I Love You, Kiara
by A. Rafianti
BAB SATU
Point Of
View (sudut pandang) Kiara
Aku berjalan
sambil menyibak kerumunan orang untuk mencari Selly. Selly adalah bos aku di
perusahaan advertising dimana aku bekerja. Aku bekerja disana sebagai seorang copywriter
atau penulis naskah iklan.
Selly
meneleponku karena ia bilang ia sedikit mabuk sehingga tidak berani menyetir
mobil sendiri untuk pulang ke rumah.
Padahal aku
tadi sedang asik nonton korea.
Aku
menemukan Selly dengan baju merahnya yang seksi di salah satu sudut bar. Aku
segera menghampirinya. Selly sendirian malam ini, ia punya kebiasaan pergi
kemana mana sendiri.
“Ya ampun
Selly, kamu kenapa sih?” teriak aku sambil menegakkan tubuh Selly yang
menelungkup di meja.
Walau Selly
bos aku, tapi aku terbiasa memanggil namanya karena itu permintaannya.
“Aku patah
hati,” Selly nampak terisak, “mereka sekarang berpacaran.” Ujar Selly sambil
memeluk tubuhku.
“Siapa?”
tanyaku sambil mengambil tas Selly dengan sebelah tanganku, dan mengecek apakah
hp dan dompet Selly masih ada di tas kecilnya yang mahal.
“Dev” bisik
Selly pelan.
Aku cukup
terkejut dengan kata kata Selly, karena sama seperti Selly, aku juga menyukai
Devano.
“Pacaran
dengan siapa?” tanyaku sambil mulai menarik tubuh Selly untuk berdiri.
“Mona, si
model brengsek itu. Kurang apa coba aku ini Ki, aku lebih cantik dari Mona
kan?”
“Ya, tentu
saja, kau lebih cantik dari Mona.”
“Aku pikir
Dev suka padaku, kami beberapa kali kencan, bahkan makan malam romantis, tapi…”
“Mungkin itu
cuma gosip Sel, maksudku tentang Dev dan Mona yang pacaran.”
“Gosip?
Tidak! Itu bukan gosip. Mona yang memberitahu langsung padaku tentang hal ini.
Tadi sore dia meneleponku.”
Oh sial, seperti Selly, tiba tiba aku juga
jadi patah hati.
~ ~ ~
Devano
adalah salah satu klien Selly. Selly punya perusahaan periklanan dan aku
bekerja untuk Selly.
Selly adalah
wanita yang mandiri, sementara orangtuanya berbisnis di bidang properti, ia
memilih membuka perusahaan sendiri di bidang periklanan. Ia tak mau bekerja di
perusahaan orangtuanya. Ia lulus S2 di salah satu universitas terkenal di
Jerman.
Dan aku
termasuk salah satu orang yang beruntung menjadi karyawannya karena saat Selly
merekrut aku dulu, - hampir lima tahun lalu -, aku juga baru lulus kuliah, jadi
tidak punya pengalaman kerja sama sekali, tapi bagi Selly itu tidak jadi
masalah, karena saat itu Selly bilang, kalau aku tidak diberi kesempatan
bekerja, kapan aku punya pengalaman.
Selly
termasuk orang yang easy going, simple dan tidak pernah
meributkan sesuatu yang tidak perlu. Ia juga sangat pengertian pada karyawanya
dan tidak mudah emosional.
Bekerja
dengannya benar benar asik. Teman teman kerja aku yang lain juga senang
bekerja dengan Selly. Kami menjadi tim yang kompak, maka tak usah heran, dalam
waktu lima tahun, perusahaan periklanan Selly, yaitu Bright Advertising,
sudah banyak menghasilkan iklan iklan keren dan mampu bekerjasama dengan klien
klien dari perusahaan besar, salah satunya perusahaan Devano.
Perusahaan
Devano adalah perusahaan kosmetik. Namun kosmetiknya adalah kosmetik
tradisional yang berbahan herbal, seperti lulur, pembersih wajah, hingga
parfum.
Perusahaan
kosmetik itu sebelumnya adalah perusahaan milik nenek Devano yang asli orang
Solo. Nenek Devano merintis usaha itu sejak lama, hampir tiga puluh tahun yang
lalu.
Nenek Devano
hanya mempunyai seorang puteri yaitu ibu Devano, tapi entah kenapa, ibu Devano
tidak tertarik meneruskan usaha ibunya, ia lebih suka hidup berhura hura
sebagai seorang sosialita. Dan karena Devano adalah anak tertua dari dua
bersaudara, maka nenek Devano mewariskan usaha itu pada Devano, sementara
Dinda, adik Devano yang perempuan, masih kuliah di jurusan kedokteran, Dinda
kelak ingin menjadi dokter spesialis kecantikan.
Produk
terbaru yang dikeluarkan perusahaan Devano adalah parfum dari bunga bunga
tropis seperti bunga kenanga, bunga matahari dan bunga melati.
Devano
meminta Bright Advertising untuk membuat iklan bagi produk terbarunya.
Beberapa
kali pertemuan pun diadakan antara Selly dan Devano untuk membahas detail iklan
seperti apa yang diinginkan Devano.
Aku ikut
dalam pertemuan mereka yaitu saat presentasi awal dan sebelum memulai produksi.
Untuk
pemilihan modelnya pun Devano meminta saran Selly, Selly lalu bertanya pada
karyawannya apa usul dari mereka, usulan itupun ditampung lalu diberikan pada
Devano. Pada tahap awal ada beberapa model yang terpilih, namun pada tahap
akhir hanya tiga model perempuan yang dicasting, dan Devano menentukan
pilihannya pada Mona.
Iklan parfum
itu sudah selesai dan sudah tayang di televisi, internet, billboard dan dimana
saja.
Beberapa
waktu setelah pengerjaan iklan itu, Selly akhirnya dekat dengan Devano, namun
ternyata malam ini Selly patah hati karena Devano berpacaran dengan Mona.
“Kau bawa
mobil aku ya?” ujar Selly saat kami berjalan ke arah mobil Selly.
“Ya,
iyalah,” seruku langsung, “mau ditangkap polisi apa kamu nyetir dalam keadaan
mabuk begini.”
“Ini benar
benar tidak adil Ki,” Selly menangis lagi, “aku mencintai Dev.”
“Ya, sudah,
yang sabar Sel, mungkin nanti perasaan cintamu akan hilang.”
“Tidak
mungkin! Tidak semudah itu!”
“Ssh, ya
sudah, sekarang kita pulang dulu, kau tidur dulu untuk menenangkan pikiranmu,
okey?”
BAB DUA
POV Kiara
Aku memperhatikan Riri yang sedang
mencoba beberapa baju baru. Siang ini aku dan Riri pergi ke Pondok Indah Mall
untuk berbelanja.
Riri adalah sahabat aku saat aku
kuliah dulu. Kami sama sama belajar di Fakultas Komunikasi di suatu perguruan
tinggi swasta di Jakarta. Namun kami berbeda jurusan, aku ambil jurusan advertising
sementara Riri jurusan public relations.
Sesuai jurusannya, Riri kini bekerja
sebagai seorang PR di sebuah hotel bintang lima di Jakarta.
“Kau yakin tidak mau beli Ki?” tanya
Riri untuk kesekian kalinya. Ia heran kenapa aku tidak berbelanja seperti dirinya.
“Tidak Ri, bajuku banyak, aku tidak
perlu baju baru sekarang.”
“Yeah, tapi…” Riri menghentikan kata
katanya sejenak, “tapi kau tetap datang kan ke acara reuni kita kan?”
“Aku tidak tahu, malam minggu ini aku
kerja di cafe Mas Bima.”
“Ijin sesekali kenapa sih, kerja
melulu,” Riri menggerutu. “Reuni ini tidak tiap tahun diadakan, kau tidak rindu
pada teman teman kuliah kita? Bagaimana kabar mereka sekarang? Apa pekerjaan
mereka?”
Itulah, keluhku dalam hati. Aku melihat
reuni justru sebagai ajang pamer, mereka yang berhasil akan membanggakan
keberhasilan mereka, sementara yang biasa biasa saja seperti aku, ya, cuma bad
mood saja dengan keadaan itu.
“atau karena kau tak punya pacar?”
tebak Riri lagi.
Itu juga. Keluhku dalam hati.
“Enggak kok,” elakku, “bukan karena
itu juga”.
“Kau dulu mau dijodohkan oleh buklikmu
dengan kenalannya kau menolak. Aku dong tidak, saat orangtuaku menjodohkan aku,
aku menerima, dan sekarang lihat, tahun depan kami akan menikah”
“Ri, please deh, aku akan
dijodohkan dengan seorang pria yang hampir seumuran dengan ayahku, dan kau
dengan seorang pilot muda yang tampan. Itu tidak adil.”
“Tapi pria yang seumuran ayahmu itu
kaya raya.”
“Aku bukan cewek matre. Aku bisa cari
uang sendiri.”
“bullshit. Semua perempuan itu
matre. Bohong saja kalau enggak. Lagipula wajar juga jadi cewek matre, daripada
cowok yang matre.”
“Terserah kamu saja Ri, yang jelas
aku tidak seperti itu,” protesku lagi. Mood aku menemani Riri berbelanja
tiba tiba jadi hilang.
~ ~ ~
Riri akhirnya berhasil membawa aku ke
acara reuni teman kuliahku. Ia dan tunangannya, Rangga, datang ke cafe Mas
Bima, kakak sepupuku, sambil membawa baju baru yang ia belikan untukku dan
meminta ijin pada Mas Bima untuk mengajak aku pergi.
Aku sebenarnya tetap malas untuk
pergi, tapi aku tak mau berdebat dengan Riri terutama ada Rangga disana.
Akhirnya aku menurut dan ikut dengan mereka.
Dan seperti dugaanku, teman temanku
sibuk membanggakan dirinya masing masing, apa pekerjaan mereka, siapa siapa
saja pacar mereka.
“Bisnis pacar aku di bidang
otomotif,” salah satu temanku, Becky, tampak semangat bercerita, “kami bertemu
secara tidak sengaja di suatu pameran mobil. Ya, namanya jodoh ya, gimana ya,
padahal saat itu aku pergi ke pameran itu bersama pacar aku, maksudku mantan
pacar aku, aku menemaninya untuk beli mobil, eh malah bertemu dengan Roy,
pacarku sekarang, disana.”
“Se.. sebentar, kamu bilang kamu
jodoh dengan Roy, memang kalian sudah menikah? Kok aku tidak dapat
undangannya?” Nella bertanya heran.
“Belum sih, belum menikah, tapi akan
menikah.” Jawab Becky sambil tersenyum lebar.
“Kita nggak pernah tahu apa yang akan
terjadi ke depan loh Becky, suami isteri saja bisa bercerai, apalagi ini baru
berencana mau menikah, siapa tahu tidak jodoh.”
“Amit amit, jangan bilang begitu dong
Nel, aku pasti berjodoh dengannya.”
“Ya, siapa tahu enggak.”
“Elu mendoakan yang buruk tentang
gue?”
“Enggak begitu, aku kan cuma bilang…”
Aku meninggalkan perdebatan itu.
Suara Nella dan Becky kini tak terdengar lagi. Itu yang bikin aku malas pergi
ke acara seperti ini. Orang orang berdebat untuk hal yang nggak jelas.
Tanpa sepengetahuan Riri, - karena ia
asik dengan Rangga - aku akhirnya memesan taksi dan kembali ke cafe Mas Bima, -
kakak sepupuku - dan meninggalkan acara yang menurut aku sangat membosankan
itu.
~ ~ ~
“Kiara apa kabar?” Mas Egi berteriak
ke arahku saat aku memasuki pintu cafe. Mas Egi dan Mas Andra, - keduanya
adalah sahabat Mas Bima, - sedang duduk disalah satu sudut cafe. Mas Egi melambaikan
tangannya agar aku menghampiri mereka. Aku menghampiri Mas Egi dan duduk di
hadapannya.
Mas Egi dan Mas Andra adalah dua
orang sahabat Mas Bima yang tak terpisahkan. Mereka bertiga bersahabat sejak
dari Taman Kanak Kanak.
Mereka seperti three Muskeeters
saking kompaknya. Mereka selalu mendukung satu sama lain. One for all, all
for one.
Usaha Mas Egi adalah di bisnis
restoran. Ia punya beberapa restoran Sunda di beberapa kota besar di Indonesia
seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Denpasar. Usaha restoran itu dirintis
oleh orangtua Mas Egi yang berasal dari Subang. Mas Egi hanya tinggal
meneruskan bisnis restoran keluarganya.
Sementara Mas Andra adalah seorang programmer.
Dengar dengar sih, Mas Andra sering bikin program game dan menjualnya secara
lepas, kebanyakan ia jual ke aplikasi di luar negeri. Dari hasil penjualan
programnya itu, konon katanya tabungan Mas Andra sudah mencapai sebelas digit.
Tapi Mas Andra tidak pernah memamerkan punya banyak uang, ia tetap hidup
sederhana, ia tinggal di rumah sendiri yang tidak terlalu besar, kemana mana ia
selalu naik vespa, padahal mobil sport mahal sepertinya mampu ia beli.
Hal itu sangat berbeda dengan Mas Egi yang sepertinya suka sekali gonta ganti
mobil keluaran terbaru.
Kalau tidak sedang bekerja di rumah,
biasanya Mas Andra bekerja di cafe Mas Bima seperti malam ini. Ia akan membawa
laptopnya, lalu duduk di salah satu kursi dan asik dengan pekerjaannya tanpa
menghiraukan suasana ramai di sekelilingnya.
Aku dulu, - tiga tahunan yang lalu -
suka pada Mas Andra. Tapi perasaanku tak terbalas, Mas Andra lebih memilih
Yola, salah satu karyawan Mas Bima daripada aku, dan mereka berpacaran hingga
sekarang. Sejak setahun lalu, Yola tidak bekerja untuk Mas Bima lagi karena Mas Andra memberi modal
pada Yola untuk membuka distro sendiriyang menjual baju, tas dan sepatu
untuk wanita wanita milenial jaman now. Distro Yola ada di daerah
Kemang. Kalau tidak sedang berada di cafe Mas Bima, Mas Andra pasti ada di distro.
Mas Egi juga sudah punya pacar, ia
seorang mahasiswi yang saat ini sedang kuliah di Bandung. Dari ketiganya, yaitu
Mas Bima, Mas Andra dan Mas Egi, hanya Mas Bima yang sudah menikah.
“Wah Kiara, kau cantik sekali, habis
darimana?” tanya Mas Egi sambil menatapku.
“Dari rumah teman, ada perlu,” ujarku
singkat, aku malas menjelaskan ini itu.
“Dengan dandanan seperti ini?” tanya
Mas Egi tak percaya.
“Yah, malam ini aku dandan agak
sedikit berlebihan sih,” sahutku.
“Tidak berlebihan kok, kau cantik,”
ujar Mas Andra tiba tiba.
“Terimakasih,” aku langsung tertawa.
“Jadi Mas Andra berani merayuku saat Yola tidak disini?”
“Itu bukan rayuan, itu pujian.”
Komentar Mas Andra sambil tangannya tidak lepas dari keyboard laptopnya alias
terus mengetik sesuatu.
“Ki, aku ada tebakan. Jawab ya.” Ujar
Mas Egi. Mas Egi dari dulu kalau bertemu aku sukanya main tebak tebakan.
Mungkin muka aku seperti teka teki silang. Tapi sayangnya tebak tebakannya
selalu garing alias mudah ditebak.
“Tebakan apa sih, jam sebelas malam
main tebak tebakan, yang benar saja.” Gerutuku.
“Memang tidak bolah main tebak
tebakan jam sebelas malam?”
“Nggak boleh, sudah malam. Tapi ya
sudah, apa tebakannya?”
“ikan, ikan apa yang ganteng?”
“I..kan bukan Mas Egi yang ganteng,
yang ganteng itu Leonardo DiCaprio.”
“Yah, kok kamu tega sih Ki, aku ini
idaman para wanita loh,”
“Iya, para wanita yang sedang dalam
pengaruh alkohol alias yang lagi pada mabuk, jadi mereka agak agak nggak sadar
gitu kalau suka sama Mas Egi.”
“Wah, benar benar, Kiki parah Bim,”
teriak Mas Egi ke Mas Bima, “masa dia bilang para cewek yang suka sama gue lagi
pada mabok.”
Mas Bima hanya tertawa sambil
melambaikan tangannya.
“Ya, lagian apa yang dilihat dari Mas
Egi coba, ganteng enggak, rese iya.” teriakku.
Mas Andra yang tadi serius dengan
laptopnya tiba tiba tertawa.
“Elu ngetawain gue?” Protes Mas Egi
pada Mas Andra, “kok tiba tiba elu ketawa sih?”
“A.. ada yang lucu di layar laptop
gue,” kelit Mas Andra.
“Mana? Apa yang lucu?” Mas Egi
menggeser laptop Mas Andra untuk melihat monitornya tapi Mas Andra cepat cepat
menutup laptopnya.
“Aku juga punya tebak tebakan,”
seruku.
“Apa?” tanya Mas Egi dan Mas Andra
hampir berbarengan.
“Kenapa anak babi jalannya nunduk?”
tanyaku.
“Karena malu emaknya babi.” Jawab Mas
Egi.
“Salah,” seruku.
“Lalu apa dong jawabannya?” tanya Mas
Egi lagi.
“Mas Andra apa jawabannya?” tanyaku
pada Mas Andra.
“karena anak babi itu sedang nyari
uang receh yang jatuh untuk jajan.”
“Babi jajan apaan sih!” Mas Egi
protes. “Ada ada saja.”
“Ya siapa tahu jajan permen karet
atau apa.”
“Jawabannya salah juga,” sahutku,
“anak babi jalannya nunduk Karena malu bapaknya ketahuan korupsi sama PPKKBB”
“Apaan tuh PPKKBB?” tanya Mas Andra.
“Perkumpulan Pemberantasan Korupsi
Keluarga Besar Babi.”
Mas Andra ketawa lagi, “aku juga
punya tebakan,” ujar Mas Andra.
“Apa?” tanyaku dan Mas Egi
berbarengan.
“Babi, babi apa yang jalannya maju
mundur?”
“Babi mabok,” teriakku.
“Dari tadi mabok melulu,” Mas Egi
tepok jidat. “Babi jalannya maju mundur Itu pasti babi yang lagi nyapu
jalanan.”
“Salah, itu babi lagi nyetrika baju,
maju mundur, maju mundur.”
POV Kiara
Sabtu siang ini aku ada di
Yogyakarta. Selain aku pulang untuk mengunjungi orangtuaku yang tinggal di
Sleman, aku juga harus menghadiri pernikahan kakak sepupuku, Mbak Santi.
Mbak Santi adalah adik dari Mas Bima.
Ayah Mas Bima dan ayahku adalah kakak adik. Ayah Mas Bima adalah kakak ayahku,
sementara ayahku anak bungsu. Mereka cuma dua bersaudara.
Berbeda dengan ayah yang merupakan
anak bungsu, ibu adalah anak sulung dari empat bersaudara. Buklik aku
yang dulu ingin menjodohkan aku dengan seseorang adalah adik kedua ibu, adik
ketiga dan keempat ibu adalah laki laki.
Aku sendiri anak kedua dari tiga
bersaudara yang semuanya perempuan.
Kakak aku Mbak Tari, sudah menikah
dan punya satu anak. Ia, suami dan anaknya tinggal di Kulon Progo.
Adik aku, Laras, kerja di sebuah
kantor advokat. Ia dulu kuliah di Fakultas Hukum UGM, ia sudah punya pacar
seorang pengacara yang merupakan bosnya ditempat ia bekerja.
Kabarnya sih pacar adikku ingin ia
dan Laras segera menikah. Dan aku sama sekali tidak keberatan kalau adikku mau
menikah lebih dulu dari aku. Tapi ibuku tidak setuju. Ibu tidak mau aku
dilangkahi. Itu sebabnya ibu ‘mendesak’ aku untuk cepat cepat cari suami. Ibu
tahun lalu bahkan meminta tolong adiknya, buklik Yayuk untuk mencarikan
aku calon suami.
“Kapan kamu nyusul Santi, Ki?” Buklik Yayuk
kini duduk disampingku sambil membawa puding di piring kecil, ia lalu memakan puding itu pelan pelan. Acara resepsi sedang berlangsung, tamu tamu nampak antri untuk bersalaman dengan pengantin. “Cepatlah cari pacar, jangan santai seperti ini.”
“Aku belum tigapuluh tahun buklik,
pernikahan itu tidak boleh tergesa gesa, pernikahan itu untuk jangka waktu yang
panjang loh, jadi nggak bisa grabak grubuk.”
“Ah, aku dan paklikmu cuma
kenal tiga bulan kemudian menikah, buktinya awet hingga sekarang. Menikah itu
tergantung niat, kalau niat kita ibadah, insyaallah akan langgeng.”
“Ya buklik beruntung punya
suami paklik yang sabar, lemah lembut, nrimo, mau mengalah, coba kalau buklik
punya suami yang pemarah, temperamental, tukang ngatur, pencemburu, memang
bisa bertahan selama ini?”
Buklik Yayuk diam.
“Aku berharap aku bisa dapat jodoh
yang baik dan mengerti aku,” ujarku lagi, “tapi kita tidak bisa memilih jodoh
kita ingin yang begini atau yang begitu, karena menurut keyakinanku Tuhan yang
memilihkan jodoh kita untuk kita sesuai apa yang kita butuhkan, bukan apa yang
kita inginkan. Tapi ada beberapa orang yang kurang beruntung yang mendapatkan
jodoh yang tidak pengertian, yang beda kepribadian, beda visi, beda pandangan
dan lainnya sehingga sering cekcok dan berujung dengan perceraian.”
“Kalau kau merasa takut seperti itu
terus, kapan kau menikahnya.” Protes Buklik.
“Aku tidak takut, buklik jangan salah paham. Aku
seperti ini karena memang belum ada saja orangnya, Tuhan belum mempertemukan
aku dengannya. Aku hanya sering berdoa saja agar aku mendapatkan yang terbaik.
Tapi Kalau belum ada aku harus bagaimana buklik?”
“Yah, teruslah berusaha,” ujar buklik
akhirnya.
“Aku tahu, itu yang sedang aku
lakukan sekarang.”
“Tapi usahanya jangan kelamaan, semakin lama kau menemukan
pasanganmu, semakin lama juga Laras menikah.”
“Aku sudah bilang pada ibu agar ia
memperbolehkan Laras menikah lebih dulu dari aku.”
“Ibumu tidak mau, ia kasihan padamu.”
“Kenapa aku harus dikasihani sih? Aku tidak apa apa kok. Aku baik baik saja.”
“Itu menurutmu, tapi pemikiran ibumu beda. Jadi orangtua itu susah Ki, selain
ia harus berusaha untuk mengerti perasaan anak anaknya, akan banyak juga
omongan yang tidak enak dari para tetangga, yang beginilah yang begitulah.”
“Ah, tetangga diurusin, sudah sih
acuhkan saja. Memang kita minta makan dari mereka apa. Kenapa sih hidup itu dibikin
ribet. Buklik harus menyakinkan ibu lagi agar pikiran ibu berubah. Aku
nggak mau dikejar kejar seperti ini terus.”
“Ya sudah, nanti buklik ngomong
lagi dengan ibumu.”
Setelah ngobrol denganku, buklik Yayuk
lalu pergi, tidak lama kemudian Mas Bima menghampiriku sambil memberikan aku
segelas soft drink.
“Aku mendengar sedikit percakapan
kalian.” Ujar Mas Bima sambil meminum minumannya. “Mau kucarikan?” senyumnya
kemudian.
“Calon suami?”
“Ya iyalah calon suami, masa
pekerjaan. Kau kan sudah bekerja. Di dua tempat malah.”
“Hahaha.”
“Aku ada teman, dia juga sedang
mencari calon isteri, namanya..”
“Katanya mau usaha, aku tadi dengar
kau ngomong sama buklikmu mau usaha. Begini yang namanya usaha? Coba dulu
Ki, siapa tahu berhasil.”
“Tidak sekarang. Maksudku untuk
dijodohkan tidak sekarang, aku mau mencari sendiri dulu.”
“Ya sudah, semoga berhasil kalau begitu.”
“Sama-sama, ngomong ngomong kamu
tetap tidak mau tinggal di kamar yang ada di atap cafe? Di sana kosong loh Ki,
daripada kamu tiap bulan harus keluar uang untuk bayar kos. Kan lumayan bisa
irit, uangnya bisa ditabung.”
“Tidak usah Mas, tapi terima kasih
tawarannya, aku suka dengan tempat kosku sekarang.”
“Ya sudah, kapan kau kembali ke
Jakarta?”
“Dua hari lagi, aku ambil cuti hari
senin dan selasa.”
“Aku pulang nanti malam. Ya sudah
sampai bertemu di Jakarta Ki, hati hati di jalan.”
“Makasih Mas Bim, hati hati juga di
jalan.”
~ ~ ~
Siang ini
aku makan siang bareng Selly. Selly yang mengajakku makan siang. Aku merasa
lega karena Selly sepertinya sudah pulih dari rasa galaunya karena patah hati.
Tidak
terlalu sering sebenarnya aku makan siang bersama Selly seperti ini karena
Selly lebih sering makan siang dengan para kliennya.
Selly tidak
dekat denganku saja, ia dekat dengan semua karyawannya. Ia juga suka mengajak
para karyawannya makan siang. Tergantung mood Selly maunya mengajak
siapa. Dan siang ini dia mengajakku.
“Makan yang
banyak Ki, kau kurus, ayo mau pesan apa lagi?” tawar Selly lagi.
“Tidak usah
Sel, makasih, gado gado yang aku pesan saja belum habis.”
“Yakin?”
tanya Selly. “Aku mau pesan siomay loh sekarang, kau mau?”
“Tidak,
tidak usah,” jawabku.
Selly tertawa,
“aku kalau lagi patah hati makannya suka banyak.”
“Katanya mau
move on, ayo dong semangat, kamu bisa.”
“Yeah, mudah
mudahan.”
“Masih
banyak Dev Dev lainnya, suatu hari nanti kau akan bertemu dengan Dev lain dan
jatuh cinta padanya.” Hiburku.
“Tapi Dev ini
lain, dia unik, kami sepemikiran tentang banyak hal. Punya banyak
kegemaran yang sama dan yeah, pokoknya orangnya asik sekali.”
“Contoh
kegemaran yang sama apa?”tanyaku.
“Makan,
nonton, travelling.”
“Ah, itu mah
standar, semua orang juga punya kegemaran makan, nonton dan travelling, banyak
cowok lain yang punya kegemara seperti itu.” Komentarku.
“Ok,
baiklah, tapi dia tampan. Dia tampan kan Ki?”
“Cowok
tampan juga banyak, Selly.”
“Ayolah
Kiara, masa sih kau tidak suka Dev? Dev sangat menyenangkan orangnya.”
Aku diam.
Aku juga suka pada Dev seperti Selly. Sangat suka malah. Tapi wanita
seperti Selly saja - yang cantik, trendi dan kaya - tidak berhasil menarik
perhatian Dev, apalagi wanita biasa seperti aku.
“Aku juga
suka Dev,” ujarku akhirnya.
“Tuh kan,” Selly
tertawa, “tidak ada wanita yang tidak jatuh cinta padanya.”
“Ya, tapi
yang beruntung Mona.” Sahutku.
Tawa Selly
terhenti, “aku benci pada Mona,” ujar Selly pelan.
“Sudahlah
Selly, berhentilah berharap. Lupakan Dev. Cinta tidak bisa dipaksakan, semangat!”
“Ya, kau
benar, aku akan berusaha melupakan Dev.”
“Itu bagus,”
senyumku, “ayo cepat, katanya tadi kau mau pesan siomay.”
“O, iya,”
Selly kembali tertawa, “kau yakin tidak mau Ki?”
Aku terdiam
sejenak, “ehm setelah dipikir pikir, boleh juga, sama seperti kamu, aku juga
suka makan banyak kalau sedang patah hati.”
“Kau patah
hati juga? Karena siapa?” tanya Selly terkejut.
“Tidak,
bukan,” seruku kaget, “maksudku aku juga suka makan banyak, baik saat sedang
patah hati maupun tidak, saat ini sih tidak sedang patah hati tapi sedang ingin
makan banyak seperti kamu yang sedang patah hati.”
Selly tampak
mencerna kata kataku, “aku tak mengerti maksudmu, tapi ya sudahlah aku akan
memesan siomay sekarang.”
“Ya Selly,
terima kasih,” ujarku sambil tersenyum.
“Sama sama.”
Aku
memperhatikan kepergian Selly dengan perasaan tak karuan, aku menyemangati
Selly agar melupakan Dev, tanpa aku tahu apakah aku bisa melupakan Dev juga
atau tidak.
Dev adalah
pria yang aku sukai setelah cintaku pada Mas Andra tak terbalas. Saat aku
menyukai Mas Andra dulu, aku tidak tahu apakah Mas Andra tahu perasaanku atau
tidak, - seharusnya sih dia tahu karena aku sering memperhatikannya, baik
secara diam diam ataupun secara langsung - tapi kemudian Mas Andra memberitahu
aku kalau Yola bukan teman biasa lagi untuknya tapi sudah menjadi pacarnya, aku
langsung patah hati. Butuh waktu tiga tahun bagiku untuk menghilangkan rasa
sayangku pada Mas Andra sebelum akhirnya aku menyukai Devano.
Aku tidak
tahu kenapa aku menyukai Devano, karena kalau bicara soal tampan, kupikir
penilaian kita pada seseorang pasti berbeda beda, tampan menurut aku belum
tentu tampan menurut yang lain.
Aku lebih
suka menggunakan kata ‘sangat menarik’ kalau harus mendeskripsikan Devano, ia
sopan, tutur katanya menyenangkan, dan rendah hati.
Aku bertemu
Devano lebih dulu dari Selly. Waktu itu Devano ke kantor untuk mencari Selly,
tapi Selly belum kembali dari makan siang bersama salah satu kliennya. Aku saat
itu bertugas di front office untuk menggantikan Della yang tidak masuk
karena sakit. Dan aku menyangka Devano datang ke kantor untuk melakukan
wawancara untuk mengisi posisi cameraman karena pada saat yang bersamaan
Mba Ana, bagian HRD sedang melakukan panggilan wawancara untuk bagian produksi.
Dev datang
ke kantor dengan menggunakan kemeja dan jeans, dan dia datang dengan
menggunakan ojek online karena terlihat dari dalam kantor saat ia turun dari
ojek, karena kaca kantor transparan. Aku saat itu tidak kepikiran
kalau Dev adalah salah satu klien dari perusahaan kosmetik besar.
Aku
mempersilahkan Dev duduk, lalu menawari ia minum, ia minta air putih saja.
Setelah memberikan air putih pada Dev, Mbak Ana meneleponku dan mengatakan
bahwa sesi wawancara selanjutnya akan dilakukan setengah jam lagi karena Mbak
Ana mau makan siang dulu karena ia belum makan siang, ia meminta padaku agar
menahan pelamar berikutnya yang datang agar jangan sampai pulang, karena
menurut mbak Ana sejauh ini ia belum menemukan orang yang pas untuk posisi yang
dicari.
Aku akhirnya
duduk di hadapan Dev dan mengajaknya ngobrol.
“Sudah ada
pengalaman?” tanyaku sok akrab.
“Pengalaman?”
tanya Dev bingung.
“Ya, dengan
kamera.”
“Dengan
kamera?”
“Kupikir
tempat ini cukup sepi, hanya kita berdua di sini, suaraku cukup jelas terdengar
kan?” ujarku mulai kesal.
“Ten.. tu,
terdengar sangat jelas.”
“Nah, jadi
kau bisa menjawab pertanyaanku tanpa bertanya balik,”
“Ya, tentu.”
“Jadi?”
“Jadi apa?”
“Ada
pengalaman tidak?”
“Dengan
kamera?”
“Astagfirullah,”
aku langsung istigfar.
“Ada, aku
punya pengalaman, tapi tidak banyak juga, tapi lumayanlah, hasil jepretan
fotoku lumayan bagus.”
“Kita nggak
butuh yang pengalamannya tidak banyak, kita butuh yang profesional.”
“Tapi
menurut ibuku hasil jepretan fotoku profesional. Ibuku sangat bangga padaku.”
“Semua ibu
pasti bangga pada anaknya. Tidak ada ibu yang tidak bangga pada anaknya. Ya
sudahlah, kita lihat saja nanti apa kau beruntung atau tidak.”
“Beruntung?”
Dev bertanya heran, “kupikir aku cukup beruntung punya kesempatan jalan jalan
ke tempat tempat indah untuk mengabadikan foto foto yang keren.”
“Bukan itu
maksudku, maksudku adalah mudah mudahan kau cukup beruntung diterima di sini.”
“Beruntung
diterima disini?”
“Diulang
lagi pertanyaannya. Capek deh.”
“Mbak
Kiara!” Tono tiba tiba berjalan ke arahku, Tono adalah office boy
dikantorku.
“Ya, ada
apa?” tanyaku pada Tono.
“Ibu Ana
bilang, wawancaranya dilanjutkan besok pagi, perutnya tiba tiba sakit,”
“Oh,
begitu,” sahutku.
Saat itu,
aku langsung meminta Dev pulang dan datang lagi besok pagi jam sembilan pagi.
Dev pergi tanpa bilang apa apa. Ia juga tidak bilang kalau ia datang untuk
bertemu Selly. Dan tentu saja, keesokan paginya dia tak datang lagi.
Aku bertemu
Dev lagi saat presentasi awal, - saat kami membicarakan konsep iklan apa
yang diinginkan Dev, - sekitar satu bulan sejak pertemuan pertamaku dengannya.
Selly yang memperkenalkan Dev padaku. Pipiku lagsung terasa panas saat tahu
kalau Dev adalah klien Selly dan bukan pelamar untuk posisi cameraman seperti
yang aku duga. Aku merasa malu, tapi aku pura pura bego. Saat itu Dev
hanya tersenyum lebar menatapku tanpa berkata apa apa. Hingga kini, aku tak
punya kesempatan untuk meminta maaf padanya. Dan dari sanalah rasa suka aku
pada Dev dimulai, sepertinya Dev orang yang menyenangkan, ia tak memperbesar
kesalah-pahaman aku padanya. Ia juga sepertinya tak terlalu memusingkan hal hal
yang cukup menjengkelkan di sekelilingnya. Setidaknya selama proses iklan itu
dibuat, kesan itu yang aku dapatkan dari seorang Devano.
~ ~ ~
BAB EMPAT
POV Author
Seorang wanita cantik setengah baya
sedang serius memperhatikan foto-foto di akun instagram anaknya. Wanita itu,
Audrey Adinegoro, adalah seorang sosialita yang sangat terkenal, ia
adalah ibu kandung Devano Adinegoro, seorang pengusaha muda yang sukses.
Foto yang diperhatikan Audrey adalah
foto Devano, anaknya, dengan Mona, pacar anaknya.
Pada mulanya, Audrey sangat senang
dengan hubungan mereka. Audrey adalah orang yang ramah. Ia tidak pernah
meributkan pacar anak-anaknya, ia selalu menerima mereka dengan tangan terbuka.
Devano
adalah anak pertama Audrey, sedangkan Dinda adalah anak keduansya. Ia hanya
punya dua orang anak.
Devano cukup
sering ganti pacar sedangkan Dinda termasuk awet berpacaran. Pacar Dinda adalah
teman kuliahnya yang sama sama calon dokter, mereka berpacaran sudah empat
tahun. Sementara Devano baru berpacaran tiga bulan dengan Mona. Tapi Mona baru
diperkenalkan pada Audrey satu bulan yang lalu.
Seperti
sebelum sebelumnya ketika Devano memperkenalkan pacarnya padanya, Audrey selalu
antusias. Begitupun halnya dengan Mona. Mona sangat cantik, ia blasteran
Indonesia - Inggris, ibunya orang Indonesia sedangkan ayahnya orang Inggris.
Dan Audrey sangat menyukai Mona. Dan mengagumi kecantikannya.
Audrey
berharap Mona adalah pacar yang diseriusi Devano sehingga mereka bisa menikah
dalam waktu cepat. Menurut Audrey umur Devano sudah cukup untuk berumah tangga.
Ia ingin segera punya cucu sehingga rumahnya yang besar tidak terasa sepi lagi.
Audrey hanya
tinggal berdua dengan suaminya di rumah besarnya sejak anak anaknya kuliah.
Dulu,
sebelum bekerja, Devano kuliah di Perancis, dan setelah bekerja ia tinggal di
apartemennya di daerah Senayan. Sementara Dinda, sejak kuliah di kedokteran UI,
ia kos di sekitar kampusnya.
Suami Audrey
juga masih bekerja. Ia punya bisnis di bidang makanan. Ia memproduksi makanan
ringan dan menjualnya ke supermarket supermarket dan mini market mini market
yang ada di Indonesia. Pabrik makanan ringan milik suaminya ada di Tangerang
sementara kantor pusatnya ada di daerah Sudirman. Suami Audrey cukup sering
bolak balik Jakarta Tangerang untuk bekerja.
Pada saat
Devano ditawari untuk mengelola perusahaan kosmetik oleh neneknya, ayah Devano
tidak setuju. Ia ingin Devano melanjutkan bisnis yang ditekuninya. Ia mempersiapkan
bisnis itu untuk Devano. Tapi karena nenek Devano cukup ngotot agar Devano
bekerja dengannya, ayah Devano pun mengalah. Ia akhirnya berharap bahwa cucunya
nanti yang akan melanjutkan bisnis yang sudah dirintisya itu, karena kalau
mengandalkan Dinda tidak mungkin, Dinda lebih memilih profesi dokter daripada
seorang pengusaha.
Karena suami
dan anak anaknya sibuk, akhirnya Audrey pun mencari kesibukan sendiri dengan
teman teman sosialitanya. Ia sering jalan jalan keluar negeri untuk
berbelanja ini itu.
Itulah
kenapa ia ingin Devano cepat cepat menikah. Ia ingin segera punya cucu, karena
mungkin dengan adanya cucu ia bisa mengisi waktu luangnya dengan mengurus
cucunya.
Dan karena
keinginannya agar Devano cepat menikah, Audreypun mengundang Mona makan siang
berdua dengannya, dua minggu setelah Devano memperkenalkan Mona padanya. Audrey
ingin mengenal keluarga Mona lebih dekat. Ia ingin ngobrol akrab dengan Mona.
Tapi dari
hasil obrolan itulah, Audrey akhirnya menentang habis habisan hubungan Devano
dan Mona. Audrey belum mengatakan keberatannya pada Devano karena ia belum
bertemu dengan anaknya, tapi kelak, ia akan meminta Devano untuk segera
memutuskan hubungannya dengan Mona.
Audrey
akhirnya menelepon sahabatnya, Jennie untuk meminta saran pada Jennie apa yang
sebaiknya ia lakukan.
~ ~ ~
POV Author
Jennie
datang satu jam setelah Audrey meneleponnya. Sama dengan Audrey, Jennie tidak
punya banyak kesibukan yang berarti. Anak anaknya sudah besar. Ia punya dua
orang anak, laki laki semua, dan dua duanya sudah bekerja di perusahaan milik
keluarga mereka yang bergerak di bidang transportasi. Mereka punya usaha travel
yang tersebar di beberapa kota besar di Indonesia.
Jennie
disambut dengan pelukan hangat dari Audrey, mereka lalu duduk di pinggir kolam
renang di rumah Audrey. Audrey menyuguhi Jennie jus mangga dan kue kering
almond kesukaan Jennie. Matahari tidak terlalu terik bersinar siang itu,
sehingga mereka duduk dengan nyaman di pinggir kolam dan merasa tidak
kepanasan.
“Coba
perhatikan ini, bagaimana menurutmu?” tanya Audrey sambil memperlihatkan foto
Mona di tablet miliknya. Jennie tidak tahu tentang Mona, Audrey baru mau
memberitahunya sekarang.
“Cantik,
sangat cantik, siapa dia?”
“Pacar Dev
sekarang.”
“Wow, Dev
sudah putus dengan Ambar?”
“Ya,” Audrey
mengangguk.
“Itu anak
benar benar ya, padahal kurang apa coba Ambar, dia sangat baik dan
menyenangkan.”
“Aku setuju
denganmu, tapi ya, yang menjalani kehidupan kan anakku, bukan kita, aku tidak
ingin mengatur dia, tapi…”
“Tapi apa?”
“Pacar Dev sekarang,
namanya Mona, ternyata anak Mita.”
“Mita?”
Jennie bertanya heran. “Mita siapa?”
“Teman SMA
kita.”
“Teman SMA?
Sebentar” Jennie nampak merenung, “seingatku tidak banyak teman kita yang
bernama Mita saat SMA dulu, Ya Tuhan, apakah dia anak Sasmita?”
“Yap.”
“Sasmita
musuh bebuyutanmu?!” teriak Jennie tak percaya.
“Itulah
kenapa aku tidak setuju dengan hubungan Dev.”
“Kau sudah
menyatakan keberatanmu pada Dev?”
“Belum, aku
perlu ngobrol dulu denganmu, apa sebaiknya yang harus kulakukan.”
“Audrey,
kejadian antara kau dan Mita kan sudah terjadi puluhan tahun lalu, lupakanlah,
maafkanlah dia. Jangan karena masalah di masa lalu kau jadi tidak perduli
dengan kebahagiaan anakmu sekarang.”
“Tapi
Jennie, aku tidak bisa membayangkan kalau Mita jadi besanku.”
“Memang
hubungan Dev sudah sampai tahap yang serius?”
“Tidak juga
sih,”
“Lalu apa
yang kau khawatirkan?”
“Tapi kalau
kemudian serius bagaimana? Aku harus mencegahnya dari sekarang!”
“Ya sudah,
tenangkan dirimu, sebelum mengatakan apapun pada Dev, kau lihat saja hubungan
mereka seperti apa, siapa tahu Dev putus dengan Mona seperti ia putus dengan
Ambar.”
“Tapi kalau
hubungan mereka semakin serius bagaimana? Akan semakin sulit bagi Dev nanti
untuk berpisah dengan Mona.”
“Ya sudah,
biar aku yang ngobrol dengan Dev nanti. Kau benar, semakin didiamkan akan
semakin rumit, biar aku ngobrol dengan Dev tentang keberatanmu.”
“Sungguh
Jennie?” teriak Audrey gembira.
“Ya.”
“Terima
kasih. Aku tahu kau bisa kuandalkan.”
“Sama sama.
Tapi jangan berharap banyak. Aku tidak tahu apa tanggapan Dev nanti setelah aku
memberitahu padanya tentang keberatanmu.”
“Tidak apa
apa, Jennie, coba saja dulu.”
“Ok, akan
aku coba.”
~ ~ ~
POV Author
Memasuki
kantor Devano selalu memberi kesenangan tersendiri bagi Jennie. Setelah
mengambil alih usaha neneknya, Devano membuka kantor pusat di wilayah Senayan
untuk usaha kosmetik warisan neneknya itu.
Kantor
awalnya ada di Solo, selain kantor, di Solo juga terdapat pabrik kosmetiknya.
Tapi Devano tidak mau bekerja di Solo, ia maunya bekerja di Jakarta, sehingga
ia mengelola semuanya di kantornya di Jakarta, sementara produk-produk kosmetik
yang dihasilkan di pabrik, didistribusikan langsung ke seluruh Indonesia
termasuk juga ke kantor pusat.
Kantor
Devano terdiri dari lima lantai. Devano berkantor di lantai tiga. Lantai satu
ia khususkan untuk display kosmetik yang ia jual. Orang orang yang membeli
kosmetik secara langsung di lantai satu itu akan mendapat diskon.
Itulah
kenapa Jennie suka pergi ke sini, walau uangnya cukup banyak, tetap saja ia
selalu suka dengan barang barang yang mendapat diskon.
Dan karena
aneka kosmetik ada di lantai satu termasuk parfum keluaran terbaru yang
iklannya dibintangi Mona, maka memasuki lantai satu, wangi semerbak dari aneka
parfum akan langsung tercium. Belum lagi SPG SPG cantik yang siap membantu
pelanggan yang datang, menambah kesenangan Jennie untuk berlama lama di tempat
itu. SPG SPG itu sangat ramah dan siap membantu Jennie kapan saja.
Lantai dua,
Dev peruntuklan untuk kantor para stafnya. Transaksi jual beli biasanya
dilakukan disini, para rekan kerja yang datang untuk melakukan deal deal
biasanya dilakukan disini.
Lantai tiga
adalah ruang kerja Dev, termasuk ruang beberapa sekretarisnya, serta ruang
rapat dan presentasi.
Lantai empat
adalah gudang. Semua produk kosmetik yang baru diproduksi yang dikirim dari
Solo langsung disimpan di lantai empat.
Sementara
lantai lima adalah cafetaria dan food court. Devano menyewakan lantai
lima untuk para pebisnis makanan. Ada banyak makanan disana, mulai dari fast
food sampai aneka makanan tradisional Indonesia ada di lantai lima. Rujak
juga ada. Rujak uleknya terkenal sangat enak. Orang yang membeli rujak kalau
sedang antri harus memakai nomor segala, seperti di rumah sakit atau bank,
ambil nomor.
Dengan
adanya tempat makan di lantai lima, memudahkan para karyawan Devano untuk makan
siang.
Tapi karena
tempat itu terbuka untuk umum, yang datang ke tempat itu bukan hanya karyawan
di perusahaan kosmetik itu saja, tapi juga karyawan karyawan lain yang
kantornya berdekatan dengan kantor Devano. Ada lift yang langsung
menghubungkan lantai satu dengan lantai lima.
Dan Jennie,
siang ini janji bertemu dengan Devano di salah satu cafe yang ada di lantai
lima.
Jennie
sebenarnya ingin melihat lihat parfum dulu di lantai bawah, tapi karena Devano
sudah menunggunya, ia menunda membeli parfum. Ia akan membelinya setelah
pertemuannya dengan Devano nanti selesai.
Devano
nampak melambaikan tangannya ketika Jennie celingukan mencarinya.
Jennie langsung
menghampiri Devano sambil tersenyum lebar.
“Apa kabar
Sayang?” katanya sambil cipika cipiki dengan Devano.
“Baik tante,
tante apa kabar?”
“Baik juga,
alhamdulillah sehat.”
“Om sehat
juga? Biyan? Erri?”
“Sehat,
semua sehat, anak anak tante sehat semua.”
“Syukurlah.”
Ujar Devano sambil tersenyum. “Duduklah tante, tante mau pesan apa?”
“Mochacinno
saja.”
“Makannya?”
“Tidak,
tidak usah, tante sudah makan tadi.”
“Ya sudah,
aku pesankan snack saja ya.”
“Oke Dev,
terima kasih.”
“Ya, sama
sama.” Dev berjalan ke seorang pelayan yang berlari tergopoh gopoh
menghampirinya, lalu mengatakan pesanannya dan ia kembali ke arah sahabat
ibunya dan duduk di hadapannya.
“Perasaan
tambah ramai saja di sini.” Komentar Jennie saat Dev duduk dihadapannya.
“Jam makan
siang seperti ini memang selalu ramai, tante. Sepertinya orang datang dari mana
mana.”
“bukan,
bukan itu, maksudku, yang jualannya tambah ramai, tambah beraneka ragam,
masakan Jepang bahkan ada. Tante baru melihatnya, padahal sudah beberapa kali
tante ke sini.”
“Ya, mereka,
para penjual makanan itu, kreatif, selalu saja ada ide baru dari mereka, mereka
sepertinya menjual semuanya disini.”
“Ya,” Jennie
tertawa, “kau sering memesan makanan ke kantormu dan makan di kantormu atau
makan disini?”
“disinilah
tante, bosan di kantor melulu.”
“Tidak makan
di tempat lain? Di Ancol misalnya? Makanan lautnya enak loh disana.”
“Seafood disini
juga ada, segar segar juga ikan dan kerangnya. Kata penjualnya sih langsung
beli di Muara Karang tiap subuh.”
“O, ya?”
“Ya. Tante
mau aku pesankan? Enak loh.”
“Tidak usah,
lain kali saja.”
“Oke, jadi
ada apa nih sebenarnya? Tidak biasanya tante mau ngobrol denganku seperti ini.”
“Bukan
sesuatu yang serius juga, Dev, tapi kupikir tetap perlu dibicarakan.”
“Tentang?”
“Hubunganmu
dengan Mona.”
Devano
nampak termenung, lalu dia menatap Jennie heran, “Tante kenal Mona?”
“Tidak
secara langsung, tante belum pernah bertemu dengan Mona, begini Dev, Mamamu
tidak suka pada Mona karena…”
“Seingatku,”
potong Devano langsung, “Mama tidak terlihat tidak suka saat pertama kali
kukenalkan Mona padanya.”
“Itu karena
mamamu belum tahu kalau mamanya Mona adalah musuh bebuyutan mamamu.”
“Musuh
bebuyutan?” Devano kaget, tapi kemudian dia tertawa, “dan kapan itu?”
“Waktu SMA.”
“Ya Tuhan
Tante, itu bertahun tahun yang lalu. Kalau bisa, dalam hidup ini kita tidak
boleh punya musuh loh Tante.”
“Ya, tante
setuju, tapi Mamamu sepertinya tidak bisa melupakan kejadian yang menyakitkan
dalam hidupnya.”
“Kejadian
yang menyakitkan? Mama terlihat baik baik saja selama ini.”
“Begini Dev,
dulu, sebelum Mamamu menikah dengan papamu, Mamamu punya pacar, dia adalah
sahabat masa kecilnya yang juga tetangganya, namanya Arman.”
“Sahabat
masa kecilnya di Solo?” tanya Devano.
“Ya iyalah
di Solo, masa di Papua. Mamamu kan tinggal di Solo dengan kakek dan nenekmu
sejak kecil.”
“Oke, lalu?”
“Arman
adalah seorang idola di sekolah. Ia selalu menjuarai olimpiade matematika yang
diadakan sekolah atau kejuaraan kejuaraan lainnya yang diadakan antar sekolah.
Ia juga salah satu pelari handal kebanggaan sekolah.”
“Wow, aku
harus bilang wow.”
“Dev, serius
ah.”
“Yang bilang
bercanda siapa. Aku kagum padanya, makanya aku bilang wow.”
“Singkat
cerita, banyak gadis gadis yang suka pada Arman, termasuk Mita, mamanya Mona.”
“O..ke,
kupikir aku mulai mengerti kemana arah jalan ceritanya. Mama Mona kemudian
merebut Om Arman dari Mama?”
“Anak
pintar. Tepat sekali. Entah bagaimana caranya, Mita berhasil merebut Arman dari
mamamu, lalu mamamu patah hati, dan menganggap Mita sebagai musuh besarnya
hingga sekarang.”
“Tapi kan
sekarang sudah ada aku, ada Dinda, Mama sudah menikah dengan Papa, masa
sedihnya berkepanjangan?”
“Mungkin
mamamu sudah tidak patah hati lagi sekarang, tapi..”
“Kalau
begitu masalah terpecahkan,” potong Dev, “Mama tidak boleh menganggap Mama Mona
sebagai musuhnya lagi kalau sudah tidak patah hati.”
“Tidak
sesederhana itu Devano. Mamamu tetap tidak bisa menerima Mona sebagai pacarmu.”
“Tante, yang
pacaran kan aku, bukan Mama.”
“Tante tahu,
tapi cobalah untuk mengerti perasaan mamamu.”
“Jadi maksud
Tante aku harus putus dengan Mona?”
“Sepertinya
menurut mamamu itu yang terbaik.”
Dev nampak
terdiam, “tapi itu tidak mungkin Tante, aku menyukai Mona dan lagi pula…”
“Lagi pula
apa?” tanya Jennie.
“Pria yang
bernama Arman itu dimana sekarang? Ayah Mona kan bule. Mama boleh marah
kalau Mama Mona menikah dengan Om Arman lalu lahir Mona, tapi ayah Mona bukan
Om Arman.”
“Ya, kau
benar juga. Kau bicara saja dengan Mamamu oke? Tante sudah menyampaikan apa
yang menurut tante harus tante bicarakan denganmu.”
“Ya, tante,
terima kasih, nanti aku bicara dengan Mama.”
“Sama sama.”
“Tapi Tante,
aku jadi penasaran dengan kehidupan Om Arman sekarang, Tante tahu dia dimana”
tanya Dev.
“Tidak,
tante tidak tahu dan memang tidak mau mencari tahu.”
“Kalau
dengan Mama bagaimana? Menurut Tante Mama tahu dimana Om Arman sekarang?”
“Kurasa
tidak juga. Setelah putus dengannya dulu, Mamamu tidak mau tahu lagi tentang
keadaan dirinya. Kenapa sih kau bertanya tentang Arman?”
Dev tertawa,
“penasaran saja.”
“Tanya saja
pada ibu Mona, siapa tahu dia tahu.” Ujar Jennie.
“Ah ya!
Tante benar, kapan kapan kalau aku ada kesempatan ngobrol dengan ibu Mona, akan
aku tanyakan.”
~ ~ ~
POV Author
Jennie
memperhatikan parfum parfum yang baru diborongnya dengan gembira. Ia sedang
duduk di dalam mobil dengan disupiri supir pribadinya.
Ia baru
meninggalkan kantor Devano setelah memborong parfum keluaran terbaru dari
perusahaan Devano.
Ia akan
membagikan parfum itu pada keluarga besarnya. Keponakan keponakannya, sahabat
sahabatnya. Ia tak punya anak perempuan sehingga ia tak mungkin memberikan
parfum itu pada anak laki lakinya. Perusahaan Devano belum mengeluarkan produk
parfum untuk laki laki.
Tiap kali
berbelanja, Jennie selalu mempunyai semangat yang lebih besar dari biasanya. Ia
sangat antusias kalau sudah berbelanja. Ia berharap bisa cepat cepat punya
menantu, sehingga bisa diajak berbelanja bareng. Ingat menantu, ia tiba tiba
ingat Audrey. Sejak bicara dengan Devano ia belum menelepon Audrey. Sama
seperti dirinya Audrey juga ingin cepat cepat punya menantu.
Jenniepun
langsung menelepon sahabatnya dan menceritakan pembicaraannya dengan Devano
termasuk reaksi Devano saat ia diminta untuk memutuskan hubungannya dengan
Mona.
“Jadi Dev
keberatan?” tanya Audrey.
“Ya,
sepertinya begitu.”
“Dia lebih
sayang orang lain dari mamanya sendiri!” teriak Audrey kesal.
“Drey, apa
tidak sebaiknya kau berdamai saja dengan MIta dan…”
“Tidak, aku
tidak bisa melakukan itu. Tindakan Mita dulu sudah menyakiti hatiku begitu
dalam.”
“Tapi yang
menyakiti hatimu bukan Mita saja, Arman juga. Kau tidak bisa menyalahkan Mita
saja.”
“Tapi yang
berpacaran dengan anakku bukan anak Arman, tapi anak Mita. Kalau Arman punya
anak perempuan dan berpacaran dengan Dev, aku juga akan menentangnya.”
“Ya
sudahlah, terserah kau saja. Dev nanti akan bicara denganmu. Tolonglah, kalian
jangan bertengkar, oke?”
“Entahlah,
lihat saja nanti.”
“Audrey,
kumohon, mengertilah anakmu dan sayangi dia. Kejadian ini sudah bertahun tahun
yang lalu dan..”
“Yang harus
mengerti dan menyayangi Mamanya itu Dev, bukan sebaliknya!”
“Ya sudah, good
luck kalau begitu.”
“Oke.”
~ ~ ~
BAB LIMA
POV Kiara
Aku
memperhatikan Selly yang sibuk memasukkan barang barangnya ke dalam box dengan
perasaan sedih. Aku masih tak percaya Selly akan pergi dari Bright
Advertising yang sudah dibangunnya dengan susah payah.
Selly
memutuskan menjual Bright Advertising pada salah satu rekan bisnisnya
yang juga teman kuliahnya, dan akan pergi ke Gianyar, Bali dan menetap disana.
Semua aset
perusahaan otomatis akan berpindah tangan ke pemilik yang baru, sementara untuk
para karyawan, menurut Selly nanti akan ada penilaian kinerja, karena pemilik
baru ingin ada efisiensi kerja sehingga perampingan karyawan perlu dilakukan.
Jadi ada kemungkinan beberapa karwayan akan dipertahakan dan beberapa yang
lainnya akan dipecat.
Aku pasrah
saja kalau kelak sudah tidak diinginkan Bright Advertising lagi. Aku
cukup punya pengalaman, aku akan mencoba mencari pekerjaan lain. Tapi yang
membuat aku sedih adalah aku kehilangan Selly. Suasana di tempat kerja jelas
berbeda tanpa kehadiran Selly.
Selly
mempunyai masalah keluarga. Ayah dan ibunya baru saja bercerai. Ayahnya
selingkuh dengan sekretarisnya sehingga ibunya meminta cerai.
Setelah proses cerai dilakukan, ibunya memutuskan untuk menetap di Gianyar, Bali. Ibu Selly punya villa di Gianyar, dan setelah bercerai, ibu Selly memutuskan untuk tinggal di villanya itu dan menetap disana. Selly akan ikut ke Gianyar untuk menemani ibunya.
“Kau
seharusnya tidak harus menjual Bright Advertising,” ujarku pelan sambil
memperhatikan Selly yang masih sibuk membereskan barang barangnya. “Kau bisa
pulang pergi Bali Jakarta.”
“Sampai
kapan Kiara?” tanya Selly memperhatikan aku sekilas, “lama lama aku akan merasa
capek.”
“Kau
sebenarnya tidak punya kewajiban untuk menemani ibumu Selly, kau sudah besar,
kau bisa menentukan arah jalan hidupmu seperti apa. Kau bisa tetap tinggal di
Jakarta.”
“O, ya?”
seru Selly putus asa, “dan membiarkan ibuku depresi sendirian?”
Aku diam.
Selly lalu
duduk di kursinya lagi, di hadapanku, “aku satu satunya anak yang ia punya Ki.
Aku anak tunggal. Kalau aku punya adik, mungkin aku akan mengandalkan adikku
untuk bergantian menjaga ibuku, tapi aku tak punya adik. Aku harus ada
disamping ibuku, sampai depresinya hilang.”
“Lalu kenapa
kau menjual perusahaan ini? Setelah ibumu baik baik saja, kau bisa kembali
bekerja disini.”
“Aku pergi
tidak tahu untuk berapa lama. Tidak ada kepastian untuk hal ini Kiara.
Sementara perusahaan ini harus terus berjalan. Mengertilah. Ini yang terbaik.”
“Kau akan
bekerja apa di Gianyar?” tanyaku kemudian, “tidak mungkin kan kau akan menemani
ibumu seharian di rumah, kau pasti akan bosan.”
“Aku…” Selly
tampak berpikir, “entahlah aku akan melakukan apa, aku pasti akan melakukan
sesuatu, tapi dilakukan disana, di sekitar ibuku, aku tidak bisa jauh darinya.”
“Ya tentu,”
sahutku, “aku lupa, kau punya banyak uang, tidak melakukan apapun kau tidak
akan kekurangan.”
“Ki, jangan
sinis begitu dong.”
“Maaf, aku
hanya… merasa kehilangan. Kita membangun perusahaan ini sama sama Selly.
Maksudku, saat kau mendirikan perusahaan ini, akupun baru lulus kuliah. Ini
kantor pertamaku. Pengalaman pertamaku bekerja adalah di kantor ini.”
“Ya,” Selly
tersenyum, “mudah mudahan kamupun betah bekerja dengan pemilik baru.”
“Apa dia
orangnya menyenangkan seperti dirimu?” tanyaku.
“Aku tidak
terlalu akrab dengannya. Dia teman kuliahku. Tapi dia seorang wanita yang
mandiri dan pekerja keras dan sedikit ambisius.”
“Sudah
berkeluarga?”
“Sudah, tapi
belum punya anak. Ia dan suaminya sama sama pekerja keras.”
“Oh,
begitu.” Sahutku pelan.
“Sudah,
jangan bersedih terus. Bilang teman teman, malam ini kita akan makan sea
food di Muara Karang sampai puas, aku yang traktir. Anggap saja sebagai
perpisahan.”
“Perpisahan
itu ke Bali, makan malam di pinggir pantai di Jimbaran, bukan ke Muara Karang,”
sahutku pura pura kesal.
“Baik, tidak
masalah, bilang teman teman, perpisahan kita ke Bali, aku yang traktir.”
“Serius?”
teriakku tak percaya.
Selly
mengangguk sambil tersenyum. Aku langsung berlari memeluknya untuk mengucapkan
terima kasih.
~ ~ ~
POV Kiara
Aku
menghirup udara kuat kuat saat menginjakkan kaki di pantai Geger. Pantai Geger
terletak di Kecamatan Kuta Selatan, kabupaten Badung, Bali. Pantainya sangat
indah. Banyak anak anak berenang dan bermain pasir di pantai ini.
Aku selalu
suka Bali, dan pantai pantainya yang indah. Menurutku Bali sangat eksotik.
Keindahan pemandangan di Bali benar benar luar biasa. Aku tak pernah bosan
pergi ke Bali.
Sudah empat
kali aku pergi ke Bali. Saat perpisahan SMA dulu, lalu pergi liburan dengan
teman teman kuliahku. Pergi liburan dengan keluargaku dan sekarang, pergi
dengan teman teman kerjaku dalam rangka perpisahan dengan Selly.
Selly
memesan beberapa kamar cottage di pinggir pantai di Nusa Dua ini. Ada
sekitar dua puluh orang yang ditraktir Selly pergi ke Bali. Karena ternyata
tidak semua karyawan bisa ikut karena ada kepentingan dengan keluarga mereka.
Kamar kamar cottage
itu sangat cantik. Selain tempat tidur, teras dan kamar mandi yang nyaman,
juga dilengkapi dapur mungil, belum lagi teras yang dilengkapi kursi santai
dengan bantal bantalnya yang empuk. Cottage ini sangat cocok untuk
libura bersama keluarga. Tiap tiap cottage bisa muat untuk satu keluarga
jika kita meminta tempat tidur ekstra. Tapi Selly membooking tiap cottage
diisi oleh dua orang. Aku sekamar
dengan Della, resepsionis di kantorku.
Rencananya
kepergian ke Bali ini dilakukan selama tiga hari dua malam. Kami tidak
menggunakan jasa tour and travel sehingga semua acara kami susun
sendiri.
Kami
berencana mengunjungi beberapa tempat rekreasi seperti Bedugul, Tanah Lot, dan
beberapa pasar tradisional untuk berbelanja.
Makan malam
pertama kami akan masak sendiri, dengan cara mengadakan barbeque di
pinggir pantai, tidak jauh dari tempat kami menginap.
Sementara
makan malam kedua akan diadakan di pinggir pantai juga di Jimbaran.
Untuk menyiapkan
makan malam hari ini, yaitu makan malam hari pertama, kami dibagi menjadi tiga
tim, yaitu tim yang berbelanja, tim yang menyiapkan perlengkapan memasak,
termasuk mempersiapkan alat bakar, piring dan gelas, dan lain lain, dan tim
yang memasak.
Berdasarkan
hasil undian yang dikocok, namaku keluar sebagai tim yang berbelanja bersama
sama dengan Tara dan Wina.
Aku akhirnya
menyanggupi untuk menyetir mobil yang kami sewa untuk berbelanja. Aku pernah
berbelanja ikan segar dengan keluargaku dulu sehingga aku tahu tempatnya.
Aku
berencana belanja ikan segar di pasar ikan Kedonganan, masih di wilayah Badung.
Di pasar ikan ini dijual ikan segar dari para nelayan langsung.
Selain ikan
segar, ada banyak kerang, cumi cumi, udang dan lobster juga yang dijual. Harganya
pun bervariasi, untuk ikan segar sekitar 25 ribu rupiah per kilogramnya. Kerang
10 ribu rupiah per kilogram, udang 65 ribu rupiah per kilogramnya dan lobster
125 ribu rupiah perkilogramnya.
Sebenarnya
kalau kita malas memasak ikan yang kita beli, ada jasa pengolahan ikan segar di
pasar Kedonganan. Kita bisa meminta ikan yang kita beli untuk dimasak baik
dengan cara dibakar, digoreng atau dimasak sesuai pesanan kita. Tapi karena
kita akan memasak sendiri ikan ikannya, jadi tugas aku, Wina dan Tara hanya
berbelanja saja.
~ ~ ~
POV Kiara
Acara barbeque
malam ini berjalan sangat sukses. Teman temanku yang berada di Tim memasak
tidak saja membakar ikan, kerang, udang, cumi cumi dan lobster, tapi juga
membakar ayam dan sosis. Selain seafood ada juga lalapan, sayur dan nasi
putih.
Sebagai
pencuci mulut, buah buahan dan puding beserta flanya turut disediakan.
Aku juga membantu menyiapkan minuman soft drink dan air putih.
Semuanya
makan dengan lahap, kami makan sambil ngobrol, dan tertawa tawa ceria.
Di akhir
acara makan malam, sebelum tidur, kami semua memberikan kado pada Selly untuk
kenang kenangan, aku yang mengkoordinir teman teman untuk menyiapkan kado untuk
Selly, tidak harus mahal kadonya, yang penting ikhlas memberikannya pada Selly.
Selly sampai
menangis terharu menerima kado kado itu. Selly berharap pertemanan kami tidak
berakhir sampai di sini, tapi kalau bisa terus berlanjut sampai tua nanti.
Aku benar
benar sedih melepas Selly pergi. Malam ini, aku kehilangan seorang sahabat yang
baik hati.
~ ~ ~
BAB ENAM
POV Kiara
Langit Jakarta siang ini nampak
mendung, semendung hatiku. Sudah hampir dua bulan Selly pergi dan kini aku
bekerja dengan bos baruku, ibu Dewi.
Selly dan ibu Dewi ternyata sangat
berbeda 180 derajat. Selly orangnya pengertian dan sabar, sementara ibu Dewi
orangnya pemarah dan tidak sabaran.
Setidaknya sudah ada lima orang
temanku yang jadi korban pemecatan yang dilakukan oleh ibu Dewi. Ibu Dewi benar
benar melakukan perampingan karyawan seperti rencana semula saat ia mengambil
alih perusahaan Selly. Dan hal itu ia lakukan seminggu setelah ia memimpin Bright
Advertising.
Aku pasrah dengan keadaan ini, rumor
yang beredar sepertinya ibu Dewi tidak membutuhkan aku lagi. Ia, dua hari yang
lalu baru memasukkan adik iparnya, Tami, sebagai salah satu karyawan baru di Bright
Advertising dan ia meminta ruang kerjaku untuk dikosongkan, untuk diberikan
pada adik iparnya itu.
Aku yang tadinya punya ruang kerja
sendiri harus berbagi ruangan dengan Wina.
Ibu Dewi belum memecatku, tapi aku
sudah siap menghadapi kondisi yang terburuk.
“Kau sebaiknya telepon Selly dan
bilang kalau kau tidak punya ruang kerja sendiri lagi,” bisik Wina, saat aku
asik memperhatikan langit yang mendung.
“Lalu kalau Selly tahu tentang hal
ini akan merubah keadaan gitu?” tanyaku kesal. “Selly sudah tidak ada
hubungannya lagi dengan Bright
Advertising Win, mengertilah.”
“Iya sih, tapi kau dulu salah satu
karyawan kesayangannya dan…”
“Kondisi ini malah akan semakin
membebani pikirannya Win, sudahlah, Selly sudah punya banyak masalah.”
“Tapi rasanya tidak adil Kiara, kau
sudah bekerja bertahun tahun, tapi posisimu digeser begitu saja oleh anak
kemarin sore yang baru lulus kuliah.”
“Suka suka ibu Dewi mau bertindak
bagaimana, ini perusahaan miliknya, sudahlah Wina, aku tidak keberatan kok
dengan hal ini, atau justru kamu yang keberatan berbagi ruangan denganku?”
“Tidak, tidak masalah Kiara,
sungguh.”
“Ya sudah kalau begitu”.
Perbincanganku dengan Wina terhenti
saat Della masuk ke ruang kerja kami.
“Mbak Wina, disuruh ikut rapat oleh
Ibu Dewi,” ujar Della.
“Sekarang?” tanya Wina.
“Setengah jam lagi sih, tapi
sebaiknya tidak terlambat.”
“Oke, Kiara ikut rapat?” tanya Wina
lagi.
“Tidak, Mbak Wina saja yang tadi
disuruh ikut, sama Mbak Tami juga.”
Wina langsung memperhatikan aku
dengan perasaan tak enak, tapi aku tersenyum menatapnya.
“Sudah, santai saja, aku tidak apa
apa kok.” Komentarku.
“Aku akan sangat sedih kalau kamu
harus pergi dari tempat ini,” mata Wina tiba tiba berkaca kaca, “tapi mudah
mudahan itu tidak terjadi.” Lanjut Wina lagi.
“Mudah mudahan.” Sahutku, “Sudahlah,
aku baik baik saja kok.”
Tapi aku tidak yakin, apakah aku akan
baik baik saja seperti yang aku katakan pada Wina.
~ ~ ~
POV kiara
Aku membereskan gelas gelas yang
kotor dengan perasaan sedih. Sekarang aku sedang berada di cafe Mas Bima untuk
bekerja part time. Aku melakukannya setiap hari Sabtu dan Minggu.
Dulu, sebelum kerja di Bright
Advertising aku melakukannya setiap hari. Aku bahkan bekerja di cafe Mas
Bima sejak aku kuliah.
Aku kuliah pagi, dan aku bekerja
sepulang kuliah hingga malam hari.
Ketika aku diterima bekerja di Bright
Advertising, Mas Bima menyarankan agar aku berhenti saja bekerja di
cafenya, tapi aku tak mau, aku memutuskan untuk tetap bekerja walau hanya di
akhir pekan.
Sepertinya, untuk sementara waktu aku
harus bekerja full time lagi di tempat Mas Bima sebelum aku mendapat pekerjaan
baru, renungku
sambil meletakkan gelas gelas kotor ke tempat cuci piring.
Ibu Dewi ternyata benar benar
menggeser posisiku untuk Tami, adik iparnya. Ia tidak memecatku, tapi ia
menawariku untuk menjadi asisten Mas Radit, cameraman di bagian produksi
karena posisi untuk asisten cameraman sedang kosong. Menurut ibu Dewi
itu hanya untuk sementara waktu sampai ia berhasil mencari asisten untuk Mas
Radit.
Aku hanya bisa bengong mendengar itu,
seingat aku, asisten Mas Radit selama ini laki laki. Dan tentu saja harus laki
laki karena ia harus mengangkat angkat camera yang cukup berat dan
peralatan lainnya.
Aku tidak menolak atau tidak
mengiyakan tawaran ibu Dewi, tapi aku memutuskan, kalau memang Bright
Advertising sudah tidak menginginkan aku lagi, lebih baik aku pergi dari
sana.
“Mas Bim,” ujarku saat kulihat Mas
Bima duduk di samping Mas Andra yang seperti biasa, asik dengan laptopnya. Mas
Egi sedang tidak datang ke cafe malam ini.
Aku berjalan menghampiri Mas Bima dan
Mas Andra dan duduk di hadapan mereka.
“Ya, Ki, kenapa?”
“Apakah tawaran Mas Bim dulu tentang
kamar yang ada di atas cafe ini masih berlaku?”
“Itu gudang, bukan kamar!” Celutuk
Mas Andra sambil matanya tak lepas dari monitor laptopnya. “Kotor begitu kok
disebut kamar!”
“Kan nanti bisa dibersihkan!” protes
Mas Bima.
“Yaelah, butuh berapa hari
bersihinnya, debunya tebal benar!”
“Nggak apa apa kok,” sahutku cepat,
“kalau Mas Bim mengijinkan aku tinggal disana, akan aku bersihkan.”
“Tentu saja aku mengijinkan, serius
kau mau pindah kesana?” tanya Mas Bima.
“Iya,” aku mengangguk, “seperti Mas
Bim bilang, aku bisa hemat, aku bisa menabung uang kosku.”
“Tinggal di rumahku saja Ki,” tawar
Mas Andra mengagetkan. “Dirumahku ada empat kamar tidur, dua kamar di lantai
bawah dan dua kamar di lantai atas. Kamarku ada di lantai bawah, begitu juga
dengan kamar adikku, Dilan. Orangtuaku ada di kampung. Ruangan di lantai atas
bersih kok, tidak seperti disana!” tunjuk Mas Andra ke arah atap cafe.
“Kamu mau cari mati Dra?” teriak Mas
Bima langsung, “Kamu pikir aku mengijinkan Kiki tinggal disana dengan orang
seperti kamu?”
“Yaelah, lu lebay banget sih
Bim. Apa yang ditakutin coba, gue cowok baik baik.”
“Aku tak percaya,” ujar Mas Bima.
“Ada Bi Inah, Bima, tiap hari Bi Inah
datang ke rumah untuk masak, nyuci, bersih-bersih,”
“Tiap hari datang, tapi tidak
menginap? Kiara malam malam sendiri gitu dengan dua serigala seperti
kalian?”
“Dua serigala mah penyanyi
dangdut,” komentar Mas Andra lagi.
“Duo! Itu DUO SERIGALA!” teriakku.
“Bukan Dua!”
Aku cukup terkejut dengan tawaran Mas
Andra. Mas Andra rada rada. Apa kata Yola coba kalau aku tinggal di
rumahnya? Mau terjadi perang dunia ketiga?
“Ehm, begini,” ujarku akhirnya,
“pertama tama aku ucapkan terima kasih yang sebesar besarnya atas tawaran Mas
Andra. Aku tak menyangka kalau Mas Andra baik hati, tidak sombong lagipula
pintar. Kedua, aku tetap memutuskan untuk tinggal di atap sana.”
“Memang kau punya waktu untuk
membersihkan?” tanya Mas Andra.
“Akan kuusahakan,” aku tersenyum.
“Terima kasih ya Mas Bim sudah mengijinkan aku tinggal disini.”
“Tentu, tidak masalah. Kapan kau mau pindah?”
sahut Mas Bima.
“Secepatnya.” Ujarku.
Aku benar benar merasa gembira karena
salah satu masalahku sudah terpecahkan. Setidaknya kalau aku benar benar tidak
bekerja lagi di Bright Advertising aku tidak harus pusing dengan uang
kos.
~ ~ ~
POV Kiara
Aku menaruh kotak yang berisi
kosmetikku di sudut kamar. Itu adalah kotak terakhir yang aku angkut ke dalam
kamar baruku.
Kamar baruku yang terletak di atas
cafe Mas Bima mempunyai empat jendela besar di setiap sisinya dengan teralis
yang rapat.
Aku saat ini membuka keempat jendela
besar itu agar sirkulasi udara berjalan baik.
Tanpa aku duga, Mas Andra ternyata
mau membantuku membersihkan kamar ini.
Butuh tiga hari bagi kami berdua
untuk membersihkan kamar ini, menyapu, menggosok, mengepel lantai dan membersihkan dinding lalu
butuh tiga hari lagi untuk mengecat semua dindingnya.
Setelah itu, Mas Andra masih membantu
aku pindah. Tidak banyak yang aku bawa dari tempat kosku karena tempat kosku
sudah menyediakan lemari dan tempat tidur. Jadi aku tinggal membawa bajuku saja
dan peralatan lainnya seperti gelas, piring, sendok dan alat masak lainnya
karena aku terbiasa masak sendiri.
Mas Andra membantu aku pindah dengan
meminjam mobil Dilan, adiknya. Ia menjemput aku ke tempat kosku di daerah
Salemba, lalu ikut membantuku packing barang barangku. Ia bahkan
mengajak aku makan siang dulu di Atrium Senen, dan ketika sampai di cafe Mas
Bima, ia membantuku membawakan barang barangku ke kamar baruku.
Sekarang kamarku terlihat bersih dan
wangi, besok besok ketika aku ada waktu luang untuk berbelanja, aku akan
membeli kasur dan lemari.
Saat ini, aku tidur diatas dua bedcover
yang aku tumpuk jadi satu.
~ ~ ~
POV Kiara
Sinar matahari menerobos masuk ke
kamarku membuat kamarku menjadi terang benderang. Aku belum membeli tirai
sehingga cahaya matahari dengan leluasa masuk.
Tapi aku tak perlu khawatir, tidak
ada yang bisa mengintip aku ke dalam kamar, karena di sekeliling kamarku adalah
tembok yang tinggi, ada sebuah teras yang cukup luas di luar kamarku, tapi
untuk mencapai teras itu orang orang harus menaiki tangga dulu, setelah
melewati tangga masih dibatasi oleh pagar besi yang aku kunci. Jadi aku benar
benar aman disini.
Aku langsung bangun dari tidurku dan
pergi ke kamar mandi yang juga ada dikamar ini.
Dulu, kamar ini adalah sebuah kantor
advokat. Kantor itu terdiri dari satu lantai, yaitu lantai atas ini, sementara
lantai bawah digunakan untuk garasi. Disekitar kantor advokat tersebut terdapat
halaman yang sangat luas, baik disisi kiri ataupun di bagian belakang.
Di sisi kiri adalah parkir yang cukup
luas sementara di belakang adalah taman bunga.
Ketika Mas Bima membeli tempat ini,
ia menjadikan lantai bawah, yang dulunya adalah garasi menjadi cafe, sementara
lantai atas ia jadikan sebagai tempat tinggal ia dan isterinya, Mbak Venita.
Mereka tinggal sementara di lantai
atas karena mereka saat itu sedang membangun rumah di taman bunga yang ada di
belakang cafe.
Untuk tempat parkir, Mas Bima
membiarkan tempat parkir itu dan tidak merenovasinya. Tempat parkir itu kini
digunakan untuk parkir mobil atau motor para pelanggan cafe yang datang.
Setelah rumahnya selesai dibangun,
Mas Bima dan Mbak Venita pindah ke rumah mereka, sementara tempat tinggal
mereka dilantai atas cafe dibiarkan kosong.
Tadinya Mas Bima akan memperbesar
cafenya hingga ke lantai atas, tapi entah kenapa, hal itu belum dilakukannya
juga. Tapi sejauh ini cafe yang ada di lantai bawah bisa menampung para
pelanggan yang datang karena cukup luas.
Mas Bima membatasi cafe dan rumahnya
dengan pagar tanaman. Ada jalan setapak untuk menuju rumahnya.
Selesai mandi, aku langsung menyeduh oatmeal.
Jika tidak sedang rajin bikin sarapan seperti bikin nasi goreng dan orak arik
telur, aku biasanya sarapan yang praktis praktis saja seperti minum oatmeal
yang terbuat dari gandum. Itu cukup menahan rasa laparku sampai jam makan siang
nanti.
Hari Minggu pagi seperti ini aku agak
santai, cafe baru buka jam sebelas nanti sehingga aku punya waktu untuk santai.
Sedang asik asiknya aku minum oatmeal,
suara Mas Andra tiba tiba terdengar dari bawah.
“Room Service!” teriaknya.
Aku tertawa, aku merasa tak percaya
kalau pagi pagi begini Mas Andra membawakan aku sarapan.
Aku segera berlari membuka pintu
kamar, lalu membuka kunci pintu pagar dan terkejut ketika melihat dua orang
tukang sedang mengangkut sebuah sofa kulit ke atas.
“Itu apa?” tanyaku kaget.
“Tempat tidurmu.” Ujar Mas Andra
sambil tersenyum lebar. “Itu sofa yang bisa dijadikan tempat tidur.”
“Ya Tuhan, Mas Andra, tidak usah
repot repot seperti itu.”
“Tidak repot kok, ayo Pak, taruh di
atas ya,” ujar Mas Andra kepada dua
tukang itu.
“Iya, Pak, ini saya lagi naik ke
atas, ya pasti ditaruh di atas,” komentar tukang itu.
Mas Andra langsung tertawa, “Kiara,
jangan bengong di pintu dong, biarkan bapak bapak ini masuk.”
“Panggil saya Mas, saya belum bapak
bapak, saya belum menikah,” komentar tukang itu lagi.
Mas Andra langsung menepuk jidatnya.
“Iya, Mas.” Ujarnya langsung. “Maap ya Mas.”
“Iya tidak apa apa. Saya maafkan.”
Aku memperhatikan para tukang itu
meletakkan sofa itu di sudut kamarku, lalu mereka pamit pergi pada Mas Andra,
dan Mas Andrapun mengucapkan terima kasih pada mereka.
“Pagi pagi ada toko sofa yang buka?”
tanyaku heran pada Mas Andra setelah kedua tukang itu pergi dengan mobil pick
up mereka.
“Aku belinya semalam, tapi minta
diantar pagi ini.”
“Aku akan membayar sofa itu,” ujarku.
“Tidak usah, ini hadiah untukmu.”
“Hadiah?” tanyaku, “aku tidak sedang
berulang tahun, untuk apa aku dapat hadiah?”
“Hadiah bisa diberikan kapan saja
tanpa harus menunggu seseorang berulang tahun. Lama dong kalau kita mau memberi
hadiah pada seseorang saat dia berulang tahun, bisa menunggu selama setahun.“
“Oh, begitu”
“Ya.”
“Serius ini untukku?”
“Serius.”
“Aku tidak tahu harus bilang apa.”
“Bilang terima kasih sudah cukup.”
“Itu pasti, aku sangat berterima
kasih, tapi kupikir ini terlalu berlebihan.”
“Aku malah akan merasa tersinggung
kalau kau menolaknya Ki. Kau memerlukan sofa ini. Jadi jangan punya banyak
alasan untuk menolaknya. Rejeki nggak boleh ditolak loh. Nanti susah lagi
datangnya.”
“Baiklah kalau begitu,” aku tersenyum
lebar, “sekali lagi terima kasih.”
“Sama sama”.
~ ~ ~
POV Kiara
Suasana di food court Plaza
Semanggi Jumat malam ini cukup ramai. Aku dan Wina sedang makan malam di sana.
Aku memilih makan soto ayam sementara Wina makan masakan Korea.
“Kau hebat,” Wina tersenyum
menatapku.
“Hebat kenapa?” tanyaku.
“Kupikir kau akan mengundurkan diri
dari Bright Advertising tapi kau benar benar mengambil posisi asisten
cameraman. Kau wanita yang tangguh Kiara. Aku salut padamu.”
“Yeah, selama gajiku tidak
dikurangi, aku akan bertahan.” Ujarku sambil tertawa, “dan not badlah
bekerja dengan Mas Radit. Aku jadi tahu banyak tentang pekerjaan di lapangan
seperti apa. Selama ini aku hanya bikin naskah iklan tanpa tahu realisasi di
lapangannya seperti apa, dan sekarang aku jadi tahu.”
“Ya, tapi mengangkat camera itu
berat, Ki. Kaupun harus berhati hati karena camera itu sangat mahal.
Kalau camera itu rusak, kau bisa kena potong gaji untuk menggantinya,
seperti asisten Mas Radit sebelumnya, kau ingat?”
“Ya, aku ingat. Tapi jangan khawatir.
Aku akan berhati hati.” Komentarku.
“Kenapa sih kau tidak mencari
pekerjaan lain saja untuk posisi yang sama Ki? Ada banyak perusahaan iklan di
Jakarta sini, atau mungkin kau pulang ke Yogya saja ke rumah orangtuamu dan
bekerja disana, kau tidak harus kos dan...”
“Itu tidak masalah Wina,” potongku.
“Aku kebetulan tipe orang yang susah untuk beradaptasi dengan tempat baru,
suasana baru, orang orang baru. Jadi aku malas cari kerja di tempat baru.”
“Tapi mau sampai kapan kau seperti
ini?”
“Mana aku tahu! Terserah Ibu Dewi
sampai kapan! Dia bilang sih sampai ia berhasil mendapatkan asisten Mas Radit.”
“Tapi Ibu Dewi sepertinya tidak
membuka lowongan apapun.”
“Ya, sepertinya begitu.”
“Selly akan menangis kalau tahu kau
diperlakukan begini Kiara. Kau adalah salah satu karyawan yang sangat disayangi
Selly.”
“Tolong jangan mengabari Selly apapun
Win, aku akan baik baik saja, aku akan bertahan.”
“Ya, sudah kalau begitu. Ngomong
ngomong aku sedang kesal dengan Tami.”
“Memang kenapa dengan dia?”
“Dia tidak
seperti dirimu. Dia tidak punya banyak ide yang brilyan. Idenya standar.
Itu itu saja, mudah ditebak, klise, ketika kita dapat job bikin
naskah untuk iklan kopi, ide yang dia kasih, sebagian besar sudah ada di iklan
kebanyakan.”
“Kan ada
kamu Wina, itulah fungsinya team work, kerja tim. Saling support
satu sama lain.”
“Ya, tapi
mau sampai kapan kalau idenya dari aku terus? Dia makan gaji buta dong? Sok
bekerja sama tapi pada kenyataannya aku bekerja sendirian.”
“Aku tidak
tahu harus ngomog apa,” komentarku melihat kekesalan Wina.
“Lama lama
aku yang keluar juga deh dari sana!” keluh Wina.
“Jangan!
Enak saja! Nanti adikmu bagaimana? Kau bilang kau membantu orangtuamu dengan
membiayai kuliah adikmu di Jakarta sini.”
“Iya juga
sih.”
“Sudahlah,
sebaiknya kita tidak usah bicara soal pekerjaan. Kita harus bergembira malam
ini, karena selain besok libur, besok juga kita gajian.”
Wina tertawa,
“Yup, besok adalah akhir pekan. Aku bisa bersantai, kamu tidak, karena kamu
harus bekerja di cafe. Apa kau tak jenuh dengan hidupmu Ki? Tiap akhir pekan
kau bekerja, bukannya piknik.”
“Tidak, aku
tidak bosan, aku menyukainya. Tapi kupikir piknik juga perlu sesekali. Mungkin
minggu depan aku akan ke bandung, ke Cihideung.”
“Ngapain ke
sana?” tanya Wina heran.
“Nyari
bunga. Aku ingin memenuhi teras di depan kamarku dengan bunga gantung biar adem
danterlihat cantik.”
“Wah,
sepertinya menyenangkan.”
“Kau mau
ikut?” tanyaku.
“Entahlah.
Aku tidak tahu apa aku punya kegiatan atau tidak minggu depan.”
“Kalau tidak
ada kegiatan, hubungi aku ya, nanti aku jemput.”
“Oke, tidak
masalah.”
“Bagus kalau
begitu,” aku tersenyum senang.
Aku tak
sabar untuk segera memcari dan membeli bunga bunga itu.
Ide mencari
bunga ini datangnya dari Mas Andra saat dia duduk di teras di depan kamarku dan
merasa kepanasan karena sinar matahari yang menyengat.
Dia bilang
kalau sinar matahari dihalangi oleh bunga hias yang digantung secara berjejer
pasti akan terasa sejuk.
Aku setuju
dengan ide itu dan berniat untuk pergi ke Meruya untuk mencari tanaman hias.
Tapi Mas Andra mengusulkan untuk mencarinya di Cihideung saja karena sentra
tanaman hias yang besar salah satunya ada di Cihideung. Aku setuju sehingga aku
dan Mas Andra sepakat untuk pergi ke Bandung minggu depan.. Dan karena tadi aku
sudah menawari Wina untuk ikut, kupikir Mas Andra tidak akan keberatan kalau
Wina juga ikut.
~ ~ ~
POV Kiara
Pulang makan
malam, Wina mengantarku dengan motornya. Wina kalau pergi kemana mana selalu
membawa helm ekstra sehingga aku bisa nebeng Wina pulang malam
ini.
Helm itu
sebenarnya helm Adelia, adik Wina yang masih kuliah. Sebelum berangkat kerja,
Wina menyempatkan mengantar Adelia ke tempat kuliahnya, setelah itu Wina pergi
ke tempat kerja.
Tadinya aku
menolak diantar Wina, aku terbiasa menggunakan Trans Jakarta kalau
pulang dan pergi bekerja, tapi Wina memaksa sehingga aku tak bisa menolak.
Sampai di
cafe Mas Bima aku menawari Wina untuk minum dulu, tapi Wina tidak mau, dia
bilang dia ingin cepat cepat tidur karena sudah mengantuk. Aku akhirnya
mengucapkan terima kasih pada Wina dan berpesan agar Wina mengendarai motornya
hati hati.
Wina
mengangguk sambil melambaikan tangannya padaku. Aku memperhatikan Wina pergi
dan berjalan ke arah tangga yang menuju kamarku saat Wina sudah hilang dan
pandanganku.
Aku berniat
untuk istirahat sebentar lalu membantu Mas Bima di cafenya.
Walau Mas
Bima tidak meminta, tapi kadang bantuanku diperlukan. Karyawan Mas Bima ada
lima orang tapi tiap hari Jumat, Sabtu dan Minggu cafe biasanya lebih ramai
dari biasanya sehingga semua orang sibuk.
Baru saja
aku mau berjalan ke arah tangga, Yola tiba tiba mencegat langkahku.
“Yola, apa
kabar?” tanyaku kaget, karena rasanya sudah berabad abad lamanya aku tidak
bertemu dengannya.
“Kabar
baik,” ujar Yola, “kudengar kau tinggal di atas sekarang?” tunjuk Yola ke arah
kamarku.
“Ya,”
tawaku, “untuk menghemat pengeluaran.”
“Boleh aku
melihat kamarmu?”
“Tentu,
ayo,” ujarku sambil menaiki tangga.
Yola
mengikuti langkahku tanpa banyak bicara.
Setelah
pintu kamar aku buka dan aku menyalakan lampu, Yola memperhatikan suasana kamar
dengan seksama.
“Kamarnya
indah, rapi, bersih, kurasa akupun akan betah tinggal di sini.”
“Apartemenmu
pasti jauh lebih mengasikan dari tempat ini.” Komentarku.
Sejak
memiliki distro sendiri, Yola tinggal di apartemen yang letaknya
bersebrangan dengan distronya di Kemang, sehingga Yola hanya perlu
berjalan kaki ke tempat kerjanya. Namun begitu, Mas Andra tetap membekali Yola
mobil cantik untuk memperlancar pekerjaan Yola. Sekarang kemana mana Yola
menggunakan mobil itu.
“Yah,
apartemenku asik sih, tapi disini suasananya lebih hijau dari disana.”
“Ya, itu karena
di sekeliling rumah ini banyak kebun.”
“Ya, tentu,”
Yola akhirnya duduk disampingku.
Aku
menyempatkan diri membeli beberapa kursi plastik untuk tamu yang berkunjung ke
tempatku.
Tapi sejauh
ini, hanya Yola tamu yang baru berkunjung. Mas Andra pernah datang ke sini,
tapi ia memilih duduk di teras daripada masuk ke ruang tamu kecilku.
Kamar
tidurku aku sekat dengan dua buah penyekat ruangan yang besar sehingga Yola
tidak bisa melihat sofa yang dibelikan Mas Andra untukku.
“Mau minum
apa?” aku akhirnya menawari Yola minum setelah kami terdiam beberapa saat “aku
tidak punya banyak minuman, tapi kalau kau mau, akan aku bikinkan teh manis
hangat.”
“Tidak usah
repot Ki, aku kesini sebenarnya ingin bicara tentang suatu hal.”
“O, ya, apa
itu?”
“Ini tentang
Mas Andra.”
“Mas Andra?”
tanyaku heran, “ada apa dengan Mas Andra?”
Yola nampak
menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya pelan pelan, “aku dengar Mas Andra
dekat denganmu akhir akhir ini.”
“Oh itu,
Yola, please jangan salah paham, kami tidak..”
“Sebentar,
jangan potong dulu pembicaraanku.”
“Oke.”
Sahutku.
“Kalau kau
berpikir aku mendapatkan kabar kedekatanmu dengan Mas Andra dari Mas Bima atau
Mas Egi, kau salah. Kamu tahu mereka, mereka selalu setia antara satu dengan
yang lainnya, dan selalu menutupi perbuatan sahabat mereka walau perbuatan
sahabat mereka itu tidak bisa dibenarkan.”
“Tapi aku
dan Mas Andra tidak…”
“Mas Bima
punya beberapa karyawan, bukan kau saja, dan salah satu dari mereka yang
memberitahu aku kalau Mas Andra yang membantumu membersihkan tempat ini,
membantumu pindah, dan membelikan kau sofa?”
“Yola, I..
itu.. aku tidak memintanya, dia yang…”
“Tentu saja
kau tidak memintanya, Mas Andra itu orangnya baik sekali, dia akan memberikan
apa saja pada orang yang ingin dia beri sesuatu. Tapi kau bisa menolaknya kan?”
“Sudah, aku
sudah menolak, tapi…”
“Tapi apa?”
“Mas Andra
bilang rejeki tidak boleh ditolak dan…”
“Dimana sofa
sialan itu?” Yola tiba tiba berdiri dari duduknya dan pergi ke arah ruang
tidurku. Aku segera menyusulnya.
“Yola aku
minta maaf, aku tidak bermaksud..”
“Oh, jadi
ini,” Yola tak menggubris kata kataku. “Cantik sekali sofanya, kau pasti betah
tidur disana.”
“Yola,”
“Setidaknya
sofa cantik ini berharga tigapuluh juta.”
Aku
ternganga. Semahal itu?
“Kau bisa
mengambil sofa itu kalau kau mau,” ujarku cepat.
“O, ya?”
Yola tertawa. “Dan apa kata Mas Andra nanti kalau aku melakukan itu? Jangan
khawatir Kiara, aku hanya ingin memastikan apakah berita yang aku dengar
tentang sofa itu benar dan ternyata memang benar.” Yola terdiam sejenak.
“Begini, aku
punya banyak barang seperti itu di apartemenku, jadi ya, ini bukan hal besar
untukku, aku hanya ingin bilang padamu agar kau menjauhi Mas Andra sejak
sekarang dan jangan menerima apapun
pemberian darinya lagi, oke?”
“Akan aku
usahakan Yola, tapi kau harus mengerti bahwa perasaanku pada Mas Andra tidak
seperti dulu lagi, sudah berbeda sekarang. Aku tidak menaruh hati lagi
padanya.”
“Perasaanmu
tidak penting, aku tak perduli dengan perasaanmu.” Ujar Yola sinis. “Kau
harusnya sadar posisimu ada dimana Kiara, sekarang kalau kau ada diposisiku,
apakah kau mau pacar yang sangat kau sayangi di dunia ini dekat dengan wanita
lain? Apakah kau akan membiarkan pacar yang sangat kau sayangi di dunia ini
memberikan sofa seharga tigapuluh juta rupiah pada wanita lain?”
“Kau tidak
bisa menyalahkan aku,” protesku, “seharusnya kau mengatakan keberatanmu pada
Mas Andra, bukan padaku. Aku hanya menganggap dia teman, tidak lebih.”
“Ya, ya,
terserah kau mau bilang apa. Tentu saja kau akan membela diri.” Yola berjalan
lagi ke ruang tamu kecilku dan mengambil tasnya yang tadi ia letakkan di kursi.
“Aku akan sangat kecewa padamu kalau kau menerima lagi pemberian Mas Andra
kalau ia membelikan lagi kau sesuatu.”
Yola lalu
keluar dari kamarku dan membanting pintu.
~ ~ ~
POV Kiara
“Astagfirullah
Kiara, ini masih jam empat subuh!” Teriak Wina saat membukakan pintu untukku.
“Haruskah kita pergi ke Bandung jam empat subuh? Aku masih ngantuk.”
“Harus,” aku
masuk ke kamar kos Wina sambil merapatkan jaketku. Udara benar benar sedang
dingin dini hari ini, sementara ac di mobil yang aku sewa juga sangat dingin
walau sudah kukecilkan.
“Siapa itu
Ka?” Adelia yang tidur di kamar yang sama dengan Wina bertanya pada Wina dengan
suara mengantuk. Wina dan Adelia menyewa satu kamar kos untuk mereka tempati
berdua.
“Itu Kiara,
teman kerja kakak, kau masih ingat Kiara kan? Kakak pernah memperkenalkan dia
padamu dulu.”
“Oh.” Adelia
menguap dan tampak hendak melanjutkan tidurnya lagi.
“Kau punya
kegiatan hari ini Del?” tanyaku sambil duduk di pinggir tempat tidur.
“Tidak Kak,
kenapa?” tanya Adel.
“Kau ikut
juga ke Bandung yuk. Kita jalan jalan hari ini.”
“Naik apa?”
“Aku nyewa
mobil. Ayo cepat bangun, nanti kau lanjutkan tidurmu di mobil.”
“Kak Wina
memperbolehkan tidak?” tanya Adelia pada Wina.
“Kak Kiara
mengajak kamu, bagi kakak tidak masalah.”
“Ya, sudah
aku siap siap dulu.” Adelia akhirnya bangun dari tidurnya, mengambil handuk dan
pergi ke kamar mandi.
“Tentu,”
sahutku senang, “tenang saja Del, nanti kita mampir ke suatu tempat untuk
sarapan.”
“Iya Kak,
makasih.” Teriak Adelia sebelum masuk ke kamar mandi.
“Haruskah
kita berangkat pagi pagi Ki?” Wina bertanya hal yang sama lagi padaku. Ia duduk
di atas tempat tidur dengan mata mengantuk.
“Ya, harus,
biar cepat sampai, jalanan kan sepi kalau subuh begini, ayo cepatlah, kau juga
nanti bisa tidur lagi di mobil.”
“Ya sudah
kalau begitu, nanti aku ke kamar mandi setelah Adel selesai.”
“Oke.”
Sambil
menunggu Adelian dan Wina bersiap siap, aku berusaha menenangkan diriku yang
gelisah.
Aku pergi
terburu buru seperti ini untuk menghindari Mas Andra yang akan menjemputku jam
enam pagi nanti.
Rencana
sebelumnya adalah Mas Andra yang akan mengantar aku ke Bandung. Tapi rencana
itu dibuat sebelum Yola datang menemuiku dan marah marah padaku.
Akhirnya aku
memutuskan pergi sendiri tanpa Mas Andra. Semalam aku menyewa mobil dan
memarkirnya di parkiran cafe Mas Bima. Lalu dini hari tadi aku pergi dengan
mobil sewaanku untuk menjemput Wina. Kebetulan Wina tidak ada acara dan mau
ikut denganku ke Bandung.
Aku tidak
menelepon Mas Andra untuk memberitahu bahwa aku memutuskan untuk pergi sendiri
saja. Aku takut Mas Andra marah, jadi aku kabur darinya.
~ ~ ~
POV Kiara
Aku menyetir
dengan tenang. Kecepatan kendaraanku hanya 60 km per jam. AKu tidak mau terburu
buru, prinsip hidupku adalah biar lambat asal selamat.
Wina tampak
tertidur pulas disampingku, begitupun dengan Adelia yang duduk di kursi
belakang. Kami tadi sempat sarapan donat dan minum kopi di salah satu cafe yang
buka 24 jam.
Aku terbiasa
pergi menyetir jarak jauh seperti ini. Waktu pergi liburan ke Bali dulu, aku
gantian dengan ayahku menyetir mobil dari Yogya hingga Bali dengan menggunakan
mobil tua milik ayah.
Di
keluargaku, hanya aku dan ayah yang bisa menyetir mobil. Kakak dan adikku tidak
mau belajar, menurut mereka, mereka malu belajar mengendarai mobil dengan
menggunakan mobil ayah yang jelek.
Kalau aku
sih tak melihat bagus tidaknya mobil ayah, yang penting manfaat yang aku
dapatkan. Dan benar saja, saat ibuku ada keperluan seperti berbelanja atau apa,
aku yang sering mengantar ibu pergi.
Sedang asik
asiknya mendengarkan lagu Alan Walker dan teman-temannya, on my way,
HPku tiba tiba bunyi. Aku menerima panggilan dengan menggunakan earphone.
“Demi Tuhan Kiara! Kau dimana?” teriak
Mas Andra, “kau tidak ada dikamarmu, kau lupa dengan janji kita?”
“Maaf Mas,
aku sudah dalam perjalanan ke Bandung, aku sudah di tol Cipularang sekarang.”
“Kau apa?!”
‘Masalahnya,
aku tidak mau merepotkan Mas Andra.” Ujarku membela diri.
“Aku tidak
merasa direpotkan. Sebenarnya ada apa Ki?”
Setelah
menimbang nimbang selama beberapa saat akhirnya aku bilang pada Mas Andra kalau
Yola keberatan aku dekat dengannya.
“Jadi
begitu?” tanya Mas Andra setelah mendengar ceritaku.
“Ya.”
“Sekarang
begini saja, rest area terdekat yang akan kau lewati dimana?”
“Km 54”
“Ok, kau
sekarang pergi ke sana, parkir mobilmu, kau sarapan dulu atau..”
“Aku sudah
sarapan,” potongku.
“Kalau
begitu ngopi dulu, ngopi.”
“Aku juga
sudah ngopi tadi.”
“Ya,
terserahlah kau mau apa, pokoknya tunggu disana sampai aku datang, oke?”
“Mas Andra
mau datang menyusulku?” seruku kaget.
“Ya, tentu,
enak saja acaraku berantakan. Aku sudah menyisihkan waktu hari ini untuk refreshing
sebelum sibuk bekerja lagi.”
“Mungkin
sebaiknya Mas Andra tidak usaha kesini.” Saranku.
“Mungkin
sebaiknya, kalau kamu mau membatalkan janji denganku kau meneleponku.”
“Maaf.”
“Ya sudah,
pokoknya jangan kemana kemana sampai aku datang.”
“oke.”
Aku akhirnya
masuk ke rest area. Aku membangunkan Wina dan Adelia apakah mereka mau
minum kopi lagi. Mereka menolak dan melanjutkan tidur, aku akhirnya membiarkan
mobil tetap menyala agar Wina dan Adelia tidak kepanasan. Aku menyalakan ac
tidak terlalu besar. Aku lalu pergi ke salah satu cafe yang buka dan menunggu
Mas Andra disana.
Mas Andra
datang dengan menggunakan mobil Dilan. Dilan ikut di mobil itu bersama dengan
dua orang temannya.
Mas Andra
lalu memperkenalkan Dilan dan teman temannya padaku.
Setelah
berkenalan denganku, Dilan langsung pamit pada kakaknya .
“Bro, aku
pergi dulu bro, have fun bro!”
“Oke bro,
thanks bro! Have fun juga!”
ujar Mas Andra pada Dilan. “Hati hati menyetir, jangan ugal ugalan. Adik gue
cuma elu, nggak ada serepnya. Nggak asik kalau elu mati muda
karena kecelakaan.”
“Yoi bro,
don’t worry bro.” Seru Dilan sambil melambaikan tangan, “I’ll be
carefull. See you di Jakarta bro! Senang berbisnis denganmu, bro.”
Mas Andra
cuma tertawa dan membalas lambaian tangan Dilan.
“Bisnis
apa?” tanyaku heran. “Mas Andra punya bisnis dengan Dilan?”
Mas Andra
kembali tertawa, “aku membayar Dilan dan teman temannya untuk mengantarku ke
sini.”
“Ya ampun
segitunya sama kakak sendiri.” Komentarku.
“Tidak apa
apa, itu sudah biasa kok, malah aneh kalau Dilan tidak minta uang padaku. Minta
uang padaku adalah nama tengahnya.”
Aku tertawa.
“Mereka
langsung kembali ke Jakarta?” tanyaku.
“Tidak,
mereka akan ke Bandung juga seperti kita. Mungkin beli baju atau apa. Mana
kunci mobilnya?”
Aku
memberikan kunci mobil pada Mas Andra dan berjalan mendahului Mas Andra untuk
menunjukkan mobilnya parkir dimana.
~ ~ ~
POV Kiara
Sentra pasar
bunga Cihideung terletak di jalan sersan Bajuri arah Utara kota Bandung. Jalan
ke Cihideung merupakan salah satu jalan alternatif menuju Lembang.
Di Cihideung
ini sebagian besar penduduknya melakukan usaha jual beli tanaman.
Melewati
jalan Cihideung di sisi kiri dan kanan jalan terbentang taman bunga yang indah
dan berwarna warni. Ada bunga mawar, dahlia, bougenville, anggrek, kaca piring,
semuanya ada, bahkan beberapa bunga langka juga ada.
Selain
bunga, beberapa tanaman buah seperti jeruk, lemon, jambu air, dan yang lainnya
juga dijual di sana.
Aku, Wina
dan Adelia memilih bunga bunga yang kami mau. Kami berbelanja di salah satu
penjual bunga yang punya parkir cukup luas.
Sementara
kami memilih bunga, Mas Andra nampak asik ngobrol denga petani bunga tentang
cara bercocok tanam yang baik, tentang apa apa saja yang harus dilakukan dan
apa yang tidak.
Wina tadinya
tidak tertarik membeli bunga karena ia bingung bunganya mau ditaruh dimana,
kamar kosnya kecil dan ia tak punya teras seperti aku. Tapi Wina memutuskan
untuk membeli bunga untuk diberikan kepada ibunya. Rencananya lusa, Adelia akan
pulang, dan Wina akan menitipkan bunga bunga itu untuk ibunya.
Setelah
memilih bunga, akupun memilih beberapa pot ukuran sedang. Setidaknya, aku
membutuhkan dua puluh pot untuk tanaman bunga itu agar terasku menjadi sejuk
dan rimbun.
Pada saat
aku mau membayar belanjaanku, Mas Andra ternyata sudah membayar semuanya
untukku. Ia juga membayar belanjaan Wina.
Kata kata
Yola untuk tidak menerima pemberian apapun lagi
dari Mas Andra langsung terngiang ngiang di telingaku. Dengan seketika
aku menolak pemberian Mas Andra. Tapi Mas Andra menyuruhku pulang jalan kaki ke
Jakarta kalau aku tidak mau menerima pemberiannya. Aku kembali berada pada
situasi yang sulit.
Akhirnya aku
pasrah menerima pemberian Mas Andra.
Selesai
membeli bunga kami makan siang di salah satu restoran Sunda di sekitar Lembang.
Kami masih pergi ke beberapa Factory Outlet untuk membeli baju.
Terakhir
kami pergi ke pusat oleh oleh untuk membeli oleh oleh.
Sampai di
Jakarta, Mas Andra mengantar Wina dan Adelia terlebih dulu ke tempat kos
mereka, lalu aku dan Mas Andra pergi ke cafe Mas Bima. Jam sudah menunjukkan
pukul sepuluh malam ketika kami sampai di cafe Mas Bima.
Mas Andra
membantuku meletakkan bunga dan pot yang aku beli di teras. Ia bilang hari
Minggu besok ia akan membantuku memindahkan bunga bunga itu ke dalam pot dan
menggantungnya di depan teras.
Aku hanya
bisa mengucapkan terima kasih pada Mas Andra, termasuk saat Mas Andra
menawarkan diri untuk mengembalikan mobil ke tempat penyewaan mobil.
~ ~ ~
POV Andra
Aku langsung
mencari taksi setelah mengembalikan mobil yang disewa Kiara.
Aku menunggu
selama sepuluh menit sebelum akhirnya sebuah taksi lewat di hadapanku. Aku
masuk dan duduk setelah sebelumnya memberitahu alamat yang kutuju pada supir
taksi.
Tubuhku
terasa lelah karena mengendarai mobil pulang pergi Jakarta Bandung, dan aku
ingin sekali beristirahat. Tapi aku memutuskan untuk menunda istirahatku. Ada
sesuatu yang harus kuselesaikan terlebih dulu. Kalau tidak kuselesaikan malam
ini, pasti hal ini akan terus kepikiran.
Walau tubuh
terasa lelah tapi aku benar benar merasa bahagia. Hari ini adalah salah satu
hari terhebatku karena aku bisa menghabiskan waktu seharian dengan wanita yang
kusukai.
Ya, Kiara,
aku sangat menyukainya. Aku menyukai Kiara dari dulu saat aku bertemu pertama
kalinya dengannya di cafe Bima, saat Bima memperkenalkan Kiara padaku.
Saat itu,
aku bilang pada Bima kalau aku sangat menyukai Kiara tapi Bima malah
mengancamku agar aku jangan macam macam dengan Kiara. Agar aku jangan
mengganggu Kiara.
Menurut
Bima, Kiara dititipkan orangtuanya padanya karena Kiara merantau sendirian ke
Jakarta, bahkan sejak masuk kuliah. Jadi Bima merasa bertanggung jawab atas
diri Kiara.
Aku saat itu
berusaha menyakinkan Bima kalau aku tidak akan menyakiti Kiara atau apa kalau
Bima mengijinkan aku berpacaran dengan Kiara. Tapi Bima tak percaya padaku
Menurut
pendapat Bima saat itu, aku pasti akan bikin masalah lagi dengan mengacaukan
hubunganku dengan Kiara, kalau aku berpacaran dengan Kiara, seperti hubunganku
dengan pacar pacarku sebelumnya.
Aku bilang
pada Bima kalau hubunganku putus dengan seseorang, itu bukan tanpa alasan. Aku
tak pernah menemukan kecocokan dengan mereka.
Bima tak mau
mendengar apa yang kukatakan, intinya, ia tetap melarangku untuk mendekati
Kiara.
Aku tak tahu
harus menunggu Kiara berapa lama atau sampai kapan, tapi ketika aku tidak
mendapat lampu hijau juga dari Bima akhirnya aku berpacaran dengan Yola.
Sebenarnya
aku tidak terlalu menyukai Yola, maksudku, rasa suka aku pada Yola tidak
sebesar rasa suka aku pada Kiara. Hingga detik ini, nama Kiara masih terpatri
kuat di hatiku, jadi mau diperbandingkan seperti apapun Kiara tetap unggul.
Tapi aku menghormati Yola dan menyayanginya. Namun kalau memang harus memilih,
aku lebih baik kehilangan Yola daripada kehilangan Kiara.
Taksi yang
kutumpangi akhirnya tiba di tempat tujuanku di Kemang. Aku lalu turun dari
taksi dan menuju sebuah gedung apartemen.
Apartemen
Yola ada di gedung tersebut.
~ ~ ~
POV Andra
Yola cukup
terkejut melihat aku datang malam malam begini. Tapi ia menyambutku dengan
gembira.
“Yola, ada
yang harus kita bicarakan,” ujarku setelah duduk di hadapannya.
“Tentang?”
“Tentang
kita.”
“Maksudnya?”
“Aku rasa,
kita tidak bisa bersama sama lagi.” Ujarku.
“Maksud Mas
Andra kita putus?” tangis Yola langsung pecah. Dia seperti tak percaya dengan
apa yang dia dengar.
“Aku minta
maaf. Aku benar benar minta maaf.”
“Kenapa?”
teriak Yola sambil terus menangis, “apa ada seseorang? Oh, ya, Kiara, Mas Andra
dekat dengannya akhir akhir ini. Pasti dia. Apa karena dia?”
“Tidak Yola,
ini bukan karena siapa siapa. Aku hanya tidak bisa meneruskan hubungan ini. Itu
saja.”
“Mas Andra
tidak bisa meneruskan hubungan tanpa alasan?” teriak Yola lagi.
“Aku tidak
akan memberikan penjelasan apapun padamu Yola. Kalau kau bisa menerima
keputusanku, aku akan sangat berterima kasih. Itu saja yang ingin aku
sampaikan.” Ujarku sambil berdiri dari dudukku.
“Mas,
tunggu, kau pikir hubungan kita bisa berakhir dengan mudah seperti ini? Kita
terlibat banyak hal. Ada bisnis Distro di antara kita,Bagaimana dengan distro?
Bagaimana dengan mobil? Bagaimana dengan apartemen ini? Itu semua milikmu. Aku
harus pergi dari sini atau bagaimana?”
“Kau tidak
harus pergi kemanapun,” ujarku. “Tinggallah disini kalau kau tetap ingin
tinggal di sini.”
“Sampai
kapan?”
“Entahlah,
mungkin sampai Dilan lulus kuliah dan mengelola distro bersamamu. Itu
juga kalau Dilan mau. Kita lihat saja nanti.”
“Lalu mobil
masih bisa terus kugunakan?”
“Iya Yola,
tidak ada yang berubah dengan semuanya, kecuali hubungan kita.”
“Tapi…”
“Aku lelah
sekali sekarang, aku ingin cepat cepat istirahat, kapan kapan kita bicara lagi
tentang distro dan lain-lainnya.” Ujarku sambil berjalan menuju pintu.
“Aku pulang sekarang, selamat malam.”
Entah
kenapa, setelah mengatakan itu semua pada Yola aku merasa lega. Aku tahu sejak
dulu memang ini yang kuinginkan. Aku mempertahankan Yola entah untuk apa. Aku
tak pernah punya banyak waktu untuk hubungan kami. Pekerjaanku selalu banyak, pesanan program ini dan itu
selalu berdatangan baik dari dalam maupun luar negeri. Dan aku sama sekali
tidak terbebani dengan pekerjaanku. Aku menyukainya. Dan karena itu pula,
waktuku banyak tersita untuk pekerjaanku bukan untuk hal lainnya.
~ ~ ~
BAB TUJUH
POV Kiara
Aku tiduran di atas sofa dengan
perasaan nyaman. Sekarang hari Jum’at siang dan aku punya waktu 24 jam untuk
beristirahat sebelum hari Sabtu siang besok aku bekerja lagi di cafe.
Aku baru saja pulang dari Pulau
Bidadari karena tim produksi Bright Advertising ada syuting iklan di
sana.
Pemilihan tempat di Pulau Bidadari
adalah berdasarkan permintaan klien.
Di pulau Bidadari ada benteng Menara
Martello peninggalan penjajahan Belanda. Benteng ini dibangun pada sekitar abad
19, fungsinya saat itu adalah untuk mengawasi dan melindungi pulau Onrust dari
tentara Inggris. Pulau Onrust sendiri pada masa itu digunakan sebagai pelabuhan
kapal kapal Belanda sebelum menuju Batavia (Jakarta Sekarang).
Aku harus pergi ke pulau Bidadari
karena salah satu klien Bright Advertising ingin syuting iklannya
dilakukan di benteng Menara Martello itu tadi. Aku dan teman teman tim produksi
menginap selama dua malam untuk mendapatkan hasil syuting yang bagus. Syuting
itu dilakukan untuk membuat iklan parfum.
Ingat iklan parfum tiba tiba aku jadi
ingat Devano. Sudah lama rasanya aku tidak mendengar kabar tentang Devano lagi.
Devano belum menghubungi Bright
Advertising lagi untuk membuat iklan lainnya.
Aku rasa Devano bahkan tidak tahu
kalau Selly bukan pemilik Bright Advertising lagi kecuali Selly
memberitahu dirinya.
Dan kalaupun nanti Devano meminta Bright
Advertising untuk membuatkan iklan untuknya lagi, belum tentu juga dia
cocok dengan Ibu Dewi.
Menurut rumor yang beredar, klien
Ibu Dewi tidak sebanyak klien Selly. Entah apa yang terjadi, mungkin Ibu
Dewi tidak seramah dan se-menyenangkan- Selly sehingga para klien enggan
berhadapan dengan ibu Dewi. Yeah, jangankan para klien, aku saja
malas berhadapan dengan ibu Dewi yang seperti singa.
Sedang asik asiknya tiduran, pintu
kamarku tiba tiba diketuk seseorang. Aku segera bangun dan membuka pintu,
ternyata Mbak Venita, isteri Mas Bima.
“Oh Mbak Ve, masuk Mbak,” ujarku
sambil mempersilahkan Mbak Venita masuk.
“Kata Mas Bim kau sedang ada
dirumah,” ujar Mbak Venita sambil masuk dan duduk di salah satu kursi di ruang
tamu kecilku. “Jadi aku ke sini.”
“Iya, tadi pagi aku baru pulang dari
pulau Bidadari, ada syuting iklan disana. Lalu aku ke kantor sebentar untuk
mengembalikan camera dan lain lain dan pulang deh.”
“Ya,” Mbak Venita mengangguk sambil
memperhatikan suasana kamarku. “Ngomong ngomong tempat ini jadi asik begini,
jaman aku tinggal di sini dulu tidak se-adem ini.”
“Oh, itu karena tanaman bunga yang
digantung memenuhi teras.” Ujarku, “tanaman itu menghalangi sinar matahari jadi
tempat ini jadi terasa sejuk.”
“Ya, aku dengar kau dan Andra pergi
berbelanja bunga bunga itu.”
“Itu benar, Mas Andra juga yang
membantu aku menggantung bunga bunga itu.”
“Andra memang baik,” Mbak Venita
tertawa, “ehm begini Ki, aku ke sini ingin bertanya padamu apakah boleh,
adikku, Tia, tinggal disini bersamamu?”
Aku menatap Mbak Venita bingung,
untuk sejenak aku berusaha mencerna kata kata Mbak Venita barusan.
Tinggal denganku? Bukankah selama ini
Tia kos di Depok, di dekat kampusnya, Universitas Pancasila? Dan, kamar di
rumah Mbak Venita juga banyak, haruskah Tia tinggal denganku?
“Yah kalau kamu keberatan sih tidak
apa apa.” Ujar Mbak Venita lagi, mengagetkanku.
“Tidak, tidak keberatan kok.” Sahutku
cepat. Hello, atas dasar apa aku keberatan? Ini rumah Mas Bima dan Mbak
Venita. Aku hanya numpang disini.
“Bagus kalau begitu,” Mbak Venita
tersenyum senang, “nanti aku bilang Tia kalau kau tak keberatan Tia pindah
kesini, mungkin besok ia pindah.”
Secepat itu? Tanyaku dalam hati.
“Pengaturan kamarnya bagaimana Mbak?”
tanyaku akhirnya, masih kaget dengan situasi yang terjadi. Aku menempati kamar
ini baru sebentar, dan kini aku harus berbagi kamar ini dengan orang lain?
“Disekat saja, kan itu sudah ada
penyekatnya. Terserah kamu mau disebelah mana, nanti Tia tinggal setelah kamu
memilih.”
“Tidak, biar Tia saja yang memilih,
aku nanti di bagian yang tidak dipilih Tia.” Ujarku.
“Baiklah kalau begitu,” Mbak Venita
berdiri dari duduknya, “terima kasih ya Kiara atas pengertiannya.”
“Ya, tentu, tidak masalah,” jawabku.
“Tia nanti tidak kos lagi?”
“Tidak. Biar hemat, dia tinggal
disini saja, uangnya bisa ditabung sepertimu.”
Aku hanya mengangguk. Dan mengantar
Mbak Venita pergi hingga ke pintu pagar.
Hah, hemat apaan, gerutuku dalam hati. Sama saja.
Tia kos dia tidak harus keluar uang kalau pergi ke kampus karena bisa dilakukan
dengan jalan kaki. Kalau tinggal di sini kan harus keluar uang untuk ongkos
pulang pergi.
Setelah Mbak Venita pergi aku duduk
dibangku teras dan merenung.
Aku masih merasa heran dengan situasi
yang terjadi. Tia sering menginap di rumah kakaknya, dia juga sering bolak
balik ke cafe kalau sedang tidak ada kuliah. Tapi selama itu ia tidak tertarik
tinggal di atas cafe. Lalu, kenapa sekarang ia harus merasa tertarik tinggal
disini?
Tentu saja karena tempat ini sekarang
menjadi bersih dan asri. Keluhku dalam hati. Dan mereka, - Mbak Venita dan Tia - tidak mau
melihat aku merasa nyaman tinggal di sini.
~ ~ ~
POV Kiara
Aku pikir saat Mbak Venita bilang
kalau Tia mau pindah besok, Mbak Venita tidak sungguh sungguh dengan ucapannya.
Tapi Mbak Venita benar benar pergi pagi pagi sekali ke tempat kos Tia untuk
membantu Tia packing dan pindah ke tempatku.
Saat Mbak Venita pergi dengan
mobilnya, Mas Bima langsung menghampiriku dan meminta maaf padaku karena aku
harus berbagi tempat tinggal dengan Tia.
Menurut Mas Bima, Tia sudah ditawari
untuk tinggal dirumahnya. Tapi Tia tidak mau. Alasan Tia adalah dia ingin privacy.
Yeah, yang benar saja. Privacy? Berbagi kamar denganku dia akan
mendapatkan privacy?
Aku akhirnya bilang ke Mas Bima agar
jangan khawatir, bahwa itu semua bukan masalah untukku.
Setelah Tia datang, aku langsung
mempersilahkan Tia memilih ingin tinggal di sebelah mana, Tia ternyata memilih
tempat yang selama ini jadi kamar tidurku. Ia bahkan tiduran di sofa empukku.
“Mbak, aku ingin sofa yang seperti
ini,” ujar Tia pada Mbak Venita yang sibuk membantu Tia menata barangnya.
“Iya, nanti, satu satu, jangan
sekarang.” Komentar Mbak Venita.
Sementara Mbak Venita menaruh barang
barang Tia, aku juga memindahkan baju bajuku ke ruang tamu kecilku agar tempat
Tia menjadi kosong.
Umur ruang tamu kecilku hanya
sebentar karena tempat itu akan menjadi ruang untuk tempat aku tidur. Bahkan
untuk memasak pun aku sepertinya harus melakukannya di teras. Aku sudah
memindahkan kompor dan perlengkapan masak lainnya ke teras.
“Sofa kulit ini empuk sekali,”
komentar Tia lagi, saat aku sibuk menata bajuku, “pasti mahal harganya. Iya
nggak Mbak Kiara?”
Aku cuma tersenyum, “kau tidur saja
disofa itu kalau kau mau,” ujarku.
“Serius?” Tia bertanya girang.
“Jangan Tia, itu punya Kiara!” seru
Mbak Venita.
“Tidak apa apa kok Mbak Ve, sungguh.”
Sahutku ke arah Mbak Venita.
“Kau bagaimana?” tanya Mbak Venita.
“Aku gampang, nanti mungkin aku akan
beli sofa kasur yang lain.”
“Terima kasih kalau begitu.”
“Iya, sama- sama.”
Aku akhirnya berjalan ke teras, duduk
di salah satu kursi di sana, meminum jus jerukku dan memandang bunga bunga
indah yang bermekaran di hadapanku dengan perasaan kesal.
~ ~ ~
BAB DELAPAN
POV Author
Audrey meminum kopinya pelan pelan.
Di hadapannya, Jennie sedang asik menikmati cheese cake. Mereka sedang
berada di salah satu cafe di daerah Pondok Bambu.
Mereka berdua baru menghadiri ulang
tahun sahabat mereka yang dirayakan di salah satu hotel tidak jauh dari cafe
itu.
Tapi karena Audrey masih ingin
ngobrol dengan Jennie, akhirnya Audrey mengajak Jennie mampir dulu ke cafe itu
sebelum mereka pulang ke rumah.
“Aku senang kau tidak bertengkar
dengan Dev tentang Mona,” ujar Jennie, “dan membiarkan mereka berpacaran.”
“Jangan salah Jen, aku diam bukan
berarti aku menyerah.” Kata Audrey.
“Maksudmu?” Jennie kaget.
Audrey tersenyum, “aku sudah
memikirkan ini. Aku punya rencana agar hubungan mereka berakhir.”
“Rencana apa Audrey? Jangan macam
macam ah. Kukira kau sudah mau memaafkan Mita dan..”
“Memaafkan Mita katamu? No way. Sampai
kapanpun aku tidak akan memaafkannya.”
“Audrey, kejadian ini sudah lama
terjadi. Kau, Mita dan Arman sudah punya kehidupan sendiri sendiri sekarang,
masa sih kau tidak mau berdamai dengan masa lalu?”
“Jennie, aku mengajakmu ke sini bukan
ingin mendengar kau menasehatiku, tapi ingin memberitahu rencanaku.”
“Oke, baiklah, apa rencanamu?”
“Aku ingin menjodohkan Dev dengan
seseorang.”
“O, ya?” tanya Jennie, “dan siapa
itu?”
“Aku belum tahu, aku akan
mencarinya.”
“Kau belum tahu?” teriak Jennie
bingung.
“Ssh, lihat waitress yang
punya rambut sebahu di sebelah sana?” tanya Audrey tiba tiba. Waitress yang
Audrey maksud adalah Kiara, yang malam itu kerja di cafe. Kiara kerja sendiri
karena sebentar lagi cafe tutup. Ia yang terbiasa tinggal paling akhir dan
bertugas untuk menutup cafe.
“Ya, aku lihat,” jawab Jennie,
“kenapa dengan dia?”
“Dia cantik ya?”
“Ehm, okelah, aku lebih suka menyebut
dia manis daripada cantik.”
“Ya, terserahlah.” Ujar Audrey, “aku
akan meninggalkan dompetku di tempat ini,”
“Kau apa?” teriak Jennie kaget.
“Aku akan meninggalkan dompetku
dengan fotokopi KTP-ku, kalau waitress itu mengembalikan dompet itu
kerumahku, aku akan menjodohkan dia dengan Dev.”
“Audrey, kau gila!” desis Jennie
kaget.
“Ssh, jangan keras keras.”
“Atas dasar apa kau mau menjodohkan
Dev dengan seseorang yang tidak kau kenal? Kau bahkan tidak tahu asal usul
orang itu!”
“Atas dasar kejujuran. Kalau dia
mengembalikan dompetku berarti dia orang jujur.”
“Kalau tidak?”
“Ya, tidak apa apa, berarti bukan dia
orangnya. Ya sudah, aku akan meninggalkan dompetku di suatu tempat.”
“Kalau yang menemukan bukan waitress
itu bagaimana?”
“Itu berarti bukan jodoh.”
“Kalau dompetmu tidak ada yang
mengembalikan bagaimana?”
“Tidak apa apa, itu bukan rejeki aku.
Aku ikhlas.”
“Berapa uang yang kau taruh di
dompetmu?”
“Jennie, kamu banyak nanya deh kayak
tamu, sudah ah, aku pergi dulu.”
Jennie akhirnya membiarkan Audrey
pergi. Audrey pergi ke arah toilet lalu sepuluh menit kemudian kembali
kepada Jennie.
“Sudah,” Audrey tersenyum senang,
“aku sudah menaruhnya di dekat tempat cuci piring. Tadi kebetulan tidak ada
orang disana, jadi aku leluasa menaruhya. Ayo Jennie, kita pergi sekarang.”
Jennie mengangguk, mereka berdua
akhirnya pergi dari tempat itu.
~ ~ ~
POV Author
Kiara memperhatikan dua orang
pelanggan cafe yang pergi dengan sedikit terburu buru. Kiara mengerutkan
kening. Mungkin hari sudah terlalu malam sehingga dua orang wanita cantik yang
tadi minum di cafe Mas Bima ingin segera cepat cepat pulang.
Kiara langsung menutup pintu cafe dan
menguncinya. Kedua wanita cantik itu adalah tamu cafe terakhir malam ini.
Kiara biasa bertugas mengunci pintu
cafe kaena ia tinggal di atas cafe. Sekarang sudah jam sebelas malam, sementara
teman temannya yang rumahnya jauh sudah pulang setengah jam yang lalu.
Mas Bima yang juga biasa mengunci
pintu cafe, - bergantian dengan Kiara - hari ini sedang pergi ke Palembang
untuk menghadiri acara pernikahan keluarga Mbak Venita yang asal Palembang.
Sahabat sahabat Mas Bima seperti Mas
Andra dan Mas Egi sedang tidak datang ke cafe, sehingga Kiara benar benar
sendiri malam ini, padahal biasanya mereka menemani Kiara.
Setelah mengunci pintu cafe, Kiara
pun berjalan ke tempat duduk dua wanita tadi untuk mengambil piring dan gelas
yang kotor. Ia harus mencuci piring dulu sebelum meninggalkan cafe lewat pintu
dapur atau pintu belakang.
Kiara membawa piring dan gelas kotor
itu ke tempat cuci piring, lalu ia mencuci semua gelas dan piring kotor disana.
Saat Kiara akan mematikan lampu, ia
melihat sebuah dompet merah tergeletak tidak jauh dari tempat cuci piring.
Kiara menatap dompet itu heran.
Mungkin itu dompet temannya yang tertinggal. Kiara lalu mengambil dompet itu.
Ia akan memberikan dompet itu pada temannya besok.
Sampai di tempat tidurnya, Kiara
menaruh dompet itu di tumpukan bajunya. Lalu ia tertidur pulas.
~ ~ ~
POV Author
Sudah hampir dua minggu sejak Audrey
meninggalkan dompetnya di cafe yang ia dan Jennie kunjungi, tapi tidak ada
kabar apa apa tentang dompet itu. Dompet itu belum dikembalikan. Audrey sudah
pasrah, tapi ia tak mau menuduh waitress yang ia temui disana tidak
jujur, mungkin yang menemukan dompet itu bukan wanita itu, mungkin orang lain.
Audrey agak sedikit kecewa, karena ia
sangat menyukai wanita itu dan berharap wanita itu bisa membantunya dalam
mengatasi masalah yang sedang dihadapinya. Mungkin kalau Audrey meminta
pertolongan langsung pada wanita itu, ia mau menolong, tapi permasalahannya,
Audrey suka pada orang yang jujur, jadi ia ingin menguji apakah wanita itu
jujur atau tidak dengan mengembalikan dompet yang ia tinggalkan di sana.
Tapi sepertinya rencananya tidak
berjalan lancar, entah siapa yang menemukan dompet miliknya, dan entah apa yang
terjadi dengan dompet itu.
Yang jelas kalau dalam waktu dua
minggu ini tidak ada kabar apapun tentang dompet itu, berarti ia tak bisa
mengharapkan apa apa lagi. Orang yang menemukan dompet itu pasti sudah
menghabiskan uang yang ada didalam dompet tersebut.
Jennie hampir tiap hari meneleponnya
untuk menanyakan apakah dompet itu dikembalikan atau tidak. Audrey sampai bosan
menjawab pertanyaan dari Jennie dan meminta Jennie untuk tidak menanyakan soal
dompet itu lagi.
Sedang berpikir tentang Jennie, tiba
tiba Jennie muncul di rumah Audrey sambil membawa sesuatu. Mereka berdua sering
berkunjung antara satu dengan yang lain sambil membawa makanan.
“Apa itu?” tanya Audrey memperhatikan
Jennie yang meletakkan makanan yang ia bawa ke atas meja makan Audrey.
“Makaroni panggang. Enak deh. Asisten
rumah tanggaku tadi bikin banyak, sedang ada tamu dari keluarga suamiku di
rumah. Aku bawa ke sini deh satu loyang.”
“Ada tamu dari keluarga suamimu dan
kau malah pergi ke sini?” tanya Audrey heran.
“Itu sudah biasa, mereka sudah sering
datang ke rumahku dan menginap. Aku kan tidak harus selalu ada untuk mereka.
Sudah sih santai saja, ayo dicoba makaroninya, sinih aku iriskan.” Ujar Jennie
sambil mencari pisau. Ia mengiris beberapa makaroni dan memberikannya pada
Audrey. Dan mengiris beberapa lagi untuk dirinya sendiri.
“Terima kasih,” Audrey menerima
makaroni itu dan mulai memakannya.
“Jadi dompet itu belum kembali?”
Jennie duduk tidak jauh dari Audrey.
“Jennie, aku sudah bilang jangan
bertanya soal dompet itu lagi.”
“Kau sih nekat Drey, hari gini orang
jujur itu sudah sedikit. Apalagi kalau nemu rejeki nomplok, wah pasti
nggak akan dikembalikan itu dompet.”
“Tidak semua orang tidak jujur
Jennie, masih ada kok orang jujur, kau pernah baca berita tidak, ada beberapa
anak muda yang mengembalikan dompet seorang bapak bapak sampai harus menempuh
jarak yang cukup jauh padahal uang yang mereka temukan adalah sebanyak 950 ribu
rupiah. Bapak bapak itu sampai terharu.”
“Tidak, aku tidak tahu berita itu,
memang ada kejadian seperti itu?”
“Ada, dan itu benar benar terjadi.”
“Wah anak anak muda itu keren. Mereka
jujur.”
“Ya.”
“Lalu berapa uang yang kau taruh
didompet yang kau tinggal di cafe itu?” tanya Jennie sambil mengambil sepotong
makaroni panggang dan memasukkan ke mulutnya.
“Jennie! Aku sudah bilang jangan
bertanya tentang hal itu karena sampai kapanpun tidak akan kuberitahu!”
“Segitunya,” Jennie langsung tertawa.
“Pasti jumlahnya besar ya dan kau menyesal sekarang.”
“Tidak, aku tidak menyesal. Sejak
menaruh dompet itu disana, aku sudah ikhlas. Kembali alhamdulillah, tidak
juga tidak apa apa.”
“Dan sepertinya tidak kembali,” ujar
Jennie.
“Sepertinya begitu.”
“Berarti kau harus menyusun rencana
baru. Di cafe atau restoran mana lagi kau akan meninggalkan dompetmu?”
“Tidak Jennie, aku tidak akan
meninggalkan dompet lagi. Hal ini cukup sekali saja kulakukan.”
“Lalu calon menantumu bagaimana? Kau
bilang kau akan menjodohkan Dev dengan seseorang.”
“Kalau itu masih akan kulakukan.
Entahlah, mungkin nanti aku akan mencari tahu apakah sahabat sahabat kita punya
anak gadis yang bisa kujodohkan dengan Dev. Kalau memang ada, aku akan memilih
satu diantara mereka.”
“Sayang anakku laki laki semua,”
Jennie tertawa, “kalau tidak, kita sudah jadi besan.”
~ ~ ~
POV Kiara
Aku baru mengantarkan pesanan para
pelanggan. Seperti biasa, tiap akhir pekan, cafe selalu ramai. Begitupun dengan
malam ini, sepertinya aku tak punya banyak waktu untuk beristirahat walau
sejenak. Tapi aku selalu menyempatkan diri untuk duduk walau hanya sebentar.
Aku lalu duduk disalah satu kursi
dekat dapur. Aku saat ini sedang merasa kesal karena Tia dan teman teman
kuliahnya sedang ada di tempat tinggal kami. Dan kalau sudah berkunjung seperti
itu, mereka biasanya lama perginya.
Tia ingin privacy dengan
tinggal disana, dan kini, aku yang tidak punya privacy lagi. Tia and
the gank sepertinya sekarang menguasai tempat itu.
Mereka menyetel musik keras keras,
mereka nge-dance, karokean, ketawa ketiwi cekikikan dan entah apa lagi.
Setelah bikin huru hara,
mereka akan pergi begitu saja dari tempat itu tanpa perduli dengan sampah yang
berserakan dimana mana.
Aku tak habis pikir bagaimana
orangtua mereka mendidik anak anak gadis mereka. Mereka tidak diajarkan tentang
kebersihan. Mereka jorok semua. Terutama Tia. Tia selalu menumpuk kardus kardus
bekas makanan di pojok ruangan. Dan tidak cepat cepat membuangnya padahal bau
sisa makanan tercium ke mana mana, termasuk ke tempatku. Aku akhirnya yang
membuang sampah itu. Dan hal itu sering kulakukan.
“Ki, Mas Egi pesan kopi pahit, cepat
ini antarkan,” Mbak Mega tiba tiba menghampiriku dan memberikan secangkir kopi
pesanan Mas Egi.
“Oke,” aku menerima kopi itu dan
pergi menemui Mas Egi.
Mas Egi nampak sedang duduk berhadap
hadapan dengan Mas Andra.
“Kiara, darling, apa yang
membuat wajahmu muram seperti itu? Tersenyumlah, karena senyum akan membuat
kita awet muda.” Ujar Mas Egi sambil menerima kopi yang kuserahkan padanya.
“Kata siapa senyum bisa bikin awet
muda?” tanya Mas Andra.
“Kata buku.” Jawab Mas Egi. “Aku
membacanya dibuku. Jadi jika kita tersenyum, otot otot yang digunakan untuk
tersenyum bisa membantu mengangkat wajah sehingga membuat orang tampak lebih
muda.”
“Oh, begitu,” gumam Mas Andra.
“Ya sudah ya, aku masih banyak
kerjaan,” ujarku sambil akan pergi.
“Duduklah dulu Ki, aku punya tebak
tebakan.” Seru Mas Egi.
“Tebak tebakan Mas Egi mah garing.”
Komentarku.
“Enak garing, kayak kerupuk.”
“Apa tebakannya?”
“Awan, awan apa yang bikin hati kita
senang?”
“Awanna with you forever.” Jawabku.
“Salah.”
“Apa dong?”
“Awanna hold your hand ‘till the end
of time.”
“Jiahh,” teriak Mas Andra, “keahlian
Egi dari dulu emang suka gombalin cewek.”
Mas Egi cuma ketawa.
“Ya udah ya, aku pergi dulu,” ujarku
lagi.
“Sebentar Ki,” tahan Mas Egi lagi,
“aku bayar dulu. Aku suka lupa kalau nggak langsung bayar.” Mas Egi langsung
mengeluarkan dompetnya. Dompet Mas Egi berwarna merah.
Aku seperti melihat dompet seperti
itu di suatu tempat. Dompetnya mirip. Cuma kalau dompet Mas Egi dompet cowok,
dompet yang pernah aku lihat dompet cewek.
Dimana ya aku melihatnya? Renungku. Sepertinya di tempat
ini.
Astaga. Sepertinya aku pernah
menemukan dompet berwarna merah di tempat ini.
“Ini Ki,” Mas Egi memberikan uang
seratus ribu rupiah padaku. “Kembaliannya untuk tip.”
“Terima kasih,” aku menerima uang
dari Mas Egi sambil tersenyum.
“Nah gitu dong senyum, kan
enak ngeliatnya.” Komentar Mas Egi.
“Hehe, tipnya gede, Mas. God Bless
You Mas Egi.”
“Aamiin.” Sahut Mas Egi.
Tip yang kami terima dari para
pelanggan biasanya akan dikumpulkan dan Mas Bima akan membagikannya pada
kami secara adil tiap bulan bersama sama
dengan gaji. Jadi semacam bonus gitu.
Aku lalu berlari ke arah Mas Bima
untuk minta ijin pergi sebentar. Mas Bima mengijinkan. Akupun segera berlari ke
atas, ke kamar tidurku.
Aku baru ingat dompet itu sekarang.
Teman temanku sepertinya tidak ada yang kehilangan dompet karena mereka tidak
ada yang bertanya padaku apakah aku pernah meilhat dompet yang tertinggal atau
tidak.
Aku ingat menaruh dompet yang
kutemukan itu di tumpukan bajuku. Dan ternyata benar, dompet itu masih ada
disana.
Aku membuka isinya. Ada selembar fotocopy
KTP disana dan sejumlah uang pecahan seratus ribu rupiah.
Aku terkejut dengan isinya. Aku
memegang dompet itu erat tanpa tahu apa yang harus kulakukan.
~ ~ ~
BAB SEMBILAN
POV Author
Hujan turun dengan derasnya bagai
ditumpahkan dari langit. Sementara angin bertiup sangat kencang.
Audrey segera menutup beberapa
jendela kamar yang ada dirumahnya. Rumah Audrey sangat besar, setidaknya ada
delapan kamar dirumahnya. Empat kamar dilantai bawah, dan empat kamar di lantai
atas.
Kamar Audrey dan suaminya ada
dilantai bawah, sementara kamar anak-anaknya; Devano dan Dinda ada di lantai
atas. Sisa kamar biasanya digunakan untuk para tamu yang menginap.
Para asisten rumah tangga Audrey dan
supirnya punya kamar sendiri disamping kolam renang, bersebrangan dengan rumah
utama, jadi semacam paviliun.
Audrey punya supir sendiri. Kemana
mana ia selalu diantar supir kecuali jika ia sedang ingin mengendarai sendiri
mobilnya. Suami Audrey juga punya supir sendiri.
Tapi berbeda dengan supir Audrey yang
menginap dirumah, supir suaminya tidak menginap dirumah, ia bekerja sesuai
dengan jam kerja. Pagi ia datang ke rumah untuk menjemput suami Audrey pergi ke
kantor, malam, ia mengantar suami Audrey pulang ke rumah. Diantara waktu itu,
ia standby di kantor, siap mengantar suami Audrey kemana saja.
Diluar jam kerja, kalau suami Audrey
ada perlu biasanya diantar oleh supir Audrey atau mengendarai mobil sendiri.
Asisten rumah tangga Audrey ada empat
orang, tiga perempuan dan satu laki laki.
Yang perempuan tugasya antara lain :
satu orang khusus untuk mencuci dan menyetrika baju, satu orang untuk bersih
bersih rumah dan satu orang untuk berbelanja makanan ke pasar dan memasak.
Audrey selalu suka masakan yang fresh,
sehingga Bi Surti, asisten rumah tangganya yang khusus belanja dan memasak,
harus berbelanja bahan makanan segar setiap hari ke pasar.
Untuk asisten rumah tangga yang laki
laki tugasnya adalah membersihkan kebun, menata tanaman dan hal hal yang
berkenaan dengan kebun.
Audrey tidak punya petugas security
dirumahnya karena komplek tempat Audrey tinggal sangat ketat penjagaan
keamanannya. Seluruh komplek dipagari pagar besi yang tinggi, dan di pintu
gerbang utama setidaknya ada tiga petugas keamanan yang berjaga, bergantian
dengan tiga penjaga lainnya selama 24 jam.
Setiap tamu wajib meninggalkan kartu
identitas jika ingin berkunjung ke komplek yang Audrey tinggali. Hanya penghuni
komplek yang bebas keluar masuk komplek tanpa harus menunjukkan kartu identitas
pada petugas keamanan karena para petugas keamanan itu sudah kenal mereka.
Malam ini, Audrey makan sendiri.
Biasanya suami Audrey menemani Audrey makan, tapi karena beberapa jalanan di
Jakarta banjir, mobilnya terjebak macet sehingga suaminya kemungkinan telat
datang ke rumah. Suaminya meminta Audrey untuk makan terlebih dulu tanpa harus
menunggu dirinya.
Kedua anak Audrey seperti biasa
jarang pulang ke rumah. Devano punya apartemen sendiri dan pulang ke
apartemennya sementara Dinda punya tempat kos sendiri di Depok dan sibuk dengan
kuliahnya. Dinda akan pulang ke rumah kalau kuliahnya libur atau tidak ada
kesibukan yang berarti.
Menu makan malam audrey malam ini
adalah Sup jagung manis, ikan bakar, sambal dan lalapan.
Sup jagung manis adalah salah satu
makanan favorit Audrey sejak kecil. Jadi menu itu cukup sering dimasak Bi Surti
untuk Audrey.
Sedang asik-asiknya makan, Pak
Ridwan, supir Audrey menghampiri dirinya, ia memberitahu Audrey ada tamu yang
mencari dirinya.
“Siapa Pak?” tanya Audrey.
Audrey berpikir bahwa tamunya bukan
sahabat sahabatnya, karena kalau sahabatnya, ia akan langsung menemui dirinya
dan tidak menunggu di ruang tamu seperti itu.
“Entahlah Bu, dia seorang wanita.”
Jawab Pak Ridwan.
“Oke, baiklah, aku akan menemuinya.
Terima kasih Pak.”
“Iya.”
Audrey segera berjalan ke ruang tamu.
Ia melihat seorang wanita dengan baju dan rambut basah sedang duduk di salah
satu sofa yang ada diruang tamunya.
Untuk sejenak Audrey tidak mengenali
wanita tersebut, tapi sepertinya ia pernah melihat wanita itu di suatu tempat
entah dimana.
“Selamat malam,” wanita itu berdiri
dan tersenyum ke arah Audrey, “maaf mengganggu malam malam begini, saya hanya
ingin mengantarkan ini,” wanita itu memberikan sebuah dompet merah pada Audrey.
Audrey terperangah. Ia baru ingat
siapa wanita itu. Wanita itu adalah waitress di cafe yang ia dan Jennie kunjungi
dua minggu yang lalu.
“Aku menemukan dompet ini di cafe,”
ujar Wanita yang ternyata Kiara, “ada fotocopy kartu identitas di dalamnya,
yang alamatnya adalah di rumah ini, lalu ada uang lima juta rupiah. Aku tidak
tahu sebelumnya jumlah uang di dalamnya berapa, tapi saat aku menghitungnya
lima juta rupiah.”
“Ya, Ya,” ujar Audrey senang, “itu
dompetku, dan seingatku uang yang ada di sana memang sejumlah itu. Terima kasih
sudah mengembalikan dompetku.”
“Sama sama.”
“Kalau aku boleh tahu, siapa namamu?”
“Aku kiara,” ujar Kiara sambil
tersenyum.
“Senang bertemu dan berkenalan
denganmu Kiara,” Audrey langsung menjabat tangan Kiara erat. “Kau hujan hujanan
kesini?”
“Tadinya sih tidak hujan. Aku naik
ojek ke sini, di tengah jalan hujan, akhirnya dipintu gerbang, petugas keamanan
disana meminjamkan aku payung, tapi aku terlanjur basah. Aku harus meninggalkan
KTP ku disana.” Ujar Kiara.
“Ya, disini memang ketat. Itu demi
keamanan. Tapi KTPmu aman kok. Kau langsung dari rumah atau dari tempat lain?”
“Aku pulang kerja. Tadinya pas jam
makan siang aku mau mengembalikan dompet ini, tapi jarak kantorku dengan rumah
ini jauh, sekitar satu jam perjalanan. Jadi ya baru bisa kukembalikan
sekarang.”
“Tidak apa apa. Sekali lagi terima
kasih ya, kupikir dompet ini tidak akan kembali, aku sudah pasrah saja. Kau
baru menemukannya?”
“Tidak,” Kiara menggeleng,
“sepertinya aku menemukannya beberapa minggu yang lalu, tapi aku lupa, aku
menyimpannya di lemari bajuku, aku baru ingat kemarin.”
“Kau luar biasa,” Audrey tersenyum
lebar, “jarang sekali loh orang yang jujur jaman now.”
Kiara tertawa, “ya, kebetulan aku
takut kalau berbuat tidak jujur alias berbuat tidak baik, takut ada karmanya.
Karena kupikir, semua perbuatan baik akan menghasilkan balasan yang baik, dan semua
perbuatan yang tidak baik akan menghasilkan balasan yang tidak baik juga. Kalau
aku mengambil uang itu sekarang, suatu saat nanti aku akan kehilangan uang
dalam jumlah yang sama atau bahkan lebih besar, aku percaya hal itu.”
“Ya, tentu. Kau sudah makan Kiara?”
“Sudah. Tadi aku sempat makan mie
seduh di kantor.”
“Ah, mie seduh tidak mengenyangkan.
Kau tetap harus makan nasi. Aku sedang makan malam sekarang, dan kau harus
makan dulu bersamaku sebelum pulang. Dan o ya karena hujannya masih deras, kau pulang
nanti akan diantar supirku.”
“Tidak usah repot repot Tante, aku
mau pulang sekarang saja.”
“Masih hujan Kiara, ayo makan dulu
denganku, nanti kau diantar pulang.” Ujar Audrey lagi sambil menarik tangan
Kiara untuk mengikuti dirinya pergi ke ruang makan.
~ ~ ~
POV Author
Setelah Kiara pulang diantar
supirnya, Audrey langsung menelepon Jennie dan menceritakan bahwa waitress cafe
yang mereka kunjungi ternyata mengembalikan dompet yang sengaja ia tinggalkan
di dekat tempat cuci piring.
Jennie langsung menjerit kaget dan
menuduh Audrey bohong. Audrey langsung melakukan video call dengan
Jennie dan memamerkan dompetnya.
“Jadi rencanamu untuk menjodohkan Dev
dengan wanita yang mengembalikan dompetmu akan tetap dilakukan?” tanya Jennie
setelah melihat dompet di tangan Audrey.
“Tentu saja.”
“Kau gila Audrey, kau tidak tahu asal
usul wanita itu. Siapa tahu dia keturunan psikopat atau apa.”
“Kamu tuh kebanyakan baca novel
misteri pembunuhan deh,” keluh Audrey.
“Ok, katakan dia bukan keturuan
psikopat. Tapi mungkin dia sudah menikah? Atau janda? Atau apa gitu.”
“Oh, kalau itu jangan khawatir. Tadi
aku sempat mengorek orek informasi tentang dirinya. Dia bilang dia belum
menikah. Tapi masalah dia punya pacar atau belum aku tidak tahu, masa tiba tiba
aku tadi nanyain dia sudah punya pacar atau belum kan aneh.”
“Ya jelas aneh,” Jennie tertawa.
“Lalu tindakan kamu selanjutnya apa Drey?”
“Aku sudah menyuruh Pak Ridwan untuk
mengantar wanita itu pulang. Nanti kan aku jadi tahu alamat rumahnya. Dari situ
aku baru akan menyelidiki siapa dirinya.”
“Kamu kok repot begitu sih Drey,
wanita itu kan kerja di cafe, kita datang saja lagi ke cafe itu, terutama kau,
kau harus sering datang ke cafe itu dan bersahabat dengan wanita itu, nah
setelah kalian akrab, baru deh kau jalankan rencanamu.”
“Wah, benar juga, kau pintar Jennie!”
“Siapa dulu,” Jennie kembali tertawa,
“Jennie!”
Audrey ikut tertawa, “terima kasih ya
sarannya! Aku tidak sabar untuk memulai segalanya sekarang. Kau nanti harus
menemani aku ke cafe itu lagi!”
“Ashiap!” Jawab Jennie langsung.
~ ~ ~
POV Kiara
Aku baru memberikan pesanan kopi Mas
Andra dan akan kembali ke counter kopi ketika Mas Andra menarik tanganku
dan menyuruhku duduk di hadapannya.
“Mau kemana sih? Duduk dulu sebentar kenapa.”
Kata Mas Andra sambil tetap memegang tanganku.
“Aduh Mas, aku banyak kerjaan,”
ujarku, “Mas mau apa sih?”
“Banyak kerjaan katamu? Ngobrol
dengan wanita wanita itu banyak kerjaan?” tunjuk Mas Andra ke arah Tante
Audrey dan Tante Jennie.
“Mas, mereka kan pelanggan, kita
harus menghormati pelanggan. Kalau sesekali ngobrol dengan pelanggan bolehlah.”
“Oke, mereka pelanggan, LALU AKU APA
KIARA? AKU BUKAN PELANGGAN GITU? AKU HARUS BILANG WOW GITU?” teriak Mas Andra
kesal.
“Ya, aku menganggap Mas Andra sebagai
bagian dari cafe ini. Bukan pelanggan. Tapi apa ya. Pokoknya walau Mas Andra
tidak punya saham di cafe ini, tapi Mas Andra sudah seperti Mas Bima, jadi
bagian dari cafe ini, gitu.”
“Oh, aku ngerti, aku sudah seperti keluarga
besar dari cafe ini, begitu maksudmu?”
“Ya, betul. Itu maksudku.”
“Okelah kalau begitu,”
“Jadi aku sekarang boleh pergi?”
tanyaku.
“Ya, tapi jangan terlalu sering
melayani para wanita itu ngobrol Kiara. Tiap aku ke sini kau sedang
ngobrol dengan mereka. Nggak enak sama Mas Bima. Apa kata Mas Bima nanti.”
“Mas Bima ngebolehin kok,” elakku,
“tip mereka besar, mereka memberi tip ke tangan Mas Bima langsung kalau mereka
pulang.”
“Serius?”
“Iya.”
“Ya, tapi menurutku sih sebaiknya para
wanita itu lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarganya di rumah
daripada menghabiskan waktu di cafe ini.”
“Keluarga mereka sibuk Mas Andra.
Para suami mereka sibuk bekerja, para anak mereka sibuk dengan kegiatan masing
masing. Bagus mereka menghabiskan uang mereka di cafe ini daripada menghabiskan
uang mereka di klub atau tempat dugem lainnya.”
“Kamu tuh Ki, jawab melulu,” keluh
Mas Andra.
Aku tertawa, “aku pergi dulu ya,
mereka memanggilku lagi.”
“Oke,” Mas Andra mengangguk sambil
melepaskan tanganku.
Aku kembali menghampiri Tante Audrey
dan Tante Jennie yang dari tadi melambaikan tangan mereka ke arahku menyuruh
aku menghampiri mereka.
Mereka sudah menjadi tamu tetap di
cafe ini hampir tiga bulan ini. Mereka sering datang ke cafe terutama pada
malam Minggu seperti sekarang.
Ada saja kegiatan yang mereka lakukan
di cafe. Kadang minum kopi sambil membaca buku, kadang minum kopi sambil main game,
tapi kebanyakan sih minum kopi sambil mainin HP masing masing.
Sejak aku mengembalikan dompet tante
Audrey, tante Audrey bilang padaku bahwa ia ingin berteman denganku karena
menurut dia, dia merasa sangat kesepian dan tidak punya seseorang untuk
diajaknya curhat. Suaminya sibuk bekerja, anak anaknya juga sibuk dengan
urusan masing masing. Kadang kalau Tante Jennie, - sahabat tante Audrey - tidak
bisa menemaninya ke cafe, tante Audrey akan datang sendiri dan memintaku
menemaninya ngobrol. Apa saja kami obrolkan, mulai dari cuaca, acara gosip di
televisi sampai film atau lagu yang sedang hits.
“Ya tante, ada apa?” aku segera
menghampiri tante Audrey setelah berhasil kabur dari tempat Mas Andra.
“Ki, siap siap. Besok pagi, hari
Minggu pagi kita ke Solo.” Ujar tante Audrey.
“Ke Solo?” teriakku kaget. “Tapi..”
“Kamu jangan khawatir, tadi aku sudah
minta ijin Mas Bima, dan Mas Bima memperbolehkan.” Potong Tante Audrey.
“Tapi hari Senin aku kerja, aku harus
ke Palembang ke Jembatan Ampera untuk syuting iklan.”
“Itu tidak masalah. Minggu malam kau
sudah dirumah lagi. Nanti kau akan diantarkan Pak Ridwan sampai rumah.”
“Kita naik pesawat Kiara,” ujar Tante
Jennie. “Pesawat pagi sekitar jam 6 pagi, pulang juga begitu, naik pesawat
lagi. Mana KTPmu, biar aku pesankan tiketnya sekarang.”
Aku akhirnya mengeluarkan KTPku dari
dompetku dan memberikannya pada tante Jennie. Tante Jennie langsung memoto
KTPku dengan HP mahalnya.
“Coba lihat,” tante Audrey
memperhatikan KTPku, “alamat rumahmu di Yogya.” Gumamnya.
“Iya, rumah orangtuaku ada di Yogya.”
Sahutku.
“Kalau begitu kita mampir ke Yogya
pulangnya Jen, pesawatnya nanti dari Yogya saja.”
“Waktunya sempit Audrey, kau seperti
tidak tahu ibumu saja. Ia pasti akan menahan kita lama. Nggak cukup waktu
sehari ke dua tempat sekaligus.”
“Ya sudah deh, ke Yogyanya kapan
kapan.” Kata tante Audrey, “kau tidak keberatan kan kalau kapan kapan aku main
ke rumah orangtuamu di Yogya?” tanya tante Audrey padaku.
“Tidak, aku tidak keberatan.”
Jawabku.
“Bagus kalau begitu. Sekarang kami
pulang dulu untuk packing. Kau juga harus packing setelah
kerjaanmu selesai, oke?”
“Oke.” Sahutku.
“Jangan khawatir tentang semuanya.
Pulang pergi, tiket pesawatnya akan dipesan oleh Tante Jennie. Besok kami
menjemputmu dini hari.”
“Oke, tante Audrey. Hati hati
mengemudi.”
“Tentu, terima kasih Kiara. Sampai
bertemu besok.”
“Ya, sampai bertemu besok.”
~ ~ ~
POV Kiara
Tia memperhatikan aku packing dengan
wajah cemberut. “Asik banget sih diajak main ke Solo, aku boleh ikut nggak Kak
Kiara?” tanyanya.
“Kayaknya nggak bisa Tia. Tante
Jennie sudah memesan tiket pesawat pulang pergi untuk tiga orang.”
“Kakak asik banget sih kenal dengan
orang kaya seperti mereka. Aku jadi ingin kerja di cafe seperti Kakak.”
“Mbak Ve nggak akan ngijinin kamu
kerja di cafe. Tugas kamu kuliah yang benar Tia, jangan kepikiran kerja atau
apa. Kamu enak, kuliah dibiayain, aku kuliah biaya sendiri. Jadi yang harus
kamu lakukan sekarang tinggal fokus kuliah saja.”
“Ya, tapi dengan kerja di cafe kakak
jadi kenal dengan orang orang borju seperti tante Audrey dan tante
Jennie.”
Aku diam. Aku tidak akan memberi tahu
Tia bahwa awal mula keakraban aku dengan mereka adalah setelah aku
mengembalikan dompet tante Audrey yang tertinggal di cafe.
Aku takut Tia mengatai aku sok jujur
atau apa. Karena dia pasti tidak akan percaya kalau aku mengembalikan uang lima
juta rupiah yang aku temukan di dalam dompet pada pemiliknya.
“Kakak bawa baju berapa?” tanya Tia
lagi.
“Tidak banyak Tia, kami tidak
menginap, paling aku cuma bawa baju ganti satu, lalu perlengkapan mandi,
kosmetik, itu saja.”
“Oh,” Tia masih terus memperhatikan
aku. “Oleh oleh jangan lupa ya Kak.”
“Iya Tia, mudah mudahan tante Audrey
dan tante Jennie mengajak aku mampir ke tempat oleh oleh sehingga aku bisa beli
oleh oleh.”
“Mereka itu, tante Audrey dan tante
Jennie terkenal nggak sih Kak, dandanan mereka happening banget, kayak
artis.”
“Orang kaya memang seperti itu,”
ujarku sambil tersenyum, “untuk tata rias wajah dan rambut saja kadang mereka
ke salon, belum lagi rutin luluran dan segala macam, belum lagi suntik vitamin
C, ya nggak heran lah kulit mereka kinclong seperti itu.”
“Nama mereka siapa sih?” tanya Tia
sambil mengeluarkan HPnya.
“Memang kenapa Tia?” tanyaku,
“Ya siapa tahu mereka selebritis atau
apa.”
“Aku tidak tahu nama lengkap mereka,
yang aku tahu hanya tante Audrey dan tante Jennie saja.”
“Yah susah kalau begitu kalau aku mau
nyari di google search.”
“Eh, tunggu, kakak pernah lihat
fotocopy KTP tante Audrey, kalau tidak salah namanya Audrey Adinegoro.”
Tia langsung mengetik nama lengkap
tante Audrey di google search dan berteriak girang karena ia menemukan
akun instagram tante Audrey.
“Dia selebgram Kak.
Followernya banyak sekali.”
“O ya?” tanyaku.
“Iya,” Tia memperhatikan foto tante
Audrey satu satu. “Ini ada foto yang sedang bersama tante Jennie, mereka sedang
di Paris.”
Aku hanya tersenyum sambil memasukkan
peralatan mandiku ke dalam tas ranselku.
“Oh My God, anak cowoknya tampa
sekali.” Teriak Tia lagi.
“Tahu darimana itu anak cowoknya?”
aku tertawa.
“Dia berfoto dengan seorang pria muda
dan pria separuh baya. Itu pasti suaminya dan anak laki lakinya.”
“Siapa tahu keponakannya atau siapa
gitu.” Komentarku lagi.
“Kakak nggak mau lihat? Senyum pria
muda itu manis sekali.”
“Pria muda? Maksudmu anak kuliahan
sepertimu?”
“Tidak, maksudku, dia pria dewasa,
tapi pria yang satunya lagi sudah berumur. Itu yang aku maksud pria muda. Dia
lebih muda dari pria yang satunya, seperti anak tante Audrey ini seumuran Kak
Kiara.”
“Ooh,”
“Kakak nggak mau lihat?” tanya Tia
lagi.
“Tidak Tia. Aku mau mandi sekarang,
setelah itu aku mau tidur. Aku capek sekali hari ini.”
“Kak, nanti menyesal loh,” teriak Tia
sambil tertawa.
“Menyesal kenapa sih?”
“Menyesal karena tidak melihatnya
sekarang.”
“Ya ampun Tia, nanti kakak juga bisa
melihatnya, kakak nanti akan follow instagram tante Audrey.”
“Aku sudah.” Tia tertawa, “sekarang
aku mau mencari tahu instagram tante Jennie.”
~ ~ ~
BAB SEPULUH
Aku memperhatikan rumah orangtua
tante Audrey di Solo dengan kagum. Rumahnya perpaduan antara rumah modern dan
tradisional.
Sejak dari pintu gerbang, jalanan
menuju rumah utama adalah bebatuan, sementara taman yang ada di halaman yang
luas ditata dengan apik. Beraneka bunga tumbuh disana, tapi bunga yang
mendominasi adalah bunga anggrek.
Ada dua bangunan di rumah orangtua
tante Audrey. Bangunan utama adalah bangunan yang aku pertama temui. Bangunan
ini merupakan bangunan modern. Terdiri antara lain ruang tamu yang luas, ruang
makan yang luas, beberapa kamar tidur untuk tamu dengan kamar mandi di masing
masing kamar, lalu dapur.
Rumah kedua berada di belakang rumah
utama berupa bangunan tradisional khas Jawa Tengah yaitu rumah Joglo. Di rumah
bernuansa tradisional inilah orangtua tante Audrey tinggal.
Antara rumah pertama dan rumah kedua
dihubungkan dengan dua buah kolam ikan yang bentuknya memanjang, dimana di
kedua kolam itu terdapat banyak ikan mas.
Rupanya, ayah tante Audrey suka
berternak ikan. Tapi ikan ikan itu tidak untuk dijual melainkan untuk
dikonsumsi sendiri.
Berbeda dengan halaman rumah
bernuansa modern yang dipenuhi oleh tanaman bunga, di halaman rumah bernuansa
tradisional dipenuhi oleh tanaman jamu jamuan dan apotik hidup.
Menurut tante Audrey, keluarga tante
Audrey dari dulu hingga sekarang tinggal di rumah Joglo tersebut, sementara
rumah yang bernuansa modern diperuntukkan untuk tamu yang datang.
Orangtua tante Audrey adalah
pengusaha. Ayah dan ibu tante Audrey bekerja di pabrik kosmetik yang diwariskan
kakek nenek tante Audrey dari pihak ibu. Dan karena bekerja sebagai pengusaha
itulah mereka sering kedatangan tamu rekan kerja mereka.
Mereka menempatkan para tamu itu di
bangunan modern, terpisah dengan rumah tuan rumah sehingga para tamu itu tidak
merasa risih dengan tuan rumah. Dan leluasa dalam bertindak layaknya
tamu di hotel atau losmen. Tapi perbedaannya dengan tamu di hotel atau losmen,
tamu di rumah keluarga tante Audrey tentu saja tidak harus membayar biaya
penginapan dan yang lainnya.
Dan bahkan walau sekarang orangtua
tante Audrey sudah pensiun dari pekerjaan mereka, mereka tetap saja kedatangan
tamu baik itu saudara, sahabat, atau rekan mereka.
Setelah berkenalan dengan orangtua
tante Audrey dan berbincang bincang sejenak dengan mereka, aku dan tante Jennie
- masing masing - di tempatkan di sebuah kamar untuk beristirahat. Sementara
tante Audrey langsung pergi ke rumah belakang, ke kamar masa kecilnya di rumah
Joglo.
Aku mengagumi kamar yang aku tempati
sekarang. Kamarnya indah, bersih dan luas, layaknya kamar di hotel bintang
lima. Tempat tidur, lemari dan tempat duduknya terbuat dari kayu dengan ukiran
kayu yang cantik, sementara kamar mandinya berupa shower yang di
sekitarnya ada berbagai macam tanaman yang ditaruh di sana sementara atapnya
sangat tinggi dan separuh atapnya terbuka sehingga langit kelihatan. Sepertinya
kalau hujan, air hujan bisa masuk sebagian ke kamar mandi tersebut, sehingga
kalau mandi disana seperti mandi di alam bebas.
Tersedia air dingin dan air panas
yang bisa diatur tingkat kepanasannya di shower tersebut. Aku akhirnya
memutuskan mandi dibawah siraman air hangat untuk melepaskan rasa penatku
selama perjalanan tadi.
Selesai mandi, wedang ronde dan
beberapa makanan kecil sudah tersedia di meja kecil disamping jendela yang
menghadap ke taman.
Beberapa makanan kecil itu antara
lain roti kecik, ketimus dan kue mandarijn.
Sambil menikmati pemandangan taman
yang indah aku mencicipi roti kecik. Rasanya manis. Roti kecik adalah salah
satu makanan kecil khas Solo yang terbuat dari beras ketan.
Sedang asik asiknya menikmati roti
kecik, pintu kamarku tiba tiba diketuk seseorang.
Aku langsung berjalan ke arah pintu
dan membukanya, ternyata tante Audrey. Tante Audrey tampak tersenyum menatapku.
“Kau tidak sedang tidur kan?”
tanyanya.
Aku menggeleng, “tidak. Aku habis
mandi, masa tidur melulu, di pesawat tadi aku sudah puas tidur.”
Tante Audrey tertawa, “ayo, ikut ke
kamar tante di rumah belakang, tante ingin menunjukkan sesuatu padamu.”
Aku mengikuti langkah tante Audrey ke
rumah belakang. Melewati kolam ikan yang panjang, melewati kebun tanaman obat
yang tertata rapi, lalu masuk ke rumah Joglo.
Kursi di ruang tamu rumah itu sangat
antik, sementara beberapa lukisan bunga tergantung di beberapa sudut dinding
rumah.
Tante Audrey mengajakku memasuki
kamarnya, yang luasnya dua kali luas dari kamar yang aku tempati. Tante Audrey
lalu membuka lemari yang terbuat dari kayu jati dan mengeluarkan baju baju
batik yang ada di dalamnya dan menjejerkan baju batik itu di atas tempat tidur.
“Ini baju bajuku saat aku masih gadis
dulu, saat seumuran denganmu,” ujar tante Audrey, “rata rata baju ini hanya dipakai
sekali atau dua kali, seingatku sih dulu dipakai untuk menghadiri acara kawinan
atau semacam itu, tapi karena perawatannya bagus, jadi baju ini awet. Warnanya
tidak luntur.”
“Iya tante, baju ini bagus bagus,
seperti baru.” Komentarku sambil memperhatikan baju baju cantik dihadapanku,
kebanyakan adalah longdress tapi beberapa diantaranya ada sackdress, kemeja
dan kulot.
“Kalau kamu mau, ambillah beberapa
untukmu Kiara, pilih yang kau suka.”
“Aku?” tanyaku kaget, “Tante akan
memberikan beberapa baju ini untukku?” tanyaku kurang yakin.
“Ya. Itu juga kalau kau suka, kalau
kau anggap itu kuno ya…”
“Tidak tante, ini sama sekali tidak
kuno,” ujarku bersemangat, “ini keren.”
“Ya, aku sependapat denganmu, ini
semua keren, sayangnya tubuhku sudah tidak muat lagi dibaju ini, jadi ya, baju
ini hanya pajangan tanpa bisa kupakai. Tapi ditubuhmu sepertinya muat.”
Aku langsung mencoba salah satu baju
dan memang muat. “Tante tidak punya anak perempuan yang bisa jadi pewaris dari
baju baju ini?” tanyaku masih tak percaya dengan apa yang terjadi.
“Anak perempuan tante? Dinda?” Tante
Audrey langsung tertawa, “pertama, dia kurang suka batik. Kedua, tubuhnya
hampir sama denganku, jadi sudah dipastikan baju baju itu tidak muat di tubuh
Dinda.”
“Tante berarti dulu kurus sepertiku?”
tanyaku sambil mencoba lagi beberapa baju. “Maksudku sekarang juga tidak
terlalu gemuk, tapi tidak kurus juga.”
“Ya,” tante Audrey mengangguk, “aku
dulu kurus seperti kamu sekarang, ibuku sangat menjaga kerampingan tubuhku.
Hampir tiap hari aku dicekoki jamu galian singset.”
Aku tertawa. “Aku tidak harus
dicekoki apapun, tapi tubuhku begini.”
“Kau beruntung.” Tante Audrey
tersenyum memperhatikan tubuhku, “kau sepertinya tidak harus banyak
berolahraga, tapi tetap bisa makan banyak.”
“Aku punya banyak kegiatan tante,”
ujarku, “aku selalu tidur di atas jam sepuluh malam dan sudah harus bangun jam
lima subuh setiap harinya, dan tidak pernah punya waktu beristirahat walau
hanya satu haripun.”
“Kau tidak harus bekerja di cafe
sebenarnya Ki. Kau tidak harus bekerja keras seperti itu. Apa gajimu kurang?”
tanya tante Audrey dengan nada khawatir.
“Tidak juga sih,” sahutku, “gajiku
cukup. Aku suka saja kerja di cafe. Disana aku dapat teman baru. Mereka
biasanya pelanggan setia cafe. Tadinya mereka sering datang ke sana jadinya
berteman deh.”
“Seperti aku?” tante Audrey langsung
tertawa.
“Ya, seperti tante.”
~ ~ ~
POV Kiara
Aku mengepak baju batik yang
diberikan tante Audrey dengan gembira. Baju itu sungguh bagus bagus semuanya.
Menurut tante Audrey tidak semua bajunya mahal, tapi tante Audrey selalu
memperhatikan kualitas kain kalau membeli baju, seperti tidak luntur, tidak
panas, tidak mudah sobek dan lain lain.
Aku tadinya hanya memilih lima baju
saja. Dua longdress, dua sackdress, dan satu baju setelan kaos
dengan kulot.
Tapi tante Audrey memberikan aku
sepuluh baju dan aku tidak boleh menolak pemberiannya.
Aku hanya bisa mengucapkan terima
kasih padanya.
Aku sungguh tak menyangka
pertemananku dengan tante Audrey membawa banyak keberuntungan untukku, karena
selain mendapatkan warisan baju baju cantiknya, aku juga dapat liburan gratis
dadakan seperti ini. Walau liburannya hanya satu hari. Aku termasuk jarang
sekali liburan. Hanya saat lebaran saja aku bisa liburan dan pulang kampung ke
rumah orangtuaku.
Sungguh, libur sehari ke Solo sama
sekali tidak ada di agenda harianku.
Selesai mengepak baju aku lalu duduk
di bale bale di dekat kolam ikan dan memperhatikan ikan ikan disana.
Ibu tante Audrey lalu datang
menghampiriku dan duduk disampingku, lalu memperhatikan ikan ikan itu juga,
sementara tante Jennie, tante Audrey dan para asisten rumah tangga ibu tante
Audrey sibuk mempersiapkan makan siang.
“Mamamu pasti sibuk sehingga tidak
bisa ikut ke sini bersama Audrey dan Jennie.” Komentar ibu tante Audrey
mengagetkan.
“Mamaku?” tanyaku heran.
“Ya, kau sepertinya seumuran dengan
cucu pertamaku, jadi kau pasti anak dari salah satu sahabat Audrey di Jakarta.
Karena anak Jennie laki laki semua.”
“Tidak eyang Uti, tidak
seperti itu.” Ujarku.
Tante Audrey memanggil ibuya eyang
Uti, singkatan dari Eyang Puteri, mungkin karena anak anak tante
Audrey memanggilnya begitu. Aku jadi ikut ikutan memanggil eyang Uti,
karena aku tidak tahu harus manggil apa.
“Lalu seperti apa?”
“Ehm, begini eyang Uti, aku
kan kerja di suatu cafe di Jakarta, nah tante Audrey adalah salah satu
pelanggan di cafe tersebut, nah dari sanalah aku kenal tante Audrey.”
“Oh begitu.”
“Iya.”
“Aneh juga ya,” gumam ibu tante
Audrey.
“Kok aneh?” tanyaku heran.
“Anakku itu termasuk orang yang sulit
bergaul loh. Dia orangnya introvert. Tidak mudah bergaul dengan orang
lain. Jadi bisa akrab dengan kamu itu aneh.”
“Ya, mungkin tante Audrey sekarang
berubah.” Komentarku.
“Tidak ah, dari dulu temannya itu itu
saja, tidak nambah tidak berkurang. Audrey termasuk susah dalam berteman atau
pacaran.”
“O, ya?” sahutku sambil tertawa,
“apakah pacar tante Audrey dulu adalah suaminya sekarang? Maksudku, apakah
pacarnya tante Audrey teman sekolahnya atau teman kuliahnya hingga mereka
menikah?”
“Audrey tidak cerita padamu?” tanya
ibu tante Audrey.
“Cerita tentang kisah cintanya?” aku
balik bertanya, “tidak, tidak pernah.”
“Begini, waktu SMA dulu Audrey punya
pacar, sahabat masa kecilnya yang juga kakak kelasnya di SMA, nama pacarnya
Arman. Rumah Arman dan keluarganya dulu tidak jauh dari sini, tapi sejak Arman
lulus SMA mereka sekeluarga pindah entah kemana. Nah, entah karena apa tiba
tiba hubungan Arman dan Audrey putus, lalu Arman pacaran dengan salah satu
teman sekelas Audrey.”
“Wah, kasihan tante Audrey. Dia pasti
patah hati.”
“Ya, itu pasti. Nah setelah pacaran
dengan Arman, Audrey tidak punya pacar lagi saat kuliah, sepertinya dia kapok
pacaran.”
“Sepertinya cintanya untuk pria yang
bernama Arman itu sangat dalam.”
“Sepertinya begitu,” ibu tante Audrey
lalu menghela nafas. “Itu terbukti dengan dia tak pernah pacaran lagi.”
“Lalu cara tante Audrey bertemu
dengan suaminya sekarang bagaimana?” tanyaku penasaran.
“Aku jodohkan,” ibu tante Audrey
tertawa, “kukira Audrey akan menolak perjodohan ini, tapi ternyata ia menerima.
Suaminya adalah salah satu anak dari rekan bisnisku.”
“Tante Audrey pasti mencintai
suaminya sekarang karena pernikahan mereka awet hingga sekarang.” Ujarku sambil
tersenyum.
“Mungkin. Entahlah. Aku tidak tahu
juga. Pada mulanya sih sepertinya tidak cinta, tapi seiring berjalan waktu,
Audrey sepertinya mulai mencintai suaminya.”
“Syukurlah kalau begitu,” aku
tersenyum, “karena memang itu yang harus terjadi.”
“Ya, aku setuju denganmu.”
“Makan siang sudah siap,” tante
Jennie tiba tiba berseru ke arah aku dan ibu tante Audrey, “ayo kita makan!”
~ ~ ~
Tia berseru senang saat aku
memberikan oleh oleh padanya. Tia bukan saja mendapat beberapa snack dan
roti, tapi juga satu baju batik yang cantik.
Baju batik itu baru. Tante Audrey
masih memberikan tiga baju batik baru padaku. Dan aku memutuskan memberikan
satu pada Tia karena tubuh Tia seukuran dengan tubuhku.
Setelah makan siang tadi, tante
Audrey dan tante Jennie mengajakku berbelanja baju batik di pasar Klewer.
Tante Audrey dan tante Jennie membeli
beberapa baju batik untuk mereka sendiri dan keluarga mereka.
Aku ikut dibelikan baju oleh tante
Audrey, sementara tante Jennie membelikan aku tas belanja yang besar yang salah
satu bahannya terbuat dari kain batik yang sangat bagus.
Kami menghabiskan waktu kurang lebih
dua jam untuk berbelanja batik di sana.
Setelah itu kami mampir dulu ke toko
roti Orion untuk membeli oleh oleh, lalu makan sate buntel di salah satu
angkringan, sebelum akhirnya pulang ke Jakarta dengan pesawat keberangkatan jam
tujuh malam.
Di bandara kami dijemput Pak Ridwan,
supir tante Audrey. Pak Ridwan mengantar aku pulang terlebih dahulu, lalu
mengantar tante Jennie pulang dan terakhir pulang ke rumah tante Audrey.
Aku sangat senang hari ini. Jalan
jalan ke Solo hari ini akan menjadi kenangan indah bagiku yang tidak mudah
begitu saja aku lupakan.
~ ~ ~
BAB SEBELAS
POV Author
Tidak seperti malam malam sebelumnya,
malam ini tidak turun hujan. Langit terlihat cerah, bintang bintang bertaburan
di langit malam sementara bulan hanya terlihat separuh.
Audrey dengan hati hati memarkir
mobilnya di pelataran parkir cafe Mas
Bima. Audrey memarkir mobilnya dengan mudah karea tempat parkir malam ini
kosong tidak seperti biasanya yang selalu penuh sehingga ia harus memarkir
mobilnya agak jauh dari cafe.
Audrey lalu turun dari mobil sambil
membawa sebuah keranjang makanan. Ia lalu memasuki cafe dan menghampiri Mas
Bima yang sedang mengelap gelas gelas basah.
“Selamat Malam,” ujar Audrey pada Mas
Bima.
“Selamat malam tante.” Sahut Mas Bima
ramah. “Mau pesan seperti biasanya?”
“Iya, nanti, aku mau ketemu Kiara
dulu, Kiara ada?”
“Ada, tadi pulang kerja langsung ke
atas.”
“Ya sudah, aku ke atas sebentar ya.
Belum mau tutup kan cafenya? Aku tahu Ini sudah hampir jam sebelas malam, tapi
aku punya waktunya jam segini mampir kesini.”
“Belum kok tante, santai saja.”
“Ya sudah, sampai nanti.” Audrey lalu
berjalan lagi ke luar cafe lalu berjalan menuju tangga yang terletak tidak jauh
dari cafe lalu menaiki tangga untuk menemui Kiara.
Audrey mau mengetuk pintu ketika
didengarnya Kiara sedang berdebat dengan seseorang.
Audrey akhirnya duduk di teras tanpa
tahu harus berbuat apa. Suara Kiara masih terus terdengar, ia sedang bicara
dengan seorang wanita yang entah siapa.
“Jadi aku harus bagaimana?” tanya
Kiara pada seseorang. “Aku sudah bilang pada ibu agar memberi restu padamu agar
menikah lebih dulu dari aku.”
“Tapi Ibu tetap tidak mau Mbak, Mbak
harus berusaha dengan keras dong, cari calon suami dengan sungguh sungguh kek.”
“Laras, pernikahan itu sesuatu yang
serius, kita menjalani pernikahan kalau bisa untuk jangka waktu yang lama, aku
tidak bisa dengan sembarangan mencari calon suami begitu saja dan menikah
dengannya.”
“Lalu aku harus menunggu berapa lama
lagi Mbak?”
“Aku tidak tahu.”
“Enteng sekali jawaban Mbak,”
“Karena aku benar benar tidak tahu
Laras. Nanti aku berusaha bicara dengan ibu lagi, mudah mudahan kali ini ibu
tidak keras hati lagi.”
“Terserahlah.”
Audrey akhirnya berdiri dari duduknya
dan mengetuk pintu. Dia tak punya waktu lama untuk mendengarkan perdebatan itu.
Kiara segera membukakan pintu.
“Tante Audrey,” ujar Kiara kaget,
“ada apa?”
Audrey tersenyum ke arah Kiara. Mata
Kiara nampak merah dan sembab, sepertinya ia habis menangis.
“Dirumahku tadi ada arisan, dan ada
banyak kue. Aku membawakan sebagian kue kue itu untukmu.” Ujar Audrey sambil
menyerahkan keranjang kue yang dibawanya pada Kiara.
“Terima kasih tante,” Kiara menerima
keranjang kue itu. “Tante ke sini diantar Pak Ridwan?”
“Tidak. Pak Ridwan sedang mengantar
Om dan Tanteku ke Jatibening.”
“Ooh,” Kiara mengangguk, “masuk dulu
tante, diluar dingin.”
“Tidak usah, aku mau ke cafe saja.”
“Ya sudah kalau begitu, sekali lagi
terima kasih tante.”
“Iya, sama sama Kiara. Sampai bertemu
lagi.”
“Iya, sampai bertemu lagi.” Ujar Kiara,
“aku sedang ada tamu tante, jadi tidak bisa menemani tante ngobrol seperti
biasanya.” lanjut Kiara. “Maaf.”
“Tidak apa apa. Aku juga di cafe cuma
sebentar kok, sebentar lagi cafenya juga tutup.”
“Iya, hati hati nanti menyetir ya
tante.”
“Ok.”
Audrey lalu berjalan menuruni tangga.
Ia merasa heran kenapa Kiara tidak memperkenalkan wanita, yang sepertinya
adiknya itu pada dirinya.
Ia lalu berjalan memasuki cafe dan
memesan minuman yang biasa ia pesan.
Mas Bima langsung membuatkan pesanan
Audrey. Hanya Mas Bima yang ada di cafe itu, karyawannya sudah pulang semua.
Sambil menunggu pesanannya datang,
Audrey berusaha mencerna perdebatan Kiara tadi. Dari percakapan yang ia dengar
sepertinya Kiara didesak menikah oleh adiknya karena ibu mereka tidak mengijikan
adiknya menikah dulu dari Kiara.
Setelah pesanan kopinya datang,
Audrey lalu meminum lambat lambat kopinya itu.
“Bima, aku ingin menanyakan sesuatu
padamu, boleh kita ngobrol sebentar?” tanya Audrey akhirnya pada Mas Bima.
“Tentu tante,” Mas Bima akhirnya
berjalan ke arah Audrey dan duduk dihadapannya. “Tante mau bertanya apa?”
“Tadi waktu ke atas tante secara
tidak sengaja mendengar perdebatan Kiara dengan seseorang, sepertinya adiknya,
dia seorang perempuan.”
“Laras?” tanya Mas Bima.
“Ya, mungkin itu namanya. Kiara tadi
tidak memperkenalkan adiknya padaku.”
“Oke, lalu apa yang mereka
perdebatkan?”
“Tentang pernikahan. Sepertinya Laras
mendesak Kiara untuk segera menikah karena ibu mereka tidak memberi ijin pada
Laras untuk menikah lebih dulu.”
“Hm, sepertinya buklik aku
masih teguh dengan pendiriannya.”
“Buklik kamu?” tanya Audrey
heran.
“Ya, ibunya Kiara dan Laras adalah buklik
aku.”
“Jadi kamu kakak sepupunya Kiara?”
“Ya, Kiara tidak cerita pada tante?”
“Tidak, Kiara tidak pernah bilang
mengenai hal ini padaku.”
Mas Bima tersenyum, “aku kira Kiara
sudah cerita jadi aku tidak memperkenalkan diri pada tante.”
“Tidak apa apa tahu sekarang daripada
tidak tahu sama sekali.” Audrey tertawa, “jadi ibu mereka tetap tidak
mengijinkan Laras menikah dulu dari kakaknya?”
“Ya, dan ini sudah terjadi hampir dua
tahun ini, tepatnya setelah pacar Laras serius dengan Laras dan melamarnya.”
“Kasihan kiara didesak seperti itu.”
“Iya.” Gumam Mas Bima, “harusnya ibu
mereka mempermudah semuanya untuk mereka sehingga mereka tidak berada dalam
situasi sulit seperti ini. Laras bisa menikah dengan tenang dan Kiara bisa
mencari calon suami dengan tenang.”
“Mungkin ibu mereka punya alasan
sendiri tentang hal ini,” ujar Audrey, “bicara soal mencari calon suami untuk
Kiara, aku punya ide.” lanjut Audrey dengan semangat.
“Ide? Ide apa?” tanya Mas Bima heran.
“Bagaimana kalau Kiara aku jodohkan
dengan anak laki lakiku?”
“Anak laki laki tante?” Mas Bima
kaget, “memang tante punya anak laki laki?”
“Ada, dan dia belum menikah. Aku
pikir ini salah satu jalan keluar yang baik untuk semuanya.”
“Kiara tahu tentang rencana ini?”
tanya Mas Bima.
“Tidak, dia tidak tahu, menurutmu
Kiara akan keberatan kalau sudah kuberitahu?”
“Entahlah, mungkin dia keberatan.”
“Tapi mudah mudahan tidak, kita belum
mencobanya kan?”
“Anak tante sendiri tahu tentang hal
ini dan setuju?”
Senyum Audrey langsung hilang. Dia
merasa yakin Devano akan menentang ini mati matian.
“Kalau anakku sayang pada mamanya
seharusnya dia juga tidak keberatan,” ujar Audrey akhirnya, “nanti aku bicara
padanya.”
Mas Bima terdiam cukup lama. “Ehm
tante, kupikir ide ini tidak bagus.”
“Tidak bagus bagaimana sih, kita kan
belum mencobanya.”
“Ya, tapi…”
“Ayolah Bima, bantu aku mewujudkan
hal ini ya?”
“Kita lihat saja nanti apa Kiara mau
atau tidak,” ujar Bima akhirnya, “karena Kiara yang akan menjalani ini, jadi
keputusannya ada pada dirinya.”
“Ya, sudah kalau begitu, tante pulang
dulu. Nanti biar tante yang bicara dengan Kiara.”
“Oke tante.”
“Terima kasih untuk semuanya. Selamat
malam.” Audrey pergi dari hadapan Mas Bima setelah menaruh uang seratus ribu
rupiah di atas meja.
Mas Bima mengambil uang itu lalu ia
menelepon sahabatnya.
“Bima demi Tuhan jam berapa ini? Elu
sudah mengganggu tidur gue,” teriak orang yang ditelepon Mas Bima.
“Halah, sok merasa terganggu
lagi, biasanya juga elu tidur subuh!” komentar Mas Bima.
“Iya, tapi malam ini pengecualian!”
“Sudah, lebih baik elu bangun dan
dengarkan gue baik baik.”
“Dari tadi aku mendengarkan,” gumam
suara di seberang sana.
“Mendengarkan sambil tidur kan?” ujar
Mas Bima. “Andra, gue mau tanya satu hal sama elu, apa elu masih menyukai
Kiara?”
“Kenapa memangnya?”
“Jangan nanya balik! Kayak kuis aja
lu nanya balik ke gue!”
“Ya, tapi kenapa? Kalau masih suka
kenapa? Kalau sudah tidak suka kenapa?”
“Itu bukan jawaban.”
“Oke, masih, gue masih suka,
memangnya kenapa?”
“Ehm malam ini, tepat jam dua belas
malam waktu cafe gue, gue nyatakan sama elu Bima Prasetya kalau gue merestui
elu pacaran sama Kiara.”
“Hah serius?” teriak Mas Andra tak
percaya. “Ada angin apa lu tiba tiba merestui gue kayak gini?”
“Angin bahorok. Udah jangan banyak
nanya. Udah bagus gue restui.”
“Tapi pasti ada sesuatu. Elu nggak
akan ngasih angin segar begini ke gue kalau enggak ada sesuatu. Ada apa sih?”
“Lu tahu tante Audrey?” tanya Mas
Bima.
“Ya, tahu, akhir akhir ini dia dekat
dengan Kiara.”
“Nah, wanita itu akan menjodohkan
Kiara dengan anak laki lakinya.”
“Apa?!”
“Makanya, kalau elu nggak mau
kehilangan Kiara, lu harus bergerak cepat sebelum Kiara diambil wanita itu
sebagai menantunya.”
“Oke, itu akan gue lakukan!”
~ ~ ~
BAB DUA BELAS
POV Kiara
Bangun tidur aku mendapat pesan WA
dari Mas Andra kalau Sabtu pagi ini dia mengajakku pergi ke Kepulauan Seribu
untuk hunting foto.
Ia bahkan sudah booking dua
kamar untuk aku dan dirinya menginap di sebuah penginapan di salah satu pulau
di sana.
Ia meminta aku bersiap siap dan akan
menjemput aku jam sepuluh pagi. Ia juga bilang kalau Mas Bima mengijinkan aku
pergi dan tidak harus bekerja dua hari ini.
Walau bingung harus menjawab apa,
akhirnya aku mengiyakan permintaan Mas Andra.
Aku langsung mencari tas ranselku dan
memilih baju yang akan kubawa.
Rasanya aku mengalami de ja vu
saat packing seperti ini. Baru beberapa waktu yang lalu aku packing dadakan
untuk pergi ke Solo dan sekarang aku packing dadakan lagi untuk pergi ke
Kepulauan Seribu.
Kenapa semua orang memintaku pergi
dengan cara mendadak seperti ini sih?!
Selesai packing aku langsung
mandi dan sarapan. Setelah sarapan aku menunggu Mas Andra di teras atas.
Sambil menunggu aku lalu berpikir
apakah Mas Andra mengajak Yola juga atau tidak. Kalau Mas Andra sampai tidak
mengajak Yola, karena Yola sibuk bekerja, misalnya, apa kata Yola nanti?! Yola
pasti akan marah lagi padaku seperti yang pernah ia lakukan dulu kalau tahu aku
akan menghabiskan waktu dengan pacarnya.
Tapi untuk bertanya tentang Yola pada
Mas Andra aku juga malas, kupikir Mas Andra sudah dewasa, ia pasti mengerti apa
yang harus dilakukan dan apa yang tidak berkenaan dengan aku dan Yola. Dan
kalau sampai Mas Andra mengajak aku pergi seperti sekarang tanpa Yola, mungkin
Yola sudah mengetahui tentang hal ini, tidak mungkin kan Mas Andra pergi
bersamaku diam diam tanpa sepengetahuan Yola. Tapi sudahlah, aku tidak mau
berpikir tentang hal ini.
Aku lalu bangun dari tempat dudukku,
mengambil ranselku dan mengunci pintu. Aku memutuskan untuk menunggu Mas Andra
di cafe saja.
Mas Andra datang menjemputku tepat
jam sepuluh pagi. Dia datang dengan menggunakan taksi. Taksi konvensional bukan
taksi online.
Setelah pamit pada Mas Bima kami pun
pergi menggunakan taksi menuju dermaga Marina, Ancol.
Mas Andra bilang, ia sudah menyewa
sebuah speedboat disana. Speedboat itu pula yang akan menemani
Mas Andra dan aku menjelajahi pulau pulau di Kepulauan Seribu selama dua hari
ini.
Pak Hendra, pengemudi speedboat yang
disewa Mas Andra menyambut kami dengan ramah.
Kamipun duduk di dalam speedboat dan
memulai perjalanan. Pulau yang akan kami kunjungi adalah pulau Pramuka, butuh
waktu sekitar satu jam lebih untuk mencapai pulau Pramuka dari dermaga Marina
Ancol dengan menggunakan speedboat, sementara kalau menggunakan perahu
biasa dan berangkat dari Muara Angke butuh waktu sekitar tiga jam.
Satu persatu pulau kami lewati saat speedboat
kami melaju menuju pulau Pramuka, diantaranya pulau Bidadari dan pulau
Onrust. Aku pernah ke pulau Bidadari sebelumnya untuk syuting iklan dan
menginap selama dua malam disana.
Sama dengan kebanyakan pulau pulau
lainnya di kepulauan Seribu, di pulau Bidadari juga ada wisma yang disewakan
pada para wisatawan yang berkunjung ke sana.
“Fotonya untuk apa sih Mas?” tanyaku
pada Mas Andra saat Mas Andra mulai mengeluarkan kameranya dan memotret Pulau Bidadari dari kejauhan, “untuk koleksi
pribadi?” tanyaku.
“Tidaklah, untuk dijual.” Jawab Mas
Andra.
“Memang uang dari bikin game kurang
sampai harus jualan foto segala?” tanyaku lagi.
Mas Andra langsung tertawa, “enggak,
enggak kurang, permasalahannya begini : pertama, pekerjaanku itu, walau
aku senang mengerjakannya, tapi terkadang bikin jenuh, nah untuk mengatasi
jenuh itulah aku sering melakukan perjalanan
seperti ini, perjalanan terakhir yang aku lakukan, hampir empat bulan
yang lalu aku pergi ke Raja Ampat, untuk refreshing doang, nah, kedua,
aku punya hobi fotografi. Jadi sambil jalan jalan, aku ambil foto foto yang
bagus deh.”
“Lalu dijual fotonya?”
“Ya.” Mas Andra mengangguk.
“Kemana Mas menjualnya?” tanyaku,
“aku punya beberapa teman, tapi mereka memang fotographer profesional
tapi mereka bekerja secara freelance, cuma kebanyakan dari mereka
mengambil foto berdasarkan pesanan. Misal, kliennya meminta ia untuk mengambil
foto foto gedung tua di Jakarta, mereka lalu hunting foto gedung tua di
Jakarta, memperlihatkan hasilnya pada kliennya, lalu kliennya memilih foto yang
ia mau, lalu dibayar deh.”
“Mungkin aku juga bisa melakukan hal
itu kalau aku mau,” Jawab Mas Andra “tapi aku melakukan ini kan sambil iseng,
tidak serius, jadi ya, aku menjualnya pada beberapa aplikasi yang memang
memerlukan foto fotoku. Di aplikasi ini, foto kita bisa dibeli siapa saja yang
memerlukan. Kadang kalau tidak ada yang butuh foto kita, foto kita juga tidak
ada yang beli, tapi ya tidak masalahlah, kan sekali lagi aku melakukannya
sambil iseng, dapat uang tambahan alhamdulillah, tidak juga tidak apa apa, tapi
sejauh ini sih ada saja yang membeli fotoku. Baik dari dalam negeri maupun dari
luar negeri.”
“Foto apa saja?” tanyaku, “foto laut
seperti ini juga ada yang mau beli?”
“Foto apa saja.” Ujar Mas Andra,
“foto laut, foto ikan, foto pegunungan, foto sawah, foto pelangi, foto bunga,
apa saja Kiara, kebutuhan orang kan beda beda.”
“Tapi setelah dipikir pikir untuk apa
ya mereka membeli foto foto itu?” gumamku.
“Ya untuk banyak keperluanlah. Misal
bikin kalender khusus pegunungan, mereka malas ambil foto pegunungan sendiri,
ya sudah mereka belilah foto pegunungan karya siapapun dimanapun, lalu mungkin
ada yang perlu foto pemandangan alam untuk cover buku, cover majalah
atau bahkan cover novel, lalu mungkin ada yang perlu foto bunga untuk
dicetak di mug, dicetak di kaos dan untuk lainnya.”
“Sifatnya eksklusif?” tanyaku,
“maksudku setelah mereka membeli foto kita, kita tidak boleh menjual foto yang
sama pada orang lain?”
“Itu jelas. Ke-original-an
foto itu sangat berperan disini. Tapi ya semua dikembalikan ke tanggung jawab
masing masing si fotographer apakah mau berbuat jujur atau curang. Kalau aku
sih, kalau fotoku sudah ada yang membeli, ya sudah, foto itu bukan milikku
lagi. Begitu.”
“Ternyata enak juga ya, punya hobi
tapi menghasilkan.” Gumamku.
“Ya.” Ujar Mas Andra, “asal kitanya
kreatif. Bullshit saja kita tidak bisa hidup karena lowongan pekerjaan
terbatas misalnya. Kita bisa menghidupi diri kita sendiri kok kalau kita
kreatif. Katakanlah lowongan pekerjaan tidak ada untuk kita, ya kita ciptakan
lowongan pekerjaan itu. Semua hal itu mungkin asal kita mau. Untuk yang punya
hobi fotografi seperti aku bisa jualan foto, untuk yang hobi menulis bisa jadi content
writer. Untuk yang punya hobi memasak bisa jual makanan yang enak. Jaman
sekarang lebih enak dari jaman dulu, semuanya serba gadget, jual makanan
di rumah juga bisa tidak harus menyewa tempat dan keluar uang untuk menyewa
tempat, yaitu dengan memakai aplikasi go food misalnya.”
“Iya, itu aku setuju,” ujarku,
“tetanggaku di kampung Mas, pinter banget bikin gudeg, gudegnya enak banget.
Dia buka warung nasi di rumah dan pelanggannya banyak, suatu hari aku
menyarankan pada dia untuk menawarkan gudegnya dengan memakai go food,
ia ikuti saranku, sekarang Mas, beuu… yang beli bukan hanya masyarakat di
sekitar rumahku saja tapi hampir seluruh masyarakat Jogya sepertinya membeli
gudeg dia dengan cara online. Akhirnya, dia yang tadinya hanya kerja berdua
dengan ibunya, sekarang jadi bekerja sekeluarga untuk memenuhi pesanan
pelanggan. Kedua kakaknya sampai berhenti kerja di tempat lain untuk memajukan bisnis
gudeg ini.”
“See?” Mas Andra tersenyum,
“aku bilang apa. Akan selalu ada jalan bagi mereka yang ada kemauan. Hidup itu
jangan malas saja, intinya itu saja. Kita memang harus bekerja untuk hidup. Nah
kalau kita tidak mau bekerja, siapa yang mau ngasih kita makan? Kecuali memang
kita keturunan konglomerat yang hartanya nggak abis abis selama tujuh turunan,
mungkin kita bisa bersantai menghabiskan uang yang ada.”
“Konglomerat juga banyak yang tetap
bekerja,” ujarku sambil tertawa, “Bill Gates, misalnya, Mark Zuckerberg
misalnya, kurang apa coba mereka, mereka udah kayak punya pohon duit saja
tinggal metik duitnya, tapi mereka tetap bekerja.”
“Ya, kalau mereka konglomerat yang
rajin, bukan konglomerat malas.” Mas Andra tertawa menatapku, “stop right
there.” Lanjutnya mengagetkan.
“Apa?” aku kaget.
“Diam di tempat, aku akan mengambil
fotomu,”
“Ya iyalah diam ditempat, kalau aku
bergeser nyebur ke laut dong!” teriakku.
“View-nya bagus, smile Kiara.”
“Foto yang ada akunya nggak dijual
kan?” tanyaku.
“Tidak, ini untuk koleksi foto
pribadi, kau tak perlu khawatir.”
~ ~ ~
POV Kiara
Sampai di dermaga Pulau Pramuka aku
mengagumi kejernihan air di sana. Berbeda dengan pulau Bidadari yang pernah aku
datangi, air di pinggir pantai pulau Bidadari tidak sejernih air di pinggir
pantai pulau Pramuka, mungkin karena pulau Bidadari letaknya masih lebih dekat
ke Jakarta. Jadi masih mendapat kiriman sampah hehe.
Anak anak kecil tampak berenang
dengan gembira di air yang jernih itu. Mas Andra langsung mengabadikan foto
anak anak yang sedang berenang itu, dari mulai berdiri di sisi dermaga untuk
siap siap meloncat ke air, saat meloncat dan akhirnya saat mereka menyentuh
air, mereka tertawa tawa gembira.
“Kita istirahat dulu ya Kiara, paling
setengah jam-an lah, habis itu makan siang, lalu kita hunting foto di
pulau ini, setelah itu kita hunting foto sunset di pulau Keramba
Bandeng.”
“Oke,” sahutku.
Kamipun lalu berjalan ke sebuah wisma
yang letaknya tidak jauh dari dermaga. Di wisma itu Mas Andra sudah booking
dua kamar untukku dan untuk dirinya.
Aku lalu istirahat di kamarku setelah
sebelumnya menata bajuku yang tidak banyak ke lemari.
Aku bahkan sempat tertidur dan
mungkin tidak akan bangun kalau Mas Andra tidak mengetuk pintu kamarku dan
membangunkan aku.
Aku dan Mas Andra lalu makan siang di
salah satu warung nasi yang terdapat di salah satu rumah penduduk.
Pulau Pramuka adalah salah satu pulau
dengan jumlah penduduk yang cukup banyak. Mayoritas penduduknya beragama
muslim.
Pulau Pramuka adalah bagian dari
wilayah pulau Panggang, yang berjarak kurang lebih 1 kilometer dari pulau
Pramuka. Di pinggiran pantai pulau Pramuka, banyak terdapat pohon bakau. Pulau
Pramuka juga masuk ke zona pemanfaatan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu
dimana penduduknya boleh mengambil ikan dengan cara alat tradisional seperti
jaring dan pancing. Di pulau Pramuka ini pula terdapat penangkaran penyu sisik.
Selesai makan siang, Mas Andra
mengajak aku ke tempat penangkaran penyu sisik itu. Menurut keterangan petugas
disana, telur telur penyu disana diambil dari pulau Peteloran Timur dan Pulau
Peteloran Barat yang letaknya berada di gugusan terluar kepulauan seribu. Telur
telur itu diambil untuk ditetaskan di media pasir yang dipagari sehingga tidak
dimangsa predator. Tempatnya dibuat seperti habitat aslinya. Telur telur yang
menetas kemudian dibesarkan di bak bak penangkaran. Usia penyu termuda adalah
dua bulan dan usia tertua dua tahun. Penyu penyu itu nantinya akan dilepaskan
ke laut lepas biar tidak punah.
Setelah mengunjungi penangkaran
penyu, Mas Andra mengajak aku berjalan ke pinggir pantai untuk mengambil foto
pohon bakau. Udara sedang tidak terik saat itu sehingga aku tidak merasa
terlalu kepanasan. Karena seperti di Jakarta, udara di pulau Pramuka punya
temperatur yang kurang lebih sama.
Setelah mengambil foto pohon bakau,
kami akhirnya menemui Pak Hendra untuk minta diantar ke beberapa pulau lainnya
dengan menggunakan speedboat.
Mas Andra mengambil banyak foto di
pulau pulau yang kami singgahi, pulaunya bermacam macam, ada yang berpenduduk,
ada juga pulau yang tak berpenghuni.
Setelah kurang lebih tiga pulau kami
datangi, akhirnya kami sampai di pulau Keranda Bandeng atau pulau Nusa Keramba.
Pulau Keranda Bandeng terletak diantara pulau Pramuka dan pulau Panggang. Di
pulau ini terdapat penangkaran ikan hiu yang masih kecil kecil dan pastinya
ikan bandeng. Ikan bandeng yang terkenal dari pulau ini adalah ikan bandeng
duri lunak.
Mas Andra pun langsung mengambil foto
penangkaran ikan disana.
Ikan ikan disana memang sengaja
dipelihara untuk dijual. Kebanyakan dikirim ke supermarket supermarket di
Jakarta dan bahkan ada juga yang diekspor.
Ada tempat pemancingan ikan bagi
pengunjung yang ingin mancing. Ikan yang berhasil didapat akan ditimbang untuk
menentukan harganya lalu dibawa pulang.
Tidak seperti pulau lainnya, di pulau
Keramba Bandeng tidak ada penginapan. Jadi orang yang berkunjung ke sini hanya
melihat lihat penangkaran ikan saja.
Senja pun mulai menjelang. Mas Andra
langsung mengambil foto matahari terbenam yang untungnya bisa terlihat sore ini
karena cuaca cukup cerah.
Setelah hunting foto sunset,
kamipun makan malam di satu satunya restoran yang ada disana yang
menyediakan masakan laut.
Pak Hendra ikut makan bersama kami,
tapi ia tak mau duduk bersama kami, dan memisahkan diri duduk agak jauh dari
kami.
~ ~ ~
POV Andra
Aku baru menghabiskan menu utamaku
dan sedang menikmati puding kelapa muda.
Aku memperhatikan Kiara, ia juga
sedang makan puding seperti aku.
Aku tidak tahu bagaimana harus
memulainya. Maksudku menyatakan perasaanku pada Kiara. Sejak pergi ke kepulauan
Seribu aku sudah menyiapkan diri untuk ini, tapi ternyata semuanya tidak
semudah yang kubayangkan. Nembak Kiara ternyata lebih susah dari bikin
game tembak tembakan yang biasa aku kerjakan.
“Habis dari sini kita kembali ke
pulau Pramuka?” tanya Kiara mengagetkan.
“Ya,” sahutku, “masa mau tidur disini
bareng ikan hiu.”
Kiara tertawa, “kali aja mau.”
“Enggalah, kasihan Pak Hendra sudah
capek. Kalau aku sih enggak ada capeknya,” ujarku sambil tertawa.
“Ok kalau begitu.” Kiara melanjutkan
makan pudingnya lagi.
Aku kembali didera rasa gugup. Ini
benar benar momen yang pas. Dinner yang romantis di suatu pulau,
dengan sunset yang keren. Kapan lagi aku punya momen seperti ini.
“Ki…” ujarku.
“Ya?”
“Aku…”
“Sebentar,” potong Kiara, “tante
Audrey menelepon.”
“Oke,” aku membiarkan Kiara ngobrol
dengan tante Audrey sampai selesai.
“Tante Audrey ingin bertemu denganku,
besok kita pulang jam berapa Mas?” tanya Kiara setelah pembicaraannya dengan
tante Audrey selesai.
“Mungkin jam sepuluhan, aku masih mau
hunting sunrise di pulau Pramuka.”
“Oke, mungkin besok aku ketemu tante
Audrey sore saja.” Kiara tersenyum, “tadi Mas Andra mau ngomong apa?” tanya
Kiara mengagetkan.
Aku langsung deg degan.
“Tidak, tidak apa apa, tadi aku mau mengajakmu kembali ke pulau Pramuka karena
hari sudah malam, takut hujan juga, takut ombaknya besar.”
“Oke,” Kiara kembali tersenyum, “ayo
kita kembali.”
~ ~ ~
POV Andra
Bima menyambut kedatanganku ke cafe
dengan tersenyum lebar. Aku duduk di salah satu sudut cafe tanpa menggubris
senyumnya.
Aku dan Kiara baru kembali dari
kepulauan Seribu. Kiara langsung pergi ke lantai atas setelah turun dari taksi.
Ia mengucapkan terima kasih padaku karena sudah mengajaknya jalan jalan. Lalu
ia melambaikan tangannya sambil tersenyum padaku saat berjalan menaiki tangga
ke arah tempat tinggalnya.
Setelah Kiara hilang dari
pandanganku, aku akhirnya masuk ke cafe.
“Bagaimana?” Bima langsung
menghampiriku dan duduk dihadapanku, “semuanya lancar?”
“Foto yang gue dapet sih banyak
banget,” komentarku.
“Gue nggak bertanya tentang foto!”
seru Bima, “bikin emosi saja.”
“Belum Bima, gue belum nembak Kiara.”
“APA?”
“Ssh jangan keras keras, elu tuh
kenapa sih Bim, dulu lu ngelarang gue deketin Kiara, sekarang elu ingin gue
cepet jadian sama Kiara.”
“Ya, gue sih sebenarnya terserah elu
Ndra, kalau elu keduluan tante Audrey dan berhasil menjadikan Kiara sebagai
menantunya, kan elu juga yang gigit jari.”
“Masalahnya Bim, gue tuh sayang
banget sama Kiara, gue takut kehilangan dia.”
“Ya udah tunggu apa lagi kalau
begitu. Elu harus cepat nyatain perasaan elu ke dia.”
“Kalau Kiara nolak gue gimana?”
“Kalau Kiara nerima elu gimana?” Bima
balik bertanya padaku, “elu itu ya, belum nyoba udah punya asumsi begini,
begitu, coba aja dulu, abis dicoba, kan jelas tuh, dapat jawabannya apa. Elu
jadi nggak usah berasumsi macam macam lagi.”
“Permasalahannya itu ya Bim, gue itu
punya kebiasaan jelek.”
“Emang,” sahut Bima. “Semua kebiasaan
lu ngga ada bagus bagusnya dari dulu, jelek semuanya.”
“Kebiasaan jelek gue adalah,” sahutku
tanpa menggubris kata kata Bima, “kalau gue udah ditolak cewek, gue akan musuhi
cewek itu, nah, dalam kasus Kiara, kalau Kiara nolak gue, gue nggak mau musuhi
dia. Gue selalu suka berada di sekitar dia.”
“Ya, jangan musuhi kalau begitu!
Rubah kebiasaan jelek lu, repot banget sih hidup lu!”
“I don’t know, semuanya pasti
berubah kalau gue udah nembak dia. Kalau diterima alhamdulillah, tapi
kalau ditolak pasti akan ada jarak, dan gue nggak mau itu terjadi.”
“Ya udah, terserah, keduluan tante
Audrey baru tahu!” Bima akhirnya bangkit dari tempat duduknya dan pergi dari
hadapanku dengan kesal.
“Oke, lain kali akan kucoba lagi!”
teriakku pada Bima.
“Terserah!” Bima balas berteriak.
~ ~ ~
BAB TIGA BELAS
POV Kiara
Jakarta Minggu sore ini tidak terlalu
macet. Yang aku suka dari Jakarta adalah bepergian setiap hari Sabtu atau
Minggu karena tidak semacet hari hari kerja.
Apalagi pas musim liburan atau
sekitar hari raya Idul Fitri, beuu main bola di Jalanan utama ibukota juga bisa
hehe. Entahlah nanti kalau Jakarta sudah bukan ibukota lagi, mungkin ada
perubahan sedikit dengan kemacetan di Jakarta. Mungkin Jakarta tidak akan
terlalu macet lagi.
Aku menggunakan ojek online menuju
mal Grand Indonesia di dekat bundaran HI. Aku ada janji dengan tante Audrey
untuk makan di salah satu restoran Jepang di sana.
Sebenarnya tante Audrey menyarankan
aku memilih mal yang dekat dengan tempat aku tinggal, tapi aku lebih setuju
bertemu di mal dekat tante Audrey tinggal, yaitu di daerah Menteng, karena aku
menghormati tante Audrey saja, karena tante Audrey lebih tua dariku, kasihan
kan kalau harus pergi jauh ke daerah tempat aku tinggal. Maka akhirnya kami
sepakat bertemu di GI.
Entah kenapa tante Audrey tidak
mengundang aku datang ke rumahnya, dan makan dirumahnya, mungkin tante Audrey
punya alasan sendiri sehingga ia ingin bertemu denganku di tempat lain yang
bukan dirumahnya.
Aku tadinya malas pergi untuk bertemu
tante Audrey sore ini karena aku masih merasa lelah setelah pulang dari
Kepulauan Seribu. Tapi setelah kupikir pikir, kalau aku tidak bertemu sekarang,
aku belum tentu punya waktu lagi.
Sejak kerja di bagian produksi, waktu
kerjaku benar benar tak teratur. Waktu kerjaku tetap dari pagi hingga sore
hari, tapi kalau ada syuting iklan di luar Jakarta, aku harus selalu stand
by termasuk kalau harus menginap. Jadi aku harus selalu siap kalau disuruh
pergi dadakan.
Pola kerja Ibu Dewi sangat bertolak
belakang dengan pola kerja Selly. Kalau Selly dulu punya jadwal kerja yang
sudah terencana dengan baik paling tidak untuk dua minggu kedepan, ibu Dewi
tidak begitu, ia tak punya rencana kerja, semua kerjaan rata rata dikerjakan
dengan cara otomatis, tergantung moodnya, sama sekali tidak
terprogram dengan baik.
Dan karena jam kerjaku yang tidak
jelas itulah akhirnya aku memutuskan bertemu tante Audrey sekarang.
Tante Audrey ternyata sudah
menungguku. Ia sedang sibuk merebus sayuran, bakso, sosis, ikan salmon, udang
dan cumi di dalam air mendidih di sebuah panci yang diletakkan di atas meja
yang ada di hadapannya. Selain itu buah buahan segar, puding, tempura, ayam
goreng juga sudah tersedia di atas meja.
“Hai Kiara, apa kabar?” sapanya.
“Baik tante. Tante apa kabar?”
tanyaku.
“Baik juga.” Tante Audrey tersenyum,
“kau ambil minum langsung ya, disini bebas mau minum apa, tapi ambil sendiri,
makanannya juga, terserah kau mau ambil apa saja.”
“Oke,” sahutku sambil berjalan ke counter
minuman dan mengambil jus jambu merah.
Aku juga langsung mengambil beberapa
kue kue kecil seperti irisan cheese cake, croisant dan roti gulung. Lalu
aku kembali ke tante Audrey lagi.
“Tante Jennie tidak ikut?” tanyaku
sambil duduk di hadapan tante Audrey.
“Tidak, aku memang ingin ngobrol
berdua denganmu saja, mungkin kapan kapan tante Jennie ikut ngobrol dengan
kita.”
“Oke,” aku tersenyum, “jadi apa nih
yang ingin tante obrolkan?”
“Santai saja dulu Kiara, kita
habiskan dulu makanan yang ada disini, kalau nanti makanannya kurang kau ambil
lagi, baru kita ngobrol.” Tante Audrey tertawa. “Makan saja dulu sepuasnya.”
“Oke,” aku ikut tertawa dan mulai
melahap makanan yang ada di hadapanku.
~ ~ ~
POV Author
Kiara menaruh sendok di pinggir
mangkok setelah memasukan udang rebus yang besar ke mulutnya. Ia merasa sangat
kenyang dan tak kuat untuk makan lagi. Perutnya mulai terasa sakit.
“Menyerah?” tante Audrey tertawa
menatap Kiara.
“Ya, aku kekenyangan.” Ujar Kiara.
“Baiklah, kita bereskan dulu piring
piring kotor ini, baru kita bicara,” ujar tante Audrey sambil memanggil waiter
yang stand by tidak jauh dari meja tempat tante Audrey dan Kiara makan.
Waiter itu langsung datang menghampiri tante
Audrey.
“Ya Bu?” ujarnya, “ada yang perlu
dibantu?”
“Ya,” tante Audrey mengangguk,
“tolong bereskan dulu gelas dan piring kotor ini, tapi kami belum selesai.”
“Baik,” waiter itu dengan
sigap melakukan apa yang disuruh tante Audrey.
Tante Audrey menunggu waiter itu
pergi membawa piring dan gelas kotor lalu menatap Kiara.
“Ki, ingat waktu tante ke tempatmu
memberikan kue malam malam?”
“Ya, tante, aku ingat.” Jawab Kiara.
“Nah, saat itu tante secara tidak
sengaja mendengar kau ngobrol dengan seseorang sepertinya kau sedang ngobrol
dengan adik perempuanmu.”
“Ya, Laras, malam itu dia sedang
datang mengunjungiku.” Ujar Kiara, “apa yang tante dengar?”
“Adikmu sepertinya memintamu untuk
cepat cepat cari calon suami dan cepat cepat menikah karena ibumu tidak setuju
kau dilangkahi, benar?”
“Ya,” ujar Kiara dengan suara bernada
sedih, “aku tidak tahu harus bagaimana tante, aku sudah sering bilang pada ibu
agar memberi restu pada Laras agar menikah lebih dulu dariku, tapi hingga detik
ini, sepertinya ibu belum mau memberikan restunya.”
“Mungkin ibumu punya alasan sendiri.”
Ujar tante Audrey, “kau harus memahaminya.”
“Aku sih paham, tapi yang merasa
dirugikan dalam hal ini Laras.” sahut Kiara kesal.
“Kenapa sih adikmu tidak sabar
menunggu, dia kan masih muda. Berapa usia adikmu? 23? 24 tahun?”
Kiara tertawa, “22 tahun, tante
harusnya bilang seperti itu pada Laras.”
“Ya, mungkin kalau bertemu lagi
dengan adikmu akan kusampaikan.” tante Audrey ikut tertawa, “tapi Ki, mungkin
tante bisa menolongmu keluar dari masalah ini.”
“Menolongku?” Kiara kaget, “menolong
bagaimana tante?”
“Bagaimana kalau kau kujodohkan
dengan putraku?”
“Apa?!” Kiara berteriak kaget.
“Ssh, jangan kaget seperti itu,
santai saja. Putraku laki laki yang baik kok dan bertanggung jawab, kau pasti
menyukainya Kiara.”
“Aku tidak yakin tante, maksudku…”
“Mau lihat fotonya?” tante Audrey
tiba tiba mengeluarkan HPnya. “Dia tampan loh, bukan karena aku mamanya aku
memuji dia seperti itu, tapi sahabat sahabatku semua bilang ia tampan.”
“Tante, tidak usah,” elak Kiara,
“tidak, aku tidak ingin melihatnya, aku tidak yakin apakah aku mau, maksudku,
aku yakin putra tante hebat seperti yang tante bilang barusan, tapi
permasalahannya di aku, bukan di dia, aku mungkin akan merasa tidak cocok dan…”
“Dicoba saja dulu Kiara, tidak ada
salahnya kan?” potong tante Audrey, “setelah kalian bertemu, lalu kenalan, lalu
mencoba untuk menghabiskan waktu bersama, baru kau bisa bilang cocok atau
tidak, kau toh belum memulainya, belum mencobanya.”
“Iya sih, tapi…” kata kata Kiara
terhenti. Ia masih sangat suka seseorang. Ia sangat suka Devano walau tak tahu
kapan ia bisa bertemu pria itu lagi. Ia bahkan tetap suka Devano walau sudah
tahu dari Selly kalau Devano sudah pacaran dengan Mona.
“Tapi apa?” tanya tante Audrey
melihat Kiara tiba tiba bengong.
“Ehm, putra tante, apakah dia juga
mau dijodohkan denganku?” tanya Kiara menutupi kegugupannya.
“Ah, itu bisa diatur, kau tenang
saja, nanti kapan kapan kita bertemu lagi ya, dan pada saat itulah aku akan
memperkenalkan putraku padamu.”
“Entahlah tante, aku tak yakin,”
gumam Kiara bingung.
Dijodohkan dengan seseorang bukan
prioritas utama dalam hidup Kiara. Kalau dia mau, dari dulu juga hal itu bisa
dilakukan. Bukliknya, Mas Bima, Mbak Tari, tetangganya, semuanya juga
berlomba lomba ingin menjodohkan Kiara dengan seseorang, tapi Kiara menolak
permintaan mereka semua dengan halus. Tapi sekarang, entah kenapa, ia merasa
tak tega menolak permintaan tante Audrey. Tante Audrey sudah sangat baik pada
dirinya selama ini.
“Ayolah Kiara, ini bukan hal yang
buruk kok, seperti tante bilang tadi, dicoba saja dulu.”
“Boleh aku memikirkannya dulu tante?”
tanya Kiara.
“Berapa lama?”
“Mungkin sebulan?”
“Kelamaan Kiara! Seminggu saja ok?
Minggu depan tante akan meminta jawabanmu.”
“Dua minggu deh tante.”
“Ok, dua minggu kita ketemu lagi.”
~ ~ ~
POV Author
Tante Jennie memasuki cafe Mas Bima
dan mencari tempat duduk, tapi malam minggu ini cafe penuh, ia akhirnya
berjalan ke counter dan memesan minuman favoritnya.
Mega, salah satu karyawan Mas Bima
melayani pesanan tante Jennie, termasuk menerima uang pembayarannya dan
mengembalikan uang kembaliannya.
Tante Jennie menerima uang itu sambil
tersenyum, “Kiara ada?” tanyanya pada Mega.
“Ada, dibelakang, sebentar saya
panggilkan.”
“Oke.” Tante Jennie menunggu sambil
berdiri.
Tidak lama Kiara muncul sambil
tersenyum ke arah tante Jennie.
“Tante apa kabar? Sudah lama kita tak
bertemu.”
“Kabar baik.” Jawab tante Jennie,
“Ki, tidak ada tempat duduk ya?”
Kiara tertawa, “iya tante, tante
duduk di teras atas saja yuk, di teras
tempat aku tinggal, nanti kalau ada tempat duduk kosong aku panggil tante.”
“Ok,” tante Jennie berjalan ke arah
pintu keluar disusul oleh Kiara.
Kiara segera membukakan pintu pagar
besi untuk tante Jennie setelah mereka berdua menaiki tangga. Kiara lalu
mempersilahkan tante Jennie duduk di salah satu kursi yang ada di teras.
“Kalau tante mau duduk di dalam juga
tidak apa apa sih tante, tapi agak berantakan di dalam, aku belum sempat beres
beres,” ujar Kiara lagi.
“Tidak apa apa, disini saja. Kau
selesai bekerja jam berapa?”
“Setengah jam lagi. Tepat jam sepuluh
malam.”
“Ok, setengah jam aku akan menunggumu
disini, lalu kita akan ngobrol.”
“Ngobrol masalah….” kata kata Kiara
terhenti, ia merasa tak yakin dengan dugaannya bahwa tante Jennie pasti akan
membicarakan tawaran tante Audrey untuk menjodohkan Kiara dengan putranya.
“Masalah macam macam,” tante Jennie
tertawa, “sudah, kau bekerja saja dulu, santai saja, aku tidak kemana mana. Aku
akan buka internet di HPku sambil menunggumu.”
“Oke,” Kiara lalu turun lagi dan
pergi ke cafe.
Namun sepuluh menit kemudian Kiara
naik lagi ke atas menemui tante Jennie sambil membawa minuman untuk dirinya
sendiri.
“Kata Mas Bima, aku boleh menemani
tante ngobrol, jadi apa yang ingin tante obrolkan?” tanya Kiara sambil duduk
disamping tante Jennie.
“tante ingin tahu tentang jawabanmu apakah
kau menerima ide tante Audrey untuk dijodohkan dengan anaknya atau tidak.”
“Masih minggu depan jawabannya tante
Jennie. Ini baru satu minggu.”
“Tidak bisa memberi kisi kisi padaku
apa?” tanya tante Jennie.
Kiara tertawa, “tidak. Minggu depan
aku baru akan memberikan jawabannya, oke?”
“Oke, tapi aku hanya ingin
memberitahu kamu Kiara, kalau kau sampai menolak dijodohkan dengan putra tante
Audrey, kau rugi.”
“Rugi?” tanya Kiara.
“Ya, kau tahu, putra tante Audrey itu
idola para wanita, hampir semua sahabat tante Audrey yang punya anak gadis,
ingin anak gadis mereka dijodohkan dengan putra tante Audrey, tapi kau
beruntung, tante Audrey menyukaimu dan ingin kau jadi menantunya. Jadi sahabat
sahabat tante Audrey pada gigit jari deh.”
“Katakanlah putra tante Audrey hebat,
baik, bertanggung jawab dan idola para wanita, tapi aku tidak mencintainya
tante,” keluh Kiara.
“Cinta bisa tumbuh seiring
berjalannya waktu Kiara. Kau lihat tante Audrey? Dulu juga tidak mencintai
suaminya karena ia menikah bukan berdasarkan cinta, tapi sekarang ia mencintai
suaminya.”
“Tapi tidak semua cara seperti itu
berhasil tante. Tidak semua orang bisa menjalani pernikahan dengan cara
dijodohkan seperti itu.”
“Memang, aku setuju denganmu. Tidak
semua orang bisa menjalani pernikahan dengan cara itu, tapi menurutku Kiara,
itu semua tergantung niat, kalau niatmu baik, niatmu ibadah, mudah mudahan
semuanya berlangsung dengan baik juga.”
“Tapi pernikahan itu kan berlangsung
lama tante, bukan sehari dua hari, sebulan dua bulan, aku hanya tidak bisa
membayangkan aku hidup dengan orang yang tidak kucintai selama sisa umurku.”
“Apa kau sedang menyukai seseorang
sekarang Kiara?” tanya tante Jennie mengagetkan.
Kiara diam.
“Jujurlah pada tante, tante janji
tidak akan cerita apa apa pada tante Audrey.”
“Ya, ada sih tante tapi…”
“Tapi apa?”
“Tapi peluangku tipis,” ujar Kiara
sambil tertawa, “dia sudah punya pacar.”
“Wah, cukup menyesakkan juga ya,
jatuh cinta pada pacar orang lain.”
“Tante jangan begitu dong, cinta kan
nggak bisa ditebak kapan datangnya, dan pada siapa. Aku jatuh cinta pada dia
saat dia sendiri alias tidak punya pacar tapi tiba tiba dia sudah pacaran saja
sama seseorang.”
“Kau patah hati dong?”
“Ya walaupun aku patah hati, tidak
merubah keadaan juga. Sepertinya aku tetap tidak punya kesempatan juga, aku
hanya berharap bahwa suatu hari nanti, saat aku bisa melupakan dirinya dan
jatuh cinta lagi pada seseorang, aku punya kesempatan bisa bersama dengan orang
yang kucintai. Itu saja yang kuinginkan tante.”
“Jadi, bisa tante simpulkan, kau
jatuh cinta pada seseorang saat ini tapi kau tak punya kesempatan untuk bersama
dia saat ini?”
“Yap.”
“Kau tidak mau berjuang untuk
mendapatkannya Kiara?”
“Berjuang bagaimana? Aku bahkan tidak
tahu dia menyukai aku juga atau tidak.”
“Jadi dia tidak tahu kau jatuh cinta
padanya?”
Kiara menggeleng.
“Aduh Kiara, kalau menurut tante sih
ya, kalau kita punya perasaan cinta atau sayang pada seseorang, kau harus
memberitahu orang itu, dia mana tahu kita menyukainya atau tidak kalau kita
tidak memberitahunya, kecuali kalau dia peka dengan perasaan kita. Masalah bisa
pacaran sama dia atau tidak itu masalah lain, yang penting dia tahu dulu
perasaanmu.”
“Iya, sih,” Kiara tersenyum, “tapi
khusus dia sepertinya aku menyerah.”
“Jadi kau tidak punya kesempatan
dengan pria yang kau cintai itu?”
“Sepertinya begitu.”
“Kalau begitu, tawaran tante Audrey
solusi dari semuanya kan? Siapa tahu kau bisa melupakannya setelah menikah
nanti.”
“Tante…”
“Bagaimana kalau kau melakukan ini
untuk ibumu?” tante Jennie memegang tangan Kiara erat, “kalau kau nanti jatuh
cinta pada suamimu itu bonus, tapi bagaimana kalau kau melakukan ini untuk
ibumu?”
“Maksud tante?” tanya Kiara bingung.
“Kau sayang ibumu kan Kiara? Jadi
coba kau berada di posisinya. Mungkin ibumu belum memberi restu pada adik
perempuanmu untuk menikah lebih dulu karena ia sangat sayang padamu, dia tidak
ingin kau terluka. Bagi kau ini bukan masalah besar, mungkin bagi ibumu ini
masalah besar. Tiap tiap orang tua punya kasih sayang sendiri sendiri pada
anak-anaknya. Dan tiap tiap anak punya keistimewaan sendiri sendiri di hati
orangtuanya. Kau mungkin sangat istimewa untuk ibumu, dan begitupun sebaliknya,
ibumu pasti sangat istemewa untukmu, kalau perjodohan ini bisa membuat ibumu bahagia
karena kau tidak harus dilangkahi adikmu, kenapa tidak Kiara? Ya, syukur syukur
sih kalau hal ini bisa membuatmu bahagia juga. Seperti aku bilang tadi. Itu
bonus. Bagaimana menurutmu?”
Kiara terdiam beberapa saat sebelum
akhirnya berkata pelan, “ya baiklah tante Jennie, aku mau. Aku mau mencobanya.
Tolong bilang tante Audrey aku mau berkenalan dengan putranya dan kita lihat
apa yang terjadi nanti”.
~ ~ ~
BAB EMPAT BELAS
POV Author
Sudah lama rasanya tante Audrey tidak
berkunjung ke apartemen Devano, mungkin tiga bulan lebih. Tante Audrey selalu
tidak punya waktu untuk melakukannya karena ada saja yang dikerjakannya, belum
lagi tamu yang selalu berdatangan kerumahnya. Ia harus menjamu tamu tamunya.
Tapi sesekali ia menelepon Devano dan
menanyakan kabarnya. Sesekali juga Devano mampir ke rumah untuk makan malam.
Tapi mereka sekeluarga tidak pernah makan malam secara komplit; dirinya,
suaminya, Devano dan Dinda.
Kalau Devano yang bisa makan malam
bersama, Dinda tidak bisa datang, kalau Dinda yang bisa makan malam dengan
orangtua mereka, Devano yang sedang ada keperluan.
Tapi yang terpenting bagi tante
Audrey adalah anak anaknya sehat semua dan ia selalu memantau mereka walau
hanya bisa melakukannya lewat telepon.
Tante Audrey naik lift ke lantai 25 dimana
Devano tinggal. Apartemen tempat Dev tinggal hanya memiliki 30 lantai, tidak
terlalu tinggi gedung apartemennya. Di lantai paling atas, yaitu lantai 30
adalah apartemen paling eksklusif. Apartemen disana paling luas, bahkan punya
kolam renang dan jacuzzi sendiri, serta punya lift sendiri yang
menghubungkan apartemen itu dengan parkiran di lantai bawah.
Devano pernah ditawari ayahnya untuk
tinggal di sana. Ayahnya bersedia membelikan apartemen itu untuknya walau
sangat mahal, tapi Devano menolaknya. Ia memilih apartemen yang biasa dan
membelinya dengan uangnya sendiri.
Tante Audrey langsung memencet bel
saat sudah berdiri di depan pintu apartemen Devano. Ia sudah menelepon Devano
dan bilang padanya bahwa ia akan mengunjunginya malam ini.
Devano langsung membuka pintu dan
tersenyum menatap ibunya.
“Masuk Ma,” ujarnya riang, “tumben
mama mampir.”
“Iya, mama kangen sama kamu.”
“Serius? Baru malam minggu kemarin
kita ketemu di rumah.”
“Ya, masa kangen sama anak sendiri
tiap hari tidak boleh,” tante Audrey langsung masuk dan melihat lihat situasi
apartemen Devano, “apa yang berubah dari apartemenmu?” tanyanya.
“Tidak ada,” Devano tertawa, “masih
begini begini saja.” lanjut Devano
sambil berjalan ke arah dapur, “kamar masih dua, untukku dan untuk kamar tamu,
dapur masih satu, ruang makan satu, ruang tamu sekaligus tempat nonton tivi
masih satu. Apalagi yang harus ditambah, aku tidak suka ada banyak barang di
tempatku.”
“Kau tidak punya keinginan untuk
mengganti sofamu misalnya, atau kursi makan ini?”
“Buat apa sih Ma, itu juga masih
bagus semuanya.”
“Ya, siapa tahu ingin ganti suasana
baru atau apa biar tidak bosan.”
“Enggaklah Ma, sayang uangnya, kalau
ini semua diganti, emang bisa dijual?”
“Bisa Dev, ada kok pembeli yang
khusus menampung barang second lalu menjualnya lagi ke pihak ketiga.”
“But for me, no way, selama
semua barang itu masih digunakan, ya sudah gunakan saja.”
“Kamu itu persis nenekmu, kalau kursi
kursi nenekmu belum pada jebol atau rusak belum mau ganti kursi baru,” tante
Audrey tertawa, lalu menghampiri Devano yang sedang sibuk masak sesuatu.
“Wanginya enak kan Ma?” Devano
tersenyum menatap ibunya.
“Kau masak apa sih?”
“Sup iga sapi, campur asparagus,
brokoli, wortel, kentang, makaroni, ini masakan sehat Ma, Mama harus coba.”
“Serius kamu bisa masak?” tanya tante
Audrey heran.
“Yaelah Mama, bikin sup doang,
sayuran tinggal di kupas terus dipotong potong, iga sapinya tinggal direbus
terus setelah iga sapinya empuk semua bahan dicampur deh, lalu kasih garam,
lada hitam, bubuk pala, udah tinggal diaduk, beres.”
“Kamu dirumah tidak pernah masak,
kalau ingin apa apa selalu minta dimasakin Bi Surti.” Komentar tante Audrey.
“Kalau dirumah aku masak sendiri,
makan gaji buta dong Bi Surti! Enak saja. Mama juga punya asisten rumah tangga
banyak banget. Bikin efisiensi kerja dong Ma, satu orang dua tugas.”
“Ah sudahlah, kasihan mereka, mau
kerja dimana lagi kalau bukan di rumah kita Dev, usia mereka sudah paruh baya,
kalah bersaing dengan yang muda muda.”
“Iya sih,” ujar Devano, “o, iya, aku
lupa!”
“Lupa apa?” tante Audrey heran.
“Lupa pakai micin. Aku kan generasi
micin, hahaha.”
“Kamu tuh ya!” tante Audrey lalu
membuka isi kulkas Devano, “ya ampun kulkas kamu kosong melompong begini. Kamu
nggak pernah belanja?”
“Malas Ma, kalau perlu saja aku
belanja.”
“Ya diisi apa kek, buah kek,
sayur kek, buah dan sayur kan awet kalau ditaruh di kulkas.”
“Itu gampang Mama, di lantai bawah
ada supermarket, aku selalu mampir ke sana sebelum pulang untuk beli sesuatu
yang aku perlukan.”
“Kalau kamu lapar tengah malam
bagaimana? Kamu tidak punya apa apa untuk kamu makan dengan keadaan kulkas yang
kosong seperti ini!”
“Aku tidak pernah lapar tengah malam
Mama, lewat jam tujuh malam aku berhenti makan. Sudahlah, mama jangan khawatir,
sekarang Mama coba sup aku ya, aku baru mau makan malam waktu mama tadi bilang
mau kesini.”
“Oke, baiklah, awas kalau tidak
enak,” tante Audrey lalu duduk di salah satu kursi makan.
“Pasti enak,” Devano sibuk menuangkan
sup untuk ibunya ke dalam mangkuk lalu menghidangkan mangkuk itu di hadapan
ibunya.
“Terimakasih Sayang,” tante Audrey
tersenyum menatap Devano.
“Sama-sama,” ujar Devano sambil
mengambil sup untuk dirinya, “mau pakai nasi Ma?”
“Tidak, tidak usah, Mama tadi sudah
makan sebelum kesini. Ini saja cukup.”
“Sup ini tidak lengkap tanpa sambal
ini.” Devano lalu membawa semangkuk sambal ke hadapan ibunya.
“Ini sambal apa?”
“Irisan cabe rawit, irisan tomat,
irisan bawang merah dan air perasan jeruk nipis.”
“Pantas baunya segar begini.”
“Iya,” Dev tersenyum, “dan ini
kerupuknya. Kerupuk ikan tenggiri.”
“Ok, ada lagi?” tanya ibunya sambil
tersenyum, “barangkali ada makanan lain yang kau punya yang lupa kau taruh
dimeja ini?”
“Sudah, ini saja, aku tidak punya apa
apa lagi, ayo kita makan.” Devano mulai menyendok nasi dan memasukkan nasi itu
ke mulutnya.
~ ~ ~
POV Author
Tante Audrey duduk di sofa sambil
memperhatikan Dev cuci piring.
Ia tadinya ingin langsung bicara
tentang niatnya menjodohkan Devano dengan Kiara, tapi Dev ternyata sedang masak
untuk makan malamnya, jadi tante Audrey tidak mengatakan apa apa paling tidak
sampai acara makan mereka selesai.
Dev terlihat mematikan lampu dapur
setelah selesai cuci piring, ia lalu membawa dua mug kopi ke arah tante Audrey
dan memberikan satu mug pada tante Audrey.
“Ini kopi hitam, kalau Mama mau
tambah creamer, nanti Dev ambilkan.” Ujar Dev sambil duduk di samping
tante Audrey.
“Tidak usah, ini saja cukup.” Tante
Audrey tersenyum menatap Devano, “ehm Dev, sebenarnya maksud kedatangan Mama
kesini adalah karena ingin mengatakan sesuatu padamu.”
“Apa itu Ma?”
“Begini, Mama kenal seorang wanita
cantik yang menyenangkan. Mama sangat menyukainya, sepertinya wanita ini cocok
untukmu Dev, Mama ingin kalian berkenalan.”
“Cocok untukku?” tanya Dev bingung,
“maksud Mama, cocok untuk jadi pacarku?”
“Untuk jadi isterimu.”
“Untuk jadi…” kata kata Devano
terhenti, “Mama akan menjodohkan aku dengan wanita ini?”
“Ya,” tante Audrey mengangguk,
“karena Mama pikir ini yang terbaik untukmu.”
“Terbaik untukku? Aku sudah punya
pacar Mama!”
“Mama tahu, tapi kan bukan berarti
pacarmu sekarang akan jadi isterimu.”
“Ya, tapi siapa tahu aku akan menikah
dengan Mona.”
“Siapa tahu? Berarti kau tak yakin
kan?”
“Aku hanya menjalani hubunganku
dengan Mona ini dengan niat baik, mudah mudahan berakhir baik juga.”
“Dev, cobalah kau berkenalan dulu
dengan wanita yang Mama pilihkan untukmu ini, lalu kau habiskan waktu
bersamanya, lalu nanti kita lihat kau merasa cocok dengannya atau tidak.”
“Lalu Mona?” tanya Dev kesal, “Mona bagaimana
Mama?”
“Mona lagi!” teriak Audrey. “Mama
tidak menyukai Mona!”
“Mama tidak suka pada Mona karena
Maminya Mona musuh bebuyutan Mama kan?” Devano menghembuskan nafas kesal, “aku
tahu hal ini akan terjadi,” gumam Dev, “sejak tante Jennie datang menemuiku dan
memintaku mengakhiri hubunganku dengan Mona aku tahu bahwa bom waktu itu mulai
berdetak, dan boom, ledakannya baru terjadi sekarang.”
“Dev, Mama minta maaf, tapi Mama
pikir…”
“Tidak Mama, aku yang minta maaf
karena sudah mengecewakan Mama. Tapi terus terang aku tidak suka diatur atur
seperti ini. Masalah jodoh, aku ingin mencarinya sendiri, aku harap Mama mau
mengerti hal ini dan menghargai keputusanku.”
~ ~ ~
POV Author
Tante Audrey memijit kepalanya yang
terasa sakit dengan jari jari tangannya. Ia sekarang sedang berada di mobil
untuk kembali pulang ke rumah setelah menemui Devano di apartemennya.
Ia bersyukur tidak harus mengemudi
mobil sendiri dan disupiri oleh Pak Ridwan, karena kalau tidak, tante Audrey
merasa yakin kalau ia tak akan bisa berkonsentrasi dalam mengemudi setelah
pertengkarannya tadi dengan Devano.
Penolakan Devano terhadap rencananya
sebenarnya sudah ia prediksi. Ia kenal karakter Devano yang keras kepala. Ia
merasa yakin Devano akan menolak usulnya, tapi mendengarnya langsung seperti
tadi tetap saja membuat dirinya kecewa.
Masalahnya adalah ia benar benar
menyukai Kiara. Ia sudah sangat bahagia saat mendengar kabar dari Jennie kalau
Kiara mau diperkenalkan dengan Devano. Tapi sepertinya perkenalan itu batal,
mengingat reaksi keras dari Devano yang menentang perjodohan ini. Tapi tante
Audrey bertekad untuk tidak menyerah. Ia harus mencari cara lain.
Apa yang harus kukatakan pada Kiara.
Apa yang harus kukatakan pada Kiara.
Pertanyaan itu terus muncul di
pikiran tante Audrey.
Tante Audrey lalu mengambil HPnya dan
mengirim pesan WA pada Kiara.
“Ki, tante tidak tahu kapan bisa
memperkenalkan putra tante padamu karena akhir akhir ini ia sedang sangat
sibuk, tapi tante berterimakasih padamu kau mau diperkenalkan dengannya. Nanti
tante kabari lagi ya gimana gimananya.”
Kiara pun langsung menjawab, “Oke
tante, tidak masalah.”
Tante Audrey merasa lega karena
paling tidak ia masih bisa mencari alasan pada Kiara walau ia sama sekali tak
tahu kapan kira kira perkenalan itu bisa dilakukan.
~ ~ ~
POV Author
Sepeninggal tante Audrey, Dev
merenung cukup lama. Dev merasa yakin bahwa mamanya tidak akan menyerah dengan
rencananya.
Sebenarnya kalau mamanya tidak punya
masalah dengan maminya Mona, mama Dev merestui hubungannya dengan Mona, itu
terlihat pada awal ia memperkenalkan Mona pada mamanya.
Saat itu mamanya menyambut Mona
dengan hangat. Mereka bahkan ngobrol akrab.
Tapi sejak mamanya tahu bahwa mami
Mona adalah musuhnya saat mamanya masih SMA, mamanya langsung menentang hubungannya
dengan Mona, itu yang dikatakan tante Jennie dulu saat menemui Dev.
Dev benar benar tak mengerti
bagaimana mungkin mamanya masih menyimpan dendam pada mami Mona padahal
permasalahan yang terjadi di antara mereka sudah terjadi berpuluh puluh tahun
yang lalu.
Dev berharap mamanya bisa memaafkan
maminya Mona dan mereka hidup dengan rukun dan damai.
Dev akhirnya bertekad berusaha
membuat mamanya dan mami Mona berdamai, iapun lalu menelepon mamanya.
“Ada apa?” tanya tante Audrey galak
saat menjawab panggilan telepon dari Devano.
“Ya ampun Mama judes amat sih.” Ujar
Devano.
“Habis kamu bikin mama kecewa.”
“Ya, permasalahannya kan ini hidup
aku, aku yang menjalani, bukan Mama.”
“Tapi mama juga tidak sembarangan
memilihkan calon isteri untukmu Dev. Sebelum memperkenalkannya padamu, mama
juga harus merasa yakin dengan diri mama sendiri, dan dia orangnya baik Dev.
Seperti mama bilang mama melakukan ini untuk kebaikanmu, kebahagiaanmu, mana
ada sih orangtua yang ingin melihat anaknya hidup menderita.”
“Kalau nanti Dev tidak bahagia
bagaimana Ma?”
“Kau tidak bisa bilang TIDAK BAHAGIA
kalau belum menjalaninya. Berilah kesempatan pada dirimu untuk hal ini, ok?”
“Ok, tapi nanti saja kita bicarakan
ini lagi. Sekarang aku mau tanya pada mama bagaimana masakanku tadi?”
“Tadi kan sudah mama bilang enak!
Kamu gimana sih!”
“O, iya, aku lupa. Ya sudah kalau
begitu, aku mau mengundang mama minggu depan untuk mencicipi masakanku yang
lain. Mama mau dimasakin apa?”
“Gudeg Jogja. Bisa kamu masak gudeg
Jogja? Lengkap dengan krecekannya dan opor ayamnya.”
“Ya mama jangan gudeg Jogja dong. Aku
nggak bisa masak gudeg. Yang lain aja Ma.”
“Tadi kamu nanya mama mau dimasakin
apa!”
“Ya tapi kan masak gudeg Jogja susah
Ma. Butuh beberapa hari masak nangka mudanya biar rasanya legit.”
“Ya sudah terserah kamu mau masak
apa!”
“Oke, aku tunggu ya Ma minggu depan.
Tenang saja, aku akan masak yang enak buat Mama!”
~ ~ ~
POV Author
Dev memperhatikan jam ditangannya
dengan perasaan resah. Ia sedang menunggu kedatangan tante Mita, Mami Mona. Ia
berencana mempertemukan tante Mita dan mamanya malam ini di apartemennya. Ia
berharap mereka berdua bisa berdamai dan melupakan masalah yang terjadi di
antara mereka di masa lalu.
Untuk itu pula ia mengundang mamanya
makan di apartemennya malam ini. Ia dan mamanya baru selesai makan. Ia masak
rawon untuk mamanya. Dan mamanya bilang rawon buatannya sama enaknya dengan sup
iga sapi yang ia masak minggu lalu.
Tante Mita juga diundang makan malam
oleh Dev. Tapi tante Mita tidak mau, ia hanya ingin ngobrol saja dengan Mama
Dev. Dev sudah memberitahukan semuanya pada tante Mita bahwa mamanya tidak
setuju ia pacaran dengan Mona gara gara mamanya masih marah pada Tante Mita.
Tante Mita bersedia datang memenuhi
undangan Dev untuk ngobrol dengan mama Dev, tapi Mona tidak akan ia ajak karena
tante Mita khawatir situasi akan bertambah buruk kalau Mona ikut.
Setelah makan, seperti biasa, Dev
membuat kopi untuk dirinya dan mamanya. Sambil minum kopi, mama Dev asik
menonton acara memasak di channel Asian Food.
Bel tiba tiba berdering membuat Dev
terperanjat. Dev dengan segera membukakan pintu.
“Siapa itu Dev?” tanya tante Audrey.
“Ehm, dia Maminya Mona Ma,” ujar Dev
sambil mempersilahkan tante Mita masuk dengan gerakan tangannya.
“Apa?!” tante Audrey berdiri dari
duduknya saking kagetnya.
“Apa kabar Audrey? Lama tak bertemu.”
Sapa Tante Mita pada tante Audrey.
Tante Audrey tidak membalas sapaan
tante Mita, ia memandang tante Mita dan Dev bergantian.
“Kamu sengaja melakukan ini pada Mama
kan Dev?” ujar tante Audrey kesal. Ia segera mengambil tas kecilnya dan
berjalan menuju pintu.
“Mama tunggu dulu Ma. Tante Mita mau
minta maaf!” teriak Dev langsung, “iya kan tante?” tanya Dev pada tante Mita.
“Tadinya iya, aku mau minta maaf.
Tapi sekarang tidak lagi.”
“Apa maksud tante?” Dev menatap tante
Mita heran.
“Tante merasa bahwa tante tidak
melakukan kesalahan apa apa jadi kenapa tante harus minta maaf.” Jawab tante
Mita.
“Apa maksudmu kau tak punya kesalahan
apa apa?” teriak tante Audrey pada tante Mita. “Kau sudah merebut Arman
dariku!”
“Oh, haruskah kita membicarakan laki
laki itu sekarang!” seru Dev.
“Diam!”
“Diam!”
Hampir bersamaan tante Audrey dan
tante Mita berteriak pada Dev. Dev langsung diam.
“Jadi aku merebut Arman darimu
begitu?” Tante Mita tersenyum sinis pada tante Audrey, “tidak pernahkah kau
berpikir bahwa Arman pergi meninggalkanmu karena tidak mencintaimu?”
“Berani beraninya kau….”
“Pernahkah sekali saja dalam hidupmu,
saat kau berpacaran dengan Arman ia mentraktirmu sesuatu Audrey? Mentraktir
bakso misalnya? O, baiklah, bakso mungkin kemahalan. Mentraktir es krim
misalnya?”
“Ini tidak ada hubungannya dengan…”
“Aku bertanya pernah tidak?” potong
tante Mita.
Tante Audrey diam.
“Tidak pernah kan?”
“Itu karena dia masih sekolah, sama
sama pelajar seperti kita, dia tak punya kewajiban untuk mentraktir aku ini dan
itu.”
“Dan kau punya kewajiban untuk
mentraktir Arman ini dan itu?” tante Mita balik bertanya, “kau yang selalu
mentraktir Arman selama ini, Audrey!”
“Iya, itu karena…”
“Itu karena kau orang kaya. Kau
adalah anak tunggal dari keluarga kaya raya sementara Arman berasal dari
keluarga miskin. Tapi permasalahannya bukan disitu, permasalahannya adalah dia
tidak benar benar mencintaimu. Dia hanya memanfaatkan dirimu Audrey, dia
mendekatimu untuk meminta macam macam padamu. Dan kau dengan sukarela
memberikan dia apa saja. Uang jajanmu habis untuk membiayai dirinya!”
“Cukup! Aku tidak mau mendengar ini
lagi! Kau mengada ada Mita!”
“Aku tidak mengada ada! Aku
mengatakan ini semua karena…”
“Aku bilang cukup!” tante Audrey
membuka pintu dan pergi dari apartemen Dev begitu saja.
~ ~ ~
POV Author
“Sudah, tenangkan dirimu, ayo minum
air putih dulu,” tante Jennie menenangkan tante Audrey yang sedang menangis.
Tante Audrey langsung pergi ke rumah
tante Jennie setelah bertengkar dengan tante Mita.
“Teganya Mita berkata seperti itu
padaku, Jen, belum cukup apa yang sudah dilakukannya padaku dulu!”
“Sudahlah Drey, jangan terlalu
dipikirkan. Berhentilah menangis. Kau menangis untuk apa sih? Untuk siapa?
Untuk Arman? Untuk masa lalu kalian? Arman dimana sekarang? Apa ia pernah
menangis untukmu? Apa ia pernah memikirkan dirimu? Tidak kan. Kau menyia
nyiakan waktumu Audrey, kau menyia nyiakan perasaanmu.”
“Iya, tapi…”
“Berjanjilah mulai detik ini kamu
akan melupakan semuanya. Arman, Mita, semuanya.”
“Bagaimana aku bisa melupakan Mita
kalan anaknya pacaran dengan anakku?!” teriak tante Audrey, “Dev juga
keterlaluan, apa yang ada dipikiriannya sampai ia berharap aku bisa berdamai
dengan Mita?”
“Ya mungkin karena Dev tidak mau
konflik ini berkelanjutan. Masalah kalian ya masalah kalian. Sementara hubungan
Dev dengan Mona ya lain lagi, harus dibedakan, tidak bisa dicampur adukkan.”
“Kau ini aneh Jen. Kau membantuku
membujuk Kiara agar mau diperkenalkan dengan Dev, setelah berhasil kau setuju
Dev melanjutkan hubungannya dengan Mona? Kau ini gimana sih!”
“Aku tidak bilang aku setuju hubungan
Dev dengan Mona, aku hanya minta kau mengerti keadaan Dev, dia berada di posisi
yang sulit. Kita berdoa saja Dev tidak berjodoh dengan Mona dan pada akhirnya
bisa menikah dengan Kiara, tapi kita tidak boleh ikut campur didalamnya. Kita
lihat apa yang terjadi. Oke?”
Tante Audrey diam. Tapi ia sudah tak
menangis lagi. Tante Jennie lalu memeluknya dengan perasaan sayang.
~ ~ ~
BAB LIMA BELAS
POV Author
Tidak seperti biasanya, malam ini
keluarga Adinegoro bisa berkumpul secara lengkap. Tante Audrey, suaminya,
Devano dan Dinda.
Mereka sedang makan malam
mengelilingi meja makan yang besar.
Beberapa hari ini Dinda libur kuliah
sehingga ia bisa pulang ke rumah sementara Dev pulang ke rumah karena ia ingin
minta maaf pada mamanya. Karena sejak kejadian mamanya bertengkar dengan tante
Mita, Dev tak punya kesempatan untuk meminta maaf pada mamanya.
Tiap Dev menelepon mamanya, mamanya
selalu mematikan telepon darinya.
Begitupun sejak Dev datang tadi,
mamanya acuh pada dirinya, ia tak menggubris kehadiran Dev.
Bahkan saat makan malam seperti
sekarang mamanya juga lebih banyak diam. Ia tidak cerewet menanyakan ini itu
pada Dinda atau menasehati Dev jangan begini atau begitu, seperti yang biasa ia
lakukan saat anak anaknya berkumpul.
Ia makan makanan yang dihidangkan di
meja makan dengan tenang tanpa banyak bicara. Ia bahkan tidak ikut tertawa saat
Dinda bercerita sesuatu yang menurut Dinda lucu.
“Mama kenapa sih? Mama sakit?” tanya
Dinda kesal saat mamanya tidak terlalu antusias mendengar ceritanya.
“Tidak Dinda, Mama tidak sakit.”
jawab mamanya.
“Tapi mama tidak seperti biasanya,”
ujar Dinda lagi, “Pa, Mama kenapa sih?” tanya Dinda pada ayahnya.
“Mungkin hanya lelah.” Jawab ayahnya.
“Tadi siang tidak kenapa kenapa kok.”
“Ya, benar!” seru tante Audrey, “Mama
sedikit lelah, dan karena Mama sudah kenyang, Mama mau istirahat dulu
sekarang.” Tante Audrey bangkit dari duduknya dan pergi ke arah kamarnya.
Dev memperhatikan kepergian mamanya
dengan perasaan khawatir. Tapi ia tetap menyelesaikan makannya.
Setelah selesai makan, Dev pun pergi
ke kamar mamanya.
“Ma,” ujar Dev sambil mengetuk pintu.
Tidak ada jawaban.
“Ma, boleh aku masuk?”
Tetap tidak ada jawaban.
Dev akhirnya masuk. Dilihatnya
mamanya tiduran di atas tempat tidur tapi matanya belum terpejam. Dev lalu
duduk disisi tempat tidur.
“Aku minta maaf Ma, aku pikir dengan
mempertemukan Mama dan tante Mita, persoalan diantara kalian bisa selesai. Tapi
ternyata tidak.”
Tante Audrey masih diam.
“Ma, bicaralah sesuatu, jangan
membuat aku khawatir.”
“Jadi kamu khawatir sama Mama
begitu?” tanya tante Audrey.
“Ya.”
“Berarti kamu sayang pada Mama?”
“Ya jelaslah sayang.”
“Kalau sayang kenapa kamu
mengecewakan Mama?”
“Mengecewakan?”
“Ya, kau tak mau berkenalan dengan
wanita yang Mama pilihkan untuk jadi isterimu.”
“Oke, baik, aku mau berkenalan
dengannya, tapi sebatas itu Ma, aku tidak bisa janji lebih dari itu. Aku kan tidak
bisa memutuskan Mona begitu saja Ma, aku sayang pada Mona seperti aku sayang
pada Mama.”
“Kau juga bisa sayang pada wanita itu
seiring berjalannya waktu.”
“Aku bilang lihat nanti Ma, oke?”
“Oke,” ujar Mamanya akhirnya.
Devpun langsung bernafas lega, semua
kekhawatirannya langsung hilang. Yang paling Dev takutkan di dunia ini adalah
mamanya tidak mau bicara padanya atau memusuhinya.
~ ~ ~
POV Kiara
Aku memperhatikan foto foto di
Kepulauan Seribu yang sudah dicetak oleh Mas Andra dan disusun dalam satu
album. Mas Andra sengaja datang ke cafe Mas Bima untuk memberikan album foto
itu padaku, katanya untuk kenang kenangan. Ia datang bersama Mas Egi dengan
menggunakan mobil sports Mas Egi yang keren.
“Wah fotonya cantik cantik,
pemandangan alam disana memang cantik, airnya jernih, langitnya biru, sangat
indah dan alami,” komentarku, “terima kasih Mas Andra untuk album fotonya.”
“Sama sama Kiara.” Mas Andra
tersenyum menatapku.
“Coba aku lihat,” Mas Egi mengambil
album itu dan melihat foto itu satu satu. “Kebanyakan foto kamu Ki.” Komentar
Mas Egi. “Ini sebenarnya mau motret laut atau Kiara sih?”
“Ya, nggak apa apa, aku sama
cantiknya kan dengan laut disana?” tanyaku sambil tertawa.
“Huh, geer kamu!” ujar Mas Egi.
“Kapan kapan temanin aku hunting foto
lagi ya Ki?” tanya Mas Andra.
“Siap.” jawabku.
“Kalau bicara soal tempat yang paling
ingin kau kunjungi, kau mau kemana Ki?” tanya Mas Andra lagi.
“Bali, aku tak pernah merasa bosan
dengan Bali, keseluruhan Bali, karena menurutku Bali itu sangat eksotik.”
“Baiklah, kapan kapan kita ke Bali.”
“Serius?” teriakku tak percaya.
“Ya. Serius.”
“Aku boleh ikut?” tanya Mas Egi.
“Boleh, tapi ongkos sendiri,” Mas
Andra lalu tertawa.
“Pelit banget sih sama sahabat
sendiri!” Mas Egi langsung ngomel.
“Setelah Bali, kau mau pergi kemana?”
tanya Mas Andra lagi.
“Ehm, Thailand,” jawabku, “aku ingin
naik gajah Thailand.”
“Jauh benar naik gajah ke Thailand!”
sahut Mas Egi, “di Ragunan noh ada juga gajah yang bisa dinaiki. Di Way
Kambas juga banyak gajah. Ada sekolah gajah malah disana.”
“Biarin saja sih Gi, Kiara maunya
naik gajah Thailand, elu yang repot!” komentar Mas Andra, “Ok, Ki, kapan kapan
kita hunting foto ke Thailand, dan naik gajah disana!”
“Asik!” seruku. Aku tidak tahu Mas
Andra serius dengan kata katanya atau cuma bercanda.
“Ini sebenarnya yang mau hunting foto
elu atau Kiara sih?” tanya Mas Egi, “kenapa tempatnya Kiara yang nentuin?”
“Foto foto gue itu Gi, sifatnya fleksibel.”
Jelas Mas Andra, “dimanapun tempat itu
berada, disanalah objek objek foto itu akan kuabadikan atau kuambil. Di
Thailand kan banyak pasar apung tuh, kayak Khlong Lat Mayom floating market,
atau Damnoen Saduak floating market, nah, itu juga tempat yang bagus
untuk objek foto, kenapa tidak.”
“Oh, begitu ya.”
“Iya. Begitu.” Kata Mas Andra.
“Memang ada yang mau membeli foto
pasar apung?” tanya Mas Egi.
“Ya ada. Mereka yang sedang bikin
buku tentang keunikan masyarakat Thailand misalnya, siapa tahu butuh foto pasar
apung.” Ujar Mas Andra, “lalu kamu mau kemana lagi Ki?” tanya Mas Andra padaku.
“Sudah-sudah, nanya Kiara melulu!”
ujar Mas Egi, “mending jawab tebak tebakan dari aku!”
“Tebak tebakan melulu!” Hampir
bersamaan aku dan Mas Andra berteriak.
“Iya dong,” Mas Egi tertawa, “jawab
ya. Ada 13 angsa berenang di danau, di kali 3, jadi berapa?”
“Jadi capek.” Jawab Mas Andra. “Itu
angsa pasti berenangnya dari pagi, jadi capek.”
“Serius ah!” Mas Egi cemberut.
“Ya, gue serius. Jawaban teki teki lu
kan selalu aneh.”
“Ayo dong jawab dengan serius,” ujar
Mas Egi lagi.
“Kalau gue jawab 39 pasti salah,”
kata Mas Andra, “padahal 13 x 3 kan 39.”
“Memang salah!”
“Tuh kan!”
“Ki, jawab dong,”
“Jadi 16.” Jawabku.
“Kok 16 sih?” Mas Andra heran.
“Iya, ada angsa berenang di danau 13,
di kali 3, berarti yang berenang di kali ada 3, jadi 16 angsa, benar kan?”
tanyaku.
“Salah!” kata Mas Egi.
“Kok salah sih?” protesku.
“Yang benar ada 17.” Ujar Mas Egi
lagi. “Angsa yang berenang di danau 13, berenang di kali 3, berenang di empang
1, jadi 17.”
“Tadi nggak dibilangan ada yang berenang
di empang!” Protesku lagi.
“Itu karena angsa yang berenang di
empang nggak bilang apa apa sama teman temannya waktu memisahkan diri, dia
pergi begitu saja.”
“Lagi baper kayaknya
angsanya.” Komentar Mas Andra, “itu angsa pasti jomblo, berenang sendirian gitu
di empang.”
“Kayaknya sih, itu angsa introvert,”
sahutku, “tidak mau bergaul, maunya menyendiri.”
“Sudah sebaiknya kita lupakan angsa
yang nyasar ke empang itu.” Ujar Mas Egi, “eh, gue punya ide! Gimana kalau elu
Ndra, bikin game ‘angsa penyendiri’.” Lanjut Mas Egi ke Mas Andra.
“Cara mainnya?” tanya Mas Andra.
“Jadi gamernya akan mendapat poin
kalau berhasil menangkap itu angsa dan balikin angsa itu ke teman temannya.”
“Cara menangkapnya gimana?” tanya Mas
Andra lagi.
“Pakai jaring aja, jangan ditembak,
kasihan nanti terluka.”
“Jangan.” Seruku, “tidak usah
ditangkap angsanya, baik pakai jaring atau pakai apapun juga. Kasihan kan,
sudah berenang sendiri ditangkap pula. Biarkan angsa itu berenang dengan
bebas.”
“Sekarang malah kamu yang baper Ki.”
Mas Egi langsung tertawa. “Sekarang tebakan selanjutnya.”
“Cukup!”
“Enough!”
Hampir bersamaan aku dan Mas Andra
teriak lagi.
“Ciee, dari tadi ngomongnya bareng
terus, pasti sehati.” Komentar Mas Egi.
Mas Andra langsung tertawa mendengar kata
kata Mas Egi, sementara aku langsung pamit pada mereka untuk melanjutkan
pekerjaanku.
~ ~ ~
BAB ENAM BELAS
POV Kiara
Aku saat ini sedang berada di suatu
restoran di daerah Senopati. Aku ada janji makan siang dengan tante audrey dan
puteranya karena tante Audrey akan memperkenalkan puteranya padaku.
Aku datang lebih awal karena aku
merasa tak enak pada tante Audrey kalau sampai tante Audrey harus menungguku.
Sabtu siang ini seperti biasanya aku
harus bekerja, tapi karena ada janji dengan tante Audrey aku minta ijin pada
Mas Bima untuk tidak bekerja siang ini dan baru akan bekerja setelah
pertemuanku dengan tante Audrey dan puteranya selesai.
Sebenarnya aku tak enak pada Mas Bima
karena minta ijin melulu karena sepertinya aku selalu banyak keperluan. Tapi
untungnya Mas Bima mengerti dan memberikan aku ijin untuk pergi.
Setelah datang, aku duduk di tempat
yang sudah tante Audrey booking. Aku lalu memperhatikan suasana restoran
yang cukup ramai dengan perasaan tak menentu.
Sambil menunggu, entah kenapa aku
tiba tiba merasa rindu pada Devano. Aku juga tak mengerti kenapa tiba tiba
ingat Dev. Mungkin karena semalam Selly meneleponku dan menanyakan kabar teman
teman di Bright Advertising, Sellyjuga bertanya apakah Dev jadi klien
lagi di Bright Advertising atau tidak. Aku bilang pada Selly bahwa Dev
belum meminta Bright Advertising untuk membuat iklan untuk perusahaannya
lagi.
Sedang asik asiknya memikirkan Dev
aku terkejut ketika orang yang kupikirkan tiba tiba muncul di hadapanku, ia
berjalan tepat ke arahku. Aku mengucek ngucek mataku karena tak percaya dengan
penglihatanku. Kupikir itu hanya halunisasi saja.
Tapi beberapa kali aku mengucek
mataku, sosok Dev tetap berada di hadapanku, tidak jauh dariku.
Dev sepertinya mau makan siang juga
disini. Ia seperti sedang mencari seseorang karena matanya beredar
memperhatikan orang orang yang berada di dalam restoran.
Aku akhirnya memberanikan diri untuk
menegurnya. Aku lalu berdiri dari tempat dudukku dan berjalan menghampirinya.
“Selamat siang Pak Devano,” ujarku.
Dia memperhatikan aku dan mencoba
mengingat ingat pernah bertemu aku dimana.
“Aku Kiara, dari Bright
Advertising.” Ujarku lagi.
“O, ya, tentu,” ujar Dev, “Bright
Advertising, aku ingat, apa kabar?” tanyanya.
“Baik, kabar baik.”
“Selly bagaimana? Apa kabar dengan
Ibu Selly?”
Selly patah hati karena dirimu. Ujarku dalam hati. “Selly baik baik
saja.” Jawabku.
“Syukurlah. Sudah lama aku tidak
bertemu Selly.”
Aku juga. Ujarku lagi dalam hati. Sepertinya
Dev tidak tahu Selly sudah tidak di Bright Advertising lagi. Sepertinya
Selly memutuskan untuk tidak memberitahu Dev.
“Belum mau bikin iklan baru Pak?”
tanyaku sok akrab.
“Belum, kami sedang mempersiapkan
peluncuran produk baru, mungkin nanti mempercayakan Bright Advertising lagiuntuk
membuat iklannya.”
“Bagus kalau begitu!” senyumku. Tapi
senyumku tiba tiba menghilang. Demi apa coba aku mempromosikan Bright
Advertising seperti ini. Keenakan Bu Dewi dong dapat order besar. Mana aku
sudah ditendang ke bagian produksi lagi sama dia! Ujarku dalam hati.
Tapi tenang Kiara, ambil sisi
positifnya, kalau Dev memproduksi iklan lagi di Bright Advertising, kau bisa
sering bertemu dengannya.
“Aku tinggal dulu ya Kiara,” ujar Dev
mengagetkan, “aku sedang ada janji makan siang.”
“Oke,” aku mengangguk mengiyakan. Senang
bertemu dengan Anda siang ini,pujaan hatiku, lanjutku dalam hati.
Baru saja aku mau duduk, Selly tiba
tiba meneleponku, aku lalu menjawab panggilan telepon dari Selly.
“Hallo,” sahutku.
“Sedang sibuk Ki? Kau pasti kerja di
cafe ya siang ini?” tanya Selly.
Aku ingin sekali menjerit dan bilang
ke Selly kalau aku baru bertemu Dev. Tapi itu tidak kulakukan.
“Tidak, tidak sibuk kok. Aku
bekerjanya nanti sore.”
“Oh, aku mau curhat boleh?”
“Boleh, sebentar ya, aku cari tempat
yang sepi dulu.” Aku lalu berjalan ke arah belakang restoran ke sebuah taman
yang rimbun oleh pepohonan. “Ok, sudah aman disini, kau mau bicara apa?”
“Ada pria yang melamarku Ki,” ujar
Selly.
“Apa?” teriakku histeris, “itu
keren!”
“Tapi aku tak yakin aku suka dia atau
tidak.”
“Karena masih menyukai Dev?”
“Ya, salah satunya itu, tapi kalau
soal Dev sepertinya aku nyerah, aku tidak bisa bersaing dengan Mona.”
“Lalu?”
“Lalu aku memutuskan untuk melupakan
Dev walau sulit. Dan kembali ke pria yang melamarku itu, aku sebenarnya tidak
terlalu menyukainya, tapi aku merasa nyaman berada disampingnya. Dia baik
sekali Ki. Dia seniman lokal. Dia seorang pelukis. Ibuku pernah dilukis
olehnya. Dari sanalah ia bilang ia mulai menyukaiku.”
“Ya sudah kalau begitu, kau bersahabat
saja dulu dengannya. Jangan kau terima dulu lamarannya sampai hatimu yakin,
tapi jangan kau tolak juga. Jalani saja dulu pelan pelan, beri keyakinan pada
hatimu Sel.”
“Menurutmu begitu?”
“Ya.” Sahutku.
Selly kemudian tertawa, “sebenarnya
saat semalam aku meneleponmu, aku mau membicarakan ini, tapi aku belum berani.
Terima kasih sarannya ya Ki.”
“Sama sama.” Jawabku.
“Ya sudah lain kali aku curhat lagi,”
ujar Selly lagi. “Bye Kiara.”
“Bye!”
Aku baru mau memasukkan HPku ke dalam
tas setelah ngobrol dengan Selly saat HPku berdering lagi, ternyata panggilan
dari tante Audrey.
“Ki, kamu dimana? Tante sudah
sampai.” Ujar Tante Audrey saat aku menjawab panggilannya.
“Oh, di taman belakang tante, aku
juga sudah sampai, sebentar aku akan ke sana.”
“Oke, aku tunggu ya.”
“Iya tante.”
Aku lalu berjalan agak tergesa ke table
yang sudah dibooking tante Audrey.
Tapi langkahku terhenti dan aku
berdiri kaku saking kagetnya. Dev ternyata sedang duduk disamping tante Audrey!
Dadaku langsung berdebar kencang, tidak
mungkin! Teriakku dalam hati, Tidak
mungkin kan Dev anak tante Audrey? Mereka mungkin cuma kenalan dan bertemu di
restoran ini?
“Kiara,” sapa tante Audrey ramah saat
melihatku berdiri tidak jauh darinya. “Kenapa bengong disitu! Ayo duduk, kenalkan,
ini Devano, putra tante. Putera tante tampan kan seperti yang tante bilang?”
Aku dan Dev sama sama bertatapan
lama. Dev sama terkejutnya denganku.
“Ki, ada apa?” tanya tante Audrey,
“wajahmu pucat, kau sakit?”
“Ti.. tidak tante. Aku baik baik saja.”
Aku duduk dengan gelisah. Sama gelisahnya dengan Dev yang terus menatapku
dengan tatapan aneh.
“Syukurlah kalau begitu.” Tante
Audrey tersenyum, “Dev, ini Kiara, wanita yang mama ceritakan padamu, dia…”
“Aku tahu siapa dia,” potong Dev.
“Kau tahu?” tanya tante Audrey kaget.
“Ya, iklan terakhir perusahaan
kosmetik kita diproduksi oleh perusahaan iklan tempat Kiara bekerja Ma.”
“Benar begitu Kiara?” tanya tante
Audrey padaku.
“Ya,” anggukku, “aku baru melihat
putera tante sekarang tante, aku sangat terkejut, kalau sebelumnya aku sempat
melihat fotonya aku pasti tahu tentang putera tante dan memberitahukan hal itu
pada tante.”
“Dulu aku pernah mau memperlihatkan
foto Dev padamu tapi kau menolak melihat.” Gumam tante Audrey.
“Ya, aku tak menyangka kalau…”
“Mama kenal Kiara dimana?” Dev tiba
tiba memotong kata kataku.
“Di suatu cafe.” Jawab tante Audrey.
“Kiara sedang minum di cafe yang sama
dengan Mama? Lalu kalian kenalan dan ngobrol, begitu?” tanya Dev.
“Tidak, Kiara sedang bekerja di cafe
itu.” Jawab tante Audrey.
“Kiara sedang bekerja?” tanya Dev
heran.
“Dev, ada apa sebenarnya? Kau janji
mau berkenalan dengannya. Jangan cari masalah lagi dengan Mama. Bisakah kita
makan siang sekarang?” Ujar tante Audrey.
“Tapi Ma, bagaimana mungkin Mama bisa
memilihnya untuk.. untuk..” Dev menghentikan kata katanya, “apa Mama mengenal
keluarga Kiara juga? Apa Mama dan Mama Kiara
sudah akrab?”
“Mama akan menjelaskan itu di rumah
ok? Tidak sekarang. Bisakah kita makan siang sekarang?” Ujar tante Audrey kesal.
“Oke, baiklah.” Jawab Dev.
“Ayo Kiara, kau mau pesan apa?” tanya
tante Audrey padaku.
Aku langsung melihat menu dan memilih
ingin makan siang apa. Tapi melihat kemarahan Dev, selera makanku tiba tiba
menghilang entah kemana.
~ ~ ~
POV Kiara
Aku hampir menyelesaikan makan
siangku saat HPku bunyi karena ada pesan masuk di WAku. Nomornya tidak kukenal.
Aku lalu membacanya.
Kita perlu bicara. Tapi aku ingin
kita bicara berdua saja tanpa kehadiran Mamaku. Dimana aku bisa menemuimu? -
Dev -
Untuk sesaat aku merasa terkejut
kenapa Dev tahu nomor HPku, tapi Dev pasti bertanya pada Selly.
Aku langsung membalas pesannya. Aku
bilang padanya sore ini aku harus bekerja. Tapi kalau dia ingin bicara
denganku, dia bisa mampir ke cafe Mas
Bima, tempat aku bekerja, aku lalu memberikan alamat cafe Mas Bima padanya. Ia
bilang ia akan menemuiku di cafe Mas Bima nanti malam.
“Sekarang aku sudah kenyang,” ujar
Dev mengagetkan. “Terima kasih atas traktiran makan siangnya Ma.”
“Sama sama Sayang.” Tante Audrey tersenyum
pada Dev.
“Bisa aku pulang duluan?” tanya Dev,
membuat senyum tante Audrey langsung hilang.
“Secepat itu Dev?” tanya tante
Audrey, “tidak maukah kau mengajak Kiara jalan jalan atau apa, sekarang masih
siang, udara cerah, kalian bisa jalan jalan ke mal atau kemana gitu.”
Dev langsung menghela nafas panjang
dan menatapku tajam, “Kiara, kau mau jalan jalan denganku?”
Mau Sekali. Seruku dalam hati. Demi Tuhan aku
mau sekali…
“Ehm, aku harus bekerja,” ujarku
cepat, “aku takut nanti terlambat bekerja, masalahnya sudah terlalu sering aku
minta ijin pergi pada Mas Bima.”
“Ya sudah kalau begitu.” Tante Audrey
tersenyum menatapku, “Dev, bisa kau antar Kiara ke tempat kerjanya?”
Aku dan Dev bertatapan lagi. Dev
sepertinya tidak tahu harus bicara apa.
“Aku sudah pesan ojek online tante,”
ujarku buru buru. “Sebentar lagi ojeknya sampai.”
“Kenapa tidak bareng Dev saja sih?
Dev bawa mobil kesini. Tante dan Dev tadi pergi kesininya sendiri sendiri, bawa
mobil sendiri sendiri.”
“Motor lebih cepat tante, bisa lewat
jalan tikus kalau macet.”
“Ya sudah kalau begitu, sampai
bertemu lagi Kiara. Hati hati di jalan ya.”
“Sampai berjumpa lagi Tante,” aku
langsung mencium pipi tante Audrey.
“Sampai berjumpa lagi.”
“Senang bertemu denganmu lagi siang
ini,” aku mengulurkan tanganku pada Dev untuk berjabat tangan. Aku serius
dengan apa yang kuucapkan. Aku senang sekali bisa bertemu lagi dengan Dev siang
ini.
Dev menerima uluran tanganku dan
menjabat tanganku tanpa berkata apa apa.
Aku lalu pergi meninggalkan mereka
sambil membuka HPku dan mulai memesan ojek online.
~ ~ ~
POV Author
Suasana cafe malam ini sangat ramai.
Tapi Dev berhasil mendapatkan tempat duduk dan memesan minuman. Ia sekarang
sedang menunggu Kiara karena Kiara akan menemuinya sebentar lagi.
Setelah kurang lebih sepuluh menit
menunggu, Kiara akhirnya menghampiri Dev sambil tersenyum.
“Maaf menunggu agak lama,” ujar
Kiara. “Tadi aku cuci piring dulu.”
“Tidak apa apa,” jawab Dev, “kau
yakin kau bisa ngobrol denganku sekarang?”
“Ya, tadi aku sudah ijin pada bosku
dan bosku sudah mengijinkan.”
“Baiklah kalau begitu,” ujar Dev.
Ya Tuhan, dia tampan sekali, ujar Kiara dalam hati sambil
memperhatikan wajah Dev, Kiara berusaha menenangkan dadanya yang terus
berdebar.
“Terus terang aku cukup kaget dengan
rencana Mama untuk menjodohkan aku dengan dirimu,” ujar Dev lagi, “aku percaya
Mama punya alasan sendiri kenapa memilihmu sebagai wanita yang ingin dijodohkan
denganku, tapi permasalahannya adalah bukan di dirimu, tapi di diriku, aku
yakin kau adalah wanita baik seperti yang Mama bilang, tapi…” Dev menghentikan
kata katanya.
“Tapi apa?” tanya Kiara.
“Aku sudah punya pacar.”
Kiara berusaha untuk tidak
menampilkan wajah kecewa di hadapan Dev. Ia sudah tahu sebelumnya bahwa Dev
sudah punya pacar. Ia juga merasa yakin bahwa Dev akan mengatakan hal itu saat
Dev ingin bicara dengan dirinya, tapi Kiara tak menduga bahwa mendengar
langsung Dev mengucapkan kata kata itu membuat dada Kiara sakit.
“Jadi..” ujar Kiara pelan, “aku tak
punya kesempatan?”
“Aku minta maaf, aku yakin banyak
pria baik di luar sana yang cocok untukmu. Itu saja yang ingin aku katakan.”
“Permisi,” tiba tiba Mega, salah satu
karyawan Mas Bima menghampiri Dev dan Kiara, “Ki, dipanggil Mas Andra
sebentar.”
Kiara langsung menggerutu dalam hati,
Mas Andra mau apa sih.. ujarnya dalam hati.
Kiara lalu menghampiri Mas Andra yang
sedang duduk sendirian ditemani laptopnya.
“Ada apa Mas?” tanyanya pada Mas
Andra.
“Itu siapa?” tanya Mas Andra, “Pria
yang sedang ngobrol denganmu?”
“Oh, itu Devano, puteranya tante
Audrey.”
“Putera tante Audrey?” tanya Mas
Andra kaget, “dia mau apa?”
“Dia mau minum doang, sudah
ya, aku perlu menyampaikan sesuatu padanya. Sebentar lagi dia pulang.”
“Oke.”
Kiara lalu berjalan lagi ke arah Dev.
“Maaf,” ujar Kiara, “itu tadi teman
kakak sepupuku, dia ada perlu sehingga ia menanyakan sesuatu padaku.”
“Tidak apa apa.” Ujar Dev.
“O, ya meneruskan pembicaraan kita
tadi, aku hanya ingin bilang agar kau jangan khawatir. I’m ok. Maksudku
aku juga tidak mengerti kenapa Mamamu ingin memperkenalkan aku padamu dan jika
memungkinkan menjadikan aku sebagai menantunya,” Kiara menahan agar suaranya
tidak terdengar sedih. “Mamamu sangat antusias sekali dengan hal ini. Ia
membujukku sampai mentraktirku makan di restoran Jepang yang mahal,” Kiara
tertawa pelan, ia tahu bahwa tawanya tidak terdengar gembira.
“Sampai segitunya?” tanya Dev.
“Ya.” Ujar Kiara, “tante Jennie juga
membujukku.”
“Jadi tante Jennie juga punya peran
dalam perjodohan kita?”
“Ya.”
“Sebenarnya,” ujar Dev lagi “alasan
kenapa Mama dan tante Jennie melakukan ini adalah…”
“Maaf mengganggu,” Mas Andra tiba
tiba berdiri diantara Dev dan Kiara yang sedang duduk berhadapan. “Tapi aku ada
perlu dengan Kiara.”
“Mas Andra, aku sedang bicara,”
protes Kiara.
“Sebentar saja Ki.”
“Tidak apa apa.” Dev tiba tiba
berdiri dari duduknya, “aku sudah mau pulang kok, mungkin lain kali kita bisa
ngobrol lebih tenang dari ini,” ujar Dev pada Kiara.
“Ya, tentu.” Jawab Kiara.
“Sampai bertemu Kiara.”
Sampai bertemu lagi cintaku… ujar Kiara dalam hati.
Kiara lalu mengambil gelas bekas Dev
minum dan membawanya ke belakang tanpa memperdulikan Mas Andra.
“Ki, tunggu, mau kemana sih?” Mas
Andra mengejarnya.
“Aku nyuci ini dulu Mas Andra!” seru
Kiara sambil berjalan ke dapur.
Mas Andra berhenti mengejar Kiara
setelah Kiara masuk dapur.
Di dapur, di tempat cuci piring,
ternyata banyak piring dan gelas kotor yang harus dicuci, Kiara pun mencuci
semuanya. Kiara mencuci piring dengan perasaan sedih.
Kisah cintaku berakhir tragis, oh
Tuhan, ini tidak adil untukku, kisah cintaku berakhir tragis…
Selesai mencuci piring ia keluar lagi
untuk menemui Mas Andra, tapi Mas Andra tidak ada di dalam cafe.
“Mbak Mega, lihat Mas Andra tidak?”
tanya Kiara pada Mbak Mega.
“Tadi sih ada.”
“Aku juga tahu tadi ada, sekarang
kemana orangnya?”
“Mana aku tahu, diluar kali,
di parkiran.”
Kiara langsung pergi ke parkiran.
Motor Mas Andra masih ada disana. Tapi Mas Andranya tidak ada.
Kiara lalu pergi ke atas, ke tempat
ia tinggal, siapa tahu Mas Andra ada diteras, tapi ternyata tidak ada juga.
Kiara akhirnya menyerah, ia tidak
mencari Mas Andra lagi dan kembali pada pekerjaannya.
~ ~ ~
POV Kiara
Hari sudah menunjukkan pukul satu
dini hari, tapi aku tak bisa tidur. Aku benar benar gelisah malam ini. Kejadian
yang menimpaku hari Sabtu ini terlalu luar biasa.
Mengetahui bahwa pria yang akan
dijodohkan denganku adalah pria yang kucintai, cukup membuat aku tak percaya.
Maksudku, benarkah keajaiban seperti itu benar benar terjadi?
Aku langsung merasa bahagia walau
kebahagiaanku hanya berumur singkat, karena pria yang kucintai ini ternyata
sudah punya pacar.
Dan aku tak menyangka kalau rasanya
akan sesakit ini. Karena aku benar benar harus mengubur harapanku dalam dalam
untuk bisa bersama dengan pria yang kucintai.
Maksudku, aku patah hati karena Dev
mengatakannya secara langsung, jelas dan tegas padaku, di hadapanku ‘aku
sudah punya pacar’. Itu peringatan keras untukku untuk jangan berharap
apa apa tentang dirinya.
Sepertinya harapanku tentang Dev
memang harus berakhir sampai disini, tapi ini tidak menghentikan cintaku
padanya. Aku tidak tahu kapan aku akan
berhenti mencintainya, mungkin nanti setelah ada Dev Dev lain yang berhasil
menggantikan Dev asli di hatiku.
Tapi untuk saat ini, Dev asli masih
bercokol kuat dihatiku.
~ ~ ~
BAB TUJUH BELAS
POV Kiara
Aku tersenyum dan melambaikan tangan
saat kulihat tante Jennie berjalan ke arahku.
Aku sedang berada di sebuah taman
tidak jauh dari tempat aku tinggal. Dan aku minta bertemu dengan tante Jennie
karena ada yang ingin kutanyakan padanya.
Tadinya aku ingin pergi ke rumah
tante Jennie kalau tante Jennie mengijinkan, tapi tante Jennie bilang
dirumahnya sedang banyak tamu. Adik dan kakak suaminya sedang menginap di
rumah. Mereka semua berasal dari Medan. Kalau mereka datang ke Jakarta, mereka
pasti menginap di rumah tante Jennie.
Tante Jennie akhirnya mengusulkan
untuk bertemu di tempat tinggalku, tapi aku yang tidak mau karena sejak semalam
dua orang teman Tia datang untuk menginap. Aku pasti tidak akan leluasa ngobrol
dengan tante Jennie.
Akhirnya aku minta bertemu di taman
ini saja.
Tante Jennie menghampiriku sambil
tersenyum. Rambut panjang ikalnya tampak terurai indah. Walau sudah usia
setengah baya, tante Jennie kelihatan sangat cantik.
“Apa kabar tante?” sambutku sambil
mencium pipi tante Jennie kiri dan kanan.
“Kabar baik Kiara.”
“Sekali lagi maaf merepotkan.”
“Tidak repot kok, kebetulan aku juga
sedang jenuh dirumah, jadi ya refreshing seperti ini bolehlah. Apalagi
taman ini indah, ada arena bermain anak anaknya. Dan anak anak tampak bermain
dengan gembira.”
“Iya, tante.” Aku kembali tersenyum
ke arah tante Jennie.
“Jadi apa yang ingin kau tanyakan
Kiara?”
“Tentang tante Audrey dan tentang
puteranya.” Jawabku.
“Sudah kuduga,” gumam tante Jennie.
“Audrey cerita hari Sabtu kemarin kau sudah diperkenalkan pada Dev dan ternyata
kau sudah kenal lebih dulu dengan Dev karena kalian pernah bertemu karena
pekerjaan.”
“Ya, itu betul.” Jawabku, “Dev adalah
klien dari Perusahaan tempat aku kerja.”
“Lalu?”
“Dev sudah punya pacar, tante.”
Tante Jennie terdiam, “kau tahu
darimana?”
“Dev sendiri yang bilang.”
“Kalian bertemu atau Dev
meneleponmu?”
“Kami bertemu.”
“Oke, lalu pertanyaanmu adalah…”
“Pertama, apakah tante Audrey tahu
Dev sudah punya pacar. Kedua, kalau sudah tahu, kenapa tante Audrey tetap ingin
menjodohkan aku dengan Dev, itu saja pertanyaannya.”
“Tante Audrey belum memberitahu
apapun padamu?”
“Belum.” Jawabku, “sejak bertemu pada
hari Sabtu siang kemarin, kami belum bertemu lagi. Dan pada Minggu pagi inilah
aku minta bertemu dengan tante Jennie karena kepikiran terus, maksudku, kalau
tante Audrey sudah tahu Dev punya pacar kenapa tante Audrey tidak merestui
hubungan mereka?”
“Itu karena ibunya Mona, - nama pacar
Dev - adalah musuh bebuyutan tante Audrey waktu SMA.”
“Musuh bebuyutan?” tanyaku kaget.
“Kok bisa?”
“Tante Audrey dulu punya pacar,
namanya Arman, lalu tante Mita, nama ibunya Mona merebut pacar tante Audrey dan
dari sanalah tante Audrey marah pada tante Mita hingga sekarang.”
“Oh, aku pernah mendengar cerita ini
dari Eyang Uti!” Seruku.
“O, ya?” tante Jennie heran, “Eyang
Uti cerita padamu?”
“Iya, waktu kita ke Solo, tapi tidak
banyak sih, Eyang Uti bilang sejak tante Audrey patah hati dia tidak pacaran
lagi dengan siapapun sampai akhirnya dijodohkan dengan suaminya sekarang.”
“Ya, memang itu yang terjadi.
Sebenarnya tante Audrey tidak akan ingat tante Mita kalau saja tante Mita bukan
ibunya Mona, tapi ya.. kau bisa mengertilah perasaan tante Audrey seperti apa.
Dia ingin Dev putus dengan Mona.”
“Itu sebabnya tante Audrey membujukku
agar mau dijodohkan dengan Dev? Agar hubungan Dev dan Mona tidak dilanjutkan?”
“Ya.” Tante Jennie mengangguk.
“Jadi aku bemper dong disini!”
teriakku kesal.
Tante Jennie langsung tertawa.
“Enggak segitunya kali Ki. Tante Audrey benar benar suka padamu. Menurut
tante Audrey kau orang yang menyenangkan.”
Andai saja Dev juga suka padaku… keluhku dalam hati.
“Sekarang kau sudah mengerti
situasinya kan?” tanya tante Jennie lagi.
“Ya. Tapi…”
“Tapi apa?”
“Perjodohan ini tidak bisa diteruskan
tante. Dev pasti akan mempertahankan mati matian hubungannya dengan Mona, jadi
yang harus kita lakukan adalah membujuk tante Audrey agar mau menerima Mona.”
“Kau baik hati sekali sih Ki, yakin
kamu tidak mau sama Dev? Dev tampan loh. Seperti pernah aku bilang, Dev itu
idola para wanita.”
“Ya, tapi kalau Dev-nya tidak mau
denganku bagaimana dong?” teriakku putus asa.
Tante Jennie lagi lagi tertawa,
“siapa tahu suatu hari Dev jatuh cinta padamu.”
“O, ya, dan matahari akan terbit dari
Barat. Itu sama sekali tidak mungkin tante.”
“Jadi rencanamu apa?”
“Ehm, tante punya nomor telepon tante
Mita?”
“Kau mau apa dengan tante Mita?”
tanya tante Jennie bingung.
“Aku ingin mendengar apa yang
sebenarnya terjadi di masa lalu tante Audrey versi tante Mita.”
“Kau yakin dengan apa yang ingin kau
lakukan?”
“Percayakan semuanya padaku Tante.
Aku akan mencoba memperbaiki keadaan ini agar semuanya berjalan happy
ending.”
“Happy ending bagaimana?”
“Ya, happy ending karena
akhirnya Tante Audrey mau menerima Mona sebagai menantunya.”
“Oooh jadi happy ending untuk
Mona, sad ending untukmu begitu?”
“Tante, ayolah!”
“Tahu nggak Ki, kalau tante jadi kamu
tante mau ngapain?”
“Mau ngapain tante?”
“Mau mempertahakan Dev mati matian,
mumpung mendapat lampu hijau dari mamanya. Dev itu sayang sekali loh sama
mamanya, tante sangat yakin kalau pada akhirnya Dev akan menuruti kemauan
mamanya untuk menikahimu.”
“Tapi itu tidak adil buat Dev, cinta
tidak bisa dipaksakan tante. Seharusnya kalau tante Audrey sayang pada Dev,
tante Audrey juga menghormati perasaan Dev.”
“Ya, kau benar, tapi tetap saja tante
akan mempertahankan Dev kalau tante jadi kamu. Dev itu tampan, sopan, rendah
hati, pebisnis handal karena berhasil membuat bisnis keluarganya sebesar dan
sesukses sekarang, senyumnya manis, lucu, pinter masak, ehm apa lagi ya?”
“Tante sudahlah!”
~ ~ ~
POV Author
Malam ini tidak seperti biasanya Dev
menginap dirumah orangtuanya. Sejak pulang kerja, ia langsung mengendarai
mobilnya menuju rumah orangtuanya di daerah Menteng.
Dev tidak harus membawa baju ganti
untuk kerja besok karena di rumah orangtuanya, di kamarnya, baju baju Dev masih
tersedia.
Tidak ada perubahan sejak Dev punya apartemen
sendiri, tidak ada baju atau barang apapun yang Dev bawa dari kamarnya. Jadi
tiap kali ia pulang ke rumah, ia tetap merasa nyaman dengan kamarnya, ia merasa
tidak asing dengan kamarnya karena kamarnya tetap sama seperti yang Dev
tinggalkan dulu.
Justru sejak punya apartemen sendiri
Dev belanja semuanya untuk memenuhi apartemennya. Baik baju, sepatu, kaos kaki,
perlengkapan tidur, furniture, semuanya.
Dev membeli apartemen itu karena
efisiensi waktu saja agar ia cepat sampai ke tempat kerja dan tidak terjebak
macet. Kantor Dev berada di daerah Senayan, makanya ia juga membeli apartemen
masih di daerah Senayan, tidak jauh dari kantornya, hanya butuh waktu lima
belas menit untuk sampai ke kantornya jika naik mobil, itu juga karena ia harus
jalan memutar karena jalan yang satu arah.
Saat sampai ke rumahnya tadi Dev
langsung pergi ke kamarnya. Ia lalu mandi, ganti baju dan sekarang sedang
menonton berita sore di televisi sambil tiduran. Ia juga menunggu Bi Surti
memanggilnya untuk makan malam.
Acara makan malam dirumah orangtua
Dev rutin dilakukan dan itu harus dilakukan secara bersama sama kalau kebetulan
anggota keluarga ada disana karena hanya di acara makan malam itulah keluarga
bisa berkumpul dan berbicara tentang macam macam.
Kadang ayah Dev bertanya tentang
bisnis anaknya dan juga menanyakan apakah Dev mempunyai kesulitan dalam
menangani sesuatu. Ayah Dev juga bertanya tentang kuliah Dinda. Kadang Dev yang
bertanya tentang pekerjaan ayahnya apakah semuanya lancar lancar saja. Dev juga
tak jarang bertanya tentang kegiatan ibunya hari itu.
Tante Audrey sebenarnya punya banyak
kegiatan karena ia mempunyai banyak perkumpulan atau kelas yang harus ia ikuti.
Ia tergabung dalam kelas yoga, seminggu sekali ia luluran di salon langganannya
sekalian paddicure, manicure, belum lagi ia tercatat sebagai bendahara
PKK di wilayah tempat ia tinggal. Selain itu ia juga tercatat sebagai ketua
panitia jika perusahaan suaminya
mengadakan acara bakti sosial yang rutin diadakan tiap sebulan sekali.
Namun dibalik semua kegiatannya itu
tante Audrey masih menyisihkan waktu untuk nongkrong di cafe Mas Bima, paling
tidak dua minggu sekali.
Untuk itulah ia bisa akrab dengan
Kiara karena ia punya jadwal rutin pergi kesana.
“Dev, boleh Mama masuk?” pintu kamar
Dev tiba tiba di ketuk tante Audrey.
“Iya Ma, masuk saja.” Jawab Dev.
Tante Audrey masuk sambil membawa
segelas besar jus tomat.
“Diminum dulu jusnya, biar kamu
merasa segar.” Ujar tante Audrey sambil memberikan jus itu pada Dev.
“Makasih Ma.” Dev langsung meminum
jus yang dibawa tante Audrey hingga setengah gelas. “Dinda pulang hari ini Ma?”
tanyanya setelah meminum jusnya dan meletakkan gelas yang berisi jus itu di
atas meja kecil di samping tempat tidurnya.
“Tidak, mungkin lusa ia baru pulang.
Tumben nanyain adik kamu.”
“Iya, lagi kangen saja. Akhir akhir
ini aku sibuk sekali. Produk untuk masker wajah dari perpaduan buah buahan dan yogurt
baru saja keluar, aku harus mengatur pemasaran dan yang lainnya kira kira
kemana produk itu akan dipasarkan. Maksud aku, segmennya kan anak muda, jadi
harus tepat sasaran pemasarannya.”
“Produk kita masih bisa bersaing
secara sehat kan Dev?” tanya Mamanya.
“Ya, bisa, untuk produk sejenis yang
berasal dari dalam negeri, produk kita masih lebih unggul, saingan terberat
kita sekarang adalah produk produk dari Korea. Mereka menyerbu pasar kita
dengan cepat dan tanpa ampun.”
“Iya, tapi seperti nenekmu bilang,
kita jangan khawatir. Sebagian besar pemakai produk kita dari jaman nenek masih
muda dulu tidak beralih ke produk lain, dan itu turun dari generasi ke
generasi. Mereka semua rata rata memakai produk kita.”
“Iya sih Ma.”
“Kalau iklannya, untuk produk baru
ini bagaimana, sudah dibikin?”
“Belum.”
“Wah, bikin iklannya di tempat Kiara
saja,” ujar Mamanya langsung.
“Iya Ma, aku juga berencana begitu.
Iklan parfum yang diproduksi di Bright Advertising sangat bagus. Bahkan
beberapa kata katanya sempat viral dan jadi bahan pembicaraan orang orang. Itu
tandanya iklan itu berhasil diingat oleh banyak orang.”
“Lalu kapan kau akan menghubungi
Kiara untuk membicarakan tentang hal ini?”
“Nanti Ma, mungkin bulan depan, aku
belum fokus di pembuatan iklan dulu.”
“Ok, baiklah kalau begitu.”
“Ma, Mama kenal Kiara dimana sih?
Benar di cafe?”
“Ya, masa mama bohong sih. Mama kenal
di cafe tempat Kiara kerja. Dia kerja setiap akhir pekan di cafe. Cafenya itu
milik kakak sepupunya. Pada awalnya mama hanya sesekali ke sana, tapi karena
Kiara suka menemani mama ngobrol, mama kalau lagi bete suka pergi ke
sana dan ngobrol dengan Kiara, mama jadi tidak merasa kesepian lagi.”
“Maaf ya Ma, aku sibuk, aku tidak
bisa sering menemani Mama.” Ujar Dev.
“Tidak apa apa, mama mengerti. Mama
tidak apa apa kok, mama sudah punya teman ngobrol atau curhat sekarang.” Tante
Audrey tersenyum.
“Mama sudah pernah bertemu orangtua
Kiara sebelumnya?”
“Belum, tapi kapan kapan Mama ingin
main ke rumah Kiara di Yogya.”
“Untuk apa sih Ma? Mama mau
berkenalan dengan orangtua Kiara?”
“Ya jelas dong. Tapi selain itu mama
juga mau refreshing. Sudah lama mama tidak ke Yogya. Tapi sama seperti kamu, Kiara juga sibuk, dia hampir tak punya waktu
luang untuk ngapa ngapain. Jadi mama nggak tahu bisa ke Yogya bareng Kiara
kapan.”
“Mas Devano, makan malam sudah siap.”
Suara Bi Surti tiba tiba terdengar di balik pintu kamar Dev.
“Iya, Bi, makasih.” Sahut Dev.
“Ayo kita makan,” tante Audrey
berjalan lebih dulu ke pintu, “kasihan Papa, pasti sudah lapar.”
~ ~ ~
BAB DELAPAN BELAS
POV Author
Devano baru akan pergi berbelanja ke
supermarket yang terletak di lantai pertama gedung apartemen yang ia tinggali
waktu terdengar bel di pintu apartemennya.
Dev pulang kerja sore tadi langsung
pergi ke atas, ke apartemennya dan tidak sempat berbelanja. Tapi karena
sekarang ia akan masak untuk makan malamnya tapi tak punya apa apa untuk
dimasak, maka ia memutuskan untuk berbelanja.
Sebenarnya mudah bagi Dev untuk pesan
makanan secara online dan minta diantar ke apartemennya tanpa susah payah
memasak segala. Tapi Dev suka melakukannya. Ia suka memasak. Prinsip hidup Dev
selama ia bisa melakukan itu, ia akan lakukan, lagipula ia bisa memasak saat
pulang kerja seperti ini saja atau saat ia punya waktu luang. Selebihnya ia
sibuk dengan pekerjaannya.
Dev lalu membuka pintu apartemennya
saat belnya berbunyi lagi. Ternyata yang datang Tante Audrey.
Tante Audrey tersenyum saat Dev
membukakan pintu. “Mau kemana Dev rapi amat?” tanya tante Audrey sambil
memperhatikan penampilan Dev.
“Mau belanja ke bawah Ma.”
“Tidak usah, Mama sudah berbelanja
untukmu.”
“O, ya?” tanya Dev terkejut.
“Ya,” Mamanya memperlihatkan dua
kantong belanja yang ia pegang pada Dev “Nih, lihat. Mama tadi berbelanja
dengan dibantu Kiara, ayo Ki, masuk.”
Kiara yang tadi berdiri di belakang
tante Audrey masuk ke apartemen Dev sambil membawa dua kantong belanja lainnya.
“Mama sudah berbelanja sayuran dan
buah buahan segar.” Tante Audrey menaruh kantung belanjanya di atas meja makan,
“juga ikan, telur, ayam. Pasti kulkasmu kosong.” Lanjut tante Audrey.
“Memang.” ujar Dev.
“Mau masak apa malam ini?” tanya
mamanya lagi.
“Entahlah.”
“Bikin capcay saja dan salmon bakar
yang dikasih bumbu pedas manis, Mama sudah beli bahan bahannya.”
“Tentu, tidak masalah.” Jawab Dev.
“Kiara, sayur dan buahnya langsung
dimasukin kulkas saja,” ujar Tante Audrey pada Kiara. “Juga belanjaan yang
lainnya.”
“Iya Tante,” Kiara menaruh belanjaan
yang ia bawa diatas meja makan, lalu ia memasukkan buah buahan dan sayuran yang
ia ambil dari kantong belanja itu ke dalam kulkas satu per satu.
“Terima kasih Kiara, maaf
merepotkan.” Ujar Dev pada Kiara.
Tidak masalah sayang, aku suka
melakukan ini untukmu. Tiap hari juga tidak masalah… ujar Kiara dalam hati.
“Tidak repot kok.” Kiara tersenyum.
“Mama menjemputmu ke tempat kerja?”
tanya Dev.
“Iya.” Jawab Kiara.
“Memang kenapa kalau Mama dan Kiara
janjian untuk datang ke sini dan berbelanja untukmu?” tanya tante Audrey.
“Tidak apa apa kok Ma.” Jawab Dev.
“Aku bantuin motongin sayurnya ya?”
tawar Kiara setelah semua belanjaannya dimasukin ke kulkas.
“Ya, tentu,” ujar Dev, “ini
pisaunya.”
Kiara lalu mengambil beberapa buah
wortel lalu mulai mengupas wortel tersebut.
Dev duduk tidak jauh dari Kiara dan
mulai mengupas bawang merah.
“Ya, ampun, Mama lupa beli puding!”
ujar tante Audrey mengagetkan. “Mama ke bawah dulu ya untuk beli puding.”
“Nggak usah makan puding kenapa sih
Ma,” ujar Dev, “kan ada apel, kiwi, Mangga.”
“Mama maunya puding. Sebentar ya Mama
beli puding dulu.”
“Biar aku yang beli Ma.” Tawar Dev.
“Tidak usah, kau masak saja.” sahut
tante Audrey sambil membuka pintu dan menutupnya lagi.
Dev membiarkan mamanya pergi dan
mulai mengiris bawang.
“Kata tante Audrey, ada produk baru
dari perusahaanmu yang iklannya akan dibikin di Bright Advertising?”
tanya Kiara sambil mulai memotong wortel.
“Ya, tapi rencananya tidak dalam
waktu dekat ini bikinnya. Tapi kalau kamu mau memberitahu Selly dari sekarang
juga tidak apa apa.”
“Selly?” tanya Kiara, “Selly tidak
cerita padamu kalau dia bukan owner Bright Advertising lagi?”
“Tidak. Selly tidak cerita. Kok
Bisa?” tanya Dev kaget.
“Yeah, Selly menjual Bright
Advertising pada salah satu rekan bisnisnya, lalu dia pindah ke Gianyar dan
tinggal disana bersama ibunya.”
“Selly kerja apa di Gianyar?”
“Dia sekarang bisnis baju dan kaos.
Kan banyak tuh baju atau kaos etnik bali yang cantik cantik, nah dia
memproduksi baju dan kaos seperti itu dan menjualnya secara online. Aku pernah
mencoba membelinya satu, dan bahan kaosnya bagus, adem, tidak panas, tidak
mudah kusut, lukisan di kaos atau baju produksi Selly kebanyakan pantai dan
laut.”
“Selly memang kreatif.” komentar Dev.
“Ya, dan dia tidak harus keluar rumah
untuk memproduksi baju dan kaos itu, kecuali untuk membeli bahan produksi dan
keperluan lain. Maksudku, ia memproduksinya di rumah, ia membeli kurang lebih
lima buah mesin jahit, dan mempekerjakan lima orang karyawan untuk menjahit
baju dan kaos itu. Sementara untuk pemesanan online, kurir yang akan datang ke
rumah Selly untuk mengambil paket paket pemesanan yang sudah Selly kemas. Jadi
semuanya serba praktis.”
“Itu keren,” Dev tersenyum, “semoga
bisnis Selly berhasil,” ujar Dev lagi, “tapi rasanya aneh kalau aku nanti ke Bright
Advertising tidak ada Selly lagi.”
Kan ada aku! Ada aku! Teriak Kiara dalam hati.
“Maksudku, aku terbiasa berhubungan
dengan Selly dalam kerjasama pembuatan iklan seperti iklan parfum kemarin.”
Lanjut Dev, “pemilik barunya bagaimana?”
“Bagaimana apanya?” Kiara balik
bertanya, “apa maksudmu dia seasik Selly?”
“Ya kurang lebih begitu.”
Dia seperti singa betina. Ujar Kiara lagi dalam hati.
“Ibu Dewi, owner yang baru,
orangnya lebih tegas, to the point, segalanya sesuatunya ingin selalu
sempurna. Off the record ya, tolong jangan bilang ini ke dia,” bisik
Kiara “dia orangnya tidak seasik Selly.”
“Jadi aku harus main rahasia
rahasiaan sekarang?” tanya Dev sambil tersenyum.
“Permasalahannya,” ujar Kiara “aku
kurang suka dengan owner yang baru, tapi aku tetap digaji sama dia
karena aku kerja disana. Jadi yeah, aku harus bertahan dengan kondisi
ini.”
Kemudian sepi, Dev dan Kiara asik
memotong sayur lagi.
“Kayaknya mama sengaja ninggalin kita
deh,” ujar Dev tiba tiba setelah ia dan Kiara terdiam cukup lama.
Kiara langsung tertawa, “tenang, aku nggak
suka gigit kok. Kau aman.”
~ ~ ~
POV Author
“Gimana? semua beres?” tanya tante
Jennie ke arah tante Audrey yang sedang asik makan puding cokelat.
“Beres. Kita ke atas setengah jam
lagi setelah masakan matang.”
“Kau ini benar benar ya Drey, nanti
Dev menduga Kiara bersekongkol dengan kita lagi padahal Kiara tidak tahu apa
apa dengan rencanamu ini. Kiara hanya membantumu berbelanja sesuai permintaanmu
saat kau menjemputnya ke kantornya tadi, tanpa tahu bahwa kalian akan pergi ke
apartemen Dev, dan Kiara juga tidak tahu aku ada disini sekarang untuk
menemanimu makan puding.”
“Tapi kan rencanaku baik Jen, biarkan
mereka ngobrol dan merasa dekat, tak kenal maka tak sayang.”
“Jangan terlalu optimis Drey, kalau
cinta Dev pada Mona terlalu kuat bagaimana?”
“Ya, tapi Kiara manis sekali, masa
sih Dev tidak jatuh hati kalau melihat Kiara tersenyum? Pasti lama lama hatinya
luluh juga. Senyum Kiara cantik loh. Kalau Kiara tersenyum, matanya seolah olah
ikut tersenyum. Aku suka melihatnya.”
“Ya, sudah, kita doakan yang terbaik
untuk mereka, ok?” tanya tante Jennie.
“Ok.”
“Sekarang kau mau tambah pudingnya?”
“Tidak, ini sudah cukup.”
~ ~ ~
POV Author
Setengah jam kemudian tante Audrey
dan tante Jennie membunyikan bel di pintu apartemen Dev. Dev segera membuka
pintunya.
“Mama, beli pudingnya lama amat! Baru
dibikin ya pudingnya!” Sambut Dev kesal.
“Tadi antri belinya,” ujar Mamanya,
“o, ya, mama menelepon tante Jennie untuk ikut makan malam bersama kita,
boleh?”
“Boleh.” Ujar Dev langsung, “ayo, barangkali
Mama mau menelepon teman mama yang lain, aku masak untuk dua puluh porsi.”
“Banyak amat masaknya Dev!” seru
tante Jennie.
“Mama juga belanja sayurannya banyak
amat tante!” sahut Dev.
“Masakannya sudah matang kan?” tanya
tante Audrey lagi.
“Sudah, sudah matang.” Ujar Dev. “Ayo
Ma, ayo tante Jennie, ayo Kiara, kita makan.”
“Ayo kita habiskan!” seru tante
Audrey gembira.
“Hai, Kiara!” sapa tante Jennie pada
Kiara yang sudah duduk manis di depan meja makan. Di hadapan Kiara semua
masakan sudah terhidang.
“Hai tante Jennie, apa kabar?”
“Kabar baik.” Tante Jennie tersenyum,
“jadi kau membantu Dev masak ini semua?”
“Ya.” Kiara mengangguk, “aku membantu
Dev memasak dan menyiapkan ini semua.”
Kiara lalu mencoba mengingat ingat
mimpi apa dia semalam. Kenapa tiba tiba hari Jum’at malam ini ia sibuk di dapur
Dev untuk membantu Dev membakar ikan salmon dan masak capcay?
Kiara lalu memijit keningnya. Ia
tidak mimpi apa apa tadi malam. Ia tidur dengan pulas. Tapi ia akan menyiapkan
diri untuk kejutan kejutan lainnya di hari hari berikutnya.
~ ~ ~
BAB SEMBILAN BELAS
POV Author
Dev sedang duduk di ruang kerjanya
waktu sekretarisnya memberitahunya bahwa ibu Dewi dan timnya dari Bright
Advertising sudah datang dan mereka sedang menunggu Dev di ruang
presentasi.
“Ok, terima kasih Dona, direktur
pemasaran, direktur Keuangan dan Direktur umum sudah di ruang presentasi juga?”
tanya Dev.
“Sudah Pak,” jawab Dona, “tinggal
Bapak yang belum hadir.”
“Oke, sebentar lagi aku ke sana.”
“Baik Pak.” Dona pun keluar dari
ruangan Dev sambil menutup pintu.
Dev lalu mengambil tabletnya
dari salah satu laci di meja kerjanya. Ia biasa mencatat apa apa hasil
pertemuan di tablet itu.
Dev lalu bangun dari duduknya dan
berjalan ke pintu. Ia berharap ia bertemu Kiara pada presentasi kali ini,
karena pada presentasi awal ketika Dev mengundang Ibu Dewi dan timnya datang ke
perusahaannya, Kiara tidak ikut.
Dev hanya ingin tahu apa ide dari
Kiara untuk produk terbaru yang akan diluncurkan perusahaannya.
Seperti saat membuat iklan parfum
dulu, Kiara-lah yang melakukan presentasi awal didampingi Selly, dan saat itu
Dev langsung suka dengan idenya.
Tapi untuk iklan kali ini Kiara tidak
melakukan presentasi awal karena Kiara tidak hadir bersama dengan ibu Dewi, dan
Dev tidak suka dengan ide yang ditawarkan ibu Dewi dan timnya pada presentasi
awal itu. Dev lalu meminta ide lain untuk dipresentasikan. Dan kali ini ibu
Dewi dan timnya datang untuk mempresentasikan ide lain yang Dev minta.
Dev berjalan ke arah ruang presentasi
yang terletak tidak jauh dari ruang kerjanya dan membuka pintunya.
“Selamat siang semuanya,” ujar Dev
setelah tiba di kursinya.
“Selamat siang.” ujar yang lainnya.
Mereka yang ada di ruangan presentasi berdiri semuanya saat Dev memasuki ruangan,
lalu ikut duduk saat Dev duduk.
Dev duduk dengan perasaan kecewa. Ia
tak menemukan Kiara lagi di ruangan itu. Tapi ia juga tidak mau bertanya pada
ibu Dewi kenapa Kiara tidak ikut karena ibu Dewi pasti punya alasan sendiri
dengan tidak membawa Kiara dalam tim mereka.
Dev bukannya suka pada Kiara secara
pribadi, tapi ia suka dengan profesionalisme kerja dari Kiara. Dev suka dengan
orang orang yang kreatif dan cerdas.
“Ayo, silahkan dimulai
presentasinya.” Ujar Dev.
“Terima kasih,” ibu Dewi tersenyum,
“kalau pada presentasi sebelumnya saya yang mempresentasikan, kali ini, Tami,
karyawan sekaligus adik ipar saya yang akan mempresentasikan. Silahkan Tami.”
Ujar ibu Dewi pada Tami.
Tami segera berdiri dan mulai
berbicara.
~ ~ ~
POV Author
Ibu Dewi memasuki kantor Bright
Advertising sambil marah marah.
“Wina, aku tidak mau tahu, pokoknya
pada presentasi ketiga kita harus berhasil, kau keluarkan semua ide yang kau
punya agar ini berhasil ok? Kalau tidak, kalau kita sampai gagal lagi, Pak Devano
akan mencari perusahaan iklan lain untuk membuat iklannya!”
“Iya Bu,” ujar Wina langsung.
“Jangan iya Bu, iya Bu! Pikirkan
dengan benar!”
“Baik.” Ujar Wina pelan.
“Tami!” teriak ibu Dewi pada Tami,
“ke ruanganku sekarang!”
Kiara yang baru selesai makan siang
dan melihat ribut ribut di front office langsung menghampiri Della,
resepsionis di Bright Advertising.
“Ada apa sih? Rame bener kayak ada
demo.”
“Sst, jangan keras keras, kedengaran
ibu Dewi, kamu kena semprot juga loh,” bisik Della.
“Iya, tapi ada apa?”
“Sepertinya Ibu Dewi gagal lagi dalam
presentasi kali ini.”
“Gagal Lagi? Memang sebelumnya pernah
presentasi?” Kiara heran.
“Iya, ini presentasi kedua, dari
teriakannya tadi sih sepertinya presentasi yang kedua ini gagal juga.”
“Siapa sih kliennya? Rese amat.”
Komentar Kiara.
“Itu loh, idolanya ibu Selly dulu.
Ibu Selly tuh dulu kalau mau ketemu dia dandannya sampai satu jam.” Jawab
Della.
“Idola ibu Selly?” Kiara mencoba
mengingat ingat, “Oh My God, maksud kamu Pak Devano dari GC Cosmetics?”
“Tepat sekali!”
“Pak Devano resmi jadi klien kita
lagi?” tanya Kiara senang.
“Iya, tapi itu juga kalau presentasi
ketiga berhasil, karena yang aku dengar barusan dari ibu Dewi, Pak Devano
sepertinya akan mencari perusahaan iklan lain kalau ide dari kita tetap tidak
ia sukai.”
“Kapan Pak Devano mulai jadi klien
kita?”
“Sudah hampir dua minggu yang lalu.”
“Kok aku tidak diberitahu sih?”
protes Kiara. “Aku baru tahu sekarang!”
“Kamunya tugas keluar kota terus!”
“Ya sudah aku mau ketemu Wina dulu.”
“Oke!”
Kiara lalu berjalan ke ruang kerja
Wina, disana, dilihatnya Wina sedang bengong memandangi langit langit ruangan.
Kiara mendekati Wina dan ikut memandangi langit langit ruangan seperti apa yang
Wina lakukan.
“Tidak ada apa apa disana.” Gumam
Kiara.
“Jangan menggangguku Ki, aku lagi sensi
nih.” Ujar Wina. “Sebentar lagi aku meledak.”
“Deuu segitunya.”
“Ya, coba kamu bayangin, semua ide
sudah aku kerahkan, masih tidak berhasil juga.”
“Presentasi untuk Pak Devano?” tanya
Kiara.
“Ya.”
“Sudah diskusi dengan Tami dan yang
lainnya?”
“Sudah, kami semua sudah saling
mengusulkan ide, bahkan Mas Rio, Art Director kita ikut ngasih ide, tapi
yah, belum berhasil juga. Aku tak mengerti maunya Pak Devano seperti apa.”
“Waktu kuliah kan kita sudah belajar
Win kalau dalam pembuatan naskah iklan itu yang perlu diperhatikan adalah
bahasanya mudah dipahami, bahasanya tidak vulgar alias sopan, mempunyai kalimat
ajakan yang menarik. Kau fokus disana saja.”
“Sudah, Ki, menurut pendapatku sih
sudah menarik.”
“Memang produknya apa sih?”
“Masker wajah yang terbuat dari
campuran buah buahan, seperti buah strawberry, buah kiwi, buah alpukat yang
dicampur dengan yoghourt plain, segmentasinya anak remaja perempuan usia
13 sampai 18 tahun.”
“Berarti kamu harus menyakinkan para
remaja perempuan untuk membeli masker ini.” Kiara terdiam sebentar, “konsep
yang kamu bikin sebelumnya apa?”
“Pada presentasi pertama,
cowok cowok jatuh cinta pada seorang remaja perempuan yang memakai masker wajah
ini. Remaja perempuan ini menjadi idola karena memakai masker GC Cosmetics. Teman
teman perempuannya yang lain akhirnya menyerbu masker GC Cosmetics karena
ingin jadi idola juga.”
“Itu klise,” sahut Kiara, “sudah
banyak iklan dengan konsep seperti itu dibuat. Yang selanjutnya?”
“Selanjutnya, pada presentasi kedua,
aku bikin perbandingan bahwa masker dari GC Cosmetics terbuat dari bahan
bahan alami, sementara kebanyakan masker kosmetik yang lain (katakanlah masker
X) mengandung bahan kimia, lalu ada dua remaja puterinya, yang satu mukanya
mulus karena pakai GC cosmetics yang satu mukanya iritasi karena memakai
masker yang mengandung bahan kimia.”
“Sebenarnya konsep yang kedua bagus
sih,” gumam Kiara.
“Makanya aku juga bingung maunya Pak
Devano apa, kan itu menampilkan ciri khas perusahaannya bahwa kosmetik dia
adalah tradisonal dan terbuat dari bahan alami.” Sahut Wina.
“Tapi kalau aku membayangkan melihat
iklannya memang kurang greget sih Win.” Komentar Kiara lagi.
“Kurang greget gimana sih
Kiara?” seru Wina kesal.
“Kalau iklan itu jadi, itu akan
menjadi iklan kebanyakan dari GC Cosmetics gitu loh Wina, saat orang
melihat iklan itu, yang ada di pikiran orang itu, atau katakanlah yang ada di
pikiran aku, ‘o, iya, itu kan brandnya GC Cosmetics, orang nggak usah
dikasih tahu juga sudah tahu kalau itu kosmetik tradisional. Ngapain sih bikin
iklan segala buang buang duit aja’ gitu, ngerti nggak sih Win? Jadi, nggak
ada sesuatu yang tertinggal di benak orang orang setelah melihat iklan itu.
Iklan masker ini, menurutku, akan dikatakan berhasil kalau orang orang setelah
menonton iklannya jadi ingat sesuatu. Dengan kata lain, masker ini jadi
terlihat lebih istimewa dan berbeda dari produk masker dari perusahaan lain.
Mungkin, ini baru mungkin loh ya, mungkin Pak Devano ingin produk maskernya
jadi terlihat istimewa di iklan ini, sehingga remaja puteri di Indonesia
berlomba lomba membeli produk masker ini.”
Wina terdiam mendengar kata kata
Kiara. “Ok, katakanlah apa yang kau bilang itu benar Ki,” ujar Wina setelah
terdiam beberapa saat, “tapi untuk membuat produk masker ini terlihat istimewa
itu bagaimana?”
“Ya itu tugas kamu untuk membuat
naskahnya!” Kiara langsung tertawa.
“Ki, bantu aku dong!”
“Ada Tami, aku pergi dulu ya!” Kiara
langsung berdiri dari tempat duduknya saat dilihatnya Tami memasuki ruang
kerjanya yang terletak bersebelahan dengan ruang kerja Wina.
“Ki, please?”
“Aku ke tampat kosmu nanti malam,
okey.”
“Ok. Thanks Ki, aku tunggu ya. I
love You.”
Kiara melambaikan tangan pada Wina
dan berjalan ke ruang kerjanya yang terletak di lantai dua.
~ ~ ~
POV Author
Wina mencoba menahan debaran di
dadanya dan berusaha untuk bersikap tenang saat orang orang menatapnya.
Satu orang CEO GC Cosmetics yaitu
Pak Devano dan tiga orang direktur perusahaan GC Cosmetics sedang
menunggu dirinya melakukan presentasi.
Ini adalah presentasi yang ketiga
dari Bright Advertising untuk GC Cosmetics.
Ibu Dewi mempercayakan Wina untuk
melakukan presentasi, setelah sebelumnya ia dan Tami gagal dengan presentasi
mereka. Tapi Ibu Dewi, Tami, Mas Rio dan Luki, asisten Mas Rio tetap datang
bersama sama Wina untuk presentasi yang ketiga ini.
“Bisa kita mulai Presentasinya?”
tanya Dev tak sabar.
“Ya, tentu.” Ujar Wina langsung,
“saya sudah siapkan story tellingnya, tapi sebelum saya presentasi
dengan menggunakan layar proyektor, saya akan membacakan naskahnya dulu. Ini
penting saya lakukan, karena saya perlu mengetahui reaksi dari bapak dan ibu
semua setelah saya membacakan naskah ini.”
Wina lalu mengambil selembar kertas,
dan berdiri dengan tegang, “aku dulu tidak seperti ini. Aku dulu pemalu.
Wajahku juga kusam. Aku bahkan bernah dibully teman temanku, dikatain jelek,
jerawatan. Tapi kemudian aku bertemu dengannya - Ini yang dimaksud
dengannya itu masker GC Cosmetics -” ujar Wina menjelaskan.
“Oke saya lanjutkan. Tapi kemudian
aku bertemu dengannya. Aku tumbuh bersamanya. Dia selalu menemani hari hariku.
Di kala sedih ia menenangkanku. Sejak saat itu, aku jadi percaya diri. Lihat
aku sekarang. Aku tidak pemalu lagi, wajahku tidak kusam lagi. Wajahku jadi
cerah dan berseri. Aku lebih optimis dalam menghadapi hidup karena dia. Jadikan
dia sebagai bagian dari hari harimu juga, karena dia, hidupmu jadi lebih
bermakna dan ceria.”
Wina diam sejenak, lalu melanjutkan
kata katanya lagi. “Jadi, keyword nya disini adalah percaya diri. Produk
masker ini membuat gadis gadis remaja yang minder jadi percaya diri.”
Wina terdiam sejenak untuk menarik nafas, “sekarang aku akan perlihatkan story
tellingnya.”
“Tidak usah,” ujar Dev tiba tiba,
“aku bisa menangkap pesan dari kata kata yang kau sampaikan tadi.”
~ ~ ~
POV Author
“Kiaraaa!” Wina langsung berteriak
saat Kiara menjawab panggilan telepon darinya. Ia sedang berada di salah satu
toilet di GC Cosmetics. Ia pergi ke toilet itu untuk menelepon Kiara
setelah acara presentasi selesai.
“Apaaaaa.” Kiara balik berteriak.
“Nanti malam kau kutraktir makan di
Plaza Semanggi, okey?”
“Asiik.” Sahut Kiara, “sepertinya ada
kabar gembira nih.”
“Iya,” Wina tertawa, “Pak Devano
setuju dengan presentasi kali ini. Iklan siap diproduksi Ki, thanks to you.”
“You’re welcome.” Kiara ikut
tertawa, “jadi kapan mulai produksinya?”
“Mungkin dua minggu dari sekarang.
Seminggu ini kita adakan casting untuk model iklannya.”
“Syukurlah kalau begitu Win.”
“Makasih sekali lagi ya Ki.”
“Sama sama.”
“Sampai bertemu di kantor Kiara.”
“Ya. See You.”
~ ~ ~
POV Kiara
Aku tersenyum senang saat diberitahu
Wina bahwa Dev akan datang pada saat produksi iklan masker mulai diproduksi.
Untuk produksi iklan masker GC
Cosmetics ini, model iklannya sudah ditentukan, lokasi untuk pembuatan
iklan juga sudah ditentukan, paling tidak ada empat lokasi yang dipilih sesuai
dengan narasi cerita dari iklan tersebut yaitu di sebuah rumah, di sebuah
sekolahan, di supermarket dan di taman.
Syuting pertama dari iklan ini tidak
tahu akan dilakukan dimana, tapi yang
jelas menurut Wina, Dev akan datang untuk melihat proses syuting tersebut yang
akan dilakukan lusa, itu artinya aku bisa bertemu dengan Dev.
Sedang asik asiknya aku membayangkan
bisa bertemu Dev lagi, Tono, salah satu OB Bright Advertising datang
menemuiku.
“Mbak Kiara, kata Mas Radit, besok
ditunggu di Gambir jam sembilan pagi. Tiket kereta sudah dipesan, Mbak Kiara
tinggal datang saja ke sana tepat waktu.”
“Memang mau kemana naik kereta?”
tanyaku heran.
“Kata Mas Radit besok sampai tiga
hari kedepan ada syuting iklan di kebun teh di sekitar Bandung gitu.”
“Mobil perusahaan tidak bisa
dipakai?” tanyaku lagi.
“Kan ada syuting iklan lainnya Mbak
di Jakarta sini. Mobilnya dipakai untuk keperluan syuting disini.”
“Mas Raditnya sekarang mana?”
tanyaku.
“Sedang ada keperluan, dia tadi pergi
setengah jam yang lalu.”
“Ya sudah terima kasih, nanti aku
telepon Mas Radit saja.”
“Oke.” Tono lalu pergi
meninggalkanku.
Aku langsung merasa kecewa setelah
mendapatkan pesan dari Tono barusan karena sepertinya aku tidak terlibat dalam produksi
iklan masker GC Cosmetics. Itu artinya, aku tidak bisa bertemu Dev
seperti yang aku harapkan.
~ ~ ~
POV Author
Dev mengacak acak makanan di
hadapannya tanpa berselera memakannya. Ia sedang merasa kesal. Ia merasa Kiara
sudah berbohong padanya. Ia tak menemukan Kiara dimanapun di Bright
Advertising, tiga kali presentasi, Kiara tidak pernah ikut hadir.
Dev lalu berpikiran mungkin ia bisa
bertemu Kiara saat produksi iklan dilakukan, tapi ternyata saat ia menyempatkan
diri untuk datang melihat produksi iklan itu, ia tak bertemu juga dengan Kiara.
Dev jadi curiga kalau Kiara
sebenarnya tidak bekerja di Bright Advertising lagi. Mungkin ia keluar
dari perusahaan itu saat Selly memutuskan menjual Bright Advertising.
Dan sepertinya sekarang Kiara bekerja di cafe saja.
Dev hanya menyayangkan kalau orang
kreatif seperti Kiara harus bekerja di cafe. Itu hanya membuang buang waktu
saja karena tidak dapat mengeksplorasi kreatifitas yang Kiara punya. Itu bukan
tempat yang cocok untuk Kiara.
“Sayang, makananmu tidak habis,
sepertinya kau sedang banyak pikiran.” Mona tiba tiba menyentuh tangan Dev
membuat Dev kaget.
Malam ini Dev dan Mona sedang makan
malam di suatu restoran di daerah kuningan.
“Apakah sedang ada masalah dengan
perusahaan?” tanya Mona.
“Tidak, tidak ada apa apa,” Dev
tersenyum, “perusahaan baik baik saja, aku mungkin sedikit lelah.”
“Ok, kalau begitu selesai makan kita
pulang saja.” Ujar Mona.
“Sure, no problem.”
“O ya babe, aku ada tawaran
syuting di Lombok minggu depan, jadi aku memberitahumu sekarang takut aku
lupa.”
“Syuting iklan?”
“Bukan, syuting film.”
“Film?” tanya Dev. “Kukira kau hanya
akan fokus di model saja.”
“Ya, tapi keadaan disini tidak sama
dengan keadaan di luar sana, seperti di Paris misalnya.”
“Maksudnya tidak sama itu bagaimana?”
“Di Paris itu babe, kalau
seorang model profesional akan dikontrak oleh suatu agensi model dengan nilai kontrak
yang besar. Otomatis untuk pekerjaan, agensi model itu yang akan mencarikannya
untuk kita. Kita tinggal bekerja saja.”
“Di Jakarta juga banyak agensi model
kalau kau mau bergabung dengan salah satu agensinya.” Ujar Dev.
“Itulah permasalahannya babe,
nilai kontraknya tidak sebesar di luar negeri, kapan kapan aku ingin deh ke
Paris, ikut sekolah modelling di sana.”
“Lalu hubungannya dengan kau syuting
film apa?”
“Nah itu dia yang ingin aku katakan,
kalau di luar negeri, seorang model, kerjaannya kebanyakaan hanya di jalur
model, nggak belok ke sana ke sini, kalau di sini, banyak yang kerja serabutan.
Kadang kita tidak bisa memilih pekerjaan yang kita mau tapi melihat ada tawaran
pekerjaannya apa ya itu yang kita lakukan.”
“Aku rasa tidak juga,” ujar Dev lagi,
“semuanya tergantung kitanya. Kalau kau tetap konsisten menerima pekerjaan
sebagai model, ya sudah sebagai model saja, tidak menerima tawaran pekerjaan
diluar model.”
“Tapi jarang babe, disini,
kalau aku hanya menerima tawaran seorang model, pekerjaanku hanya sedikit,
paling cuma beberapa kali dalam sebulan, karena tidak setiap perancang terkenal
memperagakan busana rancangannya setiap saat, ada musim musim tertentu
tergantung kreatifitasnya.”
“Jadi karena itu pula kau merambah
dunia film?” tanya Dev.
“Ya.” Sahut Mona, “kadang film juga
bisa jadi jalan pintas bagi kita untuk cepat dikenal masyarakat luas.”
“Itu kalau filmnya bagus, meledak, box
office, kalau filmnya jelek, tidak laku di pasaran, ya tidak akan banyak
orang yang kenal dengan pemainnya juga. Kau berhati hati kan dalam memilih
peran?” tanya Dev.
“Tentu saja, doakan aku ya agar
produksi film ini lancar.”
“Tentu,” Dev tersenyum. “Aku pasti
selalu berdoa untuk keberhasilanmu.”
~ ~ ~
POV Author
Minggu malam ini cafe Mas Bima ramai
seperti biasanya. Sejak siang tadi Kiara tak henti hentinya bekerja.
Kiara baru selesai cuci piring di
dapur dan berjalan ke counter kopi waktu dilihatnya Fani dan Siti, dua
karyawan Mas Bima sedang meributkan sesuatu.
“Aku saja,” ujar Fani.
“Aku saja, aku yang pertama
melihatnya.” ujar Siti.
“Ini ada apa sih?” Kiara berusaha
melerai mereka. Usia Siti dan Fani lebih muda dari Kiara.
“Ada pelanggan tampan pesan minuman,
sudah aku bikinkan dan siap aku antarkan, eh Siti bilang biar dia saja yang
mengantarkan hanya gara gara dia melihatnya lebih dulu, padahal kan aku yang
bikin pesanannya.” Jelas Fani.
“Bagus itu kalau Siti mau menolong,”
komentar Kiara, “sudah kasih Siti saja, biar siti yang anterin.”
“Tapi,” Fani cemberut.
“Tapi apa?”
“Dia tampan, aku mau melihatnya lagi
dari dekat.”
“Ya sudah, suit saja kalau begitu,
ayo suit.” Saran Kiara.
“Gunting, kertas, batu!” akhirnya
Fani dan Siti Suit.
Ternyata Fani kertas, Siti gunting,
Siti yang menang. Siti berteriak senang. Ia segera mengantarkan minuman pada
pelanggan yang mereka ributkan.
Kiara langsung mengikuti Siti dari
belakang. Dan Kiara terkejut saat Siti menaruh cangkir kopi itu di meja
pemesannya. Ternyata Dev yang memesan kopi itu.
“Ini pesanan Bapak,” ujar Siti ramah,
“terima kasih sudah berkunjung ke cafe kami.”
“Ya.” Ujar Dev sambil memperhatikan
Kiara yang berdiri di belakang Siti.
“Apa kabar?” sapa Kiara ramah pada
Dev. “Senang bertemu denganmu lagi malam ini.”
Belum sempat Dev menjawab, Siti langsung
menarik tangan Kiara.
“Siti, apaan sih!” Protes Kiara.
“Lepaskan tanganku!”
“Kak Kiara kenal dengan pria itu?”
tanya Siti setelah mereka jauh dari Dev.
“Kakak pernah bertemu dia sekali sih
di sini. Dia pernah minum kopi di cafe ini juga.”
“O, ya? Aku kok tidak pernah
melihatnya!”
“Mungkin kamu saat itu sedang off.”
“Ya, mungkin. Dia ganteng ya Kak?”
“Ssh, jangan berharap macam macam,
dia sudah punya pacar.”
“Tahu darimana kakak, dia sudah punya
pacar?”
“Ya tidak mungkinlah orang seperti
dia tidak punya pacar.”
“Iya juga ya,” gumam Siti, “tapi…”
“Sudah ah, aku mau kerja lagi.” Kiara
akhirnya pergi meninggalkan Siti dan pergi ke dapur. Ia lalu membuka kulkas,
mengeluarkan sebuah blueberry Cake yang besar, lalu mengirisnya dan
meletakkan satu irisan besar bluberry cake ke dalam sebuah piring, lalu
diambilnya sebuah garpu, dan ia berjalan lagi ke tempat dimana Dev tadi duduk.
Kiara tidak mau membiarkan Dev begitu
saja, jarang jarang bagi Kiara bisa bertemu Dev seperti malam ini. Bahkan di
kantor pun ia tak bisa bertemu dengan Dev. Tapi malam ini Dev ada disini. Dan
dia sendirian, tanpa pacarnya. Ini malam penuh keajaiban.
“Blueberry cake yang yummy traktiran
dari aku.” Kiara duduk di hadapan Dev sambil tersenyum. Diletakkannya piring
yang berisi blueberry cake itu di hadapan Dev.
“Dalam rangka apa mentraktir aku
segala?” tanya Dev.
“Dalam rangka ucapan terima kasih
untuk makan malam di apartemenmu beberapa waktu yang lalu.”
“Itu kan mama yang belanja bahan
masakannya, bukan aku. Kau harusnya mengucapkan terima kasih pada Mama dan
mentraktir Mama cake ini.”
“Ya, aku nanti akan mentraktir tante
Audrey cake ini, tapi aku ingin mentraktirmu juga karena kau yang
memasak malam itu. Masakanmu sangat enak. Kalah semua koki handal di seluruh
dunia ini.”
“O, ya?”
“Ya.”
Dev diam, dia hanya memandang blueberry
cake itu tanpa menyentuhnya.
“Ayolah, cakenya enak kok. Fresh.
Baru bikin hari ini dan langsung diantarkan ke sini. Ini berasal dari home
industry yang berada di daerah sini. Cake yang disuplai ke cafe ini
selalu baru. Disuplai setiap hari karena setiap hari selalu habis.”
Dev akhirnya mengambil garpu di
piring itu dan mulai memakan cake dari Kiara.
Kiara memperhatikan Dev makan tanpa
ngomong apa apa lagi. Memperhatikan Dev makan blueberry cake adalah
salah satu pemandangan indah yang Kiara sukai. Kalah pemandangan alam eksotis
lainnya, termasuk laut dan pantai keren di Bali.
“Kamu tidak ikut makan?” tanya Dev
mengagetkan.
“Tidak, aku sudah kenyang, aku baru
makan malam.”
Dev melanjutkan makan cake itu
sampai habis.
“Yummy kan?” ujar Kiara
senang, “mau tambah lagi?”
“Tidak, terima kasih.” Ujar Dev, “thanks
untuk traktirannya.”
“Sama sama.”
Mereka lalu terdiam lagi. Sebenarnya
Kiara ingin mengucapkan terima kasih juga pada Dev sudah mempercayakan Bright
Advertising untuk memproduksi iklan masker GC Cosmetics. Tapi Kiara
tidak mau merusak moment ini dengan bicara soal pekerjaan. Jadi dia diam saja.
“Jadi, kau bekerja di cafe ini setiap
akhir pekan?” tanya Dev.
Dev malah bicara soal pekerjaan, keluh Kiara dalam hati.
“Ya, setiap hari Sabtu dan hari
Minggu, mulai jam sebelas siang sampai jam sepuluh malam.”
“Wow, jam kerjanya sebelas jam, lama
juga ya, tidak ada shift?”
“Tidak, khusus untuk aku tidak, kalau
teman temanku yang lain sih ada, jam kerjanya bergantian. Sehari ada dua shift.
Masing masing bekerja selama enam sampai tujuh jam.”
“Kenapa kau berbeda dengan teman
temanmu?” tanya Dev lagi.
“Ya, itu karena kemauanku. Hal itu
bukan masalah untukku.”
“Kau tidak bekerja setiap hari di
cafe ini?”
“Setiap hari?” Kiara bingung. Dia tak
mengerti arah pembicaraan Dev kemana.
“Ya, setiap hari, kau yakin kau hanya
bekerja setiap akhir pekan saja disini dan tidak setiap hari?”
“Kalau setiap hari,” ujar Kiara
lambat lambat, “aku kecapekan dong, tidak punya waktu istirahat. Karena aku kan
bekerja di dua tempat.”
Mereka kembali terdiam.
“Memang sih uang penting dalam hidup
ini, tapi kita kan nggak harus bekerja terlalu keras untuk mencari uang.
Kesehatan lebih penting dari apapun.” Ujar Kiara lagi.
“Aku pikir,” ujar Dev, “kau keluar
bekerja di Bright Advertising saat Selly juga berhenti kerja disana.”
“Tadinya memang aku ada rencana untuk
keluar, tapi selama aku bisa menjalani pekerjaanku ya aku jalani.”
Dev tidak tahu harus bicara apa lagi.
Tidak seperti dugaannya, Kiara ternyata ngotot memberitahunya bahwa ia masih
bekerja di Bright Advertising padahal dugaan Dev Kiara sudah tidak
bekerja disana lagi.
Sebenarnya kalau Kiara tidak bekerja
di Bright Advertising juga tidak apa apa, hanya Dev menyayangkan saja talenta
Kiara jadi sia sia.
“Apa kalau kita minum kopi di cafe
ini selalu diawasi?” tanya Dev setelah mereka terdiam cukup lama.
“Diawasi?” Kiara langsung menengok ke
arah belakang dan dilihatnya Mas Andra berdiri memperhatikan dan mengawasi
mereka dari kejauhan.
“Dia pacarmu?” tanya Dev, “dia
memperhatikan kita dari tadi.”
“Bukan,” ujar Kiara, “Mas Andra bukan
pacarku, tapi sama seperti kakak sepupuku, Mas Bima, aku sudah menganggap dia
sebagai kakakku juga.”
“Kau yakin?” tanya Dev, “karena
kelihatannya dia cemburu padaku.”
Kiara tiba tiba tertawa, “Mas Andra
itu sudah punya pacar, namanya Yola, ia dulu karyawan di cafe ini juga, tapi
sejak pacaran dengan Mas Andra, Yola dimodali Mas Andra untuk buka usaha
sendiri yaitu sebuah distro yang menjual baju wanita masa kini, pokoknya
semacam itulah. Letak distronya di Kemang.”
“O, ya?” tanya Dev.
“Ya, dan Mas Andra itu sayang banget
sama pacarnya, pacarnya dibelikan apartemen dan mobil segala.”
“Wow, dermawan sekali.” Komentar Dev.
“Tapi lucunya, Mas Andra kemana mana
naik vespa kesayangannya. Ia membelikan mobil untuk orang orang yang ia
sayangi; untuk adiknya, Dilan, untuk pacarnya Yola, tapi dia sendiri tidak beli
mobil untuk dirinya sendiri. Pribadinya sebenarnya unik, aku suka.”
“Ngomong ngomong, pribadi unik yang
kau sukai itu sedang datang ke sini.” Ujar Dev lagi.
Kiara langsung berdiri dari tempat
duduknya dan tersenyum menatap Mas Andra yang datang menghampiri Dev dan
dirinya, “ada perlu denganku Mas Andra?” tanya Kiara.
“Bukan aku, tapi Mas Bima yang ada
perlu denganmu.” Jawab Mas Andra.
“Oke, aku pergi sekarang. Sampai
bertemu Dev.” Ujar Kiara pada Dev lalu pergi meninggalkan Dev dan Mas Andra.
Setelah Kiara pergi, Mas Andra duduk
di hadapan Dev.
“Seingatku, aku pernah memperingatkan
dirimu pada pertemuan pertama kita dulu saat kau berkunjung ke cafe ini untuk
pertama kalinya agar kau menjauhi Kiara.” Ujar Mas Andra langsung.
Dev diam.
“Kiara adalah milikku. Masa depanku.
Wanita yang paling berharga dalam hidupku. Kau ingat kan kata kataku saat itu?
Aku tidak bercanda dengan hal itu. Aku akan menikahinya. Suatu hari nanti aku
akan menikahi Kiara. Jadi kalau kau berpikir kau punya kesempatan untuk bisa
bersamanya hanya gara gara mamamu ingin menjodohkan kalian, kau salah besar.”
“Tidak pernahkah kau berpikir bahwa
aku juga menolak perjodohan ini?” tanya Dev.
“Itu bagus. Itu membuat situasi jadi
tidak sulit untukku. Jadi untuk apa kau ada di cafe ini malam ini? Masih banyak
cafe di luar sana untuk jadi tempat hang outmu. Pergilah. Lupakan Kiara.
Jangan berada di sekitarnya lagi.” Mas Andra lalu bangkit dari duduknya.
“Kiara bilang kau punya pacar.” Ujar
Dev sebelum Mas Andra pergi.
“Aku sudah putus dengan pacarku.
Mungkin Kiara tidak tahu tentang hal ini. Tapi tidak masalah apa yang
dipikirkan Kiara tentang aku, yang penting perasaanku tulus padanya. Dan satu
lagi, aku serius akan memperjuangkan cintanya.”
~ ~ ~
POV Author
“Win, tahu nggak sih, ibu Dewi mau
mengundang Pak Devano makan malam.” Della duduk di hadapan Wina sambil
membawakan kopi pesanan Wina.
Wina memesan kopi secara online
karena ia sedang malas kemana mana jam istirahat siang ini.
“Masa sih?” tanya Wina, “kau tahu darimana
Del?”
“Kan aku yang reservasi tempatnya.”
Ujar Della.
“Oh, dalam rangka apa ibu Dewi mau
mengundang Pak Devano makan malam segala?”
“Mungkin mau mengucapkan terima kasih
untuk kerjasama yang sudah mereka lakukan.”
“Ya, kau benar, sepertinya begitu.
Kita diajak tidak?”
“Geer kamu!” Della tertawa,
“tidak, reservasinya hanya untuk empat orang saja.”
“Pasti empat orang itu adalah ibu
Dewi dan suaminya, lalu Pak Devano dan pasangannya.”
“Memang Pak Devano sudah menikah?”
tanya Della.
“Setahuku belum, dulu Selly pernah
memberitahuku tentang hal ini.”
“Lalu kenapa kau bilang Pak Devano
akan datang bersama pasangannya?”
“Ya siapa tahu Pak Devano akan datang
bersama pacarnya.” Ujar Wina lagi.
“Iya sih ya. Pak Devano ganteng
sekali. Masa belum punya pacar kan itu nggak mungkin.” Della langsung tertawa,
“tapi kau tahu tidak, Tami yang ternyata diajak ke acara makan malam tersebut
oleh ibu Dewi. Sepertinya ibu Dewi suka pada Pak Devano dan berharap kalau Tami
bisa jadi pacar Pak Devano.”
“Kau tahu darimana lagi sih Del soal
ini? Gosip melulu deh ah.” seru Wina.
“Ibu Dewi dan Tami sedang
membicarakan itu waktu aku masuk ke ruangan ibu Dewi untuk mengantar kopi
pesanannya, aku tidak sengaja menguping.”
“Ya kalaupun itu benar, terus
kenapa?” tanya Wina.
“Ya tidak apa apa sih, tapi kadang
hidup ini tidak adil. Aku tidak rela kalau Pak Devano jadi pacar Tami.”
“Maunya jadi pacar kamu gitu?” ujar
Wina sambil tertawa.
“Iya.”
“Sudah ah, aku ada kerjaan nih, tidak
selesai selesai kerjaanku nanti kalau kita ngobrol melulu, mana setengah jam
lagi ada rapat dengan ibu Dewi lagi.”
“Ok, aku pergi sekarang.”
“Makasih kopinya, Del.”
“Iya!”
Wina baru mau mengetik lagi di PC-nya
waktu Kiara tiba tiba masuk ke ruangannya dengan wajah pucat.
“Win, tolong aku win.” ujar Kiara
sambil duduk di hadapan Wina.
“Kamu kenapa?”
“Aku demam, badanku panas, tolong
pesankan taksi online ya. Ini HPku. Aku mau pulang.”
Wina langsung menerima HP dari Kiara.
“Aku telepon Mas Bima saja ya, biar dia menjemputmu, aku takut kau kenapa
kenapa di jalan. Aku tidak bisa mengantarmu pulang karena setengah jam lagi ada
rapat.”
“Ya sudah terserah kamu saja.” Ujar
Kiara.
“Password HPmu apa?”
Kiara menyebutkan password HPnya
dengan suara lemah, lalu Wina mencari kontak telepon dengan nama Mas Bima tapi
ia tak menemukan nama Mas Bima. Ia lalu menemukan sebuah kontak telepon dengan
nama ‘my darling’.
Oh My God, ujar Wina dalam hati. Kiara punya
pacar tapi dia tidak cerita apa apa padaku?
Winapun lalu memutuskan untuk
menelepon kontak dengan nama my darling itu.
~ ~ ~
POV Author
Sial sial sial. Dev tidak bisa berkonsentrasi dalam
bekerja. Semua kata kata Mas Andra minggu lalu terngiang ngiang lagi di
telinganya siang ini.
Sebenarnya Dev tidak mau masuk dalam
kehidupan Mas Andra dan Kiara seperti ini, tapi mamanya yang ‘memaksa’ Dev
masuk ke sana.
Mamanya memaksa ia berkenalan dengan
Kiara. Walau ternyata setelah ia dan Kiara bertemu mereka sudah saling kenal
sebelumnya.
Dev lalu meminta bertemu dengan Kiara
untuk memberi tahu Kiara kalau ia sudah punya pacar. Itu Dev lakukan agar ada
batas yang jelas antara dirinya dan Kiara, agar Kiara tidak berharap apapun
tentang hubungan mereka.
Tapi kemudian Dev baru tahu bahwa
Kiara adalah korban seperti dirinya, ia juga dibujuk oleh mamanya dan tante
Jennie agar mau dijodohkan dengannya.
Jadi ternyata, dijodohkan dengan
dirinya bukan keinginan Kiara sendiri seperti dugaan Dev sebelumnya. Karena hal
itu pula Dev merasa tenang dan memutuskan untuk berteman dengan Kiara saja dan
tidak memusuhinya.
Karena Dev menganggap Kiara sebagai
temannya-lah ia akhirnya memutuskan untuk memproduksi produk iklannya di Bright
Advertising, di tempat Kiara bekerja.
Ia berharap bisa bekerjasama dengan
Kiara dalam memproduksi iklan itu, tapi ternyata ia tak menemukan Kiara di Bright
Advertising. Ia tak tahu Kiara ada dimana.
Dan dari sanalah Dev mulai memikirkan
Kiara. Dan mencemaskan dirinya. Kecemasan terbesarnya adalah soal pekerjaan
Kiara. Ia merasa Kiara menyia nyiakan waktu kalau hanya bekerja di cafe dan
bukan di tempat yang tepat untuk diri Kiara. Lalu Dev sadar, itu bukan rasa
cemas biasa, itu adalah rasa perduli yang besar pada Kiara.
Ia perduli pada Kiara. Itu harus digaris bawahi. It’s must
be something. Itu pasti sesuatu, karena perasaannya berubah pada Kiara.
Lalu rasa perduli itu menjadi rasa
rindu.
Dev tidak bisa menahannya lagi.
Kecemasan itu, rasa rindu itu. Untuk itulah ia datang ke cafe Mas Bima malam
itu hanya untuk melihat Kiara dan memastikan Kiara baik baik saja.
Dev tidak tahu kapan bisa bertemu
Kiara lagi setelah Mas Andra menegurnya dengan keras untuk menjauhi Kiara.
Jadi selamat datang masalah baru, ujar Dev dalam hati. Selamat
datang perasaan rindu.
Lamunan Dev terhenti saat HPnya
bunyi. Dev langsung terkejut saat dilihat telepon yang masuk dari Kiara, wanita
yang sedang dipikirkannya.
“Hallo,” ujar Dev langsung.
“Hallo selamat siang, Ini teman
Kiara, Kiara sakit, bisa Anda menjemputnya ke sini sekarang?”
“Ke sini kemana?” tanya Dev kaget.
“Bright Advertising, alamatnya
di..”
“Ya, ya, aku tahu alamatnya, aku
kesana sekarang.”
~ ~ ~
POV Author
Ibu Dewi sedang membicarakan sesuatu
dengan Della di front office Bright Advertising saat dilihatnya Dev
memasuki ruang kantor.
“Pak Devano apa kabar?” tanya ibu
Dewi kaget.
“Kabar baik,” ujar Dev, “ibu Dewi,
aku parkir mobil di depan pintu utama boleh? Cuma sebentar kok, tidak lama.”
“Tentu, tidak masalah.” Jawab ibu
Dewi.
“Boleh aku tahu Kiara ada dimana
sekarang?”
“Kiara?” tanya ibu Dewi kaget.
Wina tiba tiba berlari ke front
office “apa yang menjemput Kiara sudah datang?” tanya Wina sambil bingung
memperhatikan Dev kenapa Dev ada di Bright Advertising siang ini.
“Kiara tidak apa apa kan?” tanya Dev
khawatir.
“Dia pingsan.” Jawab Wina sambil
terus merasa bingung, kenapa Dev bertanya hal itu padanya.
“Dimana Kiara sekarang?” tanya Dev
lagi.
“Diruang kerjaku, di sebelah sana,”
Wina menunjuk arah ruang kerjanya, “tapi kenapa Anda…”
Dev tidak mendengarkan kata kata Wina
lagi, ia lalu berlari dan masuk ke ruangan yang ditunjuk Wina.
Ia melihat Kiara tidur di sebuah
sofa. Dipegangnya kening Kiara, terasa panas, tapi Kiara menggigil kedinginan.
Dev Lalu membuka coatnya.
Diselimutinya tubuh Kiara dengan coatnya itu.
“Aku akan menggendong Kiara ke mobil,
mobilnya tidak aku kunci, nanti tolong bukakan pintu mobilnya dan tolong
sekalian tas Kiara dibawa juga.” Ujar Dev pada Wina.
“O..Oke.” Wina langsung mengambil tas
Kiara lalu mengikuti Dev yang sudah menggendong Kiara dan keluar dari ruang
kerjanya.
Di front office, karyawan Bright
Advertising sudah berkerumun ingin tahu ada apa. Tapi Dev tak menggubris
mereka semua, ia terus membawa Kiara ke mobilnya.
“Terima kasih Wina, untuk semuanya,”
ujar Dev ketika Kiara sudah ia tidurkan dibangku belakang mobilnya. “Aku akan
membawa Kiara ke rumah orangtuaku, kau tanya sekretarisku kalau ingin tahu
alamatnya. Kau bisa menjenguk Kiara disana. Aku pergi sekarang.”
“Ya Pak Devano” jawab Wina, “hati
hati mengemudi.”
“Oke. O ya tolong bilang terima kasih
pada ibu Dewi, tadi aku lupa mengatakannya. Aku parkir sembarangan.”
“Tentu, nanti akan saya sampaikan.”
Dev lalu mengemudikan mobilnya meninggalkan Bright
Advertising sambil mengecilkan AC mobilnya.
Ia lalu menelepon dokter pribadi
keluarganya dan memintanya untuk segera datang ke rumah orangtuanya secepatnya.
~ ~ ~
POV Author
“Ada apa sebenarnya ini Wina?” ibu
Dewi langsung menyerbu Wina dengan pertanyaan saat Wina memasuki kantor lagi.
“Kenapa tiba tiba Pak Devano datang menjemput Kiara? Hubungan mereka apa?”
“Begini bu,” ujar Wina serba salah,
“Kiara hari ini sakit, ia demam, badannya panas, tapi ia kedinginan. Kiara
minta dipesankan taksi online untuk pulang. Aku mengusulkan agar seseorang
menjemputnya saja dan…”
My Darling. Kata kata Wina terhenti. Kiara
menyimpan nomor telepon Pak Devano dengan nama my darling! Oh My God.
“Dan apa?” tanya ibu Dewi tak sabar.
“Dan aku menelepon pacarnya, dan dia
datang.”
“Maksudmu Pak Devano pacar Kiara?”
teriak ibu Dewi.
“Itu tidak mungkin!” jerit Tami.
“No way!” Della malah hampir
menangis.
“Sepertinya begitu, maaf, saya akan
kembali bekerja.” Wina mulai berbalik ke arah ruang kerjanya, “o, ya Bu Dewi,
Pak Devano tadi bilang terima kasih pada ibu karena sudah mengijinkan ia parkir
mobilnya di depan pintu masuk.”
“Ok.” Jawab ibu Dewi masih dalam
keadaan bingung.
Wina lalu berjalan ke arah ruang
kerjanya dan duduk di kursinya dengan rasa tak percaya. Ia bisa memastikan Dev
benar benar pacar Kiara karena Dev sangat panik saat mendapati Kiara pingsan.
Kalau bukan pacarnya, tidak mungkin
kan Pak Devano sepanik itu? Tanya Wina dalam hati.
~ ~ ~
POV Author
Pulang kerja Wina mampir ke tempat
kiara tinggal untuk mengambil beberapa baju Kiara untuk ganti. Ia pergi ke
sana dengan naik motornya.
Ia bilang pada Mas Bima agar jangan
khawatir tentang Kiara karena Kiara akan dirawat dengan baik di rumah orangtua
Dev dan mungkin akan menginap beberapa hari disana sampai ia sembuh.
Wina juga memberikan alamat rumah
orangtua Dev pada Mas Bima karena siapa tahu Mas Bima ingin menjenguk Kiara.
Wina mendapatkan alamat itu setelah menelepon sekretaris Dev.
Setelah dari cafe Mas Bima, Wina lalu
pergi ke rumah tante Audrey.
Saat tiba disana, Kiara ternyata
sedang tidur. Kiara tidur di salah satu kamar tamu. Wina lalu menyusun baju
baju Kiara yang ia bawa ke dalam lemari yang ada di kamar tamu itu.
Sambil melihat Wina menyusun baju
kiara ke lemari, tante Audrey mengatakan pada Wina agar Wina jangan khawatir
dengan kondisi Kiara karena Kiara akan dirawat dengan baik dirumahnya.
Kiara bahkan sudah diperiksa oleh
dokter keluarga tante Audrey. Ia juga sudah makan dan minum obat. Sekarang ia
harus beristirahat agar obatnya bisa mulai bekerja dan agar kondisi Kiara
stabil lagi.
Karena Kiara sudah beristirahat, Wina
memutuskan untuk langsung pulang saja, tapi tante Audrey menahannya dan
mengajak Wina makan malam bersama dengan dirinya dan Devano.
Suami tante Audrey baru malam nanti
pulang ke rumah karena sedang ada meeting di kantornya sementara Dinda
sedang tidak pulang ke rumah sehingga mereka tidak bisa makan malam bersama.
Wina akhirnya menerima tawaran tante
Audrey dan makan malam bersama tante Audrey dan Dev.
“Menurutmu kenapa Kiara sampai sakit
seperti itu Win, apa dia kelelahan?” tanya tante Audrey.
“Mungkin iya, tiga hari kemarin Kiara
harus menginap di Gunung Luhur untuk syuting iklan, padahal sekarang sedang
musim hujan, mungkin ia masuk angin dan terkena flu di sana karena menurut
cerita Kiara, udara disana sangat dingin terutama pada malam hari.”
“Kok bisa Kiara ikut syuting iklan
segala?” tanya tante Audrey, “di gunung Luhur lagi, itu kan yang lagi viral itu
kan? ‘Negeri Di atas Awan?”
“Iya tante, Kiara harus syuting
disana karena permintaan klien lokasi iklannya ingin disana. Kiara harus syuting
iklan karena itu memang pekerjaannya.” jawab Wina.
“Pekerjaannya bagaimana?” tanya Dev.
“Kiara sekarang bekerja di bagian
produksi Pak Devano. Ia jarang berada di kantor, ia selalu pergi keluar kota,
ke tempat dimana iklan itu harus syuting.”
“Jadi dia tidak bekerja sebagai
penulis naskah lagi?”Dev heran.
“Tidak Pak, posisinya digantikan oleh
Tami, adik ipar ibu Dewi.”
Ternyata Kiara tidak berbohong, ujar Dev dalam hati, Kiara benar
benar bekerja di Bright Advertising. Dia tidak bertemu Kiara di Bright
Advertising karena Kiara sering keluar kota.
“Tapi waktu masker GC cosmetics
diproduksi, aku tidak melihat Kiara.” Ujar Dev.
“Itu karena Kiara bekerja untuk
produksi iklan yang lain. Kadang di perusahaan kami ada beberapa iklan
diproduksi sekaligus dalam waktu bersamaan. Dan masing masing produksi iklan
itu ada timnya.”
“Sayang sekali,” gumam Dev, “padahal
ide dari Kiara oke loh, dulu waktu iklan parfum idenya dari Kiara kan?”
“Ya,” Wina tersenyum dan mengangguk.
“Sebenarnya Pak Devano, kalau aku boleh jujur, ide iklan masker GC Cosmetics
yang sudah diproduksi ini juga dari Kiara. Aku sedang tidak punya ide cemerlang
untuk iklan itu saat Kiara datang membantuku.”
“O, ya?” tanya Dev kaget, “ide iklan
masker GC Cosmetics itu bagus, cukup menyentuh.” Ujar Dev lagi, “kok
bisa sih ibu Dewi menyia nyiakan orang seperti Kiara.” Gumam Dev.
“Entahlah Pak,” ujar Wina, “mungkin
ibu Dewi punya pertimbangan tersendiri.”
“Mungkin begitu.” Komentar tante
Audrey yang dari tadi diam.
‘Ngomong ngomong aku sudah kenyang,”
ujar Wina, “terima kasih untuk makan malamnya, tapi aku harus pulang sekarang,
besok aku akan mengjenguk Kiara lagi.”
“Tentu.” Ujar tante Audrey, “terima
kasih ya Wina sudah membawakan baju Kiara ke sini.”
“Sama sama tante. Kiara sahabatku,
aku juga ingin berterima kasih pada tante dan Pak Devano karena Kiara sudah
dirawat dengan baik disini.”
“Itu tidak masalah, tante sayang pada
Kiara jadi tante melakukannya dengan senang. Hati hati mengendarai motornya
ya.”
“Iya tante, sampai bertemu lagi.”
“Sampai bertemu lagi.”
Setelah mengantar Wina ke pintu
gerbang rumahnya, tante Audrey duduk lagi dikursi makannya.
“Aku ada ide Ma,” ujar Dev saat
mamanya sudah duduk.
“Ide apa?” tanya mamanya.
“Aku punya banyak kenalan owner
perusahaan periklanan. Produk kita kan banyak dan iklannya tidak dibuat di Bright
Advertising saja.”
“Lalu?” tanya mamanya.
“Aku akan menitipkan Kiara pada salah
satu owner itu. Kiara harus bekerja di bidang yang ia kuasai. Sayang
kalau bakatnya sia sia begitu saja.”
“Mama setuju denganmu,” ujar Tante
Audrey, “tapi ide mama lebih oke darimu.”
“O, ya, apa itu?”
“Habiskan dulu makananmu, baru kita
bicara.”
~ ~ ~
POV Author
Dev masuk ke kamar tamu dimana Kiara
tidur. Ini adalah untuk kesekian kalinya Dev masuk ke kamar Kiara. Dev bolak
balik ke kamar itu untuk mengecek kondisi Kiara.
Sebenarnya Dev tidak perlu khawatir
karena dokter sudah memeriksa Kiara, dan memberikan obat untuk Kiara. Yang
perlu Kiara lakukan adalah beristirahat saja sampai suhu badannya normal lagi.
Tapi tetap saja Dev merasa khawatir.
Kiara masih tertidur pulas, badannya
berkeringat, tapi panas tubuhnya sudah turun, dan sepertinya Kiara sudah tidak
menggigil lagi.
Bi Surti sedang mengelap keringat di
kening Kiara dengan washlap kering saat Devano tiba tiba mengambil lap
itu dari tangan Bi Surti.
“Biar aku saja Bi,” ujar Devano
sambil mulai mengelap keringat di kening dan leher Kiara.
Bi Surti langsung tersenyum
melihatnya. Dan juga merasa sangat terharu karena sepertinya Dev sangat sayang
pada pacarnya. Bi Surti menyangka kalau Kiara adalah pacar Dev.
Sudah beberapa kali Bi Surti kenal
dengan pacar pacar Dev sebelumnya, tapi belum pernah ada yang menginap dirumah
seperti Kiara.
“Mas Devano tidak tidur?” tanya Bi
Surti, “sudah malam loh ini, sudah jam sebelas malam lebih, Mas Devano kan
besok harus bekerja.”
“Sebentar lagi Bi, tidurnya.”
“Jangan khawatir soal Mbak Kiara,
biar bibi yang jaga.”
“Memang bibi tidak tidur juga?” tanya
Dev.
“Ya, gantian jaganya dengan Bi
Hartini.”
“Baiklah kalau begitu, aku tidur dulu
ya Bi.”
“Iya Mas Devano.”
Dev lalu berjalan keluar kamar dan
berjalan menuju tangga untuk pergi ke kamarnya di lantai dua.
~ ~ ~
POV Author
Pagi ini
setelah mandi dan sarapan, Devano datang ke kamar Kiara.
Kiara
ternyata sudah bangun dan sudah mandi serta sarapan seperti dirinya. Ia sedang
duduk di atas tempat tidur ketika Dev datang menghampirinya. Dev lalu duduk di
sisi tempat tidur di dekat Kiara dan tersenyum menatap Kiara.
Kiara sudah
tidak demam lagi, tapi dia masih lemas. Wajahnya masih pucat.
“Selamat
pagi.” Sapa Dev pada Kiara.
“Selamat
pagi,” jawab Kiara.
“Bagaimana
kondisimu hari ini?”
“Baik, sudah
mendingan. Terimakasih untuk semuanya Dev.”
Dev tampan
sekali pagi ini dan wangi sekali. Kiara ingin sekali memeluknya.
“Sama sama,”
ujar Dev, “senang melihatmu sudah sedikit segar dibandingkan kemarin.”
“Ya.”Kiara
mengangguk.
“Tapi kau
tetap harus istirahat.”
“Ya.”
“Badanmu
masih panas?”
“Ya,” Kiara
begitu terpukau oleh Dev sampai tak sadar dengan pertanyaan yang diajukan Dev.
“Maksudku tidak. Sudah tidak panas lagi.”
Dev tertawa,
ia lalu memegang kening Kiara untuk mengecek badan Kiara panas atau tidak.
Ternyata tidak panas. Tapi tangan Dev tidak bisa terlepas dari sana.
Kiara
menatap Dev dengan perasaan sayang, “Dev,” bisik Kiara.
“Aku harus
kerja dulu,” Dev akan menarik tangannya tapi Kiara langsung menggenggam tangan
Dev erat.
“Boleh aku
memelukmu?” ujar Kiara pelan.
“Ya.” Jawab
Dev.
Kiara pun lalu memeluk Dev erat.
Aroma mint tercium dari tubuh Dev. Rasanya hangat memeluk Dev seperti
itu.
“Wah, pagi pagi sudah ada adegan
drama korea,” suara Mas Andra tiba tiba terdengar di kamar itu, membuat Dev
cepat cepat melepaskan pelukan Kiara.
Dev lalu berdiri dari duduknya dan
berjalan ke pintu, “aku kerja dulu Kiara, sampai nanti.”
“Sampai nanti Dev.” Jawab Kiara.
“Tunggu dulu,” Mas Andra langsung
mencegat langkah Dev.
“Sudahlah, aku tidak mau ribut
denganmu pagi pagi.” Ujar Dev, “bikin moodku jelek saja.”
“Aku akan membawa Kiara pulang
sekarang.” Ujar Mas Andra.
“Kiara masih sakit, badannya masih
lemas.”
“Tidak masalah, aku akan merawatnya.”
“Terserah.” Ujar Dev sambil mendorong
tubuh Mas Andra yang menghalangi pintu. “Permisi, aku mau lewat.”
“Ada apa ini?” tante Audrey datang
menghampiri Dev dan Mas Andra. “Kok pagi pagi sudah ribut?”
“Tanya saja dia ada apa. Aku
berangkat kerja dulu Ma.” Dev lalu berjalan ke arah garasi rumahya.
“Iya Dev, hati hati mengemudi!” Ujar
tante Audrey.
“Iya!” sahut Dev.
Tante Audrey lalu memperhatikan Mas
Andra yang masih berdiri di depan pintu kamar Kiara. “Boleh tante tahu ada
apa?”
“Aku akan membawa Kiara pulang tante,
biar Kiara dirawat dirumah Bima saja.”
“Kiara masih lemas, kau tidak lihat
wajahnya pucat?”
“Tapi…”
“Satu hari saja lagi Andra, please?
Biar tante merawat Kiara satu hari lagi. Besok kau bisa datang menjemputnya.”
Mas Andra diam.
“Kiara akan baik baik saja disini.
Tante janji. Besok kau boleh membawa Kiara pulang.”
“Baiklah,” ujar Mas Andra akhirnya, “aku
akan bicara dengan Kiara sekarang.” Lanjut Mas Andra.
“Tentu, silahkan.” Tante Audrey lalu
pergi ke dapur.
Mas Andra masuk ke dalam kamar dan
menghampiri Kiara dan duduk di dekat Kiara.
“Apa yang kau lakukan tadi Kiara?”
tanya Mas Andra.
“Melakukan apa?” tanya Kiara bingung.
“Memeluk Dev.”
“Ooh,” ujar Kiara, “Dev temanku,
sahabatku, boleh dong aku memeluk sahabat sendiri?”
“Kau yakin Dev menganggapmu sebagai
sahabatnya?”
“Dev sudah sangat baik padaku, masa
ia tak menganggapku sebagai sahabatnya?” Kiara balik bertanya, “okelah, mungkin
sahabat terlalu berlebihan, paling tidak menganggap aku sebagai teman?”
“Bukan itu maksudku Kiara. Dev itu
seorang pria. Ia akan salah mengartikan perlakuanmu padanya. Kadang kadang pria
itu suka mengambil kesempatan yang ada.”
“Tapi Dev sudah punya pacar Mas
Andra.”
“O, ya?”
“Ya. Namanya Mona.”
“Kau yakin?”
“Tentu saja yakin, beritanya kan
sudah dimana mana. Di kolom gosip atau berita infotainment juga ada. Di
televisi ataupun internet juga ada. Mona seorang model, sekarang ini dia sedang
merambah ke dunia film.”
“Kau mengikuti berita tentang
mereka?” tanya Mas Andra. “Tentang Dev dan pacarnya?”
Kiara diam. Sebenarnya hatinya terasa
sakit kalau melihat atau membaca berita tentang Dev dan Mona. Tapi Kiara selalu
ingin tahu perkembangan terbaru tentang Dev. Paling tidak itu mengobati rasa
rindunya pada Dev.
“Tidak selalu sih mengikuti berita
tentang mereka,” jawab Kiara “kadang kadang saja.”
“Baiklah,” ujar Mas Andra, “ngomong
ngomong kenapa kau sampai ada di rumah tante Audrey? Kau kan bisa meneleponku
saat sakit kemarin?”
“Aku tidak tahu, aku pingsan. Saat
aku sadar dari pingsanku tiba tiba aku sudah ada di tempat tidur ini, di kamar
ini.”
“Kau tidak ingat kalau Dev yang
membawamu ke sini? Karena kata temanmu Wina, yang bercerita pada Mas Bima, Dev
yang membawamu ke rumah orangtuanya.”
“Aku benar benar nggak tahu. Aku juga
belum bertanya pada Wina kejadian kemarin seperti apa.”
“Atau mungkin Wina yang menelepon
Dev?” tanya Mas Andra lagi.
“Mungkin, tapi bisa jadi Dev sedang
berada di kantorku saat aku pingsan lalu menolongku.”
“Untuk apa Dev ada dikantormu?”
“Dia salah satu klien perusahaan
tempat aku bekerja. Akhir akhir ini ia sering datang ke kantor untuk melihat
produksi iklan produknya. Sebenarnya syuting iklannya sudah selesai, tapi
mungkin ia ingin tahu finishingnya seperti apa.”
“Oke, baiklah.” Mas Andra akhirnya
duduk di sebuah sofa, tidak jauh dari tempat tidur dan membuka laptop yang
dibawanya.
~ ~ ~
POV Author
Mobil yang dikemudikan Mas Andra baru
meninggalkan rumah tante Audrey saat Motor Wina masuk ke dalam garasi rumah
tante Audrey. Tidak lama kemudian mobil Devpun datang.
Dev menelepon Mamanya dulu dan
bertanya pada mamanya apakah Mas Andra sudah pulang atau belum. Dan saat Dev
diberitahu kalau Mas Andra sudah pulang baru Dev pulang. Dev malas bertemu Mas
Andra lagi. Karena ia yakin mereka akan ribut lagi.
Di ruang keluarga, Dev bertemu dengan
Wina yang datang untuk menjenguk Kiara. Dev menyapa Wina lalu pergi ke kamarnya
di lantai atas untuk mandi. Sementara Wina langsung masuk ke kamar yang Kiara
tempati di lantai bawah.
“Hai, sudah baikan sekarang?” tanya
Wina sambil mendekati Kiara dan duduk di sofa tidak jauh dari tempat tidur
Kiara.
“Sudah, tapi masih agak sedikit lemas
dan pusing.”
“It’s ok, asal jangan berhenti
minum obat kau akan pulih lagi. Dan jangan lupa harus banyak makan juga
terutama sayuran dan buah, juga susu.”
“Aku dicekoki makanan terus disini.”
Kiara tertawa.
“Mereka semua sayang padamu, tante
audrey, dev, orang orang dirumah ini, lalu Dev.”
“Kau mengatakan Dev dua kali.” Ujar
Kiara.
“O, ya? Masa?” Wina tersenyum sambil
mengedipkan matanya pada Kiara.
“Ya.” Ujar Kiara, “dan kau sengaja
melakukannya.”
Wina tertawa.
“Ngomong ngomong bagaimana aku bisa
sampai disini Wina? Seingatku aku minta dipesankan taksi online, lalu kau
mengusulkan agar menelepon Mas Bima saja, aku bilang terserah padamu, lalu aku
ada disini.”
“Kau tidak ingat apa pun?” tanya
Wina.
“Kan aku pingsan? Memangnya aku ingat
apa?”
“Beuu, kemarin saat Dev datang
untuk menjemputmu, dia panik sekali melihat kau pingsan.”
“DEV DATANG MENJEMPUTKU?” Teriak
Kiara, “KAU MENELEPONNYA?”
“Tidak apa apa kan. Tugas pacar kan
untuk take care pacarnya yang sakit.”
“Kau ngomong apa sih, Dev bukan
pacarku.”
“Yang benar?” tanya Wina.
“Ya Tuhan, ada apa dengan orang orang
hari ini!” Teriak Kiara. “Apakah semua orang tidak pernah melihat atau membaca
berita?!” Kiara lalu membuka HPnya, mencari sebuah berita tentang Dev dan Mona
dan menunjukkannya pada Wina.
Wina langsung membaca berita itu.
“Ehm menurutku, kau tetap lebih serasi dengan Pak Devano daripada Mona.” Komentar
Wina.
“Jangan ngaco deh Win.”
“Ngaco bagaimana sih. Kau pernah
lihat tidak film Bodyguard yang diperankan Kevin Costner dan whitney
Houston?”
“Iya, memang kenapa?”
“Pak Devano kemarin saat menjemputmu
seperti itu. Dia sangat sigap seperti bodyguard di film itu, yang siap
melindungi bidadarinya kapan saja.”
“Wina, kamu lebay banget sih!”
“Ini beneran! Lalu Pak Devano membuka
mantel panjangnya untuk menyelimuti tubuhmu yang kedinginan. Lalu ia
membopongmu ke arah mobil. Semua orang kaget. Semua orang terpukau dengan
kesigapan Pak Devano.”
“Semua orang? Maksud semua orang ini
siapa?” tanya Kiara.
“Ibu Dewi, Tami, Della, semua
karyawan di kantor deh pokoknya.”
“Kok bisa sih mereka tahu?”
“Ya bisalah, mereka semua ada disana!
Dan mereka semua terkejut. Ibu Dewi bahkan bertanya padaku hubungan dirimu
dengan Pak Devano apa, aku bilang saja pacaran.”
“Wina, kamu nyebar gosip yang tidak
tidak deh.”
“Aku menemukan kontak dengan nama ‘my
darling’ di teleponmu, aku pikir dia pacarmu lalu aku meneleponnya dan yang
datang adalah Pak Devano, tapi Pak Devano juga bertingkah seperti seorang pacar
yang panik melihat pacarnya yang sakit. Apa kesimpulanku salah?”
“My Darling?” Wajah Kiara jadi panas,
ia memang sengaja menulis nama Dev dengan sebutan itu. “Jadi karena nama itu
kau jadi salah paham?” tanya Kiara lagi.
“Tapi kau suka pada my darling
kan sehingga menjulukinya seperti itu?”
“Itu dulu, Wina” elak Kiara, “waktu
pembuatan iklan parfum. Dulu aku menyukai Dev, sekarang tidak lagi. Sejak ia
pacaran dengan Mona aku berusaha melupakannya.”
Tapi tidak berhasil, lanjut Kiara dalam hati.
“Masih menyukai Pak Devano juga tidak
apa apa kok Ki. Dikantor juga banyak yang suka Pak Devano. Contohnya Tami,
Della.” Ujar Wina, “Ibu Dewi bahkan berencana mengundang Pak Devano makan
malam. Reservasinya hanya untuk berempat, Bu Dewi, suaminya, Pak Devano dan
Tami. Jelas kan arah Bu Dewi kemana? Ia ingin mendekatkan Pak Devano dengan
Tami.”
“Dan kapan acara makan malamnya itu?”
tanya Kiara.
“Sepertinya minggu depan. Tapi itu
baru rencana, sepertinya bu Dewi belum mengundang Pak Devano, dan kalaupun
undangan sudah ia lakukan, belum tentu Pak Devano juga bisa datang.”
“Iya sih.” Ujar Kiara, “tapi
terserahlah bu Dewi mau ngapain, memang aku pikirin.”
Suara pintu kamar tiba tiba diketuk
seseorang saat Kiara dan Wina asik ngobrol, “Mbak Kiara, Mbak Wina, Ibu Audrey
menunggu kalian di meja makan untuk makan malam,” suara Bi Surti terdengar
dibalik pintu.
“Iya Bi, sebentar lagi kami kesana.”
Ujar Kiara sambil bangun dari tidurnya.
“Kau tidak pakai jaket Ki?” tanya
Wina, “kau tidak kedinginan?”
“Agak sedikit dingin sih.” Jawab
Kiara, “sebentar aku ambil jaket dulu.” Kiara lalu mengambil jaketnya ke
lemari, lalu ia memperhatikan mantel panjang yang berwarna cokelat yang juga
digantung di lemari itu.
“Apa ini mantel Dev yang kau maksud?”
tanya Kiara pada Wina.
Wina memperhatikan mantel itu. “Ya,
kenapa mantelnya ada disitu?”
“Sepertinya Bi Hartini yang
menggantungnya disini, mungkin ia menyangka ini mantel aku.”
“Sepertinya begitu, karena kau
memakai mantel itu saat dibawa kerumah ini.”
“Ya sudah ayo kita ke ruang makan.”
Ajak Kiara.
Di ruang makan tante Audrey sedang
sibuk memotong semangka ke sebuah piring.
“Hai,” sapa tante Audrey ramah, saat
dilihatnya Kiara dan Wina berjalan ke arahnya, “ayo silahkan duduk. Dev masih
diatas, nanti dipanggilkan oleh Bi Surti. Suamiku tidak ikut makan bareng kita,
seperti biasa pulangnya malam lagi karena ada peluncuran produk baru.”
“Perusahaan yang sama dengan Pak
Devano tante?” tanya Wina. “GC Cosmetics?”
“Bukan, tapi perusahaan yang
memproduksi snack kemasan.”
“Ooh.”
“Bi, tolong panggil Dev sekarang,”
ujar tante Audrey saat dilihatnya Bi Surti selesai meletakkan udang goreng di
atas meja.
“Iya Bu.” Bi Surti pun berjalan ke
lantai atas ke arah kamar Dev, lalu mengetuk kamar Dev.
“Iya,” seru Dev, “masuk.”
Bi Surti membuka pintu kamar Dev,
“makan malam sudah siap Mas Devano.”
“Sebentar lagi aku turun ke bawah.”
“Baik.” ujar Bi Surti sambil mau
beranjak pergi.
“Eh Bi, tunggu, tadi pria yang
menemani Kiara hari ini, ngapain saja disini?”
“Dia banyak menghabiskan waktu duduk
dibangku yang ada di pinggir kolam renang sambil mengetik sesuatu di
laptopnya.”
“Ooh, Kiara ikut duduk disana?”
“Hanya waktu pagi hari jam sembilan
sampai jam sepuluh saja. Mbak Kiara keluar kamar untuk berjemur saja setelah
itu masuk lagi ke kamar.”
“Jadi Pria itu tidak menghabiskan
waktu di kamar bersama Kiara?”
“Mas Devano cemburu ya?” ujar Bi
Surti.
“Tidak, tidak cemburu kok.” Ujar Dev
berbohong.
“Sesekali sih Pria itu nengokin Mbak
Kiara ke kamar, lalu ia sempat keluar rumah untuk beli salad buah. Lalu dia
menyuapi Kiara salad buah.”
“Menyuapi Kiara salad buah?” teriak
Dev.
“Iya, bibi tadi tidak sempat bikin
salad buah padahal bahan bahannya ada semua. Harusnya pria itu bilang pada bibi
untuk dibikinkan salad buah dan tidak usah membelinya.”
“Ya sudah deh Bi, terima kasih
informasinya. Sebentar lagi aku turun.”
“Baik.” Bi Surti lalu beranjak pergi.
Dada Kiara berdebar kencang sementara
pipinya terasa panas saat dilihatnya Dev turun dari tangga.
Kiara ingat pelukan tadi. Pelukan
tadi pagi adalah obat yang paling manjur untuk sakit Kiara saat ini
dibandingkan obat lainnya yang diberikan dokter Iskandar, - dokter keluarga
Tante Audrey - yang kemarin memeriksanya.
Aku ingin pelukan itu lagi… ujar Kiara dalam hati.
“Oke, karena Dev sudah ada disini,
sebelum kita mulai makan, tante akan memberitahu kalian sesuatu.” Ujar tante
Audrey. “Dan sesuatu itu ada hubungannya dengan Kiara.” Lanjut tante Audrey.
“O, ya? Apa itu tante?” tanya Kiara.
“Begini Kiara, tante akan mendirikan
perusahaan iklan. Perusahaan iklan kecil saja. Tapi walau ini perusahaan iklan
yang kecil dan baru mulai, ia sudah punya klien ekslusif yaitu GC Cosmetics.
Semua produk dari GC Cosmetics kelak, iklannya akan dibuat oleh
perusahaan iklan milik tante ini. Ya syukur syukur sih dengan kerja keras dan
lain lainnya, klien klien nya akan bertambah sehingga kliennya bukan GC
Cosmetics saja, tapi satu hal yang pasti, GC Cosmetics adalah klien
tetap.”
Semua diam dan asik mendengarkan
penjelasan tante Audrey.
“Nah, karena semua modal dari tante,
jadi owner dari perusahaan ini otomatis tante. Tante sudah menyiapkan
sebuah nama untuk perusahaan iklan ini yaitu D & D Advertising, yang
artinya Devano & Dinda Advertising.”
“Ma, kok nama aku dibawa bawa sih,”
protes Dev, “itu kan perusahaan Mama.”
“Sudahlah Dev, terserah mama mau
memberi nama apa, kalian kan anak anak Mama. Ok, tante lanjutkan ya Kiara,
Wina,”
“Iya tante.” Hampir bersamaan Kiara
dan Wina menjawab.
“Fungsi tante disini hanya owner,
tapi tante tidak mau bekerja di D & D Advertising, karena itulah
tante mau menunjuk Kiara sebagai pelaksana kerja dari D & D Advertising.”
“Aku?” tanya Kiara kaget.
“Ya, kau bertanggung jawab untuk
semuanya Kiara, kau pemimpin di D & D Advertising, masalah
perekrutan karyawan dan lain lain itu tugasmu, tugas tante adalah berkenaan
dengan masalah pendirian perusahaan, berhubungan dengan notaris, lalu
mempersiapkan kantor, keperluan kantor dan lain lain. Kau mau kan Kiara? Nanti
kau tinggal melakukan laporan bulanan saja padaku untuk semua kegiatan
pekerjaan yang sudah dilkaukan dan pastinya juga laporan keuangan.”
“AKu tidak tahu tante, ini sungguh
mendadak.”
“Kau harus mau Kiara. Gaji untukmu
nanti akan disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawabmu, yang pastinya lebih
besar dari gajimu sekarang di Bright Advertising.”
“Jadi aku harus mengundurkan diri
dari Bright Advertising?” tanya Kiara.
“Ya, secepatnya.” Jawab tante Audrey,
“karena tante akan memproses pendirian perusahaan iklan ini juga secepatnya.
Kau harus ada disamping tante selama proses pendirian perusahaan iklan ini
dilakukan. Kau mau kan Kiara?” tanya tante Audrey.
“Baiklah.” Ujar Kiara sambil
tersenyum, “terima kasih tante atas kepercayaannya.”
“Sama sama.” Tante Audrey ikut
tersenyum, “nah, karena Kiara tidak mungkin menjalankan semua ini sendirian
tante harap Wina juga bisa membantu dan mendampingi Kiara. Masalah gaji, nanti
untuk gaji Wina juga disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawab Wina. Terserah
Kiara nanti Wina akan dipercaya menduduki jabatan apa, yang jelas, kalian
berdua harus merekrut orang orang dengan membuka lowongan pekerjaan secepatnya.
Saran tante rekrutlah karyawan sesuai keperluan saja. Dalam satu tim produksi
iklan itu terdiri dari siapa saja. Tante rasa lima atau enam orang cukuplah.
Nanti kalau misalnya perusahaan sudah mulai besar, baru bisa tambah karyawan
lagi sesuai keperluan pekerjaan. Kau mau kan Wina mendampingi Kiara?”
“Siap tante.” Ujar Wina senang karena
ia tak harus berurusan dengan Tami yang manja lagi.
“Oke kalau begitu, sekarang mari kita
makan, nanti makanannya menjadi dingin.”
“Rencananya kantornya dimana tante?”
tanya Wina, “karena aku kan harus tahu jarak kantor baruku dengan tempat kosku,
karena jika memungkinkan aku nanti pindah kos.”
“O, ya masalah kantor, tante baru
ingat, sementara kantor D & D Advertising dipersiapkan, kalian
berdua berkantor di rumah ini saja dulu, maksud tante, kalian kan harus segera
merekrut karyawan, jadi lakukan saja itu secepatnya. Melakukan wawancara disini
dulu juga tidak apa apa. Alamat rumah ini dipakai sebagai alamat surat menyurat
dulu juga tidak apa apa.”
“Jadi Mama mau menyewa kantornya di
daerah mana?” tanya Dev, “mungkin aku bisa bantu?”
“Entahlah Dev, nanti mama pikirkan
lagi, sekarang kita makan dulu.”
“Ma, aku punya usul,” ujar Dev lagi.
“O, ya, apa usulmu?”
“Bagaimana kalau kantornya di GC
Cosmetics saja?”
“Kantormu sudah penuh Devano, mau
dilantai berapa? Lantai dasar untuk display produk sekalian untuk jualan
produk, lantai dua adalah lantai untuk bekerja para karyawan GC Cosmetics,
lantai tiga adalah ruang kerjamu, juga ruang kerja para direktur dan ruang
presentasi, lantai empat gudang, lantai lima food court. Mau dilantai
berapa?”
“Lantai tiga,” ujar Dev tersenyum,
terus terang ia mengusulkan ini agar ia bisa dekat dengan Kiara.
“Di sebelah mananya?”
“Ruang presentasi disana ada dua Ma.
Ada yang kecil dan ada yang besar. Nah yang besar ini aku rasa bisa
dipergunakan untuk kantor dari perusahaan iklan Mama. Jadi nanti ruang
presentasi ini dibongkar dan disekat sekat dibikin ruangan, karena luasnya juga
lumayan besar loh Ma, hampir sepertiga luas seluruh lantai tiga.”
“O, ya?”
“Ya.” Ujar Dev, “selain itu juga
untuk penghematan karena Mama tidak harus bayar uang sewa jika menyewa kantor
di tempat lain.”
“Serius kau tidak minta uang sewa
pada Mama?” ujar Mamanya sambil tertawa.
“Kan baru merintis ma, nanti kalau
perusahaanya sudah besar hitung hitungannya beda lagi.”
“Baiklah,” ujar Mamanya sambil
tersenyum, “Kiara, Wina, minggu depan kita berkunjung ke GC Cosmetics untuk
melihat kantor kita.”
What?! teriak Kiara dalam hati. Is it a
dream or what?!
~ ~ ~
No comments:
Post a Comment