Tuesday, October 1, 2019

I Love You, Kiara!

I Love You, Kiara
by A. Rafianti





BAB SATU


Point Of View (sudut pandang) Kiara

Aku berjalan sambil menyibak kerumunan orang untuk mencari Selly. Selly adalah bos aku di perusahaan advertising dimana aku bekerja. Aku bekerja disana sebagai seorang copywriter atau penulis naskah iklan.

Selly meneleponku karena ia bilang ia sedikit mabuk sehingga tidak berani menyetir mobil sendiri untuk pulang ke rumah.

Padahal aku tadi sedang asik nonton korea.

Aku menemukan Selly dengan baju merahnya yang seksi di salah satu sudut bar. Aku segera menghampirinya. Selly sendirian malam ini, ia punya kebiasaan pergi kemana mana sendiri.

“Ya ampun Selly, kamu kenapa sih?” teriak aku sambil menegakkan tubuh Selly yang menelungkup di meja.

Walau Selly bos aku, tapi aku terbiasa memanggil namanya karena itu permintaannya.

“Aku patah hati,” Selly nampak terisak, “mereka sekarang berpacaran.” Ujar Selly sambil memeluk tubuhku.

“Siapa?” tanyaku sambil mengambil tas Selly dengan sebelah tanganku, dan mengecek apakah hp dan dompet Selly masih ada di tas kecilnya yang mahal.

“Dev” bisik Selly pelan.

Aku cukup terkejut dengan kata kata Selly, karena sama seperti Selly, aku juga menyukai Devano.

“Pacaran dengan siapa?” tanyaku sambil mulai menarik tubuh Selly untuk berdiri.

“Mona, si model brengsek itu. Kurang apa coba aku ini Ki, aku lebih cantik dari Mona kan?”

“Ya, tentu saja, kau lebih cantik dari Mona.”

“Aku pikir Dev suka padaku, kami beberapa kali kencan, bahkan makan malam romantis, tapi…”

“Mungkin itu cuma gosip Sel, maksudku tentang Dev dan Mona yang pacaran.”

“Gosip? Tidak! Itu bukan gosip. Mona yang memberitahu langsung padaku tentang hal ini. Tadi sore dia meneleponku.”

Oh sial, seperti Selly, tiba tiba aku juga jadi patah hati.

~ ~ ~


Devano adalah salah satu klien Selly. Selly punya perusahaan periklanan dan aku bekerja untuk Selly.

Selly adalah wanita yang mandiri, sementara orangtuanya berbisnis di bidang properti, ia memilih membuka perusahaan sendiri di bidang periklanan. Ia tak mau bekerja di perusahaan orangtuanya. Ia lulus S2 di salah satu universitas terkenal di Jerman.

Dan aku termasuk salah satu orang yang beruntung menjadi karyawannya karena saat Selly merekrut aku dulu, - hampir lima tahun lalu -, aku juga baru lulus kuliah, jadi tidak punya pengalaman kerja sama sekali, tapi bagi Selly itu tidak jadi masalah, karena saat itu Selly bilang, kalau aku tidak diberi kesempatan bekerja, kapan aku punya pengalaman.

Selly termasuk orang yang easy going, simple dan tidak pernah meributkan sesuatu yang tidak perlu. Ia juga sangat pengertian pada karyawanya dan tidak mudah emosional.

Bekerja dengannya benar benar asik. Teman teman kerja aku yang lain juga senang bekerja dengan Selly. Kami menjadi tim yang kompak, maka tak usah heran, dalam waktu lima tahun, perusahaan periklanan Selly, yaitu Bright Advertising, sudah banyak menghasilkan iklan iklan keren dan mampu bekerjasama dengan klien klien dari perusahaan besar, salah satunya perusahaan Devano.

Perusahaan Devano adalah perusahaan kosmetik. Namun kosmetiknya adalah kosmetik tradisional yang berbahan herbal, seperti lulur, pembersih wajah, hingga parfum.

Perusahaan kosmetik itu sebelumnya adalah perusahaan milik nenek Devano yang asli orang Solo. Nenek Devano merintis usaha itu sejak lama, hampir tiga puluh tahun yang lalu.

Nenek Devano hanya mempunyai seorang puteri yaitu ibu Devano, tapi entah kenapa, ibu Devano tidak tertarik meneruskan usaha ibunya, ia lebih suka hidup berhura hura sebagai seorang sosialita. Dan karena Devano adalah anak tertua dari dua bersaudara, maka nenek Devano mewariskan usaha itu pada Devano, sementara Dinda, adik Devano yang perempuan, masih kuliah di jurusan kedokteran, Dinda kelak ingin menjadi dokter spesialis kecantikan.

Produk terbaru yang dikeluarkan perusahaan Devano adalah parfum dari bunga bunga tropis seperti bunga kenanga, bunga matahari dan bunga melati.

Devano meminta Bright Advertising untuk membuat iklan bagi produk terbarunya.

Beberapa kali pertemuan pun diadakan antara Selly dan Devano untuk membahas detail iklan seperti apa yang diinginkan Devano.

Aku ikut dalam pertemuan mereka yaitu saat presentasi awal dan sebelum memulai produksi.

Untuk pemilihan modelnya pun Devano meminta saran Selly, Selly lalu bertanya pada karyawannya apa usul dari mereka, usulan itupun ditampung lalu diberikan pada Devano. Pada tahap awal ada beberapa model yang terpilih, namun pada tahap akhir hanya tiga model perempuan yang dicasting, dan Devano menentukan pilihannya pada Mona.

Iklan parfum itu sudah selesai dan sudah tayang di televisi, internet, billboard dan dimana saja.

Beberapa waktu setelah pengerjaan iklan itu, Selly akhirnya dekat dengan Devano, namun ternyata malam ini Selly patah hati karena Devano berpacaran dengan Mona.

“Kau bawa mobil aku ya?” ujar Selly saat kami berjalan ke arah mobil Selly.

“Ya, iyalah,” seruku langsung, “mau ditangkap polisi apa kamu nyetir dalam keadaan mabuk begini.”

“Ini benar benar tidak adil Ki,” Selly menangis lagi, “aku mencintai Dev.”

“Ya, sudah, yang sabar Sel, mungkin nanti perasaan cintamu akan hilang.”

“Tidak mungkin! Tidak semudah itu!”

“Ssh, ya sudah, sekarang kita pulang dulu, kau tidur dulu untuk menenangkan pikiranmu, okey?”

~ ~ ~



BAB DUA

POV Kiara

Aku memperhatikan Riri yang sedang mencoba beberapa baju baru. Siang ini aku dan Riri pergi ke Pondok Indah Mall untuk berbelanja.

Riri adalah sahabat aku saat aku kuliah dulu. Kami sama sama belajar di Fakultas Komunikasi di suatu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Namun kami berbeda jurusan, aku ambil jurusan advertising sementara Riri jurusan public relations.

Sesuai jurusannya, Riri kini bekerja sebagai seorang PR di sebuah hotel bintang lima di Jakarta.

“Kau yakin tidak mau beli Ki?” tanya Riri untuk kesekian kalinya. Ia heran kenapa aku tidak berbelanja seperti dirinya.

“Tidak Ri, bajuku banyak, aku tidak perlu baju baru sekarang.”

“Yeah, tapi…” Riri menghentikan kata katanya sejenak, “tapi kau tetap datang kan ke acara reuni kita kan?”

“Aku tidak tahu, malam minggu ini aku kerja di cafe Mas Bima.”

“Ijin sesekali kenapa sih, kerja melulu,” Riri menggerutu. “Reuni ini tidak tiap tahun diadakan, kau tidak rindu pada teman teman kuliah kita? Bagaimana kabar mereka sekarang? Apa pekerjaan mereka?”

Itulah, keluhku dalam hati. Aku melihat reuni justru sebagai ajang pamer, mereka yang berhasil akan membanggakan keberhasilan mereka, sementara yang biasa biasa saja seperti aku, ya, cuma bad mood saja dengan keadaan itu.

“atau karena kau tak punya pacar?” tebak Riri lagi.

Itu juga. Keluhku dalam hati.

“Enggak kok,” elakku, “bukan karena itu juga”.

“Kau dulu mau dijodohkan oleh buklikmu dengan kenalannya kau menolak. Aku dong tidak, saat orangtuaku menjodohkan aku, aku menerima, dan sekarang lihat, tahun depan kami akan menikah”

“Ri, please deh, aku akan dijodohkan dengan seorang pria yang hampir seumuran dengan ayahku, dan kau dengan seorang pilot muda yang tampan. Itu tidak adil.”

“Tapi pria yang seumuran ayahmu itu kaya raya.”

“Aku bukan cewek matre. Aku bisa cari uang sendiri.”

bullshit. Semua perempuan itu matre. Bohong saja kalau enggak. Lagipula wajar juga jadi cewek matre, daripada cowok yang matre.”

“Terserah kamu saja Ri, yang jelas aku tidak seperti itu,” protesku lagi. Mood aku menemani Riri berbelanja tiba tiba jadi hilang.

~ ~ ~

Riri akhirnya berhasil membawa aku ke acara reuni teman kuliahku. Ia dan tunangannya, Rangga, datang ke cafe Mas Bima, kakak sepupuku, sambil membawa baju baru yang ia belikan untukku dan meminta ijin pada Mas Bima untuk mengajak aku pergi.

Aku sebenarnya tetap malas untuk pergi, tapi aku tak mau berdebat dengan Riri terutama ada Rangga disana. Akhirnya aku menurut dan ikut dengan mereka.

Dan seperti dugaanku, teman temanku sibuk membanggakan dirinya masing masing, apa pekerjaan mereka, siapa siapa saja pacar mereka.

“Bisnis pacar aku di bidang otomotif,” salah satu temanku, Becky, tampak semangat bercerita, “kami bertemu secara tidak sengaja di suatu pameran mobil. Ya, namanya jodoh ya, gimana ya, padahal saat itu aku pergi ke pameran itu bersama pacar aku, maksudku mantan pacar aku, aku menemaninya untuk beli mobil, eh malah bertemu dengan Roy, pacarku sekarang, disana.”

“Se.. sebentar, kamu bilang kamu jodoh dengan Roy, memang kalian sudah menikah? Kok aku tidak dapat undangannya?” Nella bertanya heran.

“Belum sih, belum menikah, tapi akan menikah.” Jawab Becky sambil tersenyum lebar.

“Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depan loh Becky, suami isteri saja bisa bercerai, apalagi ini baru berencana mau menikah, siapa tahu tidak jodoh.”

“Amit amit, jangan bilang begitu dong Nel, aku pasti berjodoh dengannya.”

“Ya, siapa tahu enggak.”

“Elu mendoakan yang buruk tentang gue?”

“Enggak begitu, aku kan cuma bilang…”

Aku meninggalkan perdebatan itu. Suara Nella dan Becky kini tak terdengar lagi. Itu yang bikin aku malas pergi ke acara seperti ini. Orang orang berdebat untuk hal yang nggak jelas.

Tanpa sepengetahuan Riri, - karena ia asik dengan Rangga - aku akhirnya memesan taksi dan kembali ke cafe Mas Bima, - kakak sepupuku - dan meninggalkan acara yang menurut aku sangat membosankan itu.


~ ~ ~

“Kiara apa kabar?” Mas Egi berteriak ke arahku saat aku memasuki pintu cafe. Mas Egi dan Mas Andra, - keduanya adalah sahabat Mas Bima, - sedang duduk disalah satu sudut cafe. Mas Egi melambaikan tangannya agar aku menghampiri mereka. Aku menghampiri Mas Egi dan duduk di hadapannya.
Mas Egi dan Mas Andra adalah dua orang sahabat Mas Bima yang tak terpisahkan. Mereka bertiga bersahabat sejak dari Taman Kanak Kanak.

Mereka seperti three Muskeeters saking kompaknya. Mereka selalu mendukung satu sama lain. One for all, all for one.

Usaha Mas Egi adalah di bisnis restoran. Ia punya beberapa restoran Sunda di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Denpasar. Usaha restoran itu dirintis oleh orangtua Mas Egi yang berasal dari Subang. Mas Egi hanya tinggal meneruskan bisnis restoran keluarganya.

Sementara Mas Andra adalah seorang programmer. Dengar dengar sih, Mas Andra sering bikin program game dan menjualnya secara lepas, kebanyakan ia jual ke aplikasi di luar negeri. Dari hasil penjualan programnya itu, konon katanya tabungan Mas Andra sudah mencapai sebelas digit. Tapi Mas Andra tidak pernah memamerkan punya banyak uang, ia tetap hidup sederhana, ia tinggal di rumah sendiri yang tidak terlalu besar, kemana mana ia selalu naik vespa, padahal mobil sport mahal sepertinya mampu ia beli. Hal itu sangat berbeda dengan Mas Egi yang sepertinya suka sekali gonta ganti mobil keluaran terbaru.

Kalau tidak sedang bekerja di rumah, biasanya Mas Andra bekerja di cafe Mas Bima seperti malam ini. Ia akan membawa laptopnya, lalu duduk di salah satu kursi dan asik dengan pekerjaannya tanpa menghiraukan suasana ramai di sekelilingnya.

Aku dulu, - tiga tahunan yang lalu - suka pada Mas Andra. Tapi perasaanku tak terbalas, Mas Andra lebih memilih Yola, salah satu karyawan Mas Bima daripada aku, dan mereka berpacaran hingga sekarang. Sejak setahun lalu, Yola tidak bekerja untuk  Mas Bima lagi karena Mas Andra memberi modal pada Yola untuk membuka distro sendiriyang menjual baju, tas dan sepatu untuk wanita wanita milenial jaman now. Distro Yola ada di daerah Kemang. Kalau tidak sedang berada di cafe Mas Bima, Mas Andra pasti ada di distro.

Mas Egi juga sudah punya pacar, ia seorang mahasiswi yang saat ini sedang kuliah di Bandung. Dari ketiganya, yaitu Mas Bima, Mas Andra dan Mas Egi, hanya Mas Bima yang sudah menikah.

“Wah Kiara, kau cantik sekali, habis darimana?” tanya Mas Egi sambil menatapku.

“Dari rumah teman, ada perlu,” ujarku singkat, aku malas menjelaskan ini itu.

“Dengan dandanan seperti ini?” tanya Mas Egi tak percaya.

“Yah, malam ini aku dandan agak sedikit berlebihan sih,” sahutku.

“Tidak berlebihan kok, kau cantik,” ujar Mas Andra tiba tiba.

“Terimakasih,” aku langsung tertawa. “Jadi Mas Andra berani merayuku saat Yola tidak disini?”

“Itu bukan rayuan, itu pujian.” Komentar Mas Andra sambil tangannya tidak lepas dari keyboard laptopnya alias terus mengetik sesuatu.

“Ki, aku ada tebakan. Jawab ya.” Ujar Mas Egi. Mas Egi dari dulu kalau bertemu aku sukanya main tebak tebakan. Mungkin muka aku seperti teka teki silang. Tapi sayangnya tebak tebakannya selalu garing alias mudah ditebak.

“Tebakan apa sih, jam sebelas malam main tebak tebakan, yang benar saja.” Gerutuku.

“Memang tidak bolah main tebak tebakan jam sebelas malam?”

“Nggak boleh, sudah malam. Tapi ya sudah, apa tebakannya?”

“ikan, ikan apa yang ganteng?”

“I..kan bukan Mas Egi yang ganteng, yang ganteng itu Leonardo DiCaprio.”

“Yah, kok kamu tega sih Ki, aku ini idaman para wanita loh,”

“Iya, para wanita yang sedang dalam pengaruh alkohol alias yang lagi pada mabuk, jadi mereka agak agak nggak sadar gitu kalau suka sama Mas Egi.”

“Wah, benar benar, Kiki parah Bim,” teriak Mas Egi ke Mas Bima, “masa dia bilang para cewek yang suka sama gue lagi pada mabok.”

Mas Bima hanya tertawa sambil melambaikan tangannya.

“Ya, lagian apa yang dilihat dari Mas Egi coba, ganteng enggak, rese iya.” teriakku.

Mas Andra yang tadi serius dengan laptopnya tiba tiba tertawa.

“Elu ngetawain gue?” Protes Mas Egi pada Mas Andra, “kok tiba tiba elu ketawa sih?”

“A.. ada yang lucu di layar laptop gue,” kelit Mas Andra.

“Mana? Apa yang lucu?” Mas Egi menggeser laptop Mas Andra untuk melihat monitornya tapi Mas Andra cepat cepat menutup laptopnya.

“Aku juga punya tebak tebakan,” seruku.

“Apa?” tanya Mas Egi dan Mas Andra hampir berbarengan.

“Kenapa anak babi jalannya nunduk?” tanyaku.

“Karena malu emaknya babi.” Jawab Mas Egi.

“Salah,” seruku.

“Lalu apa dong jawabannya?” tanya Mas Egi lagi.

“Mas Andra apa jawabannya?” tanyaku pada Mas Andra.

“karena anak babi itu sedang nyari uang receh yang jatuh untuk jajan.”

“Babi jajan apaan sih!” Mas Egi protes. “Ada ada saja.”

“Ya siapa tahu jajan permen karet atau apa.”

“Jawabannya salah juga,” sahutku, “anak babi jalannya nunduk Karena malu bapaknya ketahuan korupsi sama PPKKBB”

“Apaan tuh PPKKBB?” tanya Mas Andra.

“Perkumpulan Pemberantasan Korupsi Keluarga Besar Babi.”

Mas Andra ketawa lagi, “aku juga punya tebakan,” ujar Mas Andra.

“Apa?” tanyaku dan Mas Egi berbarengan.

“Babi, babi apa yang jalannya maju mundur?”

“Babi mabok,” teriakku.

“Dari tadi mabok melulu,” Mas Egi tepok jidat. “Babi jalannya maju mundur Itu pasti babi yang lagi nyapu jalanan.”

“Salah, itu babi lagi nyetrika baju, maju mundur, maju mundur.”

~ ~ ~


BAB TIGA


POV Kiara

Sabtu siang ini aku ada di Yogyakarta. Selain aku pulang untuk mengunjungi orangtuaku yang tinggal di Sleman, aku juga harus menghadiri pernikahan kakak sepupuku, Mbak Santi.

Mbak Santi adalah adik dari Mas Bima. Ayah Mas Bima dan ayahku adalah kakak adik. Ayah Mas Bima adalah kakak ayahku, sementara ayahku anak bungsu. Mereka cuma dua bersaudara.

Berbeda dengan ayah yang merupakan anak bungsu, ibu adalah anak sulung dari empat bersaudara. Buklik aku yang dulu ingin menjodohkan aku dengan seseorang adalah adik kedua ibu, adik ketiga dan keempat ibu adalah laki laki.

Aku sendiri anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan.

Kakak aku Mbak Tari, sudah menikah dan punya satu anak. Ia, suami dan anaknya tinggal di Kulon Progo.

Adik aku, Laras, kerja di sebuah kantor advokat. Ia dulu kuliah di Fakultas Hukum UGM, ia sudah punya pacar seorang pengacara yang merupakan bosnya ditempat ia bekerja.

Kabarnya sih pacar adikku ingin ia dan Laras segera menikah. Dan aku sama sekali tidak keberatan kalau adikku mau menikah lebih dulu dari aku. Tapi ibuku tidak setuju. Ibu tidak mau aku dilangkahi. Itu sebabnya ibu ‘mendesak’ aku untuk cepat cepat cari suami. Ibu tahun lalu bahkan meminta tolong adiknya, buklik Yayuk untuk mencarikan aku calon suami.

Laras masih tinggal dengan orangtuaku. Ibu tidak bekerja, ia seorang ibu rumah tangga, sementara ayahku seorang guru di sebuah SMK Negeri di Yogyakarta sini.

“Kapan kamu nyusul Santi, Ki?” Buklik Yayuk kini duduk disampingku sambil membawa puding di piring kecil, ia lalu memakan puding itu pelan pelan. Acara resepsi sedang berlangsung, tamu tamu nampak antri untuk bersalaman dengan pengantin. “Cepatlah cari pacar, jangan santai seperti ini.”

“Aku belum tigapuluh tahun buklik, pernikahan itu tidak boleh tergesa gesa, pernikahan itu untuk jangka waktu yang panjang loh, jadi nggak bisa grabak grubuk.”

“Ah, aku dan paklikmu cuma kenal tiga bulan kemudian menikah, buktinya awet hingga sekarang. Menikah itu tergantung niat, kalau niat kita ibadah, insyaallah akan langgeng.”

“Ya buklik beruntung punya suami paklik yang sabar, lemah lembut, nrimo, mau mengalah, coba kalau buklik punya suami yang pemarah, temperamental, tukang ngatur, pencemburu, memang bisa bertahan selama ini?”

Buklik Yayuk diam.

“Aku berharap aku bisa dapat jodoh yang baik dan mengerti aku,” ujarku lagi, “tapi kita tidak bisa memilih jodoh kita ingin yang begini atau yang begitu, karena menurut keyakinanku Tuhan yang memilihkan jodoh kita untuk kita sesuai apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Tapi ada beberapa orang yang kurang beruntung yang mendapatkan jodoh yang tidak pengertian, yang beda kepribadian, beda visi, beda pandangan dan lainnya sehingga sering cekcok dan berujung dengan perceraian.”

“Kalau kau merasa takut seperti itu terus, kapan kau menikahnya.” Protes Buklik.

Aku tidak takut, buklik jangan salah paham. Aku seperti ini karena memang belum ada saja orangnya, Tuhan belum mempertemukan aku dengannya. Aku hanya sering berdoa saja agar aku mendapatkan yang terbaik. Tapi Kalau belum ada aku harus bagaimana buklik?”

“Yah, teruslah berusaha,” ujar buklik akhirnya.

“Aku tahu, itu yang sedang aku lakukan sekarang.”

“Tapi usahanya jangan kelamaan, semakin lama kau menemukan pasanganmu, semakin lama juga Laras menikah.”

“Aku sudah bilang pada ibu agar ia memperbolehkan Laras menikah lebih dulu dari aku.”

“Ibumu tidak mau, ia kasihan padamu.”

“Kenapa aku harus dikasihani sih? Aku tidak apa apa kok. Aku baik baik saja.”

“Itu menurutmu, tapi pemikiran ibumu beda. Jadi orangtua itu susah Ki, selain ia harus berusaha untuk mengerti perasaan anak anaknya, akan banyak juga omongan yang tidak enak dari para tetangga, yang beginilah yang begitulah.”

“Ah, tetangga diurusin, sudah sih acuhkan saja. Memang kita minta makan dari mereka apa. Kenapa sih hidup itu dibikin ribet. Buklik harus menyakinkan ibu lagi agar pikiran ibu berubah. Aku nggak mau dikejar kejar seperti ini terus.”

“Ya sudah, nanti buklik ngomong lagi dengan ibumu.”

Setelah ngobrol denganku, buklik Yayuk lalu pergi, tidak lama kemudian Mas Bima menghampiriku sambil memberikan aku segelas soft drink.

“Aku mendengar sedikit percakapan kalian.” Ujar Mas Bima sambil meminum minumannya. “Mau kucarikan?” senyumnya kemudian.

“Calon suami?”

“Ya iyalah calon suami, masa pekerjaan. Kau kan sudah bekerja. Di dua tempat malah.”

“Hahaha.”

“Aku ada teman, dia juga sedang mencari calon isteri, namanya..”

“Stop disana Mas Bima, jangan lanjutkan lagi!

“Katanya mau usaha, aku tadi dengar kau ngomong sama buklikmu mau usaha. Begini yang namanya usaha? Coba dulu Ki, siapa tahu berhasil.”

“Tidak sekarang. Maksudku untuk dijodohkan tidak sekarang, aku mau mencari sendiri dulu.”

“Ya sudah, semoga berhasil kalau begitu.”

“Terima kasih.”

“Sama-sama, ngomong ngomong kamu tetap tidak mau tinggal di kamar yang ada di atap cafe? Di sana kosong loh Ki, daripada kamu tiap bulan harus keluar uang untuk bayar kos. Kan lumayan bisa irit, uangnya bisa ditabung.”

“Tidak usah Mas, tapi terima kasih tawarannya, aku suka dengan tempat kosku sekarang.”

“Ya sudah, kapan kau kembali ke Jakarta?”

“Dua hari lagi, aku ambil cuti hari senin dan selasa.”

“Aku pulang nanti malam. Ya sudah sampai bertemu di Jakarta Ki, hati hati di jalan.”

“Makasih Mas Bim, hati hati juga di jalan.”

~ ~ ~

POV Kiara

Siang ini aku makan siang bareng Selly. Selly yang mengajakku makan siang. Aku merasa lega karena Selly sepertinya sudah pulih dari rasa galaunya karena patah hati.
Tidak terlalu sering sebenarnya aku makan siang bersama Selly seperti ini karena Selly lebih sering makan siang dengan para kliennya.
Selly tidak dekat denganku saja, ia dekat dengan semua karyawannya. Ia juga suka mengajak para karyawannya makan siang. Tergantung mood Selly maunya mengajak siapa. Dan siang ini dia mengajakku.
“Makan yang banyak Ki, kau kurus, ayo mau pesan apa lagi?” tawar Selly lagi.
“Tidak usah Sel, makasih, gado gado yang aku pesan saja belum habis.”
“Yakin?” tanya Selly. “Aku mau pesan siomay loh sekarang, kau mau?”
“Tidak, tidak usah,” jawabku.
Selly tertawa, “aku kalau lagi patah hati makannya suka banyak.”
“Katanya mau move on, ayo dong semangat, kamu bisa.”
“Yeah, mudah mudahan.”
“Masih banyak Dev Dev lainnya, suatu hari nanti kau akan bertemu dengan Dev lain dan jatuh cinta padanya.” Hiburku.
“Tapi Dev ini lain, dia unik, kami sepemikiran tentang banyak hal. Punya banyak kegemaran yang sama dan yeah, pokoknya orangnya asik sekali.”
“Contoh kegemaran yang sama apa?”tanyaku.
“Makan, nonton, travelling.”
“Ah, itu mah standar, semua orang juga punya kegemaran makan, nonton dan travelling, banyak cowok lain yang punya kegemara seperti itu.” Komentarku.
“Ok, baiklah, tapi dia tampan. Dia tampan kan Ki?”
“Cowok tampan juga banyak, Selly.”
“Ayolah Kiara, masa sih kau tidak suka Dev? Dev sangat menyenangkan orangnya.”
Aku diam. Aku juga suka pada Dev seperti Selly. Sangat suka malah. Tapi wanita seperti Selly saja - yang cantik, trendi dan kaya - tidak berhasil menarik perhatian Dev, apalagi wanita biasa seperti aku.
“Aku juga suka Dev,” ujarku akhirnya.
“Tuh kan,” Selly tertawa, “tidak ada wanita yang tidak jatuh cinta padanya.”
“Ya, tapi yang beruntung Mona.” Sahutku.
Tawa Selly terhenti, “aku benci pada Mona,” ujar Selly pelan.
“Sudahlah Selly, berhentilah berharap. Lupakan Dev. Cinta tidak bisa dipaksakan, semangat!”
“Ya, kau benar, aku akan berusaha melupakan Dev.”
“Itu bagus,” senyumku, “ayo cepat, katanya tadi kau mau pesan siomay.”
“O, iya,” Selly kembali tertawa, “kau yakin tidak mau Ki?”
Aku terdiam sejenak, “ehm setelah dipikir pikir, boleh juga, sama seperti kamu, aku juga suka makan banyak kalau sedang patah hati.”
“Kau patah hati juga? Karena siapa?” tanya Selly terkejut.
“Tidak, bukan,” seruku kaget, “maksudku aku juga suka makan banyak, baik saat sedang patah hati maupun tidak, saat ini sih tidak sedang patah hati tapi sedang ingin makan banyak seperti kamu yang sedang patah hati.”
Selly tampak mencerna kata kataku, “aku tak mengerti maksudmu, tapi ya sudahlah aku akan memesan siomay sekarang.”
“Ya Selly, terima kasih,” ujarku sambil tersenyum.
“Sama sama.”
Aku memperhatikan kepergian Selly dengan perasaan tak karuan, aku menyemangati Selly agar melupakan Dev, tanpa aku tahu apakah aku bisa melupakan Dev juga atau tidak.
Dev adalah pria yang aku sukai setelah cintaku pada Mas Andra tak terbalas. Saat aku menyukai Mas Andra dulu, aku tidak tahu apakah Mas Andra tahu perasaanku atau tidak, - seharusnya sih dia tahu karena aku sering memperhatikannya, baik secara diam diam ataupun secara langsung - tapi kemudian Mas Andra memberitahu aku kalau Yola bukan teman biasa lagi untuknya tapi sudah menjadi pacarnya, aku langsung patah hati. Butuh waktu tiga tahun bagiku untuk menghilangkan rasa sayangku pada Mas Andra sebelum akhirnya aku menyukai Devano.
Aku tidak tahu kenapa aku menyukai Devano, karena kalau bicara soal tampan, kupikir penilaian kita pada seseorang pasti berbeda beda, tampan menurut aku belum tentu tampan menurut yang lain.

Aku lebih suka menggunakan kata ‘sangat menarik’ kalau harus mendeskripsikan Devano, ia sopan, tutur katanya menyenangkan, dan rendah hati.

Aku bertemu Devano lebih dulu dari Selly. Waktu itu Devano ke kantor untuk mencari Selly, tapi Selly belum kembali dari makan siang bersama salah satu kliennya. Aku saat itu bertugas di front office untuk menggantikan Della yang tidak masuk karena sakit. Dan aku menyangka Devano datang ke kantor untuk melakukan wawancara untuk mengisi posisi cameraman karena pada saat yang bersamaan Mba Ana, bagian HRD sedang melakukan panggilan wawancara untuk bagian produksi.
Dev datang ke kantor dengan menggunakan kemeja dan jeans, dan dia datang dengan menggunakan ojek online karena terlihat dari dalam kantor saat ia turun dari ojek, karena kaca kantor transparan. Aku saat itu tidak kepikiran kalau Dev adalah salah satu klien dari perusahaan kosmetik besar.
Aku mempersilahkan Dev duduk, lalu menawari ia minum, ia minta air putih saja. Setelah memberikan air putih pada Dev, Mbak Ana meneleponku dan mengatakan bahwa sesi wawancara selanjutnya akan dilakukan setengah jam lagi karena Mbak Ana mau makan siang dulu karena ia belum makan siang, ia meminta padaku agar menahan pelamar berikutnya yang datang agar jangan sampai pulang, karena menurut mbak Ana sejauh ini ia belum menemukan orang yang pas untuk posisi yang dicari.
Aku akhirnya duduk di hadapan Dev dan mengajaknya ngobrol.
“Sudah ada pengalaman?” tanyaku sok akrab.
“Pengalaman?” tanya Dev bingung.
“Ya, dengan kamera.”
“Dengan kamera?”
“Kupikir tempat ini cukup sepi, hanya kita berdua di sini, suaraku cukup jelas terdengar kan?” ujarku mulai kesal.
“Ten.. tu, terdengar sangat jelas.”
“Nah, jadi kau bisa menjawab pertanyaanku tanpa bertanya balik,”
“Ya, tentu.”
“Jadi?”
“Jadi apa?”
“Ada pengalaman tidak?”
“Dengan kamera?”
Astagfirullah,” aku langsung istigfar.
“Ada, aku punya pengalaman, tapi tidak banyak juga, tapi lumayanlah, hasil jepretan fotoku lumayan bagus.”
“Kita nggak butuh yang pengalamannya tidak banyak, kita butuh yang profesional.”
“Tapi menurut ibuku hasil jepretan fotoku profesional. Ibuku sangat bangga padaku.”
“Semua ibu pasti bangga pada anaknya. Tidak ada ibu yang tidak bangga pada anaknya. Ya sudahlah, kita lihat saja nanti apa kau beruntung atau tidak.”
“Beruntung?” Dev bertanya heran, “kupikir aku cukup beruntung punya kesempatan jalan jalan ke tempat tempat indah untuk mengabadikan foto foto yang keren.”
“Bukan itu maksudku, maksudku adalah mudah mudahan kau cukup beruntung diterima di sini.”
“Beruntung diterima disini?”
“Diulang lagi pertanyaannya. Capek deh.”
“Mbak Kiara!” Tono tiba tiba berjalan ke arahku, Tono adalah office boy dikantorku.
“Ya, ada apa?” tanyaku pada Tono.
“Ibu Ana bilang, wawancaranya dilanjutkan besok pagi, perutnya tiba tiba sakit,”
“Oh, begitu,” sahutku.
Saat itu, aku langsung meminta Dev pulang dan datang lagi besok pagi jam sembilan pagi. Dev pergi tanpa bilang apa apa. Ia juga tidak bilang kalau ia datang untuk bertemu Selly. Dan tentu saja, keesokan paginya dia tak datang lagi.
Aku bertemu Dev lagi saat presentasi awal, - saat kami membicarakan konsep iklan apa yang diinginkan Dev, - sekitar satu bulan sejak pertemuan pertamaku dengannya. Selly yang memperkenalkan Dev padaku. Pipiku lagsung terasa panas saat tahu kalau Dev adalah klien Selly dan bukan pelamar untuk posisi cameraman seperti yang aku duga. Aku merasa malu, tapi aku pura pura bego. Saat itu Dev hanya tersenyum lebar menatapku tanpa berkata apa apa. Hingga kini, aku tak punya kesempatan untuk meminta maaf padanya. Dan dari sanalah rasa suka aku pada Dev dimulai, sepertinya Dev orang yang menyenangkan, ia tak memperbesar kesalah-pahaman aku padanya. Ia juga sepertinya tak terlalu memusingkan hal hal yang cukup menjengkelkan di sekelilingnya. Setidaknya selama proses iklan itu dibuat, kesan itu yang aku dapatkan dari seorang Devano.

~ ~ ~




BAB EMPAT

POV Author

Seorang wanita cantik setengah baya sedang serius memperhatikan foto-foto di akun instagram anaknya. Wanita itu, Audrey Adinegoro, adalah seorang sosialita yang sangat terkenal, ia adalah ibu kandung Devano Adinegoro, seorang pengusaha muda yang sukses.

Foto yang diperhatikan Audrey adalah foto Devano, anaknya, dengan Mona, pacar anaknya.

Pada mulanya, Audrey sangat senang dengan hubungan mereka. Audrey adalah orang yang ramah. Ia tidak pernah meributkan pacar anak-anaknya, ia selalu menerima mereka dengan tangan terbuka.

Devano adalah anak pertama Audrey, sedangkan Dinda adalah anak keduansya. Ia hanya punya dua orang anak.

Devano cukup sering ganti pacar sedangkan Dinda termasuk awet berpacaran. Pacar Dinda adalah teman kuliahnya yang sama sama calon dokter, mereka berpacaran sudah empat tahun. Sementara Devano baru berpacaran tiga bulan dengan Mona. Tapi Mona baru diperkenalkan pada Audrey satu bulan yang lalu.

Seperti sebelum sebelumnya ketika Devano memperkenalkan pacarnya padanya, Audrey selalu antusias. Begitupun halnya dengan Mona. Mona sangat cantik, ia blasteran Indonesia - Inggris, ibunya orang Indonesia sedangkan ayahnya orang Inggris. Dan Audrey sangat menyukai Mona. Dan mengagumi kecantikannya.

Audrey berharap Mona adalah pacar yang diseriusi Devano sehingga mereka bisa menikah dalam waktu cepat. Menurut Audrey umur Devano sudah cukup untuk berumah tangga. Ia ingin segera punya cucu sehingga rumahnya yang besar tidak terasa sepi lagi.

Audrey hanya tinggal berdua dengan suaminya di rumah besarnya sejak anak anaknya kuliah.

Dulu, sebelum bekerja, Devano kuliah di Perancis, dan setelah bekerja ia tinggal di apartemennya di daerah Senayan. Sementara Dinda, sejak kuliah di kedokteran UI, ia kos di sekitar kampusnya.

Suami Audrey juga masih bekerja. Ia punya bisnis di bidang makanan. Ia memproduksi makanan ringan dan menjualnya ke supermarket supermarket dan mini market mini market yang ada di Indonesia. Pabrik makanan ringan milik suaminya ada di Tangerang sementara kantor pusatnya ada di daerah Sudirman. Suami Audrey cukup sering bolak balik Jakarta Tangerang untuk bekerja.

Pada saat Devano ditawari untuk mengelola perusahaan kosmetik oleh neneknya, ayah Devano tidak setuju. Ia ingin Devano melanjutkan bisnis yang ditekuninya. Ia mempersiapkan bisnis itu untuk Devano. Tapi karena nenek Devano cukup ngotot agar Devano bekerja dengannya, ayah Devano pun mengalah. Ia akhirnya berharap bahwa cucunya nanti yang akan melanjutkan bisnis yang sudah dirintisya itu, karena kalau mengandalkan Dinda tidak mungkin, Dinda lebih memilih profesi dokter daripada seorang pengusaha.

Karena suami dan anak anaknya sibuk, akhirnya Audrey pun mencari kesibukan sendiri dengan teman teman sosialitanya. Ia sering jalan jalan keluar negeri untuk berbelanja ini itu.

Itulah kenapa ia ingin Devano cepat cepat menikah. Ia ingin segera punya cucu, karena mungkin dengan adanya cucu ia bisa mengisi waktu luangnya dengan mengurus cucunya.

Dan karena keinginannya agar Devano cepat menikah, Audreypun mengundang Mona makan siang berdua dengannya, dua minggu setelah Devano memperkenalkan Mona padanya. Audrey ingin mengenal keluarga Mona lebih dekat. Ia ingin ngobrol akrab dengan Mona.

Tapi dari hasil obrolan itulah, Audrey akhirnya menentang habis habisan hubungan Devano dan Mona. Audrey belum mengatakan keberatannya pada Devano karena ia belum bertemu dengan anaknya, tapi kelak, ia akan meminta Devano untuk segera memutuskan hubungannya dengan Mona.
Audrey akhirnya menelepon sahabatnya, Jennie untuk meminta saran pada Jennie apa yang sebaiknya ia lakukan.

~ ~ ~
POV Author

Jennie datang satu jam setelah Audrey meneleponnya. Sama dengan Audrey, Jennie tidak punya banyak kesibukan yang berarti. Anak anaknya sudah besar. Ia punya dua orang anak, laki laki semua, dan dua duanya sudah bekerja di perusahaan milik keluarga mereka yang bergerak di bidang transportasi. Mereka punya usaha travel yang tersebar di beberapa kota besar di Indonesia.

Jennie disambut dengan pelukan hangat dari Audrey, mereka lalu duduk di pinggir kolam renang di rumah Audrey. Audrey menyuguhi Jennie jus mangga dan kue kering almond kesukaan Jennie. Matahari tidak terlalu terik bersinar siang itu, sehingga mereka duduk dengan nyaman di pinggir kolam dan merasa tidak kepanasan.

“Coba perhatikan ini, bagaimana menurutmu?” tanya Audrey sambil memperlihatkan foto Mona di tablet miliknya. Jennie tidak tahu tentang Mona, Audrey baru mau memberitahunya sekarang.

“Cantik, sangat cantik, siapa dia?”

“Pacar Dev sekarang.”

“Wow, Dev sudah putus dengan Ambar?”

“Ya,” Audrey mengangguk.

“Itu anak benar benar ya, padahal kurang apa coba Ambar, dia sangat baik dan menyenangkan.”

“Aku setuju denganmu, tapi ya, yang menjalani kehidupan kan anakku, bukan kita, aku tidak ingin mengatur dia, tapi…”

“Tapi apa?”

“Pacar Dev sekarang, namanya Mona, ternyata anak Mita.”

“Mita?” Jennie bertanya heran. “Mita siapa?”

“Teman SMA kita.”

“Teman SMA? Sebentar” Jennie nampak merenung, “seingatku tidak banyak teman kita yang bernama Mita saat SMA dulu, Ya Tuhan, apakah dia anak Sasmita?”

“Yap.”

“Sasmita musuh bebuyutanmu?!” teriak Jennie tak percaya.

“Itulah kenapa aku tidak setuju dengan hubungan Dev.”

“Kau sudah menyatakan keberatanmu pada Dev?”

“Belum, aku perlu ngobrol dulu denganmu, apa sebaiknya yang harus kulakukan.”

“Audrey, kejadian antara kau dan Mita kan sudah terjadi puluhan tahun lalu, lupakanlah, maafkanlah dia. Jangan karena masalah di masa lalu kau jadi tidak perduli dengan kebahagiaan anakmu sekarang.”

“Tapi Jennie, aku tidak bisa membayangkan kalau Mita jadi besanku.”

“Memang hubungan Dev sudah sampai tahap yang serius?”

“Tidak juga sih,”

“Lalu apa yang kau khawatirkan?”

“Tapi kalau kemudian serius bagaimana? Aku harus mencegahnya dari sekarang!”

“Ya sudah, tenangkan dirimu, sebelum mengatakan apapun pada Dev, kau lihat saja hubungan mereka seperti apa, siapa tahu Dev putus dengan Mona seperti ia putus dengan Ambar.”

“Tapi kalau hubungan mereka semakin serius bagaimana? Akan semakin sulit bagi Dev nanti untuk berpisah dengan Mona.”

“Ya sudah, biar aku yang ngobrol dengan Dev nanti. Kau benar, semakin didiamkan akan semakin rumit, biar aku ngobrol dengan Dev tentang keberatanmu.”

“Sungguh Jennie?” teriak Audrey gembira.

“Ya.”

“Terima kasih. Aku tahu kau bisa kuandalkan.”

“Sama sama. Tapi jangan berharap banyak. Aku tidak tahu apa tanggapan Dev nanti setelah aku memberitahu padanya tentang keberatanmu.”

“Tidak apa apa, Jennie, coba saja dulu.”

“Ok, akan aku coba.”

~ ~ ~

POV Author

Memasuki kantor Devano selalu memberi kesenangan tersendiri bagi Jennie. Setelah mengambil alih usaha neneknya, Devano membuka kantor pusat di wilayah Senayan untuk usaha kosmetik warisan neneknya itu.

Kantor awalnya ada di Solo, selain kantor, di Solo juga terdapat pabrik kosmetiknya. Tapi Devano tidak mau bekerja di Solo, ia maunya bekerja di Jakarta, sehingga ia mengelola semuanya di kantornya di Jakarta, sementara produk-produk kosmetik yang dihasilkan di pabrik, didistribusikan langsung ke seluruh Indonesia termasuk juga ke kantor pusat.

Kantor Devano terdiri dari lima lantai. Devano berkantor di lantai tiga. Lantai satu ia khususkan untuk display kosmetik yang ia jual. Orang orang yang membeli kosmetik secara langsung di lantai satu itu akan mendapat diskon.

Itulah kenapa Jennie suka pergi ke sini, walau uangnya cukup banyak, tetap saja ia selalu suka dengan barang barang yang mendapat diskon.

Dan karena aneka kosmetik ada di lantai satu termasuk parfum keluaran terbaru yang iklannya dibintangi Mona, maka memasuki lantai satu, wangi semerbak dari aneka parfum akan langsung tercium. Belum lagi SPG SPG cantik yang siap membantu pelanggan yang datang, menambah kesenangan Jennie untuk berlama lama di tempat itu. SPG SPG itu sangat ramah dan siap membantu Jennie kapan saja.

Lantai dua, Dev peruntuklan untuk kantor para stafnya. Transaksi jual beli biasanya dilakukan disini, para rekan kerja yang datang untuk melakukan deal deal biasanya dilakukan disini.

Lantai tiga adalah ruang kerja Dev, termasuk ruang beberapa sekretarisnya, serta ruang rapat dan presentasi.

Lantai empat adalah gudang. Semua produk kosmetik yang baru diproduksi yang dikirim dari Solo langsung disimpan di lantai empat.

Sementara lantai lima adalah cafetaria dan food court. Devano menyewakan lantai lima untuk para pebisnis makanan. Ada banyak makanan disana, mulai dari fast food sampai aneka makanan tradisional Indonesia ada di lantai lima. Rujak juga ada. Rujak uleknya terkenal sangat enak. Orang yang membeli rujak kalau sedang antri harus memakai nomor segala, seperti di rumah sakit atau bank, ambil nomor.

Dengan adanya tempat makan di lantai lima, memudahkan para karyawan Devano untuk makan siang.

Tapi karena tempat itu terbuka untuk umum, yang datang ke tempat itu bukan hanya karyawan di perusahaan kosmetik itu saja, tapi juga karyawan karyawan lain yang kantornya berdekatan dengan kantor Devano. Ada lift yang langsung menghubungkan lantai satu dengan lantai lima.

Dan Jennie, siang ini janji bertemu dengan Devano di salah satu cafe yang ada di lantai lima.

Jennie sebenarnya ingin melihat lihat parfum dulu di lantai bawah, tapi karena Devano sudah menunggunya, ia menunda membeli parfum. Ia akan membelinya setelah pertemuannya dengan Devano nanti selesai.

Devano nampak melambaikan tangannya ketika Jennie celingukan mencarinya.

Jennie langsung menghampiri Devano sambil tersenyum lebar.
“Apa kabar Sayang?” katanya sambil cipika cipiki dengan Devano.

“Baik tante, tante apa kabar?”

“Baik juga, alhamdulillah sehat.”

“Om sehat juga? Biyan? Erri?”

“Sehat, semua sehat, anak anak tante sehat semua.”

“Syukurlah.” Ujar Devano sambil tersenyum. “Duduklah tante, tante mau pesan apa?”

Mochacinno saja.”

“Makannya?”

“Tidak, tidak usah, tante sudah makan tadi.”

“Ya sudah, aku pesankan snack saja ya.”

“Oke Dev, terima kasih.”

“Ya, sama sama.” Dev berjalan ke seorang pelayan yang berlari tergopoh gopoh menghampirinya, lalu mengatakan pesanannya dan ia kembali ke arah sahabat ibunya dan duduk di hadapannya.

“Perasaan tambah ramai saja di sini.” Komentar Jennie saat Dev duduk dihadapannya.

“Jam makan siang seperti ini memang selalu ramai, tante. Sepertinya orang datang dari mana mana.”

“bukan, bukan itu, maksudku, yang jualannya tambah ramai, tambah beraneka ragam, masakan Jepang bahkan ada. Tante baru melihatnya, padahal sudah beberapa kali tante ke sini.”

“Ya, mereka, para penjual makanan itu, kreatif, selalu saja ada ide baru dari mereka, mereka sepertinya menjual semuanya disini.”

“Ya,” Jennie tertawa, “kau sering memesan makanan ke kantormu dan makan di kantormu atau makan disini?”

“disinilah tante, bosan di kantor melulu.”

“Tidak makan di tempat lain? Di Ancol misalnya? Makanan lautnya enak loh disana.”

Seafood disini juga ada, segar segar juga ikan dan kerangnya. Kata penjualnya sih langsung beli di Muara Karang tiap subuh.”

“O, ya?”

“Ya. Tante mau aku pesankan? Enak loh.”

“Tidak usah, lain kali saja.”

“Oke, jadi ada apa nih sebenarnya? Tidak biasanya tante mau ngobrol denganku seperti ini.”

“Bukan sesuatu yang serius juga, Dev, tapi kupikir tetap perlu dibicarakan.”

“Tentang?”

“Hubunganmu dengan Mona.”

Devano nampak termenung, lalu dia menatap Jennie heran, “Tante kenal Mona?”

“Tidak secara langsung, tante belum pernah bertemu dengan Mona, begini Dev, Mamamu tidak suka pada Mona karena…”

“Seingatku,” potong Devano langsung, “Mama tidak terlihat tidak suka saat pertama kali kukenalkan Mona padanya.”

“Itu karena mamamu belum tahu kalau mamanya Mona adalah musuh bebuyutan mamamu.”

“Musuh bebuyutan?” Devano kaget, tapi kemudian dia tertawa, “dan kapan itu?”

“Waktu SMA.”

“Ya Tuhan Tante, itu bertahun tahun yang lalu. Kalau bisa, dalam hidup ini kita tidak boleh punya musuh loh Tante.”

“Ya, tante setuju, tapi Mamamu sepertinya tidak bisa melupakan kejadian yang menyakitkan dalam hidupnya.”

“Kejadian yang menyakitkan? Mama terlihat baik baik saja selama ini.”

“Begini Dev, dulu, sebelum Mamamu menikah dengan papamu, Mamamu punya pacar, dia adalah sahabat masa kecilnya yang juga tetangganya, namanya Arman.”

“Sahabat masa kecilnya di Solo?” tanya Devano.

“Ya iyalah di Solo, masa di Papua. Mamamu kan tinggal di Solo dengan kakek dan nenekmu sejak kecil.”

“Oke, lalu?”

“Arman adalah seorang idola di sekolah. Ia selalu menjuarai olimpiade matematika yang diadakan sekolah atau kejuaraan kejuaraan lainnya yang diadakan antar sekolah. Ia juga salah satu pelari handal kebanggaan sekolah.”

“Wow, aku harus bilang wow.”

“Dev, serius ah.”

“Yang bilang bercanda siapa. Aku kagum padanya, makanya aku bilang wow.”

“Singkat cerita, banyak gadis gadis yang suka pada Arman, termasuk Mita, mamanya Mona.”

“O..ke, kupikir aku mulai mengerti kemana arah jalan ceritanya. Mama Mona kemudian merebut Om Arman dari Mama?”

“Anak pintar. Tepat sekali. Entah bagaimana caranya, Mita berhasil merebut Arman dari mamamu, lalu mamamu patah hati, dan menganggap Mita sebagai musuh besarnya hingga sekarang.”

“Tapi kan sekarang sudah ada aku, ada Dinda, Mama sudah menikah dengan Papa, masa sedihnya berkepanjangan?”

“Mungkin mamamu sudah tidak patah hati lagi sekarang, tapi..”

“Kalau begitu masalah terpecahkan,” potong Dev, “Mama tidak boleh menganggap Mama Mona sebagai musuhnya lagi kalau sudah tidak patah hati.”

“Tidak sesederhana itu Devano. Mamamu tetap tidak bisa menerima Mona sebagai pacarmu.”

“Tante, yang pacaran kan aku, bukan Mama.”

“Tante tahu, tapi cobalah untuk mengerti perasaan mamamu.”

“Jadi maksud Tante aku harus putus dengan Mona?”

“Sepertinya menurut mamamu itu yang terbaik.”

Dev nampak terdiam, “tapi itu tidak mungkin Tante, aku menyukai Mona dan lagi pula…”

“Lagi pula apa?” tanya Jennie.

“Pria yang bernama Arman itu dimana sekarang? Ayah Mona kan bule. Mama boleh marah kalau Mama Mona menikah dengan Om Arman lalu lahir Mona, tapi ayah Mona bukan Om Arman.”

“Ya, kau benar juga. Kau bicara saja dengan Mamamu oke? Tante sudah menyampaikan apa yang menurut tante harus tante bicarakan denganmu.”

“Ya, tante, terima kasih, nanti aku bicara dengan Mama.”

“Sama sama.”

“Tapi Tante, aku jadi penasaran dengan kehidupan Om Arman sekarang, Tante tahu dia dimana” tanya Dev.

“Tidak, tante tidak tahu dan memang tidak mau mencari tahu.”

“Kalau dengan Mama bagaimana? Menurut Tante Mama tahu dimana Om Arman sekarang?”

“Kurasa tidak juga. Setelah putus dengannya dulu, Mamamu tidak mau tahu lagi tentang keadaan dirinya. Kenapa sih kau bertanya tentang Arman?”

Dev tertawa, “penasaran saja.”

“Tanya saja pada ibu Mona, siapa tahu dia tahu.” Ujar Jennie.

“Ah ya! Tante benar, kapan kapan kalau aku ada kesempatan ngobrol dengan ibu Mona, akan aku tanyakan.”

~ ~ ~

POV Author

Jennie memperhatikan parfum parfum yang baru diborongnya dengan gembira. Ia sedang duduk di dalam mobil dengan disupiri supir pribadinya.

Ia baru meninggalkan kantor Devano setelah memborong parfum keluaran terbaru dari perusahaan Devano.

Ia akan membagikan parfum itu pada keluarga besarnya. Keponakan keponakannya, sahabat sahabatnya. Ia tak punya anak perempuan sehingga ia tak mungkin memberikan parfum itu pada anak laki lakinya. Perusahaan Devano belum mengeluarkan produk parfum untuk laki laki.

Tiap kali berbelanja, Jennie selalu mempunyai semangat yang lebih besar dari biasanya. Ia sangat antusias kalau sudah berbelanja. Ia berharap bisa cepat cepat punya menantu, sehingga bisa diajak berbelanja bareng. Ingat menantu, ia tiba tiba ingat Audrey. Sejak bicara dengan Devano ia belum menelepon Audrey. Sama seperti dirinya Audrey juga ingin cepat cepat punya menantu.

Jenniepun langsung menelepon sahabatnya dan menceritakan pembicaraannya dengan Devano termasuk reaksi Devano saat ia diminta untuk memutuskan hubungannya dengan Mona.
“Jadi Dev keberatan?” tanya Audrey.
“Ya, sepertinya begitu.”
“Dia lebih sayang orang lain dari mamanya sendiri!” teriak Audrey kesal.
“Drey, apa tidak sebaiknya kau berdamai saja dengan MIta dan…”
“Tidak, aku tidak bisa melakukan itu. Tindakan Mita dulu sudah menyakiti hatiku begitu dalam.”
“Tapi yang menyakiti hatimu bukan Mita saja, Arman juga. Kau tidak bisa menyalahkan Mita saja.”
“Tapi yang berpacaran dengan anakku bukan anak Arman, tapi anak Mita. Kalau Arman punya anak perempuan dan berpacaran dengan Dev, aku juga akan menentangnya.”
“Ya sudahlah, terserah kau saja. Dev nanti akan bicara denganmu. Tolonglah, kalian jangan bertengkar, oke?”
“Entahlah, lihat saja nanti.”
“Audrey, kumohon, mengertilah anakmu dan sayangi dia. Kejadian ini sudah bertahun tahun yang lalu dan..”
“Yang harus mengerti dan menyayangi Mamanya itu Dev, bukan sebaliknya!”
“Ya sudah, good luck kalau begitu.”
“Oke.”

~ ~ ~


BAB LIMA

POV Kiara

Aku memperhatikan Selly yang sibuk memasukkan barang barangnya ke dalam box dengan perasaan sedih. Aku masih tak percaya Selly akan pergi dari Bright Advertising yang sudah dibangunnya dengan susah payah.
Selly memutuskan menjual Bright Advertising pada salah satu rekan bisnisnya yang juga teman kuliahnya, dan akan pergi ke Gianyar, Bali dan menetap disana.
Semua aset perusahaan otomatis akan berpindah tangan ke pemilik yang baru, sementara untuk para karyawan, menurut Selly nanti akan ada penilaian kinerja, karena pemilik baru ingin ada efisiensi kerja sehingga perampingan karyawan perlu dilakukan. Jadi ada kemungkinan beberapa karwayan akan dipertahakan dan beberapa yang lainnya akan dipecat.
Aku pasrah saja kalau kelak sudah tidak diinginkan Bright Advertising lagi. Aku cukup punya pengalaman, aku akan mencoba mencari pekerjaan lain. Tapi yang membuat aku sedih adalah aku kehilangan Selly. Suasana di tempat kerja jelas berbeda tanpa kehadiran Selly.

Selly mempunyai masalah keluarga. Ayah dan ibunya baru saja bercerai. Ayahnya selingkuh dengan sekretarisnya sehingga ibunya meminta cerai.

Setelah proses cerai dilakukan, ibunya memutuskan untuk menetap di Gianyar, Bali. Ibu Selly punya villa di Gianyar, dan setelah bercerai, ibu Selly memutuskan untuk tinggal di villanya itu dan menetap disana. Selly akan ikut ke Gianyar untuk menemani ibunya.

“Kau seharusnya tidak harus menjual Bright Advertising,” ujarku pelan sambil memperhatikan Selly yang masih sibuk membereskan barang barangnya. “Kau bisa pulang pergi Bali Jakarta.”

“Sampai kapan Kiara?” tanya Selly memperhatikan aku sekilas, “lama lama aku akan merasa capek.”

“Kau sebenarnya tidak punya kewajiban untuk menemani ibumu Selly, kau sudah besar, kau bisa menentukan arah jalan hidupmu seperti apa. Kau bisa tetap tinggal di Jakarta.”

“O, ya?” seru Selly putus asa, “dan membiarkan ibuku depresi sendirian?”

Aku diam.

Selly lalu duduk di kursinya lagi, di hadapanku, “aku satu satunya anak yang ia punya Ki. Aku anak tunggal. Kalau aku punya adik, mungkin aku akan mengandalkan adikku untuk bergantian menjaga ibuku, tapi aku tak punya adik. Aku harus ada disamping ibuku, sampai depresinya hilang.”

“Lalu kenapa kau menjual perusahaan ini? Setelah ibumu baik baik saja, kau bisa kembali bekerja disini.”

“Aku pergi tidak tahu untuk berapa lama. Tidak ada kepastian untuk hal ini Kiara. Sementara perusahaan ini harus terus berjalan. Mengertilah. Ini yang terbaik.”

“Kau akan bekerja apa di Gianyar?” tanyaku kemudian, “tidak mungkin kan kau akan menemani ibumu seharian di rumah, kau pasti akan bosan.”

“Aku…” Selly tampak berpikir, “entahlah aku akan melakukan apa, aku pasti akan melakukan sesuatu, tapi dilakukan disana, di sekitar ibuku, aku tidak bisa jauh darinya.”

“Ya tentu,” sahutku, “aku lupa, kau punya banyak uang, tidak melakukan apapun kau tidak akan kekurangan.”

“Ki, jangan sinis begitu dong.”

“Maaf, aku hanya… merasa kehilangan. Kita membangun perusahaan ini sama sama Selly. Maksudku, saat kau mendirikan perusahaan ini, akupun baru lulus kuliah. Ini kantor pertamaku. Pengalaman pertamaku bekerja adalah di kantor ini.”

“Ya,” Selly tersenyum, “mudah mudahan kamupun betah bekerja dengan pemilik baru.”

“Apa dia orangnya menyenangkan seperti dirimu?” tanyaku.

“Aku tidak terlalu akrab dengannya. Dia teman kuliahku. Tapi dia seorang wanita yang mandiri dan pekerja keras dan sedikit ambisius.”

“Sudah berkeluarga?”

“Sudah, tapi belum punya anak. Ia dan suaminya sama sama pekerja keras.”

“Oh, begitu.” Sahutku pelan.

“Sudah, jangan bersedih terus. Bilang teman teman, malam ini kita akan makan sea food di Muara Karang sampai puas, aku yang traktir. Anggap saja sebagai perpisahan.”

“Perpisahan itu ke Bali, makan malam di pinggir pantai di Jimbaran, bukan ke Muara Karang,” sahutku pura pura kesal.

“Baik, tidak masalah, bilang teman teman, perpisahan kita ke Bali, aku yang traktir.”

“Serius?” teriakku tak percaya.

Selly mengangguk sambil tersenyum. Aku langsung berlari memeluknya untuk mengucapkan terima kasih.

~ ~ ~



POV Kiara

Aku menghirup udara kuat kuat saat menginjakkan kaki di pantai Geger. Pantai Geger terletak di Kecamatan Kuta Selatan, kabupaten Badung, Bali. Pantainya sangat indah. Banyak anak anak berenang dan bermain pasir di pantai ini.

Aku selalu suka Bali, dan pantai pantainya yang indah. Menurutku Bali sangat eksotik. Keindahan pemandangan di Bali benar benar luar biasa. Aku tak pernah bosan pergi ke Bali.

Sudah empat kali aku pergi ke Bali. Saat perpisahan SMA dulu, lalu pergi liburan dengan teman teman kuliahku. Pergi liburan dengan keluargaku dan sekarang, pergi dengan teman teman kerjaku dalam rangka perpisahan dengan Selly.

Selly memesan beberapa kamar cottage di pinggir pantai di Nusa Dua ini. Ada sekitar dua puluh orang yang ditraktir Selly pergi ke Bali. Karena ternyata tidak semua karyawan bisa ikut karena ada kepentingan dengan keluarga mereka.

Kamar kamar cottage itu sangat cantik. Selain tempat tidur, teras dan kamar mandi yang nyaman, juga dilengkapi dapur mungil, belum lagi teras yang dilengkapi kursi santai dengan bantal bantalnya yang empuk. Cottage ini sangat cocok untuk libura bersama keluarga. Tiap tiap cottage bisa muat untuk satu keluarga jika kita meminta tempat tidur ekstra. Tapi Selly membooking tiap cottage diisi oleh dua orang. Aku sekamar  dengan Della, resepsionis di kantorku.

Rencananya kepergian ke Bali ini dilakukan selama tiga hari dua malam. Kami tidak menggunakan jasa tour and travel sehingga semua acara kami susun sendiri.

Kami berencana mengunjungi beberapa tempat rekreasi seperti Bedugul, Tanah Lot, dan beberapa pasar tradisional untuk berbelanja.

Makan malam pertama kami akan masak sendiri, dengan cara mengadakan barbeque di pinggir pantai, tidak jauh dari tempat kami menginap.

Sementara makan malam kedua akan diadakan di pinggir pantai juga di Jimbaran.

Untuk menyiapkan makan malam hari ini, yaitu makan malam hari pertama, kami dibagi menjadi tiga tim, yaitu tim yang berbelanja, tim yang menyiapkan perlengkapan memasak, termasuk mempersiapkan alat bakar, piring dan gelas, dan lain lain, dan tim yang memasak.

Berdasarkan hasil undian yang dikocok, namaku keluar sebagai tim yang berbelanja bersama sama dengan Tara dan Wina.
Aku akhirnya menyanggupi untuk menyetir mobil yang kami sewa untuk berbelanja. Aku pernah berbelanja ikan segar dengan keluargaku dulu sehingga aku tahu tempatnya.

Aku berencana belanja ikan segar di pasar ikan Kedonganan, masih di wilayah Badung. Di pasar ikan ini dijual ikan segar dari para nelayan langsung.

Selain ikan segar, ada banyak kerang, cumi cumi, udang dan lobster juga yang dijual. Harganya pun bervariasi, untuk ikan segar sekitar 25 ribu rupiah per kilogramnya. Kerang 10 ribu rupiah per kilogram, udang 65 ribu rupiah per kilogramnya dan lobster 125 ribu rupiah perkilogramnya.

Sebenarnya kalau kita malas memasak ikan yang kita beli, ada jasa pengolahan ikan segar di pasar Kedonganan. Kita bisa meminta ikan yang kita beli untuk dimasak baik dengan cara dibakar, digoreng atau dimasak sesuai pesanan kita. Tapi karena kita akan memasak sendiri ikan ikannya, jadi tugas aku, Wina dan Tara hanya berbelanja saja.

~ ~ ~
POV Kiara

Acara barbeque malam ini berjalan sangat sukses. Teman temanku yang berada di Tim memasak tidak saja membakar ikan, kerang, udang, cumi cumi dan lobster, tapi juga membakar ayam dan sosis. Selain seafood ada juga lalapan, sayur dan nasi putih.

Sebagai pencuci mulut, buah buahan dan puding beserta flanya turut disediakan. Aku juga membantu menyiapkan minuman soft drink dan air putih.

Semuanya makan dengan lahap, kami makan sambil ngobrol, dan tertawa tawa ceria.

Di akhir acara makan malam, sebelum tidur, kami semua memberikan kado pada Selly untuk kenang kenangan, aku yang mengkoordinir teman teman untuk menyiapkan kado untuk Selly, tidak harus mahal kadonya, yang penting ikhlas memberikannya pada Selly.

Selly sampai menangis terharu menerima kado kado itu. Selly berharap pertemanan kami tidak berakhir sampai di sini, tapi kalau bisa terus berlanjut sampai tua nanti.

Aku benar benar sedih melepas Selly pergi. Malam ini, aku kehilangan seorang sahabat yang baik hati.

~ ~ ~


BAB ENAM

POV Kiara

Langit Jakarta siang ini nampak mendung, semendung hatiku. Sudah hampir dua bulan Selly pergi dan kini aku bekerja dengan bos baruku, ibu Dewi.

Selly dan ibu Dewi ternyata sangat berbeda 180 derajat. Selly orangnya pengertian dan sabar, sementara ibu Dewi orangnya pemarah dan tidak sabaran.

Setidaknya sudah ada lima orang temanku yang jadi korban pemecatan yang dilakukan oleh ibu Dewi. Ibu Dewi benar benar melakukan perampingan karyawan seperti rencana semula saat ia mengambil alih perusahaan Selly. Dan hal itu ia lakukan seminggu setelah ia memimpin Bright Advertising.

Aku pasrah dengan keadaan ini, rumor yang beredar sepertinya ibu Dewi tidak membutuhkan aku lagi. Ia, dua hari yang lalu baru memasukkan adik iparnya, Tami, sebagai salah satu karyawan baru di Bright Advertising dan ia meminta ruang kerjaku untuk dikosongkan, untuk diberikan pada adik iparnya itu.

Aku yang tadinya punya ruang kerja sendiri harus berbagi ruangan dengan Wina.

Ibu Dewi belum memecatku, tapi aku sudah siap menghadapi kondisi yang terburuk.

“Kau sebaiknya telepon Selly dan bilang kalau kau tidak punya ruang kerja sendiri lagi,” bisik Wina, saat aku asik memperhatikan langit yang mendung.

“Lalu kalau Selly tahu tentang hal ini akan merubah keadaan gitu?” tanyaku kesal. “Selly sudah tidak ada hubungannya lagi  dengan Bright Advertising Win, mengertilah.”

“Iya sih, tapi kau dulu salah satu karyawan kesayangannya dan…”

“Kondisi ini malah akan semakin membebani pikirannya Win, sudahlah, Selly sudah punya banyak masalah.”

“Tapi rasanya tidak adil Kiara, kau sudah bekerja bertahun tahun, tapi posisimu digeser begitu saja oleh anak kemarin sore yang baru lulus kuliah.”

“Suka suka ibu Dewi mau bertindak bagaimana, ini perusahaan miliknya, sudahlah Wina, aku tidak keberatan kok dengan hal ini, atau justru kamu yang keberatan berbagi ruangan denganku?”

“Tidak, tidak masalah Kiara, sungguh.”

“Ya sudah kalau begitu”.

Perbincanganku dengan Wina terhenti saat Della masuk ke ruang kerja kami.

“Mbak Wina, disuruh ikut rapat oleh Ibu Dewi,” ujar Della.

“Sekarang?” tanya Wina.

“Setengah jam lagi sih, tapi sebaiknya tidak terlambat.”

“Oke, Kiara ikut rapat?” tanya Wina lagi.

“Tidak, Mbak Wina saja yang tadi disuruh ikut, sama Mbak Tami juga.”

Wina langsung memperhatikan aku dengan perasaan tak enak, tapi aku tersenyum menatapnya.

“Sudah, santai saja, aku tidak apa apa kok.” Komentarku.

“Aku akan sangat sedih kalau kamu harus pergi dari tempat ini,” mata Wina tiba tiba berkaca kaca, “tapi mudah mudahan itu tidak terjadi.” Lanjut Wina lagi.

“Mudah mudahan.” Sahutku, “Sudahlah, aku baik baik saja kok.”

Tapi aku tidak yakin, apakah aku akan baik baik saja seperti yang aku katakan pada Wina.

~ ~ ~

POV kiara

Aku membereskan gelas gelas yang kotor dengan perasaan sedih. Sekarang aku sedang berada di cafe Mas Bima untuk bekerja part time. Aku melakukannya setiap hari Sabtu dan Minggu.

Dulu, sebelum kerja di Bright Advertising aku melakukannya setiap hari. Aku bahkan bekerja di cafe Mas Bima sejak aku kuliah.

Aku kuliah pagi, dan aku bekerja sepulang kuliah hingga malam hari.

Ketika aku diterima bekerja di Bright Advertising, Mas Bima menyarankan agar aku berhenti saja bekerja di cafenya, tapi aku tak mau, aku memutuskan untuk tetap bekerja walau hanya di akhir pekan.

Sepertinya, untuk sementara waktu aku harus bekerja full time lagi di tempat Mas Bima sebelum aku mendapat pekerjaan baru, renungku sambil meletakkan gelas gelas kotor ke tempat cuci piring.

Ibu Dewi ternyata benar benar menggeser posisiku untuk Tami, adik iparnya. Ia tidak memecatku, tapi ia menawariku untuk menjadi asisten Mas Radit, cameraman di bagian produksi karena posisi untuk asisten cameraman sedang kosong. Menurut ibu Dewi itu hanya untuk sementara waktu sampai ia berhasil mencari asisten untuk Mas Radit.

Aku hanya bisa bengong mendengar itu, seingat aku, asisten Mas Radit selama ini laki laki. Dan tentu saja harus laki laki karena ia harus mengangkat angkat camera yang cukup berat dan peralatan lainnya.

Aku tidak menolak atau tidak mengiyakan tawaran ibu Dewi, tapi aku memutuskan, kalau memang Bright Advertising sudah tidak menginginkan aku lagi, lebih baik aku pergi dari sana.

“Mas Bim,” ujarku saat kulihat Mas Bima duduk di samping Mas Andra yang seperti biasa, asik dengan laptopnya. Mas Egi sedang tidak datang ke cafe malam ini.

Aku berjalan menghampiri Mas Bima dan Mas Andra dan duduk di hadapan mereka.

“Ya, Ki, kenapa?”

“Apakah tawaran Mas Bim dulu tentang kamar yang ada di atas cafe ini masih berlaku?”

“Itu gudang, bukan kamar!” Celutuk Mas Andra sambil matanya tak lepas dari monitor laptopnya. “Kotor begitu kok disebut kamar!”

“Kan nanti bisa dibersihkan!” protes Mas Bima.

“Yaelah, butuh berapa hari bersihinnya, debunya tebal benar!”

“Nggak apa apa kok,” sahutku cepat, “kalau Mas Bim mengijinkan aku tinggal disana, akan aku bersihkan.”

“Tentu saja aku mengijinkan, serius kau mau pindah kesana?” tanya Mas Bima.

“Iya,” aku mengangguk, “seperti Mas Bim bilang, aku bisa hemat, aku bisa menabung uang kosku.”

“Tinggal di rumahku saja Ki,” tawar Mas Andra mengagetkan. “Dirumahku ada empat kamar tidur, dua kamar di lantai bawah dan dua kamar di lantai atas. Kamarku ada di lantai bawah, begitu juga dengan kamar adikku, Dilan. Orangtuaku ada di kampung. Ruangan di lantai atas bersih kok, tidak seperti disana!” tunjuk Mas Andra ke arah atap cafe.

“Kamu mau cari mati Dra?” teriak Mas Bima langsung, “Kamu pikir aku mengijinkan Kiki tinggal disana dengan orang seperti kamu?”

“Yaelah, lu lebay banget sih Bim. Apa yang ditakutin coba, gue cowok baik baik.”

“Aku tak percaya,” ujar Mas Bima.

“Ada Bi Inah, Bima, tiap hari Bi Inah datang ke rumah untuk masak, nyuci, bersih-bersih,”

“Tiap hari datang, tapi tidak menginap? Kiara malam malam sendiri gitu dengan dua serigala seperti kalian?”

“Dua serigala mah penyanyi dangdut,” komentar Mas Andra lagi.

“Duo! Itu DUO SERIGALA!” teriakku. “Bukan Dua!”

Aku cukup terkejut dengan tawaran Mas Andra. Mas Andra rada rada. Apa kata Yola coba kalau aku tinggal di rumahnya? Mau terjadi perang dunia ketiga?

“Ehm, begini,” ujarku akhirnya, “pertama tama aku ucapkan terima kasih yang sebesar besarnya atas tawaran Mas Andra. Aku tak menyangka kalau Mas Andra baik hati, tidak sombong lagipula pintar. Kedua, aku tetap memutuskan untuk tinggal di atap sana.”

“Memang kau punya waktu untuk membersihkan?” tanya Mas Andra.

“Akan kuusahakan,” aku tersenyum. “Terima kasih ya Mas Bim sudah mengijinkan aku tinggal disini.”

“Tentu, tidak masalah. Kapan kau mau pindah?” sahut Mas Bima.

“Secepatnya.” Ujarku.

Aku benar benar merasa gembira karena salah satu masalahku sudah terpecahkan. Setidaknya kalau aku benar benar tidak bekerja lagi di Bright Advertising aku tidak harus pusing dengan uang kos.

~ ~ ~

POV Kiara

Aku menaruh kotak yang berisi kosmetikku di sudut kamar. Itu adalah kotak terakhir yang aku angkut ke dalam kamar baruku.

Kamar baruku yang terletak di atas cafe Mas Bima mempunyai empat jendela besar di setiap sisinya dengan teralis yang rapat.

Aku saat ini membuka keempat jendela besar itu agar sirkulasi udara berjalan baik.

Tanpa aku duga, Mas Andra ternyata mau membantuku membersihkan kamar ini.

Butuh tiga hari bagi kami berdua untuk membersihkan kamar ini, menyapu, menggosok,  mengepel lantai dan membersihkan dinding lalu butuh tiga hari lagi untuk mengecat semua dindingnya.

Setelah itu, Mas Andra masih membantu aku pindah. Tidak banyak yang aku bawa dari tempat kosku karena tempat kosku sudah menyediakan lemari dan tempat tidur. Jadi aku tinggal membawa bajuku saja dan peralatan lainnya seperti gelas, piring, sendok dan alat masak lainnya karena aku terbiasa masak sendiri.

Mas Andra membantu aku pindah dengan meminjam mobil Dilan, adiknya. Ia menjemput aku ke tempat kosku di daerah Salemba, lalu ikut membantuku packing barang barangku. Ia bahkan mengajak aku makan siang dulu di Atrium Senen, dan ketika sampai di cafe Mas Bima, ia membantuku membawakan barang barangku ke kamar baruku.

Sekarang kamarku terlihat bersih dan wangi, besok besok ketika aku ada waktu luang untuk berbelanja, aku akan membeli kasur dan lemari.

Saat ini, aku tidur diatas dua bedcover yang aku tumpuk jadi satu.

~ ~ ~

POV Kiara

Sinar matahari menerobos masuk ke kamarku membuat kamarku menjadi terang benderang. Aku belum membeli tirai sehingga cahaya matahari dengan leluasa masuk.

Tapi aku tak perlu khawatir, tidak ada yang bisa mengintip aku ke dalam kamar, karena di sekeliling kamarku adalah tembok yang tinggi, ada sebuah teras yang cukup luas di luar kamarku, tapi untuk mencapai teras itu orang orang harus menaiki tangga dulu, setelah melewati tangga masih dibatasi oleh pagar besi yang aku kunci. Jadi aku benar benar aman disini.

Aku langsung bangun dari tidurku dan pergi ke kamar mandi yang juga ada dikamar ini.

Dulu, kamar ini adalah sebuah kantor advokat. Kantor itu terdiri dari satu lantai, yaitu lantai atas ini, sementara lantai bawah digunakan untuk garasi. Disekitar kantor advokat tersebut terdapat halaman yang sangat luas, baik disisi kiri ataupun di bagian belakang.

Di sisi kiri adalah parkir yang cukup luas sementara di belakang adalah taman bunga.

Ketika Mas Bima membeli tempat ini, ia menjadikan lantai bawah, yang dulunya adalah garasi menjadi cafe, sementara lantai atas ia jadikan sebagai tempat tinggal ia dan isterinya, Mbak Venita.

Mereka tinggal sementara di lantai atas karena mereka saat itu sedang membangun rumah di taman bunga yang ada di belakang cafe.

Untuk tempat parkir, Mas Bima membiarkan tempat parkir itu dan tidak merenovasinya. Tempat parkir itu kini digunakan untuk parkir mobil atau motor para pelanggan cafe yang datang.

Setelah rumahnya selesai dibangun, Mas Bima dan Mbak Venita pindah ke rumah mereka, sementara tempat tinggal mereka dilantai atas cafe dibiarkan kosong.

Tadinya Mas Bima akan memperbesar cafenya hingga ke lantai atas, tapi entah kenapa, hal itu belum dilakukannya juga. Tapi sejauh ini cafe yang ada di lantai bawah bisa menampung para pelanggan yang datang karena cukup luas.

Mas Bima membatasi cafe dan rumahnya dengan pagar tanaman. Ada jalan setapak untuk menuju rumahnya.

Selesai mandi, aku langsung menyeduh oatmeal. Jika tidak sedang rajin bikin sarapan seperti bikin nasi goreng dan orak arik telur, aku biasanya sarapan yang praktis praktis saja seperti minum oatmeal yang terbuat dari gandum. Itu cukup menahan rasa laparku sampai jam makan siang nanti.

Hari Minggu pagi seperti ini aku agak santai, cafe baru buka jam sebelas nanti sehingga aku punya waktu untuk santai.

Sedang asik asiknya aku minum oatmeal, suara Mas Andra tiba tiba terdengar dari bawah.

Room Service!” teriaknya.

Aku tertawa, aku merasa tak percaya kalau pagi pagi begini Mas Andra membawakan aku sarapan.

Aku segera berlari membuka pintu kamar, lalu membuka kunci pintu pagar dan terkejut ketika melihat dua orang tukang sedang mengangkut sebuah sofa kulit ke atas.

“Itu apa?” tanyaku kaget.

“Tempat tidurmu.” Ujar Mas Andra sambil tersenyum lebar. “Itu sofa yang bisa dijadikan tempat tidur.”

“Ya Tuhan, Mas Andra, tidak usah repot repot seperti itu.”

“Tidak repot kok, ayo Pak, taruh di atas ya,” ujar Mas Andra  kepada dua tukang itu.

“Iya, Pak, ini saya lagi naik ke atas, ya pasti ditaruh di atas,” komentar tukang itu.

Mas Andra langsung tertawa, “Kiara, jangan bengong di pintu dong, biarkan bapak bapak ini masuk.”

“Panggil saya Mas, saya belum bapak bapak, saya belum menikah,” komentar tukang itu lagi.

Mas Andra langsung menepuk jidatnya. “Iya, Mas.” Ujarnya langsung. “Maap ya Mas.”

“Iya tidak apa apa. Saya maafkan.”

Aku memperhatikan para tukang itu meletakkan sofa itu di sudut kamarku, lalu mereka pamit pergi pada Mas Andra, dan Mas Andrapun mengucapkan terima kasih pada mereka.

“Pagi pagi ada toko sofa yang buka?” tanyaku heran pada Mas Andra setelah kedua tukang itu pergi dengan mobil pick up mereka.

“Aku belinya semalam, tapi minta diantar pagi ini.”

“Aku akan membayar sofa itu,” ujarku.

“Tidak usah, ini hadiah untukmu.”

“Hadiah?” tanyaku, “aku tidak sedang berulang tahun, untuk apa aku dapat hadiah?”

“Hadiah bisa diberikan kapan saja tanpa harus menunggu seseorang berulang tahun. Lama dong kalau kita mau memberi hadiah pada seseorang saat dia berulang tahun, bisa menunggu selama setahun.“

“Oh, begitu”

“Ya.”

“Serius ini untukku?”

“Serius.”

“Aku tidak tahu harus bilang apa.”

“Bilang terima kasih sudah cukup.”

“Itu pasti, aku sangat berterima kasih, tapi kupikir ini terlalu berlebihan.”

“Aku malah akan merasa tersinggung kalau kau menolaknya Ki. Kau memerlukan sofa ini. Jadi jangan punya banyak alasan untuk menolaknya. Rejeki nggak boleh ditolak loh. Nanti susah lagi datangnya.”

“Baiklah kalau begitu,” aku tersenyum lebar, “sekali lagi terima kasih.”

“Sama sama”.

~ ~ ~

POV Kiara

Suasana di food court Plaza Semanggi Jumat malam ini cukup ramai. Aku dan Wina sedang makan malam di sana. Aku memilih makan soto ayam sementara Wina makan masakan Korea.

“Kau hebat,” Wina tersenyum menatapku.

“Hebat kenapa?” tanyaku.

“Kupikir kau akan mengundurkan diri dari Bright Advertising tapi kau benar benar mengambil posisi asisten cameraman. Kau wanita yang tangguh Kiara. Aku salut padamu.”

Yeah, selama gajiku tidak dikurangi, aku akan bertahan.” Ujarku sambil tertawa, “dan not badlah bekerja dengan Mas Radit. Aku jadi tahu banyak tentang pekerjaan di lapangan seperti apa. Selama ini aku hanya bikin naskah iklan tanpa tahu realisasi di lapangannya seperti apa, dan sekarang aku jadi tahu.”

“Ya, tapi mengangkat camera itu berat, Ki. Kaupun harus berhati hati karena camera itu sangat mahal. Kalau camera itu rusak, kau bisa kena potong gaji untuk menggantinya, seperti asisten Mas Radit sebelumnya, kau ingat?”

“Ya, aku ingat. Tapi jangan khawatir. Aku akan berhati hati.” Komentarku.

“Kenapa sih kau tidak mencari pekerjaan lain saja untuk posisi yang sama Ki? Ada banyak perusahaan iklan di Jakarta sini, atau mungkin kau pulang ke Yogya saja ke rumah orangtuamu dan bekerja disana, kau tidak harus kos dan...”

“Itu tidak masalah Wina,” potongku. “Aku kebetulan tipe orang yang susah untuk beradaptasi dengan tempat baru, suasana baru, orang orang baru. Jadi aku malas cari kerja di tempat baru.”

“Tapi mau sampai kapan kau seperti ini?”

“Mana aku tahu! Terserah Ibu Dewi sampai kapan! Dia bilang sih sampai ia berhasil mendapatkan asisten Mas Radit.”

“Tapi Ibu Dewi sepertinya tidak membuka lowongan apapun.”

“Ya, sepertinya begitu.”

“Selly akan menangis kalau tahu kau diperlakukan begini Kiara. Kau adalah salah satu karyawan yang sangat disayangi Selly.”

“Tolong jangan mengabari Selly apapun Win, aku akan baik baik saja, aku akan bertahan.”

“Ya, sudah kalau begitu. Ngomong ngomong aku sedang kesal dengan Tami.”

“Memang kenapa dengan dia?”

“Dia tidak seperti dirimu. Dia tidak punya banyak ide yang brilyan. Idenya standar. Itu itu saja, mudah ditebak, klise, ketika kita dapat job bikin naskah untuk iklan kopi, ide yang dia kasih, sebagian besar sudah ada di iklan kebanyakan.”

“Kan ada kamu Wina, itulah fungsinya team work, kerja tim. Saling support satu sama lain.”

“Ya, tapi mau sampai kapan kalau idenya dari aku terus? Dia makan gaji buta dong? Sok bekerja sama tapi pada kenyataannya aku bekerja sendirian.”

“Aku tidak tahu harus ngomog apa,” komentarku melihat kekesalan Wina.

“Lama lama aku yang keluar juga deh dari sana!” keluh Wina.

“Jangan! Enak saja! Nanti adikmu bagaimana? Kau bilang kau membantu orangtuamu dengan membiayai kuliah adikmu di Jakarta sini.”

“Iya juga sih.”

“Sudahlah, sebaiknya kita tidak usah bicara soal pekerjaan. Kita harus bergembira malam ini, karena selain besok libur, besok juga kita gajian.”

Wina tertawa, “Yup, besok adalah akhir pekan. Aku bisa bersantai, kamu tidak, karena kamu harus bekerja di cafe. Apa kau tak jenuh dengan hidupmu Ki? Tiap akhir pekan kau bekerja, bukannya piknik.”

“Tidak, aku tidak bosan, aku menyukainya. Tapi kupikir piknik juga perlu sesekali. Mungkin minggu depan aku akan ke bandung, ke Cihideung.”

“Ngapain ke sana?” tanya Wina heran.

“Nyari bunga. Aku ingin memenuhi teras di depan kamarku dengan bunga gantung biar adem danterlihat cantik.”

“Wah, sepertinya menyenangkan.”

“Kau mau ikut?” tanyaku.

“Entahlah. Aku tidak tahu apa aku punya kegiatan atau tidak minggu depan.”

“Kalau tidak ada kegiatan, hubungi aku ya, nanti aku jemput.”

“Oke, tidak masalah.”

“Bagus kalau begitu,” aku tersenyum senang.

Aku tak sabar untuk segera memcari dan membeli bunga bunga itu.

Ide mencari bunga ini datangnya dari Mas Andra saat dia duduk di teras di depan kamarku dan merasa kepanasan karena sinar matahari yang menyengat.

Dia bilang kalau sinar matahari dihalangi oleh bunga hias yang digantung secara berjejer pasti akan terasa sejuk.

Aku setuju dengan ide itu dan berniat untuk pergi ke Meruya untuk mencari tanaman hias. Tapi Mas Andra mengusulkan untuk mencarinya di Cihideung saja karena sentra tanaman hias yang besar salah satunya ada di Cihideung. Aku setuju sehingga aku dan Mas Andra sepakat untuk pergi ke Bandung minggu depan.. Dan karena tadi aku sudah menawari Wina untuk ikut, kupikir Mas Andra tidak akan keberatan kalau Wina juga ikut.

~ ~ ~

POV Kiara

Pulang makan malam, Wina mengantarku dengan motornya. Wina kalau pergi kemana mana selalu membawa helm ekstra sehingga aku bisa nebeng Wina pulang malam ini.

Helm itu sebenarnya helm Adelia, adik Wina yang masih kuliah. Sebelum berangkat kerja, Wina menyempatkan mengantar Adelia ke tempat kuliahnya, setelah itu Wina pergi ke tempat kerja.

Tadinya aku menolak diantar Wina, aku terbiasa menggunakan Trans Jakarta kalau pulang dan pergi bekerja, tapi Wina memaksa sehingga aku tak bisa menolak.

Sampai di cafe Mas Bima aku menawari Wina untuk minum dulu, tapi Wina tidak mau, dia bilang dia ingin cepat cepat tidur karena sudah mengantuk. Aku akhirnya mengucapkan terima kasih pada Wina dan berpesan agar Wina mengendarai motornya hati hati.

Wina mengangguk sambil melambaikan tangannya padaku. Aku memperhatikan Wina pergi dan berjalan ke arah tangga yang menuju kamarku saat Wina sudah hilang dan pandanganku.

Aku berniat untuk istirahat sebentar lalu membantu Mas Bima di cafenya.

Walau Mas Bima tidak meminta, tapi kadang bantuanku diperlukan. Karyawan Mas Bima ada lima orang tapi tiap hari Jumat, Sabtu dan Minggu cafe biasanya lebih ramai dari biasanya sehingga semua orang sibuk.

Baru saja aku mau berjalan ke arah tangga, Yola tiba tiba mencegat langkahku.

“Yola, apa kabar?” tanyaku kaget, karena rasanya sudah berabad abad lamanya aku tidak bertemu dengannya.

“Kabar baik,” ujar Yola, “kudengar kau tinggal di atas sekarang?” tunjuk Yola ke arah kamarku.

“Ya,” tawaku, “untuk menghemat pengeluaran.”

“Boleh aku melihat kamarmu?”

“Tentu, ayo,” ujarku sambil menaiki tangga.

Yola mengikuti langkahku tanpa banyak bicara.

Setelah pintu kamar aku buka dan aku menyalakan lampu, Yola memperhatikan suasana kamar dengan seksama.

“Kamarnya indah, rapi, bersih, kurasa akupun akan betah tinggal di sini.”

“Apartemenmu pasti jauh lebih mengasikan dari tempat ini.” Komentarku.

Sejak memiliki distro sendiri, Yola tinggal di apartemen yang letaknya bersebrangan dengan distronya di Kemang, sehingga Yola hanya perlu berjalan kaki ke tempat kerjanya. Namun begitu, Mas Andra tetap membekali Yola mobil cantik untuk memperlancar pekerjaan Yola. Sekarang kemana mana Yola menggunakan mobil itu.

“Yah, apartemenku asik sih, tapi disini suasananya lebih hijau dari disana.”

“Ya, itu karena di sekeliling rumah ini banyak kebun.”

“Ya, tentu,” Yola akhirnya duduk disampingku.

Aku menyempatkan diri membeli beberapa kursi plastik untuk tamu yang berkunjung ke tempatku.

Tapi sejauh ini, hanya Yola tamu yang baru berkunjung. Mas Andra pernah datang ke sini, tapi ia memilih duduk di teras daripada masuk ke ruang tamu kecilku.

Kamar tidurku aku sekat dengan dua buah penyekat ruangan yang besar sehingga Yola tidak bisa melihat sofa yang dibelikan Mas Andra untukku.

“Mau minum apa?” aku akhirnya menawari Yola minum setelah kami terdiam beberapa saat “aku tidak punya banyak minuman, tapi kalau kau mau, akan aku bikinkan teh manis hangat.”

“Tidak usah repot Ki, aku kesini sebenarnya ingin bicara tentang suatu hal.”

“O, ya, apa itu?”

“Ini tentang Mas Andra.”

“Mas Andra?” tanyaku heran, “ada apa dengan Mas Andra?”

Yola nampak menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya pelan pelan, “aku dengar Mas Andra dekat denganmu akhir akhir ini.”

“Oh itu, Yola, please jangan salah paham, kami tidak..”

“Sebentar, jangan potong dulu pembicaraanku.”

“Oke.” Sahutku.

“Kalau kau berpikir aku mendapatkan kabar kedekatanmu dengan Mas Andra dari Mas Bima atau Mas Egi, kau salah. Kamu tahu mereka, mereka selalu setia antara satu dengan yang lainnya, dan selalu menutupi perbuatan sahabat mereka walau perbuatan sahabat mereka itu tidak bisa dibenarkan.”

“Tapi aku dan Mas Andra tidak…”

“Mas Bima punya beberapa karyawan, bukan kau saja, dan salah satu dari mereka yang memberitahu aku kalau Mas Andra yang membantumu membersihkan tempat ini, membantumu pindah, dan membelikan kau sofa?”

“Yola, I.. itu.. aku tidak memintanya, dia yang…”

“Tentu saja kau tidak memintanya, Mas Andra itu orangnya baik sekali, dia akan memberikan apa saja pada orang yang ingin dia beri sesuatu. Tapi kau bisa menolaknya kan?”

“Sudah, aku sudah menolak, tapi…”

“Tapi apa?”

“Mas Andra bilang rejeki tidak boleh ditolak dan…”

“Dimana sofa sialan itu?” Yola tiba tiba berdiri dari duduknya dan pergi ke arah ruang tidurku. Aku segera menyusulnya.

“Yola aku minta maaf, aku tidak bermaksud..”

“Oh, jadi ini,” Yola tak menggubris kata kataku. “Cantik sekali sofanya, kau pasti betah tidur disana.”

“Yola,”

“Setidaknya sofa cantik ini berharga tigapuluh juta.”

Aku ternganga. Semahal itu?

“Kau bisa mengambil sofa itu kalau kau mau,” ujarku cepat.

“O, ya?” Yola tertawa. “Dan apa kata Mas Andra nanti kalau aku melakukan itu? Jangan khawatir Kiara, aku hanya ingin memastikan apakah berita yang aku dengar tentang sofa itu benar dan ternyata memang benar.” Yola terdiam sejenak.
“Begini, aku punya banyak barang seperti itu di apartemenku, jadi ya, ini bukan hal besar untukku, aku hanya ingin bilang padamu agar kau menjauhi Mas Andra sejak sekarang dan  jangan menerima apapun pemberian darinya lagi, oke?”

“Akan aku usahakan Yola, tapi kau harus mengerti bahwa perasaanku pada Mas Andra tidak seperti dulu lagi, sudah berbeda sekarang. Aku tidak menaruh hati lagi padanya.”

“Perasaanmu tidak penting, aku tak perduli dengan perasaanmu.” Ujar Yola sinis. “Kau harusnya sadar posisimu ada dimana Kiara, sekarang kalau kau ada diposisiku, apakah kau mau pacar yang sangat kau sayangi di dunia ini dekat dengan wanita lain? Apakah kau akan membiarkan pacar yang sangat kau sayangi di dunia ini memberikan sofa seharga tigapuluh juta rupiah pada wanita lain?”

“Kau tidak bisa menyalahkan aku,” protesku, “seharusnya kau mengatakan keberatanmu pada Mas Andra, bukan padaku. Aku hanya menganggap dia teman, tidak lebih.”

“Ya, ya, terserah kau mau bilang apa. Tentu saja kau akan membela diri.” Yola berjalan lagi ke ruang tamu kecilku dan mengambil tasnya yang tadi ia letakkan di kursi. “Aku akan sangat kecewa padamu kalau kau menerima lagi pemberian Mas Andra kalau ia membelikan lagi kau sesuatu.”

Yola lalu keluar dari kamarku dan membanting pintu.

~ ~ ~

POV Kiara

Astagfirullah Kiara, ini masih jam empat subuh!” Teriak Wina saat membukakan pintu untukku. “Haruskah kita pergi ke Bandung jam empat subuh? Aku masih ngantuk.”

“Harus,” aku masuk ke kamar kos Wina sambil merapatkan jaketku. Udara benar benar sedang dingin dini hari ini, sementara ac di mobil yang aku sewa juga sangat dingin walau sudah kukecilkan.

“Siapa itu Ka?” Adelia yang tidur di kamar yang sama dengan Wina bertanya pada Wina dengan suara mengantuk. Wina dan Adelia menyewa satu kamar kos untuk mereka tempati berdua.

“Itu Kiara, teman kerja kakak, kau masih ingat Kiara kan? Kakak pernah memperkenalkan dia padamu dulu.”

“Oh.” Adelia menguap dan tampak hendak melanjutkan tidurnya lagi.

“Kau punya kegiatan hari ini Del?” tanyaku sambil duduk di pinggir tempat tidur.

“Tidak Kak, kenapa?” tanya Adel.

“Kau ikut juga ke Bandung yuk. Kita jalan jalan hari ini.”

“Naik apa?”

“Aku nyewa mobil. Ayo cepat bangun, nanti kau lanjutkan tidurmu di mobil.”

“Kak Wina memperbolehkan tidak?” tanya Adelia pada Wina.

“Kak Kiara mengajak kamu, bagi kakak tidak masalah.”

“Ya, sudah aku siap siap dulu.” Adelia akhirnya bangun dari tidurnya, mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi.

“Tentu,” sahutku senang, “tenang saja Del, nanti kita mampir ke suatu tempat untuk sarapan.”

“Iya Kak, makasih.” Teriak Adelia sebelum masuk ke kamar mandi.

“Haruskah kita berangkat pagi pagi Ki?” Wina bertanya hal yang sama lagi padaku. Ia duduk di atas tempat tidur dengan mata mengantuk.

“Ya, harus, biar cepat sampai, jalanan kan sepi kalau subuh begini, ayo cepatlah, kau juga nanti bisa tidur lagi di mobil.”

“Ya sudah kalau begitu, nanti aku ke kamar mandi setelah Adel selesai.”

“Oke.”

Sambil menunggu Adelian dan Wina bersiap siap, aku berusaha menenangkan diriku yang gelisah.

Aku pergi terburu buru seperti ini untuk menghindari Mas Andra yang akan menjemputku jam enam pagi nanti.

Rencana sebelumnya adalah Mas Andra yang akan mengantar aku ke Bandung. Tapi rencana itu dibuat sebelum Yola datang menemuiku dan marah marah padaku.

Akhirnya aku memutuskan pergi sendiri tanpa Mas Andra. Semalam aku menyewa mobil dan memarkirnya di parkiran cafe Mas Bima. Lalu dini hari tadi aku pergi dengan mobil sewaanku untuk menjemput Wina. Kebetulan Wina tidak ada acara dan mau ikut denganku ke Bandung.

Aku tidak menelepon Mas Andra untuk memberitahu bahwa aku memutuskan untuk pergi sendiri saja. Aku takut Mas Andra marah, jadi aku kabur darinya.

~ ~ ~

POV Kiara

Aku menyetir dengan tenang. Kecepatan kendaraanku hanya 60 km per jam. AKu tidak mau terburu buru, prinsip hidupku adalah biar lambat asal selamat.

Wina tampak tertidur pulas disampingku, begitupun dengan Adelia yang duduk di kursi belakang. Kami tadi sempat sarapan donat dan minum kopi di salah satu cafe yang buka 24 jam.

Aku terbiasa pergi menyetir jarak jauh seperti ini. Waktu pergi liburan ke Bali dulu, aku gantian dengan ayahku menyetir mobil dari Yogya hingga Bali dengan menggunakan mobil tua milik ayah.

Di keluargaku, hanya aku dan ayah yang bisa menyetir mobil. Kakak dan adikku tidak mau belajar, menurut mereka, mereka malu belajar mengendarai mobil dengan menggunakan mobil ayah yang jelek.

Kalau aku sih tak melihat bagus tidaknya mobil ayah, yang penting manfaat yang aku dapatkan. Dan benar saja, saat ibuku ada keperluan seperti berbelanja atau apa, aku yang sering mengantar ibu pergi.

Sedang asik asiknya mendengarkan lagu Alan Walker dan teman-temannya, on my way, HPku tiba tiba bunyi. Aku menerima panggilan dengan menggunakan earphone.

Demi Tuhan Kiara! Kau dimana?” teriak Mas Andra, “kau tidak ada dikamarmu, kau lupa dengan janji kita?”

“Maaf Mas, aku sudah dalam perjalanan ke Bandung, aku sudah di tol Cipularang sekarang.”

“Kau apa?!”

‘Masalahnya, aku tidak mau merepotkan Mas Andra.” Ujarku membela diri.

“Aku tidak merasa direpotkan. Sebenarnya ada apa Ki?”

Setelah menimbang nimbang selama beberapa saat akhirnya aku bilang pada Mas Andra kalau Yola keberatan aku dekat dengannya.

“Jadi begitu?” tanya Mas Andra setelah mendengar ceritaku.

“Ya.”

“Sekarang begini saja, rest area terdekat yang akan kau lewati dimana?”

“Km 54”

“Ok, kau sekarang pergi ke sana, parkir mobilmu, kau sarapan dulu atau..”

“Aku sudah sarapan,” potongku.

“Kalau begitu ngopi dulu, ngopi.”

“Aku juga sudah ngopi tadi.”

“Ya, terserahlah kau mau apa, pokoknya tunggu disana sampai aku datang, oke?”

“Mas Andra mau datang menyusulku?” seruku kaget.

“Ya, tentu, enak saja acaraku berantakan. Aku sudah menyisihkan waktu hari ini untuk refreshing sebelum sibuk bekerja lagi.”

“Mungkin sebaiknya Mas Andra tidak usaha kesini.” Saranku.

“Mungkin sebaiknya, kalau kamu mau membatalkan janji denganku kau meneleponku.”

“Maaf.”

“Ya sudah, pokoknya jangan kemana kemana sampai aku datang.”

“oke.”

Aku akhirnya masuk ke rest area. Aku membangunkan Wina dan Adelia apakah mereka mau minum kopi lagi. Mereka menolak dan melanjutkan tidur, aku akhirnya membiarkan mobil tetap menyala agar Wina dan Adelia tidak kepanasan. Aku menyalakan ac tidak terlalu besar. Aku lalu pergi ke salah satu cafe yang buka dan menunggu Mas Andra disana.

Mas Andra datang dengan menggunakan mobil Dilan. Dilan ikut di mobil itu bersama dengan dua orang temannya.

Mas Andra lalu memperkenalkan Dilan dan teman temannya padaku.

Setelah berkenalan denganku, Dilan langsung pamit pada kakaknya .

Bro, aku pergi dulu bro, have fun bro!”
“Oke bro, thanks bro! Have fun juga!” ujar Mas Andra pada Dilan. “Hati hati menyetir, jangan ugal ugalan. Adik gue cuma elu, nggak ada serepnya. Nggak asik kalau elu mati muda karena kecelakaan.”

Yoi bro, don’t worry bro.” Seru Dilan sambil melambaikan tangan, “I’ll be carefull. See you di Jakarta bro! Senang berbisnis denganmu, bro.”

Mas Andra cuma tertawa dan membalas lambaian tangan Dilan.

“Bisnis apa?” tanyaku heran. “Mas Andra punya bisnis dengan Dilan?”

Mas Andra kembali tertawa, “aku membayar Dilan dan teman temannya untuk mengantarku ke sini.”

“Ya ampun segitunya sama kakak sendiri.” Komentarku.

“Tidak apa apa, itu sudah biasa kok, malah aneh kalau Dilan tidak minta uang padaku. Minta uang padaku adalah nama tengahnya.”

Aku tertawa.

“Mereka langsung kembali ke Jakarta?” tanyaku.

“Tidak, mereka akan ke Bandung juga seperti kita. Mungkin beli baju atau apa. Mana kunci mobilnya?”

Aku memberikan kunci mobil pada Mas Andra dan berjalan mendahului Mas Andra untuk menunjukkan mobilnya parkir dimana.

~ ~ ~

POV Kiara

Sentra pasar bunga Cihideung terletak di jalan sersan Bajuri arah Utara kota Bandung. Jalan ke Cihideung merupakan salah satu jalan alternatif menuju Lembang.

Di Cihideung ini sebagian besar penduduknya melakukan usaha jual beli tanaman.

Melewati jalan Cihideung di sisi kiri dan kanan jalan terbentang taman bunga yang indah dan berwarna warni. Ada bunga mawar, dahlia, bougenville, anggrek, kaca piring, semuanya ada, bahkan beberapa bunga langka juga ada.

Selain bunga, beberapa tanaman buah seperti jeruk, lemon, jambu air, dan yang lainnya juga dijual di sana.

Aku, Wina dan Adelia memilih bunga bunga yang kami mau. Kami berbelanja di salah satu penjual bunga yang punya parkir cukup luas.

Sementara kami memilih bunga, Mas Andra nampak asik ngobrol denga petani bunga tentang cara bercocok tanam yang baik, tentang apa apa saja yang harus dilakukan dan apa yang tidak.

Wina tadinya tidak tertarik membeli bunga karena ia bingung bunganya mau ditaruh dimana, kamar kosnya kecil dan ia tak punya teras seperti aku. Tapi Wina memutuskan untuk membeli bunga untuk diberikan kepada ibunya. Rencananya lusa, Adelia akan pulang, dan Wina akan menitipkan bunga bunga itu untuk ibunya.

Setelah memilih bunga, akupun memilih beberapa pot ukuran sedang. Setidaknya, aku membutuhkan dua puluh pot untuk tanaman bunga itu agar terasku menjadi sejuk dan rimbun.

Pada saat aku mau membayar belanjaanku, Mas Andra ternyata sudah membayar semuanya untukku. Ia juga membayar belanjaan Wina.

Kata kata Yola untuk tidak menerima pemberian apapun lagi  dari Mas Andra langsung terngiang ngiang di telingaku. Dengan seketika aku menolak pemberian Mas Andra. Tapi Mas Andra menyuruhku pulang jalan kaki ke Jakarta kalau aku tidak mau menerima pemberiannya. Aku kembali berada pada situasi yang sulit.

Akhirnya aku pasrah menerima pemberian Mas Andra.

Selesai membeli bunga kami makan siang di salah satu restoran Sunda di sekitar Lembang. Kami masih pergi ke beberapa Factory Outlet untuk membeli baju.

Terakhir kami pergi ke pusat oleh oleh untuk membeli oleh oleh.

Sampai di Jakarta, Mas Andra mengantar Wina dan Adelia terlebih dulu ke tempat kos mereka, lalu aku dan Mas Andra pergi ke cafe Mas Bima. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika kami sampai di cafe Mas Bima.

Mas Andra membantuku meletakkan bunga dan pot yang aku beli di teras. Ia bilang hari Minggu besok ia akan membantuku memindahkan bunga bunga itu ke dalam pot dan menggantungnya di depan teras.

Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih pada Mas Andra, termasuk saat Mas Andra menawarkan diri untuk mengembalikan mobil ke tempat penyewaan mobil.

~ ~ ~

POV Andra

Aku langsung mencari taksi setelah mengembalikan mobil yang disewa Kiara.

Aku menunggu selama sepuluh menit sebelum akhirnya sebuah taksi lewat di hadapanku. Aku masuk dan duduk setelah sebelumnya memberitahu alamat yang kutuju pada supir taksi.

Tubuhku terasa lelah karena mengendarai mobil pulang pergi Jakarta Bandung, dan aku ingin sekali beristirahat. Tapi aku memutuskan untuk menunda istirahatku. Ada sesuatu yang harus kuselesaikan terlebih dulu. Kalau tidak kuselesaikan malam ini, pasti hal ini akan terus kepikiran.

Walau tubuh terasa lelah tapi aku benar benar merasa bahagia. Hari ini adalah salah satu hari terhebatku karena aku bisa menghabiskan waktu seharian dengan wanita yang kusukai.

Ya, Kiara, aku sangat menyukainya. Aku menyukai Kiara dari dulu saat aku bertemu pertama kalinya dengannya di cafe Bima, saat Bima memperkenalkan Kiara padaku.

Saat itu, aku bilang pada Bima kalau aku sangat menyukai Kiara tapi Bima malah mengancamku agar aku jangan macam macam dengan Kiara. Agar aku jangan mengganggu Kiara.

Menurut Bima, Kiara dititipkan orangtuanya padanya karena Kiara merantau sendirian ke Jakarta, bahkan sejak masuk kuliah. Jadi Bima merasa bertanggung jawab atas diri Kiara.

Aku saat itu berusaha menyakinkan Bima kalau aku tidak akan menyakiti Kiara atau apa kalau Bima mengijinkan aku berpacaran dengan Kiara. Tapi Bima tak percaya padaku

Menurut pendapat Bima saat itu, aku pasti akan bikin masalah lagi dengan mengacaukan hubunganku dengan Kiara, kalau aku berpacaran dengan Kiara, seperti hubunganku dengan pacar pacarku sebelumnya.

Aku bilang pada Bima kalau hubunganku putus dengan seseorang, itu bukan tanpa alasan. Aku tak pernah menemukan kecocokan dengan mereka.

Bima tak mau mendengar apa yang kukatakan, intinya, ia tetap melarangku untuk mendekati Kiara.

Aku tak tahu harus menunggu Kiara berapa lama atau sampai kapan, tapi ketika aku tidak mendapat lampu hijau juga dari Bima akhirnya aku berpacaran dengan Yola.

Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai Yola, maksudku, rasa suka aku pada Yola tidak sebesar rasa suka aku pada Kiara. Hingga detik ini, nama Kiara masih terpatri kuat di hatiku, jadi mau diperbandingkan seperti apapun Kiara tetap unggul. Tapi aku menghormati Yola dan menyayanginya. Namun kalau memang harus memilih, aku lebih baik kehilangan Yola daripada kehilangan Kiara.

Taksi yang kutumpangi akhirnya tiba di tempat tujuanku di Kemang. Aku lalu turun dari taksi dan menuju sebuah gedung apartemen.

Apartemen Yola ada di gedung tersebut.

~ ~ ~

POV Andra

Yola cukup terkejut melihat aku datang malam malam begini. Tapi ia menyambutku dengan gembira.

“Yola, ada yang harus kita bicarakan,” ujarku setelah duduk di hadapannya.

“Tentang?”

“Tentang kita.”

“Maksudnya?”

“Aku rasa, kita tidak bisa bersama sama lagi.” Ujarku.

“Maksud Mas Andra kita putus?” tangis Yola langsung pecah. Dia seperti tak percaya dengan apa yang dia dengar.

“Aku minta maaf. Aku benar benar minta maaf.”

“Kenapa?” teriak Yola sambil terus menangis, “apa ada seseorang? Oh, ya, Kiara, Mas Andra dekat dengannya akhir akhir ini. Pasti dia. Apa karena dia?”

“Tidak Yola, ini bukan karena siapa siapa. Aku hanya tidak bisa meneruskan hubungan ini. Itu saja.”

“Mas Andra tidak bisa meneruskan hubungan tanpa alasan?” teriak Yola lagi.

“Aku tidak akan memberikan penjelasan apapun padamu Yola. Kalau kau bisa menerima keputusanku, aku akan sangat berterima kasih. Itu saja yang ingin aku sampaikan.” Ujarku sambil berdiri dari dudukku.

“Mas, tunggu, kau pikir hubungan kita bisa berakhir dengan mudah seperti ini? Kita terlibat banyak hal. Ada bisnis Distro di antara kita,Bagaimana dengan distro? Bagaimana dengan mobil? Bagaimana dengan apartemen ini? Itu semua milikmu. Aku harus pergi dari sini atau bagaimana?”

“Kau tidak harus pergi kemanapun,” ujarku. “Tinggallah disini kalau kau tetap ingin tinggal di sini.”

“Sampai kapan?”

“Entahlah, mungkin sampai Dilan lulus kuliah dan mengelola distro bersamamu. Itu juga kalau Dilan mau. Kita lihat saja nanti.”

“Lalu mobil masih bisa terus kugunakan?”

“Iya Yola, tidak ada yang berubah dengan semuanya, kecuali hubungan kita.”

“Tapi…”

“Aku lelah sekali sekarang, aku ingin cepat cepat istirahat, kapan kapan kita bicara lagi tentang distro dan lain-lainnya.” Ujarku sambil berjalan menuju pintu. “Aku pulang sekarang, selamat malam.”

Entah kenapa, setelah mengatakan itu semua pada Yola aku merasa lega. Aku tahu sejak dulu memang ini yang kuinginkan. Aku mempertahankan Yola entah untuk apa. Aku tak pernah punya banyak waktu untuk hubungan kami. Pekerjaanku  selalu banyak, pesanan program ini dan itu selalu berdatangan baik dari dalam maupun luar negeri. Dan aku sama sekali tidak terbebani dengan pekerjaanku. Aku menyukainya. Dan karena itu pula, waktuku banyak tersita untuk pekerjaanku bukan untuk hal lainnya.

~ ~ ~




BAB TUJUH


POV Kiara

Aku tiduran di atas sofa dengan perasaan nyaman. Sekarang hari Jum’at siang dan aku punya waktu 24 jam untuk beristirahat sebelum hari Sabtu siang besok aku bekerja lagi di cafe.

Aku baru saja pulang dari Pulau Bidadari karena tim produksi Bright Advertising ada syuting iklan di sana.

Pemilihan tempat di Pulau Bidadari adalah berdasarkan permintaan klien.

Di pulau Bidadari ada benteng Menara Martello peninggalan penjajahan Belanda. Benteng ini dibangun pada sekitar abad 19, fungsinya saat itu adalah untuk mengawasi dan melindungi pulau Onrust dari tentara Inggris. Pulau Onrust sendiri pada masa itu digunakan sebagai pelabuhan kapal kapal Belanda sebelum menuju Batavia (Jakarta Sekarang).

Aku harus pergi ke pulau Bidadari karena salah satu klien Bright Advertising ingin syuting iklannya dilakukan di benteng Menara Martello itu tadi. Aku dan teman teman tim produksi menginap selama dua malam untuk mendapatkan hasil syuting yang bagus. Syuting itu dilakukan untuk membuat iklan parfum.

Ingat iklan parfum tiba tiba aku jadi ingat Devano. Sudah lama rasanya aku tidak mendengar kabar tentang Devano lagi.

Devano belum menghubungi Bright Advertising lagi untuk membuat iklan lainnya.

Aku rasa Devano bahkan tidak tahu kalau Selly bukan pemilik Bright Advertising lagi kecuali Selly memberitahu dirinya.

Dan kalaupun nanti Devano meminta Bright Advertising untuk membuatkan iklan untuknya lagi, belum tentu juga dia cocok dengan Ibu Dewi.

Menurut rumor yang beredar, klien Ibu Dewi tidak sebanyak klien Selly. Entah apa yang terjadi, mungkin Ibu Dewi tidak seramah dan se-menyenangkan- Selly sehingga para klien enggan berhadapan dengan ibu Dewi. Yeah, jangankan para klien, aku saja malas berhadapan dengan ibu Dewi yang seperti singa.

Sedang asik asiknya tiduran, pintu kamarku tiba tiba diketuk seseorang. Aku segera bangun dan membuka pintu, ternyata Mbak Venita, isteri Mas Bima.

“Oh Mbak Ve, masuk Mbak,” ujarku sambil mempersilahkan Mbak Venita masuk.

“Kata Mas Bim kau sedang ada dirumah,” ujar Mbak Venita sambil masuk dan duduk di salah satu kursi di ruang tamu kecilku. “Jadi aku ke sini.”

“Iya, tadi pagi aku baru pulang dari pulau Bidadari, ada syuting iklan disana. Lalu aku ke kantor sebentar untuk mengembalikan camera dan lain lain dan pulang deh.”

“Ya,” Mbak Venita mengangguk sambil memperhatikan suasana kamarku. “Ngomong ngomong tempat ini jadi asik begini, jaman aku tinggal di sini dulu tidak se-adem ini.”

“Oh, itu karena tanaman bunga yang digantung memenuhi teras.” Ujarku, “tanaman itu menghalangi sinar matahari jadi tempat ini jadi terasa sejuk.”

“Ya, aku dengar kau dan Andra pergi berbelanja bunga bunga itu.”

“Itu benar, Mas Andra juga yang membantu aku menggantung bunga bunga itu.”

“Andra memang baik,” Mbak Venita tertawa, “ehm begini Ki, aku ke sini ingin bertanya padamu apakah boleh, adikku, Tia, tinggal disini bersamamu?”

Aku menatap Mbak Venita bingung, untuk sejenak aku berusaha mencerna kata kata Mbak Venita barusan.

Tinggal denganku? Bukankah selama ini Tia kos di Depok, di dekat kampusnya, Universitas Pancasila? Dan, kamar di rumah Mbak Venita juga banyak, haruskah Tia tinggal denganku?

“Yah kalau kamu keberatan sih tidak apa apa.” Ujar Mbak Venita lagi, mengagetkanku.

“Tidak, tidak keberatan kok.” Sahutku cepat. Hello, atas dasar apa aku keberatan? Ini rumah Mas Bima dan Mbak Venita. Aku hanya numpang disini.

“Bagus kalau begitu,” Mbak Venita tersenyum senang, “nanti aku bilang Tia kalau kau tak keberatan Tia pindah kesini, mungkin besok ia pindah.”

Secepat itu? Tanyaku dalam hati.

“Pengaturan kamarnya bagaimana Mbak?” tanyaku akhirnya, masih kaget dengan situasi yang terjadi. Aku menempati kamar ini baru sebentar, dan kini aku harus berbagi kamar ini dengan orang lain?

“Disekat saja, kan itu sudah ada penyekatnya. Terserah kamu mau disebelah mana, nanti Tia tinggal setelah kamu memilih.”

“Tidak, biar Tia saja yang memilih, aku nanti di bagian yang tidak dipilih Tia.” Ujarku.

“Baiklah kalau begitu,” Mbak Venita berdiri dari duduknya, “terima kasih ya Kiara atas pengertiannya.”

“Ya, tentu, tidak masalah,” jawabku. “Tia nanti tidak kos lagi?”

“Tidak. Biar hemat, dia tinggal disini saja, uangnya bisa ditabung sepertimu.”

Aku hanya mengangguk. Dan mengantar Mbak Venita pergi hingga ke pintu pagar.

Hah, hemat apaan, gerutuku dalam hati. Sama saja. Tia kos dia tidak harus keluar uang kalau pergi ke kampus karena bisa dilakukan dengan jalan kaki. Kalau tinggal di sini kan harus keluar uang untuk ongkos pulang pergi.

Setelah Mbak Venita pergi aku duduk dibangku teras dan merenung.

Aku masih merasa heran dengan situasi yang terjadi. Tia sering menginap di rumah kakaknya, dia juga sering bolak balik ke cafe kalau sedang tidak ada kuliah. Tapi selama itu ia tidak tertarik tinggal di atas cafe. Lalu, kenapa sekarang ia harus merasa tertarik tinggal disini?

Tentu saja karena tempat ini sekarang menjadi bersih dan asri. Keluhku dalam hati. Dan mereka, - Mbak Venita dan Tia - tidak mau melihat aku merasa nyaman tinggal di sini.

~ ~ ~

POV Kiara

Aku pikir saat Mbak Venita bilang kalau Tia mau pindah besok, Mbak Venita tidak sungguh sungguh dengan ucapannya. Tapi Mbak Venita benar benar pergi pagi pagi sekali ke tempat kos Tia untuk membantu Tia packing dan pindah ke tempatku.

Saat Mbak Venita pergi dengan mobilnya, Mas Bima langsung menghampiriku dan meminta maaf padaku karena aku harus berbagi tempat tinggal dengan Tia.

Menurut Mas Bima, Tia sudah ditawari untuk tinggal dirumahnya. Tapi Tia tidak mau. Alasan Tia adalah dia ingin privacy.

Yeah, yang benar saja. Privacy? Berbagi kamar denganku dia akan mendapatkan privacy?

Aku akhirnya bilang ke Mas Bima agar jangan khawatir, bahwa itu semua bukan masalah untukku.

Setelah Tia datang, aku langsung mempersilahkan Tia memilih ingin tinggal di sebelah mana, Tia ternyata memilih tempat yang selama ini jadi kamar tidurku. Ia bahkan tiduran di sofa empukku.

“Mbak, aku ingin sofa yang seperti ini,” ujar Tia pada Mbak Venita yang sibuk membantu Tia menata barangnya.

“Iya, nanti, satu satu, jangan sekarang.” Komentar Mbak Venita.

Sementara Mbak Venita menaruh barang barang Tia, aku juga memindahkan baju bajuku ke ruang tamu kecilku agar tempat Tia menjadi kosong.

Umur ruang tamu kecilku hanya sebentar karena tempat itu akan menjadi ruang untuk tempat aku tidur. Bahkan untuk memasak pun aku sepertinya harus melakukannya di teras. Aku sudah memindahkan kompor dan perlengkapan masak lainnya ke teras.

“Sofa kulit ini empuk sekali,” komentar Tia lagi, saat aku sibuk menata bajuku, “pasti mahal harganya. Iya nggak Mbak Kiara?”

Aku cuma tersenyum, “kau tidur saja disofa itu kalau kau mau,” ujarku.

“Serius?” Tia bertanya girang.

“Jangan Tia, itu punya Kiara!” seru Mbak Venita.

“Tidak apa apa kok Mbak Ve, sungguh.” Sahutku ke arah Mbak Venita.

“Kau bagaimana?” tanya Mbak Venita.

“Aku gampang, nanti mungkin aku akan beli sofa kasur yang lain.”

“Terima kasih kalau begitu.”

“Iya, sama- sama.”

Aku akhirnya berjalan ke teras, duduk di salah satu kursi di sana, meminum jus jerukku dan memandang bunga bunga indah yang bermekaran di hadapanku dengan perasaan kesal.

~ ~ ~

BAB DELAPAN


POV Author

Audrey meminum kopinya pelan pelan. Di hadapannya, Jennie sedang asik menikmati cheese cake. Mereka sedang berada di salah satu cafe di daerah Pondok Bambu.

Mereka berdua baru menghadiri ulang tahun sahabat mereka yang dirayakan di salah satu hotel tidak jauh dari cafe itu.

Tapi karena Audrey masih ingin ngobrol dengan Jennie, akhirnya Audrey mengajak Jennie mampir dulu ke cafe itu sebelum mereka pulang ke rumah.

“Aku senang kau tidak bertengkar dengan Dev tentang Mona,” ujar Jennie, “dan membiarkan mereka berpacaran.”

“Jangan salah Jen, aku diam bukan berarti aku menyerah.” Kata Audrey.

“Maksudmu?” Jennie kaget.

Audrey tersenyum, “aku sudah memikirkan ini. Aku punya rencana agar hubungan mereka berakhir.”

“Rencana apa Audrey? Jangan macam macam ah. Kukira kau sudah mau memaafkan Mita dan..”

“Memaafkan Mita katamu? No way. Sampai kapanpun aku tidak akan memaafkannya.”

“Audrey, kejadian ini sudah lama terjadi. Kau, Mita dan Arman sudah punya kehidupan sendiri sendiri sekarang, masa sih kau tidak mau berdamai dengan masa lalu?”

“Jennie, aku mengajakmu ke sini bukan ingin mendengar kau menasehatiku, tapi ingin memberitahu rencanaku.”

“Oke, baiklah, apa rencanamu?”

“Aku ingin menjodohkan Dev dengan seseorang.”

“O, ya?” tanya Jennie, “dan siapa itu?”

“Aku belum tahu, aku akan mencarinya.”

“Kau belum tahu?” teriak Jennie bingung.

“Ssh, lihat waitress yang punya rambut sebahu di sebelah sana?” tanya Audrey tiba tiba. Waitress yang Audrey maksud adalah Kiara, yang malam itu kerja di cafe. Kiara kerja sendiri karena sebentar lagi cafe tutup. Ia yang terbiasa tinggal paling akhir dan bertugas untuk menutup cafe.

“Ya, aku lihat,” jawab Jennie, “kenapa dengan dia?”

“Dia cantik ya?”

“Ehm, okelah, aku lebih suka menyebut dia manis daripada cantik.”
“Ya, terserahlah.” Ujar Audrey, “aku akan meninggalkan dompetku di tempat ini,”

“Kau apa?” teriak Jennie kaget.

“Aku akan meninggalkan dompetku dengan fotokopi KTP-ku, kalau waitress itu mengembalikan dompet itu kerumahku, aku akan menjodohkan dia dengan Dev.”

“Audrey, kau gila!” desis Jennie kaget.

“Ssh, jangan keras keras.”

“Atas dasar apa kau mau menjodohkan Dev dengan seseorang yang tidak kau kenal? Kau bahkan tidak tahu asal usul orang itu!”

“Atas dasar kejujuran. Kalau dia mengembalikan dompetku berarti dia orang jujur.”

“Kalau tidak?”

“Ya, tidak apa apa, berarti bukan dia orangnya. Ya sudah, aku akan meninggalkan dompetku di suatu tempat.”

“Kalau yang menemukan bukan waitress itu bagaimana?”

“Itu berarti bukan jodoh.”

“Kalau dompetmu tidak ada yang mengembalikan bagaimana?”

“Tidak apa apa, itu bukan rejeki aku. Aku ikhlas.”

“Berapa uang yang kau taruh di dompetmu?”

“Jennie, kamu banyak nanya deh kayak tamu, sudah ah, aku pergi dulu.”

Jennie akhirnya membiarkan Audrey pergi. Audrey pergi ke arah toilet lalu sepuluh menit kemudian kembali kepada Jennie.

“Sudah,” Audrey tersenyum senang, “aku sudah menaruhnya di dekat tempat cuci piring. Tadi kebetulan tidak ada orang disana, jadi aku leluasa menaruhya. Ayo Jennie, kita pergi sekarang.”

Jennie mengangguk, mereka berdua akhirnya pergi dari tempat itu.

~ ~ ~

POV Author

Kiara memperhatikan dua orang pelanggan cafe yang pergi dengan sedikit terburu buru. Kiara mengerutkan kening. Mungkin hari sudah terlalu malam sehingga dua orang wanita cantik yang tadi minum di cafe Mas Bima ingin segera cepat cepat pulang.

Kiara langsung menutup pintu cafe dan menguncinya. Kedua wanita cantik itu adalah tamu cafe terakhir malam ini.

Kiara biasa bertugas mengunci pintu cafe kaena ia tinggal di atas cafe. Sekarang sudah jam sebelas malam, sementara teman temannya yang rumahnya jauh sudah pulang setengah jam yang lalu.

Mas Bima yang juga biasa mengunci pintu cafe, - bergantian dengan Kiara - hari ini sedang pergi ke Palembang untuk menghadiri acara pernikahan keluarga Mbak Venita yang asal Palembang.

Sahabat sahabat Mas Bima seperti Mas Andra dan Mas Egi sedang tidak datang ke cafe, sehingga Kiara benar benar sendiri malam ini, padahal biasanya mereka menemani Kiara.

Setelah mengunci pintu cafe, Kiara pun berjalan ke tempat duduk dua wanita tadi untuk mengambil piring dan gelas yang kotor. Ia harus mencuci piring dulu sebelum meninggalkan cafe lewat pintu dapur atau pintu belakang.

Kiara membawa piring dan gelas kotor itu ke tempat cuci piring, lalu ia mencuci semua gelas dan piring kotor disana.

Saat Kiara akan mematikan lampu, ia melihat sebuah dompet merah tergeletak tidak jauh dari tempat cuci piring.

Kiara menatap dompet itu heran. Mungkin itu dompet temannya yang tertinggal. Kiara lalu mengambil dompet itu. Ia akan memberikan dompet itu pada temannya besok.

Sampai di tempat tidurnya, Kiara menaruh dompet itu di tumpukan bajunya. Lalu ia tertidur pulas.

~ ~ ~

POV Author

Sudah hampir dua minggu sejak Audrey meninggalkan dompetnya di cafe yang ia dan Jennie kunjungi, tapi tidak ada kabar apa apa tentang dompet itu. Dompet itu belum dikembalikan. Audrey sudah pasrah, tapi ia tak mau menuduh waitress yang ia temui disana tidak jujur, mungkin yang menemukan dompet itu bukan wanita itu, mungkin orang lain.

Audrey agak sedikit kecewa, karena ia sangat menyukai wanita itu dan berharap wanita itu bisa membantunya dalam mengatasi masalah yang sedang dihadapinya. Mungkin kalau Audrey meminta pertolongan langsung pada wanita itu, ia mau menolong, tapi permasalahannya, Audrey suka pada orang yang jujur, jadi ia ingin menguji apakah wanita itu jujur atau tidak dengan mengembalikan dompet yang ia tinggalkan di sana.

Tapi sepertinya rencananya tidak berjalan lancar, entah siapa yang menemukan dompet miliknya, dan entah apa yang terjadi dengan dompet itu.

Yang jelas kalau dalam waktu dua minggu ini tidak ada kabar apapun tentang dompet itu, berarti ia tak bisa mengharapkan apa apa lagi. Orang yang menemukan dompet itu pasti sudah menghabiskan uang yang ada didalam dompet tersebut.

Jennie hampir tiap hari meneleponnya untuk menanyakan apakah dompet itu dikembalikan atau tidak. Audrey sampai bosan menjawab pertanyaan dari Jennie dan meminta Jennie untuk tidak menanyakan soal dompet itu lagi.

Sedang berpikir tentang Jennie, tiba tiba Jennie muncul di rumah Audrey sambil membawa sesuatu. Mereka berdua sering berkunjung antara satu dengan yang lain sambil membawa makanan.

“Apa itu?” tanya Audrey memperhatikan Jennie yang meletakkan makanan yang ia bawa ke atas meja makan Audrey.

“Makaroni panggang. Enak deh. Asisten rumah tanggaku tadi bikin banyak, sedang ada tamu dari keluarga suamiku di rumah. Aku bawa ke sini deh satu loyang.”

“Ada tamu dari keluarga suamimu dan kau malah pergi ke sini?” tanya Audrey heran.

“Itu sudah biasa, mereka sudah sering datang ke rumahku dan menginap. Aku kan tidak harus selalu ada untuk mereka. Sudah sih santai saja, ayo dicoba makaroninya, sinih aku iriskan.” Ujar Jennie sambil mencari pisau. Ia mengiris beberapa makaroni dan memberikannya pada Audrey. Dan mengiris beberapa lagi untuk dirinya sendiri.

“Terima kasih,” Audrey menerima makaroni itu dan mulai memakannya.

“Jadi dompet itu belum kembali?” Jennie duduk tidak jauh dari Audrey.

“Jennie, aku sudah bilang jangan bertanya soal dompet itu lagi.”

“Kau sih nekat Drey, hari gini orang jujur itu sudah sedikit. Apalagi kalau nemu rejeki nomplok, wah pasti nggak akan dikembalikan itu dompet.”

“Tidak semua orang tidak jujur Jennie, masih ada kok orang jujur, kau pernah baca berita tidak, ada beberapa anak muda yang mengembalikan dompet seorang bapak bapak sampai harus menempuh jarak yang cukup jauh padahal uang yang mereka temukan adalah sebanyak 950 ribu rupiah. Bapak bapak itu sampai terharu.”

“Tidak, aku tidak tahu berita itu, memang ada kejadian seperti itu?”

“Ada, dan itu benar benar terjadi.”

“Wah anak anak muda itu keren. Mereka jujur.”

“Ya.”

“Lalu berapa uang yang kau taruh didompet yang kau tinggal di cafe itu?” tanya Jennie sambil mengambil sepotong makaroni panggang dan memasukkan ke mulutnya.

“Jennie! Aku sudah bilang jangan bertanya tentang hal itu karena sampai kapanpun tidak akan kuberitahu!”

“Segitunya,” Jennie langsung tertawa. “Pasti jumlahnya besar ya dan kau menyesal sekarang.”

“Tidak, aku tidak menyesal. Sejak menaruh dompet itu disana, aku sudah ikhlas. Kembali alhamdulillah, tidak juga tidak apa apa.”

“Dan sepertinya tidak kembali,” ujar Jennie.

“Sepertinya begitu.”

“Berarti kau harus menyusun rencana baru. Di cafe atau restoran mana lagi kau akan meninggalkan dompetmu?”

“Tidak Jennie, aku tidak akan meninggalkan dompet lagi. Hal ini cukup sekali saja kulakukan.”

“Lalu calon menantumu bagaimana? Kau bilang kau akan menjodohkan Dev dengan seseorang.”

“Kalau itu masih akan kulakukan. Entahlah, mungkin nanti aku akan mencari tahu apakah sahabat sahabat kita punya anak gadis yang bisa kujodohkan dengan Dev. Kalau memang ada, aku akan memilih satu diantara mereka.”

“Sayang anakku laki laki semua,” Jennie tertawa, “kalau tidak, kita sudah jadi besan.”

~ ~ ~

POV Kiara

Aku baru mengantarkan pesanan para pelanggan. Seperti biasa, tiap akhir pekan, cafe selalu ramai. Begitupun dengan malam ini, sepertinya aku tak punya banyak waktu untuk beristirahat walau sejenak. Tapi aku selalu menyempatkan diri untuk duduk walau hanya sebentar.

Aku lalu duduk disalah satu kursi dekat dapur. Aku saat ini sedang merasa kesal karena Tia dan teman teman kuliahnya sedang ada di tempat tinggal kami. Dan kalau sudah berkunjung seperti itu, mereka biasanya lama perginya.

Tia ingin privacy dengan tinggal disana, dan kini, aku yang tidak punya privacy lagi. Tia and the gank sepertinya sekarang menguasai tempat itu.

Mereka menyetel musik keras keras, mereka nge-dance, karokean, ketawa ketiwi cekikikan dan entah apa lagi.

Setelah bikin huru hara, mereka akan pergi begitu saja dari tempat itu tanpa perduli dengan sampah yang berserakan dimana mana.

Aku tak habis pikir bagaimana orangtua mereka mendidik anak anak gadis mereka. Mereka tidak diajarkan tentang kebersihan. Mereka jorok semua. Terutama Tia. Tia selalu menumpuk kardus kardus bekas makanan di pojok ruangan. Dan tidak cepat cepat membuangnya padahal bau sisa makanan tercium ke mana mana, termasuk ke tempatku. Aku akhirnya yang membuang sampah itu. Dan hal itu sering kulakukan.

“Ki, Mas Egi pesan kopi pahit, cepat ini antarkan,” Mbak Mega tiba tiba menghampiriku dan memberikan secangkir kopi pesanan Mas Egi.

“Oke,” aku menerima kopi itu dan pergi menemui Mas Egi.

Mas Egi nampak sedang duduk berhadap hadapan dengan Mas Andra.

“Kiara, darling, apa yang membuat wajahmu muram seperti itu? Tersenyumlah, karena senyum akan membuat kita awet muda.” Ujar Mas Egi sambil menerima kopi yang kuserahkan padanya.

“Kata siapa senyum bisa bikin awet muda?” tanya Mas Andra.

“Kata buku.” Jawab Mas Egi. “Aku membacanya dibuku. Jadi jika kita tersenyum, otot otot yang digunakan untuk tersenyum bisa membantu mengangkat wajah sehingga membuat orang tampak lebih muda.”

“Oh, begitu,” gumam Mas Andra.

“Ya sudah ya, aku masih banyak kerjaan,” ujarku sambil akan pergi.

“Duduklah dulu Ki, aku punya tebak tebakan.” Seru Mas Egi.

“Tebak tebakan Mas Egi mah garing.” Komentarku.

“Enak garing, kayak kerupuk.”

“Apa tebakannya?”

“Awan, awan apa yang bikin hati kita senang?”

“Awanna with you forever.” Jawabku.

“Salah.”

“Apa dong?”

“Awanna hold your hand ‘till the end of time.”

“Jiahh,” teriak Mas Andra, “keahlian Egi dari dulu emang suka gombalin cewek.”

Mas Egi cuma ketawa.

“Ya udah ya, aku pergi dulu,” ujarku lagi.

“Sebentar Ki,” tahan Mas Egi lagi, “aku bayar dulu. Aku suka lupa kalau nggak langsung bayar.” Mas Egi langsung mengeluarkan dompetnya. Dompet Mas Egi berwarna merah.

Aku seperti melihat dompet seperti itu di suatu tempat. Dompetnya mirip. Cuma kalau dompet Mas Egi dompet cowok, dompet yang pernah aku lihat dompet cewek.

Dimana ya aku melihatnya? Renungku. Sepertinya di tempat ini.

Astaga. Sepertinya aku pernah menemukan dompet berwarna merah di tempat ini.

“Ini Ki,” Mas Egi memberikan uang seratus ribu rupiah padaku. “Kembaliannya untuk tip.”

“Terima kasih,” aku menerima uang dari Mas Egi sambil tersenyum.

“Nah gitu dong senyum, kan enak ngeliatnya.” Komentar Mas Egi.

“Hehe, tipnya gede, Mas. God Bless You Mas Egi.”

“Aamiin.” Sahut Mas Egi.

Tip yang kami terima dari para pelanggan biasanya akan dikumpulkan dan Mas Bima akan membagikannya pada kami  secara adil tiap bulan bersama sama dengan gaji. Jadi semacam bonus gitu.

Aku lalu berlari ke arah Mas Bima untuk minta ijin pergi sebentar. Mas Bima mengijinkan. Akupun segera berlari ke atas, ke kamar tidurku.

Aku baru ingat dompet itu sekarang. Teman temanku sepertinya tidak ada yang kehilangan dompet karena mereka tidak ada yang bertanya padaku apakah aku pernah meilhat dompet yang tertinggal atau tidak.

Aku ingat menaruh dompet yang kutemukan itu di tumpukan bajuku. Dan ternyata benar, dompet itu masih ada disana.

Aku membuka isinya. Ada selembar fotocopy KTP disana dan sejumlah uang pecahan seratus ribu rupiah.

Aku menghitung uang itu. Lima juta rupiah. Ada uang lima juta rupiah di dompet merah itu. Wow.

Aku terkejut dengan isinya. Aku memegang dompet itu erat tanpa tahu apa yang harus kulakukan.

~ ~ ~

BAB SEMBILAN


POV Author

Hujan turun dengan derasnya bagai ditumpahkan dari langit. Sementara angin bertiup sangat kencang.

Audrey segera menutup beberapa jendela kamar yang ada dirumahnya. Rumah Audrey sangat besar, setidaknya ada delapan kamar dirumahnya. Empat kamar dilantai bawah, dan empat kamar di lantai atas.

Kamar Audrey dan suaminya ada dilantai bawah, sementara kamar anak-anaknya; Devano dan Dinda ada di lantai atas. Sisa kamar biasanya digunakan untuk para tamu yang menginap.

Para asisten rumah tangga Audrey dan supirnya punya kamar sendiri disamping kolam renang, bersebrangan dengan rumah utama, jadi semacam paviliun.

Audrey punya supir sendiri. Kemana mana ia selalu diantar supir kecuali jika ia sedang ingin mengendarai sendiri mobilnya. Suami Audrey juga punya supir sendiri.

Tapi berbeda dengan supir Audrey yang menginap dirumah, supir suaminya tidak menginap dirumah, ia bekerja sesuai dengan jam kerja. Pagi ia datang ke rumah untuk menjemput suami Audrey pergi ke kantor, malam, ia mengantar suami Audrey pulang ke rumah. Diantara waktu itu, ia standby di kantor, siap mengantar suami Audrey kemana saja.

Diluar jam kerja, kalau suami Audrey ada perlu biasanya diantar oleh supir Audrey atau mengendarai mobil sendiri.

Asisten rumah tangga Audrey ada empat orang, tiga perempuan dan satu laki laki.

Yang perempuan tugasya antara lain : satu orang khusus untuk mencuci dan menyetrika baju, satu orang untuk bersih bersih rumah dan satu orang untuk berbelanja makanan ke pasar dan memasak.

Audrey selalu suka masakan yang fresh, sehingga Bi Surti, asisten rumah tangganya yang khusus belanja dan memasak, harus berbelanja bahan makanan segar setiap hari ke pasar.

Untuk asisten rumah tangga yang laki laki tugasnya adalah membersihkan kebun, menata tanaman dan hal hal yang berkenaan dengan kebun.

Audrey tidak punya petugas security dirumahnya karena komplek tempat Audrey tinggal sangat ketat penjagaan keamanannya. Seluruh komplek dipagari pagar besi yang tinggi, dan di pintu gerbang utama setidaknya ada tiga petugas keamanan yang berjaga, bergantian dengan tiga penjaga lainnya selama 24 jam.

Setiap tamu wajib meninggalkan kartu identitas jika ingin berkunjung ke komplek yang Audrey tinggali. Hanya penghuni komplek yang bebas keluar masuk komplek tanpa harus menunjukkan kartu identitas pada petugas keamanan karena para petugas keamanan itu sudah kenal mereka.

Malam ini, Audrey makan sendiri. Biasanya suami Audrey menemani Audrey makan, tapi karena beberapa jalanan di Jakarta banjir, mobilnya terjebak macet sehingga suaminya kemungkinan telat datang ke rumah. Suaminya meminta Audrey untuk makan terlebih dulu tanpa harus menunggu dirinya.

Kedua anak Audrey seperti biasa jarang pulang ke rumah. Devano punya apartemen sendiri dan pulang ke apartemennya sementara Dinda punya tempat kos sendiri di Depok dan sibuk dengan kuliahnya. Dinda akan pulang ke rumah kalau kuliahnya libur atau tidak ada kesibukan yang berarti.

Menu makan malam audrey malam ini adalah Sup jagung manis, ikan bakar, sambal dan lalapan.

Sup jagung manis adalah salah satu makanan favorit Audrey sejak kecil. Jadi menu itu cukup sering dimasak Bi Surti untuk Audrey.

Sedang asik-asiknya makan, Pak Ridwan, supir Audrey menghampiri dirinya, ia memberitahu Audrey ada tamu yang mencari dirinya.

“Siapa Pak?” tanya Audrey.

Audrey berpikir bahwa tamunya bukan sahabat sahabatnya, karena kalau sahabatnya, ia akan langsung menemui dirinya dan tidak menunggu di ruang tamu seperti itu.

“Entahlah Bu, dia seorang wanita.” Jawab Pak Ridwan.

“Oke, baiklah, aku akan menemuinya. Terima kasih Pak.”

“Iya.”

Audrey segera berjalan ke ruang tamu. Ia melihat seorang wanita dengan baju dan rambut basah sedang duduk di salah satu sofa yang ada diruang tamunya.

Untuk sejenak Audrey tidak mengenali wanita tersebut, tapi sepertinya ia pernah melihat wanita itu di suatu tempat entah dimana.

“Selamat malam,” wanita itu berdiri dan tersenyum ke arah Audrey, “maaf mengganggu malam malam begini, saya hanya ingin mengantarkan ini,” wanita itu memberikan sebuah dompet merah pada Audrey.

Audrey terperangah. Ia baru ingat siapa wanita itu. Wanita itu adalah waitress di cafe yang ia dan Jennie kunjungi dua minggu yang lalu.

“Aku menemukan dompet ini di cafe,” ujar Wanita yang ternyata Kiara, “ada fotocopy kartu identitas di dalamnya, yang alamatnya adalah di rumah ini, lalu ada uang lima juta rupiah. Aku tidak tahu sebelumnya jumlah uang di dalamnya berapa, tapi saat aku menghitungnya lima juta rupiah.”

“Ya, Ya,” ujar Audrey senang, “itu dompetku, dan seingatku uang yang ada di sana memang sejumlah itu. Terima kasih sudah mengembalikan dompetku.”

“Sama sama.”

“Kalau aku boleh tahu, siapa namamu?”

“Aku kiara,” ujar Kiara sambil tersenyum.

“Senang bertemu dan berkenalan denganmu Kiara,” Audrey langsung menjabat tangan Kiara erat. “Kau hujan hujanan kesini?”

“Tadinya sih tidak hujan. Aku naik ojek ke sini, di tengah jalan hujan, akhirnya dipintu gerbang, petugas keamanan disana meminjamkan aku payung, tapi aku terlanjur basah. Aku harus meninggalkan KTP ku disana.” Ujar Kiara.

“Ya, disini memang ketat. Itu demi keamanan. Tapi KTPmu aman kok. Kau langsung dari rumah atau dari tempat lain?”

“Aku pulang kerja. Tadinya pas jam makan siang aku mau mengembalikan dompet ini, tapi jarak kantorku dengan rumah ini jauh, sekitar satu jam perjalanan. Jadi ya baru bisa kukembalikan sekarang.”

“Tidak apa apa. Sekali lagi terima kasih ya, kupikir dompet ini tidak akan kembali, aku sudah pasrah saja. Kau baru menemukannya?”

“Tidak,” Kiara menggeleng, “sepertinya aku menemukannya beberapa minggu yang lalu, tapi aku lupa, aku menyimpannya di lemari bajuku, aku baru ingat kemarin.”

“Kau luar biasa,” Audrey tersenyum lebar, “jarang sekali loh orang yang jujur jaman now.”

Kiara tertawa, “ya, kebetulan aku takut kalau berbuat tidak jujur alias berbuat tidak baik, takut ada karmanya. Karena kupikir, semua perbuatan baik akan menghasilkan balasan yang baik, dan semua perbuatan yang tidak baik akan menghasilkan balasan yang tidak baik juga. Kalau aku mengambil uang itu sekarang, suatu saat nanti aku akan kehilangan uang dalam jumlah yang sama atau bahkan lebih besar, aku percaya hal itu.”

“Ya, tentu. Kau sudah makan Kiara?”

“Sudah. Tadi aku sempat makan mie seduh di kantor.”

“Ah, mie seduh tidak mengenyangkan. Kau tetap harus makan nasi. Aku sedang makan malam sekarang, dan kau harus makan dulu bersamaku sebelum pulang. Dan o ya karena hujannya masih deras, kau pulang nanti akan diantar supirku.”

“Tidak usah repot repot Tante, aku mau pulang sekarang saja.”

“Masih hujan Kiara, ayo makan dulu denganku, nanti kau diantar pulang.” Ujar Audrey lagi sambil menarik tangan Kiara untuk mengikuti dirinya pergi ke ruang makan.

~ ~ ~

POV Author

Setelah Kiara pulang diantar supirnya, Audrey langsung menelepon Jennie dan menceritakan bahwa waitress cafe yang mereka kunjungi ternyata mengembalikan dompet yang sengaja ia tinggalkan di dekat tempat cuci piring.

Jennie langsung menjerit kaget dan menuduh Audrey bohong. Audrey langsung melakukan video call dengan Jennie dan memamerkan dompetnya.

“Jadi rencanamu untuk menjodohkan Dev dengan wanita yang mengembalikan dompetmu akan tetap dilakukan?” tanya Jennie setelah melihat dompet di tangan Audrey.

“Tentu saja.”

“Kau gila Audrey, kau tidak tahu asal usul wanita itu. Siapa tahu dia keturunan psikopat atau apa.”

“Kamu tuh kebanyakan baca novel misteri pembunuhan deh,” keluh Audrey.

“Ok, katakan dia bukan keturuan psikopat. Tapi mungkin dia sudah menikah? Atau janda? Atau apa gitu.”

“Oh, kalau itu jangan khawatir. Tadi aku sempat mengorek orek informasi tentang dirinya. Dia bilang dia belum menikah. Tapi masalah dia punya pacar atau belum aku tidak tahu, masa tiba tiba aku tadi nanyain dia sudah punya pacar atau belum kan aneh.”

“Ya jelas aneh,” Jennie tertawa. “Lalu tindakan kamu selanjutnya apa Drey?”

“Aku sudah menyuruh Pak Ridwan untuk mengantar wanita itu pulang. Nanti kan aku jadi tahu alamat rumahnya. Dari situ aku baru akan menyelidiki siapa dirinya.”

“Kamu kok repot begitu sih Drey, wanita itu kan kerja di cafe, kita datang saja lagi ke cafe itu, terutama kau, kau harus sering datang ke cafe itu dan bersahabat dengan wanita itu, nah setelah kalian akrab, baru deh kau jalankan rencanamu.”

“Wah, benar juga, kau pintar Jennie!”

“Siapa dulu,” Jennie kembali tertawa, “Jennie!”

Audrey ikut tertawa, “terima kasih ya sarannya! Aku tidak sabar untuk memulai segalanya sekarang. Kau nanti harus menemani aku ke cafe itu lagi!”

“Ashiap!” Jawab Jennie langsung.

~ ~ ~


POV Kiara

Aku baru memberikan pesanan kopi Mas Andra dan akan kembali ke counter kopi ketika Mas Andra menarik tanganku dan menyuruhku duduk di hadapannya.

“Mau kemana sih? Duduk dulu sebentar kenapa.” Kata Mas Andra sambil tetap memegang tanganku.

“Aduh Mas, aku banyak kerjaan,” ujarku, “Mas mau apa sih?”

“Banyak kerjaan katamu? Ngobrol dengan wanita wanita itu banyak kerjaan?” tunjuk Mas Andra ke arah Tante Audrey dan Tante Jennie.

“Mas, mereka kan pelanggan, kita harus menghormati pelanggan. Kalau sesekali ngobrol dengan pelanggan bolehlah.”

“Oke, mereka pelanggan, LALU AKU APA KIARA? AKU BUKAN PELANGGAN GITU? AKU HARUS BILANG WOW GITU?” teriak Mas Andra kesal.

“Ya, aku menganggap Mas Andra sebagai bagian dari cafe ini. Bukan pelanggan. Tapi apa ya. Pokoknya walau Mas Andra tidak punya saham di cafe ini, tapi Mas Andra sudah seperti Mas Bima, jadi bagian dari cafe ini, gitu.”

“Oh, aku ngerti, aku sudah seperti keluarga besar dari cafe ini, begitu maksudmu?”

“Ya, betul. Itu maksudku.”

“Okelah kalau begitu,”

“Jadi aku sekarang boleh pergi?” tanyaku.

“Ya, tapi jangan terlalu sering melayani para wanita itu ngobrol Kiara. Tiap aku ke sini kau sedang ngobrol dengan mereka. Nggak enak sama Mas Bima. Apa kata Mas Bima nanti.”

“Mas Bima ngebolehin kok,” elakku, “tip mereka besar, mereka memberi tip ke tangan Mas Bima langsung kalau mereka pulang.”

“Serius?”

“Iya.”

“Ya, tapi menurutku sih sebaiknya para wanita itu lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarganya di rumah daripada menghabiskan waktu di cafe ini.”

“Keluarga mereka sibuk Mas Andra. Para suami mereka sibuk bekerja, para anak mereka sibuk dengan kegiatan masing masing. Bagus mereka menghabiskan uang mereka di cafe ini daripada menghabiskan uang mereka di klub atau tempat dugem lainnya.”

“Kamu tuh Ki, jawab melulu,” keluh Mas Andra.

Aku tertawa, “aku pergi dulu ya, mereka memanggilku lagi.”

“Oke,” Mas Andra mengangguk sambil melepaskan tanganku.

Aku kembali menghampiri Tante Audrey dan Tante Jennie yang dari tadi melambaikan tangan mereka ke arahku menyuruh aku menghampiri mereka.

Mereka sudah menjadi tamu tetap di cafe ini hampir tiga bulan ini. Mereka sering datang ke cafe terutama pada malam Minggu seperti sekarang.

Ada saja kegiatan yang mereka lakukan di cafe. Kadang minum kopi sambil membaca buku, kadang minum kopi sambil main game, tapi kebanyakan sih minum kopi sambil mainin HP masing masing.

Sejak aku mengembalikan dompet tante Audrey, tante Audrey bilang padaku bahwa ia ingin berteman denganku karena menurut dia, dia merasa sangat kesepian dan tidak punya seseorang untuk diajaknya curhat. Suaminya sibuk bekerja, anak anaknya juga sibuk dengan urusan masing masing. Kadang kalau Tante Jennie, - sahabat tante Audrey - tidak bisa menemaninya ke cafe, tante Audrey akan datang sendiri dan memintaku menemaninya ngobrol. Apa saja kami obrolkan, mulai dari cuaca, acara gosip di televisi sampai film atau lagu yang sedang hits.

“Ya tante, ada apa?” aku segera menghampiri tante Audrey setelah berhasil kabur dari tempat Mas Andra.

“Ki, siap siap. Besok pagi, hari Minggu pagi kita ke Solo.” Ujar tante Audrey.

“Ke Solo?” teriakku kaget. “Tapi..”

“Kamu jangan khawatir, tadi aku sudah minta ijin Mas Bima, dan Mas Bima memperbolehkan.” Potong Tante Audrey.

“Tapi hari Senin aku kerja, aku harus ke Palembang ke Jembatan Ampera untuk syuting iklan.”

“Itu tidak masalah. Minggu malam kau sudah dirumah lagi. Nanti kau akan diantarkan Pak Ridwan sampai rumah.”

“Kita naik pesawat Kiara,” ujar Tante Jennie. “Pesawat pagi sekitar jam 6 pagi, pulang juga begitu, naik pesawat lagi. Mana KTPmu, biar aku pesankan tiketnya sekarang.”

Aku akhirnya mengeluarkan KTPku dari dompetku dan memberikannya pada tante Jennie. Tante Jennie langsung memoto KTPku dengan HP mahalnya.

“Coba lihat,” tante Audrey memperhatikan KTPku, “alamat rumahmu di Yogya.” Gumamnya.

“Iya, rumah orangtuaku ada di Yogya.” Sahutku.

“Kalau begitu kita mampir ke Yogya pulangnya Jen, pesawatnya nanti dari Yogya saja.”

“Waktunya sempit Audrey, kau seperti tidak tahu ibumu saja. Ia pasti akan menahan kita lama. Nggak cukup waktu sehari ke dua tempat sekaligus.”

“Ya sudah deh, ke Yogyanya kapan kapan.” Kata tante Audrey, “kau tidak keberatan kan kalau kapan kapan aku main ke rumah orangtuamu di Yogya?” tanya tante Audrey padaku.

“Tidak, aku tidak keberatan.” Jawabku.

“Bagus kalau begitu. Sekarang kami pulang dulu untuk packing. Kau juga harus packing setelah kerjaanmu selesai, oke?”

“Oke.” Sahutku.

“Jangan khawatir tentang semuanya. Pulang pergi, tiket pesawatnya akan dipesan oleh Tante Jennie. Besok kami menjemputmu dini hari.”

“Oke, tante Audrey. Hati hati mengemudi.”

“Tentu, terima kasih Kiara. Sampai bertemu besok.”

“Ya, sampai bertemu besok.”

~ ~ ~

POV Kiara

Tia memperhatikan aku packing dengan wajah cemberut. “Asik banget sih diajak main ke Solo, aku boleh ikut nggak Kak Kiara?” tanyanya.

“Kayaknya nggak bisa Tia. Tante Jennie sudah memesan tiket pesawat pulang pergi untuk tiga orang.”

“Kakak asik banget sih kenal dengan orang kaya seperti mereka. Aku jadi ingin kerja di cafe seperti Kakak.”

“Mbak Ve nggak akan ngijinin kamu kerja di cafe. Tugas kamu kuliah yang benar Tia, jangan kepikiran kerja atau apa. Kamu enak, kuliah dibiayain, aku kuliah biaya sendiri. Jadi yang harus kamu lakukan sekarang tinggal fokus kuliah saja.”

“Ya, tapi dengan kerja di cafe kakak jadi kenal dengan orang orang borju seperti tante Audrey dan tante Jennie.”

Aku diam. Aku tidak akan memberi tahu Tia bahwa awal mula keakraban aku dengan mereka adalah setelah aku mengembalikan dompet tante Audrey yang tertinggal di cafe.

Aku takut Tia mengatai aku sok jujur atau apa. Karena dia pasti tidak akan percaya kalau aku mengembalikan uang lima juta rupiah yang aku temukan di dalam dompet pada pemiliknya.

“Kakak bawa baju berapa?” tanya Tia lagi.

“Tidak banyak Tia, kami tidak menginap, paling aku cuma bawa baju ganti satu, lalu perlengkapan mandi, kosmetik, itu saja.”

“Oh,” Tia masih terus memperhatikan aku. “Oleh oleh jangan lupa ya Kak.”

“Iya Tia, mudah mudahan tante Audrey dan tante Jennie mengajak aku mampir ke tempat oleh oleh sehingga aku bisa beli oleh oleh.”

“Mereka itu, tante Audrey dan tante Jennie terkenal nggak sih Kak, dandanan mereka happening banget, kayak artis.”

“Orang kaya memang seperti itu,” ujarku sambil tersenyum, “untuk tata rias wajah dan rambut saja kadang mereka ke salon, belum lagi rutin luluran dan segala macam, belum lagi suntik vitamin C, ya nggak heran lah kulit mereka kinclong seperti itu.”

“Nama mereka siapa sih?” tanya Tia sambil mengeluarkan HPnya.

“Memang kenapa Tia?” tanyaku,

“Ya siapa tahu mereka selebritis atau apa.”

“Aku tidak tahu nama lengkap mereka, yang aku tahu hanya tante Audrey dan tante Jennie saja.”

“Yah susah kalau begitu kalau aku mau nyari di google search.”

“Eh, tunggu, kakak pernah lihat fotocopy KTP tante Audrey, kalau tidak salah namanya Audrey Adinegoro.”

Tia langsung mengetik nama lengkap tante Audrey di google search dan berteriak girang karena ia menemukan akun instagram tante Audrey.

“Dia selebgram Kak. Followernya banyak sekali.”

“O ya?” tanyaku.

“Iya,” Tia memperhatikan foto tante Audrey satu satu. “Ini ada foto yang sedang bersama tante Jennie, mereka sedang di Paris.”

Aku hanya tersenyum sambil memasukkan peralatan mandiku ke dalam tas ranselku.

“Oh My God, anak cowoknya tampa sekali.” Teriak Tia lagi.

“Tahu darimana itu anak cowoknya?” aku tertawa.

“Dia berfoto dengan seorang pria muda dan pria separuh baya. Itu pasti suaminya dan anak laki lakinya.”

“Siapa tahu keponakannya atau siapa gitu.” Komentarku lagi.

“Kakak nggak mau lihat? Senyum pria muda itu manis sekali.”

“Pria muda? Maksudmu anak kuliahan sepertimu?”

“Tidak, maksudku, dia pria dewasa, tapi pria yang satunya lagi sudah berumur. Itu yang aku maksud pria muda. Dia lebih muda dari pria yang satunya, seperti anak tante Audrey ini seumuran Kak Kiara.”

“Ooh,”

“Kakak nggak mau lihat?” tanya Tia lagi.

“Tidak Tia. Aku mau mandi sekarang, setelah itu aku mau tidur. Aku capek sekali hari ini.”

“Kak, nanti menyesal loh,” teriak Tia sambil tertawa.

“Menyesal kenapa sih?”

“Menyesal karena tidak melihatnya sekarang.”

“Ya ampun Tia, nanti kakak juga bisa melihatnya, kakak nanti akan follow instagram tante Audrey.”

“Aku sudah.” Tia tertawa, “sekarang aku mau mencari tahu instagram tante Jennie.”

~ ~ ~

BAB SEPULUH


Aku memperhatikan rumah orangtua tante Audrey di Solo dengan kagum. Rumahnya perpaduan antara rumah modern dan tradisional.

Sejak dari pintu gerbang, jalanan menuju rumah utama adalah bebatuan, sementara taman yang ada di halaman yang luas ditata dengan apik. Beraneka bunga tumbuh disana, tapi bunga yang mendominasi adalah bunga anggrek.
Ada dua bangunan di rumah orangtua tante Audrey. Bangunan utama adalah bangunan yang aku pertama temui. Bangunan ini merupakan bangunan modern. Terdiri antara lain ruang tamu yang luas, ruang makan yang luas, beberapa kamar tidur untuk tamu dengan kamar mandi di masing masing kamar, lalu dapur.

Rumah kedua berada di belakang rumah utama berupa bangunan tradisional khas Jawa Tengah yaitu rumah Joglo. Di rumah bernuansa tradisional inilah orangtua tante Audrey tinggal.

Antara rumah pertama dan rumah kedua dihubungkan dengan dua buah kolam ikan yang bentuknya memanjang, dimana di kedua kolam itu terdapat banyak ikan mas.

Rupanya, ayah tante Audrey suka berternak ikan. Tapi ikan ikan itu tidak untuk dijual melainkan untuk dikonsumsi sendiri.

Berbeda dengan halaman rumah bernuansa modern yang dipenuhi oleh tanaman bunga, di halaman rumah bernuansa tradisional dipenuhi oleh tanaman jamu jamuan dan apotik hidup.

Menurut tante Audrey, keluarga tante Audrey dari dulu hingga sekarang tinggal di rumah Joglo tersebut, sementara rumah yang bernuansa modern diperuntukkan untuk tamu yang datang.

Orangtua tante Audrey adalah pengusaha. Ayah dan ibu tante Audrey bekerja di pabrik kosmetik yang diwariskan kakek nenek tante Audrey dari pihak ibu. Dan karena bekerja sebagai pengusaha itulah mereka sering kedatangan tamu rekan kerja mereka.

Mereka menempatkan para tamu itu di bangunan modern, terpisah dengan rumah tuan rumah sehingga para tamu itu tidak merasa risih dengan tuan rumah. Dan leluasa dalam bertindak layaknya tamu di hotel atau losmen. Tapi perbedaannya dengan tamu di hotel atau losmen, tamu di rumah keluarga tante Audrey tentu saja tidak harus membayar biaya penginapan dan yang lainnya.

Dan bahkan walau sekarang orangtua tante Audrey sudah pensiun dari pekerjaan mereka, mereka tetap saja kedatangan tamu baik itu saudara, sahabat, atau rekan mereka.

Setelah berkenalan dengan orangtua tante Audrey dan berbincang bincang sejenak dengan mereka, aku dan tante Jennie - masing masing - di tempatkan di sebuah kamar untuk beristirahat. Sementara tante Audrey langsung pergi ke rumah belakang, ke kamar masa kecilnya di rumah Joglo.

Aku mengagumi kamar yang aku tempati sekarang. Kamarnya indah, bersih dan luas, layaknya kamar di hotel bintang lima. Tempat tidur, lemari dan tempat duduknya terbuat dari kayu dengan ukiran kayu yang cantik, sementara kamar mandinya berupa shower yang di sekitarnya ada berbagai macam tanaman yang ditaruh di sana sementara atapnya sangat tinggi dan separuh atapnya terbuka sehingga langit kelihatan. Sepertinya kalau hujan, air hujan bisa masuk sebagian ke kamar mandi tersebut, sehingga kalau mandi disana seperti mandi di alam bebas.

Tersedia air dingin dan air panas yang bisa diatur tingkat kepanasannya di shower tersebut. Aku akhirnya memutuskan mandi dibawah siraman air hangat untuk melepaskan rasa penatku selama perjalanan tadi.

Selesai mandi, wedang ronde dan beberapa makanan kecil sudah tersedia di meja kecil disamping jendela yang menghadap ke taman.

Beberapa makanan kecil itu antara lain roti kecik, ketimus dan kue mandarijn.

Sambil menikmati pemandangan taman yang indah aku mencicipi roti kecik. Rasanya manis. Roti kecik adalah salah satu makanan kecil khas Solo yang terbuat dari beras ketan.

Sedang asik asiknya menikmati roti kecik, pintu kamarku tiba tiba diketuk seseorang.

Aku langsung berjalan ke arah pintu dan membukanya, ternyata tante Audrey. Tante Audrey tampak tersenyum menatapku.

“Kau tidak sedang tidur kan?” tanyanya.

Aku menggeleng, “tidak. Aku habis mandi, masa tidur melulu, di pesawat tadi aku sudah puas tidur.”

Tante Audrey tertawa, “ayo, ikut ke kamar tante di rumah belakang, tante ingin menunjukkan sesuatu padamu.”

Aku mengikuti langkah tante Audrey ke rumah belakang. Melewati kolam ikan yang panjang, melewati kebun tanaman obat yang tertata rapi, lalu masuk ke rumah Joglo.

Kursi di ruang tamu rumah itu sangat antik, sementara beberapa lukisan bunga tergantung di beberapa sudut dinding rumah.

Tante Audrey mengajakku memasuki kamarnya, yang luasnya dua kali luas dari kamar yang aku tempati. Tante Audrey lalu membuka lemari yang terbuat dari kayu jati dan mengeluarkan baju baju batik yang ada di dalamnya dan menjejerkan baju batik itu di atas tempat tidur.

“Ini baju bajuku saat aku masih gadis dulu, saat seumuran denganmu,” ujar tante Audrey, “rata rata baju ini hanya dipakai sekali atau dua kali, seingatku sih dulu dipakai untuk menghadiri acara kawinan atau semacam itu, tapi karena perawatannya bagus, jadi baju ini awet. Warnanya tidak luntur.”

“Iya tante, baju ini bagus bagus, seperti baru.” Komentarku sambil memperhatikan baju baju cantik dihadapanku, kebanyakan adalah longdress tapi beberapa diantaranya ada sackdress, kemeja dan kulot.

“Kalau kamu mau, ambillah beberapa untukmu Kiara, pilih yang kau suka.”

“Aku?” tanyaku kaget, “Tante akan memberikan beberapa baju ini untukku?” tanyaku kurang yakin.

“Ya. Itu juga kalau kau suka, kalau kau anggap itu kuno ya…”

“Tidak tante, ini sama sekali tidak kuno,” ujarku bersemangat, “ini keren.”

“Ya, aku sependapat denganmu, ini semua keren, sayangnya tubuhku sudah tidak muat lagi dibaju ini, jadi ya, baju ini hanya pajangan tanpa bisa kupakai. Tapi ditubuhmu sepertinya muat.”

Aku langsung mencoba salah satu baju dan memang muat. “Tante tidak punya anak perempuan yang bisa jadi pewaris dari baju baju ini?” tanyaku masih tak percaya dengan apa yang terjadi.

“Anak perempuan tante? Dinda?” Tante Audrey langsung tertawa, “pertama, dia kurang suka batik. Kedua, tubuhnya hampir sama denganku, jadi sudah dipastikan baju baju itu tidak muat di tubuh Dinda.”

“Tante berarti dulu kurus sepertiku?” tanyaku sambil mencoba lagi beberapa baju. “Maksudku sekarang juga tidak terlalu gemuk, tapi tidak kurus juga.”

“Ya,” tante Audrey mengangguk, “aku dulu kurus seperti kamu sekarang, ibuku sangat menjaga kerampingan tubuhku. Hampir tiap hari aku dicekoki jamu galian singset.”

Aku tertawa. “Aku tidak harus dicekoki apapun, tapi tubuhku begini.”

“Kau beruntung.” Tante Audrey tersenyum memperhatikan tubuhku, “kau sepertinya tidak harus banyak berolahraga, tapi tetap bisa makan banyak.”

“Aku punya banyak kegiatan tante,” ujarku, “aku selalu tidur di atas jam sepuluh malam dan sudah harus bangun jam lima subuh setiap harinya, dan tidak pernah punya waktu beristirahat walau hanya satu haripun.”

“Kau tidak harus bekerja di cafe sebenarnya Ki. Kau tidak harus bekerja keras seperti itu. Apa gajimu kurang?” tanya tante Audrey dengan nada khawatir.

“Tidak juga sih,” sahutku, “gajiku cukup. Aku suka saja kerja di cafe. Disana aku dapat teman baru. Mereka biasanya pelanggan setia cafe. Tadinya mereka sering datang ke sana jadinya berteman deh.”

“Seperti aku?” tante Audrey langsung tertawa.

“Ya, seperti tante.”

~ ~ ~

POV Kiara

Aku mengepak baju batik yang diberikan tante Audrey dengan gembira. Baju itu sungguh bagus bagus semuanya. Menurut tante Audrey tidak semua bajunya mahal, tapi tante Audrey selalu memperhatikan kualitas kain kalau membeli baju, seperti tidak luntur, tidak panas, tidak mudah sobek dan lain lain.

Aku tadinya hanya memilih lima baju saja. Dua longdress, dua sackdress, dan satu baju setelan kaos dengan kulot.

Tapi tante Audrey memberikan aku sepuluh baju dan aku tidak boleh menolak pemberiannya.

Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih padanya.

Aku sungguh tak menyangka pertemananku dengan tante Audrey membawa banyak keberuntungan untukku, karena selain mendapatkan warisan baju baju cantiknya, aku juga dapat liburan gratis dadakan seperti ini. Walau liburannya hanya satu hari. Aku termasuk jarang sekali liburan. Hanya saat lebaran saja aku bisa liburan dan pulang kampung ke rumah orangtuaku.

Sungguh, libur sehari ke Solo sama sekali tidak ada di agenda harianku.

Selesai mengepak baju aku lalu duduk di bale bale di dekat kolam ikan dan memperhatikan ikan ikan disana.

Ibu tante Audrey lalu datang menghampiriku dan duduk disampingku, lalu memperhatikan ikan ikan itu juga, sementara tante Jennie, tante Audrey dan para asisten rumah tangga ibu tante Audrey sibuk mempersiapkan makan siang.

“Mamamu pasti sibuk sehingga tidak bisa ikut ke sini bersama Audrey dan Jennie.” Komentar ibu tante Audrey mengagetkan.

“Mamaku?” tanyaku heran.

“Ya, kau sepertinya seumuran dengan cucu pertamaku, jadi kau pasti anak dari salah satu sahabat Audrey di Jakarta. Karena anak Jennie laki laki semua.”

“Tidak eyang Uti, tidak seperti itu.” Ujarku.

Tante Audrey memanggil ibuya eyang Uti, singkatan dari Eyang Puteri, mungkin karena anak anak tante Audrey memanggilnya begitu. Aku jadi ikut ikutan memanggil eyang Uti, karena aku tidak tahu harus manggil apa.

“Lalu seperti apa?”

“Ehm, begini eyang Uti, aku kan kerja di suatu cafe di Jakarta, nah tante Audrey adalah salah satu pelanggan di cafe tersebut, nah dari sanalah aku kenal tante Audrey.”

“Oh begitu.”

“Iya.”

“Aneh juga ya,” gumam ibu tante Audrey.

“Kok aneh?” tanyaku heran.

“Anakku itu termasuk orang yang sulit bergaul loh. Dia orangnya introvert. Tidak mudah bergaul dengan orang lain. Jadi bisa akrab dengan kamu itu aneh.”

“Ya, mungkin tante Audrey sekarang berubah.” Komentarku.

“Tidak ah, dari dulu temannya itu itu saja, tidak nambah tidak berkurang. Audrey termasuk susah dalam berteman atau pacaran.”

“O, ya?” sahutku sambil tertawa, “apakah pacar tante Audrey dulu adalah suaminya sekarang? Maksudku, apakah pacarnya tante Audrey teman sekolahnya atau teman kuliahnya hingga mereka menikah?”

“Audrey tidak cerita padamu?” tanya ibu tante Audrey.

“Cerita tentang kisah cintanya?” aku balik bertanya, “tidak, tidak pernah.”

“Begini, waktu SMA dulu Audrey punya pacar, sahabat masa kecilnya yang juga kakak kelasnya di SMA, nama pacarnya Arman. Rumah Arman dan keluarganya dulu tidak jauh dari sini, tapi sejak Arman lulus SMA mereka sekeluarga pindah entah kemana. Nah, entah karena apa tiba tiba hubungan Arman dan Audrey putus, lalu Arman pacaran dengan salah satu teman sekelas Audrey.”

“Wah, kasihan tante Audrey. Dia pasti patah hati.”

“Ya, itu pasti. Nah setelah pacaran dengan Arman, Audrey tidak punya pacar lagi saat kuliah, sepertinya dia kapok pacaran.”

“Sepertinya cintanya untuk pria yang bernama Arman itu sangat dalam.”

“Sepertinya begitu,” ibu tante Audrey lalu menghela nafas. “Itu terbukti dengan dia tak pernah pacaran lagi.”

“Lalu cara tante Audrey bertemu dengan suaminya sekarang bagaimana?” tanyaku penasaran.

“Aku jodohkan,” ibu tante Audrey tertawa, “kukira Audrey akan menolak perjodohan ini, tapi ternyata ia menerima. Suaminya adalah salah satu anak dari rekan bisnisku.”

“Tante Audrey pasti mencintai suaminya sekarang karena pernikahan mereka awet hingga sekarang.” Ujarku sambil tersenyum.

“Mungkin. Entahlah. Aku tidak tahu juga. Pada mulanya sih sepertinya tidak cinta, tapi seiring berjalan waktu, Audrey sepertinya mulai mencintai suaminya.”

“Syukurlah kalau begitu,” aku tersenyum, “karena memang itu yang harus terjadi.”

“Ya, aku setuju denganmu.”

“Makan siang sudah siap,” tante Jennie tiba tiba berseru ke arah aku dan ibu tante Audrey, “ayo kita makan!”

~ ~ ~

Tia berseru senang saat aku memberikan oleh oleh padanya. Tia bukan saja mendapat beberapa snack dan roti, tapi juga satu baju batik yang cantik.

Baju batik itu baru. Tante Audrey masih memberikan tiga baju batik baru padaku. Dan aku memutuskan memberikan satu pada Tia karena tubuh Tia seukuran dengan tubuhku.

Setelah makan siang tadi, tante Audrey dan tante Jennie mengajakku berbelanja baju batik di pasar Klewer.

Tante Audrey dan tante Jennie membeli beberapa baju batik untuk mereka sendiri dan keluarga mereka.

Aku ikut dibelikan baju oleh tante Audrey, sementara tante Jennie membelikan aku tas belanja yang besar yang salah satu bahannya terbuat dari kain batik yang sangat bagus.

Kami menghabiskan waktu kurang lebih dua jam untuk berbelanja batik di sana.

Setelah itu kami mampir dulu ke toko roti Orion untuk membeli oleh oleh, lalu makan sate buntel di salah satu angkringan, sebelum akhirnya pulang ke Jakarta dengan pesawat keberangkatan jam tujuh malam.

Di bandara kami dijemput Pak Ridwan, supir tante Audrey. Pak Ridwan mengantar aku pulang terlebih dahulu, lalu mengantar tante Jennie pulang dan terakhir pulang ke rumah tante Audrey.

Aku sangat senang hari ini. Jalan jalan ke Solo hari ini akan menjadi kenangan indah bagiku yang tidak mudah begitu saja aku lupakan.

~ ~ ~

BAB SEBELAS


POV Author

Tidak seperti malam malam sebelumnya, malam ini tidak turun hujan. Langit terlihat cerah, bintang bintang bertaburan di langit malam sementara bulan hanya terlihat separuh.

Audrey dengan hati hati memarkir mobilnya di pelataran parkir  cafe Mas Bima. Audrey memarkir mobilnya dengan mudah karea tempat parkir malam ini kosong tidak seperti biasanya yang selalu penuh sehingga ia harus memarkir mobilnya agak jauh dari cafe.

Audrey lalu turun dari mobil sambil membawa sebuah keranjang makanan. Ia lalu memasuki cafe dan menghampiri Mas Bima yang sedang mengelap gelas gelas basah.

“Selamat Malam,” ujar Audrey pada Mas Bima.

“Selamat malam tante.” Sahut Mas Bima ramah. “Mau pesan seperti biasanya?”

“Iya, nanti, aku mau ketemu Kiara dulu, Kiara ada?”

“Ada, tadi pulang kerja langsung ke atas.”

“Ya sudah, aku ke atas sebentar ya. Belum mau tutup kan cafenya? Aku tahu Ini sudah hampir jam sebelas malam, tapi aku punya waktunya jam segini mampir kesini.”

“Belum kok tante, santai saja.”
“Ya sudah, sampai nanti.” Audrey lalu berjalan lagi ke luar cafe lalu berjalan menuju tangga yang terletak tidak jauh dari cafe lalu menaiki tangga untuk menemui Kiara.

Audrey mau mengetuk pintu ketika didengarnya Kiara sedang berdebat dengan seseorang.

Audrey akhirnya duduk di teras tanpa tahu harus berbuat apa. Suara Kiara masih terus terdengar, ia sedang bicara dengan seorang wanita yang entah siapa.

“Jadi aku harus bagaimana?” tanya Kiara pada seseorang. “Aku sudah bilang pada ibu agar memberi restu padamu agar menikah lebih dulu dari aku.”

“Tapi Ibu tetap tidak mau Mbak, Mbak harus berusaha dengan keras dong, cari calon suami dengan sungguh sungguh kek.

“Laras, pernikahan itu sesuatu yang serius, kita menjalani pernikahan kalau bisa untuk jangka waktu yang lama, aku tidak bisa dengan sembarangan mencari calon suami begitu saja dan menikah dengannya.”

“Lalu aku harus menunggu berapa lama lagi Mbak?”

“Aku tidak tahu.”

“Enteng sekali jawaban Mbak,”

“Karena aku benar benar tidak tahu Laras. Nanti aku berusaha bicara dengan ibu lagi, mudah mudahan kali ini ibu tidak keras hati lagi.”

“Terserahlah.”

Audrey akhirnya berdiri dari duduknya dan mengetuk pintu. Dia tak punya waktu lama untuk mendengarkan perdebatan itu. Kiara segera membukakan pintu.

“Tante Audrey,” ujar Kiara kaget, “ada apa?”

Audrey tersenyum ke arah Kiara. Mata Kiara nampak merah dan sembab, sepertinya ia habis menangis.

“Dirumahku tadi ada arisan, dan ada banyak kue. Aku membawakan sebagian kue kue itu untukmu.” Ujar Audrey sambil menyerahkan keranjang kue yang dibawanya pada Kiara.

“Terima kasih tante,” Kiara menerima keranjang kue itu. “Tante ke sini diantar Pak Ridwan?”

“Tidak. Pak Ridwan sedang mengantar Om dan Tanteku ke Jatibening.”

“Ooh,” Kiara mengangguk, “masuk dulu tante, diluar dingin.”

“Tidak usah, aku mau ke cafe saja.”

“Ya sudah kalau begitu, sekali lagi terima kasih tante.”

“Iya, sama sama Kiara. Sampai bertemu lagi.”

“Iya, sampai bertemu lagi.” Ujar Kiara, “aku sedang ada tamu tante, jadi tidak bisa menemani tante ngobrol seperti biasanya.” lanjut Kiara. “Maaf.”

“Tidak apa apa. Aku juga di cafe cuma sebentar kok, sebentar lagi cafenya juga tutup.”

“Iya, hati hati nanti menyetir ya tante.”

“Ok.”

Audrey lalu berjalan menuruni tangga. Ia merasa heran kenapa Kiara tidak memperkenalkan wanita, yang sepertinya adiknya itu pada dirinya.

Ia lalu berjalan memasuki cafe dan memesan minuman yang biasa ia pesan.

Mas Bima langsung membuatkan pesanan Audrey. Hanya Mas Bima yang ada di cafe itu, karyawannya sudah pulang semua.

Sambil menunggu pesanannya datang, Audrey berusaha mencerna perdebatan Kiara tadi. Dari percakapan yang ia dengar sepertinya Kiara didesak menikah oleh adiknya karena ibu mereka tidak mengijikan adiknya menikah dulu dari Kiara.

Setelah pesanan kopinya datang, Audrey lalu meminum lambat lambat kopinya itu.

“Bima, aku ingin menanyakan sesuatu padamu, boleh kita ngobrol sebentar?” tanya Audrey akhirnya pada Mas Bima.

“Tentu tante,” Mas Bima akhirnya berjalan ke arah Audrey dan duduk dihadapannya. “Tante mau bertanya apa?”

“Tadi waktu ke atas tante secara tidak sengaja mendengar perdebatan Kiara dengan seseorang, sepertinya adiknya, dia seorang perempuan.”

“Laras?” tanya Mas Bima.

“Ya, mungkin itu namanya. Kiara tadi tidak memperkenalkan adiknya padaku.”

“Oke, lalu apa yang mereka perdebatkan?”

“Tentang pernikahan. Sepertinya Laras mendesak Kiara untuk segera menikah karena ibu mereka tidak memberi ijin pada Laras untuk menikah lebih dulu.”

“Hm, sepertinya buklik aku masih teguh dengan pendiriannya.”

Buklik kamu?” tanya Audrey heran.

“Ya, ibunya Kiara dan Laras adalah buklik aku.”

“Jadi kamu kakak sepupunya Kiara?”

“Ya, Kiara tidak cerita pada tante?”

“Tidak, Kiara tidak pernah bilang mengenai hal ini padaku.”

Mas Bima tersenyum, “aku kira Kiara sudah cerita jadi aku tidak memperkenalkan diri pada tante.”

“Tidak apa apa tahu sekarang daripada tidak tahu sama sekali.” Audrey tertawa, “jadi ibu mereka tetap tidak mengijinkan Laras menikah dulu dari kakaknya?”

“Ya, dan ini sudah terjadi hampir dua tahun ini, tepatnya setelah pacar Laras serius dengan Laras dan melamarnya.”

“Kasihan kiara didesak seperti itu.”

“Iya.” Gumam Mas Bima, “harusnya ibu mereka mempermudah semuanya untuk mereka sehingga mereka tidak berada dalam situasi sulit seperti ini. Laras bisa menikah dengan tenang dan Kiara bisa mencari calon suami dengan tenang.”

“Mungkin ibu mereka punya alasan sendiri tentang hal ini,” ujar Audrey, “bicara soal mencari calon suami untuk Kiara, aku punya ide.” lanjut Audrey dengan semangat.

“Ide? Ide apa?” tanya Mas Bima heran.

“Bagaimana kalau Kiara aku jodohkan dengan anak laki lakiku?”

“Anak laki laki tante?” Mas Bima kaget, “memang tante punya anak laki laki?”

“Ada, dan dia belum menikah. Aku pikir ini salah satu jalan keluar yang baik untuk semuanya.”

“Kiara tahu tentang rencana ini?” tanya Mas Bima.

“Tidak, dia tidak tahu, menurutmu Kiara akan keberatan kalau sudah kuberitahu?”

“Entahlah, mungkin dia keberatan.”

“Tapi mudah mudahan tidak, kita belum mencobanya kan?”

“Anak tante sendiri tahu tentang hal ini dan setuju?”

Senyum Audrey langsung hilang. Dia merasa yakin Devano akan menentang ini mati matian.

“Kalau anakku sayang pada mamanya seharusnya dia juga tidak keberatan,” ujar Audrey akhirnya, “nanti aku bicara padanya.”

Mas Bima terdiam cukup lama. “Ehm tante, kupikir ide ini tidak bagus.”

“Tidak bagus bagaimana sih, kita kan belum mencobanya.”

“Ya, tapi…”

“Ayolah Bima, bantu aku mewujudkan hal ini ya?”

“Kita lihat saja nanti apa Kiara mau atau tidak,” ujar Bima akhirnya, “karena Kiara yang akan menjalani ini, jadi keputusannya ada pada dirinya.”

“Ya, sudah kalau begitu, tante pulang dulu. Nanti biar tante yang bicara dengan Kiara.”

“Oke tante.”

“Terima kasih untuk semuanya. Selamat malam.” Audrey pergi dari hadapan Mas Bima setelah menaruh uang seratus ribu rupiah di atas meja.

Mas Bima mengambil uang itu lalu ia menelepon sahabatnya.

“Bima demi Tuhan jam berapa ini? Elu sudah mengganggu tidur gue,” teriak orang yang ditelepon Mas Bima.

Halah, sok merasa terganggu lagi, biasanya juga elu tidur subuh!” komentar Mas Bima.

“Iya, tapi malam ini pengecualian!”

“Sudah, lebih baik elu bangun dan dengarkan gue baik baik.”

“Dari tadi aku mendengarkan,” gumam suara di seberang sana.
“Mendengarkan sambil tidur kan?” ujar Mas Bima. “Andra, gue mau tanya satu hal sama elu, apa elu masih menyukai Kiara?”

“Kenapa memangnya?”

“Jangan nanya balik! Kayak kuis aja lu nanya balik ke gue!”

“Ya, tapi kenapa? Kalau masih suka kenapa? Kalau sudah tidak suka kenapa?”

“Itu bukan jawaban.”

“Oke, masih, gue masih suka, memangnya kenapa?”

“Ehm malam ini, tepat jam dua belas malam waktu cafe gue, gue nyatakan sama elu Bima Prasetya kalau gue merestui elu pacaran sama Kiara.”

“Hah serius?” teriak Mas Andra tak percaya. “Ada angin apa lu tiba tiba merestui gue kayak gini?”

“Angin bahorok. Udah jangan banyak nanya. Udah bagus gue restui.”

“Tapi pasti ada sesuatu. Elu nggak akan ngasih angin segar begini ke gue kalau enggak ada sesuatu. Ada apa sih?”

“Lu tahu tante Audrey?” tanya Mas Bima.

“Ya, tahu, akhir akhir ini dia dekat dengan Kiara.”

“Nah, wanita itu akan menjodohkan Kiara dengan anak laki lakinya.”

“Apa?!”

“Makanya, kalau elu nggak mau kehilangan Kiara, lu harus bergerak cepat sebelum Kiara diambil wanita itu sebagai menantunya.”

“Oke, itu akan gue lakukan!”

~ ~ ~



BAB DUA BELAS

POV Kiara

Bangun tidur aku mendapat pesan WA dari Mas Andra kalau Sabtu pagi ini dia mengajakku pergi ke Kepulauan Seribu untuk hunting foto.

Ia bahkan sudah booking dua kamar untuk aku dan dirinya menginap di sebuah penginapan di salah satu pulau di sana.

Ia meminta aku bersiap siap dan akan menjemput aku jam sepuluh pagi. Ia juga bilang kalau Mas Bima mengijinkan aku pergi dan tidak harus bekerja dua hari ini.

Walau bingung harus menjawab apa, akhirnya aku mengiyakan permintaan Mas Andra.

Aku langsung mencari tas ranselku dan memilih baju yang akan kubawa.

Rasanya aku mengalami de ja vu saat packing seperti ini. Baru beberapa waktu yang lalu aku packing dadakan untuk pergi ke Solo dan sekarang aku packing dadakan lagi untuk pergi ke Kepulauan Seribu.

Kenapa semua orang memintaku pergi dengan cara mendadak seperti ini sih?!

Selesai packing aku langsung mandi dan sarapan. Setelah sarapan aku menunggu Mas Andra di teras atas.

Sambil menunggu aku lalu berpikir apakah Mas Andra mengajak Yola juga atau tidak. Kalau Mas Andra sampai tidak mengajak Yola, karena Yola sibuk bekerja, misalnya, apa kata Yola nanti?! Yola pasti akan marah lagi padaku seperti yang pernah ia lakukan dulu kalau tahu aku akan menghabiskan waktu dengan pacarnya.

Tapi untuk bertanya tentang Yola pada Mas Andra aku juga malas, kupikir Mas Andra sudah dewasa, ia pasti mengerti apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak berkenaan dengan aku dan Yola. Dan kalau sampai Mas Andra mengajak aku pergi seperti sekarang tanpa Yola, mungkin Yola sudah mengetahui tentang hal ini, tidak mungkin kan Mas Andra pergi bersamaku diam diam tanpa sepengetahuan Yola. Tapi sudahlah, aku tidak mau berpikir tentang hal ini.

Aku lalu bangun dari tempat dudukku, mengambil ranselku dan mengunci pintu. Aku memutuskan untuk menunggu Mas Andra di cafe saja.

Mas Andra datang menjemputku tepat jam sepuluh pagi. Dia datang dengan menggunakan taksi. Taksi konvensional bukan taksi online.

Setelah pamit pada Mas Bima kami pun pergi menggunakan taksi menuju dermaga Marina, Ancol.

Mas Andra bilang, ia sudah menyewa sebuah speedboat disana. Speedboat itu pula yang akan menemani Mas Andra dan aku menjelajahi pulau pulau di Kepulauan Seribu selama dua hari ini.

Pak Hendra, pengemudi speedboat yang disewa Mas Andra menyambut kami dengan ramah.

Kamipun duduk di dalam speedboat dan memulai perjalanan. Pulau yang akan kami kunjungi adalah pulau Pramuka, butuh waktu sekitar satu jam lebih untuk mencapai pulau Pramuka dari dermaga Marina Ancol dengan menggunakan speedboat, sementara kalau menggunakan perahu biasa dan berangkat dari Muara Angke butuh waktu sekitar tiga jam.

Satu persatu pulau kami lewati saat speedboat kami melaju menuju pulau Pramuka, diantaranya pulau Bidadari dan pulau Onrust. Aku pernah ke pulau Bidadari sebelumnya untuk syuting iklan dan menginap selama dua malam disana.

Sama dengan kebanyakan pulau pulau lainnya di kepulauan Seribu, di pulau Bidadari juga ada wisma yang disewakan pada para wisatawan yang berkunjung ke sana.

“Fotonya untuk apa sih Mas?” tanyaku pada Mas Andra saat Mas Andra mulai mengeluarkan kameranya dan memotret  Pulau Bidadari dari kejauhan, “untuk koleksi pribadi?” tanyaku.

“Tidaklah, untuk dijual.” Jawab Mas Andra.

“Memang uang dari bikin game kurang sampai harus jualan foto segala?” tanyaku lagi.

Mas Andra langsung tertawa, “enggak, enggak kurang, permasalahannya begini : pertama, pekerjaanku itu, walau aku senang mengerjakannya, tapi terkadang bikin jenuh, nah untuk mengatasi jenuh itulah aku sering melakukan perjalanan  seperti ini, perjalanan terakhir yang aku lakukan, hampir empat bulan yang lalu aku pergi ke Raja Ampat, untuk refreshing doang, nah, kedua, aku punya hobi fotografi. Jadi sambil jalan jalan, aku ambil foto foto yang bagus deh.”

“Lalu dijual fotonya?”

“Ya.” Mas Andra mengangguk.

“Kemana Mas menjualnya?” tanyaku, “aku punya beberapa teman, tapi mereka memang fotographer profesional tapi mereka bekerja secara freelance, cuma kebanyakan dari mereka mengambil foto berdasarkan pesanan. Misal, kliennya meminta ia untuk mengambil foto foto gedung tua di Jakarta, mereka lalu hunting foto gedung tua di Jakarta, memperlihatkan hasilnya pada kliennya, lalu kliennya memilih foto yang ia mau, lalu dibayar deh.”

“Mungkin aku juga bisa melakukan hal itu kalau aku mau,” Jawab Mas Andra “tapi aku melakukan ini kan sambil iseng, tidak serius, jadi ya, aku menjualnya pada beberapa aplikasi yang memang memerlukan foto fotoku. Di aplikasi ini, foto kita bisa dibeli siapa saja yang memerlukan. Kadang kalau tidak ada yang butuh foto kita, foto kita juga tidak ada yang beli, tapi ya tidak masalahlah, kan sekali lagi aku melakukannya sambil iseng, dapat uang tambahan alhamdulillah, tidak juga tidak apa apa, tapi sejauh ini sih ada saja yang membeli fotoku. Baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.”

“Foto apa saja?” tanyaku, “foto laut seperti ini juga ada yang mau beli?”

“Foto apa saja.” Ujar Mas Andra, “foto laut, foto ikan, foto pegunungan, foto sawah, foto pelangi, foto bunga, apa saja Kiara, kebutuhan orang kan beda beda.”

“Tapi setelah dipikir pikir untuk apa ya mereka membeli foto foto itu?” gumamku.

“Ya untuk banyak keperluanlah. Misal bikin kalender khusus pegunungan, mereka malas ambil foto pegunungan sendiri, ya sudah mereka belilah foto pegunungan karya siapapun dimanapun, lalu mungkin ada yang perlu foto pemandangan alam untuk cover buku, cover majalah atau bahkan cover novel, lalu mungkin ada yang perlu foto bunga untuk dicetak di mug, dicetak di kaos dan untuk lainnya.”

“Sifatnya eksklusif?” tanyaku, “maksudku setelah mereka membeli foto kita, kita tidak boleh menjual foto yang sama pada orang lain?”

“Itu jelas. Ke-original-an foto itu sangat berperan disini. Tapi ya semua dikembalikan ke tanggung jawab masing masing si fotographer apakah mau berbuat jujur atau curang. Kalau aku sih, kalau fotoku sudah ada yang membeli, ya sudah, foto itu bukan milikku lagi. Begitu.”

“Ternyata enak juga ya, punya hobi tapi menghasilkan.” Gumamku.

“Ya.” Ujar Mas Andra, “asal kitanya kreatif. Bullshit saja kita tidak bisa hidup karena lowongan pekerjaan terbatas misalnya. Kita bisa menghidupi diri kita sendiri kok kalau kita kreatif. Katakanlah lowongan pekerjaan tidak ada untuk kita, ya kita ciptakan lowongan pekerjaan itu. Semua hal itu mungkin asal kita mau. Untuk yang punya hobi fotografi seperti aku bisa jualan foto, untuk yang hobi menulis bisa jadi content writer. Untuk yang punya hobi memasak bisa jual makanan yang enak. Jaman sekarang lebih enak dari jaman dulu, semuanya serba gadget, jual makanan di rumah juga bisa tidak harus menyewa tempat dan keluar uang untuk menyewa tempat, yaitu dengan memakai aplikasi go food misalnya.”

“Iya, itu aku setuju,” ujarku, “tetanggaku di kampung Mas, pinter banget bikin gudeg, gudegnya enak banget. Dia buka warung nasi di rumah dan pelanggannya banyak, suatu hari aku menyarankan pada dia untuk menawarkan gudegnya dengan memakai go food, ia ikuti saranku, sekarang Mas, beuu… yang beli bukan hanya masyarakat di sekitar rumahku saja tapi hampir seluruh masyarakat Jogya sepertinya membeli gudeg dia dengan cara online. Akhirnya, dia yang tadinya hanya kerja berdua dengan ibunya, sekarang jadi bekerja sekeluarga untuk memenuhi pesanan pelanggan. Kedua kakaknya sampai berhenti kerja di tempat lain untuk memajukan bisnis gudeg ini.”

See?” Mas Andra tersenyum, “aku bilang apa. Akan selalu ada jalan bagi mereka yang ada kemauan. Hidup itu jangan malas saja, intinya itu saja. Kita memang harus bekerja untuk hidup. Nah kalau kita tidak mau bekerja, siapa yang mau ngasih kita makan? Kecuali memang kita keturunan konglomerat yang hartanya nggak abis abis selama tujuh turunan, mungkin kita bisa bersantai menghabiskan uang yang ada.”

“Konglomerat juga banyak yang tetap bekerja,” ujarku sambil tertawa, “Bill Gates, misalnya, Mark Zuckerberg misalnya, kurang apa coba mereka, mereka udah kayak punya pohon duit saja tinggal metik duitnya, tapi mereka tetap bekerja.”

“Ya, kalau mereka konglomerat yang rajin, bukan konglomerat malas.” Mas Andra tertawa menatapku, “stop right there.Lanjutnya mengagetkan.

“Apa?” aku kaget.

“Diam di tempat, aku akan mengambil fotomu,”

“Ya iyalah diam ditempat, kalau aku bergeser nyebur ke laut dong!” teriakku.

View-nya bagus, smile Kiara.”

“Foto yang ada akunya nggak dijual kan?” tanyaku.

“Tidak, ini untuk koleksi foto pribadi, kau tak perlu khawatir.”

~ ~ ~

POV Kiara

Sampai di dermaga Pulau Pramuka aku mengagumi kejernihan air di sana. Berbeda dengan pulau Bidadari yang pernah aku datangi, air di pinggir pantai pulau Bidadari tidak sejernih air di pinggir pantai pulau Pramuka, mungkin karena pulau Bidadari letaknya masih lebih dekat ke Jakarta. Jadi masih mendapat kiriman sampah hehe.

Anak anak kecil tampak berenang dengan gembira di air yang jernih itu. Mas Andra langsung mengabadikan foto anak anak yang sedang berenang itu, dari mulai berdiri di sisi dermaga untuk siap siap meloncat ke air, saat meloncat dan akhirnya saat mereka menyentuh air, mereka tertawa tawa gembira.

“Kita istirahat dulu ya Kiara, paling setengah jam-an lah, habis itu makan siang, lalu kita hunting foto di pulau ini, setelah itu kita hunting foto sunset di pulau Keramba Bandeng.”

“Oke,” sahutku.

Kamipun lalu berjalan ke sebuah wisma yang letaknya tidak jauh dari dermaga. Di wisma itu Mas Andra sudah booking dua kamar untukku dan untuk dirinya.

Aku lalu istirahat di kamarku setelah sebelumnya menata bajuku yang tidak banyak ke lemari.

Aku bahkan sempat tertidur dan mungkin tidak akan bangun kalau Mas Andra tidak mengetuk pintu kamarku dan membangunkan aku.

Aku dan Mas Andra lalu makan siang di salah satu warung nasi yang terdapat di salah satu rumah penduduk.

Pulau Pramuka adalah salah satu pulau dengan jumlah penduduk yang cukup banyak. Mayoritas penduduknya beragama muslim.

Pulau Pramuka adalah bagian dari wilayah pulau Panggang, yang berjarak kurang lebih 1 kilometer dari pulau Pramuka. Di pinggiran pantai pulau Pramuka, banyak terdapat pohon bakau. Pulau Pramuka juga masuk ke zona pemanfaatan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dimana penduduknya boleh mengambil ikan dengan cara alat tradisional seperti jaring dan pancing. Di pulau Pramuka ini pula terdapat penangkaran penyu sisik.

Selesai makan siang, Mas Andra mengajak aku ke tempat penangkaran penyu sisik itu. Menurut keterangan petugas disana, telur telur penyu disana diambil dari pulau Peteloran Timur dan Pulau Peteloran Barat yang letaknya berada di gugusan terluar kepulauan seribu. Telur telur itu diambil untuk ditetaskan di media pasir yang dipagari sehingga tidak dimangsa predator. Tempatnya dibuat seperti habitat aslinya. Telur telur yang menetas kemudian dibesarkan di bak bak penangkaran. Usia penyu termuda adalah dua bulan dan usia tertua dua tahun. Penyu penyu itu nantinya akan dilepaskan ke laut lepas biar tidak punah.

Setelah mengunjungi penangkaran penyu, Mas Andra mengajak aku berjalan ke pinggir pantai untuk mengambil foto pohon bakau. Udara sedang tidak terik saat itu sehingga aku tidak merasa terlalu kepanasan. Karena seperti di Jakarta, udara di pulau Pramuka punya temperatur yang kurang lebih sama.

Setelah mengambil foto pohon bakau, kami akhirnya menemui Pak Hendra untuk minta diantar ke beberapa pulau lainnya dengan menggunakan speedboat.

Mas Andra mengambil banyak foto di pulau pulau yang kami singgahi, pulaunya bermacam macam, ada yang berpenduduk, ada juga pulau yang tak berpenghuni.

Setelah kurang lebih tiga pulau kami datangi, akhirnya kami sampai di pulau Keranda Bandeng atau pulau Nusa Keramba. Pulau Keranda Bandeng terletak diantara pulau Pramuka dan pulau Panggang. Di pulau ini terdapat penangkaran ikan hiu yang masih kecil kecil dan pastinya ikan bandeng. Ikan bandeng yang terkenal dari pulau ini adalah ikan bandeng duri lunak.

Mas Andra pun langsung mengambil foto penangkaran ikan disana.

Ikan ikan disana memang sengaja dipelihara untuk dijual. Kebanyakan dikirim ke supermarket supermarket di Jakarta dan bahkan ada juga yang diekspor.

Ada tempat pemancingan ikan bagi pengunjung yang ingin mancing. Ikan yang berhasil didapat akan ditimbang untuk menentukan harganya lalu dibawa pulang.

Tidak seperti pulau lainnya, di pulau Keramba Bandeng tidak ada penginapan. Jadi orang yang berkunjung ke sini hanya melihat lihat penangkaran ikan saja.

Senja pun mulai menjelang. Mas Andra langsung mengambil foto matahari terbenam yang untungnya bisa terlihat sore ini karena cuaca cukup cerah.

Setelah hunting foto sunset, kamipun makan malam di satu satunya restoran yang ada disana yang menyediakan masakan laut.

Pak Hendra ikut makan bersama kami, tapi ia tak mau duduk bersama kami, dan memisahkan diri duduk agak jauh dari kami.

~ ~ ~

POV Andra

Aku baru menghabiskan menu utamaku dan sedang menikmati puding kelapa muda.

Aku memperhatikan Kiara, ia juga sedang makan puding seperti aku.

Aku tidak tahu bagaimana harus memulainya. Maksudku menyatakan perasaanku pada Kiara. Sejak pergi ke kepulauan Seribu aku sudah menyiapkan diri untuk ini, tapi ternyata semuanya tidak semudah yang kubayangkan. Nembak Kiara ternyata lebih susah dari bikin game tembak tembakan yang biasa aku kerjakan.

“Habis dari sini kita kembali ke pulau Pramuka?” tanya Kiara mengagetkan.

“Ya,” sahutku, “masa mau tidur disini bareng ikan hiu.”

Kiara tertawa, “kali aja mau.”

“Enggalah, kasihan Pak Hendra sudah capek. Kalau aku sih enggak ada capeknya,” ujarku sambil tertawa.

“Ok kalau begitu.” Kiara melanjutkan makan pudingnya lagi.
Aku kembali didera rasa gugup. Ini benar benar momen yang pas. Dinner yang romantis di suatu pulau, dengan sunset yang keren. Kapan lagi aku punya momen seperti ini.

“Ki…” ujarku.

“Ya?”

“Aku…”

“Sebentar,” potong Kiara, “tante Audrey menelepon.”

“Oke,” aku membiarkan Kiara ngobrol dengan tante Audrey sampai selesai.

“Tante Audrey ingin bertemu denganku, besok kita pulang jam berapa Mas?” tanya Kiara setelah pembicaraannya dengan tante Audrey selesai.

“Mungkin jam sepuluhan, aku masih mau hunting sunrise di pulau Pramuka.”

“Oke, mungkin besok aku ketemu tante Audrey sore saja.” Kiara tersenyum, “tadi Mas Andra mau ngomong apa?” tanya Kiara mengagetkan.

Aku langsung deg degan. “Tidak, tidak apa apa, tadi aku mau mengajakmu kembali ke pulau Pramuka karena hari sudah malam, takut hujan juga, takut ombaknya besar.”

“Oke,” Kiara kembali tersenyum, “ayo kita kembali.”

~ ~ ~


POV Andra

Bima menyambut kedatanganku ke cafe dengan tersenyum lebar. Aku duduk di salah satu sudut cafe tanpa menggubris senyumnya.

Aku dan Kiara baru kembali dari kepulauan Seribu. Kiara langsung pergi ke lantai atas setelah turun dari taksi. Ia mengucapkan terima kasih padaku karena sudah mengajaknya jalan jalan. Lalu ia melambaikan tangannya sambil tersenyum padaku saat berjalan menaiki tangga ke arah tempat tinggalnya.

Setelah Kiara hilang dari pandanganku, aku akhirnya masuk ke cafe.

“Bagaimana?” Bima langsung menghampiriku dan duduk dihadapanku, “semuanya lancar?”

“Foto yang gue dapet sih banyak banget,” komentarku.

“Gue nggak bertanya tentang foto!” seru Bima, “bikin emosi saja.”

“Belum Bima, gue belum nembak Kiara.”

“APA?”

“Ssh jangan keras keras, elu tuh kenapa sih Bim, dulu lu ngelarang gue deketin Kiara, sekarang elu ingin gue cepet jadian sama Kiara.”

“Ya, gue sih sebenarnya terserah elu Ndra, kalau elu keduluan tante Audrey dan berhasil menjadikan Kiara sebagai menantunya, kan elu juga yang gigit jari.”

“Masalahnya Bim, gue tuh sayang banget sama Kiara, gue takut kehilangan dia.”

“Ya udah tunggu apa lagi kalau begitu. Elu harus cepat nyatain perasaan elu ke dia.”

“Kalau Kiara nolak gue gimana?”

“Kalau Kiara nerima elu gimana?” Bima balik bertanya padaku, “elu itu ya, belum nyoba udah punya asumsi begini, begitu, coba aja dulu, abis dicoba, kan jelas tuh, dapat jawabannya apa. Elu jadi nggak usah berasumsi macam macam lagi.”

“Permasalahannya itu ya Bim, gue itu punya kebiasaan jelek.”

“Emang,” sahut Bima. “Semua kebiasaan lu ngga ada bagus bagusnya dari dulu, jelek semuanya.”

“Kebiasaan jelek gue adalah,” sahutku tanpa menggubris kata kata Bima, “kalau gue udah ditolak cewek, gue akan musuhi cewek itu, nah, dalam kasus Kiara, kalau Kiara nolak gue, gue nggak mau musuhi dia. Gue selalu suka berada di sekitar dia.”

“Ya, jangan musuhi kalau begitu! Rubah kebiasaan jelek lu, repot banget sih hidup lu!”

I don’t know, semuanya pasti berubah kalau gue udah nembak dia. Kalau diterima alhamdulillah, tapi kalau ditolak pasti akan ada jarak, dan gue nggak mau itu terjadi.”

“Ya udah, terserah, keduluan tante Audrey baru tahu!” Bima akhirnya bangkit dari tempat duduknya dan pergi dari hadapanku dengan kesal.

“Oke, lain kali akan kucoba lagi!” teriakku pada Bima.

“Terserah!” Bima balas berteriak.

~ ~ ~


BAB TIGA BELAS

POV Kiara

Jakarta Minggu sore ini tidak terlalu macet. Yang aku suka dari Jakarta adalah bepergian setiap hari Sabtu atau Minggu karena tidak semacet hari hari kerja.

Apalagi pas musim liburan atau sekitar hari raya Idul Fitri, beuu main bola di Jalanan utama ibukota juga bisa hehe. Entahlah nanti kalau Jakarta sudah bukan ibukota lagi, mungkin ada perubahan sedikit dengan kemacetan di Jakarta. Mungkin Jakarta tidak akan terlalu macet lagi.

Aku menggunakan ojek online menuju mal Grand Indonesia di dekat bundaran HI. Aku ada janji dengan tante Audrey untuk makan di salah satu restoran Jepang di sana.

Sebenarnya tante Audrey menyarankan aku memilih mal yang dekat dengan tempat aku tinggal, tapi aku lebih setuju bertemu di mal dekat tante Audrey tinggal, yaitu di daerah Menteng, karena aku menghormati tante Audrey saja, karena tante Audrey lebih tua dariku, kasihan kan kalau harus pergi jauh ke daerah tempat aku tinggal. Maka akhirnya kami sepakat bertemu di GI.

Entah kenapa tante Audrey tidak mengundang aku datang ke rumahnya, dan makan dirumahnya, mungkin tante Audrey punya alasan sendiri sehingga ia ingin bertemu denganku di tempat lain yang bukan dirumahnya.

Aku tadinya malas pergi untuk bertemu tante Audrey sore ini karena aku masih merasa lelah setelah pulang dari Kepulauan Seribu. Tapi setelah kupikir pikir, kalau aku tidak bertemu sekarang, aku belum tentu punya waktu lagi.

Sejak kerja di bagian produksi, waktu kerjaku benar benar tak teratur. Waktu kerjaku tetap dari pagi hingga sore hari, tapi kalau ada syuting iklan di luar Jakarta, aku harus selalu stand by termasuk kalau harus menginap. Jadi aku harus selalu siap kalau disuruh pergi dadakan.

Pola kerja Ibu Dewi sangat bertolak belakang dengan pola kerja Selly. Kalau Selly dulu punya jadwal kerja yang sudah terencana dengan baik paling tidak untuk dua minggu kedepan, ibu Dewi tidak begitu, ia tak punya rencana kerja, semua kerjaan rata rata dikerjakan dengan cara otomatis, tergantung moodnya, sama sekali tidak terprogram dengan baik.

Dan karena jam kerjaku yang tidak jelas itulah akhirnya aku memutuskan bertemu tante Audrey sekarang.

Tante Audrey ternyata sudah menungguku. Ia sedang sibuk merebus sayuran, bakso, sosis, ikan salmon, udang dan cumi di dalam air mendidih di sebuah panci yang diletakkan di atas meja yang ada di hadapannya. Selain itu buah buahan segar, puding, tempura, ayam goreng juga sudah tersedia di atas meja.

“Hai Kiara, apa kabar?” sapanya.

“Baik tante. Tante apa kabar?” tanyaku.

“Baik juga.” Tante Audrey tersenyum, “kau ambil minum langsung ya, disini bebas mau minum apa, tapi ambil sendiri, makanannya juga, terserah kau mau ambil apa saja.”

“Oke,” sahutku sambil berjalan ke counter minuman dan mengambil jus jambu merah.

Aku juga langsung mengambil beberapa kue kue kecil seperti irisan cheese cake, croisant dan roti gulung. Lalu aku kembali ke tante Audrey lagi.

“Tante Jennie tidak ikut?” tanyaku sambil duduk di hadapan tante Audrey.

“Tidak, aku memang ingin ngobrol berdua denganmu saja, mungkin kapan kapan tante Jennie ikut ngobrol dengan kita.”

“Oke,” aku tersenyum, “jadi apa nih yang ingin tante obrolkan?”

“Santai saja dulu Kiara, kita habiskan dulu makanan yang ada disini, kalau nanti makanannya kurang kau ambil lagi, baru kita ngobrol.” Tante Audrey tertawa. “Makan saja dulu sepuasnya.”

“Oke,” aku ikut tertawa dan mulai melahap makanan yang ada di hadapanku.

~ ~ ~

POV Author

Kiara menaruh sendok di pinggir mangkok setelah memasukan udang rebus yang besar ke mulutnya. Ia merasa sangat kenyang dan tak kuat untuk makan lagi. Perutnya mulai terasa sakit.

“Menyerah?” tante Audrey tertawa menatap Kiara.

“Ya, aku kekenyangan.” Ujar Kiara.

“Baiklah, kita bereskan dulu piring piring kotor ini, baru kita bicara,” ujar tante Audrey sambil memanggil waiter yang stand by tidak jauh dari meja tempat tante Audrey dan Kiara makan.

Waiter itu langsung datang menghampiri tante Audrey.

“Ya Bu?” ujarnya, “ada yang perlu dibantu?”

“Ya,” tante Audrey mengangguk, “tolong bereskan dulu gelas dan piring kotor ini, tapi kami belum selesai.”

“Baik,” waiter itu dengan sigap melakukan apa yang disuruh tante Audrey.

Tante Audrey menunggu waiter itu pergi membawa piring dan gelas kotor lalu menatap Kiara.

“Ki, ingat waktu tante ke tempatmu memberikan kue malam malam?”

“Ya, tante, aku ingat.” Jawab Kiara.

“Nah, saat itu tante secara tidak sengaja mendengar kau ngobrol dengan seseorang sepertinya kau sedang ngobrol dengan adik perempuanmu.”

“Ya, Laras, malam itu dia sedang datang mengunjungiku.” Ujar Kiara, “apa yang tante dengar?”

“Adikmu sepertinya memintamu untuk cepat cepat cari calon suami dan cepat cepat menikah karena ibumu tidak setuju kau dilangkahi, benar?”

“Ya,” ujar Kiara dengan suara bernada sedih, “aku tidak tahu harus bagaimana tante, aku sudah sering bilang pada ibu agar memberi restu pada Laras agar menikah lebih dulu dariku, tapi hingga detik ini, sepertinya ibu belum mau memberikan restunya.”

“Mungkin ibumu punya alasan sendiri.” Ujar tante Audrey, “kau harus memahaminya.”

“Aku sih paham, tapi yang merasa dirugikan dalam hal ini Laras.” sahut Kiara kesal.

“Kenapa sih adikmu tidak sabar menunggu, dia kan masih muda. Berapa usia adikmu? 23? 24 tahun?”

Kiara tertawa, “22 tahun, tante harusnya bilang seperti itu pada Laras.”

“Ya, mungkin kalau bertemu lagi dengan adikmu akan kusampaikan.” tante Audrey ikut tertawa, “tapi Ki, mungkin tante bisa menolongmu keluar dari masalah ini.”

“Menolongku?” Kiara kaget, “menolong bagaimana tante?”

“Bagaimana kalau kau kujodohkan dengan putraku?”

“Apa?!” Kiara berteriak kaget.

“Ssh, jangan kaget seperti itu, santai saja. Putraku laki laki yang baik kok dan bertanggung jawab, kau pasti menyukainya Kiara.”

“Aku tidak yakin tante, maksudku…”

“Mau lihat fotonya?” tante Audrey tiba tiba mengeluarkan HPnya. “Dia tampan loh, bukan karena aku mamanya aku memuji dia seperti itu, tapi sahabat sahabatku semua bilang ia tampan.”

“Tante, tidak usah,” elak Kiara, “tidak, aku tidak ingin melihatnya, aku tidak yakin apakah aku mau, maksudku, aku yakin putra tante hebat seperti yang tante bilang barusan, tapi permasalahannya di aku, bukan di dia, aku mungkin akan merasa tidak cocok dan…”

“Dicoba saja dulu Kiara, tidak ada salahnya kan?” potong tante Audrey, “setelah kalian bertemu, lalu kenalan, lalu mencoba untuk menghabiskan waktu bersama, baru kau bisa bilang cocok atau tidak, kau toh belum memulainya, belum mencobanya.”

“Iya sih, tapi…” kata kata Kiara terhenti. Ia masih sangat suka seseorang. Ia sangat suka Devano walau tak tahu kapan ia bisa bertemu pria itu lagi. Ia bahkan tetap suka Devano walau sudah tahu dari Selly kalau Devano sudah pacaran dengan Mona.

“Tapi apa?” tanya tante Audrey melihat Kiara tiba tiba bengong.

“Ehm, putra tante, apakah dia juga mau dijodohkan denganku?” tanya Kiara menutupi kegugupannya.

“Ah, itu bisa diatur, kau tenang saja, nanti kapan kapan kita bertemu lagi ya, dan pada saat itulah aku akan memperkenalkan putraku padamu.”

“Entahlah tante, aku tak yakin,” gumam Kiara bingung.

Dijodohkan dengan seseorang bukan prioritas utama dalam hidup Kiara. Kalau dia mau, dari dulu juga hal itu bisa dilakukan. Bukliknya, Mas Bima, Mbak Tari, tetangganya, semuanya juga berlomba lomba ingin menjodohkan Kiara dengan seseorang, tapi Kiara menolak permintaan mereka semua dengan halus. Tapi sekarang, entah kenapa, ia merasa tak tega menolak permintaan tante Audrey. Tante Audrey sudah sangat baik pada dirinya selama ini.

“Ayolah Kiara, ini bukan hal yang buruk kok, seperti tante bilang tadi, dicoba saja dulu.”

“Boleh aku memikirkannya dulu tante?” tanya Kiara.

“Berapa lama?”

“Mungkin sebulan?”

“Kelamaan Kiara! Seminggu saja ok? Minggu depan tante akan meminta jawabanmu.”

“Dua minggu deh tante.”

“Ok, dua minggu kita ketemu lagi.”

~ ~ ~


POV Author

Tante Jennie memasuki cafe Mas Bima dan mencari tempat duduk, tapi malam minggu ini cafe penuh, ia akhirnya berjalan ke counter dan memesan minuman favoritnya.

Mega, salah satu karyawan Mas Bima melayani pesanan tante Jennie, termasuk menerima uang pembayarannya dan mengembalikan uang kembaliannya.

Tante Jennie menerima uang itu sambil tersenyum, “Kiara ada?” tanyanya pada Mega.

“Ada, dibelakang, sebentar saya panggilkan.”

“Oke.” Tante Jennie menunggu sambil berdiri.

Tidak lama Kiara muncul sambil tersenyum ke arah tante Jennie.

“Tante apa kabar? Sudah lama kita tak bertemu.”

“Kabar baik.” Jawab tante Jennie, “Ki, tidak ada tempat duduk ya?”

Kiara tertawa, “iya tante, tante duduk di teras atas saja yuk,  di teras tempat aku tinggal, nanti kalau ada tempat duduk kosong aku panggil tante.”

“Ok,” tante Jennie berjalan ke arah pintu keluar disusul oleh Kiara.

Kiara segera membukakan pintu pagar besi untuk tante Jennie setelah mereka berdua menaiki tangga. Kiara lalu mempersilahkan tante Jennie duduk di salah satu kursi yang ada di teras.

“Kalau tante mau duduk di dalam juga tidak apa apa sih tante, tapi agak berantakan di dalam, aku belum sempat beres beres,” ujar Kiara lagi.

“Tidak apa apa, disini saja. Kau selesai bekerja jam berapa?”

“Setengah jam lagi. Tepat jam sepuluh malam.”

“Ok, setengah jam aku akan menunggumu disini, lalu kita akan ngobrol.”

“Ngobrol masalah….” kata kata Kiara terhenti, ia merasa tak yakin dengan dugaannya bahwa tante Jennie pasti akan membicarakan tawaran tante Audrey untuk menjodohkan Kiara dengan putranya.

“Masalah macam macam,” tante Jennie tertawa, “sudah, kau bekerja saja dulu, santai saja, aku tidak kemana mana. Aku akan buka internet di HPku sambil menunggumu.”

“Oke,” Kiara lalu turun lagi dan pergi ke cafe.

Namun sepuluh menit kemudian Kiara naik lagi ke atas menemui tante Jennie sambil membawa minuman untuk dirinya sendiri.

“Kata Mas Bima, aku boleh menemani tante ngobrol, jadi apa yang ingin tante obrolkan?” tanya Kiara sambil duduk disamping tante Jennie.

“tante ingin tahu tentang jawabanmu apakah kau menerima ide tante Audrey untuk dijodohkan dengan anaknya atau tidak.”

“Masih minggu depan jawabannya tante Jennie. Ini baru satu minggu.”

“Tidak bisa memberi kisi kisi padaku apa?” tanya tante Jennie.

Kiara tertawa, “tidak. Minggu depan aku baru akan memberikan jawabannya, oke?”

“Oke, tapi aku hanya ingin memberitahu kamu Kiara, kalau kau sampai menolak dijodohkan dengan putra tante Audrey, kau rugi.”

“Rugi?” tanya Kiara.

“Ya, kau tahu, putra tante Audrey itu idola para wanita, hampir semua sahabat tante Audrey yang punya anak gadis, ingin anak gadis mereka dijodohkan dengan putra tante Audrey, tapi kau beruntung, tante Audrey menyukaimu dan ingin kau jadi menantunya. Jadi sahabat sahabat tante Audrey pada gigit jari deh.”

“Katakanlah putra tante Audrey hebat, baik, bertanggung jawab dan idola para wanita, tapi aku tidak mencintainya tante,” keluh Kiara.

“Cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu Kiara. Kau lihat tante Audrey? Dulu juga tidak mencintai suaminya karena ia menikah bukan berdasarkan cinta, tapi sekarang ia mencintai suaminya.”

“Tapi tidak semua cara seperti itu berhasil tante. Tidak semua orang bisa menjalani pernikahan dengan cara dijodohkan seperti itu.”

“Memang, aku setuju denganmu. Tidak semua orang bisa menjalani pernikahan dengan cara itu, tapi menurutku Kiara, itu semua tergantung niat, kalau niatmu baik, niatmu ibadah, mudah mudahan semuanya berlangsung dengan baik juga.”

“Tapi pernikahan itu kan berlangsung lama tante, bukan sehari dua hari, sebulan dua bulan, aku hanya tidak bisa membayangkan aku hidup dengan orang yang tidak kucintai selama sisa umurku.”

“Apa kau sedang menyukai seseorang sekarang Kiara?” tanya tante Jennie mengagetkan.

Kiara diam.

“Jujurlah pada tante, tante janji tidak akan cerita apa apa pada tante Audrey.”

“Ya, ada sih tante tapi…”

“Tapi apa?”

“Tapi peluangku tipis,” ujar Kiara sambil tertawa, “dia sudah punya pacar.”

“Wah, cukup menyesakkan juga ya, jatuh cinta pada pacar orang lain.”

“Tante jangan begitu dong, cinta kan nggak bisa ditebak kapan datangnya, dan pada siapa. Aku jatuh cinta pada dia saat dia sendiri alias tidak punya pacar tapi tiba tiba dia sudah pacaran saja sama seseorang.”

“Kau patah hati dong?”

“Ya walaupun aku patah hati, tidak merubah keadaan juga. Sepertinya aku tetap tidak punya kesempatan juga, aku hanya berharap bahwa suatu hari nanti, saat aku bisa melupakan dirinya dan jatuh cinta lagi pada seseorang, aku punya kesempatan bisa bersama dengan orang yang kucintai. Itu saja yang kuinginkan tante.”

“Jadi, bisa tante simpulkan, kau jatuh cinta pada seseorang saat ini tapi kau tak punya kesempatan untuk bersama dia saat ini?”

“Yap.”

“Kau tidak mau berjuang untuk mendapatkannya Kiara?”

“Berjuang bagaimana? Aku bahkan tidak tahu dia menyukai aku juga atau tidak.”

“Jadi dia tidak tahu kau jatuh cinta padanya?”

Kiara menggeleng.

“Aduh Kiara, kalau menurut tante sih ya, kalau kita punya perasaan cinta atau sayang pada seseorang, kau harus memberitahu orang itu, dia mana tahu kita menyukainya atau tidak kalau kita tidak memberitahunya, kecuali kalau dia peka dengan perasaan kita. Masalah bisa pacaran sama dia atau tidak itu masalah lain, yang penting dia tahu dulu perasaanmu.”

“Iya, sih,” Kiara tersenyum, “tapi khusus dia sepertinya aku menyerah.”

“Jadi kau tidak punya kesempatan dengan pria yang kau cintai itu?”

“Sepertinya begitu.”

“Kalau begitu, tawaran tante Audrey solusi dari semuanya kan? Siapa tahu kau bisa melupakannya setelah menikah nanti.”

“Tante…”

“Bagaimana kalau kau melakukan ini untuk ibumu?” tante Jennie memegang tangan Kiara erat, “kalau kau nanti jatuh cinta pada suamimu itu bonus, tapi bagaimana kalau kau melakukan ini untuk ibumu?”

“Maksud tante?” tanya Kiara bingung.

“Kau sayang ibumu kan Kiara? Jadi coba kau berada di posisinya. Mungkin ibumu belum memberi restu pada adik perempuanmu untuk menikah lebih dulu karena ia sangat sayang padamu, dia tidak ingin kau terluka. Bagi kau ini bukan masalah besar, mungkin bagi ibumu ini masalah besar. Tiap tiap orang tua punya kasih sayang sendiri sendiri pada anak-anaknya. Dan tiap tiap anak punya keistimewaan sendiri sendiri di hati orangtuanya. Kau mungkin sangat istimewa untuk ibumu, dan begitupun sebaliknya, ibumu pasti sangat istemewa untukmu, kalau perjodohan ini bisa membuat ibumu bahagia karena kau tidak harus dilangkahi adikmu, kenapa tidak Kiara? Ya, syukur syukur sih kalau hal ini bisa membuatmu bahagia juga. Seperti aku bilang tadi. Itu bonus. Bagaimana menurutmu?”

Kiara terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata pelan, “ya baiklah tante Jennie, aku mau. Aku mau mencobanya. Tolong bilang tante Audrey aku mau berkenalan dengan putranya dan kita lihat apa yang terjadi nanti”.

~ ~ ~

BAB EMPAT BELAS

POV Author

Sudah lama rasanya tante Audrey tidak berkunjung ke apartemen Devano, mungkin tiga bulan lebih. Tante Audrey selalu tidak punya waktu untuk melakukannya karena ada saja yang dikerjakannya, belum lagi tamu yang selalu berdatangan kerumahnya. Ia harus menjamu tamu tamunya.

Tapi sesekali ia menelepon Devano dan menanyakan kabarnya. Sesekali juga Devano mampir ke rumah untuk makan malam. Tapi mereka sekeluarga tidak pernah makan malam secara komplit; dirinya, suaminya, Devano dan Dinda.
Kalau Devano yang bisa makan malam bersama, Dinda tidak bisa datang, kalau Dinda yang bisa makan malam dengan orangtua mereka, Devano yang sedang ada keperluan.

Tapi yang terpenting bagi tante Audrey adalah anak anaknya sehat semua dan ia selalu memantau mereka walau hanya bisa melakukannya lewat telepon.

Tante Audrey naik lift ke lantai 25 dimana Devano tinggal. Apartemen tempat Dev tinggal hanya memiliki 30 lantai, tidak terlalu tinggi gedung apartemennya. Di lantai paling atas, yaitu lantai 30 adalah apartemen paling eksklusif. Apartemen disana paling luas, bahkan punya kolam renang dan jacuzzi sendiri, serta punya lift sendiri yang menghubungkan apartemen itu dengan parkiran di lantai bawah.

Devano pernah ditawari ayahnya untuk tinggal di sana. Ayahnya bersedia membelikan apartemen itu untuknya walau sangat mahal, tapi Devano menolaknya. Ia memilih apartemen yang biasa dan membelinya dengan uangnya sendiri.

Tante Audrey langsung memencet bel saat sudah berdiri di depan pintu apartemen Devano. Ia sudah menelepon Devano dan bilang padanya bahwa ia akan mengunjunginya malam ini.

Devano langsung membuka pintu dan tersenyum menatap ibunya.

“Masuk Ma,” ujarnya riang, “tumben mama mampir.”

“Iya, mama kangen sama kamu.”

“Serius? Baru malam minggu kemarin kita ketemu di rumah.”

“Ya, masa kangen sama anak sendiri tiap hari tidak boleh,” tante Audrey langsung masuk dan melihat lihat situasi apartemen Devano, “apa yang berubah dari apartemenmu?” tanyanya.

“Tidak ada,” Devano tertawa, “masih begini begini saja.” lanjut  Devano sambil berjalan ke arah dapur, “kamar masih dua, untukku dan untuk kamar tamu, dapur masih satu, ruang makan satu, ruang tamu sekaligus tempat nonton tivi masih satu. Apalagi yang harus ditambah, aku tidak suka ada banyak barang di tempatku.”

“Kau tidak punya keinginan untuk mengganti sofamu misalnya, atau kursi makan ini?”

“Buat apa sih Ma, itu juga masih bagus semuanya.”

“Ya, siapa tahu ingin ganti suasana baru atau apa biar tidak bosan.”

“Enggaklah Ma, sayang uangnya, kalau ini semua diganti, emang bisa dijual?”

“Bisa Dev, ada kok pembeli yang khusus menampung barang second lalu menjualnya lagi ke pihak ketiga.”

But for me, no way, selama semua barang itu masih digunakan, ya sudah gunakan saja.”

“Kamu itu persis nenekmu, kalau kursi kursi nenekmu belum pada jebol atau rusak belum mau ganti kursi baru,” tante Audrey tertawa, lalu menghampiri Devano yang sedang sibuk masak sesuatu.

“Wanginya enak kan Ma?” Devano tersenyum menatap ibunya.

“Kau masak apa sih?”

“Sup iga sapi, campur asparagus, brokoli, wortel, kentang, makaroni, ini masakan sehat Ma, Mama harus coba.”

“Serius kamu bisa masak?” tanya tante Audrey heran.

“Yaelah Mama, bikin sup doang, sayuran tinggal di kupas terus dipotong potong, iga sapinya tinggal direbus terus setelah iga sapinya empuk semua bahan dicampur deh, lalu kasih garam, lada hitam, bubuk pala, udah tinggal diaduk, beres.”

“Kamu dirumah tidak pernah masak, kalau ingin apa apa selalu minta dimasakin Bi Surti.” Komentar tante Audrey.

“Kalau dirumah aku masak sendiri, makan gaji buta dong Bi Surti! Enak saja. Mama juga punya asisten rumah tangga banyak banget. Bikin efisiensi kerja dong Ma, satu orang dua tugas.”

“Ah sudahlah, kasihan mereka, mau kerja dimana lagi kalau bukan di rumah kita Dev, usia mereka sudah paruh baya, kalah bersaing dengan yang muda muda.”

“Iya sih,” ujar Devano, “o, iya, aku lupa!”

“Lupa apa?” tante Audrey heran.

“Lupa pakai micin. Aku kan generasi micin, hahaha.”

“Kamu tuh ya!” tante Audrey lalu membuka isi kulkas Devano, “ya ampun kulkas kamu kosong melompong begini. Kamu nggak pernah belanja?”

“Malas Ma, kalau perlu saja aku belanja.”

“Ya diisi apa kek, buah kek, sayur kek, buah dan sayur kan awet kalau ditaruh di kulkas.”

“Itu gampang Mama, di lantai bawah ada supermarket, aku selalu mampir ke sana sebelum pulang untuk beli sesuatu yang aku perlukan.”

“Kalau kamu lapar tengah malam bagaimana? Kamu tidak punya apa apa untuk kamu makan dengan keadaan kulkas yang kosong seperti ini!”

“Aku tidak pernah lapar tengah malam Mama, lewat jam tujuh malam aku berhenti makan. Sudahlah, mama jangan khawatir, sekarang Mama coba sup aku ya, aku baru mau makan malam waktu mama tadi bilang mau kesini.”

“Oke, baiklah, awas kalau tidak enak,” tante Audrey lalu duduk di salah satu kursi makan.

“Pasti enak,” Devano sibuk menuangkan sup untuk ibunya ke dalam mangkuk lalu menghidangkan mangkuk itu di hadapan ibunya.

“Terimakasih Sayang,” tante Audrey tersenyum menatap Devano.

“Sama-sama,” ujar Devano sambil mengambil sup untuk dirinya, “mau pakai nasi Ma?”

“Tidak, tidak usah, Mama tadi sudah makan sebelum kesini. Ini saja cukup.”

“Sup ini tidak lengkap tanpa sambal ini.” Devano lalu membawa semangkuk sambal ke hadapan ibunya.

“Ini sambal apa?”

“Irisan cabe rawit, irisan tomat, irisan bawang merah dan air perasan jeruk nipis.”

“Pantas baunya segar begini.”

“Iya,” Dev tersenyum, “dan ini kerupuknya. Kerupuk ikan tenggiri.”

“Ok, ada lagi?” tanya ibunya sambil tersenyum, “barangkali ada makanan lain yang kau punya yang lupa kau taruh dimeja ini?”

“Sudah, ini saja, aku tidak punya apa apa lagi, ayo kita makan.” Devano mulai menyendok nasi dan memasukkan nasi itu ke mulutnya.

~ ~ ~

POV Author

Tante Audrey duduk di sofa sambil memperhatikan Dev cuci piring.

Ia tadinya ingin langsung bicara tentang niatnya menjodohkan Devano dengan Kiara, tapi Dev ternyata sedang masak untuk makan malamnya, jadi tante Audrey tidak mengatakan apa apa paling tidak sampai acara makan mereka selesai.

Dev terlihat mematikan lampu dapur setelah selesai cuci piring, ia lalu membawa dua mug kopi ke arah tante Audrey dan memberikan satu mug pada tante Audrey.
“Ini kopi hitam, kalau Mama mau tambah creamer, nanti Dev ambilkan.” Ujar Dev sambil duduk di samping tante Audrey.

“Tidak usah, ini saja cukup.” Tante Audrey tersenyum menatap Devano, “ehm Dev, sebenarnya maksud kedatangan Mama kesini adalah karena ingin mengatakan sesuatu padamu.”

“Apa itu Ma?”

“Begini, Mama kenal seorang wanita cantik yang menyenangkan. Mama sangat menyukainya, sepertinya wanita ini cocok untukmu Dev, Mama ingin kalian berkenalan.”

“Cocok untukku?” tanya Dev bingung, “maksud Mama, cocok untuk jadi pacarku?”

“Untuk jadi isterimu.”

“Untuk jadi…” kata kata Devano terhenti, “Mama akan menjodohkan aku dengan wanita ini?”

“Ya,” tante Audrey mengangguk, “karena Mama pikir ini yang terbaik untukmu.”

“Terbaik untukku? Aku sudah punya pacar Mama!”

“Mama tahu, tapi kan bukan berarti pacarmu sekarang akan jadi isterimu.”

“Ya, tapi siapa tahu aku akan menikah dengan Mona.”

“Siapa tahu? Berarti kau tak yakin kan?”

“Aku hanya menjalani hubunganku dengan Mona ini dengan niat baik, mudah mudahan berakhir baik juga.”
“Dev, cobalah kau berkenalan dulu dengan wanita yang Mama pilihkan untukmu ini, lalu kau habiskan waktu bersamanya, lalu nanti kita lihat kau merasa cocok dengannya atau tidak.”

“Lalu Mona?” tanya Dev kesal, “Mona bagaimana Mama?”

“Mona lagi!” teriak Audrey. “Mama tidak menyukai Mona!”

“Mama tidak suka pada Mona karena Maminya Mona musuh bebuyutan Mama kan?” Devano menghembuskan nafas kesal, “aku tahu hal ini akan terjadi,” gumam Dev, “sejak tante Jennie datang menemuiku dan memintaku mengakhiri hubunganku dengan Mona aku tahu bahwa bom waktu itu mulai berdetak, dan boom, ledakannya baru terjadi sekarang.”

“Dev, Mama minta maaf, tapi Mama pikir…”

“Tidak Mama, aku yang minta maaf karena sudah mengecewakan Mama. Tapi terus terang aku tidak suka diatur atur seperti ini. Masalah jodoh, aku ingin mencarinya sendiri, aku harap Mama mau mengerti hal ini dan menghargai keputusanku.”

~ ~ ~

POV Author

Tante Audrey memijit kepalanya yang terasa sakit dengan jari jari tangannya. Ia sekarang sedang berada di mobil untuk kembali pulang ke rumah setelah menemui Devano di apartemennya.

Ia bersyukur tidak harus mengemudi mobil sendiri dan disupiri oleh Pak Ridwan, karena kalau tidak, tante Audrey merasa yakin kalau ia tak akan bisa berkonsentrasi dalam mengemudi setelah pertengkarannya tadi dengan Devano.

Penolakan Devano terhadap rencananya sebenarnya sudah ia prediksi. Ia kenal karakter Devano yang keras kepala. Ia merasa yakin Devano akan menolak usulnya, tapi mendengarnya langsung seperti tadi tetap saja membuat dirinya kecewa.

Masalahnya adalah ia benar benar menyukai Kiara. Ia sudah sangat bahagia saat mendengar kabar dari Jennie kalau Kiara mau diperkenalkan dengan Devano. Tapi sepertinya perkenalan itu batal, mengingat reaksi keras dari Devano yang menentang perjodohan ini. Tapi tante Audrey bertekad untuk tidak menyerah. Ia harus mencari cara lain.

Apa yang harus kukatakan pada Kiara. Apa yang harus kukatakan pada Kiara.

Pertanyaan itu terus muncul di pikiran tante Audrey.

Tante Audrey lalu mengambil HPnya dan mengirim pesan WA pada Kiara.

“Ki, tante tidak tahu kapan bisa memperkenalkan putra tante padamu karena akhir akhir ini ia sedang sangat sibuk, tapi tante berterimakasih padamu kau mau diperkenalkan dengannya. Nanti tante kabari lagi ya gimana gimananya.”

Kiara pun langsung menjawab, “Oke tante, tidak masalah.”

Tante Audrey merasa lega karena paling tidak ia masih bisa mencari alasan pada Kiara walau ia sama sekali tak tahu kapan kira kira perkenalan itu bisa dilakukan.

~ ~ ~

POV Author

Sepeninggal tante Audrey, Dev merenung cukup lama. Dev merasa yakin bahwa mamanya tidak akan menyerah dengan rencananya.

Sebenarnya kalau mamanya tidak punya masalah dengan maminya Mona, mama Dev merestui hubungannya dengan Mona, itu terlihat pada awal ia memperkenalkan Mona pada mamanya.

Saat itu mamanya menyambut Mona dengan hangat. Mereka bahkan ngobrol akrab.

Tapi sejak mamanya tahu bahwa mami Mona adalah musuhnya saat mamanya masih SMA, mamanya langsung menentang hubungannya dengan Mona, itu yang dikatakan tante Jennie dulu saat menemui Dev.

Dev benar benar tak mengerti bagaimana mungkin mamanya masih menyimpan dendam pada mami Mona padahal permasalahan yang terjadi di antara mereka sudah terjadi berpuluh puluh tahun yang lalu.

Dev berharap mamanya bisa memaafkan maminya Mona dan mereka hidup dengan rukun dan damai.

Dev akhirnya bertekad berusaha membuat mamanya dan mami Mona berdamai, iapun lalu menelepon mamanya.

“Ada apa?” tanya tante Audrey galak saat menjawab panggilan telepon dari Devano.

“Ya ampun Mama judes amat sih.” Ujar Devano.

“Habis kamu bikin mama kecewa.”

“Ya, permasalahannya kan ini hidup aku, aku yang menjalani, bukan Mama.”

“Tapi mama juga tidak sembarangan memilihkan calon isteri untukmu Dev. Sebelum memperkenalkannya padamu, mama juga harus merasa yakin dengan diri mama sendiri, dan dia orangnya baik Dev. Seperti mama bilang mama melakukan ini untuk kebaikanmu, kebahagiaanmu, mana ada sih orangtua yang ingin melihat anaknya hidup menderita.”

“Kalau nanti Dev tidak bahagia bagaimana Ma?”

“Kau tidak bisa bilang TIDAK BAHAGIA kalau belum menjalaninya. Berilah kesempatan pada dirimu untuk hal ini, ok?”

“Ok, tapi nanti saja kita bicarakan ini lagi. Sekarang aku mau tanya pada mama bagaimana masakanku tadi?”

“Tadi kan sudah mama bilang enak! Kamu gimana sih!”

“O, iya, aku lupa. Ya sudah kalau begitu, aku mau mengundang mama minggu depan untuk mencicipi masakanku yang lain. Mama mau dimasakin apa?”

“Gudeg Jogja. Bisa kamu masak gudeg Jogja? Lengkap dengan krecekannya dan opor ayamnya.”

“Ya mama jangan gudeg Jogja dong. Aku nggak bisa masak gudeg. Yang lain aja Ma.”

“Tadi kamu nanya mama mau dimasakin apa!”

“Ya tapi kan masak gudeg Jogja susah Ma. Butuh beberapa hari masak nangka mudanya biar rasanya legit.”

“Ya sudah terserah kamu mau masak apa!”

“Oke, aku tunggu ya Ma minggu depan. Tenang saja, aku akan masak yang enak buat Mama!”

~ ~ ~

POV Author

Dev memperhatikan jam ditangannya dengan perasaan resah. Ia sedang menunggu kedatangan tante Mita, Mami Mona. Ia berencana mempertemukan tante Mita dan mamanya malam ini di apartemennya. Ia berharap mereka berdua bisa berdamai dan melupakan masalah yang terjadi di antara mereka di masa lalu.

Untuk itu pula ia mengundang mamanya makan di apartemennya malam ini. Ia dan mamanya baru selesai makan. Ia masak rawon untuk mamanya. Dan mamanya bilang rawon buatannya sama enaknya dengan sup iga sapi yang ia masak minggu lalu.

Tante Mita juga diundang makan malam oleh Dev. Tapi tante Mita tidak mau, ia hanya ingin ngobrol saja dengan Mama Dev. Dev sudah memberitahukan semuanya pada tante Mita bahwa mamanya tidak setuju ia pacaran dengan Mona gara gara mamanya masih marah pada Tante Mita.

Tante Mita bersedia datang memenuhi undangan Dev untuk ngobrol dengan mama Dev, tapi Mona tidak akan ia ajak karena tante Mita khawatir situasi akan bertambah buruk kalau Mona ikut.

Setelah makan, seperti biasa, Dev membuat kopi untuk dirinya dan mamanya. Sambil minum kopi, mama Dev asik menonton acara memasak di channel Asian Food.

Bel tiba tiba berdering membuat Dev terperanjat. Dev dengan segera membukakan pintu.

“Siapa itu Dev?” tanya tante Audrey.

“Ehm, dia Maminya Mona Ma,” ujar Dev sambil mempersilahkan tante Mita masuk dengan gerakan tangannya.

“Apa?!” tante Audrey berdiri dari duduknya saking kagetnya.

“Apa kabar Audrey? Lama tak bertemu.” Sapa Tante Mita pada tante Audrey.

Tante Audrey tidak membalas sapaan tante Mita, ia memandang tante Mita dan Dev bergantian.

“Kamu sengaja melakukan ini pada Mama kan Dev?” ujar tante Audrey kesal. Ia segera mengambil tas kecilnya dan berjalan menuju pintu.

“Mama tunggu dulu Ma. Tante Mita mau minta maaf!” teriak Dev langsung, “iya kan tante?” tanya Dev pada tante Mita.

“Tadinya iya, aku mau minta maaf. Tapi sekarang tidak lagi.”

“Apa maksud tante?” Dev menatap tante Mita heran.

“Tante merasa bahwa tante tidak melakukan kesalahan apa apa jadi kenapa tante harus minta maaf.” Jawab tante Mita.

“Apa maksudmu kau tak punya kesalahan apa apa?” teriak tante Audrey pada tante Mita. “Kau sudah merebut Arman dariku!”

“Oh, haruskah kita membicarakan laki laki itu sekarang!” seru Dev.

“Diam!”

“Diam!”

Hampir bersamaan tante Audrey dan tante Mita berteriak pada Dev. Dev langsung diam.

“Jadi aku merebut Arman darimu begitu?” Tante Mita tersenyum sinis pada tante Audrey, “tidak pernahkah kau berpikir bahwa Arman pergi meninggalkanmu karena tidak mencintaimu?”

“Berani beraninya kau….”

“Pernahkah sekali saja dalam hidupmu, saat kau berpacaran dengan Arman ia mentraktirmu sesuatu Audrey? Mentraktir bakso misalnya? O, baiklah, bakso mungkin kemahalan. Mentraktir es krim misalnya?”

“Ini tidak ada hubungannya dengan…”

“Aku bertanya pernah tidak?” potong tante Mita.

Tante Audrey diam.

“Tidak pernah kan?”

“Itu karena dia masih sekolah, sama sama pelajar seperti kita, dia tak punya kewajiban untuk mentraktir aku ini dan itu.”

“Dan kau punya kewajiban untuk mentraktir Arman ini dan itu?” tante Mita balik bertanya, “kau yang selalu mentraktir Arman selama ini, Audrey!”

“Iya, itu karena…”

“Itu karena kau orang kaya. Kau adalah anak tunggal dari keluarga kaya raya sementara Arman berasal dari keluarga miskin. Tapi permasalahannya bukan disitu, permasalahannya adalah dia tidak benar benar mencintaimu. Dia hanya memanfaatkan dirimu Audrey, dia mendekatimu untuk meminta macam macam padamu. Dan kau dengan sukarela memberikan dia apa saja. Uang jajanmu habis untuk membiayai dirinya!”

“Cukup! Aku tidak mau mendengar ini lagi! Kau mengada ada Mita!”

“Aku tidak mengada ada! Aku mengatakan ini semua karena…”

“Aku bilang cukup!” tante Audrey membuka pintu dan pergi dari apartemen Dev begitu saja.

~ ~ ~

POV Author

“Sudah, tenangkan dirimu, ayo minum air putih dulu,” tante Jennie menenangkan tante Audrey yang sedang menangis.

Tante Audrey langsung pergi ke rumah tante Jennie setelah bertengkar dengan tante Mita.

“Teganya Mita berkata seperti itu padaku, Jen, belum cukup apa yang sudah dilakukannya padaku dulu!”

“Sudahlah Drey, jangan terlalu dipikirkan. Berhentilah menangis. Kau menangis untuk apa sih? Untuk siapa? Untuk Arman? Untuk masa lalu kalian? Arman dimana sekarang? Apa ia pernah menangis untukmu? Apa ia pernah memikirkan dirimu? Tidak kan. Kau menyia nyiakan waktumu Audrey, kau menyia nyiakan perasaanmu.”

“Iya, tapi…”

“Berjanjilah mulai detik ini kamu akan melupakan semuanya. Arman, Mita, semuanya.”

“Bagaimana aku bisa melupakan Mita kalan anaknya pacaran dengan anakku?!” teriak tante Audrey, “Dev juga keterlaluan, apa yang ada dipikiriannya sampai ia berharap aku bisa berdamai dengan Mita?”

“Ya mungkin karena Dev tidak mau konflik ini berkelanjutan. Masalah kalian ya masalah kalian. Sementara hubungan Dev dengan Mona ya lain lagi, harus dibedakan, tidak bisa dicampur adukkan.”

“Kau ini aneh Jen. Kau membantuku membujuk Kiara agar mau diperkenalkan dengan Dev, setelah berhasil kau setuju Dev melanjutkan hubungannya dengan Mona? Kau ini gimana sih!”

“Aku tidak bilang aku setuju hubungan Dev dengan Mona, aku hanya minta kau mengerti keadaan Dev, dia berada di posisi yang sulit. Kita berdoa saja Dev tidak berjodoh dengan Mona dan pada akhirnya bisa menikah dengan Kiara, tapi kita tidak boleh ikut campur didalamnya. Kita lihat apa yang terjadi. Oke?”

Tante Audrey diam. Tapi ia sudah tak menangis lagi. Tante Jennie lalu memeluknya dengan perasaan sayang.

~ ~ ~

BAB LIMA BELAS

POV Author

Tidak seperti biasanya, malam ini keluarga Adinegoro bisa berkumpul secara lengkap. Tante Audrey, suaminya, Devano dan Dinda.

Mereka sedang makan malam mengelilingi meja makan yang besar.

Beberapa hari ini Dinda libur kuliah sehingga ia bisa pulang ke rumah sementara Dev pulang ke rumah karena ia ingin minta maaf pada mamanya. Karena sejak kejadian mamanya bertengkar dengan tante Mita, Dev tak punya kesempatan untuk meminta maaf pada mamanya.

Tiap Dev menelepon mamanya, mamanya selalu mematikan telepon darinya.

Begitupun sejak Dev datang tadi, mamanya acuh pada dirinya, ia tak menggubris kehadiran Dev.

Bahkan saat makan malam seperti sekarang mamanya juga lebih banyak diam. Ia tidak cerewet menanyakan ini itu pada Dinda atau menasehati Dev jangan begini atau begitu, seperti yang biasa ia lakukan saat anak anaknya berkumpul.

Ia makan makanan yang dihidangkan di meja makan dengan tenang tanpa banyak bicara. Ia bahkan tidak ikut tertawa saat Dinda bercerita sesuatu yang menurut Dinda lucu.

“Mama kenapa sih? Mama sakit?” tanya Dinda kesal saat mamanya tidak terlalu antusias mendengar ceritanya.

“Tidak Dinda, Mama tidak sakit.” jawab mamanya.

“Tapi mama tidak seperti biasanya,” ujar Dinda lagi, “Pa, Mama kenapa sih?” tanya Dinda pada ayahnya.

“Mungkin hanya lelah.” Jawab ayahnya. “Tadi siang tidak kenapa kenapa kok.”

“Ya, benar!” seru tante Audrey, “Mama sedikit lelah, dan karena Mama sudah kenyang, Mama mau istirahat dulu sekarang.” Tante Audrey bangkit dari duduknya dan pergi ke arah kamarnya.

Dev memperhatikan kepergian mamanya dengan perasaan khawatir. Tapi ia tetap menyelesaikan makannya.

Setelah selesai makan, Dev pun pergi ke kamar mamanya.

“Ma,” ujar Dev sambil mengetuk pintu.

Tidak ada jawaban.

“Ma, boleh aku masuk?”

Tetap tidak ada jawaban.

Dev akhirnya masuk. Dilihatnya mamanya tiduran di atas tempat tidur tapi matanya belum terpejam. Dev lalu duduk disisi tempat tidur.

“Aku minta maaf Ma, aku pikir dengan mempertemukan Mama dan tante Mita, persoalan diantara kalian bisa selesai. Tapi ternyata tidak.”

Tante Audrey masih diam.

“Ma, bicaralah sesuatu, jangan membuat aku khawatir.”

“Jadi kamu khawatir sama Mama begitu?” tanya tante Audrey.

“Ya.”

“Berarti kamu sayang pada Mama?”

“Ya jelaslah sayang.”

“Kalau sayang kenapa kamu mengecewakan Mama?”

“Mengecewakan?”

“Ya, kau tak mau berkenalan dengan wanita yang Mama pilihkan untuk jadi isterimu.”

“Oke, baik, aku mau berkenalan dengannya, tapi sebatas itu Ma, aku tidak bisa janji lebih dari itu. Aku kan tidak bisa memutuskan Mona begitu saja Ma, aku sayang pada Mona seperti aku sayang pada Mama.”

“Kau juga bisa sayang pada wanita itu seiring berjalannya waktu.”

“Aku bilang lihat nanti Ma, oke?”

“Oke,” ujar Mamanya akhirnya.

Devpun langsung bernafas lega, semua kekhawatirannya langsung hilang. Yang paling Dev takutkan di dunia ini adalah mamanya tidak mau bicara padanya atau memusuhinya.

~ ~ ~

POV Kiara

Aku memperhatikan foto foto di Kepulauan Seribu yang sudah dicetak oleh Mas Andra dan disusun dalam satu album. Mas Andra sengaja datang ke cafe Mas Bima untuk memberikan album foto itu padaku, katanya untuk kenang kenangan. Ia datang bersama Mas Egi dengan menggunakan mobil sports Mas Egi yang keren.

“Wah fotonya cantik cantik, pemandangan alam disana memang cantik, airnya jernih, langitnya biru, sangat indah dan alami,” komentarku, “terima kasih Mas Andra untuk album fotonya.”

“Sama sama Kiara.” Mas Andra tersenyum menatapku.

“Coba aku lihat,” Mas Egi mengambil album itu dan melihat foto itu satu satu. “Kebanyakan foto kamu Ki.” Komentar Mas Egi. “Ini sebenarnya mau motret laut atau Kiara sih?”

“Ya, nggak apa apa, aku sama cantiknya kan dengan laut disana?” tanyaku sambil tertawa.

“Huh, geer kamu!” ujar Mas Egi.

“Kapan kapan temanin aku hunting foto lagi ya Ki?” tanya Mas Andra.

“Siap.” jawabku.

“Kalau bicara soal tempat yang paling ingin kau kunjungi, kau mau kemana Ki?” tanya Mas Andra lagi.

“Bali, aku tak pernah merasa bosan dengan Bali, keseluruhan Bali, karena menurutku Bali itu sangat eksotik.”

“Baiklah, kapan kapan kita ke Bali.”

“Serius?” teriakku tak percaya.

“Ya. Serius.”

“Aku boleh ikut?” tanya Mas Egi.

“Boleh, tapi ongkos sendiri,” Mas Andra lalu tertawa.

“Pelit banget sih sama sahabat sendiri!” Mas Egi langsung ngomel.

“Setelah Bali, kau mau pergi kemana?” tanya Mas Andra lagi.

“Ehm, Thailand,” jawabku, “aku ingin naik gajah Thailand.”

“Jauh benar naik gajah ke Thailand!” sahut Mas Egi, “di Ragunan noh ada juga gajah yang bisa dinaiki. Di Way Kambas juga banyak gajah. Ada sekolah gajah malah disana.”

“Biarin saja sih Gi, Kiara maunya naik gajah Thailand, elu yang repot!” komentar Mas Andra, “Ok, Ki, kapan kapan kita hunting foto ke Thailand, dan naik gajah disana!”

“Asik!” seruku. Aku tidak tahu Mas Andra serius dengan kata katanya atau cuma bercanda.

“Ini sebenarnya yang mau hunting foto elu atau Kiara sih?” tanya Mas Egi, “kenapa tempatnya Kiara yang nentuin?”

“Foto foto gue itu Gi, sifatnya fleksibel.” Jelas Mas Andra,  “dimanapun tempat itu berada, disanalah objek objek foto itu akan kuabadikan atau kuambil. Di Thailand kan banyak pasar apung tuh, kayak Khlong Lat Mayom floating market, atau Damnoen Saduak floating market, nah, itu juga tempat yang bagus untuk objek foto, kenapa tidak.”

“Oh, begitu ya.”

“Iya. Begitu.” Kata Mas Andra.

“Memang ada yang mau membeli foto pasar apung?” tanya Mas Egi.

“Ya ada. Mereka yang sedang bikin buku tentang keunikan masyarakat Thailand misalnya, siapa tahu butuh foto pasar apung.” Ujar Mas Andra, “lalu kamu mau kemana lagi Ki?” tanya Mas Andra padaku.

“Sudah-sudah, nanya Kiara melulu!” ujar Mas Egi, “mending jawab tebak tebakan dari aku!”

“Tebak tebakan melulu!” Hampir bersamaan aku dan Mas Andra berteriak.

“Iya dong,” Mas Egi tertawa, “jawab ya. Ada 13 angsa berenang di danau, di kali 3, jadi berapa?”

“Jadi capek.” Jawab Mas Andra. “Itu angsa pasti berenangnya dari pagi, jadi capek.”

“Serius ah!” Mas Egi cemberut.

“Ya, gue serius. Jawaban teki teki lu kan selalu aneh.”

“Ayo dong jawab dengan serius,” ujar Mas Egi lagi.

“Kalau gue jawab 39 pasti salah,” kata Mas Andra, “padahal 13 x 3 kan 39.”

“Memang salah!”

“Tuh kan!”

“Ki, jawab dong,”

“Jadi 16.” Jawabku.

“Kok 16 sih?” Mas Andra heran.

“Iya, ada angsa berenang di danau 13, di kali 3, berarti yang berenang di kali ada 3, jadi 16 angsa, benar kan?” tanyaku.

“Salah!” kata Mas Egi.

“Kok salah sih?” protesku.

“Yang benar ada 17.” Ujar Mas Egi lagi. “Angsa yang berenang di danau 13, berenang di kali 3, berenang di empang 1, jadi 17.”

“Tadi nggak dibilangan ada yang berenang di empang!” Protesku lagi.

“Itu karena angsa yang berenang di empang nggak bilang apa apa sama teman temannya waktu memisahkan diri, dia pergi begitu saja.”

“Lagi baper kayaknya angsanya.” Komentar Mas Andra, “itu angsa pasti jomblo, berenang sendirian gitu di empang.”

“Kayaknya sih, itu angsa introvert,” sahutku, “tidak mau bergaul, maunya menyendiri.”

“Sudah sebaiknya kita lupakan angsa yang nyasar ke empang itu.” Ujar Mas Egi, “eh, gue punya ide! Gimana kalau elu Ndra, bikin game ‘angsa penyendiri’.” Lanjut Mas Egi ke Mas Andra.

“Cara mainnya?” tanya Mas Andra.

“Jadi gamernya akan mendapat poin kalau berhasil menangkap itu angsa dan balikin angsa itu ke teman temannya.”

“Cara menangkapnya gimana?” tanya Mas Andra lagi.

“Pakai jaring aja, jangan ditembak, kasihan nanti terluka.”

“Jangan.” Seruku, “tidak usah ditangkap angsanya, baik pakai jaring atau pakai apapun juga. Kasihan kan, sudah berenang sendiri ditangkap pula. Biarkan angsa itu berenang dengan bebas.”

“Sekarang malah kamu yang baper Ki.” Mas Egi langsung tertawa. “Sekarang tebakan selanjutnya.”

“Cukup!”

“Enough!”

Hampir bersamaan aku dan Mas Andra teriak lagi.

“Ciee, dari tadi ngomongnya bareng terus, pasti sehati.” Komentar Mas Egi.

Mas Andra langsung tertawa mendengar kata kata Mas Egi, sementara aku langsung pamit pada mereka untuk melanjutkan pekerjaanku.

~ ~ ~

BAB ENAM BELAS


POV Kiara

Aku saat ini sedang berada di suatu restoran di daerah Senopati. Aku ada janji makan siang dengan tante audrey dan puteranya karena tante Audrey akan memperkenalkan puteranya padaku.

Aku datang lebih awal karena aku merasa tak enak pada tante Audrey kalau sampai tante Audrey harus menungguku.

Sabtu siang ini seperti biasanya aku harus bekerja, tapi karena ada janji dengan tante Audrey aku minta ijin pada Mas Bima untuk tidak bekerja siang ini dan baru akan bekerja setelah pertemuanku dengan tante Audrey dan puteranya selesai.

Sebenarnya aku tak enak pada Mas Bima karena minta ijin melulu karena sepertinya aku selalu banyak keperluan. Tapi untungnya Mas Bima mengerti dan memberikan aku ijin untuk pergi.

Setelah datang, aku duduk di tempat yang sudah tante Audrey booking. Aku lalu memperhatikan suasana restoran yang cukup ramai dengan perasaan tak menentu.

Sambil menunggu, entah kenapa aku tiba tiba merasa rindu pada Devano. Aku juga tak mengerti kenapa tiba tiba ingat Dev. Mungkin karena semalam Selly meneleponku dan menanyakan kabar teman teman di Bright Advertising, Sellyjuga bertanya apakah Dev jadi klien lagi di Bright Advertising atau tidak. Aku bilang pada Selly bahwa Dev belum meminta Bright Advertising untuk membuat iklan untuk perusahaannya lagi.

Sedang asik asiknya memikirkan Dev aku terkejut ketika orang yang kupikirkan tiba tiba muncul di hadapanku, ia berjalan tepat ke arahku. Aku mengucek ngucek mataku karena tak percaya dengan penglihatanku. Kupikir itu hanya halunisasi saja.

Tapi beberapa kali aku mengucek mataku, sosok Dev tetap berada di hadapanku, tidak jauh dariku.

Dev sepertinya mau makan siang juga disini. Ia seperti sedang mencari seseorang karena matanya beredar memperhatikan orang orang yang berada di dalam restoran.

Aku akhirnya memberanikan diri untuk menegurnya. Aku lalu berdiri dari tempat dudukku dan berjalan menghampirinya.

“Selamat siang Pak Devano,” ujarku.

Dia memperhatikan aku dan mencoba mengingat ingat pernah bertemu aku dimana.

“Aku Kiara, dari Bright Advertising.” Ujarku lagi.

“O, ya, tentu,” ujar Dev, “Bright Advertising, aku ingat, apa kabar?” tanyanya.

“Baik, kabar baik.”

“Selly bagaimana? Apa kabar dengan Ibu Selly?”

Selly patah hati karena dirimu. Ujarku dalam hati. “Selly baik baik saja.” Jawabku.

“Syukurlah. Sudah lama aku tidak bertemu Selly.”

Aku juga. Ujarku lagi dalam hati. Sepertinya Dev tidak tahu Selly sudah tidak di Bright Advertising lagi. Sepertinya Selly memutuskan untuk tidak memberitahu Dev.

“Belum mau bikin iklan baru Pak?” tanyaku sok akrab.

“Belum, kami sedang mempersiapkan peluncuran produk baru, mungkin nanti mempercayakan Bright Advertising lagiuntuk membuat iklannya.”

“Bagus kalau begitu!” senyumku. Tapi senyumku tiba tiba menghilang. Demi apa coba aku mempromosikan Bright Advertising seperti ini. Keenakan Bu Dewi dong dapat order besar. Mana aku sudah ditendang ke bagian produksi lagi sama dia! Ujarku dalam hati.

Tapi tenang Kiara, ambil sisi positifnya, kalau Dev memproduksi iklan lagi di Bright Advertising, kau bisa sering bertemu dengannya.

“Aku tinggal dulu ya Kiara,” ujar Dev mengagetkan, “aku sedang ada janji makan siang.”

“Oke,” aku mengangguk mengiyakan. Senang bertemu dengan Anda siang ini,pujaan hatiku, lanjutku dalam hati.

Baru saja aku mau duduk, Selly tiba tiba meneleponku, aku lalu menjawab panggilan telepon dari Selly.

“Hallo,” sahutku.

“Sedang sibuk Ki? Kau pasti kerja di cafe ya siang ini?” tanya Selly.

Aku ingin sekali menjerit dan bilang ke Selly kalau aku baru bertemu Dev. Tapi itu tidak kulakukan.

“Tidak, tidak sibuk kok. Aku bekerjanya nanti sore.”

“Oh, aku mau curhat boleh?”

“Boleh, sebentar ya, aku cari tempat yang sepi dulu.” Aku lalu berjalan ke arah belakang restoran ke sebuah taman yang rimbun oleh pepohonan. “Ok, sudah aman disini, kau mau bicara apa?”

“Ada pria yang melamarku Ki,” ujar Selly.

“Apa?” teriakku histeris, “itu keren!”

“Tapi aku tak yakin aku suka dia atau tidak.”

“Karena masih menyukai Dev?”

“Ya, salah satunya itu, tapi kalau soal Dev sepertinya aku nyerah, aku tidak bisa bersaing dengan Mona.”

“Lalu?”

“Lalu aku memutuskan untuk melupakan Dev walau sulit. Dan kembali ke pria yang melamarku itu, aku sebenarnya tidak terlalu menyukainya, tapi aku merasa nyaman berada disampingnya. Dia baik sekali Ki. Dia seniman lokal. Dia seorang pelukis. Ibuku pernah dilukis olehnya. Dari sanalah ia bilang ia mulai menyukaiku.”

“Ya sudah kalau begitu, kau bersahabat saja dulu dengannya. Jangan kau terima dulu lamarannya sampai hatimu yakin, tapi jangan kau tolak juga. Jalani saja dulu pelan pelan, beri keyakinan pada hatimu Sel.”

“Menurutmu begitu?”

“Ya.” Sahutku.

Selly kemudian tertawa, “sebenarnya saat semalam aku meneleponmu, aku mau membicarakan ini, tapi aku belum berani. Terima kasih sarannya ya Ki.”

“Sama sama.” Jawabku.

“Ya sudah lain kali aku curhat lagi,” ujar Selly lagi. “Bye Kiara.”

Bye!”

Aku baru mau memasukkan HPku ke dalam tas setelah ngobrol dengan Selly saat HPku berdering lagi, ternyata panggilan dari tante Audrey.

“Ki, kamu dimana? Tante sudah sampai.” Ujar Tante Audrey saat aku menjawab panggilannya.

“Oh, di taman belakang tante, aku juga sudah sampai, sebentar aku akan ke sana.”

“Oke, aku tunggu ya.”

“Iya tante.”

Aku lalu berjalan agak tergesa ke table yang sudah dibooking tante Audrey.

Tapi langkahku terhenti dan aku berdiri kaku saking kagetnya. Dev ternyata sedang duduk disamping tante Audrey!

Dadaku langsung berdebar kencang, tidak mungkin! Teriakku dalam hati,  Tidak mungkin kan Dev anak tante Audrey? Mereka mungkin cuma kenalan dan bertemu di restoran ini?

“Kiara,” sapa tante Audrey ramah saat melihatku berdiri tidak jauh darinya. “Kenapa bengong disitu! Ayo duduk, kenalkan, ini Devano, putra tante. Putera tante tampan kan seperti yang tante bilang?”

Aku dan Dev sama sama bertatapan lama. Dev sama terkejutnya denganku.

“Ki, ada apa?” tanya tante Audrey, “wajahmu pucat, kau sakit?”

“Ti.. tidak tante. Aku baik baik saja.” Aku duduk dengan gelisah. Sama gelisahnya dengan Dev yang terus menatapku dengan tatapan aneh.

“Syukurlah kalau begitu.” Tante Audrey tersenyum, “Dev, ini Kiara, wanita yang mama ceritakan padamu, dia…”

“Aku tahu siapa dia,” potong Dev.

“Kau tahu?” tanya tante Audrey kaget.

“Ya, iklan terakhir perusahaan kosmetik kita diproduksi oleh perusahaan iklan tempat Kiara bekerja Ma.”

“Benar begitu Kiara?” tanya tante Audrey padaku.

“Ya,” anggukku, “aku baru melihat putera tante sekarang tante, aku sangat terkejut, kalau sebelumnya aku sempat melihat fotonya aku pasti tahu tentang putera tante dan memberitahukan hal itu pada tante.”

“Dulu aku pernah mau memperlihatkan foto Dev padamu tapi kau menolak melihat.” Gumam tante Audrey.

“Ya, aku tak menyangka kalau…”

“Mama kenal Kiara dimana?” Dev tiba tiba memotong kata kataku.

“Di suatu cafe.” Jawab tante Audrey.

“Kiara sedang minum di cafe yang sama dengan Mama? Lalu kalian kenalan dan ngobrol, begitu?” tanya Dev.

“Tidak, Kiara sedang bekerja di cafe itu.” Jawab tante Audrey.

“Kiara sedang bekerja?” tanya Dev heran.

“Dev, ada apa sebenarnya? Kau janji mau berkenalan dengannya. Jangan cari masalah lagi dengan Mama. Bisakah kita makan siang sekarang?” Ujar tante Audrey.

“Tapi Ma, bagaimana mungkin Mama bisa memilihnya untuk.. untuk..” Dev menghentikan kata katanya, “apa Mama mengenal keluarga Kiara juga? Apa Mama dan Mama Kiara  sudah akrab?”

“Mama akan menjelaskan itu di rumah ok? Tidak sekarang. Bisakah kita makan siang sekarang?” Ujar tante Audrey kesal.

“Oke, baiklah.” Jawab Dev.

“Ayo Kiara, kau mau pesan apa?” tanya tante Audrey padaku.

Aku langsung melihat menu dan memilih ingin makan siang apa. Tapi melihat kemarahan Dev, selera makanku tiba tiba menghilang entah kemana.

~ ~ ~

POV Kiara

Aku hampir menyelesaikan makan siangku saat HPku bunyi karena ada pesan masuk di WAku. Nomornya tidak kukenal. Aku lalu membacanya.

Kita perlu bicara. Tapi aku ingin kita bicara berdua saja tanpa kehadiran Mamaku. Dimana aku bisa menemuimu? - Dev  -

Untuk sesaat aku merasa terkejut kenapa Dev tahu nomor HPku, tapi Dev pasti bertanya pada Selly.

Aku langsung membalas pesannya. Aku bilang padanya sore ini aku harus bekerja. Tapi kalau dia ingin bicara denganku, dia  bisa mampir ke cafe Mas Bima, tempat aku bekerja, aku lalu memberikan alamat cafe Mas Bima padanya. Ia bilang ia akan menemuiku di cafe Mas Bima nanti malam.

“Sekarang aku sudah kenyang,” ujar Dev mengagetkan. “Terima kasih atas traktiran makan siangnya Ma.”

“Sama sama Sayang.” Tante Audrey tersenyum pada Dev.

“Bisa aku pulang duluan?” tanya Dev, membuat senyum tante Audrey langsung hilang.
“Secepat itu Dev?” tanya tante Audrey, “tidak maukah kau mengajak Kiara jalan jalan atau apa, sekarang masih siang, udara cerah, kalian bisa jalan jalan ke mal atau kemana gitu.”

Dev langsung menghela nafas panjang dan menatapku tajam, “Kiara, kau mau jalan jalan denganku?”

Mau Sekali. Seruku dalam hati. Demi Tuhan aku mau sekali…

“Ehm, aku harus bekerja,” ujarku cepat, “aku takut nanti terlambat bekerja, masalahnya sudah terlalu sering aku minta ijin pergi pada Mas Bima.”

“Ya sudah kalau begitu.” Tante Audrey tersenyum menatapku, “Dev, bisa kau antar Kiara ke tempat kerjanya?”

Aku dan Dev bertatapan lagi. Dev sepertinya tidak tahu harus bicara apa.

“Aku sudah pesan ojek online tante,” ujarku buru buru. “Sebentar lagi ojeknya sampai.”

“Kenapa tidak bareng Dev saja sih? Dev bawa mobil kesini. Tante dan Dev tadi pergi kesininya sendiri sendiri, bawa mobil sendiri sendiri.”

“Motor lebih cepat tante, bisa lewat jalan tikus kalau macet.”

“Ya sudah kalau begitu, sampai bertemu lagi Kiara. Hati hati di jalan ya.”

“Sampai berjumpa lagi Tante,” aku langsung mencium pipi tante Audrey.

“Sampai berjumpa lagi.”
“Senang bertemu denganmu lagi siang ini,” aku mengulurkan tanganku pada Dev untuk berjabat tangan. Aku serius dengan apa yang kuucapkan. Aku senang sekali bisa bertemu lagi dengan Dev siang ini.

Dev menerima uluran tanganku dan menjabat tanganku tanpa berkata apa apa.

Aku lalu pergi meninggalkan mereka sambil membuka HPku dan mulai memesan ojek online.

~ ~ ~

POV Author

Suasana cafe malam ini sangat ramai. Tapi Dev berhasil mendapatkan tempat duduk dan memesan minuman. Ia sekarang sedang menunggu Kiara karena Kiara akan menemuinya sebentar lagi.

Setelah kurang lebih sepuluh menit menunggu, Kiara akhirnya menghampiri Dev sambil tersenyum.

“Maaf menunggu agak lama,” ujar Kiara. “Tadi aku cuci piring dulu.”

“Tidak apa apa,” jawab Dev, “kau yakin kau bisa ngobrol denganku sekarang?”

“Ya, tadi aku sudah ijin pada bosku dan bosku sudah mengijinkan.”

“Baiklah kalau begitu,” ujar Dev.

Ya Tuhan, dia tampan sekali, ujar Kiara dalam hati sambil memperhatikan wajah Dev, Kiara berusaha menenangkan dadanya yang terus berdebar.

“Terus terang aku cukup kaget dengan rencana Mama untuk menjodohkan aku dengan dirimu,” ujar Dev lagi, “aku percaya Mama punya alasan sendiri kenapa memilihmu sebagai wanita yang ingin dijodohkan denganku, tapi permasalahannya adalah bukan di dirimu, tapi di diriku, aku yakin kau adalah wanita baik seperti yang Mama bilang, tapi…” Dev menghentikan kata katanya.

“Tapi apa?” tanya Kiara.

“Aku sudah punya pacar.”

Kiara berusaha untuk tidak menampilkan wajah kecewa di hadapan Dev. Ia sudah tahu sebelumnya bahwa Dev sudah punya pacar. Ia juga merasa yakin bahwa Dev akan mengatakan hal itu saat Dev ingin bicara dengan dirinya, tapi Kiara tak menduga bahwa mendengar langsung Dev mengucapkan kata kata itu membuat dada Kiara sakit.

“Jadi..” ujar Kiara pelan, “aku tak punya kesempatan?”

“Aku minta maaf, aku yakin banyak pria baik di luar sana yang cocok untukmu. Itu saja yang ingin aku katakan.”

“Permisi,” tiba tiba Mega, salah satu karyawan Mas Bima menghampiri Dev dan Kiara, “Ki, dipanggil Mas Andra sebentar.”

Kiara langsung menggerutu dalam hati, Mas Andra mau apa sih.. ujarnya dalam hati.

Kiara lalu menghampiri Mas Andra yang sedang duduk sendirian ditemani laptopnya.

“Ada apa Mas?” tanyanya pada Mas Andra.

“Itu siapa?” tanya Mas Andra, “Pria yang sedang ngobrol denganmu?”

“Oh, itu Devano, puteranya tante Audrey.”

“Putera tante Audrey?” tanya Mas Andra kaget, “dia mau apa?”

“Dia mau minum doang, sudah ya, aku perlu menyampaikan sesuatu padanya. Sebentar lagi dia pulang.”

“Oke.”

Kiara lalu berjalan lagi ke arah Dev.

“Maaf,” ujar Kiara, “itu tadi teman kakak sepupuku, dia ada perlu sehingga ia menanyakan sesuatu padaku.”

“Tidak apa apa.” Ujar Dev.

“O, ya meneruskan pembicaraan kita tadi, aku hanya ingin bilang agar kau jangan khawatir. I’m ok. Maksudku aku juga tidak mengerti kenapa Mamamu ingin memperkenalkan aku padamu dan jika memungkinkan menjadikan aku sebagai menantunya,” Kiara menahan agar suaranya tidak terdengar sedih. “Mamamu sangat antusias sekali dengan hal ini. Ia membujukku sampai mentraktirku makan di restoran Jepang yang mahal,” Kiara tertawa pelan, ia tahu bahwa tawanya tidak terdengar gembira.

“Sampai segitunya?” tanya Dev.

“Ya.” Ujar Kiara, “tante Jennie juga membujukku.”

“Jadi tante Jennie juga punya peran dalam perjodohan kita?”

“Ya.”

“Sebenarnya,” ujar Dev lagi “alasan kenapa Mama dan tante Jennie melakukan ini adalah…”

“Maaf mengganggu,” Mas Andra tiba tiba berdiri diantara Dev dan Kiara yang sedang duduk berhadapan. “Tapi aku ada perlu dengan Kiara.”

“Mas Andra, aku sedang bicara,” protes Kiara.

“Sebentar saja Ki.”

“Tidak apa apa.” Dev tiba tiba berdiri dari duduknya, “aku sudah mau pulang kok, mungkin lain kali kita bisa ngobrol lebih tenang dari ini,” ujar Dev pada Kiara.

“Ya, tentu.” Jawab Kiara.

“Sampai bertemu Kiara.”

Sampai bertemu lagi cintaku… ujar Kiara dalam hati.

Kiara lalu mengambil gelas bekas Dev minum dan membawanya ke belakang tanpa memperdulikan Mas Andra.

“Ki, tunggu, mau kemana sih?” Mas Andra mengejarnya.

“Aku nyuci ini dulu Mas Andra!” seru Kiara sambil berjalan ke dapur.

Mas Andra berhenti mengejar Kiara setelah Kiara masuk dapur.

Di dapur, di tempat cuci piring, ternyata banyak piring dan gelas kotor yang harus dicuci, Kiara pun mencuci semuanya. Kiara mencuci piring dengan perasaan sedih.

Kisah cintaku berakhir tragis, oh Tuhan, ini tidak adil untukku, kisah cintaku berakhir tragis…

Selesai mencuci piring ia keluar lagi untuk menemui Mas Andra, tapi Mas Andra tidak ada di dalam cafe.

“Mbak Mega, lihat Mas Andra tidak?” tanya Kiara pada Mbak Mega.

“Tadi sih ada.”

“Aku juga tahu tadi ada, sekarang kemana orangnya?”

“Mana aku tahu, diluar kali, di parkiran.”

Kiara langsung pergi ke parkiran. Motor Mas Andra masih ada disana. Tapi Mas Andranya tidak ada.

Kiara lalu pergi ke atas, ke tempat ia tinggal, siapa tahu Mas Andra ada diteras, tapi ternyata tidak ada juga.

Kiara akhirnya menyerah, ia tidak mencari Mas Andra lagi dan kembali pada pekerjaannya.

~ ~ ~



POV Kiara

Hari sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tapi aku tak bisa tidur. Aku benar benar gelisah malam ini. Kejadian yang menimpaku hari Sabtu ini terlalu luar biasa.

Mengetahui bahwa pria yang akan dijodohkan denganku adalah pria yang kucintai, cukup membuat aku tak percaya. Maksudku, benarkah keajaiban seperti itu benar benar terjadi?

Aku langsung merasa bahagia walau kebahagiaanku hanya berumur singkat, karena pria yang kucintai ini ternyata sudah punya pacar.

Dan aku tak menyangka kalau rasanya akan sesakit ini. Karena aku benar benar harus mengubur harapanku dalam dalam untuk bisa bersama dengan pria yang kucintai.

Maksudku, aku patah hati karena Dev mengatakannya secara langsung, jelas dan tegas padaku, di hadapanku ‘aku sudah punya pacar’. Itu peringatan keras untukku untuk jangan berharap apa apa tentang dirinya.

Sepertinya harapanku tentang Dev memang harus berakhir sampai disini, tapi ini tidak menghentikan cintaku padanya.  Aku tidak tahu kapan aku akan berhenti mencintainya, mungkin nanti setelah ada Dev Dev lain yang berhasil menggantikan Dev asli di hatiku.

Tapi untuk saat ini, Dev asli masih bercokol kuat dihatiku.

~ ~ ~



BAB TUJUH BELAS


POV Kiara

Aku tersenyum dan melambaikan tangan saat kulihat tante Jennie berjalan ke arahku.

Aku sedang berada di sebuah taman tidak jauh dari tempat aku tinggal. Dan aku minta bertemu dengan tante Jennie karena ada yang ingin kutanyakan padanya.

Tadinya aku ingin pergi ke rumah tante Jennie kalau tante Jennie mengijinkan, tapi tante Jennie bilang dirumahnya sedang banyak tamu. Adik dan kakak suaminya sedang menginap di rumah. Mereka semua berasal dari Medan. Kalau mereka datang ke Jakarta, mereka pasti menginap di rumah tante Jennie.

Tante Jennie akhirnya mengusulkan untuk bertemu di tempat tinggalku, tapi aku yang tidak mau karena sejak semalam dua orang teman Tia datang untuk menginap. Aku pasti tidak akan leluasa ngobrol dengan tante Jennie.

Akhirnya aku minta bertemu di taman ini saja.

Tante Jennie menghampiriku sambil tersenyum. Rambut panjang ikalnya tampak terurai indah. Walau sudah usia setengah baya, tante Jennie kelihatan sangat cantik.

“Apa kabar tante?” sambutku sambil mencium pipi tante Jennie kiri dan kanan.

“Kabar baik Kiara.”

“Sekali lagi maaf merepotkan.”

“Tidak repot kok, kebetulan aku juga sedang jenuh dirumah, jadi ya refreshing seperti ini bolehlah. Apalagi taman ini indah, ada arena bermain anak anaknya. Dan anak anak tampak bermain dengan gembira.”

“Iya, tante.” Aku kembali tersenyum ke arah tante Jennie.

“Jadi apa yang ingin kau tanyakan Kiara?”

“Tentang tante Audrey dan tentang puteranya.” Jawabku.

“Sudah kuduga,” gumam tante Jennie. “Audrey cerita hari Sabtu kemarin kau sudah diperkenalkan pada Dev dan ternyata kau sudah kenal lebih dulu dengan Dev karena kalian pernah bertemu karena pekerjaan.”

“Ya, itu betul.” Jawabku, “Dev adalah klien dari Perusahaan  tempat aku kerja.”

“Lalu?”

“Dev sudah punya pacar, tante.”

Tante Jennie terdiam, “kau tahu darimana?”

“Dev sendiri yang bilang.”

“Kalian bertemu atau Dev meneleponmu?”

“Kami bertemu.”

“Oke, lalu pertanyaanmu adalah…”

“Pertama, apakah tante Audrey tahu Dev sudah punya pacar. Kedua, kalau sudah tahu, kenapa tante Audrey tetap ingin menjodohkan aku dengan Dev, itu saja pertanyaannya.”

“Tante Audrey belum memberitahu apapun padamu?”

“Belum.” Jawabku, “sejak bertemu pada hari Sabtu siang kemarin, kami belum bertemu lagi. Dan pada Minggu pagi inilah aku minta bertemu dengan tante Jennie karena kepikiran terus, maksudku, kalau tante Audrey sudah tahu Dev punya pacar kenapa tante Audrey tidak merestui hubungan mereka?”

“Itu karena ibunya Mona, - nama pacar Dev - adalah musuh bebuyutan tante Audrey waktu SMA.”

“Musuh bebuyutan?” tanyaku kaget. “Kok bisa?”

“Tante Audrey dulu punya pacar, namanya Arman, lalu tante Mita, nama ibunya Mona merebut pacar tante Audrey dan dari sanalah tante Audrey marah pada tante Mita hingga sekarang.”

“Oh, aku pernah mendengar cerita ini dari Eyang Uti!” Seruku.

“O, ya?” tante Jennie heran, “Eyang Uti cerita padamu?”

“Iya, waktu kita ke Solo, tapi tidak banyak sih, Eyang Uti bilang sejak tante Audrey patah hati dia tidak pacaran lagi dengan siapapun sampai akhirnya dijodohkan dengan suaminya sekarang.”

“Ya, memang itu yang terjadi. Sebenarnya tante Audrey tidak akan ingat tante Mita kalau saja tante Mita bukan ibunya Mona, tapi ya.. kau bisa mengertilah perasaan tante Audrey seperti apa. Dia ingin Dev putus dengan Mona.”

“Itu sebabnya tante Audrey membujukku agar mau dijodohkan dengan Dev? Agar hubungan Dev dan Mona tidak dilanjutkan?”

“Ya.” Tante Jennie mengangguk.

“Jadi aku bemper dong disini!” teriakku kesal.

Tante Jennie langsung tertawa. “Enggak segitunya kali Ki. Tante Audrey benar benar suka padamu. Menurut tante Audrey kau orang yang menyenangkan.”

Andai saja Dev juga suka padaku… keluhku dalam hati.

“Sekarang kau sudah mengerti situasinya kan?” tanya tante Jennie lagi.

“Ya. Tapi…”

“Tapi apa?”

“Perjodohan ini tidak bisa diteruskan tante. Dev pasti akan mempertahankan mati matian hubungannya dengan Mona, jadi yang harus kita lakukan adalah membujuk tante Audrey agar mau menerima Mona.”

“Kau baik hati sekali sih Ki, yakin kamu tidak mau sama Dev? Dev tampan loh. Seperti pernah aku bilang, Dev itu idola para wanita.”

“Ya, tapi kalau Dev-nya tidak mau denganku bagaimana dong?” teriakku putus asa.

Tante Jennie lagi lagi tertawa, “siapa tahu suatu hari Dev jatuh cinta padamu.”

“O, ya, dan matahari akan terbit dari Barat. Itu sama sekali tidak mungkin tante.”

“Jadi rencanamu apa?”

“Ehm, tante punya nomor telepon tante Mita?”

“Kau mau apa dengan tante Mita?” tanya tante Jennie bingung.

“Aku ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu tante Audrey versi tante Mita.”

“Kau yakin dengan apa yang ingin kau lakukan?”

“Percayakan semuanya padaku Tante. Aku akan mencoba memperbaiki keadaan ini agar semuanya berjalan happy ending.

Happy ending bagaimana?”

“Ya, happy ending karena akhirnya Tante Audrey mau menerima Mona sebagai menantunya.”

“Oooh jadi happy ending untuk Mona, sad ending untukmu begitu?”

“Tante, ayolah!”

“Tahu nggak Ki, kalau tante jadi kamu tante mau ngapain?”

“Mau ngapain tante?”

“Mau mempertahakan Dev mati matian, mumpung mendapat lampu hijau dari mamanya. Dev itu sayang sekali loh sama mamanya, tante sangat yakin kalau pada akhirnya Dev akan menuruti kemauan mamanya untuk menikahimu.”

“Tapi itu tidak adil buat Dev, cinta tidak bisa dipaksakan tante. Seharusnya kalau tante Audrey sayang pada Dev, tante Audrey juga menghormati perasaan Dev.”

“Ya, kau benar, tapi tetap saja tante akan mempertahankan Dev kalau tante jadi kamu. Dev itu tampan, sopan, rendah hati, pebisnis handal karena berhasil membuat bisnis keluarganya sebesar dan sesukses sekarang, senyumnya manis, lucu, pinter masak, ehm apa lagi ya?”

“Tante sudahlah!”

~ ~ ~

POV Author

Malam ini tidak seperti biasanya Dev menginap dirumah orangtuanya. Sejak pulang kerja, ia langsung mengendarai mobilnya menuju rumah orangtuanya di daerah Menteng.

Dev tidak harus membawa baju ganti untuk kerja besok karena di rumah orangtuanya, di kamarnya, baju baju Dev masih tersedia.

Tidak ada perubahan sejak Dev punya apartemen sendiri, tidak ada baju atau barang apapun yang Dev bawa dari kamarnya. Jadi tiap kali ia pulang ke rumah, ia tetap merasa nyaman dengan kamarnya, ia merasa tidak asing dengan kamarnya karena kamarnya tetap sama seperti yang Dev tinggalkan dulu.

Justru sejak punya apartemen sendiri Dev belanja semuanya untuk memenuhi apartemennya. Baik baju, sepatu, kaos kaki, perlengkapan tidur, furniture, semuanya.

Dev membeli apartemen itu karena efisiensi waktu saja agar ia cepat sampai ke tempat kerja dan tidak terjebak macet. Kantor Dev berada di daerah Senayan, makanya ia juga membeli apartemen masih di daerah Senayan, tidak jauh dari kantornya, hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai ke kantornya jika naik mobil, itu juga karena ia harus jalan memutar karena jalan yang satu arah.

Saat sampai ke rumahnya tadi Dev langsung pergi ke kamarnya. Ia lalu mandi, ganti baju dan sekarang sedang menonton berita sore di televisi sambil tiduran. Ia juga menunggu Bi Surti memanggilnya untuk makan malam.

Acara makan malam dirumah orangtua Dev rutin dilakukan dan itu harus dilakukan secara bersama sama kalau kebetulan anggota keluarga ada disana karena hanya di acara makan malam itulah keluarga bisa berkumpul dan berbicara tentang macam macam.

Kadang ayah Dev bertanya tentang bisnis anaknya dan juga menanyakan apakah Dev mempunyai kesulitan dalam menangani sesuatu. Ayah Dev juga bertanya tentang kuliah Dinda. Kadang Dev yang bertanya tentang pekerjaan ayahnya apakah semuanya lancar lancar saja. Dev juga tak jarang bertanya tentang kegiatan ibunya hari itu.

Tante Audrey sebenarnya punya banyak kegiatan karena ia mempunyai banyak perkumpulan atau kelas yang harus ia ikuti. Ia tergabung dalam kelas yoga, seminggu sekali ia luluran di salon langganannya sekalian paddicure, manicure, belum lagi ia tercatat sebagai bendahara PKK di wilayah tempat ia tinggal. Selain itu ia juga tercatat sebagai ketua panitia jika perusahaan  suaminya mengadakan acara bakti sosial yang rutin diadakan tiap sebulan sekali.

Namun dibalik semua kegiatannya itu tante Audrey masih menyisihkan waktu untuk nongkrong di cafe Mas Bima, paling tidak dua minggu sekali.

Untuk itulah ia bisa akrab dengan Kiara karena ia punya jadwal rutin pergi kesana.

“Dev, boleh Mama masuk?” pintu kamar Dev tiba tiba di ketuk tante Audrey.

“Iya Ma, masuk saja.” Jawab Dev.

Tante Audrey masuk sambil membawa segelas besar jus tomat.

“Diminum dulu jusnya, biar kamu merasa segar.” Ujar tante Audrey sambil memberikan jus itu pada Dev.

“Makasih Ma.” Dev langsung meminum jus yang dibawa tante Audrey hingga setengah gelas. “Dinda pulang hari ini Ma?” tanyanya setelah meminum jusnya dan meletakkan gelas yang berisi jus itu di atas meja kecil di samping tempat tidurnya.

“Tidak, mungkin lusa ia baru pulang. Tumben nanyain adik kamu.”

“Iya, lagi kangen saja. Akhir akhir ini aku sibuk sekali. Produk untuk masker wajah dari perpaduan buah buahan dan yogurt baru saja keluar, aku harus mengatur pemasaran dan yang lainnya kira kira kemana produk itu akan dipasarkan. Maksud aku, segmennya kan anak muda, jadi harus tepat sasaran pemasarannya.”

“Produk kita masih bisa bersaing secara sehat kan Dev?” tanya Mamanya.

“Ya, bisa, untuk produk sejenis yang berasal dari dalam negeri, produk kita masih lebih unggul, saingan terberat kita sekarang adalah produk produk dari Korea. Mereka menyerbu pasar kita dengan cepat dan tanpa ampun.”

“Iya, tapi seperti nenekmu bilang, kita jangan khawatir. Sebagian besar pemakai produk kita dari jaman nenek masih muda dulu tidak beralih ke produk lain, dan itu turun dari generasi ke generasi. Mereka semua rata rata memakai produk kita.”

“Iya sih Ma.”

“Kalau iklannya, untuk produk baru ini bagaimana, sudah dibikin?”

“Belum.”

“Wah, bikin iklannya di tempat Kiara saja,” ujar Mamanya langsung.

“Iya Ma, aku juga berencana begitu. Iklan parfum yang diproduksi di Bright Advertising sangat bagus. Bahkan beberapa kata katanya sempat viral dan jadi bahan pembicaraan orang orang. Itu tandanya iklan itu berhasil diingat oleh banyak orang.”

“Lalu kapan kau akan menghubungi Kiara untuk membicarakan tentang hal ini?”

“Nanti Ma, mungkin bulan depan, aku belum fokus di pembuatan iklan dulu.”

“Ok, baiklah kalau begitu.”

“Ma, Mama kenal Kiara dimana sih? Benar di cafe?”

“Ya, masa mama bohong sih. Mama kenal di cafe tempat Kiara kerja. Dia kerja setiap akhir pekan di cafe. Cafenya itu milik kakak sepupunya. Pada awalnya mama hanya sesekali ke sana, tapi karena Kiara suka menemani mama ngobrol, mama kalau lagi bete suka pergi ke sana dan ngobrol dengan Kiara, mama jadi tidak merasa kesepian lagi.”

“Maaf ya Ma, aku sibuk, aku tidak bisa sering menemani Mama.” Ujar Dev.

“Tidak apa apa, mama mengerti. Mama tidak apa apa kok, mama sudah punya teman ngobrol atau curhat sekarang.” Tante Audrey tersenyum.

“Mama sudah pernah bertemu orangtua Kiara sebelumnya?”

“Belum, tapi kapan kapan Mama ingin main ke rumah Kiara di Yogya.”

“Untuk apa sih Ma? Mama mau berkenalan dengan orangtua Kiara?”

“Ya jelas dong. Tapi selain itu mama juga mau refreshing. Sudah lama mama tidak ke Yogya. Tapi sama seperti kamu, Kiara juga sibuk, dia hampir tak punya waktu luang untuk ngapa ngapain. Jadi mama nggak tahu bisa ke Yogya bareng Kiara kapan.”

“Mas Devano, makan malam sudah siap.” Suara Bi Surti tiba tiba terdengar di balik pintu kamar Dev.

“Iya, Bi, makasih.” Sahut Dev.

“Ayo kita makan,” tante Audrey berjalan lebih dulu ke pintu, “kasihan Papa, pasti sudah lapar.”

~ ~ ~


BAB DELAPAN BELAS


POV Author

Devano baru akan pergi berbelanja ke supermarket yang terletak di lantai pertama gedung apartemen yang ia tinggali waktu terdengar bel di pintu apartemennya.

Dev pulang kerja sore tadi langsung pergi ke atas, ke apartemennya dan tidak sempat berbelanja. Tapi karena sekarang ia akan masak untuk makan malamnya tapi tak punya apa apa untuk dimasak, maka ia memutuskan untuk berbelanja.

Sebenarnya mudah bagi Dev untuk pesan makanan secara online dan minta diantar ke apartemennya tanpa susah payah memasak segala. Tapi Dev suka melakukannya. Ia suka memasak. Prinsip hidup Dev selama ia bisa melakukan itu, ia akan lakukan, lagipula ia bisa memasak saat pulang kerja seperti ini saja atau saat ia punya waktu luang. Selebihnya ia sibuk dengan pekerjaannya.

Dev lalu membuka pintu apartemennya saat belnya berbunyi lagi. Ternyata yang datang Tante Audrey.

Tante Audrey tersenyum saat Dev membukakan pintu. “Mau kemana Dev rapi amat?” tanya tante Audrey sambil memperhatikan penampilan Dev.

“Mau belanja ke bawah Ma.”

“Tidak usah, Mama sudah berbelanja untukmu.”

“O, ya?” tanya Dev terkejut.

“Ya,” Mamanya memperlihatkan dua kantong belanja yang ia pegang pada Dev “Nih, lihat. Mama tadi berbelanja dengan dibantu Kiara, ayo Ki, masuk.”

Kiara yang tadi berdiri di belakang tante Audrey masuk ke apartemen Dev sambil membawa dua kantong belanja lainnya.

“Mama sudah berbelanja sayuran dan buah buahan segar.” Tante Audrey menaruh kantung belanjanya di atas meja makan, “juga ikan, telur, ayam. Pasti kulkasmu kosong.” Lanjut tante Audrey.

“Memang.” ujar Dev.

“Mau masak apa malam ini?” tanya mamanya lagi.

“Entahlah.”

“Bikin capcay saja dan salmon bakar yang dikasih bumbu pedas manis, Mama sudah beli bahan bahannya.”

“Tentu, tidak masalah.” Jawab Dev.

“Kiara, sayur dan buahnya langsung dimasukin kulkas saja,” ujar Tante Audrey pada Kiara. “Juga belanjaan yang lainnya.”

“Iya Tante,” Kiara menaruh belanjaan yang ia bawa diatas meja makan, lalu ia memasukkan buah buahan dan sayuran yang ia ambil dari kantong belanja itu ke dalam kulkas satu per satu.

“Terima kasih Kiara, maaf merepotkan.” Ujar Dev pada Kiara.

Tidak masalah sayang, aku suka melakukan ini untukmu. Tiap hari juga tidak masalah… ujar Kiara dalam hati.

“Tidak repot kok.” Kiara tersenyum.

“Mama menjemputmu ke tempat kerja?” tanya Dev.

“Iya.” Jawab Kiara.

“Memang kenapa kalau Mama dan Kiara janjian untuk datang ke sini dan berbelanja untukmu?” tanya tante Audrey.

“Tidak apa apa kok Ma.” Jawab Dev.

“Aku bantuin motongin sayurnya ya?” tawar Kiara setelah semua belanjaannya dimasukin ke kulkas.

“Ya, tentu,” ujar Dev, “ini pisaunya.”

Kiara lalu mengambil beberapa buah wortel lalu mulai mengupas wortel tersebut.

Dev duduk tidak jauh dari Kiara dan mulai mengupas bawang merah.

“Ya, ampun, Mama lupa beli puding!” ujar tante Audrey mengagetkan. “Mama ke bawah dulu ya untuk beli puding.”

“Nggak usah makan puding kenapa sih Ma,” ujar Dev, “kan ada apel, kiwi, Mangga.”

“Mama maunya puding. Sebentar ya Mama beli puding dulu.”

“Biar aku yang beli Ma.” Tawar Dev.

“Tidak usah, kau masak saja.” sahut tante Audrey sambil membuka pintu dan menutupnya lagi.

Dev membiarkan mamanya pergi dan mulai mengiris bawang.

“Kata tante Audrey, ada produk baru dari perusahaanmu yang iklannya akan dibikin di Bright Advertising?” tanya Kiara sambil mulai memotong wortel.

“Ya, tapi rencananya tidak dalam waktu dekat ini bikinnya. Tapi kalau kamu mau memberitahu Selly dari sekarang juga tidak apa apa.”

“Selly?” tanya Kiara, “Selly tidak cerita padamu kalau dia bukan owner Bright Advertising lagi?”

“Tidak. Selly tidak cerita. Kok Bisa?” tanya Dev kaget.

Yeah, Selly menjual Bright Advertising pada salah satu rekan bisnisnya, lalu dia pindah ke Gianyar dan tinggal disana bersama ibunya.”

“Selly kerja apa di Gianyar?”

“Dia sekarang bisnis baju dan kaos. Kan banyak tuh baju atau kaos etnik bali yang cantik cantik, nah dia memproduksi baju dan kaos seperti itu dan menjualnya secara online. Aku pernah mencoba membelinya satu, dan bahan kaosnya bagus, adem, tidak panas, tidak mudah kusut, lukisan di kaos atau baju produksi Selly kebanyakan pantai dan laut.”

“Selly memang kreatif.” komentar Dev.

“Ya, dan dia tidak harus keluar rumah untuk memproduksi baju dan kaos itu, kecuali untuk membeli bahan produksi dan keperluan lain. Maksudku, ia memproduksinya di rumah, ia membeli kurang lebih lima buah mesin jahit, dan mempekerjakan lima orang karyawan untuk menjahit baju dan kaos itu. Sementara untuk pemesanan online, kurir yang akan datang ke rumah Selly untuk mengambil paket paket pemesanan yang sudah Selly kemas. Jadi semuanya serba praktis.”

“Itu keren,” Dev tersenyum, “semoga bisnis Selly berhasil,” ujar Dev lagi, “tapi rasanya aneh kalau aku nanti ke Bright Advertising tidak ada Selly lagi.”

Kan ada aku! Ada aku! Teriak Kiara dalam hati.

“Maksudku, aku terbiasa berhubungan dengan Selly dalam kerjasama pembuatan iklan seperti iklan parfum kemarin.” Lanjut Dev, “pemilik barunya bagaimana?”

“Bagaimana apanya?” Kiara balik bertanya, “apa maksudmu dia seasik Selly?”

“Ya kurang lebih begitu.”

Dia seperti singa betina. Ujar Kiara lagi dalam hati.

“Ibu Dewi, owner yang baru, orangnya lebih tegas, to the point, segalanya sesuatunya ingin selalu sempurna. Off the record ya, tolong jangan bilang ini ke dia,” bisik Kiara “dia orangnya tidak seasik Selly.”

“Jadi aku harus main rahasia rahasiaan sekarang?” tanya Dev sambil tersenyum.

“Permasalahannya,” ujar Kiara “aku kurang suka dengan owner yang baru, tapi aku tetap digaji sama dia karena aku kerja disana. Jadi yeah, aku harus bertahan dengan kondisi ini.”

Kemudian sepi, Dev dan Kiara asik memotong sayur lagi.

“Kayaknya mama sengaja ninggalin kita deh,” ujar Dev tiba tiba setelah ia dan Kiara terdiam cukup lama.

Kiara langsung tertawa, “tenang, aku nggak suka gigit kok. Kau aman.”

~ ~ ~

POV Author

“Gimana? semua beres?” tanya tante Jennie ke arah tante Audrey yang sedang asik makan puding cokelat.

“Beres. Kita ke atas setengah jam lagi setelah masakan matang.”

“Kau ini benar benar ya Drey, nanti Dev menduga Kiara bersekongkol dengan kita lagi padahal Kiara tidak tahu apa apa dengan rencanamu ini. Kiara hanya membantumu berbelanja sesuai permintaanmu saat kau menjemputnya ke kantornya tadi, tanpa tahu bahwa kalian akan pergi ke apartemen Dev, dan Kiara juga tidak tahu aku ada disini sekarang untuk menemanimu makan puding.”

“Tapi kan rencanaku baik Jen, biarkan mereka ngobrol dan merasa dekat, tak kenal maka tak sayang.”

“Jangan terlalu optimis Drey, kalau cinta Dev pada Mona terlalu kuat bagaimana?”

“Ya, tapi Kiara manis sekali, masa sih Dev tidak jatuh hati kalau melihat Kiara tersenyum? Pasti lama lama hatinya luluh juga. Senyum Kiara cantik loh. Kalau Kiara tersenyum, matanya seolah olah ikut tersenyum. Aku suka melihatnya.”

“Ya, sudah, kita doakan yang terbaik untuk mereka, ok?” tanya tante Jennie.

“Ok.”

“Sekarang kau mau tambah pudingnya?”

“Tidak, ini sudah cukup.”

~ ~ ~

POV Author

Setengah jam kemudian tante Audrey dan tante Jennie membunyikan bel di pintu apartemen Dev. Dev segera membuka pintunya.

“Mama, beli pudingnya lama amat! Baru dibikin ya pudingnya!” Sambut Dev kesal.

“Tadi antri belinya,” ujar Mamanya, “o, ya, mama menelepon tante Jennie untuk ikut makan malam bersama kita, boleh?”

“Boleh.” Ujar Dev langsung, “ayo, barangkali Mama mau menelepon teman mama yang lain, aku masak untuk dua puluh porsi.”

“Banyak amat masaknya Dev!” seru tante Jennie.

“Mama juga belanja sayurannya banyak amat tante!” sahut Dev.

“Masakannya sudah matang kan?” tanya tante Audrey lagi.

“Sudah, sudah matang.” Ujar Dev. “Ayo Ma, ayo tante Jennie, ayo Kiara, kita makan.”

“Ayo kita habiskan!” seru tante Audrey gembira.

“Hai, Kiara!” sapa tante Jennie pada Kiara yang sudah duduk manis di depan meja makan. Di hadapan Kiara semua masakan sudah terhidang.

“Hai tante Jennie, apa kabar?”

“Kabar baik.” Tante Jennie tersenyum, “jadi kau membantu Dev masak ini semua?”

“Ya.” Kiara mengangguk, “aku membantu Dev memasak dan menyiapkan ini semua.”

Kiara lalu mencoba mengingat ingat mimpi apa dia semalam. Kenapa tiba tiba hari Jum’at malam ini ia sibuk di dapur Dev untuk membantu Dev membakar ikan salmon dan masak capcay?

Kiara lalu memijit keningnya. Ia tidak mimpi apa apa tadi malam. Ia tidur dengan pulas. Tapi ia akan menyiapkan diri untuk kejutan kejutan lainnya di hari hari berikutnya.

~ ~ ~

 BAB SEMBILAN BELAS


POV Author

Dev sedang duduk di ruang kerjanya waktu sekretarisnya memberitahunya bahwa ibu Dewi dan timnya dari Bright Advertising sudah datang dan mereka sedang menunggu Dev di ruang presentasi.

“Ok, terima kasih Dona, direktur pemasaran, direktur Keuangan dan Direktur umum sudah di ruang presentasi juga?” tanya Dev.

“Sudah Pak,” jawab Dona, “tinggal Bapak yang belum hadir.”

“Oke, sebentar lagi aku ke sana.”

“Baik Pak.” Dona pun keluar dari ruangan Dev sambil menutup pintu.

Dev lalu mengambil tabletnya dari salah satu laci di meja kerjanya. Ia biasa mencatat apa apa hasil pertemuan di tablet itu.

Dev lalu bangun dari duduknya dan berjalan ke pintu. Ia berharap ia bertemu Kiara pada presentasi kali ini, karena pada presentasi awal ketika Dev mengundang Ibu Dewi dan timnya datang ke perusahaannya, Kiara tidak ikut.

Dev hanya ingin tahu apa ide dari Kiara untuk produk terbaru yang akan diluncurkan perusahaannya.

Seperti saat membuat iklan parfum dulu, Kiara-lah yang melakukan presentasi awal didampingi Selly, dan saat itu Dev langsung suka dengan idenya.

Tapi untuk iklan kali ini Kiara tidak melakukan presentasi awal karena Kiara tidak hadir bersama dengan ibu Dewi, dan Dev tidak suka dengan ide yang ditawarkan ibu Dewi dan timnya pada presentasi awal itu. Dev lalu meminta ide lain untuk dipresentasikan. Dan kali ini ibu Dewi dan timnya datang untuk mempresentasikan ide lain yang Dev minta.

Dev berjalan ke arah ruang presentasi yang terletak tidak jauh dari ruang kerjanya dan membuka pintunya.

“Selamat siang semuanya,” ujar Dev setelah tiba di kursinya.

“Selamat siang.” ujar yang lainnya. Mereka yang ada di ruangan presentasi berdiri semuanya saat Dev memasuki ruangan, lalu ikut duduk saat Dev duduk.

Dev duduk dengan perasaan kecewa. Ia tak menemukan Kiara lagi di ruangan itu. Tapi ia juga tidak mau bertanya pada ibu Dewi kenapa Kiara tidak ikut karena ibu Dewi pasti punya alasan sendiri dengan tidak membawa Kiara dalam tim mereka.

Dev bukannya suka pada Kiara secara pribadi, tapi ia suka dengan profesionalisme kerja dari Kiara. Dev suka dengan orang orang yang kreatif dan cerdas.

“Ayo, silahkan dimulai presentasinya.” Ujar Dev.

“Terima kasih,” ibu Dewi tersenyum, “kalau pada presentasi sebelumnya saya yang mempresentasikan, kali ini, Tami, karyawan sekaligus adik ipar saya yang akan mempresentasikan. Silahkan Tami.” Ujar ibu Dewi pada Tami.

Tami segera berdiri dan mulai berbicara.

~ ~ ~

POV Author

Ibu Dewi memasuki kantor Bright Advertising sambil marah marah.

“Wina, aku tidak mau tahu, pokoknya pada presentasi ketiga kita harus berhasil, kau keluarkan semua ide yang kau punya agar ini berhasil ok? Kalau tidak, kalau kita sampai gagal lagi, Pak Devano akan mencari perusahaan iklan lain untuk membuat iklannya!”

“Iya Bu,” ujar Wina langsung.

“Jangan iya Bu, iya Bu! Pikirkan dengan benar!”

“Baik.” Ujar Wina pelan.

“Tami!” teriak ibu Dewi pada Tami, “ke ruanganku sekarang!”

Kiara yang baru selesai makan siang dan melihat ribut ribut di front office langsung menghampiri Della, resepsionis di Bright Advertising.

“Ada apa sih? Rame bener kayak ada demo.”

“Sst, jangan keras keras, kedengaran ibu Dewi, kamu kena semprot juga loh,” bisik Della.

“Iya, tapi ada apa?”

“Sepertinya Ibu Dewi gagal lagi dalam presentasi kali ini.”

“Gagal Lagi? Memang sebelumnya pernah presentasi?” Kiara heran.

“Iya, ini presentasi kedua, dari teriakannya tadi sih sepertinya presentasi yang kedua ini gagal juga.”

“Siapa sih kliennya? Rese amat.” Komentar Kiara.

“Itu loh, idolanya ibu Selly dulu. Ibu Selly tuh dulu kalau mau ketemu dia dandannya sampai satu jam.” Jawab Della.

“Idola ibu Selly?” Kiara mencoba mengingat ingat, “Oh My God, maksud kamu Pak Devano dari GC Cosmetics?”

“Tepat sekali!”

“Pak Devano resmi jadi klien kita lagi?” tanya Kiara senang.

“Iya, tapi itu juga kalau presentasi ketiga berhasil, karena yang aku dengar barusan dari ibu Dewi, Pak Devano sepertinya akan mencari perusahaan iklan lain kalau ide dari kita tetap tidak ia sukai.”

“Kapan Pak Devano mulai jadi klien kita?”

“Sudah hampir dua minggu yang lalu.”

“Kok aku tidak diberitahu sih?” protes Kiara. “Aku baru tahu sekarang!”

“Kamunya tugas keluar kota terus!”

“Ya sudah aku mau ketemu Wina dulu.”

“Oke!”

Kiara lalu berjalan ke ruang kerja Wina, disana, dilihatnya Wina sedang bengong memandangi langit langit ruangan. Kiara mendekati Wina dan ikut memandangi langit langit ruangan seperti apa yang Wina lakukan.

“Tidak ada apa apa disana.” Gumam Kiara.

“Jangan menggangguku Ki, aku lagi sensi nih.” Ujar Wina. “Sebentar lagi aku meledak.”

Deuu segitunya.”

“Ya, coba kamu bayangin, semua ide sudah aku kerahkan, masih tidak berhasil juga.”

“Presentasi untuk Pak Devano?” tanya Kiara.

“Ya.”

“Sudah diskusi dengan Tami dan yang lainnya?”

“Sudah, kami semua sudah saling mengusulkan ide, bahkan Mas Rio, Art Director kita ikut ngasih ide, tapi yah, belum berhasil juga. Aku tak mengerti maunya Pak Devano seperti apa.”

“Waktu kuliah kan kita sudah belajar Win kalau dalam pembuatan naskah iklan itu yang perlu diperhatikan adalah bahasanya mudah dipahami, bahasanya tidak vulgar alias sopan, mempunyai kalimat ajakan yang menarik. Kau fokus disana saja.”

“Sudah, Ki, menurut pendapatku sih sudah menarik.”

“Memang produknya apa sih?”

“Masker wajah yang terbuat dari campuran buah buahan, seperti buah strawberry, buah kiwi, buah alpukat yang dicampur dengan yoghourt plain, segmentasinya anak remaja perempuan usia 13 sampai 18 tahun.”

“Berarti kamu harus menyakinkan para remaja perempuan untuk membeli masker ini.” Kiara terdiam sebentar, “konsep yang kamu bikin sebelumnya apa?”

“Pada presentasi pertama, cowok cowok jatuh cinta pada seorang remaja perempuan yang memakai masker wajah ini. Remaja perempuan ini menjadi idola karena memakai masker GC Cosmetics. Teman teman perempuannya yang lain akhirnya menyerbu masker GC Cosmetics karena ingin jadi idola juga.”

“Itu klise,” sahut Kiara, “sudah banyak iklan dengan konsep seperti itu dibuat. Yang selanjutnya?”

“Selanjutnya, pada presentasi kedua, aku bikin perbandingan bahwa masker dari GC Cosmetics terbuat dari bahan bahan alami, sementara kebanyakan masker kosmetik yang lain (katakanlah masker X) mengandung bahan kimia, lalu ada dua remaja puterinya, yang satu mukanya mulus karena pakai GC cosmetics yang satu mukanya iritasi karena memakai masker yang mengandung bahan kimia.”

“Sebenarnya konsep yang kedua bagus sih,” gumam Kiara.

“Makanya aku juga bingung maunya Pak Devano apa, kan itu menampilkan ciri khas perusahaannya bahwa kosmetik dia adalah tradisonal dan terbuat dari bahan alami.” Sahut Wina.

“Tapi kalau aku membayangkan melihat iklannya memang kurang greget sih Win.” Komentar Kiara lagi.

“Kurang greget gimana sih Kiara?” seru Wina kesal.

“Kalau iklan itu jadi, itu akan menjadi iklan kebanyakan dari GC Cosmetics gitu loh Wina, saat orang melihat iklan itu, yang ada di pikiran orang itu, atau katakanlah yang ada di pikiran aku, ‘o, iya, itu kan brandnya GC Cosmetics, orang nggak usah dikasih tahu juga sudah tahu kalau itu kosmetik tradisional. Ngapain sih bikin iklan segala buang buang duit aja’ gitu, ngerti nggak sih Win? Jadi, nggak ada sesuatu yang tertinggal di benak orang orang setelah melihat iklan itu. Iklan masker ini, menurutku, akan dikatakan berhasil kalau orang orang setelah menonton iklannya jadi ingat sesuatu. Dengan kata lain, masker ini jadi terlihat lebih istimewa dan berbeda dari produk masker dari perusahaan lain. Mungkin, ini baru mungkin loh ya, mungkin Pak Devano ingin produk maskernya jadi terlihat istimewa di iklan ini, sehingga remaja puteri di Indonesia berlomba lomba membeli produk masker ini.”

Wina terdiam mendengar kata kata Kiara. “Ok, katakanlah apa yang kau bilang itu benar Ki,” ujar Wina setelah terdiam beberapa saat, “tapi untuk membuat produk masker ini terlihat istimewa itu bagaimana?”

“Ya itu tugas kamu untuk membuat naskahnya!” Kiara langsung tertawa.

“Ki, bantu aku dong!”

“Ada Tami, aku pergi dulu ya!” Kiara langsung berdiri dari tempat duduknya saat dilihatnya Tami memasuki ruang kerjanya yang terletak bersebelahan dengan ruang kerja Wina.

“Ki, please?”

“Aku ke tampat kosmu nanti malam, okey.”

“Ok. Thanks Ki, aku tunggu ya. I love You.”

Kiara melambaikan tangan pada Wina dan berjalan ke ruang kerjanya yang terletak di lantai dua.

~ ~ ~


POV Author

Wina mencoba menahan debaran di dadanya dan berusaha untuk bersikap tenang saat orang orang menatapnya.

Satu orang CEO GC Cosmetics yaitu Pak Devano dan tiga orang direktur perusahaan GC Cosmetics sedang menunggu dirinya melakukan presentasi.

Ini adalah presentasi yang ketiga dari Bright Advertising untuk GC Cosmetics.

Ibu Dewi mempercayakan Wina untuk melakukan presentasi, setelah sebelumnya ia dan Tami gagal dengan presentasi mereka. Tapi Ibu Dewi, Tami, Mas Rio dan Luki, asisten Mas Rio tetap datang bersama sama Wina untuk presentasi yang ketiga ini.

“Bisa kita mulai Presentasinya?” tanya Dev tak sabar.

“Ya, tentu.” Ujar Wina langsung, “saya sudah siapkan story tellingnya, tapi sebelum saya presentasi dengan menggunakan layar proyektor, saya akan membacakan naskahnya dulu. Ini penting saya lakukan, karena saya perlu mengetahui reaksi dari bapak dan ibu semua setelah saya membacakan naskah ini.”

Wina lalu mengambil selembar kertas, dan berdiri dengan tegang, “aku dulu tidak seperti ini. Aku dulu pemalu. Wajahku juga kusam. Aku bahkan bernah dibully teman temanku, dikatain jelek, jerawatan. Tapi kemudian aku bertemu dengannya - Ini yang dimaksud dengannya itu masker GC Cosmetics -” ujar Wina menjelaskan.

“Oke saya lanjutkan. Tapi kemudian aku bertemu dengannya. Aku tumbuh bersamanya. Dia selalu menemani hari hariku. Di kala sedih ia menenangkanku. Sejak saat itu, aku jadi percaya diri. Lihat aku sekarang. Aku tidak pemalu lagi, wajahku tidak kusam lagi. Wajahku jadi cerah dan berseri. Aku lebih optimis dalam menghadapi hidup karena dia. Jadikan dia sebagai bagian dari hari harimu juga, karena dia, hidupmu jadi lebih bermakna dan ceria.

Wina diam sejenak, lalu melanjutkan kata katanya lagi. “Jadi, keyword nya disini adalah percaya diri. Produk masker ini membuat gadis gadis remaja yang minder jadi percaya diri.” Wina terdiam sejenak untuk menarik nafas, “sekarang aku akan perlihatkan story tellingnya.”

“Tidak usah,” ujar Dev tiba tiba, “aku bisa menangkap pesan dari kata kata yang kau sampaikan tadi.”

~ ~ ~


POV Author

“Kiaraaa!” Wina langsung berteriak saat Kiara menjawab panggilan telepon darinya. Ia sedang berada di salah satu toilet di GC Cosmetics. Ia pergi ke toilet itu untuk menelepon Kiara setelah acara presentasi selesai.

“Apaaaaa.” Kiara balik berteriak.

“Nanti malam kau kutraktir makan di Plaza Semanggi, okey?”

“Asiik.” Sahut Kiara, “sepertinya ada kabar gembira nih.”

“Iya,” Wina tertawa, “Pak Devano setuju dengan presentasi kali ini. Iklan siap diproduksi Ki, thanks to you.”

You’re welcome.” Kiara ikut tertawa, “jadi kapan mulai produksinya?”

“Mungkin dua minggu dari sekarang. Seminggu ini kita adakan casting untuk model iklannya.”

“Syukurlah kalau begitu Win.”

“Makasih sekali lagi ya Ki.”

“Sama sama.”

“Sampai bertemu di kantor Kiara.”

“Ya. See You.”

~ ~ ~


POV Kiara

Aku tersenyum senang saat diberitahu Wina bahwa Dev akan datang pada saat produksi iklan masker mulai diproduksi.

Untuk produksi iklan masker GC Cosmetics ini, model iklannya sudah ditentukan, lokasi untuk pembuatan iklan juga sudah ditentukan, paling tidak ada empat lokasi yang dipilih sesuai dengan narasi cerita dari iklan tersebut yaitu di sebuah rumah, di sebuah sekolahan, di supermarket dan di taman.

Syuting pertama dari iklan ini tidak tahu akan dilakukan dimana,  tapi yang jelas menurut Wina, Dev akan datang untuk melihat proses syuting tersebut yang akan dilakukan lusa, itu artinya aku bisa bertemu dengan Dev.

Sedang asik asiknya aku membayangkan bisa bertemu Dev lagi, Tono, salah satu OB Bright Advertising datang menemuiku.

“Mbak Kiara, kata Mas Radit, besok ditunggu di Gambir jam sembilan pagi. Tiket kereta sudah dipesan, Mbak Kiara tinggal datang saja ke sana tepat waktu.”

“Memang mau kemana naik kereta?” tanyaku heran.

“Kata Mas Radit besok sampai tiga hari kedepan ada syuting iklan di kebun teh di sekitar Bandung gitu.

“Mobil perusahaan tidak bisa dipakai?” tanyaku lagi.

“Kan ada syuting iklan lainnya Mbak di Jakarta sini. Mobilnya dipakai untuk keperluan syuting disini.”

“Mas Raditnya sekarang mana?” tanyaku.

“Sedang ada keperluan, dia tadi pergi setengah jam yang lalu.”

“Ya sudah terima kasih, nanti aku telepon Mas Radit saja.”

“Oke.” Tono lalu pergi meninggalkanku.

Aku langsung merasa kecewa setelah mendapatkan pesan dari Tono barusan karena sepertinya aku tidak terlibat dalam produksi iklan masker GC Cosmetics. Itu artinya, aku tidak bisa bertemu Dev seperti yang aku harapkan.

~ ~ ~

 POV Author

Dev mengacak acak makanan di hadapannya tanpa berselera memakannya. Ia sedang merasa kesal. Ia merasa Kiara sudah berbohong padanya. Ia tak menemukan Kiara dimanapun di Bright Advertising, tiga kali presentasi, Kiara tidak pernah ikut hadir.

Dev lalu berpikiran mungkin ia bisa bertemu Kiara saat produksi iklan dilakukan, tapi ternyata saat ia menyempatkan diri untuk datang melihat produksi iklan itu, ia tak bertemu juga dengan Kiara.

Dev jadi curiga kalau Kiara sebenarnya tidak bekerja di Bright Advertising lagi. Mungkin ia keluar dari perusahaan itu saat Selly memutuskan menjual Bright Advertising. Dan sepertinya sekarang Kiara bekerja di cafe saja.

Dev hanya menyayangkan kalau orang kreatif seperti Kiara harus bekerja di cafe. Itu hanya membuang buang waktu saja karena tidak dapat mengeksplorasi kreatifitas yang Kiara punya. Itu bukan tempat yang cocok untuk Kiara.
“Sayang, makananmu tidak habis, sepertinya kau sedang banyak pikiran.” Mona tiba tiba menyentuh tangan Dev membuat Dev kaget.

Malam ini Dev dan Mona sedang makan malam di suatu restoran di daerah kuningan.

“Apakah sedang ada masalah dengan perusahaan?” tanya Mona.

“Tidak, tidak ada apa apa,” Dev tersenyum, “perusahaan baik baik saja, aku mungkin sedikit lelah.”

“Ok, kalau begitu selesai makan kita pulang saja.” Ujar Mona.

Sure, no problem.

“O ya babe, aku ada tawaran syuting di Lombok minggu depan, jadi aku memberitahumu sekarang takut aku lupa.”

“Syuting iklan?”

“Bukan, syuting film.”

“Film?” tanya Dev. “Kukira kau hanya akan fokus di model saja.”

“Ya, tapi keadaan disini tidak sama dengan keadaan di luar sana, seperti di Paris misalnya.”

“Maksudnya tidak sama itu bagaimana?”

“Di Paris itu babe, kalau seorang model profesional akan dikontrak oleh suatu agensi model dengan nilai kontrak yang besar. Otomatis untuk pekerjaan, agensi model itu yang akan mencarikannya untuk kita. Kita tinggal bekerja saja.”

“Di Jakarta juga banyak agensi model kalau kau mau bergabung dengan salah satu agensinya.” Ujar Dev.

“Itulah permasalahannya babe, nilai kontraknya tidak sebesar di luar negeri, kapan kapan aku ingin deh ke Paris, ikut sekolah modelling di sana.”

“Lalu hubungannya dengan kau syuting film apa?”

“Nah itu dia yang ingin aku katakan, kalau di luar negeri, seorang model, kerjaannya kebanyakaan hanya di jalur model, nggak belok ke sana ke sini, kalau di sini, banyak yang kerja serabutan. Kadang kita tidak bisa memilih pekerjaan yang kita mau tapi melihat ada tawaran pekerjaannya apa ya itu yang kita lakukan.”

“Aku rasa tidak juga,” ujar Dev lagi, “semuanya tergantung kitanya. Kalau kau tetap konsisten menerima pekerjaan sebagai model, ya sudah sebagai model saja, tidak menerima tawaran pekerjaan diluar model.”

“Tapi jarang babe, disini, kalau aku hanya menerima tawaran seorang model, pekerjaanku hanya sedikit, paling cuma beberapa kali dalam sebulan, karena tidak setiap perancang terkenal memperagakan busana rancangannya setiap saat, ada musim musim tertentu tergantung kreatifitasnya.”

“Jadi karena itu pula kau merambah dunia film?” tanya Dev.

“Ya.” Sahut Mona, “kadang film juga bisa jadi jalan pintas bagi kita untuk cepat dikenal masyarakat luas.”

“Itu kalau filmnya bagus, meledak, box office, kalau filmnya jelek, tidak laku di pasaran, ya tidak akan banyak orang yang kenal dengan pemainnya juga. Kau berhati hati kan dalam memilih peran?” tanya Dev.

“Tentu saja, doakan aku ya agar produksi film ini lancar.”

“Tentu,” Dev tersenyum. “Aku pasti selalu berdoa untuk keberhasilanmu.”

~ ~ ~

POV Author

Minggu malam ini cafe Mas Bima ramai seperti biasanya. Sejak siang tadi Kiara tak henti hentinya bekerja.

Kiara baru selesai cuci piring di dapur dan berjalan ke counter kopi waktu dilihatnya Fani dan Siti, dua karyawan Mas Bima sedang meributkan sesuatu.

“Aku saja,” ujar Fani.

“Aku saja, aku yang pertama melihatnya.” ujar Siti.

“Ini ada apa sih?” Kiara berusaha melerai mereka. Usia Siti dan Fani lebih muda dari Kiara.

“Ada pelanggan tampan pesan minuman, sudah aku bikinkan dan siap aku antarkan, eh Siti bilang biar dia saja yang mengantarkan hanya gara gara dia melihatnya lebih dulu, padahal kan aku yang bikin pesanannya.” Jelas Fani.

“Bagus itu kalau Siti mau menolong,” komentar Kiara, “sudah kasih Siti saja, biar siti yang anterin.”

“Tapi,” Fani cemberut.

“Tapi apa?”

“Dia tampan, aku mau melihatnya lagi dari dekat.”

“Ya sudah, suit saja kalau begitu, ayo suit.” Saran Kiara.

“Gunting, kertas, batu!” akhirnya Fani dan Siti Suit.

Ternyata Fani kertas, Siti gunting, Siti yang menang. Siti berteriak senang. Ia segera mengantarkan minuman pada pelanggan yang mereka ributkan.

Kiara langsung mengikuti Siti dari belakang. Dan Kiara terkejut saat Siti menaruh cangkir kopi itu di meja pemesannya. Ternyata Dev yang memesan kopi itu.

“Ini pesanan Bapak,” ujar Siti ramah, “terima kasih sudah berkunjung ke cafe kami.”

“Ya.” Ujar Dev sambil memperhatikan Kiara yang berdiri di belakang Siti.

“Apa kabar?” sapa Kiara ramah pada Dev. “Senang bertemu denganmu lagi malam ini.”

Belum sempat Dev menjawab, Siti langsung menarik tangan Kiara.

“Siti, apaan sih!” Protes Kiara. “Lepaskan tanganku!”

“Kak Kiara kenal dengan pria itu?” tanya Siti setelah mereka jauh dari Dev.

“Kakak pernah bertemu dia sekali sih di sini. Dia pernah minum kopi di cafe ini juga.”

“O, ya? Aku kok tidak pernah melihatnya!”

“Mungkin kamu saat itu sedang off.”

“Ya, mungkin. Dia ganteng ya Kak?”

“Ssh, jangan berharap macam macam, dia sudah punya pacar.”

“Tahu darimana kakak, dia sudah punya pacar?”

“Ya tidak mungkinlah orang seperti dia tidak punya pacar.”

“Iya juga ya,” gumam Siti, “tapi…”

“Sudah ah, aku mau kerja lagi.” Kiara akhirnya pergi meninggalkan Siti dan pergi ke dapur. Ia lalu membuka kulkas, mengeluarkan sebuah blueberry Cake yang besar, lalu mengirisnya dan meletakkan satu irisan besar bluberry cake ke dalam sebuah piring, lalu diambilnya sebuah garpu, dan ia berjalan lagi ke tempat dimana Dev tadi duduk.

Kiara tidak mau membiarkan Dev begitu saja, jarang jarang bagi Kiara bisa bertemu Dev seperti malam ini. Bahkan di kantor pun ia tak bisa bertemu dengan Dev. Tapi malam ini Dev ada disini. Dan dia sendirian, tanpa pacarnya. Ini malam penuh keajaiban.

Blueberry cake yang yummy traktiran dari aku.” Kiara duduk di hadapan Dev sambil tersenyum. Diletakkannya piring yang berisi blueberry cake itu di hadapan Dev.

“Dalam rangka apa mentraktir aku segala?” tanya Dev.

“Dalam rangka ucapan terima kasih untuk makan malam di apartemenmu beberapa waktu yang lalu.”

“Itu kan mama yang belanja bahan masakannya, bukan aku. Kau harusnya mengucapkan terima kasih pada Mama dan mentraktir Mama cake ini.”

“Ya, aku nanti akan mentraktir tante Audrey cake ini, tapi aku ingin mentraktirmu juga karena kau yang memasak malam itu. Masakanmu sangat enak. Kalah semua koki handal di seluruh dunia ini.”

“O, ya?”

“Ya.”

Dev diam, dia hanya memandang blueberry cake itu tanpa menyentuhnya.

“Ayolah, cakenya enak kok. Fresh. Baru bikin hari ini dan langsung diantarkan ke sini. Ini berasal dari home industry yang berada di daerah sini. Cake yang disuplai ke cafe ini selalu baru. Disuplai setiap hari karena setiap hari selalu habis.”

Dev akhirnya mengambil garpu di piring itu dan mulai memakan cake dari Kiara.

Kiara memperhatikan Dev makan tanpa ngomong apa apa lagi. Memperhatikan Dev makan blueberry cake adalah salah satu pemandangan indah yang Kiara sukai. Kalah pemandangan alam eksotis lainnya, termasuk laut dan pantai keren di Bali.

“Kamu tidak ikut makan?” tanya Dev mengagetkan.

“Tidak, aku sudah kenyang, aku baru makan malam.”

Dev melanjutkan makan cake itu sampai habis.

Yummy kan?” ujar Kiara senang, “mau tambah lagi?”

“Tidak, terima kasih.” Ujar Dev, “thanks untuk traktirannya.”

“Sama sama.”

Mereka lalu terdiam lagi. Sebenarnya Kiara ingin mengucapkan terima kasih juga pada Dev sudah mempercayakan Bright Advertising untuk memproduksi iklan masker GC Cosmetics. Tapi Kiara tidak mau merusak moment ini dengan bicara soal pekerjaan. Jadi dia diam saja.

“Jadi, kau bekerja di cafe ini setiap akhir pekan?” tanya Dev.

Dev malah bicara soal pekerjaan, keluh Kiara dalam hati.

“Ya, setiap hari Sabtu dan hari Minggu, mulai jam sebelas siang sampai jam sepuluh malam.”

“Wow, jam kerjanya sebelas jam, lama juga ya, tidak ada shift?”

“Tidak, khusus untuk aku tidak, kalau teman temanku yang lain sih ada, jam kerjanya bergantian. Sehari ada dua shift. Masing masing bekerja selama enam sampai tujuh jam.”

“Kenapa kau berbeda dengan teman temanmu?” tanya Dev lagi.

“Ya, itu karena kemauanku. Hal itu bukan masalah untukku.”

“Kau tidak bekerja setiap hari di cafe ini?”

“Setiap hari?” Kiara bingung. Dia tak mengerti arah pembicaraan Dev kemana.

“Ya, setiap hari, kau yakin kau hanya bekerja setiap akhir pekan saja disini dan tidak setiap hari?”

“Kalau setiap hari,” ujar Kiara lambat lambat, “aku kecapekan dong, tidak punya waktu istirahat. Karena aku kan bekerja di dua tempat.”

Mereka kembali terdiam.

“Memang sih uang penting dalam hidup ini, tapi kita kan nggak harus bekerja terlalu keras untuk mencari uang. Kesehatan lebih penting dari apapun.” Ujar Kiara lagi.

“Aku pikir,” ujar Dev, “kau keluar bekerja di Bright Advertising saat Selly juga berhenti kerja disana.”

“Tadinya memang aku ada rencana untuk keluar, tapi selama aku bisa menjalani pekerjaanku ya aku jalani.”

Dev tidak tahu harus bicara apa lagi. Tidak seperti dugaannya, Kiara ternyata ngotot memberitahunya bahwa ia masih bekerja di Bright Advertising padahal dugaan Dev Kiara sudah tidak bekerja disana lagi.

Sebenarnya kalau Kiara tidak bekerja di Bright Advertising juga tidak apa apa, hanya Dev menyayangkan saja talenta Kiara jadi sia sia.

“Apa kalau kita minum kopi di cafe ini selalu diawasi?” tanya Dev setelah mereka terdiam cukup lama.
“Diawasi?” Kiara langsung menengok ke arah belakang dan dilihatnya Mas Andra berdiri memperhatikan dan mengawasi mereka dari kejauhan.

“Dia pacarmu?” tanya Dev, “dia memperhatikan kita dari tadi.”

“Bukan,” ujar Kiara, “Mas Andra bukan pacarku, tapi sama seperti kakak sepupuku, Mas Bima, aku sudah menganggap dia sebagai kakakku juga.”

“Kau yakin?” tanya Dev, “karena kelihatannya dia cemburu padaku.”

Kiara tiba tiba tertawa, “Mas Andra itu sudah punya pacar, namanya Yola, ia dulu karyawan di cafe ini juga, tapi sejak pacaran dengan Mas Andra, Yola dimodali Mas Andra untuk buka usaha sendiri yaitu sebuah distro yang menjual baju wanita masa kini, pokoknya semacam itulah. Letak distronya di Kemang.”

“O, ya?” tanya Dev.

“Ya, dan Mas Andra itu sayang banget sama pacarnya, pacarnya dibelikan apartemen dan mobil segala.”

“Wow, dermawan sekali.” Komentar Dev.

“Tapi lucunya, Mas Andra kemana mana naik vespa kesayangannya. Ia membelikan mobil untuk orang orang yang ia sayangi; untuk adiknya, Dilan, untuk pacarnya Yola, tapi dia sendiri tidak beli mobil untuk dirinya sendiri. Pribadinya sebenarnya unik, aku suka.”

“Ngomong ngomong, pribadi unik yang kau sukai itu sedang datang ke sini.” Ujar Dev lagi.

Kiara langsung berdiri dari tempat duduknya dan tersenyum menatap Mas Andra yang datang menghampiri Dev dan dirinya, “ada perlu denganku Mas Andra?” tanya Kiara.

“Bukan aku, tapi Mas Bima yang ada perlu denganmu.” Jawab Mas Andra.

“Oke, aku pergi sekarang. Sampai bertemu Dev.” Ujar Kiara pada Dev lalu pergi meninggalkan Dev dan Mas Andra.

Setelah Kiara pergi, Mas Andra duduk di hadapan Dev.

“Seingatku, aku pernah memperingatkan dirimu pada pertemuan pertama kita dulu saat kau berkunjung ke cafe ini untuk pertama kalinya agar kau menjauhi Kiara.” Ujar Mas Andra langsung.

Dev diam.

“Kiara adalah milikku. Masa depanku. Wanita yang paling berharga dalam hidupku. Kau ingat kan kata kataku saat itu? Aku tidak bercanda dengan hal itu. Aku akan menikahinya. Suatu hari nanti aku akan menikahi Kiara. Jadi kalau kau berpikir kau punya kesempatan untuk bisa bersamanya hanya gara gara mamamu ingin menjodohkan kalian, kau salah besar.”

“Tidak pernahkah kau berpikir bahwa aku juga menolak perjodohan ini?” tanya Dev.

“Itu bagus. Itu membuat situasi jadi tidak sulit untukku. Jadi untuk apa kau ada di cafe ini malam ini? Masih banyak cafe di luar sana untuk jadi tempat hang outmu. Pergilah. Lupakan Kiara. Jangan berada di sekitarnya lagi.” Mas Andra lalu bangkit dari duduknya.

“Kiara bilang kau punya pacar.” Ujar Dev sebelum Mas Andra pergi.

“Aku sudah putus dengan pacarku. Mungkin Kiara tidak tahu tentang hal ini. Tapi tidak masalah apa yang dipikirkan Kiara tentang aku, yang penting perasaanku tulus padanya. Dan satu lagi, aku serius akan memperjuangkan cintanya.”

~ ~ ~

POV Author

“Win, tahu nggak sih, ibu Dewi mau mengundang Pak Devano makan malam.” Della duduk di hadapan Wina sambil membawakan kopi pesanan Wina.

Wina memesan kopi secara online karena ia sedang malas kemana mana jam istirahat siang ini.

“Masa sih?” tanya Wina, “kau tahu darimana Del?”

“Kan aku yang reservasi tempatnya.” Ujar Della.

“Oh, dalam rangka apa ibu Dewi mau mengundang Pak Devano makan malam segala?”

“Mungkin mau mengucapkan terima kasih untuk kerjasama yang sudah mereka lakukan.”

“Ya, kau benar, sepertinya begitu. Kita diajak tidak?”

Geer kamu!” Della tertawa, “tidak, reservasinya hanya untuk empat orang saja.”

“Pasti empat orang itu adalah ibu Dewi dan suaminya, lalu Pak Devano dan pasangannya.”

“Memang Pak Devano sudah menikah?” tanya Della.

“Setahuku belum, dulu Selly pernah memberitahuku tentang hal ini.”

“Lalu kenapa kau bilang Pak Devano akan datang bersama pasangannya?”

“Ya siapa tahu Pak Devano akan datang bersama pacarnya.” Ujar Wina lagi.

“Iya sih ya. Pak Devano ganteng sekali. Masa belum punya pacar kan itu nggak mungkin.” Della langsung tertawa, “tapi kau tahu tidak, Tami yang ternyata diajak ke acara makan malam tersebut oleh ibu Dewi. Sepertinya ibu Dewi suka pada Pak Devano dan berharap kalau Tami bisa jadi pacar Pak Devano.”

“Kau tahu darimana lagi sih Del soal ini? Gosip melulu deh ah.” seru Wina.

“Ibu Dewi dan Tami sedang membicarakan itu waktu aku masuk ke ruangan ibu Dewi untuk mengantar kopi pesanannya, aku tidak sengaja menguping.”

“Ya kalaupun itu benar, terus kenapa?” tanya Wina.

“Ya tidak apa apa sih, tapi kadang hidup ini tidak adil. Aku tidak rela kalau Pak Devano jadi pacar Tami.”

“Maunya jadi pacar kamu gitu?” ujar Wina sambil tertawa.

“Iya.”

“Sudah ah, aku ada kerjaan nih, tidak selesai selesai kerjaanku nanti kalau kita ngobrol melulu, mana setengah jam lagi ada rapat dengan ibu Dewi lagi.”

“Ok, aku pergi sekarang.”

“Makasih kopinya, Del.”

“Iya!”

Wina baru mau mengetik lagi di PC-nya waktu Kiara tiba tiba masuk ke ruangannya dengan wajah pucat.

“Win, tolong aku win.” ujar Kiara sambil duduk di hadapan Wina.

“Kamu kenapa?”

“Aku demam, badanku panas, tolong pesankan taksi online ya. Ini HPku. Aku mau pulang.”

Wina langsung menerima HP dari Kiara. “Aku telepon Mas Bima saja ya, biar dia menjemputmu, aku takut kau kenapa kenapa di jalan. Aku tidak bisa mengantarmu pulang karena setengah jam lagi ada rapat.”

“Ya sudah terserah kamu saja.” Ujar Kiara.

Password HPmu apa?”

Kiara menyebutkan password HPnya dengan suara lemah, lalu Wina mencari kontak telepon dengan nama Mas Bima tapi ia tak menemukan nama Mas Bima. Ia lalu menemukan sebuah kontak telepon dengan nama ‘my darling’.

Oh My God, ujar Wina dalam hati. Kiara punya pacar tapi dia tidak cerita apa apa padaku?

Winapun lalu memutuskan untuk menelepon kontak dengan nama my darling itu.

~ ~ ~

POV Author

Sial sial sial. Dev tidak bisa berkonsentrasi dalam bekerja. Semua kata kata Mas Andra minggu lalu terngiang ngiang lagi di telinganya siang ini.

Sebenarnya Dev tidak mau masuk dalam kehidupan Mas Andra dan Kiara seperti ini, tapi mamanya yang ‘memaksa’ Dev masuk ke sana.

Mamanya memaksa ia berkenalan dengan Kiara. Walau ternyata setelah ia dan Kiara bertemu mereka sudah saling kenal sebelumnya.

Dev lalu meminta bertemu dengan Kiara untuk memberi tahu Kiara kalau ia sudah punya pacar. Itu Dev lakukan agar ada batas yang jelas antara dirinya dan Kiara, agar Kiara tidak berharap apapun tentang hubungan mereka.

Tapi kemudian Dev baru tahu bahwa Kiara adalah korban seperti dirinya, ia juga dibujuk oleh mamanya dan tante Jennie agar mau dijodohkan dengannya.

Jadi ternyata, dijodohkan dengan dirinya bukan keinginan Kiara sendiri seperti dugaan Dev sebelumnya. Karena hal itu pula Dev merasa tenang dan memutuskan untuk berteman dengan Kiara saja dan tidak memusuhinya.

Karena Dev menganggap Kiara sebagai temannya-lah ia akhirnya memutuskan untuk memproduksi produk iklannya di Bright Advertising, di tempat Kiara bekerja.

Ia berharap bisa bekerjasama dengan Kiara dalam memproduksi iklan itu, tapi ternyata ia tak menemukan Kiara di Bright Advertising. Ia tak tahu Kiara ada dimana.

Dan dari sanalah Dev mulai memikirkan Kiara. Dan mencemaskan dirinya. Kecemasan terbesarnya adalah soal pekerjaan Kiara. Ia merasa Kiara menyia nyiakan waktu kalau hanya bekerja di cafe dan bukan di tempat yang tepat untuk diri Kiara. Lalu Dev sadar, itu bukan rasa cemas biasa, itu adalah rasa perduli yang besar pada Kiara.

Ia perduli pada Kiara. Itu harus digaris bawahi. It’s must be something. Itu pasti sesuatu, karena perasaannya berubah pada Kiara.

Lalu rasa perduli itu menjadi rasa rindu.

Dev tidak bisa menahannya lagi. Kecemasan itu, rasa rindu itu. Untuk itulah ia datang ke cafe Mas Bima malam itu hanya untuk melihat Kiara dan memastikan Kiara baik baik saja.

Dev tidak tahu kapan bisa bertemu Kiara lagi setelah Mas Andra menegurnya dengan keras untuk menjauhi Kiara.

Jadi selamat datang masalah baru, ujar Dev dalam hati. Selamat datang perasaan rindu.

Lamunan Dev terhenti saat HPnya bunyi. Dev langsung terkejut saat dilihat telepon yang masuk dari Kiara, wanita yang sedang dipikirkannya.

“Hallo,” ujar Dev langsung.

“Hallo selamat siang, Ini teman Kiara, Kiara sakit, bisa Anda menjemputnya ke sini sekarang?”

“Ke sini kemana?” tanya Dev kaget.

Bright Advertising, alamatnya di..”

“Ya, ya, aku tahu alamatnya, aku kesana sekarang.”

~ ~ ~

POV Author

Ibu Dewi sedang membicarakan sesuatu dengan Della di front office Bright Advertising saat dilihatnya Dev memasuki ruang kantor.

“Pak Devano apa kabar?” tanya ibu Dewi kaget.

“Kabar baik,” ujar Dev, “ibu Dewi, aku parkir mobil di depan pintu utama boleh? Cuma sebentar kok, tidak lama.”

“Tentu, tidak masalah.” Jawab ibu Dewi.

“Boleh aku tahu Kiara ada dimana sekarang?”

“Kiara?” tanya ibu Dewi kaget.

Wina tiba tiba berlari ke front office “apa yang menjemput Kiara sudah datang?” tanya Wina sambil bingung memperhatikan Dev kenapa Dev ada di Bright Advertising siang ini.

“Kiara tidak apa apa kan?” tanya Dev khawatir.

“Dia pingsan.” Jawab Wina sambil terus merasa bingung, kenapa Dev bertanya hal itu padanya.

“Dimana Kiara sekarang?” tanya Dev lagi.

“Diruang kerjaku, di sebelah sana,” Wina menunjuk arah ruang kerjanya, “tapi kenapa Anda…”

Dev tidak mendengarkan kata kata Wina lagi, ia lalu berlari dan masuk ke ruangan yang ditunjuk Wina.

Ia melihat Kiara tidur di sebuah sofa. Dipegangnya kening Kiara, terasa panas, tapi Kiara menggigil kedinginan.

Dev Lalu membuka coatnya. Diselimutinya tubuh Kiara dengan coatnya itu.

“Aku akan menggendong Kiara ke mobil, mobilnya tidak aku kunci, nanti tolong bukakan pintu mobilnya dan tolong sekalian tas Kiara dibawa juga.” Ujar Dev pada Wina.

“O..Oke.” Wina langsung mengambil tas Kiara lalu mengikuti Dev yang sudah menggendong Kiara dan keluar dari ruang kerjanya.
Di front office, karyawan Bright Advertising sudah berkerumun ingin tahu ada apa. Tapi Dev tak menggubris mereka semua, ia terus membawa Kiara ke mobilnya.

“Terima kasih Wina, untuk semuanya,” ujar Dev ketika Kiara sudah ia tidurkan dibangku belakang mobilnya. “Aku akan membawa Kiara ke rumah orangtuaku, kau tanya sekretarisku kalau ingin tahu alamatnya. Kau bisa menjenguk Kiara disana. Aku pergi sekarang.”

“Ya Pak Devano” jawab Wina, “hati hati mengemudi.”

“Oke. O ya tolong bilang terima kasih pada ibu Dewi, tadi aku lupa mengatakannya. Aku parkir sembarangan.”

“Tentu, nanti akan saya sampaikan.”

 Dev lalu mengemudikan mobilnya meninggalkan Bright Advertising sambil mengecilkan AC mobilnya.

Ia lalu menelepon dokter pribadi keluarganya dan memintanya untuk segera datang ke rumah orangtuanya secepatnya.

~ ~ ~

POV Author

“Ada apa sebenarnya ini Wina?” ibu Dewi langsung menyerbu Wina dengan pertanyaan saat Wina memasuki kantor lagi. “Kenapa tiba tiba Pak Devano datang menjemput Kiara? Hubungan mereka apa?”

“Begini bu,” ujar Wina serba salah, “Kiara hari ini sakit, ia demam, badannya panas, tapi ia kedinginan. Kiara minta dipesankan taksi online untuk pulang. Aku mengusulkan agar seseorang menjemputnya saja dan…”

My Darling. Kata kata Wina terhenti. Kiara menyimpan nomor telepon Pak Devano dengan nama my darling! Oh My God.

Dan apa?” tanya ibu Dewi tak sabar.

“Dan aku menelepon pacarnya, dan dia datang.”

“Maksudmu Pak Devano pacar Kiara?” teriak ibu Dewi.

“Itu tidak mungkin!” jerit Tami.

No way!” Della malah hampir menangis.

“Sepertinya begitu, maaf, saya akan kembali bekerja.” Wina mulai berbalik ke arah ruang kerjanya, “o, ya Bu Dewi, Pak Devano tadi bilang terima kasih pada ibu karena sudah mengijinkan ia parkir mobilnya di depan pintu masuk.”

“Ok.” Jawab ibu Dewi masih dalam keadaan bingung.

Wina lalu berjalan ke arah ruang kerjanya dan duduk di kursinya dengan rasa tak percaya. Ia bisa memastikan Dev benar benar pacar Kiara karena Dev sangat panik saat mendapati Kiara pingsan.

Kalau bukan pacarnya, tidak mungkin kan Pak Devano sepanik itu? Tanya Wina dalam hati.

~ ~ ~
 

POV Author

Pulang kerja Wina mampir ke tempat kiara tinggal untuk mengambil beberapa baju Kiara untuk ganti. Ia pergi ke sana  dengan naik motornya.

Ia bilang pada Mas Bima agar jangan khawatir tentang Kiara karena Kiara akan dirawat dengan baik di rumah orangtua Dev dan mungkin akan menginap beberapa hari disana sampai ia sembuh.

Wina juga memberikan alamat rumah orangtua Dev pada Mas Bima karena siapa tahu Mas Bima ingin menjenguk Kiara. Wina mendapatkan alamat itu setelah menelepon sekretaris Dev.

Setelah dari cafe Mas Bima, Wina lalu pergi ke rumah tante Audrey.

Saat tiba disana, Kiara ternyata sedang tidur. Kiara tidur di salah satu kamar tamu. Wina lalu menyusun baju baju Kiara yang ia bawa ke dalam lemari yang ada di kamar tamu itu.

Sambil melihat Wina menyusun baju kiara ke lemari, tante Audrey mengatakan pada Wina agar Wina jangan khawatir dengan kondisi Kiara karena Kiara akan dirawat dengan baik dirumahnya.

Kiara bahkan sudah diperiksa oleh dokter keluarga tante Audrey. Ia juga sudah makan dan minum obat. Sekarang ia harus beristirahat agar obatnya bisa mulai bekerja dan agar kondisi Kiara stabil lagi.
 
Karena Kiara sudah beristirahat, Wina memutuskan untuk langsung pulang saja, tapi tante Audrey menahannya dan mengajak Wina makan malam bersama dengan dirinya dan Devano.

Suami tante Audrey baru malam nanti pulang ke rumah karena sedang ada meeting di kantornya sementara Dinda sedang tidak pulang ke rumah sehingga mereka tidak bisa makan malam bersama.

Wina akhirnya menerima tawaran tante Audrey dan makan malam bersama tante Audrey dan Dev.

“Menurutmu kenapa Kiara sampai sakit seperti itu Win, apa dia kelelahan?” tanya tante Audrey.

“Mungkin iya, tiga hari kemarin Kiara harus menginap di Gunung Luhur untuk syuting iklan, padahal sekarang sedang musim hujan, mungkin ia masuk angin dan terkena flu di sana karena menurut cerita Kiara, udara disana sangat dingin terutama pada malam hari.”

“Kok bisa Kiara ikut syuting iklan segala?” tanya tante Audrey, “di gunung Luhur lagi, itu kan yang lagi viral itu kan? ‘Negeri Di atas Awan?”

“Iya tante, Kiara harus syuting disana karena permintaan klien lokasi iklannya ingin disana. Kiara harus syuting iklan karena itu memang pekerjaannya.” jawab Wina.

“Pekerjaannya bagaimana?” tanya Dev.

“Kiara sekarang bekerja di bagian produksi Pak Devano. Ia jarang berada di kantor, ia selalu pergi keluar kota, ke tempat dimana iklan itu harus syuting.”

“Jadi dia tidak bekerja sebagai penulis naskah lagi?”Dev heran.

“Tidak Pak, posisinya digantikan oleh Tami, adik ipar ibu Dewi.”

Ternyata Kiara tidak berbohong, ujar Dev dalam hati, Kiara benar benar bekerja di Bright Advertising. Dia tidak bertemu Kiara di Bright Advertising karena Kiara sering keluar kota.

“Tapi waktu masker GC cosmetics diproduksi, aku tidak melihat Kiara.” Ujar Dev.

“Itu karena Kiara bekerja untuk produksi iklan yang lain. Kadang di perusahaan kami ada beberapa iklan diproduksi sekaligus dalam waktu bersamaan. Dan masing masing produksi iklan itu ada timnya.”

“Sayang sekali,” gumam Dev, “padahal ide dari Kiara oke loh, dulu waktu iklan parfum idenya dari Kiara kan?”

“Ya,” Wina tersenyum dan mengangguk. “Sebenarnya Pak Devano, kalau aku boleh jujur, ide iklan masker GC Cosmetics yang sudah diproduksi ini juga dari Kiara. Aku sedang tidak punya ide cemerlang untuk iklan itu saat Kiara datang membantuku.”

“O, ya?” tanya Dev kaget, “ide iklan masker GC Cosmetics itu bagus, cukup menyentuh.” Ujar Dev lagi, “kok bisa sih ibu Dewi menyia nyiakan orang seperti Kiara.” Gumam Dev.

“Entahlah Pak,” ujar Wina, “mungkin ibu Dewi punya pertimbangan tersendiri.”

“Mungkin begitu.” Komentar tante Audrey yang dari tadi diam.

‘Ngomong ngomong aku sudah kenyang,” ujar Wina, “terima kasih untuk makan malamnya, tapi aku harus pulang sekarang, besok aku akan mengjenguk Kiara lagi.”

“Tentu.” Ujar tante Audrey, “terima kasih ya Wina sudah membawakan baju Kiara ke sini.”

“Sama sama tante. Kiara sahabatku, aku juga ingin berterima kasih pada tante dan Pak Devano karena Kiara sudah dirawat dengan baik disini.”

“Itu tidak masalah, tante sayang pada Kiara jadi tante melakukannya dengan senang. Hati hati mengendarai motornya ya.”

“Iya tante, sampai bertemu lagi.”

“Sampai bertemu lagi.”

Setelah mengantar Wina ke pintu gerbang rumahnya, tante Audrey duduk lagi dikursi makannya.

“Aku ada ide Ma,” ujar Dev saat mamanya sudah duduk.

“Ide apa?” tanya mamanya.

“Aku punya banyak kenalan owner perusahaan periklanan. Produk kita kan banyak dan iklannya tidak dibuat di Bright Advertising saja.”

“Lalu?” tanya mamanya.

“Aku akan menitipkan Kiara pada salah satu owner itu. Kiara harus bekerja di bidang yang ia kuasai. Sayang kalau bakatnya sia sia begitu saja.”

“Mama setuju denganmu,” ujar Tante Audrey, “tapi ide mama lebih oke darimu.”

“O, ya, apa itu?”

“Habiskan dulu makananmu, baru kita bicara.”

~ ~ ~

POV Author

Dev masuk ke kamar tamu dimana Kiara tidur. Ini adalah untuk kesekian kalinya Dev masuk ke kamar Kiara. Dev bolak balik ke kamar itu untuk mengecek kondisi Kiara.

Sebenarnya Dev tidak perlu khawatir karena dokter sudah memeriksa Kiara, dan memberikan obat untuk Kiara. Yang perlu Kiara lakukan adalah beristirahat saja sampai suhu badannya normal lagi. Tapi tetap saja Dev merasa khawatir.

Kiara masih tertidur pulas, badannya berkeringat, tapi panas tubuhnya sudah turun, dan sepertinya Kiara sudah tidak menggigil lagi.

Bi Surti sedang mengelap keringat di kening Kiara dengan washlap kering saat Devano tiba tiba mengambil lap itu dari tangan Bi Surti.

“Biar aku saja Bi,” ujar Devano sambil mulai mengelap keringat di kening dan leher Kiara.

Bi Surti langsung tersenyum melihatnya. Dan juga merasa sangat terharu karena sepertinya Dev sangat sayang pada pacarnya. Bi Surti menyangka kalau Kiara adalah pacar Dev.

Sudah beberapa kali Bi Surti kenal dengan pacar pacar Dev sebelumnya, tapi belum pernah ada yang menginap dirumah seperti Kiara.

“Mas Devano tidak tidur?” tanya Bi Surti, “sudah malam loh ini, sudah jam sebelas malam lebih, Mas Devano kan besok harus bekerja.”

“Sebentar lagi Bi, tidurnya.”

“Jangan khawatir soal Mbak Kiara, biar bibi yang jaga.”

“Memang bibi tidak tidur juga?” tanya Dev.

“Ya, gantian jaganya dengan Bi Hartini.”

“Baiklah kalau begitu, aku tidur dulu ya Bi.”

“Iya Mas Devano.”

Dev lalu berjalan keluar kamar dan berjalan menuju tangga untuk pergi ke kamarnya di lantai dua.

~ ~ ~

POV Author

Pagi ini setelah mandi dan sarapan, Devano datang ke kamar Kiara.

Kiara ternyata sudah bangun dan sudah mandi serta sarapan seperti dirinya. Ia sedang duduk di atas tempat tidur ketika Dev datang menghampirinya. Dev lalu duduk di sisi tempat tidur di dekat Kiara dan tersenyum menatap Kiara.

Kiara sudah tidak demam lagi, tapi dia masih lemas. Wajahnya masih pucat.

“Selamat pagi.” Sapa Dev pada Kiara.

“Selamat pagi,” jawab Kiara.

“Bagaimana kondisimu hari ini?”

“Baik, sudah mendingan. Terimakasih untuk semuanya Dev.”

Dev tampan sekali pagi ini dan wangi sekali. Kiara ingin sekali memeluknya.

“Sama sama,” ujar Dev, “senang melihatmu sudah sedikit segar dibandingkan kemarin.”

“Ya.”Kiara mengangguk.

“Tapi kau tetap harus istirahat.”

“Ya.”

“Badanmu masih panas?”

“Ya,” Kiara begitu terpukau oleh Dev sampai tak sadar dengan pertanyaan yang diajukan Dev. “Maksudku tidak. Sudah tidak panas lagi.”

Dev tertawa, ia lalu memegang kening Kiara untuk mengecek badan Kiara panas atau tidak. Ternyata tidak panas. Tapi tangan Dev tidak bisa terlepas dari sana.

Kiara menatap Dev dengan perasaan sayang, “Dev,” bisik Kiara.

“Aku harus kerja dulu,” Dev akan menarik tangannya tapi Kiara langsung menggenggam tangan Dev erat.

“Boleh aku memelukmu?” ujar Kiara pelan.

“Ya.” Jawab Dev.

Kiara pun lalu memeluk Dev erat. Aroma mint tercium dari tubuh Dev. Rasanya hangat memeluk Dev seperti itu.

“Wah, pagi pagi sudah ada adegan drama korea,” suara Mas Andra tiba tiba terdengar di kamar itu, membuat Dev cepat cepat melepaskan pelukan Kiara.

Dev lalu berdiri dari duduknya dan berjalan ke pintu, “aku kerja dulu Kiara, sampai nanti.”

“Sampai nanti Dev.” Jawab Kiara.

“Tunggu dulu,” Mas Andra langsung mencegat langkah Dev.

“Sudahlah, aku tidak mau ribut denganmu pagi pagi.” Ujar Dev, “bikin moodku jelek saja.”

“Aku akan membawa Kiara pulang sekarang.” Ujar Mas Andra.

“Kiara masih sakit, badannya masih lemas.”

“Tidak masalah, aku akan merawatnya.”

“Terserah.” Ujar Dev sambil mendorong tubuh Mas Andra yang menghalangi pintu. “Permisi, aku mau lewat.”

“Ada apa ini?” tante Audrey datang menghampiri Dev dan Mas Andra. “Kok pagi pagi sudah ribut?”

“Tanya saja dia ada apa. Aku berangkat kerja dulu Ma.” Dev lalu berjalan ke arah garasi rumahya.

“Iya Dev, hati hati mengemudi!” Ujar tante Audrey.

“Iya!” sahut Dev.

Tante Audrey lalu memperhatikan Mas Andra yang masih berdiri di depan pintu kamar Kiara. “Boleh tante tahu ada apa?”

“Aku akan membawa Kiara pulang tante, biar Kiara dirawat dirumah Bima saja.”

“Kiara masih lemas, kau tidak lihat wajahnya pucat?”

“Tapi…”

“Satu hari saja lagi Andra, please? Biar tante merawat Kiara satu hari lagi. Besok kau bisa datang menjemputnya.”

Mas Andra diam.

“Kiara akan baik baik saja disini. Tante janji. Besok kau boleh membawa Kiara pulang.”

“Baiklah,” ujar Mas Andra akhirnya, “aku akan bicara dengan Kiara sekarang.” Lanjut Mas Andra.

“Tentu, silahkan.” Tante Audrey lalu pergi ke dapur.

Mas Andra masuk ke dalam kamar dan menghampiri Kiara dan duduk di dekat Kiara.

“Apa yang kau lakukan tadi Kiara?” tanya Mas Andra.

“Melakukan apa?” tanya Kiara bingung.

“Memeluk Dev.”

“Ooh,” ujar Kiara, “Dev temanku, sahabatku, boleh dong aku memeluk sahabat sendiri?”

“Kau yakin Dev menganggapmu sebagai sahabatnya?”

“Dev sudah sangat baik padaku, masa ia tak menganggapku sebagai sahabatnya?” Kiara balik bertanya, “okelah, mungkin sahabat terlalu berlebihan, paling tidak menganggap aku sebagai teman?”

“Bukan itu maksudku Kiara. Dev itu seorang pria. Ia akan salah mengartikan perlakuanmu padanya. Kadang kadang pria itu suka mengambil kesempatan yang ada.”

“Tapi Dev sudah punya pacar Mas Andra.”

“O, ya?”

“Ya. Namanya Mona.”

“Kau yakin?”

“Tentu saja yakin, beritanya kan sudah dimana mana. Di kolom gosip atau berita infotainment juga ada. Di televisi ataupun internet juga ada. Mona seorang model, sekarang ini dia sedang merambah ke dunia film.”

“Kau mengikuti berita tentang mereka?” tanya Mas Andra. “Tentang Dev dan pacarnya?”

Kiara diam. Sebenarnya hatinya terasa sakit kalau melihat atau membaca berita tentang Dev dan Mona. Tapi Kiara selalu ingin tahu perkembangan terbaru tentang Dev. Paling tidak itu mengobati rasa rindunya pada Dev.

“Tidak selalu sih mengikuti berita tentang mereka,” jawab Kiara “kadang kadang saja.”

“Baiklah,” ujar Mas Andra, “ngomong ngomong kenapa kau sampai ada di rumah tante Audrey? Kau kan bisa meneleponku saat sakit kemarin?”

“Aku tidak tahu, aku pingsan. Saat aku sadar dari pingsanku tiba tiba aku sudah ada di tempat tidur ini, di kamar ini.”

“Kau tidak ingat kalau Dev yang membawamu ke sini? Karena kata temanmu Wina, yang bercerita pada Mas Bima, Dev yang membawamu ke rumah orangtuanya.”

“Aku benar benar nggak tahu. Aku juga belum bertanya pada Wina kejadian kemarin seperti apa.”

“Atau mungkin Wina yang menelepon Dev?” tanya Mas Andra lagi.

“Mungkin, tapi bisa jadi Dev sedang berada di kantorku saat aku pingsan lalu menolongku.”

“Untuk apa Dev ada dikantormu?”

“Dia salah satu klien perusahaan tempat aku bekerja. Akhir akhir ini ia sering datang ke kantor untuk melihat produksi iklan produknya. Sebenarnya syuting iklannya sudah selesai, tapi mungkin ia ingin tahu finishingnya seperti apa.”

“Oke, baiklah.” Mas Andra akhirnya duduk di sebuah sofa, tidak jauh dari tempat tidur dan membuka laptop yang dibawanya.

~ ~ ~

POV Author

Mobil yang dikemudikan Mas Andra baru meninggalkan rumah tante Audrey saat Motor Wina masuk ke dalam garasi rumah tante Audrey. Tidak lama kemudian mobil Devpun datang.

Dev menelepon Mamanya dulu dan bertanya pada mamanya apakah Mas Andra sudah pulang atau belum. Dan saat Dev diberitahu kalau Mas Andra sudah pulang baru Dev pulang. Dev malas bertemu Mas Andra lagi. Karena ia yakin mereka akan ribut lagi.

Di ruang keluarga, Dev bertemu dengan Wina yang datang untuk menjenguk Kiara. Dev menyapa Wina lalu pergi ke kamarnya di lantai atas untuk mandi. Sementara Wina langsung masuk ke kamar yang Kiara tempati di lantai bawah.

“Hai, sudah baikan sekarang?” tanya Wina sambil mendekati Kiara dan duduk di sofa tidak jauh dari tempat tidur Kiara.

“Sudah, tapi masih agak sedikit lemas dan pusing.”

It’s ok, asal jangan berhenti minum obat kau akan pulih lagi. Dan jangan lupa harus banyak makan juga terutama sayuran dan buah, juga susu.”

“Aku dicekoki makanan terus disini.” Kiara tertawa.

“Mereka semua sayang padamu, tante audrey, dev, orang orang dirumah ini, lalu Dev.”

“Kau mengatakan Dev dua kali.” Ujar Kiara.

“O, ya? Masa?” Wina tersenyum sambil mengedipkan matanya pada Kiara.

“Ya.” Ujar Kiara, “dan kau sengaja melakukannya.”

Wina tertawa.

“Ngomong ngomong bagaimana aku bisa sampai disini Wina? Seingatku aku minta dipesankan taksi online, lalu kau mengusulkan agar menelepon Mas Bima saja, aku bilang terserah padamu, lalu aku ada disini.”

“Kau tidak ingat apa pun?” tanya Wina.

“Kan aku pingsan? Memangnya aku ingat apa?”

Beuu, kemarin saat Dev datang untuk menjemputmu, dia panik sekali melihat kau pingsan.”

“DEV DATANG MENJEMPUTKU?” Teriak Kiara, “KAU MENELEPONNYA?”

“Tidak apa apa kan. Tugas pacar kan untuk take care pacarnya yang sakit.”

“Kau ngomong apa sih, Dev bukan pacarku.”

“Yang benar?” tanya Wina.

“Ya Tuhan, ada apa dengan orang orang hari ini!” Teriak Kiara. “Apakah semua orang tidak pernah melihat atau membaca berita?!” Kiara lalu membuka HPnya, mencari sebuah berita tentang Dev dan Mona dan menunjukkannya pada Wina.

Wina langsung membaca berita itu. “Ehm menurutku, kau tetap lebih serasi dengan Pak Devano daripada Mona.” Komentar Wina.

“Jangan ngaco deh Win.”

“Ngaco bagaimana sih. Kau pernah lihat tidak film Bodyguard yang diperankan Kevin Costner dan whitney Houston?”

“Iya, memang kenapa?”

“Pak Devano kemarin saat menjemputmu seperti itu. Dia sangat sigap seperti bodyguard di film itu, yang siap melindungi bidadarinya kapan saja.”

“Wina, kamu lebay banget sih!”

“Ini beneran! Lalu Pak Devano membuka mantel panjangnya untuk menyelimuti tubuhmu yang kedinginan. Lalu ia membopongmu ke arah mobil. Semua orang kaget. Semua orang terpukau dengan kesigapan Pak Devano.”

“Semua orang? Maksud semua orang ini siapa?” tanya Kiara.

“Ibu Dewi, Tami, Della, semua karyawan di kantor deh pokoknya.”

“Kok bisa sih mereka tahu?”

“Ya bisalah, mereka semua ada disana! Dan mereka semua terkejut. Ibu Dewi bahkan bertanya padaku hubungan dirimu dengan Pak Devano apa, aku bilang saja pacaran.”

“Wina, kamu nyebar gosip yang tidak tidak deh.”

“Aku menemukan kontak dengan nama ‘my darling’ di teleponmu, aku pikir dia pacarmu lalu aku meneleponnya dan yang datang adalah Pak Devano, tapi Pak Devano juga bertingkah seperti seorang pacar yang panik melihat pacarnya yang sakit. Apa kesimpulanku salah?”

“My Darling?” Wajah Kiara jadi panas, ia memang sengaja menulis nama Dev dengan sebutan itu. “Jadi karena nama itu kau jadi salah paham?” tanya Kiara lagi.

“Tapi kau suka pada my darling kan sehingga menjulukinya seperti itu?”

“Itu dulu, Wina” elak Kiara, “waktu pembuatan iklan parfum. Dulu aku menyukai Dev, sekarang tidak lagi. Sejak ia pacaran dengan Mona aku berusaha melupakannya.”

Tapi tidak berhasil, lanjut Kiara dalam hati.

“Masih menyukai Pak Devano juga tidak apa apa kok Ki. Dikantor juga banyak yang suka Pak Devano. Contohnya Tami, Della.” Ujar Wina, “Ibu Dewi bahkan berencana mengundang Pak Devano makan malam. Reservasinya hanya untuk berempat, Bu Dewi, suaminya, Pak Devano dan Tami. Jelas kan arah Bu Dewi kemana? Ia ingin mendekatkan Pak Devano dengan Tami.”

“Dan kapan acara makan malamnya itu?” tanya Kiara.

“Sepertinya minggu depan. Tapi itu baru rencana, sepertinya bu Dewi belum mengundang Pak Devano, dan kalaupun undangan sudah ia lakukan, belum tentu Pak Devano juga bisa datang.”

“Iya sih.” Ujar Kiara, “tapi terserahlah bu Dewi mau ngapain, memang aku pikirin.”

Suara pintu kamar tiba tiba diketuk seseorang saat Kiara dan Wina asik ngobrol, “Mbak Kiara, Mbak Wina, Ibu Audrey menunggu kalian di meja makan untuk makan malam,” suara Bi Surti terdengar dibalik pintu.

“Iya Bi, sebentar lagi kami kesana.” Ujar Kiara sambil bangun dari tidurnya.

“Kau tidak pakai jaket Ki?” tanya Wina, “kau tidak kedinginan?”

“Agak sedikit dingin sih.” Jawab Kiara, “sebentar aku ambil jaket dulu.” Kiara lalu mengambil jaketnya ke lemari, lalu ia memperhatikan mantel panjang yang berwarna cokelat yang juga digantung di lemari itu.

“Apa ini mantel Dev yang kau maksud?” tanya Kiara pada Wina.

Wina memperhatikan mantel itu. “Ya, kenapa mantelnya ada disitu?”

“Sepertinya Bi Hartini yang menggantungnya disini, mungkin ia menyangka ini mantel aku.”

“Sepertinya begitu, karena kau memakai mantel itu saat dibawa kerumah ini.”

“Ya sudah ayo kita ke ruang makan.” Ajak Kiara.

Di ruang makan tante Audrey sedang sibuk memotong semangka ke sebuah piring.

“Hai,” sapa tante Audrey ramah, saat dilihatnya Kiara dan Wina berjalan ke arahnya, “ayo silahkan duduk. Dev masih diatas, nanti dipanggilkan oleh Bi Surti. Suamiku tidak ikut makan bareng kita, seperti biasa pulangnya malam lagi karena ada peluncuran produk baru.”

“Perusahaan yang sama dengan Pak Devano tante?” tanya Wina. “GC Cosmetics?”

“Bukan, tapi perusahaan yang memproduksi snack kemasan.”

“Ooh.”

“Bi, tolong panggil Dev sekarang,” ujar tante Audrey saat dilihatnya Bi Surti selesai meletakkan udang goreng di atas meja.

“Iya Bu.” Bi Surti pun berjalan ke lantai atas ke arah kamar Dev, lalu mengetuk kamar Dev.

“Iya,” seru Dev, “masuk.”

Bi Surti membuka pintu kamar Dev, “makan malam sudah siap Mas Devano.”

“Sebentar lagi aku turun ke bawah.”

“Baik.” ujar Bi Surti sambil mau beranjak pergi.

“Eh Bi, tunggu, tadi pria yang menemani Kiara hari ini, ngapain saja disini?”

“Dia banyak menghabiskan waktu duduk dibangku yang ada di pinggir kolam renang sambil mengetik sesuatu di laptopnya.”

“Ooh, Kiara ikut duduk disana?”

“Hanya waktu pagi hari jam sembilan sampai jam sepuluh saja. Mbak Kiara keluar kamar untuk berjemur saja setelah itu masuk lagi ke kamar.”

“Jadi Pria itu tidak menghabiskan waktu di kamar bersama Kiara?”

“Mas Devano cemburu ya?” ujar Bi Surti.

“Tidak, tidak cemburu kok.” Ujar Dev berbohong.

“Sesekali sih Pria itu nengokin Mbak Kiara ke kamar, lalu ia sempat keluar rumah untuk beli salad buah. Lalu dia menyuapi Kiara salad buah.”

“Menyuapi Kiara salad buah?” teriak Dev.

“Iya, bibi tadi tidak sempat bikin salad buah padahal bahan bahannya ada semua. Harusnya pria itu bilang pada bibi untuk dibikinkan salad buah dan tidak usah membelinya.”

“Ya sudah deh Bi, terima kasih informasinya. Sebentar lagi aku turun.”

“Baik.” Bi Surti lalu beranjak pergi.

Dada Kiara berdebar kencang sementara pipinya terasa panas saat dilihatnya Dev turun dari tangga.

Kiara ingat pelukan tadi. Pelukan tadi pagi adalah obat yang paling manjur untuk sakit Kiara saat ini dibandingkan obat lainnya yang diberikan dokter Iskandar, - dokter keluarga Tante Audrey - yang kemarin memeriksanya.

Aku ingin pelukan itu lagi… ujar Kiara dalam hati.

“Oke, karena Dev sudah ada disini, sebelum kita mulai makan, tante akan memberitahu kalian sesuatu.” Ujar tante Audrey. “Dan sesuatu itu ada hubungannya dengan Kiara.” Lanjut tante Audrey.

“O, ya? Apa itu tante?” tanya Kiara.

“Begini Kiara, tante akan mendirikan perusahaan iklan. Perusahaan iklan kecil saja. Tapi walau ini perusahaan iklan yang kecil dan baru mulai, ia sudah punya klien ekslusif yaitu GC Cosmetics. Semua produk dari GC Cosmetics kelak, iklannya akan dibuat oleh perusahaan iklan milik tante ini. Ya syukur syukur sih dengan kerja keras dan lain lainnya, klien klien nya akan bertambah sehingga kliennya bukan GC Cosmetics saja, tapi satu hal yang pasti, GC Cosmetics adalah klien tetap.”

Semua diam dan asik mendengarkan penjelasan tante Audrey.

“Nah, karena semua modal dari tante, jadi owner dari perusahaan ini otomatis tante. Tante sudah menyiapkan sebuah nama untuk perusahaan iklan ini yaitu D & D Advertising, yang artinya Devano & Dinda Advertising.”

“Ma, kok nama aku dibawa bawa sih,” protes Dev, “itu kan perusahaan Mama.”

“Sudahlah Dev, terserah mama mau memberi nama apa, kalian kan anak anak Mama. Ok, tante lanjutkan ya Kiara, Wina,”

“Iya tante.” Hampir bersamaan Kiara dan Wina menjawab.

“Fungsi tante disini hanya owner, tapi tante tidak mau bekerja di D & D Advertising, karena itulah tante mau menunjuk Kiara sebagai pelaksana kerja dari D & D Advertising.

“Aku?” tanya Kiara kaget.

“Ya, kau bertanggung jawab untuk semuanya Kiara, kau pemimpin di D & D Advertising, masalah perekrutan karyawan dan lain lain itu tugasmu, tugas tante adalah berkenaan dengan masalah pendirian perusahaan, berhubungan dengan notaris, lalu mempersiapkan kantor, keperluan kantor dan lain lain. Kau mau kan Kiara? Nanti kau tinggal melakukan laporan bulanan saja padaku untuk semua kegiatan pekerjaan yang sudah dilkaukan dan pastinya juga laporan keuangan.”

“AKu tidak tahu tante, ini sungguh mendadak.”

“Kau harus mau Kiara. Gaji untukmu nanti akan disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawabmu, yang pastinya lebih besar dari gajimu sekarang di Bright Advertising.”

“Jadi aku harus mengundurkan diri dari Bright Advertising?” tanya Kiara.

“Ya, secepatnya.” Jawab tante Audrey, “karena tante akan memproses pendirian perusahaan iklan ini juga secepatnya. Kau harus ada disamping tante selama proses pendirian perusahaan iklan ini dilakukan. Kau mau kan Kiara?” tanya tante Audrey.

“Baiklah.” Ujar Kiara sambil tersenyum, “terima kasih tante atas kepercayaannya.”

“Sama sama.” Tante Audrey ikut tersenyum, “nah, karena Kiara tidak mungkin menjalankan semua ini sendirian tante harap Wina juga bisa membantu dan mendampingi Kiara. Masalah gaji, nanti untuk gaji Wina juga disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawab Wina. Terserah Kiara nanti Wina akan dipercaya menduduki jabatan apa, yang jelas, kalian berdua harus merekrut orang orang dengan membuka lowongan pekerjaan secepatnya. Saran tante rekrutlah karyawan sesuai keperluan saja. Dalam satu tim produksi iklan itu terdiri dari siapa saja. Tante rasa lima atau enam orang cukuplah. Nanti kalau misalnya perusahaan sudah mulai besar, baru bisa tambah karyawan lagi sesuai keperluan pekerjaan. Kau mau kan Wina mendampingi Kiara?”

“Siap tante.” Ujar Wina senang karena ia tak harus berurusan dengan Tami yang manja lagi.

“Oke kalau begitu, sekarang mari kita makan, nanti makanannya menjadi dingin.”

“Rencananya kantornya dimana tante?” tanya Wina, “karena aku kan harus tahu jarak kantor baruku dengan tempat kosku, karena jika memungkinkan aku nanti pindah kos.”

“O, ya masalah kantor, tante baru ingat, sementara kantor D & D Advertising dipersiapkan, kalian berdua berkantor di rumah ini saja dulu, maksud tante, kalian kan harus segera merekrut karyawan, jadi lakukan saja itu secepatnya. Melakukan wawancara disini dulu juga tidak apa apa. Alamat rumah ini dipakai sebagai alamat surat menyurat dulu juga tidak apa apa.”

“Jadi Mama mau menyewa kantornya di daerah mana?” tanya Dev, “mungkin aku bisa bantu?”

“Entahlah Dev, nanti mama pikirkan lagi, sekarang kita makan dulu.”

“Ma, aku punya usul,” ujar Dev lagi.

“O, ya, apa usulmu?”

“Bagaimana kalau kantornya di GC Cosmetics saja?”

“Kantormu sudah penuh Devano, mau dilantai berapa? Lantai dasar untuk display produk sekalian untuk jualan produk, lantai dua adalah lantai untuk bekerja para karyawan GC Cosmetics, lantai tiga adalah ruang kerjamu, juga ruang kerja para direktur dan ruang presentasi, lantai empat gudang, lantai lima food court. Mau dilantai berapa?”

“Lantai tiga,” ujar Dev tersenyum, terus terang ia mengusulkan ini agar ia bisa dekat dengan Kiara.

“Di sebelah mananya?”

“Ruang presentasi disana ada dua Ma. Ada yang kecil dan ada yang besar. Nah yang besar ini aku rasa bisa dipergunakan untuk kantor dari perusahaan iklan Mama. Jadi nanti ruang presentasi ini dibongkar dan disekat sekat dibikin ruangan, karena luasnya juga lumayan besar loh Ma, hampir sepertiga luas seluruh lantai tiga.”

“O, ya?”

“Ya.” Ujar Dev, “selain itu juga untuk penghematan karena Mama tidak harus bayar uang sewa jika menyewa kantor di tempat lain.”

“Serius kau tidak minta uang sewa pada Mama?” ujar Mamanya sambil tertawa.

“Kan baru merintis ma, nanti kalau perusahaanya sudah besar hitung hitungannya beda lagi.”

“Baiklah,” ujar Mamanya sambil tersenyum, “Kiara, Wina, minggu depan kita berkunjung ke GC Cosmetics untuk melihat kantor kita.”

What?! teriak Kiara dalam hati. Is it a dream or what?!

~ ~ ~
















































































































































































































































































































































No comments:

Post a Comment