bersaing untuk mendapatkan hatinya.”

“Dan siapa saja pria pria itu?”

“Sebentar aku ingat ingat.” Martha nampak berpikir, “ada seorang tukang kebun, namanya Angelo, ia suka sekali pada Florence. Lalu ada bodyguard Mr. Caruso, kau tahu, keluarga Caruso adalah keluarga Milyuner. Mr. Caruso senior saat itu sangat menjaga anak anaknya dengan ketat padahal mereka sudah dewasa. Ia saat itu mempekerjakan empat orang bodyguard sekaligus. Dua orang bodyguard untuk menjaga anak laki lakinya, Luigi Caruso, dan dua orang bodyguard untuk menjaga anak perempuannya; Leticia Caruso.”

“Oke, dan salah satu bodyguard itu suka pada Florence?” ujar John menyimpulkan.

“Ya. Bukan hanya suka, tapi tergila gila pada Florence. Kurasa mereka berpacaran. Entahlah, mereka dekat sekali saat itu.”

“Nama bodyguard itu siapa?”

“Anthony. Kalau tidak salah Anthony Rocco.”

“Ia sudah tidak bekerja lagi di sini?”

“Tidak, sejak Mr. Luigi Caruso menikah, ia sudah tidak bekerja lagi.”

“Jadi, Anthony ini, saat itu bodyguard Mr. Luigi Caruso?”

“Ya.”

“Kau tahu alamat rumahnya dimana?”

“Tidak, aku tidak tahu apa apa. Tapi seingatku saat itu ia bekerja disini karena dikirim oleh perusahaannya yang khusus menyediakan tenaga kerja di bidang security atau keamanan. Kantor perusahaannya ada di Sienna.”

“Oke, baik, kalau tukang kebun tadi, ehm, Angelo kalau tidak salah, nama belakangnya siapa?” John bertanya sambil membuat beberapa catatan di handphonenya.

“Saverio. Keluarga Angelo adalah Saverio.”

“Selain mereka berdua, ada pria lainnya lagi yang dekat dengan Florence?”

“Sebenarnya ini ada apa? Aku jadi bingung.” Martha mulai malas menjawab pertanyaan John.

John diam sejenak. “Ehm, Anda akan kaget mendengar ini Martha. Florence pulang dari Chianti sini ternyata dalam keadaan hamil.”

“Apa?” teriak Martha kaget. “Yang benar?”

“Ya.” John mengangguk. “Kau tidak tahu hal itu?”

“Tidak, aku tidak tahu, Florence pulang dalam kondisi biasa, seperti sedang tidak hamil atau apa.”

“Itu karena usia kehamilannya masih muda, jadi tidak kelihatan.”

“Ya Tuhan. Siapa kira kira pria yang....” kata kata Martha terhenti, “jadi Anda sedang menyelidiki siapa ayah dari bayi yang dikandung Florence?” tanya Martha kaget.

“Ya.”

“Florence tidak cerita pada keluarganya pria itu siapa?”

“Tidak, sampai Florence meninggal rahasia itu tetap bersamanya. Florence tidak membagi rahasianya dengan siapapun, termasuk pada puterinya, puterinya tidak tahu siapa ayahnya.”

“Jadi anak Florence perempuan?” Martha tiba tiba menangis.

“Ya, ini fotonya.” John memperlihatkan foto Casey pada Martha.

“Dia cantik sekali, senyumnya mirip ibunya.” Martha masih menangis.

“Untuk itulah penyelidikan ini aku lakukan. Tapi puteri Florence, Casey, tidak tahu tentang hal ini. Klien yang menyewaku ingin memberi kejutan pada Casey kalau nanti sudah diketahui siapa ayah Casey.”

“Tentu,” sahut Martha setuju.

“Jadi aku perlu informasi sebanyak banyaknya tentang siapa siapa saja pria yang dekat dengan Florence saat itu.”

“Yang kuketahui paling dekat ya cuma Angelo dan Anthony saja. Ehm, ada satu lagi, ia penjual buah di pasar. Namanya Rafael. Ia suka menggoda Florence kalau Florence sedang berbelanja buah. Ia sangat menyukai Florence, tapi aku tak tahu nama belakangnya siapa.”

“Dimana Rafael berjualan buah?”

“Di pasar tradisional dekat sini. Tapi sepertinya ia sudah tidak berjualan lagi di sana. Aku beberapa kali ke pasar tidak pernah melihat dirinya lagi.”

“Baiklah kalau begitu, aku akan menyelidiki keberadaan Angelo dan Anthony dan bertanya pada mereka tentang Florence, siapa tahu diantara mereka adalah ayah dari Casey.”

“Anda tidak menyelidiki tentang Rafael juga?”

“Tidak, nanti saja, Rafael aku selidiki belakangan. Terima kasih Martha untuk semua informasinya.”

“Ya, sama  sama. Maaf aku lupa menyuguhi Anda minum.”

“Tidak apa apa. Aku sudah cukup senang mendapat informasi yang banyak dari Anda.”

~ ~


Menemukan Angelo Saverio ternyata cukup mudah bagi John. John hanya memerlukan waktu dua hari untuk bisa ngobrol dengan Angelo.

Sejak bekerja di rumah keluarga Caruso, Angelo tidak pernah pergi meninggalkan kampung halamannya. Sesekali ia pergi ke kota yang lebih besar dari Chianti, tapi tujuannya hanya untuk jalan jalan.

Angelo tidak tertarik bekerja di kota, ia sangat menyukai kampung halamannya. Ia cukup lama bekerja di keluarga Caruso, tapi sejak ia menikah, ia dan isterinya akhirnya membuka usaha kuliner. Mereka mendirikan restoran kecil dengan menu aneka pasta.

Hingga kini usaha kuliner Angelo masih bertahan. Ia memiliki dua orang anak perempuan yang membantunya di restoran pasta mereka.

Angelo bersedia ngobrol dengan John diantara kesibukannya melayani pelanggan. Dan karena merasa tidak enak sudah mengganggu kerja Angelo, John akhirnya memberi tips yang cukup besar pada Angelo setelah ia menghabiskan sepiring pasta carbonara. John juga sudah menghabisan secangkir caffe. Dan kini, secangkir caffe lainnya terhidang di hadapan John dengan asapnya yang masih mengepul.

“Jadi Anda tidak berpacaran dengan Florence?” tanya John kaget saat mengetahui bahwa Angelo tidak punya hubungan apapun dengan Florence.

“Tidak.” Angelo tertawa, “andai saja dulu Florence mau menerima cintaku, kami mungkin langsung berpacaran dan bahkan bisa saja menikah, tapi Florence menolak cintaku, ia hanya ingin aku dan dia berteman baik saja, tidak lebih dari itu. Dulu, Florence banyak yang suka, aku kalah bersaing dengan mereka.”

“Ya, salah satunya Anthony,” ujar John.

“Kau tahu tentang Anthony?” tanya Angelo kaget.

“Martha yang memberitahuku tentang Anthony.”

“Aku dulu benci sekali pada Anthony. Ia seperti menguasai Florence. Ia melarang Florence dekat dengan pria lain kecuali dirinya.”

“Jadi benar Florence dan Anthony berpacaran?” tanya John antusias, “karena Martha bilang begitu.”

“Aku tidak tahu mereka berpacaran atau tidak, tapi Anthony sangat posesif sekali. Ia sangat cemburuan, ia sering memarahi Florence kalau ngobrol terlalu lama denganku, ya kurang lebih seperti itulah.”

“Apa Anda kira kira tahu dimana Anthony berada sekarang?” tanya John sambil mulai menyeruput caffe nya.

“Tidak, aku tak tahu,” Angelo menggeleng, “aku keluar kerja lebih dulu dari Anthony. Saat itu aku keluar kerja karena akan mendirikan restoran pasta ini berdua isteriku, dan sejak aku tidak bekerja lagi di keluarga Caruso aku tidak tahu apa apa lagi tentang keluarga itu termasuk para pegawai di sana.”

“Apakah saat kau berhenti bekerja di keluarga Caruso, Florence masih bekerja di sana?”

“Tidak, Florence sudah pulang ke negaranya. Aku menikah setelah Florence pergi. Aku patah hati saat Florence berhenti kerja dan pulang ke negaranya. Aku sedih sekali saat itu.”

“Kau yakin, kau dan Florence tidak pernah ehm...” John menghentikan kata katanya sebentar, “berhubungan seks?”

“Tuan,” Angelo kembali tertawa, “mencium Florence saja aku tidak pernah, apalagi berhubungan seks dengannya.”

“Aku hanya memastikan saja, karena tujuanku ke sini memang untuk mencari ayah dari anak Florence.”

“Andai saja aku bisa membantu, tapi sayangnya aku tidak tahu apa apa tentang hal itu. Mungkin Anthony ayah dari anak Florence, entahlah, kau harus menanyai Anthony tentang hal ini.”

“Ya, aku memang akan mencari Anthony. Terima kasih atas bantuan Anda Mr. Saverio, aku sangat menghargai bantuan yang sudah Anda berikan.”

“Sama-sama, terima kasih juga sudah mencicipi pasta di restoran kami.”

~ ~

John akhirnya pergi ke Siena keesokan harinya. Siena adalah salah satu kota sejarah di Italia. Siena terkenal karena pacuan kudanya yang bernama Palio, dimana Palio ini diselenggarakan dua tahun sekali dan selalu mendapat perhatian dari para turis yang berkunjung ke sana.

Letak Siena adalah di bagian tengah Tuscany, berbatasan dengan perbukitan Chianti di sisi Timur-Utara.

John memerlukan waktu selama setengah jam lebih untuk mencapai Siena dengan menggunakan mobil sewaannya. Jarak yang harus John tempuh kurang lebih 20 km dari Castellina di Chianti ke Siena.

Sampai di Siena John langsung menuju perusahaan tempat Anthony dulu pernah bekerja. John sudah minta bantuan teman temannya di Italy untuk mencarikan alamat itu untuknya.

Dalam pekerjaannya John terkadang dibantu oleh teman temannya yang tersebar di kota kota besar di seluruh dunia. John pun sering membantu teman teman detektifnya jika mereka kesulitan tentang sesuatu.

Setelah mendatangi tempat Anthony dulu bekerja, John mendapat informasi bahwa Anthony sudah pensiun dan alamat rumah Anthony yang tercatat di sana masih di Siena, John langsung mendatangi alamat rumah tersebut, tapi John diberitahu oleh penghuni rumah yang merupakan keluarga Anthony bahwa Anthony sedang pergi ke Roma dan besok pagi baru pulang.

John terpaksa mencari penginapan di Siena dan booking untuk satu hari menginap. Ia lalu istirahat di kamar hotel yang dipesannya.

Keesokan harinya John mendatangi lagi rumah kediaman Anthony, dan untungnya Anthony sudah pulang. Anthony cukup terkejut dengan kedatangan John dan tujuan mencari dirinya. Ia juga tak percaya saat diberitahu bahwa Florence memiliki anak perempuan yang entah siapa ayahnya.

“Kalau saja aku ayah dari anak Florence, aku akan sangat bahagia.” Komentar Anthony setelah diam beberapa saat. “Aku punya tiga anak yang kesemuanya laki laki. Jadi kalau harus tambah satu anak perempuan, aku sama sekali tidak keberatan, tapi sayangnya, dia bukan anakku, aku dan Florence tidak pernah berhubungan sejauh itu, kami dekat ya itu benar, tapi kami tidak pernah berhubungan seks.”

“Tapi kalian benar benar berpacaran?” tanya John.

“Kalau aku melihatnya sih iya, aku menganggap Florence dulu sebagai pacarku, tapi entah dengan Florence. Dia sepertinya menganggapu sebagai sahabatnya saja, tidak lebih.”

“Apa Anda masih ingat kira kira siapa saja pria yang dekat dengan Florence saat itu selain Anda?”

“Seingatku tidak banyak,” ujar Anthony lagi. “Florence bekerja di keluarga Caruso hanya sebentar, kurang dari dua tahun. Selama itu pula ia hanya dekat denganku, ada sih beberapa pria lain yang suka juga pada Florence seperti tukang kebun di keluarga Caruso yang aku lupa namanya.”

“Namanya Angelo.” Ujar John memberitahu.

“Ya, benar, Angelo, kau sudah menyelidiki Angelo?” tanya Anthony penasaran.

“Sudah,” sahut John, “Angelo juga bukan ayah dari anak Florence.”

“Aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan, aku menyesal tidak bisa membantu Anda.”

“Tidak apa apa, Anda sudah cukup membantu kok, aku ke sini hanya untuk memastikan saja bahwa kecurigaanku tidak benar. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk ngobrol denganku,” ujar John.

“Ya, tentu, tidak masalah.”

John akhirnya kembali ke hotel tempat ia menginap setelah ngobrol dengan Anthony. Ia membereskan pakaiannya untuk kembali ke Castellina di Chianti untuk mencari Rafael.

~

Matahari bersinar dengan teriknya. John sudah berkeliling pasar untuk bertanya pada orang orang apakah mereka mengenal Rafael, penjual buah buahan yang dulu berjualan di sana.

Ada beberapa orang yang kenal, dan mereka bilang, sejak tidak berjualan buah buahan, Rafael memutuskan untuk bekerja di salah satu pabrik anggur yang ada di Castellina.

John pun berkeliling dari satu pabrik anggur ke pabrik anggur lainnya. Ia baru menemukan keberadaan Rafael di pabrik anggur kelima yang ia kunjungi. Tapi sama seperti Angelo dan Anthony, Rafael bukan ayah Casey. Ia mengaku dekat dengan Florence tapi hanya sebagai teman.

“Saat itu Florence pernah bercerita bahwa ia sedang jatuh cinta pada seseorang, saat kudesak siapa orang yang dimaksud, Florence tidak mau cerita.” Ujar Rafael.

“Lalu?” tanya John penasaran.

“Lalu aku bertanya padanya apakah pria yang ia cintai mencintai dirinya juga, ia bilang iya. Pokoknya aku melihat saat itu bahwa Florence begitu bahagia.”

“Lalu?”

“Lalu Florence tidak mau cerita apa apa lagi. Ia hanya bilang bahwa ia merupakan salah satu orang yang paling beruntung di dunia karena mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orang yang ia sukai, itu saja.”

“Florence tidak menyebutkan nama atau apapun juga?”

“Tidak, aku kan tadi bilang tidak. Aku bertanya apakah pria itu aku kenal, Florence bilang, ya, aku kenal, tapi tidak kenal secara langsung, aku tidak mengerti apa maksudnya saat itu.”

“Pria itu kerja di tempat yang sama dengan Florence?” tanya John lagi.

“Kemungkinan begitu. Florence jarang keluar rumah kecuali untuk berbelanja. Sesekali kalau saat ia mendapat jatah libur ia suka pergi denganku untuk sekedar bersantai melihat lihat pemandangan. Tapi hanya sebatas itu. Jadi bisa aku simpulkan bahwa pria yang dicintai Florence saat itu ada di sekitar sini, tidak jauh dari tempat Florence bekerja, atau bahkan mungkin tinggal satu rumah dengan Florence.”

“Ya, ada yang beberapa bekerja juga di keluarga Carusa, dan mereka cukup dekat dengan Florence, tapi bukan mereka ayah dari anak Florence.” Ujar John bingung. “Ya sudah kalau begitu, terima kasih atas keterangannya, maaf sudah mengganggu waktu kerja Anda.”

“Tidak apa apa, aku senang bisa membantu.” Ujar Rafael sopan.

John akhirnya kembali ke mobil sewaannya dengan perasaan lelah. Ia memutuskan untuk pulang dulu ke Hall of City, untuk melanjutkan penyelidikannya nanti. Ia lalu kembali ke rumah keluarga Caruso untuk menemui Martha.

Martha terlihat kecewa dengan hasil temuan John, karena sama dengan John, Martha juga ingin tahu siapa ayah dari anak Florence.

“Aku meninggalkan kartu namaku ini untukmu, karena siapa tahu nanti ada informasi penting yang ingin kau sampaikan padaku sehubungan dengan penyelidikan yang sedang kulakukan,” ujar John sambil menyerahkan kartu namanya pada Martha.

“Ya, tentu, aku akan menghubungimu kalau ada informasi atau apa.”

“Terima kasih, maaf sudah merepotkan.”

“Tidak merepotkan kok, aku senang bisa membantu.”

“Ya, tentu. Bantuanmu memang sangat aku butuhkan.”

“Kapan kau kembali lagi ke sini?” tanya Martha.

“Aku tidak tahu, aku mau istirahat dulu dari kasus ini. Pikiranku jenuh, aku mengalami jalan buntu, tidak tahu harus melakukan apa, jadi kumohon sekali lagi, kalau ada informasi yang berharga yang berkenaan dengan diri Florence tolong sampaikan padaku, aku akan langsung datang lagi ke sini.”

“Baiklah tuan, akan kulakukan.”

“Aku pamit sekarang, sampai bertemu lagi Martha.”

“Sampai bertemu lagi.”

John akhirnya kembali ke mobil sewaannya. Ia akan kembali mengendarai mobil itu ke Milan untuk mengembalikan mobil yang ia sewa untuk selanjutnya pulang kembali ke Hall of City.

~ ~


BAB SEPULUH


Casey memperhatikan rumah keluarga Chester sambil tersenyum. Ia akhirnya bisa menyempatkan diri datang ke rumah sahabat ibunya yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Ia datang sendiri karena Melisa sedang bekerja sehingga tidak bisa menemaninya.

Sejak kecil hingga besar Casey tinggal di Hall of City dan tidak pernah tinggal di Leefsmall padahal menurut tantenya kampung halaman keluarga mereka adalah Leefsmall. Tapi sejak Tante dan ibunya menjual rumah peninggalan orangtua mereka, mereka bukan menjadi warga Leefsmall lagi.

Casey beberapa kali datang ke Leefsmall hanya untuk menemani ibunya atau tantenya mendatangi makam kakek neneknya yang ada di salah satu pemakaman umum di Leefsmall. Selebihnya Casey tidak pernah tinggal di Leefsmall bahkan untuk satu malam sekalipun sebelum akhirnya ia mendampingi Luke menjalani pengobatannya di Victoria Hospital di Leefsmall.

Luke sudah menjalani dua kali kemoterapi, dan masih harus terus menjalani kemoterapi berikutnya hingga betul betul sembuh. Kemoterapi itu dilakukan setiap tiga minggu sekali. Jadi tiga minggu dari sekarang, Luke akan kembali ke Leefsmall untuk menjalani kemoterapi ketiganya, dan Casey akan menemani Luke lagi. Hanya saja, kali ini, mereka tidak perlu menginap seperti enam minggu yang lalu yang sudah mereka lalui.

Dokter Sally sudah mengijinkan Luke pulang besok, ia tidak merasa khawatir lagi dengan kondisi Luke. Ia hanya berpesan pada Luke agar tidak terlalu lelah dalam bekerja, dan memperhatikan asupan makan yang sehat dengan giji seimbang. Luke juga harus rajin minum obat sesuai resep yang ia berikan.

Casey baru mau melangkahkan kakinya memasuki halaman rumah keluarga Chester, ketika pintu tiba tiba terbuka dan Darlene berlari menyambutnya sambil tersenyum lebar. Darlene sudah tahu Casey akan datang karena Casey menghubunginya lewat telepon, sehingga Darlene langsung menyiapkan banyak makanan enak untuk Casey.

“Casey,” teriaknya, “kau datang juga,” Darlene langsung memeluk Casey erat. “Namaku Darlene.”

“Aku Casey,” Casey tersenyum.

“Ya,” Darlene mengangguk, “kau cantik seperti ibumu.”

“Terima kasih.”

“Ayo masuk, akan kuperkenalkan kau pada suamiku dan puteriku.”

“Baik,” Casey akhirnya berjalan disamping Darlene.

“Kau datang sendiri ke sini?” tanya Darlene sambil melangkah disamping Casey.

“Iya.”

“Naik taksi?”

“Iya.”

“Padahal kau tinggal bilang ada dimana, biar kujemput.”

“Tidak usah, tidak apa apa kok.”

“Ayo masuk, silahkan, ini keadaan rumahku, anggap saja sebagai rumahmu sendiri. Ini suamiku, Randy.”

“Halo,” sapa Randy ramah pada Casey, “aku Randy.”

“Hai, aku Casey.”

“Dan ini puteriku satu satunya, namanya Claire, dan itu anaknya, Sinead. Suami Clare sedang keluar kota.” Ujar Darlene lagi.

“Hai, senang bertemu denganmu Casey,” Claire tersenyum ramah pada Casey.

“Aku juga.” Casey balas tersenyum, “hai Sinead, kau lucu sekali.”

“Ia agak galak pada orang yang baru ia kenal,” Darlene tertawa. “Ayo silahkan duduk, aku ambilkan minum dulu.”

“Terimakasih Mrs. Chester.”

“Panggil Darlene saja biar akrab.” Seru Darlene sambil berlalu.

“Oke.” Casey tertawa. Casey lalu duduk dengan ditemani Randy. Claire pamit pergi ke kamar karena Sinead sepertinya sedang mengantuk.

“Aku cukup sering datang ke makam ibumu kalau aku pergi ke Hall of City,” ujar Randy.

“Terima kasih,” Casey tersenyum, “karena masih mengingat ibuku dan selalu mendoakannya.”

“Ibumu orangnya menyenangkan. Aku sebenarnya dulu tidak terlalu akrab dengan ibumu, tapi karena ibumu dan isteriku sering pergi bersama, kemana mana bersama, aku akhirnya cukup akrab juga dengan ibumu.”

“Ibumu sering meminta bantuan pada Randy kalau perlu sesuatu,” Darlene muncul sambil memberikan minum pada Casey. “Ibumu tak punya pacar saat itu, aku sudah menyuruhnya mencari pacar tapi ia tak mau. Jadi karena ibumu tak punya pacar, Randy yang sering membantunya kalau ia ada keperluan.”

“Oh, begitu.” Komentar Casey.

“Ini album foto kami berdua, dari sejak kecil sampai aku menikah, sampai ibumu pergi ke Italia.”

“Ibu pergi ke Italia?” tanya Casey kaget. Ia menerima album yang diberikan Darlene, tapi belum membukanya.

“Ya, ia diajak temannya untuk bekerja disana. Ibumu berada di Italia kurang lebih tiga tahun.”

“Aku baru tahu,” gumam Casey, “tanteku tidak pernah cerita apa apa. Ibu juga waktu masih hidup tidak pernah cerita apa apa tentang Italia.”

“Mungkin ibumu tidak ingin kau tahu. Sementara Irine, tantemu, kurasa juga ia tidak tahu. Irine pindah ke Hall of City saat menikah, dan saat itu ibumu masih bekerja di sebuah toko roti di Leefsmall sini dan tinggal di rumah kakek nenekmu. Tapi saat ibumu mau pergi ke Italia rumah itu dijual. Irine tidak tahu menahu tentang penjualan rumah itu. Tapi Irine dan ibumu sudah sepakat untuk menjualnya. Setelah rumah dan mobil kakek nenekmu dijual, ibumu lalu pergi ke Hall of City untuk menemui Irine untuk memberikan uang pada Irine. Hasil penjualan rumah dan mobil kakek nenek kalian, dibagi dua antara ibumu dan Irine. Dari hasil penjualan rumah dan mobil itulah ibumu bisa punya tiket untuk pergi ke Italia dan bekerja di sana selama kurang lebih tiga tahun.”

“Oh,” komentar Casey. “Aku benar benar baru tahu sekarang kalau ibu ternyata pernah bekerja di Italia.”

“Apa ibumu meninggalkan warisan atau apa?” tanya Randy, “maaf, aku tidak punya maksud apa apa, hanya ingin tahu saja.”

“Sedikit, ibu meninggalkan sedikit uang dan beberapa perhiasan miliknya.” Ujar Casey, “tapi karena dulu aku masih kecil, semua uang peninggalan ibu, tante yang menyimpannya dan mengaturnya untukku, untuk biaya sekolah dan lain lain.”

“Kau yakin peninggalan ibumu cuma sedikit?” tanya Randy lagi.

“Sayang, kenapa kau bertanya seperti itu pada Casey?” Darlene protes atas pertanyaan suaminya.

“Bukan apa apa, kupikir, Florence pasti meninggalkan uang yang cukup banyak untuk Casey. Selama hidupnya Florence selalu bekerja, ia pasti punya tabungan yang banyak.”

“Apa menurutmu Irine tidak jujur pada Casey?” tanya Darlene kaget.

“Bisa jadi begitu.” Randy setuju, “apa tantemu pernah memberimu uang Casey?”

“Ya, tapi tidak sering,” ujar Casey, “hanya untuk biaya sekolah sampai senior high school, dan uang jajan sedikit. Selepas high school, aku langsung bekerja dan sesekali membantu tante bekerja sebagai asistennya. Tante bekerja sebagai penata rias di istana Normand dan aku selalu membantunya tiap akhir pekan. Dan itu kulakukan sampai aku pindah dari rumah tante. Aku bekerja terus hingga sekarang.”

Randy dan Darlene nampak termenung.

“Apakah Irine suka membelikan kau baju baru atau sepatu baru atau tas baru untukmu?” tanya Randy lagi.

“Jarang, hanya sesekali, seingatku saat aku sekolah dulu jarang. Aku baru bisa membeli itu semua setelah aku bekerja.”

“Ya Tuhan, kurasa suamiku benar, Irine sepertinya sudah mengambil uangmu untuk keperluannya sendiri. Florence pasti meninggalkan banyak uang untukmu.” Seru Darlene.

“Tidak apa apa kok,” Casey tersenyum, “itu bukan masalah untukku. Aku sudah bisa mencari uang sendiri sekarang, sehingga tidak perlu merepotkan tanteku lagi.”

“Tantemu sama sekali tidak direpotkan olehmu Casey, sejak kecil hidupmu dibiayai dari uang warisan ibumu, kau sama sekali tidak merepotkan keluarga tantemu, aku yakin itu.” Ujar Darlene lagi.

“Walau begitu, tetap tidak masalah bagiku, sungguh.”

“Kau baik sekali,” Darlene tersenyum, “kalau aku jadi kau, aku akan bertanya pada Irine berapa pastinya ibumu meninggalkan uang untukmu, itu hakmu Casey.”

“Sudahlah,” Randy akhirnya berkomentar lagi, “lupakan saja itu semua, Casey benar, ia sudah bisa menghidupi dirinya sekarang, aku berharap bahwa ke depannya rejeki Casey akan banyak dan terus bertambah banyak.”

“Amin,” ujar Casey dan Darlene berbarengan.

“Terima kasih atas doanya Mr. Chester.” Ujar Casey.

“Sama sama.” Randy tersenyum, “mulai sekarang, rumah ini jadi rumahmu Casey, kalau ada apa apa kau jangan ragu ragu meminta bantuan pada kami. Kami bukan keluarga kaya, tapi siapa tahu bisa membantu.”

“Terima kasih, kalian baik sekali.”

“Dan sesekali kau harus menginap di sini,” ujar Darlene, “aku akan menyiapkan satu kamar khusus untukmu di loteng rumahku kalau kau menginap di sini.”

“Terima kasih Darlene.”

“Sama sama Sayang, sekarang, ayo kita makan siang dulu, aku sudah memasakkan banyak masakan yang lezat untukmu.”

~ ~

Pulang dari rumah Darlene, Casey menangis di dalam taksi. Ia tak menyangka sambutan Darlene dan Randy sangat hangat padanya. Ia kini merasa punya keluarga baru.

Casey tadi berjanji pada Darlene bahwa kapan kapan ia akan menginap di rumah Darlene. Dan ia juga akan menyambut Darlene dan keluarganya dengan baik jika mereka main ke rumah kontrakannya di Hall of City.

Sampai di asrama para suster, Casey langsung pamit pada kepala Asrama, dan pada beberapa suster yang dikenalnya di sana, karena besok ia berangkat pagi pagi sekali ke Hall of City.

Ayah Luke yang akan menjemput Luke dan Casey ke rumah sakit dan mengantarkan mereka berdua hingga Hall of City.

Walau Luke berasal dari keluarga kaya raya dan punya banyak supir untuk mengantarkan Luke kemanapun Luke pergi, tapi sejak tahu Luke sakit, ayah Luke selalu menyempatkan diri untuk selalu bersama sama Luke.

Ia meninggalkan semua kesibukannya dalam bekerja hanya untuk bersama Luke. Waktu ternyata jadi terasa berharga untuk bisa dihabiskan dengan keluarga tercinta saat tahu bahwa maut bisa menjemput kita kapan saja, itu yang pernah dikatakan ayah Luke pada Casey. Dan masih menurut ayah Luke, Luke lebih berharga dari semua harta kekayaan yang ia punya, harta kekayaan itu tidak sebanding dengan Luke, karena Luke-lah harta kekayaan yang sesungguhnya.

Casey sampai terharu mendengar kata kata itu dari ayah Luke. Mereka berbincang bincang mengenai hal itu saat berjalan jalan di koridor rumah sakit untuk melepas kejenuhan.

Tiba tiba saja Casey merasa begitu iri pada Luke. Ia iri karena Luke punya ayah yang sangat perhatian padanya dan sangat menyayanginya.

Casey tak pernah mendapatkan perhatian yang sama dari ayahnya. Jangankan perhatian, ayahnya pun siapa, ia tak tahu.

Tapi Casey tidak terlalu bersedih, ia punya keluarga Chester sekarang yang sudah menganggapnya sebagai puteri mereka sendiri. Ia punya keluarga Chester dan juga punya Melisa. Ia punya keluarga baru dan punya sahabat baru di Leefsmall sini. Dan itu juga merupakan harta yang berharga untuknya.

~ ~


“Ayo, cerita, bisnis apa yang kalian kerjakan di Leefsmall,” Viola memandang Casey tak sabar. Mereka berdua sedang berjalan kaki ke arah halte bis untuk selanjutnya pulang ke tempat tinggal masing masing dengan menggunakan bis setelah seharian ini bekerja di studio.

Keluarga Viola ada di Parklane. Viola dan kakaknya tinggal di sebuah apartemen di Hall of City sini yang ditempati oleh mereka berdua. Kakak Viola bekerja sebagai marketing di sebuah perusahaan otomotif. Kakak Viola sebenarnya punya mobil, tapi tidak setiap hari ia bisa menjemput Viola ke studio tempat Viola bekerja. Hari ini kakak Viola sedang ada meeting sehingga tidak bisa menjemput Viola.

“Nanti Viola, ceritanya, nanti, aku baru bekerja sehari dan kau sudah mencecar pertanyaan pertanyaan itu,” keluh Casey.

“Tentu saja aku mencecar pertanyaan itu padamu. Aku takut kau pergi dari studio sini dan pergi ke Leefsmall. Aku kesepian selama kau pergi.”

“Kan ada Craig,” Casey tertawa. “Kalian jadi punya waktu yang banyak untuk dihabiskan berdua.”

“Berhentilah menggodaku dengan Craig, Casey, kau tahu betul Craig hanya tertarik pada Goldie.”

“Yeah, kau benar.” Casey tertawa, “ngomong ngomong aku lapar, kita makan dulu yuk?”

“Tumben, biasanya kau buru buru pulang untuk masak ini dan itu.”

“Aku lagi malas masak, sejak bepergian badanku rasanya lelah terus.”

“Baiklah kalau begitu, kita makan sekarang, aku ingin steak, kau ingin apa Casey?”

“Salad sayur dengan mayonaise yang banyak, aku ketularan Matthew dengan mengurangi makan daging dan...” kata kata Casey terhenti ketika ingat Matthew.

“Tapi kau tidak benar benar jadi vegetarian seperti Matthew kan?” tanya Viola tanpa sadar dengan nada sedih dalam suara Casey.

“Tidak, belum bisa,” ujar Casey, “aku masih suka spaghetti dengan daging cincangnya yang banyak. Aku hanya mengurangi saja konsumsi daging, paling dalam seminggu aku makan hanya sekali atau dua kali.”

“Oh,” sahut Viola sambil menghentikan sebuah taksi. “Kita ke mall yang dekat aja ya,” ujar Viola pada Casey, “ayo!” serunya sambil menarik tangan Casey menuju taksi yang ia berhentikan.

Ketika akhirnya mereka tiba di sebuah restoran yang dipilih oleh Viola, lalu mereka memesan makanan mereka dan mereka menunggu pesanan mereka datang, Casey akhirnya memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Viola, bahwa ia pergi ke Leefsmall bersama Luke untuk menemani Luke berobat.

Viola langsung menangis saat tahu Luke sakit leukimia.

“Demi Tuhan, pelankan tangismu Viola,” keluh Casey ketika Viola tak berhenti menangis, “orang orang akan menyangka aku sedang membully dirimu.”

“Luke akan meninggal, aku tak mau Luke meninggal.” Viola tak berhenti juga menangis.

“Tidak, Luke tidak akan meninggal. Ia akan sembuh asal ia mau terus berobat.”

“Kau harus membujuk Luke agar mau terus berobat Casey,”

“Ya, tentu, aku akan membujuk Luke.”

“Terima kasih.”

“Ya. Sekarang bisakah kau berhenti menangis?”

“Tidak. Aku sayang pada Luke, aku tidak mau Luke kenapa kenapa.”

“Kalau kau tidak berhenti menangis juga, aku tidak jadi makan disini dan langsung pulang.” Omel Casey.

“Baiklah,” Viola menghentikan tangisnya, “aku ke toilet dulu untuk membersihkan wajahku.”

“Ya.” Casey mengangguk dan membiarkan Viola pergi. Ia meras lega, akhirnya Viola tahu tentang sakit yang diderita Luke. Mereka berdua kini sama sama bisa menjaga dan memperhatikan Luke, memastikan bahwa Luke selalu dalam keadaan baik.

~ ~

Room Sweet Room.

Casey merasa lega sudah berada di kamarnya lagi. Tadi ia memutuskan langsung pulang setelah makan bersama Viola. Padahal biasanya ia akan jalan jalan keliling Mall dulu walau tidak membeli apa apa. Casey merasa tubuhnya lelah sekali. Setelah sampai kamarnya, ia langsung mandi air hangat dan sekarang ia sedang berbaring di atas tempat tidur dengan tubuh yang tidak terlalu lelah seperti tadi. Mungkin karena efek shower air hangat saat ia mandi tadi.

Berada di kamarnya sendiri seperti ini, terasa berbeda dengan berada di kamar asrama para suster. Di kamarnya, Casey merasa sangat tenang dan nyaman. Namun begitu ia merindukan kebersamaannya dengan Melisa.

Ia dan Melisa sering bercerita tentang apa saja kalau menjelang tidur. Melisa lebih banyak bercerita tentang pasien pasien yang dirawatnya, sementara Casey lebih banyak bercerita tentang sahabat sahabatnya.

Melisa sangat antusias saat Casey bercerita bahwa ia pernah beberapa kali datang ke Crown Palace. Melisa tak percaya bahwa Bianca pernah bekerja di tempat Casey bekerja dulu dan persahabatan mereka terus berlanjut walau Bianca sekarang sudah menjadi anggota keluarga kerajaan Normand. Melisa ingin suatu hari nanti ia punya kesempatan bertemu dengan Bianca dan berkenalan dengannya.

Ingat Melisa, Casey langsung meneleponnya. Untungnya Melisa sedang tidak bekerja sehingga Casey bisa ngobrol banyak dengannya.

“Kau harus main ke Hall of City dan menginap di tempatku,” ujar Casey. “Kapan kira kira kau punya waktu luang?”

“Aku tidak tahu. Kalau menurut jadwal kerjaku aku off  hari Rabu lusa.”

“Kau datang saja Selasa malam sepulang kerja, kau ke sini naik kereta saja biar cepat. Naik kereta hanya tiga jam perjalanan, sementara kalau naik bis bisa empat jam. Aku akan menjemputmu di Stasiun, kau menginap semalam, nanti pulang lagi ke Leefsmall hari Rabu sore, bagaimana?”

“Entahlah Casey, aku tidak bisa berjanji.”

“Ayolah Mel, keluarlah dari Leefsmall sesekali, kau bilang kau tak pernah pergi kemana mana. Aku akan ijin pada Luke untuk tidak bekerja hari Rabu lusa agar aku bisa menemanimu keliling Hall of City. Kau mau pergi kemana? Di sini semua ada. Ada mall, ada taman rekreasi, ada kebun binatang, dan lain lain.”

“Baiklah, aku akan memesan tiket kereta untuk hari Selasa Malam.”

“Nah, begitu dong!” seru Casey gembira, “sekalian untuk pulangnya ya Mel, biar kau tenang karena punya tiket pulang.”

“Oke, aku akan pesan tiket kereta untuk pergi dan pulang.”

“Ini sungguh menyenangkan.” Casey tertawa, “sampai bertemu di stasiun, kau nanti beritahu aku ya jam kedatangan keretamu jam berapa, aku akan menjemputmu ke stasiun kereta.”

“Ok, sampai bertemu Casey, aku nanti meneleponmu lagi.” Ujar Melisa sebelum mengakhiri pembicaraan mereka.

~ ~

Casey tertawa senang ketika akhirnya taksi yang membawa dia dan Melisa tiba di rumah kontrakannya. Ia tadi menjemput Melisa di stasiun, mereka lalu makan malam bersama di salah satu resto & cafe yang ada di stasiun lalu pulang ke rumah kontrakannya dengan menggunakan taksi.

“Disini aku tinggal.” Komentar Casey sambil membuka pintu pagar.

“Wow, rumahnya cantik sekali, halamannya luas dan hijau karena ditumbuhi banyak tanaman.”

“Ya, diwaktu luangnya, Philip, pemilik rumah ini suka mengurusi tanaman tanaman itu. Ibunya dulu yang suka berkebun, tapi ibunya sudah meninggal, dan Philip mempertahankan kebun bunga ibunya.”

“Berapa banyak orang yang tinggal di sini?”

“Cuma berempat, aku, Philip, temanku Ivanka dan sahabat Ivanka, namanya Carol. Aku dan Philip tinggal di lantai atas.”

“Wah, asik sekali.”

“Bianca dulu juga tinggal di sini.” Ujar Casey lagi.

“Bianca pernah tinggal di sini?!” tanya Melisa tak percaya.

“Ya, Bianca dulu tinggal di kamar yang ditempati Philip sekarang. Ayo masuk,” ujar Casey sambil menutup pintu pagar.

“Oke,” Melisa tersenyum dan mulai berjalan ke arah teras rumah.

Casey baru mengeluarkan kunci dan mau membuka pintu rumah ketika pintu rumah tiba tiba dibuka oleh Philip.

“Aku melihatmu dari balkon,” ujar Philip. “Masuklah, diluar dingin.”

“Terima kasih,” Casey masuk sambil menarik tangan Melisa. “O, ya kenalkan, ini temanku Melisa. Melisa ini Philip.”

“Hai,” Melisa mengulurkan tangannya pada Philip, “aku Melisa Derrick.”

“Aku Philip Raven.” Philip menyalami Melisa.

“Melisa akan menginap di sini semalam.” Ujar Casey. “Ivanka dan Carol sudah tidur?” tanyanya sambil memperhatikan kamar Ivanka dan Carol.

“Mereka sedang ada party di rumah sahabat mereka, sepertinya akan pulang larut,” ujar Philip.

Party malam Rabu begini?” komentar Casey heran.

“Yah, party bisa dilakukan kapan saja, tidak selalu di akhir pekan.”

“Ya, kau benar.” Ujar Casey lagi. “Ayo ke atas Melisa, kamarku di lantai atas.”

“Oke,” Melisa mengikuti langkah Casey.

“Ini kamarku,” Casey membuka pintu kamarnya, “kau santai saja di sini, aku bikin minuman hangat dulu ya. Nanti kita minum di balkon, kau tetap pakai saja jaket dan syalmu, di balkon malam begini udaranya kadang dingin. Kalau mau ke kamar mandi, kamar mandinya di sebelah sini,” tunjuk Casey pada kamar mandi di dalam kamarnya.

“Ya, terima kasih Cas,”

“Sama sama.” Casey berlalu dari hadapan Melisa sambil tersenyum.

“Kau ingin kubuatkan minuman hangat juga?” tawar Casey pada Philip yang duduk di sebuah sofa panjang di ruang televisi. Philip sedang asik asik menonton film action.

“Tentu,” ujar Philip.

Sepuluh menit kemudian Casey datang dengan membawa tiga mug berisi cokelat panas dan dua piring muffin cokelat.

“Ini untukmu Mr. Raven,” Casey menaruh minuman hangat untuk Philip di meja kaca di depan Philip. Ia juga menaruh satu piring muffin cokelat untuk Philip.

“Terima kasih banyak Miss. Carlton.”

“Sama sama.” Casey tersenyum, “ngomong ngomong temanku Melisa yang cantik itu, tidak punya pacar sekarang, dan kalau kau butuh seseorang untuk merawat dirimu atau hatimu yang sedang terluka, dia orang yang tepat karena ia seorang suster.”

“Hahaha, lucu sekali.” Philip kembali tersenyum, “tapi sayangnya aku sedang tidak butuh perawat saat ini.”

“Ya, sudah terserah, yang rugi dirimu. Aku akan perkenalkan Melisa pada teman priaku yang lain saja.” Casey berlalu dari hadapan Philip dan pergi menuju balkon untuk menaruh minuman hangat untuk dirinya dan Melisa di sebuah meja kecil yang ada di sana.

Casey lalu kembali ke kamarnya untuk memanggil Melisa. Melisa segera mengikuti langkah Casey. Ia masih mengenakan jaket dan syalnya. Ia lalu berdiri di pinggir balkon untuk memperhatikan langit Hall of City di waktu malam dan ia terpukau.

“Wah, bintang bintang di sini terlihat jelas.” Kometar Melisa sambil terus memperhatikan bintang bintang yang berkelip indah.

“Itu karena cuacanya sedang tidak mendung. Kalau mendung, kita tak bisa melihat bintang bintang itu.” Sahut Casey.

“Disini asik sekali.” Melisa kemudian duduk di salah satu sofa yang empuk dan mulai menyeruput cokelat panasnya.

“Ya, ini tempat favorit semua orang.”

“Belum apa apa, aku akan mulai merindukan tempat ini,” keluh Melisa.

“Tempat ini akan selalu terbuka untukmu kapan saja Mel, jadi kapanpun kau rindu, datang saja kesini.”

“Tentu,” Melisa tertawa. “Tapi aku tidak bisa menawarkan hal yang sama padamu.”

“Kenapa?”

“Ada suster baru yang masuk menggantikan dirimu di kamarku. Ia sekarang tidur ditempat tidurmu.”

“Ooh.. kalau begitu asik dong, kau jadi punya teman.”

“Ya, tapi dia tak seasik dirimu. Ia tidak cerewet sepertimu. Ia pendiam sekali. Ia baru ngomong kalau aku ajak ngomong, kalau tidak, ia diam saja.”

“Tiap tiap orang kan berbeda karakternya Mel. Jangan terlalu kesal seperti itu. Lama lama kalian juga akan akrab. Ngomong ngomong, besok kau mau pergi kemana?” tanya Casey.

“Kemana saja boleh, terserah dirimu.”

“Ke kebun binatang dulu bagaimana? Baru setelah itu ke mal untuk makan siang?” Usul Casey.

“Kedengarannya menyenangkan. Tentu, kita pergi ke kebun binatang besok.”

“Asik. Besok pasti seru.”

“Kita pergi naik taksi?” tanya Melisa.

“Bis saja. Naik bis seru, biar kau punya pengalaman naik bisa di ibukota Fillmore Green.”

“Oke, naik bis tidak masalah.”

“Atau...” Casey tiba tiba menimbang nimbang sesuatu. “Sebentar,” ujarnya sambil berjalan ke dalam rumah untuk menemui Philip. “Philip, kau besok kerja atau tidak?”

“Tidak,” sahut Philip sambil masih memperhatikan film yang sedang ditontonnya. “Aku off  besok. Dapat jatah libur. Kenapa?”

“Bisa aku minta antar ke kebun binatang besok? Aku akan mengajak Melisa jalan jalan. Nanti kapan kapan aku masakkan makanan kesukaanmu deh.”

“Baiklah, jam berapa kalian pergi?”

“Sekitar jam sembilan.”

“Baiklah, tidak masalah, besok kau dan temanmu akan kuantar.”

“Terima kasih Philip.”

“Ya.”

Casey tersenyum. Ia kembali ke balkon dan duduk di samping Melisa dengan perasaan senang.

“Ada apa? Kelihatannya gembira.”

“Philip mau mengantar kita pergi.” Ujar Casey dengan suara pelan.

“O ya?” tanya Melisa kaget.

“Yup. Mudah mudahan ini berhasil.”

“Apanya yang berhasil?” tanya Melisa heran.

“Menjodohkan kau dengan Philip.”

Melisa langsung tertawa, “aku lupa dengan idemu itu.”

“Sst, bicaranya pelan pelan, nanti dia dengar.’

“Casey, volume televisinya sangat kencang, dia tak mungkin dengar, kau berlebihan.”

“Ya, kau benar,” Casey kini mengambil muffin cokelatnya satu dan mulai memakannya.

“Kau sudah minta ijin pada Luke?” tanya Melisa sambil memperhatikan Casey makan.

“Astaga, aku lupa. Luke kerja di luar seharian tadi. Aku akan meneleponnya sekarang.”

“Mungkin Luke sudah tidur.”

“Tidak, ia biasa tidur larut. Kau ingat, aku pergi ke kamarmu di asrama para suster jam berapa tiap malamnya?”

“Jam sebelas malam.”

“Nah, Luke biasa tidur di atas jam sebelas malam, sementara sekarang baru jam sepuluh malam, jadi Luke belum tidur.” Casey berjalan ke arah kamarnya untuk mengambil handphonenya. Ia kembali lagi ke balkon sambil menelepon Luke.

Melisa memperhatikan Casey yang sedang bicara dengan Luke di telepon.

“Bagaimana?” tanya Melisa ketika Casey sudah selesai berbicara.

“Luke ingin mengantar kita besok.”

“Tapi kau sudah meminta bantuan Philip.” Komentar Melisa.

“Itu juga yang kubilang pada Luke.”

“Jadi?”

“Jadi ya, kita tetap pergi dengan Philip.” Casey tertawa. “Aku benar benar tak sabar menunggu hari esok!”

 ~ ~

Casey sedang sibuk bikin sarapan ketika pintu ada yang mengetuk. Casey mematikan kompornya dulu sebelum akhirnya membuka pintu. Ternyata Luke yang datang.

“Hai, selamat pagi.” Sapa Casey.

“Selamat pagi,” Luke tersenyum, “wah, wangi apa ini?”

“Pancake nanas dan keju,” Casey tersenyum. “Kau mau?”

“Tentu, aku belum sarapan.”

“Duduklah,” Casey menyuruh Luke duduk di sebuah kursi di meja makan yang menghadap dapur, Casey lalu mengambil beberapa pancake yang sudah dibuatnya, lalu pancake itu ia siram dengan sirup maple. Lalu ia menuang segelas susu hangat untuk Luke dan menghidangkan pancake dan susu itu di hadapan Luke.

“Terima kasih,” Luke mulai menyendok pancakenya dan mulai memakannya.

“Kau kesini mengendarai mobil?” tanya Casey, “aku sudah bilang padamu bahwa  yang akan mengantar aku dan Melisa adalah Philip.”

“Tidak, aku kesini naik taksi.” Luke tersenyum, “aku akan ikut kalian ke kebun binatang.”

“Apa?!” Casey tertawa, “serius Luke?”

“Ya,” Luke mengangguk, “aku belum punya koleksi foto hewan, kupikir ide yang bagus hari ini aku mengambil foto mereka.”

“Tentu, itu sangat menarik.”

“Casey, siapa yang tadi mengetuk pintu?” Philip tiba tiba turun dan cukup terkejut melihat Luke sedang sarapan.

“Philip, ini temanku Luke,”

“Ya, aku tahu, aku sudah berkenalan dengannya.”

“Kau sudah berkenalan dengannya?” Casey kaget, “kapan?”

“Waktu kau pindah kesini pertama kali, Luke yang mengantar barang barangmu pakai mobilnya.”

“Ya, ampun, aku lupa.” Casey tertawa, “hari ini Luke mau ikut kita ke kebun binatang.” Lanjut Casey sambil mengambil beberapa pancake lagi untuk Philip. “Duduklah Philip, aku akan mengambilkan sarapan untukmu.”

“Terima kasih,” Philip duduk di hadapan Luke. “Wow, kameranya keren sekali.” Komentar Philip saat melihat kamera Luke yang Luke letakkan di tengah tengah meja makan.

“Ya, begitulah,” sahut Luke sambil memakan pancakenya. “Kamera ini untuk mencari uang.”

“Kudengar begitu,” sahut Philip, “Casey suka bercerita tentangmu, Casey bilang, kau seharusnya tidak perlu mencari uang karena uangmu sudah banyak.”

“Casey mengada ada. Itu uang orangtuaku, bukan uangku. Aku tidak punya apa apa.”

“Ya, tentu,” Philip tersenyum ketika Casey memberikan sepiring besar pancake padanya. Casey juga menghidangkan secangkir kopi untuk Philip, karena Philip terbiasa minum kopi kalau sarapan.

“Aku mendapat sarapan pancake tidak?” teriak Ivanka dari dalam kamarnya. “Wanginya kemana mana. Kenapa kau suka bikin pancake nanas Casey, aromanya selalu memenuhi rumah seperti ini.”

“Keluarlah Ivanka, kau ambil pancakemu sendiri.” Teriak Casey.

“Kau curang,” teriak Ivanka lagi, “kau mengambilkan pancake untuk para pria ganteng dan untukku tidak?”

Casey hanya tertawa dan kembali memasak adonan pancake yang tersisa.

“Tapi aku lapar,” Ivanka tiba tiba keluar dari kamarnya, “sehingga aku terpaksa mengambil pancakeku sendiri.” Ivanka lalu mengambil pancake untuk dirinya. Ia lalu menuang segelas susu dan berjalan ke meja makan dan duduk disamping Luke di ruang makan. Ia mulai makan pancakenya dengan lahap.

“Kemarin kemarin ketika kau pergi ke Leefsmall, wangi seperti ini tidak pernah ada di rumah ini.” Komentar Ivanka sambil terus memakan pancakenya.

“Ya, Ivanka malas tidak seperti dirimu Casey.” Komentar Philip.

“Hey, aku selalu pulang larut. Casey pulang tiap jam lima sore. Casey lebih santai dari aku, pagi pagi mataku susah sekali terbuka. Jangankan bikin pancake, untuk bangun tidur saja aku susah.”

“Ya,  terserah apa katamu deh,” ujar Philip lagi.

“Carol masih tidur?” tanya Casey sambil membawa sepiring besar pancake lagi dan meletakkannya ditengah tengah meja makan, di dekat kamera Luke.

“Carol selalu bangun siang. Tapi tenang saja, pancakemu akan habis olehnya kalau kau menyisakan untuknya.”

“Carol tidak kerja?” tanya Casey heran.

“Ia kerja siang.”

“Oh.” Casey lalu kembali ke dapur dan melanjutkan memasak adonan pancake yang tersisa.

“Selamat pagi, di sini ramai sekali,” Melisa tiba tiba turun dari tangga dan berjalan ke arah dapur menghampiri Casey.

“Apa kabar Melisa?” tanya Luke ramah.

“Kabar baik Luke, terima kasih.”

“Kalian saling mengenal?” tanya Philip heran pada Luke dan Melisa.

“Melisa temanku dan teman Luke.” Ujar Casey cepat. “O, ya, Melisa, kenalkan, itu temanku Ivanka.”

“Hai, aku Melisa.” Seru Melisa dari arah dapur pada Ivanka yang masih asik dengan sarapannya.

“Hai, aku Ivanka, maaf mulutku penuh.” Ujar Ivanka sambil terus mengunyah.

“Ada yang bisa kubantu Casey?” tanya Melisa pada Casey.

“Tidak,” Casey menggeleng, “kau duduk manis saja disana, aku akan ambil sarapan untuk kita berdua. Sebentar lagi aku selesai.”

“Baiklah, terima kasih.” Melisa lalu berjalan ke meja makan dan duduk disamping Philip.

“Rumahmu indah sekali Philip. Halamannya sangat asri. Casey bilang, ibumu dulu suka berkebun?”

“Ya, begitulah.” Ujar Philip. “Aku membiarkan tanaman tanaman itu tumbuh karena rumahku tepat berada di pinggir jalan raya, jadi debu yang masuk ke dalam rumah bisa tertahan oleh tanaman tanaman itu.”

“Tentu, dan kalau hujan datang, debu itu akan bersih terguyur air hujan.” Komentar Melisa.

“Tepat sekali.” Philip tersenyum.

“Ini pancakemu Melisa.” Casey memberikan Melisa pancake dan segelas teh hangat. “Kita harus segera menyelesaikan sarapan kita dan segera pergi biar tidak terlalu panas.” Lanjut Casey sambil duduk dan mulai memakan sarapannya.

“Kalian mau kemana sih?” tanya Ivanka heran.

“Ke kebun binatang.” Jawab Casey.

“Ke kebun binatang pada hari Rabu?” teriak Ivanka kesal. “Hidup sangat tidak adil untukku. Kalian bersenang senang dan aku harus bekerja?”

“Kau bisa bolos bekerja kalau kau mau,” komentar Philip. “Dan ikut kami.”

“Tidak, terima kasih, tabunganku belum cukup banyak.” Ivanka tertawa.

“Ivanka perlu banyak uang untuk biaya pernikahannya.” ujar Casey, “aku sudah bilang padanya menikah secara sederhana saja, tapi Ivanka tidak mau.”

“Kenapa bukan calon suamimu yang membiayai semuanya?” tanya Philip.

“Sudah, dia sudah membiayai semuanya, tapi aku tetap perlu uang untuk biaya tambahan.” Sahut Ivanka.

“Aku tak mengerti,” komentar Philip lagi, “kenapa biaya menikahmu besar sekali.”

“Itu karena kami menyewa sebuah resort untuk beberapa hari.”

“Lihat?” seru Casey, “masalah dibikin sendiri. Kau tidak harus menyewa sebuah resort Ivanka. Kau hanya perlu menyewa sebuah gedung kalau kau mau.”

“Sudah terlanjur Casey, aku dan calon suamiku sudah terlanjur booking.”

“Tapi kalian bisa...”

“Cukup membicarakan diriku, Cas.” Potong Ivanka pada Casey, “Matthew mana? Kenapa dia tidak ikut denganmu ke kebun binatang?”

Semua mata menatap Casey menunggu jawaban Casey.

“Di.. dia harus bekerja sepertimu, Ivanka,” ujar Casey akhirnya.

“Tapi dia kan bisa bolos bekerja.”

“Bolos bekerja di awal awal pekerjaannya di firma hukum bonafid itu? Yang benar saja.” Casey kembali memasukkan pancake ke mulutnya dan kembali mengunyah.

~ ~


Hall of City’s Zoo Park mempunyai lebih dari 15.000 koleksi hewan yang dipelihara dan dirawat di sana. Hewan hewan itu terdiri dari berbagai jenis spesies termasuk ikan, reptil, mamalia, burung dan yang lainnya.

Masing masing hewan mempunyai tempat tersendiri yang dipisahkan antara satu spesies dengan spesial lainnya. Untuk kera, ada ruang khusus tersendiri yang cukup besar, demikian juga untuk kupu kupu, ada ruang besar tersendiri dimana pengunjung bisa berinteraksi dengan kupu kupu tersebut secara langsung, sementara ruang untuk burung lebih besar dari yang lainnya. Beberapa burung seperti burung heron dibiarkan terbang bebas.

Pengunjung yang ingin memberi makan burung burung tersebut bisa membeli makanannya dan menaburkannya di pinggir sungai buatan. Dengan seketika sekawanan burung itu akan datang untuk memakan makanan yang ditaburkan oleh para pengunjung.

Melisa membeli satu bungkus makanan dan menaburkan makanan itu di dekat bangku taman. Dengan seketika sekawanan burung heron yang berwarna abu abu datang menghampiri Melisa dan memakan makanan yang ditaburkan olehnya. Melisa tertawa tawa senang memperhatikan burung burung itu. Luke langsung mengambil foto Melisa yang sedang memberi makan burung.

Keluar dari bird park ada sebuah taman bunga yang indah yang dilengkapi beberapa tempat duduk untuk para pengunjung untuk beristirahat.

Mereka beristirahat sebentar di tempat duduk yang ada di sana sambil memperhatikan angsa angsa yang berenang di danau buatan yang terletak di depan taman bunga.

Casey langsung duduk disamping Luke dan memperhatikan Luke mengambil foto angsa yang berenang. Casey membiarkan Melisa duduk dengan Philip. Sesekali Casey melihat ke arah Melisa. Dan ia tersenyum saat dilihatnya Melisa dan Philip tertawa bersama memperhatikan angsa angsa yang sedang berenang.

Casey ingin usahanya dalam menjodohkan Philip dan Melisa berhasil. Dan sejauh ini dari yang Casey perhatikan, Philip sepertinya menyukai Melisa.

Setelah beristirahat di taman bunga, mereka melanjutkan perjalanan untuk melihat penguin. Casey dan Melisa berkesempatan memberi penguin penguin itu makan. Makanan Penguin yang disediakan di sana selain ikan adalah cumi cumi dan kriil (sejenis udang) dan hewan air lainnya.

Setelah lelah berkeliling, akhirnya Luke mentraktir mereka makan siang di luar area Hall of City’s Zoo Park di sebuah restoran Italia.

Philip memilih makan pizza, Casey memilih spaghetti sebagai menu makan siangnya. Melisa lebih suka makan lasagna, dan Luke memilih fetuccini sebagai makanan yang ia santap siang itu.

Untuk minumnya, Philip memilih espresso, Luke memilih macciato, Casey dan Melisa memilih iceberg yang terbuat dari campuran aneka jenis jeruk.

Mereka makan dengan lahapnya. Selesai makan, mereka pergi ke Hall of City Amazing Park,  yaitu suatu taman rekreasi dengan aneka permainan seperti roaller coaster, kincir angin, dan lain lain. Mereka foto foto di sana.

Melisa sempat membeli beberapa cinderamata di sana. Casey hanya melihat lihat tanpa berniat membeli apa apa.

Jam empat sore, Philip dan Casey akhirnya mengantar Melisa ke stasiun karena kereta Melisa akan berangkat tepat pukul lima sore, sementara Luke langsung pulang ke studio dengan menggunakan taksi.

Mereka tiba di stasiun jam setengah lima. Melisa memeluk Casey erat saat berpamitan padanya. Ia senang karena Casey sudah menemaninya jalan jalan di Hall of City hari itu. Melisa juga mengucapkan terima kasih pada Philip karena sudah mengantar dan menemani ia jalan jalan.

“Kapan kapan, kalian yang harus main ke Leefsmall,” ujar Melisa sebelum boarding pass.

“Tentu,” Casey tersenyum sambil melambaikan tangan. “Sampai bertemu lagi Melisa.”

“Sampai bertemu lagi Casey, Philip, bye.”

Bye.” Teriak Casey sambil tetap tersenyum.

~~


BAB SEBELAS



Martha baru selesai masak ketika Rossa masuk ke dapur dengan langkah tergesa. Rossa langsung membuat teh dua cangkir.

“Ada tamu?” tanya Marta heran.

“Tidak,” Rosa menggeleng, “bukan tamu, tapi Ibu tuan Luigi. Ia baru datang dari Los Angeles.”

“Sendiri?”

“Ya.”

“Dan kenapa kau membuat dua cangkir teh?”

“Untuk isteri tuan Luigi, memang untuk siapa lagi?”

“Baiklah, biar nanti aku yang antar.” Martha menunggu Rossa selesai membuat teh tersebut sebelum akhirnya ia membawa teh tersebut ke ruang tamu keluarga Caruso yang luas.

“Anak perempuanku lesbi dan menantuku tidak bisa memberiku cucu, ini benar benar membuatku sedih,” suara Ibu Luigi menyambut kedatangan Martha di ruang tamu keluarga Caruso. “Tidak bisakah kau melakukan sesuatu agar aku bisa punya cucu?” lanjut ibu Luigi lagi.

Valentina, isteri tuan Luigi hanya bisa diam.

“Aku bertanya padamu, Valentina.”

“Ibu, apakah tidak sebaiknya ibu istirahat dulu? Ibu baru melakukan perjalanan yang melelahkan.”

“Tidak, aku tidak merasa lelah. Aku hanya ingin cucu. Bisa kau memberiku cucu?”

“Selama ini ibu tahu aku punya masalah dengan kesuburan. Aku sudah mengatakan hal ini berkali kali pada ibu. Aku juga sudah bilang pada suamiku untuk menceraikanku dan menikah dengan wanita lain agar bisa memberi ibu cucu, tapi ia tak mau. Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi.”

Martha cepat cepat menghidangkan teh hangat itu di atas meja dan segera pergi dari sana.

“Ada apa?” Rossa heran melihat wajah Martha yang sedih.

“Mertua nyonya Valentina mendesak nyonya Valentina untuk memberinya cucu. Tuntutan ini akan terus berlanjut. Ia datang kesini hanya untuk marah marah seperti biasanya.”

“Kasihan nyonya Valentina.” Gumam Rosa.

“Ya.” Ujar Martha. “Dia tertekan sekali. Bukan salahnya kalau ia tak bisa memberi keturunan pada keluarga ini.”

“Harusnya nyonya Caruso senior menerima kondisi ini dengan hati besar.”

“Kau benar.” Komentar Martha, “dan semua diperparah dengan kondisi Nona Chiara yang punya orientasi seks tidak straight.”

Martha dan Rossa kemudian sama sama terdiam.

Beberapa saat kemudian Valentina masuk dapur, “Martha, aku pergi dulu,” ujar Valentina pada Martha, “aku bisa gila kalau tinggal disini saat ada mertuaku.”

“Mertua Anda sudah berada di kamarnya?” tanya Martha.

“Ya, dia sedang beristirahat.”

“Anda mau pergi kemana Nyonya?”

“Entahlah, yang penting keluar dari rumah ini.”

“Anda pergi dengan diantar supir?”

“Tidak, aku mengemudi mobil sendiri.”

“Hati hati mengemudinya Nyonya.” Martha mengikuti langkah Valentina ke garasi lewat pintu dapur.

“Ya, terima kasih.”

“Anda harus sabar Nyonya, aku tadi mendengar percakapan Anda dengan mertua Anda.”

“Selama ini aku selalu sabar Martha, tapi kesabaranku ada batasnya. Permasalahan sebenarnya akan selesai kalau aku bercerai lalu Luigi menikah lagi dengan wanita lain dan punya keturunan dengannya, tapi Luigi tidak mau menikah lagi dengan siapapun.”

“Nyonya, aku pernah mendengar tentang menyewa rahim seseorang, itu bagaimana menurut Anda? Tuan Luigi tetap akan punya keturunan tanpa harus bercerai dengan Anda.”

“Sudah Martha, sudah pernah kuusulkan, tapi dia tetap tidak mau. Aku betul betul jadi bingung.” Valentina lalu masuk ke dalam mobilnya.

“Anda akan pergi lama?” tanya Martha.

“Hanya sampai makan malam, sampai suamiku pulang kerja.”

“Baiklah, hati hati Nyonya.”

“Ya.”

Martha hanya bisa menatap kepergian mobil Valentina dengan tatapan sedih. Ia sangat menyayangi Valentina.

Martha selalu mendampingi Valentina dalam keadaan senang dan sedih sejak  Valentina masuk ke dalam keluarga Caruso dan menjadi menantu di keluarga Caruso.


~ ~




“Ibu tidak ikut makan malam bersama kita?” tanya Luigi Caruso pada isterinya.

“Tidak, ia tadi sudah meminta Martha membawakan makan malamnya ke kamar.” Jawab Valentina.

Martha yang sedang sibuk menghidangkan sajian makan malam hanya diam mendengar perbincangan Luigi dan Valentina.

“Apa ibu langsung memakan makan malamnya, Martha?” tanya Luigi pada Martha.

“Tidak tuan, tadi dia menyuruh saya menaruh makan malamnya di atas meja, di samping tempat tidur.”

“Ibu mungkin masih merasa capek.” Komentar Valentina lagi.

“Aku sudah sering bilang pada ibu untuk tinggal di sini saja dan tidak usah tinggal dengan Chiara di Los Angeles. Tapi ibu suka sekali bolak balik ke sana ke sini.”

“Ya, mungkin kegembiraan ibu bertemu dengan anak anaknya,” ujar Valentina lagi.

“Tapi ibu jadi lelah.”

“Bilang saja begitu pada ibumu.”

“Kau tidak bertengkar dengan ibu lagi kan?” tanya Luigi curiga.

“Tidak, aku tidak bertengkar dengan ibu, hanya saja, ibu memulai segalanya lagi. Ibu menekan aku terus tentang keinginan punya cucu itu. Aku harus bagaimana lagi. Ibu tidak paham juga kalau sejak dulu aku tidak bisa memberinya cucu.”

“Ibu paham, hanya saja ia ingin melepaskan kekesalannya.”

“Ya, selalu begitu, aku terus terusan jadi pelampiasan kekesalannya,” keluh Valentina. “Andai kau dulu menikah dengan Florence dan tidak denganku.”

Kata kata Valentina berikutnya membuat gerakan Martha yang sedang menuang air minum terhenti. Martha kaget setengah mati dengan kata kata Valentina. Florence? Apakah Florence temannya yang dimaksud Valentina?

Martha lalu pergi dari ruang makan, tapi ia kemudian bersembunyi dibalik lemari untuk mendengar perbincangan Luigi dan Valentina lebih lanjut.

“Aku dulu sudah melamar Florence, tapi ia tidak mau menikah denganku, ia malah pergi meninggalkanku, pulang ke negaranya, dan bilang ia akan menikah dengan pria dari kampung halamannya, menurutmu aku harus bagaimana?”

“Menurutku seharusnya kau memaksanya.”

“Sudahlah Valentina, itu sudah lama berlalu, Florence mungkin sekarang sudah berbahagia dengan keluarganya.”

“Ya, kau benar.”

“Lagipula saat itu, ibu dan ayah terus mendesakku untuk menikah denganmu.”

“Jangan jangan perjodohan kita yang membuat Florence pergi.”

“Tidak, kurasa bukan itu, aku dulu bilang padanya bahwa aku akan memilih dirinya daripada calon isteri yang dipilihkan orangtuaku untukku, asal ia mau menikah denganku, tapi ia tetap pergi.”

“Mungkin ia merasa tidak pantas untukmu Luigi, ia hanya seorang pelayan sementara kau majikannya.”

Martha langsung membekap mulutnya saking kagetnya dengan kata kata Valentina yang terakhir. Ia kini merasa sangat yakin kalau Florence yang diperbincangkan Luigi dan Valentina adalah Florence teman kerjanya, ibu dari Casey. Dan kini Martha hampir berteriak saat tersadar akan sesuatu. Apakah mungkin Luigi adalah ayah dari Casey?

~ ~

Matahari pagi bersinar hangat menerpa halaman rumah keluarga Caruso. Valentina, seperti kebiasaannya selama ini tampak asik memotong dahan dahan kering di kebun bunganya yang indah.

Setiap pagi, sebelum memulai aktivitasnya, Valentina selalu menyempatkan diri untuk merawat bunga bunganya. Ia biasa ditemani oleh Alfredo, tukang kebun keluarga Caruso. Tapi hari ini Alfredo sedang tidak masuk kerja karena ada keluarganya yang sedang melangsungkan pernikahan.

Martha memperhatikan kesibukan Valentina dengan dada berdebar, ada banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Valentina, tapi ia bingung harus memulainya darimana.

“Selamat pagi Nyonya, ini jus jeruk Anda.” Ujar Martha dari teras.

“Selamat pagi Martha, ya, terima kasih, nanti aku akan meminumnya.” Sahut Valentina.

“Apa aku bisa membantu sesuatu?” Martha menghampiri Valentina.

“Tidak usah,” Valentina tertawa, “aku hanya mengguntingi dahan mawar yang kering atau lembab, karena kalau tidak digunting akan membuat pohon mawarnya jadi rusak dan kemudian akan menyebabkan pembusukkan pada pohon kalau dahan yang menempel itu lembab.”

“Ooh.” Martha masih berdiri memperhatikan.

Valentina kembali asik mengguntingi dahan dahan mawar di hadapannya.

“Ibu sudah bangun?” tanya Valentina, sambil berpindah ke pohon lain yang dahannya tidak ia guntingi.

“Sudah, ia tadi sudah memakan sarapannya.”

“Baguslah, jangan karena terus terusan kesal padaku ia jadi malas makan.”

“Aku tak habis pikir, bagaimana mungkin rasa kesal itu tetap ada selama bertahun tahun,” komentar Martha.

“Ia menyesal sudah menjadikan aku sebagai menantunya.”

“Jangan bilang begitu Nyonya,” sahut Martha.

“Tapi itu benar.”

“Kenapa Anda dulu dijodohkan dengan tuan Luigi?” tanya Martha lagi.

“Karena bisnis. Ayahku punya perkebunan anggur, ayah Luigi juga begitu. Ayah kami berdua akhirnya bekerja sama dalam bisnis anggur.”

“Tapi Anda bisa menolak perjodohan itu kalau Anda tidak mencintai tuan Luigi.”

“Aku mencintai suamiku,” Valentina tertawa, “tapi selain itu saat itu aku tak punya pilihan. Bisnis orangtuaku sedang mengalami kebangkrutan. Hutang ayahku banyak karena panen yang merugi. Ayah Luigi lalu membantu ayahku membayar hutang hutangnya, jadi keluargaku berhutang pada keluarga mereka.”

“Lalu perjodohan itu dilakukan?” tanya Martha.

“Ya. Ayah Luigi ingin mengambil alih bisnis anggur ayahku, ayahku setuju dengan syarat menjadikan aku sebagai menantu di keluarga ini, agar hubungan bisnis mereka tidak terputus.”

“Apakah tuan Luigi saat itu mencintai Anda? Maksudku sebelum kalian menikah. Maaf aku bertanya seperti ini, aku hanya merasa penasaran saja.”

“Tidak, suamiku saat itu tidak mencintaiku. Ia sudah punya kekasih. Ia sangat mencintai kekasihnya, tapi kekasihnya kemudian pergi meninggalkannya, suamiku patah hati, ia lalu menerima perjodohan kami dan ajaibnya pernikahan kami bertahan hingga sekarang.”

“Mungkin karena tuan Luigi mulai mencintai Anda.”

“Mungkin,” sahut Valentina, “aku hanya berusaha untuk mengerti dirinya Martha. Mengerti kesedihannya, kemarahannya, aku berusaha untuk selalu ada untuknya. Aku tidak banyak menuntut, tidak banyak bertanya. Hanya ada di sekelilingnya, memastikan bahwa ia baik baik saja. Lama lama kami jadi saling mengerti dan memahami diri kami masing masing.”

“Aku bisa melihat itu,” Martha tersenyum, “aku melihat bahwa pernikahan Anda dan suami Anda bahagia.”

“Ya, bahagia, tapi tidak sempurna, andai saja ada anak di antara kami, perang dingin antara aku dan mertuaku pasti tidak akan terjadi seperti sekarang.”

“Ehm, nyonya Valentina, ehm, kurasa, suami Anda punya anak dari wanita yang ia cintai.”

“APA MAKSUDMU MARTHA?” teriak Valentina kaget.

~ ~

Valentina terus terusan minum jus jeruk di hadapannya, ia sudah habis dua gelas, dan sekarang ia minum gelas ketiga. Martha bersyukur yang Valentina minum hanya jus jeruk, coba ia minum minuman beralkohol, ia pasti sudah mabuk.

“Aku tak percaya, aku tak percaya ini,” gumam Valentina sambil kembali meneguk minumannya lagi.

Martha sudah bercerita pada Valentina, bahwa Florence pulang ke negaranya dalam keadaan hamil. Ia di negaranya tidak menikah dengan siapapun. Ia hanya melahirkan dan mengurus puterinya sampai ia meninggal dunia.

“Jadi detektif itu datang ke sini untuk menyelidiki siapa ayah dari anak Florence?” tanya Valentina lagi, padahal tadi Martha sudah menjelaskan itu padanya.

“Ya, ia datang menemuiku. Ia juga menyelidiki pria pria lain yang saat itu dekat dengan Florence, tapi ia tak menemukan hasil apa apa. Florence tidak pernah, ehm, berhubungan seks dengan mereka.”
“Jadi kau sekarang curiga bahwa suamiku adalah ayah dari anak Florence?”

“Semalam aku mendengar perbincangan Anda dengan suami Anda tentang Florence bahwa suami Anda dan Florence pernah menjadi sepasang kekasih. Apa aku salah dengar?” Martha balik bertanya.

“Tidak, kau tidak salah dengar. Itu benar.”

“Jadi wajar kan nyonya kalau aku curiga suami Anda ayah dari anak Florence?”

“Oh, sial.”

“Sial?” tanya Martha heran, “Anda tidak suka mendengar ini?”

“Tidak, tidak begitu. Aku berharap anak itu benar benar anak Luigi. Mana nomor telepon detektif itu, aku perlu bicara dengannya.”

“Anda akan melakukan tindakan apa Nyonya?” tanya Martha khawatir.

“Tes DNA, apa lagi?” seru Valentina, “aku perlu bekerjasama dengan detektif itu untuk melakukan tes DNA antara anak Florence dan suamiku.”

“Jadi Anda akan memberitahu suami Anda tentang hal  ini?”

“Tidak, tidak sekarang, nanti, kalau tes DNA benar benar menunjukkan kalau anak itu anak Luigi.”

“Aku tidak mengerti.” Ujar Martha bingung.

“Aku hanya tinggal mengambil sample darah suamiku untuk keperluan tes DNA itu Martha. Aku akan mengajak Luigi general check up seperti biasanya untuk mendapatkan sample darah itu. Lalu detektif itu juga harus membawa sample darah dari anak Florence ke sini. Baru tes DNA dilakukan di salah satu rumah sakit di sini. Itulah kenapa aku perlu bicara dengan detektif itu.”

“Oh, sekarang aku baru mengerti.” Ujar Martha, “tapi aku pernah mendengar berita di televisi bahwa tes DNA tidak harus memakai sample darah, bisa dengan rambut, air liur, atau kuku.”

“Ya, tapi sample dengan darah hasilnya bisa langsung diterima dalam waktu lebih cepat dari sample lainnya. Tapi yang dijadikan sample adalah sel darah putih, bukan sel darah merah, aku tahu mengenai hal ini karena sahabatku pernah menjalani tes ini untuk mengetahui siapa orangtua kandungnya.”

“Oh.” Gumam Martha lagi.

“Bisa aku tahu nomor telepon detektif itu sekarang?” tanya Valentina lagi, tak sabar.

“Tentu nyonya, akan aku ambilkan kartu namanya sekarang.”


~ ~

Sandra sedang berada di toko cokelat ibunya bersama Matthew dan Aaron untuk makan siang bersama saat John meneleponnya.

Hari ini hari Sabtu. Matthew sedang libur bekerja dan Aaron sedang tidak ada kuliah sehingga mereka sepakat untuk berakhir pekan di rumah ibu mereka. Suami Sandra tidak bisa ikut karena sedang ada urusan pekerjaan.

Sandra cepat cepat pergi ke kamar ibunya untuk menerima panggilan dari John. Ibunya sedang masak makanan untuk mereka sementara Matthew dan Aaron sedang ngobrol di balkon.

“Ya, John, ada apa?” tanya Sandra.

“Kabar gembira Mrs. Maxmillian. Sepertinya sebentar lagi aku akan menemukan siapa ayah Casey.”

“O, ya?” tanya Sandra sambil tertawa. “Seingatku, dua minggu yang lalu kau meneleponku dengan nada putus asa.”

“Terjadi keajaiban.” John ikut tertawa. “Terjadi sesuatu yang tidak kita duga duga. Tapi aku belum bisa bercerita banyak. Aku perlu sample sel darah putih dari Casey untuk tes DNA.”

“Wow,” komentar Sandra, “ini benar benar sesuatu. Sepertinya penemuanmu benar benar mendekati akhir.”

“Sepertinya begitu Mrs. Maxmillian, doakan saja.”

“Jadi aku bisa mendapatkan sample darah dari Casey?” tanya John lagi.

“Ya, tentu, nanti kuusahakan secepatnya.”

“Anda sepertinya harus bercerita pada Casey tentang penyelidikan yang sedang Anda lakukan.” Komentar John lagi.

“Sepertinya begitu.” Sahut Sandra. “Baiklah, akan kuhubungi Casey sekarang. Aku akan meneleponmu John, begitu sample darah itu sudah ada padaku.”

“Baiklah, terima kasih Mrs. Maxmillian.”

“Sama sama John.”

Sandra langsung menghubungi Casey dan langsung mendapat jawaban dari Casey.

“Sandra, apa kabar?” teriak Casey gembira.

“Kabar baik Casey, aku perlu bertemu denganmu nanti sore, kau tidak kemana mana kan?”

“Tidak.”

“Baiklah kalau begitu, nanti sore aku akan datang ke tempatmu.”

“Tentu, akan kutunggu.”

“Sampai nanti Casey.”

“Sampai nanti Sandra.”

Sandra menyimpan handphonenya lagi di saku jaketnya dan kembali ke balkon.

“Panggilan telepon dari siapa?” tanya Matthew saat Sandra kembali ke balkon.

“Dari temanku,” ujar Sandra sambil tersenyum.

“Oh.” Matthew mengambil botol minuman dinginnya dan mulai meneguknya.

“Nanti malam aku akan datang ke rumah kontrakan Casey, mau ikut denganku?” tanya Sandra.

“Yang benar saja Sandra.” Keluh Matthew.

“Ayolah Matt, kau putus dengan Casey bukan berarti kau berhenti berteman dengannya kan?”

“Andai aku bisa seperti itu,” keluh Matthew lagi, “sayangnya aku tidak bisa. Aku tidak bisa bertemu atau ngobrol dengannya lagi seolah olah tidak terjadi apa apa diantara aku dan dirinya.”

“Tapi kau merindukannya?”

“Sangat.”

“Kalau begitu kau ikut denganku.”

“Tidak sekarang Sandra, mungkin lain kali.” Ujar Matthew,  “sekarang aku masih belum bisa menerima semua ini.”

“Kau masih marah padanya?”

“Tidak, aku tidak marah padanya, aku hanya marah pada ketidakberuntunganku.”

“Tidak apa apa kok Matt, kalau kau marah, asal marahnya jangan lama lama.” Ujar Sandra lagi. “Aku juga kemarin kemarin marah padanya, tapi sekarang marahku sudah selesai. Aku tidak mau kehilangan sahabatku karena kemarahanku.”

“Sahabat berbeda dengan kekasih, Sandra, walau kau sama sama perduli dan sayang, tapi tetap berbeda.”

“Ya, aku tahu maksudmu.” Sandra tersenyum, “ya sudah kalau begitu, aku pergi sendiri saja.”

“Ya, lebih baik begitu.”

“Apa kabar cucu tersayangku hari ini?” ibu Sandra dan Matthew tiba tiba datang ke balkon dan mengelus perut Sandra yang mulai membesar.

“Kabar baik nenek,” Sandra tertawa, “aku mulai suka menendang nendang sekarang.”

“Nenek tidak sabar dengan kehadiranmu ke dunia ini sayang.”

“Doakan aku sehat terus ya Nek sehingga pada waktunya nanti aku bisa bertemu nenek.” Komentar Sandra lagi.

“Tentu,” Ibu Sandra tersenyum pada Sandra. “Ayo makan dulu, masakannya sudah matang.”

“Asiik,” Aaron berdiri dari duduknya. “Aku sudah lapar dari tadi. Aromanya benar benar menggugah selera.” Aaron tertawa, “sampai detik ini, belum ada yang bisa mengalahkan masakan ibuku.”

“Ya, Aaron, makanlah sepuasnya, kalau perlu nanti kau habiskan.” Ibunya tertawa mendengar komentar Aaron.

Mereka akhirnya berkumpul di meja makan dan mulai makan dengan lahapnya.

~ ~

“Ini untuk kita,” Sandra menyerahkan bungkusan besar yang ditentengnya pada Casey saat ia bertemu Casey di ruang televisi di lantai atas.

“Masakan cina lagi?” tebak Casey.

“Bukan, sekarang masakan Jepang.” Sandra tertawa, “aku sedang ingin makan masakan Jepang. Sejak hamil aku terus terusan ingin makan. Sekarang aku sedang merasa lapar lagi padahal tadi siang aku baru makan dengan lahapnya di tempat ibuku.”

“Apa kabar ibumu?” tanya Casey.

“Sehat, ibu sehat. Matthew juga sehat. Aaron agak tambah gemuk sekarang, dan suamiku, tambah tampan.” Kembali Sandra tertawa.

Casey tersenyum menatap Sandra. “Aku rindu pada kalian semua.”

“Dan kami semua merindukanmu, apa Luke akan datang malam ini?”

“Luke?” Casey kaget ketika Sandra tiba tiba bertanya tentang Luke, tapi Casey akhirnya mengerti apa yang dimaksud Sandra. Sandra benar benar menyangka kalau Casey dan Luke berpacaran.

“Ya, Luke. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Aku kangen pada Luke.”

“Luke sepertinya tidak kesini malam ini, tapi akan aku sampaikan salammu padanya kalau bertemu Luke.”

“Tentu,” ujar Sandra sambil mengambil bungkusan dari tas yang tadi ia bawa, “Ayo kita makan.”

“Oke,” sahut Casey, “aku akan mengambil minuman dulu untuk kita. Kau mau minum apa Sandra?”

“Teh hangat saja.”

“Baiklah, akan aku ambilkan teh hangat untukkmu.” Casey turun ke bawah untuk membuat teh hangat. Tidak lama kemudian ia naik lagi ke atas dan duduk di hadapan Sandra dan mengambil bungkusan yang dibawa Sandra dan mulai makan dengan lahap.

“Philip sedang kerja?” tanya Sandra di sela sela makannya. “Kamarnya gelap.”

“Ya, dia ada shift malam.”

“Ivanka pergi?”

“Ya, dia masih terus mempersiapkan acara pernikahannya.”

“Wow, asik sekali, dan kapan itu?”

“Bulan depan.”

“Oh.”

Mereka kembali melanjutkan makan.

“Casey,”

“Ya?”

“Habis makan, kau ikut aku ke laboratorium salah satu rumah sakit di Hall of City ini ya?”

“Wah, kau mau periksa apa Sandra?”

“Bukan aku, tapi kau.”

“Aku?” tanya Casey kaget.
“Ya.” Sandra mengangguk, “aku perlu sample darah darimu Casey, untuk tes DNA, kurasa sebentar lagi kita akan tahu siapa ayahmu.”

“Benarkah?” teriak Casey tak percaya. “Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?”

“Aku mengadakan penyelidikan. Aku merasa penasaran tentang siapa ayahmu, dan aku menyewa seorang detektif untuk mengadakan penyelidikan.”

“Wah keren, kau merasa penasaran tentang siapa ayahku dan kau mau mengeluarkan uang banyak untuk penyelidikan ini? Aku  tahu tarif seorang detektif berapa Sandra. Mahal sekali.”

“Uang bukan masalah untukku Casey, aku ingin kau berkumpul dengan ayahmu dan keluarga ayahmu.”

“Terima kasih Sandra karena sudah melakukan ini untukku.”

“Ya, tentu.”

“Jadi, siapa ayahku dan tinggal di mana?”

“Aku belum bisa cerita banyak sekarang, setidaknya sampai hasil tes DNA nanti keluar. Tapi kemungkinan besar ayahmu orang Italia.”

“Menarik sekali,” Casey tersenyum, “ternyata ibuku bertemu ayahku saat ia bekerja di Italia.”

“Kau tahu ibumu pernah ke Italia?”

“Ya, dari sahabat ibuku, namanya Darlene, ia tinggal di Leefsmall. Aku bertemu Darlene saat aku dan Luke... ehm, ada bisnis di sana.”

“Begitu?”

“Ya.”

“Bukankah Italia negara yang romantis?” Sandra tertawa.

“Kurasa begitu.” Casey ikut tertawa, “Italia, Perancis, Spanyol adalah negara negara yang romantis, Fillmore Green juga.”

“Yang terakhir yang paling romantis,” Sandra kembali tertawa.

“Tepat sekali.” Casey tersenyum lebar, “aku mencintaimu Sandra, terima kasih untuk semuanya.”

“Tentu, ayo cepat habiskan makan kita dan kita cepat cepat pergi ke Laboratorium.”

“Malam malam begini?”

“Banyak laboratorium yang buka 24 jam Casey.”

“Bukan masalah laboratoriumnya Sandra, tapi kau sedang hamil. Bayimu tidak kenapa kenapa?”

“Tidak, dia akan baik baik saja, ia perlu sedikit jalan jalan.”


~ ~


BAB DUABELAS


 John melangkahkan kakinya ke restoran pasta tempat ia berjanji akan bertemu dengan Valentina Caruso.

John bertanya pada pemilik restoran dimana ia bisa menemui Valentina Caruso, pemilik restoran tersebut bilang agar John menunggu karena Valentina masih dalam perjalanan untuk menemui dirinya.

Valentina Caruso adalah salah satu sosialita yang gerak geriknya selalu menjadi perhatian umum. Untuk itulah Valentina perlu bertemu John di suatu tempat yang cukup rahasia, dan ia sering bekerja sama dengan pemilik restoran yang ternyata temannya itu untuk pertemuan pertemuan penting di restoran tersebut.

John akhirnya duduk di sebuah kursi yang nyaman, di sebuah ruangan yang berada di belakang restoran. John langsung disuguhi secangkir kopi panas.

John menunggu kedatangan Valentina Caruso sambil browsing internet di handphonenya.

John menunggu kurang lebih dua puluh menit sebelum akhirnya Valentina Caruso datang menemuinya.

Ia seorang wanita yang sangat cantik. Rambutnya pirang, matanya biru. Tubuh Valentina tinggi semampai. Ia mirip seorang model daripada ibu rumah tangga biasa. Walau usia Valentina sudah tidak muda lagi, tapi kecantikan masih terlihat jelas dari wajahnya.

“Hai, aku Valentina, maaf sudah menunggu, tadi aku harus mengurusi beberapa hal dulu.” Ujar Valentina sambil menyalami John yang berdiri menyambut kedatangannya.

“Tidak apa apa Mrs. Caruso, aku John.”

“Senang bertemu denganmu John.”

“Aku juga.”

“Silahkan duduk lagi.”
“Tentu.” John akhirnya duduk lagi di kursi yang tadi ia duduki, berhadap hadapan dengan Valentina Caruso.

“Wanita yang menyewamu, dia baik sekali,” komentar Valentina langsung.

“Ia sahabat Casey. Namanya Sandra. Suami Sandra adalah salah satu orang terkaya di Fillmore Green. Ia seorang pejabat di negara kami.”

“Wah, pantas Sandra mau membiayai ini semua.”

“Ya,” ujar John, “ia sangat menyayangi Casey.”

“O, ya, bicara tentang Casey, boleh aku melihat fotonya?”

“Ini,” John mengambil selembar foto Casey dari buku agenda yang dibawanya. Casey sedang tersenyum di foto tersebut. John mencetak salah satu foto Casey dari instagram milik Casey.

“Senyumnya mirip Florence.” Komentar Valentina. “Aku dulu tidak begitu mengenal Florence. Tapi pernah bertemu beberapa kali dengannya saat aku pergi ke rumah keluarga Caruso. Saat itu aku belum menikah dengan Luigi. Dan aku benar benar tak menyangka bahwa diantara Florence dan suamiku saat itu terjalin hubungan asmara. Aku baru tahu mengenai itu semua setelah aku menikah.”

“Suami Anda yang bercerita semuanya?”

“Ya.” Valentina mengangguk. “Di awal awal pernikahanku aku merasa bingung dengan sikap suamiku yang sepertinya sangat membenciku. Tapi ia bukan hanya membenci aku, tapi membenci kehidupan. Apa apa selalu salah dimatanya. Ia selalu marah marah, senang menyendiri, terus terusan sedih. Aku hampir ingin bercerai dengannya, tapi kemudian aku memutuskan untuk bersikap sabar, dan mencoba mencari tahu apa yang menyebabkan ia seperti itu. Dan dari banyak informasi yang kukumpulkan yang bisa kuperoleh darinya, aku akhirnya tahu kalau ia seperti itu karena Florence pergi meninggalkan dirinya.”

“Apakah saat itu Florence pergi begitu saja tanpa bilang apa apa pada suami Anda?”

“Menurut suamiku Florence mengiriminya surat, isi suratnya mengatakan bahwa ia harus pulang ke negaranya karena harus menikah dengan pria yang sudah dipilihkan oleh orangtuanya untuknya.”

“Florence berbohong,” gumam John, “orangtuanya bahkan sudah meninggal sebelum Florence pergi ke Italia.”

“O, ya?”

“Ya.” Sahut John. “Apakah surat dari Florence masih ada?”

“Tidak, suamiku langsung membakarnya begitu selesai membacanya.”
“Tapi sepertinya aku jadi mengerti kenapa Florence memutuskan pergi.” Ujar John lagi, “sepertinya ia mengalah pada Anda. Ia membiarkan Luigi menikah dengan Anda daripada menikah dengan dirinya.”

“Itu juga yang aku pikirkan belakangan ini. Sepertinya Florence merasa bahwa ia tak pantas untuk Luigi. Dan aku yang lebih pantas untuk Luigi. Florence tak tahu saja bahwa saat itu aku juga sama seperti dirinya, aku miskin dan tak punya apa apa. Keluargaku bangkrut dan punya hutang yang sangat besar kemana mana. Aku cukup beruntung diterima oleh keluarga Caruso karena ayahku adalah teman bisnis ayah Luigi.”

“Atau mungkin Florence tidak akan kuat mendapat tekanan dari ibu Luigi?” tebak John.

“Itu juga bisa. Ibu Luigi saat itu pasti akan sangat marah kalau tahu antara Luigi dan Florence terjalin hubungan asrama. Ibu Luigi sangat merekomendasikan aku untuk menjadi menantunya,” Valentina kemudian tertawa, “dan sekarang ia sangat membenciku.”

“Aku menyesal dengan apa yang terjadi dengan Anda,” ujar John, “maksudku mengenai memberi keturunan untuk keluarga Caruso. Martha bercerita banyak padaku mengenai hal ini di telepon.”

“Tidak apa apa,” Valentina tersenyum, “Itu bukan hal besar untukku, aku bahagia dengan keadaanku sekarang. Selain itu, sekarang ada Casey. Aku tidak akan menjadi sasaran kemarahan mertuaku lagi kalau ternyata Casey adalah benar benar cucunya. Dan bicara soal Casey,  matanya sangat mirip Luigi.”

“Kukira juga begitu.” John tersenyum. “Ini sample darah yang Anda minta.”

“Terima kasih,” Valentina menerima sample darah yang diberikan John, “kau akan tetap di Chianti sampai hasil dari tes DNA ini keluar kan?”

“Ya, tentu, aku tidak sabar untuk mendengar kabar membahagiakan dari tes DNA itu.”

“Jadi kau ada di sekitar sini untuk beberapa hari kedepan?”

“Ya, aku akan menginap di penginapan tempat aku menginap dulu.”

“Baiklah kalau begitu, nanti aku akan menghubungimu.”

“Terima kasih Mrs. Caruso.”

“Sama sama.” Valentina tersenyum, “kau tahu hal terberat apa yang harus kusampaikan pada suamiku kalau ternyata Casey adalah benar anaknya?”

“Apa?” tanya John penasaran.

“Kematian Florence, Luigi pasti akan sangat bersedih kalau tahu Florence sudah meninggal dunia.”

“Tapi ia harus menghadapi ini.” Komentar John.

“Ya,” Valentina setuju, “ia harus kuat menghadapi kenyataan ini.”

~

“Kau mau oleh oleh apa dari Leefsmall?” Casey tersenyum menatap Philip. Ia duduk disamping Philip di sebuah sofa yang nyaman di balkon favoritnya.

“Kau akan ke Leefsmall lagi?” Keluh Philip, “aku tidak bisa makan enak kalau kau pergi.”

Casey tertawa, “ya, aku pergi pagi pagi sekali besok.”

“Bersama Luke lagi? Berapa hari kau disana? Sebenarnya bisnis apa sih yang kalian lakukan?” tanya Philip beruntun.

“Tidak, aku tidak pergi dengan Luke. Aku cuma pergi dua hari. Dan bisnis yang aku lakukan disana adalah jalan jalan dengan Melisa. Aku janjian dengan Melisa. Melisa sebenarnya memaksaku untuk menginap dirumahnya, tapi aku ingin menginap di rumah keluarga Chester. Suami isteri Chester adalah sahabat ibuku dulu. Darlene Chester sangat senang saat aku menyampaikan padanya bahwa besok malam aku akan menginap di rumahnya, Darlene dan keluarganya akan menerima kedatanganku dengan senang hati  dan...”

“Boleh aku ikut?” potong Philip.

“Hah, apa? Aku tak salah dengar?”

Philip tertawa. “Kau naik apa besok?”

“Bis, aku mencoba pesan tiket kereta, tapi kehabisan tiket.”

“Lupakan bis, kau pergi denganku naik mobilku.”

“Tapi aku akan menginap, Philip.”

“Tidak masalah, aku bisa mencari hotel di sana dan menginap juga sepertimu.”

“Kau tidak harus bekerja? Kalau aku sih setiap akhir pekan memang libur jadi tidak mengganggu aktifitas kerjaku.”

“Aku akan minta ijin pada bosku untuk tidak masuk kerja dua hari besok.”

“Philip,”

“Ya?”

“Apa kau menyukai Melisa?”

Philip hanya tersenyum, “aku akan packing sekarang.”

“Aku tahu kau menyukainya Philip,” teriak Casey saat Philip berlalu ke kamarnya, “kau tidak bisa menyembunyikan itu dariku!”

~
Jalanan masih sepi saat mobil Philip melaju meninggalkan Hall of City menuju Leefsmall. Sebelum memasuki Leefsmall, Philip dan Casey harus melewati Giltown City dulu. Mereka memasuki Leefsmall sekitar jam sepuluh pagi.

Melisa semalam baru bekerja, sehingga pagi ini ia masih tidur. Casey akan menjemput Melisa ke asrama para suster selepas makan siang nanti, setelah itu mereka baru akan jalan jalan keliling Leefsmall.

Casey memutuskan untuk pergi ke rumah keluarga Chester dulu untuk menaruh tas travellingnya. Setelah itu baru menjemput Melisa. Tapi ternyata Darlene menahan Casey di sana sampai jam makan siang. Ia kembali memasakkan Casey makanan yang enak seperti kunjungan Casey yang pertama dulu.

“Kau tidak harus menginap di hotel, Mr. Raven.” Ujar Darlene saat diberitahu Casey  bahwa ia dan Philip harus mencari penginapan selepas makan siang nanti. “Tidur saja di kamar puteriku, ia sedang tidak ada di sini. Atau Casey yang tidur di kamar puteriku dan kau tidur di kamar tamu.”

“Memang Claire sedang pergi?” tanya Casey.

“Dia memang tidak tinggal di rumah ini, ia dan suaminya tinggal di apartemen. Tapi ia sering datang ke sini kalau Sinead sedang rewel. Sinead sangat dekat denganku dan suamiku. Ia  biasanya betah kalau sudah bermain bersama kami.”

“Ya, aku bisa melihatnya,” Casey tersenyum, “di halaman depan ada ayunan dan perosotan untuk Sinead. Pasti Sinead menyukai permainan itu.”

“Itu betul. Sinead selalu berteriak girang kalau sudah main ayunan atau perosotan. Kakek Sinead yang menyiapkan itu semua dulu, ia yang paling antusias dengan kelahiran Sinead dulu.” Ujar Darlene, “pokoknya, Anda menginap di sini saja Mr. Raven, nanti akan aku bereskan kamar tamu untuk Anda, dan Casey, kau tidur di kamar Claire saja ok?”

“Baiklah,” ujar Casey, “terima kasih untuk semuanya Darlene, maaf sudah merepotkan.”

“Tidak repot kok, aku senang dengan kedatanganmu dan temanmu ke sini, aku jadi ada teman. Aku terbiasa sendiri kalau siang hari seperti ini. Suamiku kerja sampai hari Sabtu. Besok baru ia libur.”

“Ya, tentu.” Sahut Casey.

“Ayo makan yang banyak, jangan sampai tidak dihabiskan makannya.” Ujar Darlene lagi.

“Kalau urusan makan, aku nomor satu,” seru Philip sambil mengambil kentang tumbuk lagi.

~ ~

“Casey!” Melisa berseru gembira sambil berlari memeluk Casey saat ia bertemu Casey di halaman rumah sakit Victoria Hospital. Tadinya Casey ingin menjemput Melisa ke kamarnya, tapi Melisa bilang tidak usah, karena teman sekamarnya masih tidur, ia bekerja malam seperti dirinya. Melisa yang kemudian turun menemui Casey dan Philip.

“Senang bertemu denganmu lagi, Melisa.” Ujar Casey.

“Aku juga.” Melisa tertawa sambil melepaskan pelukannya.

“Aku tidak kau peluk juga?” Philip tersenyum ke arah Casey.

Casey tahu Philip hanya bercanda, tapi ternyata Melisa benar benar memeluk Philip seperti ia memeluk dirinya.

“Senang bertemu denganmu juga Philip.” Ujar Melisa sambil memeluk Philip erat.

Philip terkejut, tapi ia membiarkan dirinya dipeluk seperti itu.

“Sudah, keenakan dia,”  ujar Casey sambil menarik tubuh Melisa.

“Kenapa kau mengganggu kesenanganku?” keluh Philip pura pura marah.

Casey tertawa, ia lalu menggandeng tangan Melisa. “Kita pergi kemana dulu?”

“Kau sudah makan?” Melisa balik bertanya.

“Sudah. Aku dan Philip sudah makan siang.”

“Aku juga sudah.” Ujar Melisa, “kalau begitu, kita langsung ke pasar antik dulu ya. Sepupuku bulan depan ulang tahun, dan ia suka sekali barang antik, aku ingin mencari sesuatu di sana, kau tidak keberatan kita ke sana?”

“Tidak,” ujar Casey, “kemanapun kita pergi di Leefsmall sini, aku tidak keberatan.”

“Oke, kalau begitu kita pergi ke pasar antik.” Seru Melisa.

“Kau duduk di depan ya,” ujar Casey sambil mengedipkan mata pada Melisa saat mereka tiba di mobil Philip. Melisa tersenyum sambil membuka pintu depan, dan duduk di samping Philip.

~ ~

Amaury antique market adalah salah satu pasar barang antik yang tertua di Leefsmall. Nama pasar itu diberi nama Amaury, karena, konon, dulunya, hanya ada satu toko barang antik di sana kepunyaan pria yang berasal dari Perancis yang bernama Louis Amaury.

Setelah toko Amaury berdiri, berdiri pula toko toko lain disekeliling toko Amaury yang juga menjual barang antik sehingga wilayah tersebut menjadi semakin luas dan ramai.

Di sana semua ada, dari mulai pernak pernik, jam kuno, hiasan dinding, koin kuno, mata uang kuno, perangko, barang pecah belah, alat musik, radio, televisi, piringan hitam, peralatan memasak sampai furniture juga ada.

Casey tertarik membeli beberapa peralatan memasak yang terbuat dari kayu. Sementara Philip tertarik membeli mainan mobil mobilan kuno yang juga terbuat dari kayu.

Melisa akhirnya menemukan sebuah tas kosmetik kuno yang terbuat dari anyaman rotan, dan memutuskan untuk membeli tas kosmetik itu untuk saudara sepupunya.

Lelah berbelanja dan jalan jalan di pasar antik Amaury, Melisa akhirnya mengajak Casey dan Philip makan es krim. Setelah itu mereka mengunjungi Leefsmall Art Park. Tempat itu merupakan tempat seniman berkumpul. Ada taman indah di sana dengan bangku taman yang banyak sehingga pengunjung bisa jalan jalan di taman tersebut dan beristirahat di bangku tersebut jika mereka lelah.

Tidak jauh dari taman ada sebuah panggung hiburan, dengan kursi yang berderet cukup banyak di depannya.

Tiap akhir pekan seperti sekarang, selalu saja ada seniman Leefsmall yang bernyanyi di atas panggung atau bermain teater di atas panggung. Mereka rata rata adalah musisi lokal, atau mahasiswa mahasiswa seni yang ingin melatih keterampilan mereka dalam berteater.

Pengunjung bebas menonton pertunjukan musik atau pertunjukan teater tersebut  tanpa harus membeli tiket. Kursi di sana selalu penuh. Rata rata anak muda di Leefsmall sangat antusias menyaksikan pertunjukan seni tersebut.

Dan kali ini, pertunjukan yang sedang tampil adalah sebuah drama dari Shakespeare yang dipersembahkan oleh mahasiswa jurusan seni dari Leefsmall University yaitu Hamlet.  Hamlet adalah sandiwara tragedi karya Shakespeare yang menceritakan tentang seorang Raja yang meninggal secara misterius, lalu janda sang Raja menikah dengan saudaranya. Arwah sang Raja kemudian menghantui istana kerajaan. Arwah tersebut ingin anaknya, Pangeran Hamlet, membalas dendam atas kematiannya. Pangeran Hamlet yang berjiwa sensitif bersumpah untuk membalas dendam dengan segala cara.

Melisa mengajak Philip dan Casey menonton pertunjukkan tersebut. Mereka menonton sambil makan popcorn dan minum jus buah.

Selesai nonton pertunjukkan, mereka makan malam di sebuah kedai, masih di wilayah Leefsmall Art Park. Setelah itu Philip mengantar Melisa pulang kembali ke asrama. Hari Minggu pagi besok Melissa akan mengajak Philip dan Casey berolahraga sepeda di Leefsmall stadion. Disana ada track khusus untuk sepeda dan ada penyewaan sepeda. Casey menyanggupi permintaan Melisa untuk berolahraga. Ia merasa bahwa selama ini ia memang kurang berolahraga.



Casey mengusap peluh yang turun dikeningnya. Ia baru bersepeda sebanyak dua putaran tapi ia sudah merasa lelah.

Di hadapan Casey Philip dan Melisa sedang balapan. Tadi Casey juga diajak balap sepeda oleh mereka tapi Casey tak sanggup melakukannya.

Track untuk bersepeda di Leefsmall stadion ternyata berada di wilayah luar stadion, khusus untuk track sepeda tersebut dibangun sebuah sungai buatan agar suasana cukup nyaman dan asri. Air dari sungai buatan tersebut sangat jernih. Di tengah tengah sungai tampak beberapa bunga teratai yang tumbuh, menambah keindahan sungai tersebut.

Di pinggir sungai tersebut dibangun pagar kayu yang tinggi sehingga orang orang tidak bisa bermain di sungai. Hal itu dilakukan untuk menjaga kebersihan sungai juga untuk menjaga keselematan anak anak kecil agar mereka tidak sampai tercebur ke sungai saat sedang asik bersepeda.

Yang bersepeda pagi itu ramai sekali. Puluhan sepeda yang disediakan untuk disewa oleh para pengunjung habis disewa.

Melisa ternyata lumayan sering bersepeda seperti itu kalau hari Sabtu atau Minggu pagi ia libur. Melisa sudah kenal dengan penjaga penyewaan sepeda sehingga Melisa menelepon penjaga tersebut kemarin malam dan minta disiapkan tiga sepeda untuk ia sewa.

Temannya pun menyisihkan tiga sepeda untuk Melisa sehingga Melisa bisa bersepeda seperti sekarang bersama sama dengan Casey dan Philip.

Menurut Melisa tadi, saat mereka mau pergi ke Leefsmall stadion, olahraga bersepeda itu ternyata baik untuk kesehatan karena dapat memperlancar sirkulasi darah yang kaya akan oksigen dan nutrisi ke semua otot tubuh. Bersepeda juga baik untuk kesehatan kardio (jantung) sehingga bisa mengurangi resiko terkena penyakit jantung koroner.

Melisa berteriak senang saat ia menang balapan. Casey yang melihat dari kejauhan hanya bisa tersenyum. Ia merasa tak yakin kalau Philip benar benar kalah oleh Melisa. Sepertnya Philip memang sengaja mengalah.

“Kita sarapan dulu yuk,” ajak Casey saat ia berhasil menyusun Melisa dan Philip.

“Astaga Casey, kita bersepeda baru dua putaran.” Seru Melisa, “sepuluh putaran dulu baru kita sarapan.”

“Apa?” teriak Casey kaget. “Kau gila Melisa, aku tak sanggup.”

“Sanggup, kau pasti sanggup! Ayo kejar aku. Lama lama kalau sudah terbiasa tidak akan capek kok!”

Dengan susah payah Casey akhirnya mengejar laju sepeda Melisa yang sudah pergi meninggalkannya.

Melisa akhirnya mengajak Philip dan Casey sarapan setelah mereka bersepeda sebanyak enam putaran. Melisa kasihan melihat Casey yang kelelahan.

Mereka sarapan di sebuah Food truck yang menyediakan banyak menu untuk sarapan.
Casey memilih sarapan roti dengan sayuran yang terdiri dari tumis kacang merah yang dicampur irisan jamur dan tomat. Philip memilih makan nasi goreng lengkap dengan telur orak arik, sementara Melisa memilih pancake lengkap dengan sirup maple sebagai menu sarapannya.

Untuk minumnya Casey memilih minum susu hangat, Melisa memilih teh manis sementara Philip lebih suka minum kopi.

“Kau nanti kerja jam berapa?” tanya Casey sambil mengunyah rotinya.

“Siang, selepas makan siang, sampai nanti jam tujuh malam.”

“Oh, kalau begitu setelah sarapan ini dan setelah mengantarmu kembali ke asrama aku langsung pamit padamu ya, aku akan kembali ke rumah Darlene untuk packing,

“Kau akan langsung pulang atau masih di Leefsmall sampai sore?”

“Langsung pulang saja, aku ingin beristirahat di kamarku nanti, kalau pulang sore sampai rumah nanti malam. Kau masih mau disini Philip?” tanya Casey pada Philip.

“Tidak, aku ikut denganmu saja Caey, aku tidak ada keperluan apa apa lagi. Terimakasih Melisa untuk semuanya.”

“Tentu,” Melisa tersenyum pada Philip, “jangan bosan bosan main ke sini.”

“Tidak, pasti tidak bosan.” Philip tertawa.

“Aku rasa Philip sangat menikmati liburan dadakannya di sini,” Casey tersenyum. “Iya kan?” tanya Casey pada Philip.
“Ya benar. Ini benar benar refreshing yang menyenangkan. Aku jadi merasa tidak jenuh.”

“Tuh Melisa, dengar apa kata Philip, kau harus sering sering mengajak Philip ke sini.”

Melisa tertawa, “tentu, itu akan kulakukan, kau jangan khawatir Casey.”

“Asik,” ujar Philip senang.

Mereka lalu tertawa bersama.

“Terima kasih sudah main ke kotaku,” ujar Melisa lagi, “tapi sebelum kalian pulang, kalian harus mampir ke restoran orangtuaku, aku akan membekali kalian fish and chips buat di perjalanan atau untuk dimakan dirumah.”

“Melisa, tidak usah, kami tidak mau merepotkan.” Sahut Casey.

“Aku merasa tidak repot kok Casey. Aku memaksa. Kalian harus mampir ke rumahku sebelum mengantar aku ke asrama.”

“Baiklah kalau kau memaksa,” Casey tersenyum, “aku juga suka fish and chips bikinan ibumu, terutama saus tar-tarnya.

“Nah begitu dong!” Melisa tersenyum lebar menatap Casey.

~

Casey terus terusan menguap. Ia dan Philip sekarang sedang dalam perjalanan pulang ke Hall of City. Casey pulang dengan dibekali makanan oleh orangtua Melisa dan Darlene. Kalau orangtua Melisa membekali Casey fish and chips sebanyak empat porsi, Darlene membekali Casey custard tart lemon bikinannya sebanyak dua loyang.
Casey merasa bersyukur karena banyak orang yang menyayangi dirinya. Ia nanti akan membagi bagikan makanannya untuk Philip, Ivanka, Carol dan dirinya, saat sudah tiba di rumah nanti.

Casey kembali menguap lagi. Ia lalu mencari tisu basah di tasnya dan melap mukanya agar terasa segar.

“Tidur saja Cas, kalau kau ngantuk.” Ujar Philip sambil memperhatikan Casey sekilas.

“Kau tidak apa apa tidak kutemani?”

“Tidak apa apa. Aku biasa mengemudi sendiri kok.”

“Baiklah kalau begitu, aku tidur dulu.” Casey merapatkan jaketnya dan mulai memejamkan mata.

“Oke.” Sahut Philip sambil mengemudi dengan kecepatan sedang. Philip lalu menyalakan musik dengan suara pelan.
Casey terbangun sejam kemudian, ia merasa lebih segar dibandingkan tadi. Rasa mengantuknya sudah hilang.

“Giltown City sudah lewat?” tanya Casey.

“Belum, sebentar lagi.” Sahut Philip.

“Oh.”

“Kau pernah ke Giltown City Casey?”

“Pernah dulu, beberapa kali. Aku pernah pergi dengan teman sekolahku, dan pernah pergi dengan Bianca juga.”

“O, ya? Kau pernah jalan jalan dengan Bianca ke Giltown City?”

“Kalau aku iya jalan jalan, kalau Bianca pulang kampung. Giltown City adalah kampung halamannya, rumah orangtuanya dan kakek neneknya ada di Giltown City.”

“Kau pernah main ke rumah Bianca?”

“Pernah.” Ujar Casey, “waktu itu ibu Bianca ulang tahun dan Bianca mengajakku menghadiri acara ulang tahun ibunya. Tapi kami tidak menginap, melainkan pulang hari itu juga.”

“Itu sebelum Bianca menikah?”

“Ya iyalah. Kalau sudah menikah seperti sekarang, Bianca selalu dikawal kalau pergi kemana mana.”

“Ya, kau benar,” Philip tertawa.

“Giltown City juga kampung halaman Luke. Orangtuanya ada di sini.”

“Wah, berarti kampung halamannya sama dengan Bianca.”

“Ya, sahabat Bianca, namanya Patrick, adalah sahabat Luke. Patrick bersahabat dengan Bianca dan juga dengan Luke, tapi Bianca dan Luke justru tidak bersahabat. Mereka baru dekat saat Luke memutuskan untuk pindah ke Hall of City membuka studio fotonya. Ia tak kenal siapa siapa di Hall of City sehingga meminta bantuan Bianca untuk mencari lokasi studi fotonya itu.”

“Oh, begitu, aku baru tahu. Apakah karena Bianca juga kau akhirnya kenal dengan Luke?”

“Ya. Bianca sempat dimintai tolong oleh Luke untuk menjadi model. Saat itu aku menawarkan diri untuk menjadi penata rias Bianca, dari sanalah aku mulai kenal Luke.”

“Lalu Luke membuka studio foto itu dan butuh karyawan, dan dia menawari pekerjaan padamu di sana?”

“Ya, aku karyawan pertamanya.” Ujar Casey sambil tertawa. “Aku dan Luke bekerja berdua cukup lama, sebelum akhirnya Luke merekrut Viola, lalu Craig, lalu Goldie dan terakhir Brenda.”

“Seru juga ya, sepertinya asik kerja di sana.”

“Dibanding tempat kerjaku dulu, di studio Luke lebih santai. Kita tidak ribet oleh pakaian. Kalau di tempat kerjaku dulu aku memakai seragam, di studio Luke bajunya bebas. Untuk jenis pekerjaannya juga oke, sementara jam kerjanya juga fleksibel. Aku betah kerja di sana dan tidak berencana untuk mencari pekerjaan di tempat lain.”

“Itu karena Luke sangat memanjakanmu,” komentar Philip.

“Tidak juga.”

“Aku bisa melihat kalau kau sangat istimewa untuknya Casey.”

“Ya, itu benar. Luke juga sangat istimewa untukku.”

“Apa itu sebabnya hubungan kau dan Matthew jadi berantakan?”

Casey terkejut mendengar kata kata Philip.

“Kau mengetahuinya?” tanya Casey.

“Tentu saja aku tahu. Sejak kau pulang dari Leefsmall karena suatu bisnis yang kau lakukan dengan Luke, aku tak pernah melihat Matthew datang lagi menemuimu. Kurasa pasti sudah terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan di antara kau dan Matthew.”

“Ya, itu benar.” Ujar Casey pelan, “aku lebih memilih Luke dari Matthew.”

“Itu pasti sangat menyakitkan bagi Matthew.”

“Bisakah kita tidak usah membicarakan ini?” ujar Casey dengan suara sedih. Berbicara tentang Matthew selalu membuatnya ingin menangis. “Matthew sepertinya sudah punya seseorang lagi sekarang.”

“Secepat itu?” tanya Philip tak percaya.

“Kakak temanku Viola, pernah melihat Matthew bersama seorang wanita di Poseidon Café dan mereka berciuman.”

“Yang benar?” teriak Philip kaget.

“Sudah, aku tidak mau membicarakan ini. Aku mau tidur lagi.” Casey pura pura memejamkan mata, tapi ia tak bisa tidur lagi seperti tadi.


~

BAB TIGA BELAS



Valentina Caruso tersenyum menatap suaminya. Ia menghampiri suaminya yang sedang duduk di beranda teras sambil membawa secangkir kopi yang baru ia bikin.

“Ini minummu,” Valentina duduk disamping Luigi sambil menaruh kopi yang ia bawa di atas meja kayu yang ada di hadapan mereka.

“Ada berita menarik apa?” tanya Valentina sambil memperhatikan Luigi yang sedang membaca koran.

“Tidak, tidak ada berita yang menarik.”

“Baiklah kalau begitu, aku ingin menanyakan satu hal padamu.”

“Apa?” tanya Luigi.

“Apa pendapatmu tentang foto ini?” Valentina menaruh foto Casey di hadapan Luigi.

“Dia siapa?” tanya Luigi.

“Jawab saja pertanyaanku tadi, apa pendapatmu tentang wanita di foto ini?”

Luigi memperhatikan foto Casey. “Dia cantik.”

“Lalu?”

“Senyumnya menarik.”

“Lalu?”

“Matanya cantik.”

“Lalu?”

“Ya, secara keseluruhan ia cantik. Memang kenapa sih?”

“Apa senyumnya tidak mengingatkan kau pada seseorang?”

Luigi kembali memperhatikan foto itu. “Tidak.”

“Kau yakin?”

“Valentina, ada apa sebenarnya?”

“Menurutku sih senyumnya mirip Florence.”

“Florence?” tanya Luigi kaget.

“Ya.” Valentina mengangguk, “Florence. Coba kau perhatikan sekali lagi.”

Luigi kembali memperhatikan foto Casey, “kau benar, senyumnya mirip Florence.”

Valentina tersenyum, “itu karena gadis ini memang anak Florence.”

“O, ya?” tanya Luigi kaget. “Kau tahu dari mana?”

“Dari seorang teman.”  Valentina menghela nafas sebentar, “tapi sayangnya, gadis ini tidak bersama sama Florence lagi sekarang.”

“Memang kenapa?” tanya Luigi heran.

“Karena Florence sudah meninggal.” Ujar Valentina pelan.

“Apa?!”

~ ~

Valentina kembali ke dapur dengan perasaan sedih. Ia lalu duduk di sebuah kursi. Ia tahu, berita yang ia sampaikan barusan sudah membuat Luigi sedih. Tapi ia tetap harus menyampaikan berita sedih itu padanya. Karena sekarang atau nanti, Luigi harus tahu kalau Florence sudah meninggal.

“Nyonya sudah memberitahu tuan, kalau Florence sudah meninggal?” Martha tiba tiba menghampiri Valentina dengan rasa penasaran.

Tadi, saat Valentina sedang membuat kopi untuk suaminya, Valentina bilang pada Martha bahwa ia akan memberitahu Luigi kalau Florence sudah meninggal dunia. Ia berpendapat kalau semakin cepat Luigi tahu akan semakin baik.

“Sudah Martha, sudah kuberitahu,” ujar Valentina pada Martha.

“Apakah tuan menangis?”

“Tadi di hadapanku sih tidak, tapi kurasa ya, sekarang ia mungkin sedang menangis, ia ada di ruang kerjanya.”

“Kasihan tuan.”

“Ya, kau benar Martha. Ini pukulan berat untuknya. Ia sangat mencintai Florence.”

“Andai Florence dulu tidak bertindak bodoh dengan meninggalkan tuan begitu saja. Mereka tidak harus berpisah.”

“Ini semua sudah terjadi,” ujar Valentina, “kita tidak bisa menyesali apapun juga.”

“Aku setuju.” Ujar Martha, “mudah mudahan rasa sedih tuan bisa segera hilang.”

“Mudah mudahan.”

“Apakah nyonya juga sudah memberitahu tuan kalau Casey kemungkinan adalah puterinya?”

“Tidak, belum,” Valentina menggeleng, “hasil tes DNA belum keluar, aku tidak ingin memberi harapan pada suamiku, kalau nanti hasil tes menunjukkan bahwa Casey benar benar puterinya, baru kuberitahu.”

“Aku berharap bahwa Casey adalah puterinya.”

“Aku juga begitu, Martha. Kalau benar Casey puteri Luigi, itu hadiah besar untuk keluarga Caruso. Mertuaku pasti sangat gembira.”

“Ya, dan mertua Anda tidak akan marah marah lagi pada Anda.”

“Itu betul,” Valentina setuju, “aku benar benar ingin hidup damai dan tenteram, Martha, tanpa harus dipersalahkan terus terusan oleh mertuaku.”

“Untung mertua Anda sekarang menginap di rumah adiknya, sehingga keadaan di rumah sedikit tenang.”

“Ya, disana ia punya banyak cucu dari keponakannya, jadi ia merasa terhibur, tidak seperti di sini yang sepi seperti ini.”

“Ngomong ngomong nyona kapan hasil tes DNA nya keluar?”

“Besok pagi. Besok aku akan ke rumah sakit untuk mengambil hasilnya.”

“Aku benar benar tak sabar untuk tahu hasilnya. Mudah mudahan beritanya  menggembirakan.”

“Mudah mudahan Martha, doakan saja.”

“Tentu, aku selalu berdoa yang terbaik untuk keluarga ini. O, ya, waktu tuan Luigi melakukan general check up ke rumah sakit beberapa hari yang lalu, tuan tidak curiga?” tanya Martha penasaran.

“Tidak, suamiku tidak curiga. Ia memang rutin melakuan general check up. Minimal sebulan sekali. Aku bekerjasama dengan petugas laboratorium di rumah sakit langganan kami untuk mengambil sample darah suamiku.”

“Syukurlah kalau begitu.” Ujar Martha sambil menuang teh untuk dirinya dan untuk Valentina.

~ ~

John tersenyum memperhatikan kamar tempat ia menginap. Ia menginap di sebuah penginapan cantik di Castellina. Castellina adalah surga buat para turis, di sana terdapat penginapan penginapan cantik dengan pemandangan yang sangat indah.

John mengambil tasnya, dan memperhatikan keadaan di kamarnya sekali lagi, takut ada barangnya yang tertinggal. Setelah memastikan bahwa semua barangnya sudah masuk ke dalam tasnya, ia akhirnya pergi meninggalkan kamar itu.

John pergi dengan gembira. Tugasnya di Castellina sudah berakhir, ia sekarang akan langsung menuju bandara untuk melakukan penerbangan ke Hall of City.

Semalam, Valentina memberikan John beberapa botol anggur mahal produksi pabrik anggur keluarga Caruso. Valentina memberikan minuman mahal itu sebagai ucapan terimakasihnya pada John dan sebagai tanda perpisahan.

Tapi walau mereka akan berpisah, Valentina tetap menawari John untuk sekali kali main ke rumah keluarga Caruso di Castellina. John menyanggupi hal itu dengan catatan ia tidak sedang sibuk.

Sebuah kasus baru sudah menanti John saat ia nanti kembali ke kantornya di Hall of City. Beberapa temannya terus meneleponnya menanyakan kapan John pulang. John bilang pada mereka bahwa ia akan pulang secepatnya. Ia sungguh tak sabar dengan pekerjaan baru yang menantinya.

Sandra sudah mentransfer uang pembayaran untuk John semalam, saat John meneleponnya dan mengatakan bahwa tugasnya di Castellina sudah selesai.

“Anda pulang sekarang tuan?” tanya pemilik penginapan. Ia seorang wanita tua yang sangat ramah dan selalu memperhatikan semua kepentingan John selama John menginap di tempatnya.

“Ya, Silvia, terima kasih untuk semuanya.”

“Sama sama. Ingat kalau kau datang ke sini lagi, menginap di tempatku lagi ya.”

“Tentu.” John tersenyum. “Ini kunci kamarnya, dan ini tip untuk Anda.”

“Tidak usah John. Aku cukup bahagia dengan kehadiranmu di sini.”

“Anda sangat baik padaku. Ini tidak ada apa apanya jika dibanding perhatian dan kebaikan Anda. Kumohon terimalah.”

“Baiklah,” Silvia tertawa. Ia lalu mengambil uang yang diberikan John padanya. “Hati hati di jalan ya.”

“Tentu, terima kasih.” John melambaikan tangannya pada Silvia sambil berjalan menuju mobil sewaannya.

~

“Casey, berhentilah mondar mandir, aku pusing melihatnya.” Sandra berseru ke arah Casey yang dari tadi mondar mandir di hadapannya. Sandra dan Casey sedang berada  di ruang televisi di lantai atas rumah Philip.

“Kau yakin mereka akan datang sekarang?”

“Ya.” Ujar Sandra, “itu yang dibilang detektifku saat meneleponku tadi malam.”

“Aku gugup sekali.” Casey kini duduk di hadapan Sandra. “Apa yang harus kulakukan kalau aku sudah berhadapan dengan ayahku?”

“Kau tidak harus melakukan apa apa. Kau hanya tinggal tersenyum saja.” Ujar Sandra sambil tertawa.

“Itu sama sekali tidak membantu.” Casey mengeluh.

“Kau akan baik baik saja Casey, jangan gugup seperti itu.”

“Tidak setiap hari aku  bertemu ayahku Sandra. Ini bahkan yang pertama.”

“Ya, aku bisa memahaminya. Kukira ayah dan isteri ayahmu sama gugupnya seperti dirimu.”

“Mungkin,” Casey tersenyum, “terima kasih untuk semuanya Sandra. Ini sesuatu yang besar untukku. Ini sangat berarti untukku.”

“Tentu Casey, aku ikut bahagia kalau melihat kau bahagia.” Sandra ikut tersenyum, “dan ingat satu hal, jangan membenci ayahmu, karena ia tak tahu kalau kau ada dan lahir ke dunia ini. Kalau ia tahu, sejak dulu kau mungkin sudah ia bawa ke negaranya.”

“Jadi ibuku benar benar hebat. Ia merahasiakan hal besar ini pada semua orang.”

“Ibumu mungkin punya alasan sendiri. Jangan salahkan dia Casey, dia mungkin berpikir ini yang terbaik untuk semua orang.”

“Tidak, aku tidak akan menyalahkan ibuku. Aku sangat menyayanginya. Ia sudah berkorban banyak untukku. Ia dulu hanya mengurusiku dan tidak mencari kesenangan untuk dirinya. Ibu tidak menikah dengan siapapun. Ibu tetap sendiri sampai maut menjemputnya.”

“Mungkin ia sangat mencintai ayahmu.”

“Sepertinya begitu dan... “ kata kata Casey terhenti ketika mendengar suara mobil memasuki halaman rumah, “mereka datang.”

“Ayo kita turun,” Sandra bangun dari duduknya dan mengenggam tangan Casey.

“Ayo.” Casey mulai melangkah menuruni tangga, “hati hati Sandra.”

“Ya.” Sandra berjalan di belakang Casey. Sandra lalu membuka pintu ketika sudah tiba di ruang tamu.

Di hadapannya, suami isteri Caruso tersenyum menatapnya.

“Selamat datang di Hall of City,” Sandra menyapa mereka sambil mengulurkan tangannya. “Aku Sandra Maxmillian.”

“Aku Valentina Caruso,” ujar Valentina sambil menyambut uluran tangan Sandra. “Ini suamiku, Luigi Caruso.”

“Senang bertemu dengan Anda berdua, Mr dan Mrs Caruso, dan itu Casey kita.” Tunjuk Sandra pada Casey.

“Hai,” Casey tersenyum. Ia mengulurkan tangan pada Valentina tapi Valentina langsung memeluknya.

“Hai Sayang, kau cantik seperti ibumu.” Ujar Valentina sambil memeluk Casey erat.

“Anda kenal dengan ibuku?” tanya Casey.

“Tidak terlalu, tapi dulu pernah bertemu dengannya beberapa kali.” Valentina melepaskan pelukannya sambil tertawa, “yang kenal betul dengan ibumu pastinya ayahmu,” lanjutnya sambil menarik tangan Casey menghampiri Luigi, “ini ayahmu.”

“Hallo,” Luigi tersenyum menatap Casey lalu memeluk Casey erat. “Senang bertemu denganmu Casey.”

“Aku juga.” Ujar Casey.

“Ayahmu perlu kuyakinkan beberapa kali bahwa kau benar benar puterinya.” Ujar Valentina.

“Anda sudah menunjukkan hasil tes DNA itu padanya kan?” tanya Sandra.

“Ya,” Valentina mengangguk, “tapi ia tetap tak percaya.”

“Hal ini sepertinya terlalu mengejutkan bagi semua orang.” Komentar Sandra lagi.

“Sepertinya begitu,” Valentina setuju, “terima kasih banyak Sandra untuk semua yang sudah kaulakukan untuk Casey dan untuk kami.”

“Tentu Mrs. Caruso.”

“Panggil aku Valentina saja. Sama seperti Casey, kau sekarang menjadi bagian dari keluarga Caruso.”

“Tentu,” Sandra tertawa, “aku tidak keberatan dengan hal itu.”

“Ayo silahkan duduk dulu,” Casey mempersilahkan ayahnya dan Valentina duduk, “aku akan membuat minuman untuk kalian.”

“Tidak usah repot Casey, kami ke sini untuk menjemputmu.” Ujar Valentina.

“Kita akan pergi kemana?” tanya Casey heran.

“Ke makam ibumu, lalu ke rumah tantemu. Ayahmu ingin berkenalan dengan mereka.” Jawab Valentina.

“Baiklah,” Casey tertawa, “aku ambil tasku dulu.”

“Ya, tentu, silahkan.”

Casey segera berjalan ke lantai atas untuk mengambil tasnya.

“Kau ikut dengan kami, Sandra?” tanya Valentina pada Sandra.

“Tidak, terima kasih, aku masih ada urusan lain. Aku senang Casey sudah bertemu dengan kalian.”

“Terima kasih untuk semuanya Mrs. Maxmillian.” Ujar Luigi pada Sandra.

“Sama sama Mr. Caruso, aku senang hal ini berakhir bahagia untuk kita semua.”

“Ya, ini sangat berarti untukku. Walau aku sedih tidak bisa menjaga dan merawat Casey sejak ia kecil, tapi tidak ada kata terlambat untuk semuanya.”

“Tentu,” sahut Sandra. “Anda akan membawa Casey ke Chianti?”

“Untuk kuperkenalkan pada ibuku dan keluarga besar kami di sana tentu, Casey harus ikut dengan kami. Tapi untuk tinggal menetap di sana aku tidak bisa memaksa, Casey sudah besar, terserah Casey nantinya mau tinggal di mana. Yang jelas rumah kami selalu terbuka untuknya.”

“Itu cukup bijaksana,” Sandra tertawa. “Tapi menurutku Casey betah di sini.”

“O,ya?” sahut Valentina, “apa Casey sudah punya pacar?”

“Kurasa sudah.” Jawab Sandra sedih, saat ia tiba tiba ingat Matthew. Matthew masih belum bisa melupakan Casey. Ia masih belum mau berkencan dengan siapapun juga. “Pacarnya adalah bosnya di tempat ia bekerja. Namanya Luke.”

“Oh begitu,” ujar Valentina sambil tersenyum.

“Anda yakin tidak mau dibikinkan minum?” tanya Sandra.

“Tidak usah repot Sandra, tadi di hotel kami sudah sarapan.”

“Baiklah.”

“Aku sudah siap,” Casey tiba tiba muncul lagi dengan membawa tas selempangnya dan jaketnya.

“Kami pergi dulu Sandra,” Valentina berdiri lalu menghampiri dan memeluk Sandra erat.

“Ya, tentu.” Sahut Sandra.

“Aku pergi dulu,” Casey juga memeluk Sandra. “Tidak apa apa kutinggal sendiri di rumah?”

“Tidak masalah, sebentar lagi supirku akan menjemputku.”

“Oke kalau begitu, sampai bertemu lagi Sandra, terima kasih untuk semuanya.”

“Ya, Casey, sampai bertemu lagi.”

~ ~

Pemakaman umum Green Hills of Cemetery tampak sepi siang ini. Casey, Valentina dan ayahnya berdoa cukup lama di makam ibu Casey. Setelah itu Valentina mengajak Casey untuk pergi ke mobil lebih dulu dan membiarkan ayah Casey sendirian di makam Florence.

“Ayahmu butuh privasi,” Valentina berjalan disamping Casey sambil menggenggam tangan Casey. “Berita tentang kematian ibumu mengejutkan dirinya. Walau mereka sudah tidak bersama sama lagi selama puluhan tahun, tapi ibumu tetap istimewa di hatinya.”

“Jadi mereka saling mencintai ya?” Casey tersenyum.

“Ya.” Valentina mengangguk, “Sayangnya kisah cinta mereka tidak berakhir bahagia. Tidak ada yang tahu kenapa ibumu pergi meninggalkan ayahmu dan pulang ke negaranya. Hanya ibumu yang tahu alasannya. Tapi apapun itu, kau ada di tengah tengah kami sekarang, dan itu sangat membahagiakan kami.”

“Aku dulu sering membayangkan wajah ayah seperti apa, ternyata ia tampan sekali.” Casey tertawa.

“Tentu saja,” Valentina ikut tertawa. “Ayahmu jadi idola di kampung halaman kami, tapi yang beruntung mendapatkan hatinya hanya ibumu.”

“Hal itu tidak menjadi masalah untukmu?” tanya Casey heran.

“Aku bisa apa.” Ujar Valentina. “Pernikahanku diatur. Aku dijodohkan, dan aku tidak bisa mengelak dari pernikahan itu. Jadi ya kuterima saja semuanya. Berbeda dengan ayahmu, sebenarnya ia punya pilihan. Ia bisa menolak menikah denganku lalu mencari gadis lain setelah Florence meninggalkannya, dan menikahinya. Tapi sepertinya saat itu ayahmu juga tak perduli dengan semuanya. Ia akhirnya menerima dijodohkan denganku.”

“Dan pernikahan kalian bertahan hingga sekarang?” Casey kembali tersenyum.

“Mungkin karena kami saling belajar untuk memahami diri kami masing masing.”

“Aku senang bisa mengenalmu Valentina. Kau baik sekali. Kupikir kau tidak akan menyukaiku.”

“Kau anak Luigi. Bagaimana mungkin aku tidak menyukaimu?” Valentina menggenggam tangan Casey erat. “Sekarang kita mau makan apa? Aku tidak tahu kesukaanmu, jadi tidak tahu harus makan siang di restoran mana.”

“Dimana saja tidak masalah,” ujar Casey, “dan apa saja aku suka.”

“Baiklah, nanti kita memilih restorannya di perjalanan. Setelah itu kita ke rumah tantemu, aku dan ayahmu ingin mengenal keluarga tantemu.”

“Tentu.” Casey tersenyum sambil mengangguk.

~ ~

“Florence keterlaluan,” omel Irine, “bagaimana mungkin ia melakukan ini pada semua orang. Ia merahasiakan semuanya dari kami dan dari kalian.” Keluhnya lagi.

Casey sudah menceritakan pada Irine bahwa ia bisa bertemu dengan ayahnya karena Sandra sudah menyewa seorang detektif untuk menyelidiki ini semua. Ia juga bilang bahwa ayahnya tidak tahu bahwa ibunya dulu mengandung dirinya.

“Tadinya, aku dan suamiku berpikir bahwa Anda orang yang tidak bertanggung jawab,” ujar Irine lagi pada Luigi. “Kau membiarkan Florence hamil dan tidak mau bertanggung jawab dengan kehamilannya.”

“Suamiku baru tahu kalau ia punya anak dari Florence beberapa hari yang lalu,” Jelas Valentina. “Aku menunjukkan hasil dari tes DNA mereka.”

“Ya sudah kalau begitu,” paman Casey, Bernard, akhirnya berkomentar. “Semua sudah terjadi. Florence juga sudah tidak bersama sama kita lagi. Aku senang Casey akhirnya bertemu dengan ayahnya. Kupikir hal seperti ini tidak akan terjadi. Kupikir Casey tidak akan pernah tahu siapa ayahnya.”

“Anda benar.” Valentina setuju. “Dan, bicara soal Casey, kami ingin mengajak Casey ke Castellina untuk diperkenalkan pada keluarga kami disana.”

“Castellina? Dimana itu?” tanya Bernard.

“Chianti, Tuscany, Italia.” Jawab Valentina.

“Oh.” Ujar Bernard. “Kami bahkan baru tahu sekarang Florence pernah pergi ke Italia. Ya sudah, tidak apa apa. Casey sudah besar, tentu ia boleh pergi dengan kalian.”

“Terima kasih,” ujar Valentina lagi, “anda dan isteri Anda bisa ikut kami kalau mau, biar nanti kami kenalkan pada keluarga kami di sana.”

“Bagaimana Irine?” tanya Bernard pada isterinya, “kau mau ikut?”

“Aku sedang banyak pekerjaan. Mungkin lain kali saja.” Jawab Irine. “Tapi terima kasih atas tawarannya.”

“Tentu, sama sama.”  Valentina mengangguk, “rumah kami selalu terbuka untuk kalian. Kapanpun kalian pergi ke sana, akan kami sambut dengan senang hati.”

~ ~

Viola cemberut menatap Casey saat diberitahu oleh Casey kalau ia akan pergi ke Italia.

“Kau pergi berapa hari?” tanya Viola sedih. “Aku pasti kesepian tanpa dirimu.”

“Aku tidak tahu pergi berapa hari Viola. Lihat saja nanti keadaan disana bagaimana.”

“Tapi kau akan kembali kan?”

“Iya, aku pasti kembali.”

“Kau berangkat kapan?”

“Lusa, pengurusan passportku baru selesai Lusa.”

“Jadi kau tak punya passport?” Viola kini tertawa.

“Ya, aku tidak menduga mau pergi ke Italia segala. Kupikir aku akan menghabiskan hidupku di Fillmore Green saja, jadi buat apa bikin passport.”

“Ternyata kau memerlukannya sekarang. Kau berangkat sendiri?”

“Ya, ayahku dan isterinya sudah pulang lebih dulu, tadinya aku mau pergi bersama mereka, tapi karena aku harus membuat passport dulu, jadi mereka pulang lebih dulu. Tapi mereka akan menjemputku di bandara.”

“Wah, pasti menyenangkan di sana.” Ujar Viola, “aku belum pernah ke Italia.”

“Kalau tidak ingat kau harus bekerja, kau akan kuajak.” Ujar Casey, “tapi kau harus bekerja, kasihan Luke kalau tidak ada aku dan kau sekaligus. Mau tidak mau Craig juga harus melakukan pekerjaanku selama aku pergi.”

“Tapi Craig sudah terbiasa kok melakukan pekerjaanmu,” ujar Viola. “Dan tidak apa apa aku tidak ikut asal nanti oleh olehnya banyak.”

“Tentu, nanti aku lihat aku bisa membawakanmu apa. Ngomong ngomong soal Luke, aku titip Luke padamu selama aku pergi ya?”

“Tenang saja Casey, Luke aman bersamaku.”

“Tiga hari lagi Luke harus kemoterapi, kau harus menemaninya ke Leefsmall. Ayahnya juga pasti akan menemaninya, tapi kau juga harus menemaninya.”

“Casey, apakah itu tidak terlalu berlebihan? Dia sudah pergi dengan ayahnya dan harus denganku juga?”

“Tapi biasanya Luke juga selalu minta ditemani olehku.”

“Itu karena ia menyukaimu, kau gimana sih! Luke tidak mau aku ada disampingnya. Ia maunya dirimu.”

“Mau. Luke bilang mau, aku sudah bilang padanya dan dia bilang tidak apa apa kau pergi dengannya.”

“Sungguh?”

“Ya.”

“Asik.” Viola tertawa senang, “Brenda bisa ngamuk kalau tahu hal ini.”

“Sudahlah, Brenda jangan terlalu kau pikirkan.”

“Yang melakukan pekerjaanku siapa? Craig juga?”

“Goldie saja. Biar toko tutup sehari selama kau dan Luke pergi.”

“Baiklah, kupikir ini asik sekali bisa bersama sama Luke seharian.”

Casey hanya bisa tertawa melihat Viola.


~ ~


BAB EMPAT BELAS



Casey tersenyum memperhatikan keindahan di sekelilingnya. Ia sekarang sedang dalam perjalanan menuju rumah ayahnya. Ayahnya yang tadi menjemputnya di bandara. Ia mengendarai sendiri mobilnya untuk menjemput Casey. Valentina tidak ikut, karena Valentina sedang masak untuk menjamu Casey makan siang.

“Pemandangan di sini indah sekali,” komentar Casey. “Udaranya juga lebih hangat dari Hall of City.”

“Ya,” ayahnya tersenyum. “Udara di sini lebih hangat. Kau nanti bisa jalan jalan di sekitar halaman rumah. Pemandangannya indah di sana."

“Tentu.” Casey tertawa.

Casey tak menyangka kalau halaman rumah yang dimaksud ayahnya adalah taman bunga yang luas dan kebun anggur yang sangat luas. 

Kebun anggur itu membentang di sekitar jalan menuju rumah ayahnya setelah mereka melewati pintu gerbang terlebih dahulu. 

Pintu gerbang otomatis itu terbuka setelah ayahnya menekan remote di dalam mobil untuk membukanya. 

Di kiri kanan pintu gerbang ada pagar kayu yang sangat tinggi untuk membatasi wilayah properti keluarga Caruso dengan jalan raya yang cukup panjang, yang terdapat di samping perkebunan anggur keluarga Caruso.

“Ini kebun anggur milik ayah?” tanya Casey kaget. Sandra tidak bercerita apa apa tentang kondisi kehidupan ayahnya di Castellina. Yang Casey tahu ayahnya berasal dari Tuscany, Italia, itu saja.

“Ya.” Sahut ayahnya. “Kebun anggur di sini dan ada lagi sekitar 6 kilometer dari sini. Ini semua properti keluarga Caruso.”

“Wow.” Casey berdecak kagum.

“Yang 6 kilometer dari sini lebih luas lagi kebunnya, di sana sekaligus ada pabrik untuk memproduksi minuman anggur.”

“Pohon anggurnya tumbuh dengan subur dan buah anggurnya sangat lebat.” Casey memperhatikan anggur anggur itu dari dalam mobil.

“Ya, sekarang belum musim panen, jadi anggurnya masih muda.”

“Ada perawatan khusus untuk pohon pohon anggur tersebut?”

“Tentu saja Casey. Ayah punya banyak pegawai untuk merawat pohon pohon itu. Pohon itu dirawat agar menghasilkan buah yang bagus. Ada pemupukan, penyiraman dan penyemprotan insektisida untuk mencegah gangguan hama. Menjelang buah mau masak, penyiraman air harus dihentikan.”

“Kenapa?” tanya Casey heran.

“Karena biar buah anggurnya tidak pecah dan menjadi busuk.”

“Oh.”

“Nenekmu sudah tak sabar menunggumu di depan teras,” ujar Luigi lagi saat mobil yang dikendarainya memasuki halaman rumahnya. “Yang memakai baju kuning bunga bunga biru itu nenekmu.”

“Oke,” Casey tersenyum, “aku juga tidak sabar bertemu dengannya.”

Nenek Casey menyambut Casey dengan gembira. Ia memeluk Casey erat.

“Kau cantik sekali. Matamu mirip ayahmu.”

“Terima kasih.”

“Ayo, kita masuk. Aku sudah menyiapkan kamarmu. Rossa, tolong bawakan tas Casey.”

“Biar aku saja Bu,” ujar Luigi sambil membawa tas Casey ke dalam rumah, ke arah kamar yang sudah disiapkan untuk Casey.

“Halo Sayang,” Valentina menyambut Casey di ruang tamu, “selamat datang di Castellina. Semoga kau betah di sini.”

“Terima kasih,” Casey tersenyum.

“Ayo ke kamarmu bersama nenekmu. Ia tak sabar mendengar banyak cerita darimu. Kau istirahat saja dulu ya, aku sedang menyiapkan makan siang untuk kita.”

“Baik.” Casey lalu melangkah ke arah kamar yang sudah disiapkan untuk dirinya.

Kamar Casey ternyata terletak tidak jauh dari ruang tamu. Kamarnya besar sekali, tempat tidurnya sangat nyaman. Selain ada lemari baju dan meja rias lengkap dengan cerminnya yang besar, terdapat juga seperangkat sofa yang nyaman satu set dengan mejanya.

“Aku tinggal dulu ya,” ayahnya tersenyum menatap Casey setelah meletakkan tas Casey di atas tempat tidur. “Mulai saat ini, kamar ini menjadi kamarmu dan rumah ini adalah rumahmu. Kau datang ke sini bukan untuk berkunjung atau bertamu. Tapi untuk pulang.”

“Tentu,” Casey mengangguk, “Terima kasih untuk semuanya.”

“Ya.” Ayahnya melambaikan tangan sambil menutup pintu.

“Kau disini lama ya?” ujar nenek Casey sambil tersenyum menatap Casey. “Dan o, ya, panggil saja aku nenek. Aku rindu panggilan itu.”

“Aku tidak tahu Nek, aku harus bekerja.”

“Tidak, sebaiknya kau tidak bekerja lagi. Aku akan memberikan uang padamu.”

Casey tertawa, “aku bisa bosan kalau tidak bekerja. Aku terbiasa bekerja dari dulu. Kita lihat saja berapa lama aku disini, mungkin dua minggu?”

“Itu terlalu sebentar. Sebulan, kau harus tinggal sedikitnya sebulan di sini.”

“Tidak bisa Nek, temanku sakit, aku harus menemaninya.”

“O, ya?”

“Ya.”

“Sakit apa?”

“Kanker darah.”

“Ya ampun, kasihan temanmu.”

“Ya, untuk itulah aku tidak bisa meninggalkannya lama lama. Aku pasti kepikiran dia terus.”

“Baiklah, dua minggu kalau begitu. Aku setuju.”

“Terima kasih.”

Casey sedang asik ngobrol dengan neneknya ketika Martha masuk ke dalam kamar Casey membawa minuman dingin untuk Casey.

“Apakah aku boleh memelukmu?” tanya Martha setelah meletakkan minuman Casey di atas meja kaca.

“Dia Martha, teman ibumu dulu,” ujar Nenek Casey.

“Oh, hai Martha, senang bertemu denganmu.”

“Aku juga,” Martha menghampiri Casey dan memeluknya erat. “Kau cantik seperti ibumu.”

“Semua orang bilang begitu,” Casey tertawa, “tapi kupikir ibuku lebih cantik dari aku.”

“Tidak, kau lebih cantik dari ibumu. Kau perpaduan dari ibumu yang cantik dan ayahmu yang tampan.”

“Terima kasih.”

“Martha akan membantumu selama kau tinggal di sini Sayang,” ujar Nenek Casey lagi. “Jadi jangan malu malu untuk meminta pertolongan darinya.”

“Itu betul, aku siap membantumu kapan saja.”

“Terima kasih.” Ujar Casey.

“Sebagai langkah awal, biar kugantung baju bajumu ke dalam lemari.” Martha kemudian mengambil tas Casey dan mulai merapikan baju bajunya ke lemari.

“Seharusnya aku saja yang melakukannya,” Casey memperhatikan Martha dengan perasaan tidak enak, ia tak terbiasa dilayani.

“Tidak apa apa Sayang, ini kegiatan yang menyenangkan.” Komentar Martha.

“Kau hanya membawa baju sedikit?” tanya Nenek Casey memperhatikan baju Casey di lemari.

“Kan aku bilang, aku tidak bisa lama di sini.”

“Baiklah, lusa atau beberapa hari dari sekarang, kita belanja baju ke Milan. Kau perlu mantel bulu, gaun malam, baju santai, tas, sepatu,”

“Nenek, tidak usah.”

“Sst.. diamlah, aku hanya perlu ukuran bajumu dan ukuran sepatumu. Aku akan membelikan itu semua untukmu. Kau juga perlu kosmetik dan parfum.”

“Nenek, aku bilang tidak usah repot.”

“Casey, nenekmu bilang kau diam saja,” ujar Martha sambil tertawa. “Kau tinggal ikut saja apa kemauan nenek.”

“Ya, dan kaupun ikut dengan kami nanti berbelanja, Martha.” Ujar nenek Casey.

“Aku?” tanya Martha kaget. Selama bekerja di keluarga Caruso, ibu Luigi jarang mengajaknya jalan jalan.

“Ya, kau. Dan beritahu Valentina, kalau ia mau ikut, ia juga bisa ikut bersama kami.”

Martha merasa pendengarannya salah. Sama seperti dirinya, ibu Luigi juga jarang bepergian dengan Valentina. Kalaupun mereka pergi bersama untuk suatu acara, mereka pergi dengan mobil yang berbeda.

“Kita pergi satu mobil?” tanya Martha untuk memastikan.

“Ya. Dengan diantar supirku.”

Martha tersenyum lebar. Kehadiran Casey sepertinya sudah mendatangkan keajaiban di rumah keluarga Caruso.

~ ~

Milan (Milano dalam bahasa Italia) adalah salah satu pusat mode dunia. Ada banyak rumah mode terkenal dunia ada di kota ini, diantaranya Gucci, Versace, Valentino, Dolce & Gabbana, Prada dan Armani.

Salah satu tempat yang terkenal di kota Milan adalah Piazza del Duomo. Di sini ada pusat pertokoan atau galleria yang merupakan salah satu pertokoan tertua di dunia. Galleria di Piazza del Duomo di bangun pada tahun 1865 ketika Italia masih berbentuk kerajaan. Nama Gallerianya adalah Vittorio Emanuele II diambil dari nama raja pertama Kerajaan Italia saat itu.

Nenek Casey membawa Casey ke Piazza del Duomo dengan menggunakan sedan mewahnya. Valentina dan Martha ikut pergi bersama mereka.

Martha duduk di depan dengan supir pribadi nenek Casey, sementara Casey, nenek Casey dan Valentina duduk di belakang.

Dari Castellina di Chianti, menuju Milan memerlukan waktu kurang lebih empat jam menggunakan mobil dengan jarak tempuh sekitar 336 km.

Sesampainya di Galleria Vittorio Emanuele II, mereka berbelanja dari satu toko ke toko lainnya.

Nenek Casey sangat antusias membelikan Casey ini itu. Valentina banyak membantu Casey memilih baju untuknya karena Casey kelihatan bingung mau memilih baju dengan model seperti apa.

Casey belum pernah belanja gila gilaan seperti itu sebelumnya. Jika ia berbelanja, ia hanya membeli satu atau dua baju saja, setelah itu ia menunggu gaji bulan berikutnya untuk membeli keperluan lainnya.

Casey sangat menghemat pengeluarannya. Ia harus punya cukup tabungan untuk dirinya untuk keperluan mendadak atau apa, karena Casey tahu ia tak akan bisa meminta pertolongan pada tantenya atau pamannya kalau ia butuh bantuan karena tantenya dan pamannya adalah orang susah seperti dirinya.

Namun kini, dengan kenyataan bahwa Casey sebenarnya adalah puteri tunggal dari salah seorang milyuner di Italia, Casey merasa bahwa dirinya terlalu dimanjakan, tapi ia tak  bisa berbuat apa apa dengan hal itu.

Tas tas  belanjaan yang  kini dibawa Martha dan Casey berisi baju Casey; terdiri dari mantel bulu, jaket kulit, gaun malam, baju santai, dengan model baju chic yang trendi untuk wanita muda seperti dirinya. Dan baju baju itu branded semuanya.

Tas belanjaan Casey lainnya berisi sebuah sepatu boot yang terbuat dari bahan kulit, dua buah sepatu high heel, sebuah sandal dan satu buah sepatu kets untuk berolahraga yang juga semuanya branded.

Casey juga mendapatkan dua tas branded yang mahal.

Dan nenek Casey masih membeli satu set kosmetik dan parfum mahal untuk Casey.

Seperti Casey, Valentina juga belanja beberapa baju cantik dan syal cantik untuk dirinya. Valentina sebenarnya ingin membelikan Casey sesuatu, tapi ia tahu ia tak mungkin bersaing dengan mertuanya saat itu, sehingga Valentina bertekad akan mengajak Casey berbelanja lagi hanya berdua dirinya sebelum Casey kembali ke Hall of City.

Martha mendapat mantel bulu yang halus dan mahal dari nenek Casey sebagai ucapan terima kasihnya sudah menemani mereka berbelanja. Dan seperti Martha, Rossa, pelayan keluarga Caruso lainnya juga mendapat mantel yang sama walau Rossa tidak ikut mereka berbelanja.

Nenek Casey sepertinya ingin berbagi kebahagiaannya dengan semua orang sehingga ia membelikan Martha dan Rossa mantel bulu. 

Besok malam nenek Casey mengundang adiknya dan keluarga besar adiknya makan malam di rumah keluarga Caruso untuk memperkenalkan Casey pada mereka.

Adik Luigi, Chiara, baru datang dari Los Angeles minggu depan untuk berkenalan dengan Casey.

Lelah berbelanja, mereka akhirnya makan di salah satu restoran eksklusif di Milan, sebelum akhirnya pulang kembali ke Castellina.

~ ~

“Nenekku memborong semuanya untukku,” ujar Casey pada Sandra di telepon. Casey menelepon Sandra sebelum ia tidur. Casey merasa gembira sekali hari ini. Dan ia tak bisa menahan kegembiraannya sehingga menelepon Sandra.

“Itu karena nenekmu sangat senang dengan kehadiranmu, Casey. Kau adalah cucu yang tak ia sangka hadir dalam kehidupannya.”

“Ya,” ujar Casey, “nenek juga kemarin sempat bilang begitu. Semua orang menyambut kehadiranku dengan sangat baik di rumah ini, Sandra.”

“Aku  ikut senang mendengarnya.”

“Ya, dan nanti malam nenek akan mengadakan acara jamuan makan malam untuk mengundang adiknya dan keluarga adiknya. Nenek hanya dua bersaudara, perempuan semua.”

“O,ya?”

“Ya.”

“Bagaimana dengan keluarga kakekmu?”

“Kakek anak tunggal, jadi kalaupun ada saudara, merupakan cucu cucu dari sepupu kakek. Nenek tidak begitu akrab dengan mereka.”

“Oh, begitu.”

“Sandra, terima kasih untuk semua yang sudah kau lakukan untukku, tanpa bantuanmu aku tidak akan bertemu keluargaku seperti sekarang dan berkumpul dengan mereka.”

“Ya Casey, ya. Aku cukup bosan mendengar kau mengucapkan terima kasih padaku.”

“Tapi aku tidak bosan mengatakannya,” Casey tertawa. “Kau sahabat terbaikku Sandra, aku menyayangimu.”

“Aku juga menyayangimu.” Sahut Sandra.

“Keberadaan ayahku dan keluargnya sangat penting untukku. Aku merasa tidak sendirian lagi di dunia ini sekarang.”

“Tentu.” Ujar Sandra, “kau akan lama tinggal di sana?”
“Hanya dua minggu. Sekarang hari keempat aku tinggal di sini, berarti masih sepuluh hari lagi aku di sini.”

“Luke tidak keberatan kau pergi selama itu?”

“Tidak, Craig yang akan menggantikan pekerjaanku selama aku pergi.”

“Casey, aku tidak bicara soal pekerjaan. Tapi kau tahu, seperti apakah Luke merindukanmu karena kau pergi meninggalkannya terlalu lama.”

“Oh itu,” Casey tertawa. “Luke mengerti kok ini penting untukku, aku sudah cerita semuanya padanya. Ia sama bahagianya dengan aku karena aku sudah bertemu dengan ayahku. Kau tahu, aku ingin cepat cepat pulang karena Luke. Aku sangat khawatir padanya.”

“Yeah, kalau masalah itu aku tidak bisa berkomentar banyak.” Ujar Sandra.

“Sama seperti ayahku, Luke juga penting untukku, dia sudah seperti...” Casey tiba tiba terdiam, ia tahu ia akan keceplosan bicara kalau tak menghentikan kata katanya. Casey ingin bilang pada Sandra bahwa Luke sudah seperti kakak untuknya. Luke adalah keluarga lain yang ia punya setelah keluarga tantenya, dan kemudian sekarang, keluarga ayahnya. Entah kenapa, Casey ingin Sandra tetap beranggapan bahwa Luke adalah pacarnya.

“Seperti apa?” tanya Sandra, karena Casey tadi menghentikan kata katanya.

“Tidak, lupakan saja. Aku mau tidur sekarang Sandra. Sampai bertemu lagi.”

“Sampai bertemu lagi Casey. Mimpi Indah.”

“Kau juga. Mimpi indah untukmu.”

~

Casey berjalan sedikit tergesa ke ruang makan. Ia semalam tidur larut dan bangun kesiangan. Ia cepat cepat mandi air hangat saat bangun tidur tadi dan memakai baju santainya. Ia lalu pergi ke ruang makan untuk sarapan seperti kebiasaannya sejak ia berada di Castellina.

Ayahnya terbiasa sarapan sebelum berangkat kerja. Ia biasa berangkat jam delapan pagi. Dan sekarang sudah jam sembilan pagi. Casey yakin ayahnya sudah berangkat kerja, tapi ternyata ia masih ada di meja makan bersama neneknya dan Valentina.

“Selamat pagi,” sapa Casey pada mereka.

“Selamat pagi,” ujar ayahnya dan Valentina berbarengan.

“Selamat pagi princess,” ujar neneknya, “ayo duduk dan sarapan dengan kami.”

“Terima kasih,” Casey duduk disamping neneknya, di hadapan ayahnya dan Valentina.

Rossa langsung mengambilkan piring untuk Casey. Dan tetap berdiri di samping Casey untuk mengambilkan makanan yang Casey suka. Di meja makan terhidang aneka jenis makanan. Dari mulai omellete, roti, sup krim jagung, croissant, pancake, muffin dan yang lainnya. Lengkap dengan selai dan sirup maple.

“Biar aku saja yang ambil,” ujar Casey pada Rossa.

“Baiklah,” Rossa mengangguk dan pergi meninggalkan ruang makan.

Casey lalu mengambil beberapa croissant dengan krim peach di dalamnya. Ia juga menuang  secangkir cappucinno untuk sarapannya.

Bisa sarapan dengan kondisi disediakan seperti ini masih merupakan hal yang aneh untuk Casey, karena ia terbiasa menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain.

“Aku tidak terbiasa bangun siang,” ujar Casey. “Aku bekerja tepat jam delapan pagi, jadi jam tujuh pagi sudah harus berangkat kerja.”

“Sepagi itu?” tanya neneknya kaget.

“Ya.” Casey tertawa, “tapi aku sudah terbiasa. Di sini aku santai sekali.”

“Tidak apa apa sesekali santai,” sahut Valentina.

“Kau benar,” Casey tersenyum pada Valentina. “Ayah belum berangkat kerja?” tanya Casey pada ayahnya.

“Aku menunggumu.”

“Menungguku?”

“Ya, karena kemarin kau sudah menghabiskan waktu seharian dengan nenek dan Valentina, sekarang giliran ayah yang akan mengajakmu pergi ke pabrik anggur. Kau tertarik pergi ke sana dengan ayah?”

“Tentu saja,” Casey berteriak senang. “Aku akan menghabiskan sarapanku dulu. Aku tak sabar melihat pabrik anggur itu.”

“Tentu, habiskan dulu sarapanmu, akan ayah tunggu.”

~

Pabrik anggur keluarga Caruso terletak di tengah tengah hamparan pohon anggur yang luas, sejauh mata memandang hanya pohon anggur dan pohon anggur. Setidaknya terdapat 16 hektar kebun anggur milik keluarga Caruso yang buah anggurnya diproduksi menjadi wine. Adapun  jenis anggur yang diproduksi adalah anggur merah.

Ayah Casey memiliki ratusan karyawan yang membantunya dalam memproduksi wine. Karyawan karyawan itu terbagi dua yaitu yang bekerja di kebun dan yang bekerja di pabrik.

Casey diajak ayahnya berkeliling kebun anggur dengan menggunakan mobil dengan cap terbuka. Udara sedang hangat saat itu karena sedang musim semi. Casey memperhatikan anggur anggur itu sambil bermandikan sinar matahari.

Setelah berkeliling di kebun anggur Casey akhirnya diajak ayahnya ke pabrik anggur. Di sana ia diperkenalkan pada beberapa orang yang bertanggung jawab di pabrik anggur tersebut. Casey diperkenalkan pada mereka sebagai puterinya, dan mereka terkejut karena selama ini yang mereka tahu Mr. Caruso tidak mempunyai anak.

“Suatu saat, kau harus menjalankan bisnis ini menggantikan ayah,” ujar ayah Casey di ruang kerjanya. Casey duduk di hadapan ayahnya. Ia disuguhi wine produksi keluarga Caruso.

“Aku tidak mengerti bisnis ini sama sekali,” Casey tertawa.

“Kau bisa belajar,” ujar ayahnya. “Masalahnya, Chiara, adik ayah satu satunya tidak mau menjalankan bisnis ini. Sejak kakekmu meninggal, nenek membagi warisan dari kakek secara adil antara ayah dan tantemu, Chiara. Chiara lalu pergi ke Los Angeles setelah mendapatkan warisannya, ia lebih memilih uang daripada kebun di sini, lalu ia membeli rumah mewah dan mobil mewah di Los Angeles sana dan menetap di sana. Nenekmu sesekali berkunjung ke sana kalau sedang rindu pada Chiara. Kemarin adalah kunjungan nenek terlama di sana, nenek tinggal bersama Chiara hampir dua tahun.”

“Kenapa Tante Chiara pergi kesana?”

“Kurasa karena pengaruh teman temannya. Dulu tantemu kuliah di Los Angeles, dan pastinya punya banyak teman disana.”

“Tante disana bekerja?”

“Mungkin, ayah tidak tahu.” Ayah Casey tertawa. “Bisa bekerja, bisa juga tidak, ia punya cukup uang untuk hidup tanpa harus bekerja.”

“Tapi suatu saat uang itu akan habis.”

“Ya, kau benar.” Ayahnya setuju. “Jadi apa pendapatmu tentang menjalankan bisnis di sini?”

“Seperti ayah bilang, aku bisa belajar,” Casey tersenyum. “Disini sangat menyenangkan. Tapi untuk tiga tahun kedepan, sepertinya aku masih akan tinggal di Hall of City.”

“Tiga tahun kedepan?” tanya ayahnya, “kenapa harus tiga tahun kedepan?”

Casey diam. Ia ingin bilang pada ayahnya kalau ia akan menetap di Castellina kalau Luke sudah sembuh. Ia tak bisa meninggalkan Luke dalam keadaan sakit. Tapi Casey belum bisa mengatakan itu semua sekarang.

“Karena aku masih betah tinggal di Hall of City.” Ujar Casey. “Tapi aku janji, aku akan sering pulang ke sini.”

“Itu bagus,” ayahnya tersenyum. “Kita di pabrik ini sampai jam makan siang ya. Nanti kita makan siang di restoran pizza favorit ayah. Pizzanya dibuat secara tradisional. Dimasaknya didalam tungku yang terbuat dari batu. Aromanya sangat menggugah selera.”

“Tentu, aku suka sekali pizza.” Seru Casey bersemangat.


~ ~

Malam ini rumah keluarga Caruso sangat ramai. Adik nenek Casey beserta anak cucunya datang atas undangan nenek Casey.

Makan malam dilakukan di luar rumah di sebuah meja makan yang panjang lengkap dengan kursinya. Di atas meja makan terhidang banyak makanan yang menggugah selera.

Tidak jauh dari meja makan, diletakkan alat pemanggang daging. Rossa tampak sibuk membakar daging.

Aroma daging yang dibakar sangat menggugah selera, membuat orang orang antri menunggu daging selesai dibakar.

Saus untuk daging tersebut Martha yang membuatnya, merupakan campuran antara mustard, merica, garam, irisan jamur dan bawang bombay.

Salad buah dan salad sayur turut dihidangkan, juga kentang tumbuk dan yang lainnya.

Casey diperkenalkan pada mereka semua. Mereka semua berbicara dalam bahasa Italia dan Casey tidak mengerti dengan pembicaraan mereka.

Valentina bilang pada Casey bahwa mereka rata rata memuji kecantikan Casey. Casey hanya bisa bilang terima kasih sambil tersenyum.

Casey benar benar merasa bahagia bisa berada ditengah tengah keluarga ayahnya seperti itu, walau ia tak mengerti dengan bahasa yang mereka ucapkan.

~ ~

Pulang dari Castellina Casey membawa oleh oleh wine produksi keluarga Caruso untuk teman temannya. Semua orang mendapat satu botol.

Di rumah kontrakannya ia membagi bagikan wine untuk Philip, Ivanka dan Carol.

Di tempat kerjanya ia membagi bagikan wine untuk Luke, Viola, Craig, Goldie dan Brenda. Khusus untuk Viola, selain sebotol wine, Viola juga dapat sepatu cantik. Kaki Casey dan kaki Viola ukurannya sama sehingga cukup mudah bagi Casey untuk membeli sepatu untuk Viola.

Untuk Irine dan Bernard, Casey memberikan mereka beberapa botol wine dan mantel rajut.

Casey juga menyisihkan sebotol wine untuk Melisa. Ia akan memberikannya saat mengantar Luke berobat di Leefsmall minggu depan.

Selain Melisa, Casey juga menyisihkan sebotol wine untuk Sandra. Casey akan memberikannya pada Sandra kalau mereka bertemu lagi. Sandra juga mendapat jaket kulit yang cantik.

Casey dan Valentina sempat berbelanja lagi di Milan sehari sebelum Casey pulang ke Hall of City. Valentina yang memaksa Casey berbelanja dengannya. Chiara ikut bersama mereka. Ia baru datang dari Los Angeles untuk berkenalan dengan Casey, tapi Casey sudah harus pulang ke Hall of City. Akhirnya Valentina mengajak Chiara untuk berbelanja bersama.

Sama seperti neneknya, Valentina membelikan banyak baju untuk Casey.  Tapi Casey hanya membawa baju baju itu sebagian. Selebihnya ia taruh di lemari bajunya di kamarnya di Castellina.


~ ~

BAB LIMA BELAS


Mr. Lucas mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Disampingnya Luke duduk sambil memainkan handphonenya. Casey duduk di belakang. Ia duduk sambil tiduran.

Hari ini Mr. Lucas menjemput Luke dan Casey untuk menemani Luke menjalani kemoterapi di Leefsmall.

Casey membawa wine untuk Melisa dalam perjalanannya kali ini karena sejak ia pulang dari Castellina, ia baru akan bertemu Melisa lagi sekarang.

“Kemarin Viola yang menemani Luke,” ujar Mr. Lucas pada Casey, “kata Viola, kau ke Italia?”

“Ya, aku mengunjungi keluarga ayahku.”

“Luke sudah cerita di telepon mengenai hal itu. Apa yang terjadi padamu benar benar luar biasa. Kau bisa bertemu ayahmu pada saat kau sudah besar seperti sekarang.”

“Tidak ada kata terlambat untuk semuanya ayah.” Komentar Luke. “Tuhan baik sama Casey, sehingga Casey diberi kesempatan untuk bertemu ayahnya.”

“Kau benar,” sahut ayahnya.

“Kalau Sandra tidak menyewa detektif untuk menyelidikinya. Aku tak akan pernah bertemu ayahku.” Ujar Casey.

“Tapi kalau detektifnya tidak handal, usahanya juga mungkin tidak berhasil.” Ujar Luke sambil tertawa.

“Jadi aku harus berterima kasih juga pada detektifnya?” Casey ikut tertawa, “aku ingin bertemu dengannya, tapi Sandra tidak mau mempertemukan kami. Menurut Sandra, urusan dengan detektif itu sudah selesai.”

“Kau doakan saja Casey, agar detektif itu selalu dilindungi Tuhan dalam menjalankan pekerjaannya selanjutnya.” Saran Mr. Lucas.

“Tentu, aku akan mendoakannya. Aku akan selalu mendoakan orang orang yang sayang padaku.”

“Termasuk mendoakanku?” Ujar Luke, “karena aku sayang padamu.”

“Luke, seingat ayah, waktu pergi dengan Viola tiga minggu lalu, kau juga merayu Viola.”

“Benarkah?” teriak Casey pura pura marah. “Dasar pengkhianat.”

“Kau harus menentukan pilihan, Casey atau Viola.” Ujar Mr. Lucas lagi.

“Sudahlah ayah, jangan membahas ini, please.”

“Tidak, aku senang mendengarnya.” Seru Casey, “pilih aku atau Viola?”

“Aku memilihmu, tapi kau tak mau denganku.”

“Casey, ya Tuhan, kau menolak cinta puteraku? Dia kan tampan?” teriak Mr. Lucas tak percaya.

“Mr. Lucas, Luke benar, seharusnya kita jangan membahas ini.”

Mr. Lucas tertawa dan kembali mengemudi dalam diam.

~

“Aku merindukanmu,” Melisa memeluk Casey erat saat Casey berkunjung ke kamar Melisa dengan membawa oleh oleh untuk Melisa. Casey menyempatkan diri pergi ke asrama para suster saat Luke sedang diperiksa oleh dokter.

“Aku juga rindu padamu,” Casey tertawa. “Ini untukmu,” ujar Casey sambil menyerahkan sebotol wine pada Melisa juga sebuah syal yang lembut.

“Terima kasih Casey untuk oleh olehnya. Philip bilang kau pergi ke Italia dan bertemu dengan ayahmu. Aku ikut bahagia untukmu.”

“Philip?” tanya Casey kaget. “Kau bertemu dengan Philip atau kalian ngobrol lewat telepon?”

“Bertemu.” Melisa tampak malu mengatakan itu.

“Bertemu? Di sini atau di Hall of City?”

“Di sini.”

“Jadi Philip datang ke sini menemuimu?” teriak Casey tak percaya.

“Ya. Philip menemuiku dua kali saat kau pergi ke Italia.”

“Philip menemuimu dua kali?”

“Casey, kau tidak harus mengulang kata kataku. Kurasa suaraku cukup jelas terdengar.”

“Masalahnya, Philip tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ia agak susah move on dari Sandra.”

“Ya, mudah mudahan sekarang bisa move on.” Melisa tertawa.

“Jadi apa yang kalian lakukan saat Philip menemuimu? Kalian ngobrol atau apa?”

“Kau seperti detektif saja menanyaiku seperti ini.”

“Melisa, aku penasaran.”

“Oke, pertama Philip menemuiku untuk bersepeda barang denganku ditempat kita kemarin bersepeda. Dan yang kedua kami nonton di bioskop.”

“Kalian kencan?” teriak Casey kaget.

“Lebih dari kencan. Kami sudah berpacaran.”

“APA?!”

~ ~

“Kau harus mentraktirku!” Ujar Casey pada Philip saat ia sudah kembali ke Hall of City, “kau berpacaran dengan Melisa tanpa bilang bilang padaku.”

“Kau pergi ke Italia Casey,” ujar Philip.

“Tapi kau bisa meneleponku, atau memberitahuku saat aku baru pulang kemarin.”

“Aku sibuk saat itu. Aku sedang sering mengambil dua shift akhir akhir ini.”

“Kenapa sih kau kerja sampai seperti itu? Uangmu kan sudah banyak.”

“Darimana tahu uangku banyak?”

“Ayahmu sering mengirimu uang, kau sendiri yang cerita.”

“O, ya? Aku pernah cerita? Aku lupa.”

“Pernah, dulu kau pernah menceritakan hal ini padaku. Kenapa kau tidak kerja normal saja Philip, nanti kau sakit kalau bekerja terlalu keras.”

“Ini kulakukan biar aku bisa dapat off selama dua hari, sehingga kalau aku pergi ke Leefsmall tidah harus pulang hari. Aku bisa menginap di sana semalam.”

Oh, so sweet.” Casey tersenyum, “aku masih tak percaya kedua sahabatku kini berpacaran. Kau harus mentraktirku! Untuk merayakan hal ini kau harus mentraktirku!”

“Oke, kau mau ditraktir dimana?”

“Nanti aku pilih tempatnya mau ditraktir dimana. Dan aku akan mengajak Sandra untuk kau traktir juga.”

~ ~

“Ayo kita bersulang.” Sandra tersenyum sambil mengangkat gelasnya yang berisi jus mangga. “Untuk Philip dan Melisa dan Untuk Casey karena sudah bertemu dengan ayahnya.”

Casey mengangkat gelas yang berisi minuman cokelat hangat, sementara Philip mengangkat gelasnya yang berisi mochacinno. “Dan untuk bayi yang ada di perut Sandra semoga kelahirannya nanti berjalan lancar.” Ujar Casey.

“Amin.” Sandra dan Philip berkata berbarengan.

“Sekarang kita serbu makanan kita,” Casey langsung menyendok makanan di hadapannya. Mereka saat ini berada di restoran Turki, dan Casey memilih Kofta dengan salad sayur sebagai menu makanannya.

Kofta adalah daging giling yang dicampur dengan bumbu bumbu, tepung, sayuran dan telur, kemudian dibentuk lonjong lalu dibakar, digoreng atau dikukus. Casey memilih kofta yang dibakar.

Philip memilih kumpir sebagai menu makanannya. Kumpir adalah kentang panggang isi yang diisi dengan mayonaise, saus, acar, jagung manis, sosis, wortel, jamur dan salad Rusia.

Sementara Sandra memilih manti sebagai menu makanannya. Manti adalah masakan turki yang terbuat dari tepung terigu atau pangsit yang didalamnya terdapa daging sapi atau daging domba kemudian direbus dengan menggunakan yogurt dan disajikan dengan saus yogurt juga.

Mereka bertiga makan makanan mereka dengan lahapnya. Setelah makanan mereka habis, Casey memberikan sebotol wine pada Sandra dan sebuah kantong kertas yang berisi jaket kulit yang cantik.

“Ini oleh oleh dari Italia,” Casey tersenyum pada Sandra.

“Ini apa?” tanya Sandra sambil mengeluarkan botol wine yang diberikan Casey.

Wine produksi keluarga Caruso.”

“Wow, keren. Terima kasih Casey.”

“Sama sama.”

“Tapi karena aku tidak minum wine selama kehamilanku, jadi ini untuk suamiku saja. Ia pasti gembira menerima ini.”

“Menurutmu begitu?” tanya Casey.

“Tentu saja.” Sandra tertawa. “Ia suka sekali wine.”

“Aku jadi merasa tidak enak karena aku tidak memberi Bianca dan Prince Larry wine produksi keluarga Caruso.”

“Memang kenapa?” tanya Sandra heran.

“Koleksi wine mereka di Crown Palace adalah yang terbaik di dunia Sandra, aku takut mereka tidak suka produksi wine keluarga Caruso.”

“Seharusnya kau tidak berpikiran seperti itu Casey, siapa tahu Prince Larry menyukainya. Siapa tahu wine produksi keluarga Caruso yang terbaik rasanya diantara koleksi wine milik Prince Larry.” Komentar Sandra.

“Kau benar Sandra,” komentar Philip, “aku juga sudah mencicipi wine produksi keluarga ayahmu. Rasanya enak sekali. Dan aku sudah browsing di internet, sebotol harganya ternyata cukup mahal”

“Tuh kan.” Seru Sandra, “kau jangan merasa rendah diri begitu Casey.”

“Baiklah,” Casey tertawa, “kalau aku kembali ke Castellina, aku akan membawakan wine untuk Bianca dan suaminya.”

“Nah begitu dong.”

Casey, Sandra dan Philip akhirnya menghabiskan minuman mereka masing masing sebelum mereka pulang.

~ ~

BAB ENAM BELAS


Matthew tersenyum memperhatikan bayi Sandra. Matthew merasa bahagia sekali karena sesuai harapannya bayi Sandra laki laki.

Sandra melahirkan tadi sore sekitar jam tiga sore. Matthew mendapat kabar itu dari suami Sandra. Suami Sandra menelepon Matthew sambil menangis bahagia karena kini ia punya anak.

Matthew langsung minta ijin bosnya untuk pulang cepat. Matthew pulang sesaat setalah Lord Egar meneleponnya. Seharusnya Matthew pulang jam lima sore, tapi Matthew tidak sabar untuk melihat keponakan laki lakinya.

Ivy mencari Matthew saat jam kerja berakhir. Ivy masih berusaha untuk mendapatkan cinta Matthew walau Matthew sudah bilang padanya bahwa ia hanya bisa berteman dengan Ivy dan tidak bisa lebih dari itu. Tapi Ivy tak perduli. Lebih baik berteman akrab dengan Matthew dan dekat dengannya daripada tidak sama sekali, itu prinsip Ivy.

Ivy lalu bertanya pada Jesslyn kemana Matthew pergi. Jesslyn memberitahu Ivy kalau Matthew pulang cepat karena ada urusan keluarga.  Ivy langsung menelepon Matthew menanyakan Matthew ada dimana. Mau tidak mau Matthew memberitahu Ivy ia ada dimana, karena Ivy tidak akan berhenti mencecarnya dengan pertanyaan kalau Matthew belum menjawab pertanyaannya.

Ivypun langsung menyusul Matthew ke rumah sakit. Ivy tadi bertemu dengan ayah dan ibu tiri Lord Egar, juga dengan ibu Matthew dan adiknya, Aaron, dan tentu saja suami Sandra.

Mereka semua tinggal di kamar perawatan Sandra di rumah sakit sampai jam makan malam. Mereka makan malam bersama di kantin rumah sakit yang terletak tidak jauh dari kamar perawatan Sandra. 

Sekarang mereka semua sudah pulang. Mereka pulang ke rumah Lord Egar di Pasadena Residence di Hall of City. Hanya Aaron yang tidak menginap di sana karena Aaron langsung kembali ke The Metropolis karena pagi pagi ia ada kuliah.

Besok pagi ayah dan ibu tiri Lord Egar beserta ibu Sandra akan ke rumah sakit lagi untuk menengok cucu mereka.

Selama mereka menginap di rumah Lord Egar, pelayan disana yang akan mengurusi semua keperluan mereka.

“Temanmu sepertinya sudah mengantuk. Ia menguap terus dari tadi.” Sandra memperhatikan Ivy yang duduk di sofa empuk tidak jauh dari tempat tidur Sandra.

“Sebentar lagi kami pulang,” ujar Matthew. Matthew merasa kesal karena keasikannya memperhatikan keponakannya jadi terganggu. Kalau Ivy tadi tidak menyusulnya, Matthew mungkin akan menginap di rumah sakit menemani Sandra. Tapi Ivy tak akan mau pulang kalau Matthew juga tidak pulang.

“Selamat malam,” suara Casey mengagetkan Matthew. Matthew rindu sekali suara itu. Dan tanpa dapat ia cegah dadanya langsung berdegub kencang dan tubuh Matthew jadi meriang. Suara Casey masih memberikan efek yang sama pada tubuh Matthew hingga sekarang. Selalu membuat tubuh Matthew panas dingin. Matthew tidak pernah bertemu Casey sejak pertemuan terakhir mereka dulu.

“Selamat malam Casey, masuklah.” Sandra membalas sapaan Casey.

“Bayi laki laki hah? Ini keren sekali.” Casey tertawa.

“Ya, Terimakasih pada Tuhan, proses melahirkannya lancar.”

“Selamat untukmu Sandra,” ujar Casey lagi.”Selamat Mr. Maxmillian, Anda sekarang menjadi seorang ayah.”

“Ya, dan aku tak sabar mendengar puteraku memanggilku ayah,” Lord Egar tertawa. “Terimakasih, Casey.”

“Sama sama.” Sahut Casey.

“Selamat untuk kalian berdua, Mr. Dan Mrs. Maxmillian.” Terdengar suara seorang pria.

“Terimakasih Luke, lama tak jumpa denganmu,” ujar Sandra.

Luke? Matthew terkejut. Tentu saja. Casey tidak mungkin datang ke rumah sakit sendirian malam malam begini.

“Boleh aku melihat bayinya?” tanya Casey.

Matthew akhirnya bangun dari duduknya setelah terus terusan memandangi keponakan laki lakinya.

Dan Matthewpun memaksakan diri tersenyum pada Casey seolah olah tidak terjadi apa apa. Padahal ia masih kesal pada Casey dan ia cemburu sekali pada Luke.

“Casey apa kabar,” ujar Matthew datar tanpa berniat menyalami Casey.

“Kabar baik,” Casey terkejut melihat Matthew. Ia tadi asik ngobrol dengan Sandra tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya.

“Bayi Sandra sedang tidur, silahkan kalau mau melihat.” Ujar Matthew lagi, “Sandra aku pulang dulu. Egar aku pulang dulu,” pamit Matthew pada Sandra dan kakak iparnya.

“Ya, tentu,” sahut Lord Egar, “hati hati mengemudi Matt.”

“Ya.” Matthew lalu memakai jaketnya. “Ayo Ivy kita pulang sekarang.”

“Kita pulang?” Ivy bangun dari sofa sambil menggenggam tangan Matthew.

“Ya,” Matthew tertawa, “kau kelihatan mengantuk.”

“Hari ini aku lelah sekali.” Sahut Ivy, “aku pulang Sandra, Lord Egar, dan semuanya. Nanti aku datang lagi dengan membawa kado, tadi aku tidak sempat membeli apa apa.”

“Jangan repot repot Ivy,” Sandra tertawa, “tidak memberi kado juga tidak apa apa.”

“Tidak memberi kado untuk bayi mungil tampan yang lucu itu? No way. Aku harus mendapatkan sesuatu untuknya.”

“Terima kasih kalau begitu.” Ujar Sandra lagi.

“Sama sama.” Ivy tersenyum sambil mengambil tasnya dan melambaikan tangannya sebelum pergi bersama Matthew.

“Dia lucu sekali,” Casey berbisik pelan di samping box bayi. Casey berusaha bersikap normal padahal ia sedang sedih sekali. Ia cemburu setengah mati pada wanita yang bersama Matthew sekarang.

“Namanya siapa?” Luke berjongkok disamping Casey dan memperhatikan bayi Sandra.

“Namanya Dexter Theodore Maxmillian.” Ujar Lord Egar. “Dexter nama kakekku, sementara Theodore nama ayahku.”

“Nama yang indah,” sahut Casey, “halo Dexter, selamat datang ke dunia ini, selamat bertemu dengan aunt Casey dan uncle Luke.”

“Silahkan duduk,” ujar Lord Egar pada Luke, "nanti aku pesankan minum untuk kalian.”

“Terima kasih.” Luke akhirnya duduk di sofa sementara Casey masih terus memperhatikan Dexter.

“Aku masih merajut baju hangat dan kaos kaki untuk Dexter,” ujar Casey pada Sandra. “Seharusnya rajutan itu sudah selesai kalau aku tidak pergi ke Italia. Aku lupa membawa rajutan itu waktu pergi ke sana.”

“Tidak apa apa Casey.” Sandra tersenyum, “seharusnya kau tidak usah repot, tapi terima kasih sudah mau merajut baju hangat dan kaos kaki untuk Dexter.”

“Ya,” Casey tertawa, “itu semacam tradisi. Princess Sabrina juga mendapatkannya dulu, setelah Princess Sabrina, Dexter yang mendapatkannya dan dua bulan dari sekarang, adik Princess Sabrina yang mendapatkannya.”

“Kau hebat, bisa merajut segala, aku tidak bisa.” Komentar Sandra.

“Aku belajar,” Casey tersenyum, “orangtuamu sudah datang ke sini?” tanya Casey.

“Hanya ibu. Ayah baru datang besok bersama isterinya. Suamiku langsung mengabari semua orang waktu Dexter lahir.”

“Ia bahagia sekali,” komentar Casey.  “Dan kemana suamimu pergi sekarang?”

“Ke kantin. Ia sedang memesan minum untuk kalian.”

“Seharusnya suamimu tidak usah repot begitu. Kami tidak lama.”

“Tidak repot kok,” Sandra tertawa, “ia senang melakukannya. Lagipula kantinnya ada di lantai yang sama dengan kamarku, di ujung koridor sana.”

“Apakah salah satu asistennya tidak ikut?” tanya Casey heran. “Asisten pribadinya kan bisa membantunya kalau sedang ada tamu seperti ini.”

“Tidak. Ini semua dadakan, suamiku sedang tidak didampingi siapa siapa saat ini, mugkin besok, iya. Kami hanya berdua datang ke rumah sakit ini. Suamiku yang tadi mengendarai mobil ke sini.”

Oh.” Casey akhirnya bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Sandra untuk memeluk Sandra erat. “Akhirnya, Dexter lahir juga.”

“Ya, aku bahagia sekali. Aku terus terusan menangis saat Dexter lahir.”

“Menangis karena sakit?” tanya Luke, “karena kudengar kau melahirkan secara normal. Dan yang kudengar juga melahirkan secara normal lebih sakit daripada bedah caesar.”

“Menangis karena bahagia Luke.” Casey dan Sandra berbicara hampir bersamaan.

“Oh, oke, baiklah.” Sahut Luke. “Kupikir karena rasa sakit ketika melahirkan.”

“Itu juga.” Ujar Sandra, “tapi rasa bahagiaku menutupi itu semua.”

~ ~

“Ada apa antara kau dan Matthew?” Luke memperhatikan Casey sambil mulai mengemudikan mobilnya.

Mereka berdua baru pulang setelah tinggal di kamar perawatan Sandra kurang lebih selama sejam. Kamar Sandra mulai ramai didatangi teman teman Lord Egar yang rata rata pejabat semua. Prince Larry juga akan datang dan sekarang sedang dalam perjalanan. Ia datang sendiri tanpa ditemani Bianca karena Bianca sedang hamil besar.  Ia tadi menelepon Lord Egar saat Casey masih ada di sana.

“Diantara aku dan Matthew sudah tidak ada apa apa lagi, Luke. Kami sudah putus.”

“Aku sudah menduganya. Kau selalu mengelak membicarakan hal ini denganku, tapi aku bisa menduga ada yang tidak beres antara kau dan Matthew. Apakah itu karena aku? Karena sakitku?” tanya Luke, “karena kalau iya, aku bisa menjelaskan pada Matthew apa yang sesungguhnya terjadi.”

“Tidak Luke, tidak usah. Ya, kau terlibat didalamnya walau bukan menjadi penyebab utama. Ini semua keputusanku, lagipula seperti kita lihat tadi, Matthew sudah bersama seseorang lagi sekarang.”

“Aku menyesal hubunganmu dan Matthew berakhir.”

“Ya. Tapi ini bukan masalah besar untukku, sungguh.” Ujar Casey berbohong. Padahal ia ingin sekali menangis saat ini. Ia begitu merindukan Matthew. Ia tadi ingin sekali memeluk Matthew.

“Kau yakin, wanita tadi pacar Matthew?”

“Ya, kakak Viola pernah melihat mereka di Poseidon cafe dan mereka berciuman.”

“Kalau begitu, aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan.” Ujar Luke.

Luke dan Casey lalu sama sama terdiam.

“Casey, apa kita punya kesempatan?” Ujar Luke mengagetkan. “Karena kalau iya, aku akan sangat bahagia kalau kau mau jadi kekasihku.”

“Luke, kau tahu aku menyayangimu, tapi tidak dengan cara itu. Kau sudah seperti kakak untukku, kau keluargaku di kota ini, selain keluarga ayahku di Italia sana.”

“Itu berarti kita tetap tak punya kesempatan.” Ujar Luke kecewa.

“Kenapa kau tidak mulai belajar menyukai Viola?”

“Viola?”

“Ya, dia tergila gila padamu. Dia mencintaimu Luke.”

“Tidak, Viola tidak mencintaiku.” Luke tertawa.

“Darimana kau tahu dia tak mencintaimu?”

“Dia menyukai Craig. Dia selalu berdandang heboh untuk Craig.”

“Tidak, dia menyukaimu. Dia sampai menangis histeris saat kuberitahu bahwa kau sakit. Dan kemarin saat aku pergi ke Italia ia senang sekali waktu aku memintanya menemanimu berobat ke Leefsmall. Ia senang bisa menghabiskan waktu seharian denganmu.”

“Tapi Viola tak pernah menunjukkan kalau ia menyukaiku, ia cenderung acuh dan kalau bicara denganku hanya sekedarnya saja.”

“Itu karena ia takut pada Brenda.” Casey tertawa, “ia takut dibully.”

“Sekarang ada apa lagi dengan Brenda?”

“Sama seperti Viola, Brenda juga menyukaimu.”

No way!” teriak Luke.

Yes way!” sahut Casey, “sekarang kau lihat, ada banyak wanita di sekelilingmu yang mendambakan perhatianmu. Kau tinggal memilih.”

Luke diam, ia kembali mengemudi dalam diam.

“Mungkin Goldie juga menyukaimu Luke, mungkin dia...”

“Casey, diamlah.”  Potong Luke cepat.

~



BAB TUJUH BELAS



Casey seperti mengalami de ja vu, ia merasa ia baru saja ke rumah sakit untuk menjenguk bayi Sandra, dan sekarang ia ke rumah sakit lagi untuk menjenguk bayi Bianca.

Semalam Bianca melahirkan. Ia melahirkan bayi laki laki dengan selamat. Bayi dan ibunya sehat. Bianca melahirkan secara normal.

Kelahiran anak kedua dari pasangan suami isteri Prince Larry dan Bianca disambut gembira oleh seluruh masyarakat Fillmore Green. Sama seperti dengan kelahiran Princess Sabrina dulu, hampir seluruh jalanan di kota kota besar di Fillmore Green dihias balon dan bunga bunga indah.

Namun berbeda dengan saat Princess Sabrina dulu dimana balonnya berwarna pink, kali ini balon balon yang menghias kota kota besar di Fillmore Green adalah biru karena anak Bianca dan Prince Larry laki laki.

Casey menjenguk Bianca dan puteranya dirumah sakit bersama teman temannya. Ia pergi bersama Luke, Viola, Philip dan Melisa.

Tidak mudah bagi orang orang untuk bisa menengok Bianca dirumah sakit karena penjagaannya yang ketat. Itu karena Bianca dan bayinya masih perlu beristirahat. Bianca akan menerima tamu yang datang menemuinya bila sudah berada di Crown Palace nanti.

Tapi khusus untuk Casey atau teman teman terdekat pasangan tersebut lainnya, ia diperbolehkan masuk untuk menemui Bianca.
“Hallo,” Bianca tersenyum memperhatikan Casey, Luke, Viola, Philip dan Melisa yang datang menemuinya. “Terima kasih sudah datang ke sini.”

“Terima kasih sudah mengijinkan kami masuk. Aku penasaran sekali melihat puteramu.”

“Ya, dia sedang tidur.” Ujar Bianca.

“Aku bisa lihat,” Casey memperhatikan bayi yang ada di box bayi di samping Bianca. “Dia tampan sekali.”

“Terima kasih.” Ujar Bianca.

“O,ya, ini teman temanku Melisa dan Viola, kau baru bertemu mereka sekarang.”

“Hallo, aku Bianca, senang berkenalan dengan kalian.”

“Aku Viola. Selamat atas kelahiran putera Anda Yang Mulia.” Ujar Viola.

“Terima kasih.”

“Akhirnya aku bisa bertemu juga denganmu,” komentar Melisa sambil tertawa.  “Casey banyak bercerita tentangmu, aku jadi ingin mengenalmu. Aku Melisa.”

“Seharusnya Casey mengajakmu main ke Crown Palace,” ujar Bianca sambil tersenyum.

“Yeah, aku agak sibuk akhir akhir ini.” Sahut Casey.

“Luke, apa kabar, lama tidak bertemu denganmu, kau agak kurusan sekarang.”

“Kabar baik Bianca, terima kasih.”

“Aku tak percaya kau dan Casey masih bekerja sama di studio fotomu. Dulu, seingatku kita sama sama menyiapkan studio foto itu.”

“Ya,” Luke tertawa, “waktu cepat sekali berlalu.”

“Dan aku masih mengingatmu Philip. Kita dulu bertemu di Lotus Village.”

“Ya, Yang Mulia. Seharusnya kita sering sering refreshing bersama lagi di rumah peristirahatan Anda.” Ujar Philip sambil tertawa, “disana indah sekali.”

“Tentu,” Bianca ikut tertawa, “nanti kalau bayiku sudah agak besar, kita refreshing sama sama lagi.”

“Suamimu mana?” tanya Casey.

“Baru pulang. Dia sedang menjemput Sabrina. Dia mau memperkenalkan Sabrina pada adiknya.”

“Oh, so sweet. Sabrina pasti senang punya adik.”

“Kurasa dia agak galak akhir akhir ini.” Ujar Bianca, “ia cemburu pada adiknya.”

“Itu biasa,” ujar Melisa, “hal seperti itu biasa terjadi pada anak anak kecil yang mempunyai adik. Mereka berpikir perhatian dan kasih sayang orangtuanya tidak ditujukan untuk dirinya lagi, tapi untuk adiknya.”

“Kau benar,” sahut Bianca, “untuk itulah aku harus hati hati dalam menghadapi Sabrina. Moodnya akhir akhir ini selalu jelek.”

“Nama pangeran tampan ini siapa?” tanya Viola.

“Arthur Lawrence Normand IV.” Ujar Bianca, “nama itu sudah dipersiapkan jauh jauh hari oleh suamiku saat hasil USGku menunjukkan kalau bayiku laki laki.”

“Hai, Prince Arthur,” sapa Casey pada Prince Arthur yang tidur nyenyak. “Selamat datang di dunia ini.”

“Dia lucu sekali,” Melisa berdiri disamping Casey.

“Aku sudah menyelesaikan baju hangat dan kaos kaki untuk Prince Arthur tepat waktu,” ujar Casey sambil tertawa. Ia lalu menaruh tas kertas yang berwarna biru di atas meja di samping tempat tidur Bianca. “Aku merajutnya dengan bahan rajutan yang sangat halus.”

“Terima kasih Casey.” Bianca tersenyum.

“Ya. Dexter juga sudah mendapatkannya sebulan lalu.”

“O,ya, Dexter. Aku sudah menjenguk Dexter di rumah Sandra. Ia lucu sekali. Ia bisa jadi teman bermain Arthur nanti.”

“Seperti suamimu dan suami Sandra yang bersahabat,” ujar Casey, “Dexter dan Prince Arthur juga mungkin nanti bisa bersahabat.”

“Kuharap begitu.” ujar Bianca.

“Selamat Bianca, karena Prince Arthur sudah lahir, aku ikut senang untukmu.” Casey lalu memeluk Bianca erat.

“Terima kasih.” Bianca balas memeluk Casey, “aku sangat bahagia dengan kehadirannya, Casey.”

~

Philip berteriak senang saat mobil yang ia tumpangi melewati pintu gerbang rumah keluarga Caruso. Yang Philip lihat di sepanjang jalan menuju rumah keluarga Caruso adalah anggur yang sudah matang yang berwarna hitam. Anggur itu nanti akan diproduksi menjadi red wine.

Casey mengajak teman temannya berkunjung ke rumah ayahnya di Castellina. Ayah Casey yang membiayai perjalanan Casey dan teman temannya.

Casey mengajak Philip, Melisa, Luke dan Viola berlibur selama empat hari di Castellina.

Tadi di bandara, mereka dijemput oleh supir ayahnya. Sekarang ayah Casey, Valentina, nenek Casey dan tante Casey, Chiara sedang menunggu kedatangan Casey dan teman temannya.

Studio foto Luke tetap buka walau Luke, Casey dan Viola pergi. Craig, Goldie dan Brenda yang menangani customer mereka saat mereka bertiga pergi.

“Ini benar benar keren!” teriak Philip senang.

“Ya, ampun, anggurnya sudah matang,” seru Melisa. “Red wine yang pernah kau berikan padaku rasanya enak sekali, Casey.”

“Sebotol harganya mahal loh babe,” komentar Philip pada Melisa.

“O ya?”

“Ya, aku sudah searching harganya di internet.”

“Apakah wine keluarga Caruso dieksport ke negara lain Casey?” tanya Viola.

“Ya, sepertinya begitu.” Jawab Casey.

“Boleh aku memakan anggur itu langsung dari pohonnya?” tanya Luke.

“Luke, please deh!” seru Viola.

“Boleh aku ikut memanen anggur itu?” tanya Melisa.

“Bagaimana cara memanen anggur itu Casey?” tanya Philip.

“Sepertinya secara tradisional,” jawab Casey, “dipetik langsung dari pohonnya tapi dengan menggunakan gunting. Itu dilakukan agar anggur anggur itu tidak rusak.”

“Aku pernah lihat di internet ada anggur yang dipanen dengan menggunakan mesin khusus.” Ujar Philip lagi.

“Ya, tapi ayahku memanen anggur anggur ini masih dengan cara tradisional. Itulah kenapa pegawai ayah banyak.”

“Oh.”

“Kita sudah sampai.” Ujar Casey saat dilihatnya ayahnya dan neneknya menunggu mereka di teras rumah keluarga Caruso yang sejuk.

“Wow, rumahnya indah sekali.” Ujar Melisa kagum. “Sangat artistik.”

“Terima kasih Melisa,” ujar Casey, “ayo kita turun.” Casey lalu membuka pintu mobil.

“Halo nenek,” Casey memeluk neneknya erat, “kita bertemu lagi.”

“Ya Sayang, aku kangen sekali padamu.” Nenek Casey balas memeluk Casey erat.

“Ini teman temanku.” Casey memperkenalkan teman temannya. “Ini Luke, itu Philip, ini Melisa dan ini Viola.”

“Halo semuanya,” nenek Casey menyapa mereka dengan ramah. “Jadi siapa diantara kalian berdua yang merupakan pacar Casey?” tanya nenek Casey ke arah Philip dan Luke.

“Dia pacarku,” ujar Melisa sambil menarik tangan Philip membuat semua orang tertawa.

“Jadi kau pasti pacar Casey,” ujar nenek Casey pada Luke. Luke hanya tersenyum.

“Nenek, Luke sahabatku.”

“Ya tentu saja,” ujar neneknya, “kau pikir nenek percaya. Halo tampan, selamat datang di rumah keluarga Caruso.” Lanjutnya pada Luke.

“Terima kasih,” Luke menghampiri nenek Casey dan menyalami tangannya, “senang berkenalan dengan Anda.”

“Ayah, apa kabar,” Casey memeluk ayahnya.

“Kabar baik Sayang,” ayah Casey balas memeluk Casey erat.

“Wah, kalian sudah datang,” Valentina keluar dari rumah dan menyalami teman Casey satu satu. “Aku Valentina, isteri dari ayah Casey.”

“Senang bertemu dengan Anda Mrs. Caruso,” ujar Philip. “Waktu Anda pergi ke Hall of City, aku sedang bekerja sehingga tidak bisa bertemu dengan Anda.”

“Ya, rumahmu sangat nyaman.” Valentina tertawa. “Casey cerita kamarmu berhadap hadapan dengannya.”

“Ya, itu benar.” Ujar Philip.

“Terima kasih sudah menerima Casey dengan baik dirumahmu. Dan tolong untuk seterusnya jaga terus Casey kami disana. Kami mengkhawatirkannya. Casey belum mau pindah ke Castellina.”

“Tentu,” Philip tersenyum.

“Ayo semuanya, masuk, aku sudah menyiapkan minuman segar untuk kalian, juga masakan khas negara kami, kalian pasti lapar.” Ujar Valentina pada yang lainnya.

“Ya, kami lapar sekali.” Viola tertawa senang.

~ ~

Rumah keluarga Caruso memiliki banyak kamar. Kamar kamar tersebut berada di lantai dua. Kamar kamar itu memang disiapkan untuk para tamu yang menginap di sana.

Semua teman Casey mendapat kamar satu satu. Mereka semua beristirahat setelah mereka makan siang. Pada sore harinya mereka diajak berkeliling oleh ayah Casey mengunjungi tempat tempat yang indah di Chianti.

Mereka pergi dengan menggunakan dua mobil. Ayah Casey mengemudikan mobilnya sendiri dengan Casey, Melisa dan Viola sebagai penumpangnya.

Dan mobil yang satunya dikemudikan oleh supir keluarga Caruso dengan Luke dan Philip sebagai penumpangnya.

Ayah Casey mengajak mereka mengunjungi kastil kastil bersejarah di Chianti, lalu mengunjungi gereja tua dan kebun zaitun serta kebun bunga matahari.

Untuk berkunjung ke kebun anggur dan pabrik anggur keluarga Caruso, ayah Casey menjanjikan pada teman teman Casey wisata wine di pabrik wine keluarga Caruso pada esok lusa, karena besok Casey akan mengajak teman temannya mengunjungi  Roma.

Teman teman Casey sibuk berfoto di tempat tempat indah yang mereka kunjungi. Lelah jalan jalan, ayah Casey mentraktir mereka minum es krim, dan pada malam harinya, menjelang pulang, mereka makan malam di restoran pizza tradisonal yang jadi favorit ayah Casey. Ayah Casey pernah mengajak Casey kesana saat Casey berkunjung ke Castellina untuk pertama kalinya.

Di rumah, menjelang tidur, Valentina memaksa mereka makan lagi karena ia sudah menyiapkan makan malam untuk mereka.

Mereka pun makan lagi dengan lahapnya.

~ ~

Hari kedua di Castellina, Casey mengajak teman temannya pergi ke Roma. Casey sudah pernah pergi ke Milan sebelumnya, sehingga ia penasaran untuk mengunjungi Roma.

Mereka pergi dalam satu mobil dengan diantar supir keluarga Caruso. Jenis mobil yang dipersiapkan ayah Casey untuk mengantar Casey dan teman temannya adalah mobil jenis SUV yang muat 7 penumpang, sehingga Casey dan teman temannya nyaman di perjalanan.

Luke menemani supir keluarga Caruso duduk di depan, sementara Casey, Philip, Viola dan Melisa duduk di belakang.

Jarak yang ditempuh dari Castellina ke Roma kurang lebih 257 Km dengan lama perjalanan menggunakan mobil selama tiga jam sekali perjalanan. Jadi total waktu yang diperlukan untuk pulang pergi Castellina – Roma dan Roma – Castellina adalah 6 jam perjalanan.

Ayah Casey membekali Casey uang dan kartu kredit. Uang untuk mentraktir teman teman Casey dalam berwisata kuliner,  sementara kartu kredit untuk Casey berbelanja.

Tapi teman teman Casey tidak tertarik untuk berbelanja. Mereka lebih tertarik dengan wisata kuliner sehingga mereka banyak mencicipi makanan jalanan yang dijual di tempat yang mereka kunjungi. Mereka juga sangat senang mengunjungi objek wisata di Roma.

Setidaknya ada empat objek wisata yang mereka kunjungi yaitu; Colosseum, Piazza Navona, Spanish Steps dan Villa Borghese.

Colosseum adalah sisa reruntuhan dari amfiteater untuk arena gladiator. Arena ini adalah tempat dimana pertarungan antara binatang dan manusia dipertunjukkan. Konon, di arena itu pula eksekusi para tahanan dilakukan.

Piazza Navona adalah sebuah alun alun yang menjadi favorit warga Roma ataupun turis mancanegara. Di sana terdapat tiga buah air mancur. Air mancur utama dengan ukuran paling besar dikenal dengan nama Fontana dei quattro Fiumi, yang artinya air mancur empat sungai.

Di air mancur ini pula Casey dan teman temannya berfoto. Mereka we-fie bareng. Setelah itu Philip we-fie dengan Melisa sambil memeluk Melisa. Viola we-fie bareng dengan Casey. Lalu Viola mengambil foto Casey dan Luke yang sedang tersenyum ke arahnya. Setelah itu gantian Casey yang mengambil foto Luke dan Viola. Casey meminta Luke untuk memeluk Viola.

Di Piazza Navona banyak terdapat banyak seniman jalanan yang mempertontonkan aksi mereka. Terdapat juga banyak cafe dan restoran di sini.

Casey memutuskan untuk makan siang disini. Dan karena mereka agak bosan dengan masakan Italia karena sejak datang kemarin makan masakan Italia terus, akhirnya mereka makan di restoran Cina.

Tempat berikutnya yang mereka kunjungi adalah Spanish steps. Di spanish steps ini terdapat banyak toko yang menjajakan barang barang dari merk yang terkenal hingga yang biasa saja.

Mereka akhirnya berbelanja di sini. Luke berhasil mendapatkan coat yang terbuat dari bahan courdoray, Philip membeli beberapa buah kaos, Melisa lebih suka membeli aksesoris etnik berupa kalung dan gelang, Viola berhasil mendapatkan mantel bulu, sementara Casey berhasil menemukan beberapa tas selempang etnik yang cantik.

Tempat terakhir yang mereka kunjungi sebelum mereka pulang adalah Villa Borghese. Villa Borghese merupakan taman yang cukup besar. Di sini terdapat banyak patung yang bisa diabadikan lewat foto, terdapat juga air mancur serta danau dan pohon pohon yang rindang yang membuat suasana menjadi sejuk. Di dalam area taman ada museum dan kuil yang bisa dikunjungi.

Sebelum pulang, Casey mengajak teman temannya makan hotdog dulu. Mereka mampir ke sebuah restoran cepat saji untuk makan hotdog dan kentang goreng.

Untuk camilan di dalam mobil, selain membeli beberapa minuman kaleng yang terbuat dari sari buah, Casey juga membeli beberapa camilan khas Italia. Ia membeli baci di dama, espresso florentines dan pizelle.

Baci di dame adalah sandwich biskuit hazelnut dengan nutella ditengahnya. Espresso Florentines adalah camilan yang terbuat dari kacang almond, perasa kopi dan nutella. Sementara pizelle adalah waffle kering yang sangat renyah. Pizelle dicetak dengan menggunakan besi berpola yang dipanaskan. Besi cetakan pizelle sudah menjadi barang langka sekarang dan banyak dikoleksi oleh kolektor barang antik.

Di dalam mobil mereka memakan camilan camilan tersebut sebelum akhirnya semua tertidur karena kelelahan.


~



Hari ketiga, teman teman Casey ikut memanen anggur yang ada di sekitar rumah keluarga Caruso.

Anggur anggur tersebut sudah matang sehingga bisa dipanen. Puluhan pegawai ayah Casey datang ke sana untuk memanen anggur tersebut. Teman teman Casey yang melihat mereka memanen anggur jadi antusias untuk ikut memetik anggur anggur tersebut.

Martha akhirnya membekali mereka gunting, topi dan keranjang untuk memanen. Kalau keranjang mereka nanti sudah penuh, keranjang keranjang tersebut mereka taruh dibawah pohon anggur yang sudah dipanen, karena nanti akan ada pegawai lainnya yang mengumpulkan keranjang keranjang tersebut ke dalam mobil dan membawanya ke pabrik.

Mereka bersemangat dalam memetiki anggur anggur tersebut. Di sela sela memetiki anggur mereka foto foto dengan beberapa pegawai di sana.

Mereka memetik anggur hingga jam makan siang. Setelah makan siang, supir keluarga Caruso mengantar mereka ke pabrik anggur keluarga Caruso yang terletak sekitar  6 km dari rumah kediaman keluarga Caruso.

Di sana sudah ada guide tour yang akan memandu mereka melakukan wisata wine di pabrik anggur keluarga Caruso. Wisata wine sudah merupakan tradisi di daerah sana. Biasanya banyak turis yang ikut wisata tersebut. Mereka diajak berkeliling pabrik untuk mengetahui pengolahan anggur menjadi wine. Dan mereka diberi kesempatan untuk mencicipi wine yang sudah selesai diolah. Tidak ada keharusan bagi mereka untuk membeli wine wine tersebut. Tapi rata rata turis yang datang selalu membeli wine di pabrik wine keluarga Caruso untuk oleh oleh pulang ke negaranya.

Proses pertama dalam pembuatan wine adalah menghancurkan anggur anggur tersebut. Anggur anggur yang sudah dipanen, ditaruh dalam mesin penghancur, dan anggurpun mulai dihancurkan (crushing).

Setelah itu, pemandu wisata mengajak Casey dan teman temannya pergi ke bagian fermentasi.

Fermentasi biasanya dimulai enam hingga duabelas jam setelah ditambahkan ragi pada anggur anggur yang sudah dihancurkan tersebut, proses ini berlanjut sampai memberikan gula. Air hasil fermentasi akan berubah menjadi alkohol.

Proses selanjutnya adalah penjernihan (clarifycation). Dalam proses ini mulai dilakukan pemisahan ragi, tannins dan protein. Wine akan dipindahkan pada stainless steel tank, sehingga wine menjadi jernih dan bersih.

Proses selanjutnya adalah pengemasan, dimana wine mulai dimasukkan kedalam botol. Tapi jika ingin menghasilkan wine dengan rasa halus, sebelum pengemasan, dilakukan dulu proses penuaan (aging).

Pemandu wisata disana juga menjelaskan tentang teknik penyimpanan wine. Ia menjelaskan bahwa jika wine sudah dibuka, sebaiknya dihabiskan dalam waktu tiga hari karena rasa wine akan berubah.

Tapi jika botol wine belum dibuka, sebaiknya wine disimpan dalam suhu udara antara 7 hingga 18 derajat celcius. Kulkas tidak baik untuk menyimpan wine karena temperatur udara di kulkas terlalu dingin, dan itu bisa merusak cork (gabus) wine. Bila cork rusak, udara bisa masuk ke dalam wine dan merusak rasa wine. Jadi menurut pemandu wisata tersebut, untuk mereka yang mempunyai hobi mengoleksi wine, sebaiknya punya wine cooler sendiri.

Hal lainnya yang harus diperhatikan adalah dalam menyimpan botol wine harus horizontal karena menyimpan dengan cara tersebut akan membuat gabus basah sehingga tidak ada udara yang masuk ke dalam wine.

Selain itu, dalam menyimpan wine, hindari cahaya yang dapat merusak wine. Cahaya yang mengandung ultra violet dapat merusak wine. Itu sebabnya botol wine kebanyakan berwarna gelap. Dan tempat penyimpanan wine juga kebanyakan di tempat gelap, seperti di gudang bawah tanah dan tempat tempat gelap lainnya.

Setelah lelah berkeliling, ayah Casey menjamu Casey dan teman temannya makan lasagna dan minum wine di ruang kerjanya yang luas.

Setelah itu mereka kembali ke rumah keluarga Caruso untuk beristirahat. Dan karena besok siang mereka sudah harus kembali ke Hall of City, maka Valentina menyiapkan acara barbeque untuk makan malam mereka.

Mereka akan makan malam di luar halaman seperti kebiasaan keluarga Caruso jika menjamu tamu tamu mereka.

~ ~

Casey sibuk membantu Valentina menyiapkan salad buah dan salad sayur untuk makan malam mereka. Sementara Philip dan Melisa membantu Martha memanggang daging dan ayam.

Rosa nampak wara wiri menata gelas, piring, sendok dan garpu diatas meja makan yang panjang. Chiara nampak bolak balik dari dapur ke meja makan di luar untuk meletakkan makanan di tengah tengah meja makan. Ia kali ini sedang membawa semangkuk besar sup makaroni hangat.

Nenek Casey hanya duduk memperhatikan kesibukan orang orang, sementara ayah Casey sedang sibuk ngobrol dengan rekan bisnisnya di telepon.

Ketika semua makanan sudah siap, Valentina menyuruh Rossa untuk memanggil orang orang. Saat itu yang tidak ada di sekitar meja makan hanya Luke dan Viola.

Menurut Melisa, Viola tadi sedang mandi saat ia turun sementara Luke masih tidur.

“Biar aku saja yang memanggil mereka,” ujar Casey saat Rossa mau berjalan ke dalam rumah.

Casey lalu naik ke lantai atas. Ia masuk ke kamar Viola, tapi Viola tidak ada. Ia akhirnya mengetuk kamar dimana Luke tidur, tapi tidak ada sahutan. Casey membuka kamar itu, tapi Luke tidak ada di kamar.

Casey mau turun lagi ke bawah saat dilihat pintu yang menghubungkan ruang santai di lantai atas dengan balkon, tampak terbuka. Caseypun berjalan ke arah balkon. Dan sampai disana Casey terkejut. Ia melihat Luke dan Viola sedang berciuman.

Casey tidak tahu apa yang harus dilakukannya, ia merasa kaget sekaligus gembira. Casey memang ingin Viola kencan dengan Luke.

“Ada yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di sini?” tanya Casey, mengagetkan Luke dan Viola. Casey pura pura marah.

Viola langsung melepaskan diri dari pelukan Luke, “hai Casey, ini tidak seperti yang kau pikirkan.”

“Memang apa yang kupikirkan?” Casey balik bertanya.

“Aku minta maaf, aku tidak bermaksud membuatmu marah, Casey, sungguh. Itu tadi terjadi begitu saja. Mu.. mungkin karena suasana malam yang romantis.”

“Begitu?”

“Ya, lihat, bulan sedang bersinar dengan terangnya dan..”

“Aku dan Viola sekarang berpacaran Casey.” Potong Luke, “barusan aku minta pada Viola untuk jadi pacarku dan dia menerimanya.”

“Kenapa kau tidak bilang dari tadi Viola? Kenapa jawabanmu memutar mutar seperti itu?” protes Casey.

“Aku takut kau marah. Kau sudah begitu baik padaku dan aku malah mengkhianatimu.”

“Kau tidak mengkhianatiku.”

“Sungguh?”

“Ya.”

“Jadi kau tidak marah?”

“Tidak.”

“Terima kasih kalau begitu.”

“Tentu, sekarang turunlah, makan malam sudah siap.”

“Oke,” Viola tersenyum sambil menggenggam tangan Luke. “Kami akan segera turun.”


~

Suatu keajaiban terjadi malam ini. Tulis Casey dibuku hariannya. Casey sudah mau tidur. Malam sudah sangat larut. Orang orang sudah beristirahat di kamar masing masing. Tapi Casey masih ingin mencurahkan perasaannya lewat tulisannya di buku hariannya.

Luke dan Viola akhirnya pacaran juga. Aku ikut bahagia untuk mereka. Sekarang aku tidak secemas dulu lagi kalau pergi meninggalkan Luke karena ada Viola yang menjaganya.

Aku berharap umur pacaran mereka lama dan jika memungkinkan sampai mereka menikah. Aku sayang keduanya, mereka sahabat sahabat terbaikku.

Mungkin kepindahanku ke Castellina akan lebih cepat dari yang kurencanakan. Ya, aku ingin berkumpul bersama ayah dan seluruh keluarga disini. Aku kehilangan banyak moment yang harus kuhabiskan tanpa mereka, dan sekarang aku tidak mau kehilangan moment moment lainnya tanpa kehadiran mereka di sisiku.

Aku akan memantau Luke dari jauh saja. Aku akan sering menghubungi Viola untuk mengetahui perkembangan pengobatannya. Luke akan baik baik saja tanpa aku.

Sambil menulis Casey terus terusan menguap. Casey akhirnya tak sanggup lagi untuk menulis. Ia tidur dengan pulasnya.

~ ~

Suara teriakan dan ceburan air membangunkan Casey dari tidur lelapnya. Casey mengintip ke jendala kamar dan tersenyum lebar saat melihat teman temannya sedang berenang.

Jendela kamar Casey langsung menghadap kolam renang sehingga Casey bisa melihat siapa saja yang sedang berenang.

Sekarang hari Minggu, dan siang nanti Casey dan teman temannya akan pulang ke Hall of City. Casey sudah packing semalam. Ia hanya membawa baju sedikit. Tas travelling Casey malah penuh dengan wine. Casey membawa beberapa botol wine untuk ia berikan pada Bianca, Sandra, Craig, Goldie, Ivanka, Carol dan Brenda.

Luke, Philip, Melisa dan Viola membawa sendiri sendiri wine yang diberikan ayah Casey.

Casey tiba tiba ingat Matthew.  Casey juga ingin memberi Matthew beberapa botol wine, tapi Casey merasa yakin Matthew akan langsung memecahkan botol wine itu dan tidak meminumnya saat ia memberikannya. Matthew sepertinya masih marah padanya.

Saat bertemu di rumah sakit untuk menjenguk kelahiran Dexter, Matthew bahkan tidak mau menyalaminya. Matthew pergi begitu saja tanpa berusaha ngobrol dengannya. Dan Casey tidak mau berharap banyak pada Matthew lagi. Wanita yang sekarang dekat dengan Matthew sepertinya sangat cocok untuk Matthew.

Casey tahu dari Sandra kalau Matthew menyukai wanita yang cerdas. Dan Casey bisa menilai bahwa wanita yang bersama Matthew di rumah sakit itu terlihat cerdas.

Cerdas dan cantik dan elegan dan modis. Dan Casey menyerah. Ia tak bisa bersaing dengan wanita seperti itu.

Jadi harapan Casey pada Matthew benar benar tipis. Padahal Casey berkhayal ia bisa mengajak Matthew ke Castellina, memperkenalkan Matthew pada ayahnya, pada neneknya, pada Valentina, pada tante Chiara, pada Martha dan pada Rossa.

Ia juga berkhayal bisa bersepeda bareng Matthew di Chianti, mengelilingi kebun anggur, kebun zaitun atau kebun bunga matahari.

Waktu kunjungan Casey yang pertama kemarin ke Castellina, Casey sempat bersepeda bareng ayahnya. Saat itu mereka melihat lihat anggur yang masih muda. Dan kegiatan itu menyenangkan sekali.

Pada kunjungannya yang kedua ini Casey tidak sempat melakukannya karena ia sibuk dengan teman temannya. Casey tiba tiba bersemangat saat dilihatnya jam baru menunjukkan jam sembilan pagi. Ia punya waktu satu jam untuk bersepeda dengan ayahnya sebelum akhirnya mandi dan pergi ke bandara.

Casey cepat cepat mengganti baju tidurnya dengan baju olahraga. Sedang sibuk Casey memakai sepatu pintu kamar Casey ternyata ada yang mengetuk.

“Masuklah,” teriak Casey.

Chiara masuk sambil tersenyum, “hai, mau berolahraga?”

“Ya, aku ingin bersepeda.” Ujar Casey.

“Sebelum aku lupa, aku ingin memberikan ini. Ini untukmu.”

“Sebuah kalung?” tanya Casey.

“Ya, kalung emas putih dengan initial namaku ditengah tengahnya. Ini kalung favoritku, tapi aku ingin kau memilikinya.”

“Terima kasih.” Ujar Casey. “Boleh aku pakai sekarang?”

“Tentu,” Chiara mengangguk, “sini aku pakaikan.” Chiara lalu membantu Casey memakai kalung itu. “Aku ingin sekali pergi berbelanja denganmu tapi waktumu di sini sangat sebentar.” Komentar Chiara saat memakaikan kalung itu.

“Ya,” Casey tertawa, “lain kali aku ke sini lagi dan mudah mudahan saat itu aku sudah bisa menetap di sini.”

“Sungguh?” tanya Chiara gembira. “Kata ayahmu, kau mungkin tiga tahun lagi baru pindah ke sini.”

“Aku berubah pikiran.” Casey tersenyum, “mudah mudahan akhir tahun aku sudah bisa pindah.”

“Wow, itu keren.”

“Tapi jangan bilang bilang ayah dulu. Ini kejutan untuknya.”

“Baiklah.” Ujar Chiara. “Apa yang membuatmu berubah pikiran?”

“Terjadi suat hal yang tak kuduga duga. Kapan kapan aku cerita tentang hal ini.”

“Baiklah. Kau mau olahraga apa?”

“Bersepeda. Aku akan mengajak ayah bersepeda. Ayah sudah bangun?”

“Sudah. Ayahmu sedang sarapan di ruang makan.”

“Baiklah, aku ke sana sekarang, sekali lagi terima kasih kalungnya.”

“Sama sama Casey.”

~


Yang juga ikut bersepeda dengan Casey dan ayah Casey adalah Melisa. Melisa langsung ingin ikut bersepeda saat Casey mau bersepeda. Untung sepeda Chiara masih bisa digunakan dan tidak rusak sehingga Melisa bisa ikut bersepeda dengan Casey dan ayah Casey.

Sepeda yang Casey gunakan sekarang adalah sepeda Valentina. Ayah Casey lalu berjanji akan membelikan Casey sepeda sehingga saat Casey pulang lagi ke Castellina ia bisa menggunakan sepedanya sendiri.

Mereka mengelilingi bukit yang berada tidak jauh dari kebun anggur yang baru saja dipanen.

Bukit itu masih merupakan wilayah keluarga Caruso, disana tumbuh pohon dan bunga liar.

Casey merasa badannya sangat segar saat kembali ke rumah. Walau peluh membasahi tubuhnya, tapi Casey tidak merasa terlalu lelah. Ia ketularan Melisa mulai menyukai bersepeda.

Setelah mandi air hangat dan brunch, Casey akhirnya pamit pada keluarganya untuk kembali ke Hall of City. Ia berjanji akan sering menelepon keluarganya dan memberitahu mereka kapan ia akan kembali ke Castellina.

Nenek Casey menangis saat Casey mau pergi, ia tak mau Casey pergi. Ia ingin Casey tetap bersamanya di Castellina.

~


 BAB DELAPAN BELAS



Matthew tersenyum memperhatikan Dexter. Dexter saat ini sedang bangun. Padahal jarang jarang Dexter bangun. Ia selalu tidur dan tidur.

Sejak ada Dexter, Matthew sering berkunjung ke rumah Sandra. Ia selalu kangen pada Dexter dan selalu ingin bermain dengannya.

Lord Egar pernah menggoda Matthew agar Matthew cepat cepat menikah dan punya anak.

Matthew hanya diam digoda seperti itu. Ia masih belum bisa move on dari Casey, jadi untuk menikah sepertinya masih lama.

Matthew belum berkencan lagi dengan siapapun sejak ia putus dari Casey. Walau Ivy masih terus mengharapkan cinta Matthew tapi Ivy bukan tipe Matthew sama sekali.

Ivy adalah seorang sosialita. Kehidupannya penuh dengan hura hura. Sahabat sahabatnya, kalau bukan orang kaya seperti dirinya adalah para selebritis yang sedang populer di Fillmore Green.

Mereka sering pergi ke bar atau cafe dan restoran elit. Dunia Ivy dan dunia Matthew sangat bertolak belakang. Matthew lebih suka menghabiskan waktu di rumah untuk membaca buku atau menonton film.

Kalaupun keluar rumah ia suka suasana pantai atau alam pedesaan yang sepi dan tenang. Bukan suara hingar bingar seperti tempat tempat yang biasa didatangi Ivy.

“Halo dexter, cepat besar ya, biar nanti main bola sama uncle Matt.” Ujar Matthew sambil mulai menggendong Dexter.

Sandra hanya tersenyum memperhatikan Matthew. “Kau masih belum beli sofa juga untuk ruang tamu di apartemenmu?” tanya Sandra.

“Belum.” Jawab Matthew.

“Kalau ada tamu nanti bagaimana? Mau duduk dimana? Kau hanya punya satu kursi di kamarmu.”

“Dua, satu untuk membaca buku dan satu untuk aku bekerja.”

“Ya, baiklah, dua, lalu kalau ada tamu berkunjung akan duduk dimana?”

“Di karpet saja, aku punya karpet yang tebal.”

“Ya, Tuhan.” Keluh Sandra, “jadi kalau aku datang ke sana aku harus duduk di karpet?”

“Ya.”

“Dexter juga harus tiduran di karpet?”

“Ya tidaklah, Dexter tidur di kasurku, iya nggak buddy?” Matthew kembali memperhatikan Dexter.

“Kenapa sih kau belum mau belanja sofa juga?”

“Tidak apa apa. Nanti saja belanjanya Sandra. Jarang ada tamu berkunjung ke tempatku kok.”

“Ya sudah, terserah kau saja.”

Matthew kembali memperhatikan Dexter. Ia sebenarnya ingin berbelanja sofa. Tapi dengan Casey. Dan ia masih terus menaruh harapan bahwa suatu hari nanti ia bisa mewujudkan keinginannya. Walau Matthew tahu harapannya kosong.

“Pacarmu yang waktu itu ke rumah sakit bersamamu cantik juga,” komentar Sandra sambil merapikan baju Dexter ke lemari Dexter.

“Dia bukan pacarku Sandra, dia hanya temanku.”

“O, ayolah Matt, mau sampai kapan kau begini terus?”

“Begini bagaimana?”

“Mengharapkan Casey kembali padamu.”

“Aku tidak...”

“Kau pikir aku tidak tahu apa yang kauinginkan?” Potong Sandra. “Casey sudah bersama Luke sekarang. Kau harus merelakannya Matthew Ricardo.”

“Aku merelakannya.”

“Tidak, belum, kalau kau merelakannya kau akan cepat cepat mencari pengganti dirinya.”

“Tidak mudah bagiku untuk jatuh cinta begitu saja pada seorang wanita, Sandra. Aku bukan Aaron.”

“Tapi setidaknya kau harus berusaha.”

“Oke, baik, aku akan berusaha.”

“Bagus, aku suka mendengarnya.”

“Tapi nanti.”

“Matthew!” teriak Sandra kesal.

“Nyonya, makan malam sudah siap.” Salah satu pelayan di rumah Sandra masuk ke kamar Dexter untuk memberitahu Sandra kalau makan malam sudah siap.

“Suamiku masih dalam perjalanan pulang. Aku menunggu suamiku untuk makan malam bersama.” Ujar Sandra. “Mungkin sebentar lagi ia sampai.”

“Baik,” pelayan itu lalu keluar dari kamar Dexter.

“Kalau kau mau makan duluan, makan saja Matt,” Ujar Sandra pada Matthew.

“Tidak, nanti saja bareng dengan kalian.” Jawab Matthew sambil mendekap Dexter erat.

~ ~









No comments:

Post a Comment