Kumpulan Cerita Patah Hati
Oleh. A. Rafianti
Serie 2 : Menjadi Feminin
II
MENJADI FEMININ
SUARA Christina Perri menyanyikan
“Jar of Hearts” terdengar cukup keras dari radio mobil. Pada saat pergi kerja
seperti ini, aku terbiasa mendengarkan lagu sambil bernyanyi. Yah, sedikit
menghilangkan ketegangan, sebelum sibuk dengan pekerjaanku.
O, ya perkenalkan,
namaku Santi. Aku bekerja di sebuah perusahaan Tour and Travel. Aku
bekerja sebagai sekretaris. Bosku, Ibu Rani, adalah Manager Operasional.
Basic pendidikanku
sebenarnya di bidang bahasa. Aku dulu kuliah di Sastra Inggris. Saat melamar
pekerjaan sebenarnya aku melamar untuk posisi guide. Aku suka sekali
jalan-jalan. Jadi kupikir jadi guide itu enak, bisa jalan-jalan gratis,
dibayar pula. Tapi lowongan yang ada ternyata untuk sekretaris. Ya sudah,
kesempatan itu aku ambil aja, dengan harapan suatu saat nanti aku bisa pindah
ke posisi guide seperti yang kuharapkan, tapi ternyata hingga detik ini,
menjadi guide masih terus jadi
impian.
“Nggak ada lagu lain
apa yang lebih ceria?!” Toro, kakakku langsung memindahkan “Jar of Hearts” ke
radio lain.
Aku dan Toro harus
berbagi mobil pagi-pagi begini. Dan aku nggak mau tahu, Toro harus mengantarku
lebih dulu ke kantor sebelum ia sibuk dengan aktivitasnya.
Toro adalah seorang
pemain sinetron. Ia memang agak-agak narsis
gitu, cita-citanya dari kecil ingin dikenal banyak orang, dan alhamdulilah,
terkabul.
Ketika menemukan lagu Lazy Song-nya Bruno Mars, Toropun
langsung ikut bernyanyi. Aku dan Toro cukup akur, karena dia banyak mengalah
untukku. Kami cuma dua bersaudara, jadi walau kami sering berantem, baikannya
juga suka cepat.
O, ya sekarang Toro
lagi jomblo. Ia kemarin sempat pacaran dengan anak konglomerat. Tapi orangtua
Amira (nama anak konglomerat itu) menentang hubungan mereka dan menuduh Toro
sebagai cowok matre yang hanya mengejar uang dan warisan Amira.
Toro marah dituduh
seperti itu. Ia bilang cintanya tulus tanpa embel-embel apapun. Ia pun akhirnya
memutuskan untuk berpisah dengan Amira. Keputusan yang cukup tragis mengingat
cinta mereka berdua yang menggebu-gebu.
Amira, menurut berita
gosip di televisi kabarnya sekarang sedang mengalami depresi berat. Ia harus
diterbangkan ke Paris
segala untuk menenangkan diri pasca
putus cintanya dengan Toro.
Asik banget nggak sih.
Kalau aku berasal dari keluarga kaya raya seperti Amira, aku pun akan melakukan
hal yang sama dengan Amira kalau sedang patah hati.
Tapi pastinya aku tidak
akan menenangkan diri di Paris saja melainkan juga menenangkan diri sambil shopping di Madrid, Wina, London dan kota-kota
eksotik lainnya di benua Eropa. Hehe.
Sampai di kantor aku
dikagetkan oleh kehadiran karyawan baru. Sebenarnya Bu Rani sudah bilang akan
ada karyawan baru yang menggantikan Dina di bagian Customer Service karena Dina akan cuti melahirkan. Tapi yang bikin
aku kaget, karyawan baru itu ternyata Nita, teman kuliahku.
Aku dan Nita dulu tidak
terlalu akrab sih, tapi pertemanan kami berjalan cukup baik, dalam artian, aku
tak pernah punya masalah dengannya.
“Ya ampun Santi, apa
kabar?” Nita yang lebih dulu menyapaku saat aku memasuki ruang kerjaku.
Untuk sesaat aku
bingung menatapnya karena aku tidak mengenalinya. Aku lalu berpendapat bahwa
karyawan baru itu orang yang ramah, karena menyapaku seperti seorang sahabat
lama.
“Ehm, kamu karyawan
baru ya?” tanyaku karena tidak tahu apa
yang harus kukatakan.
“Iya, aku sungguh
senang bisa bertemu denganmu di sini.”
Yeah, dan akupun senang
kalau punya kesempatan dinner dengan putra mahkota dari Eropa. Seruku dalam hati. Lebay banget sih nih orang!
“Aku juga,” senyumku
kemudian, berusaha bersikap ramah, “sekarang silahkan duduk dulu. Nanti Mba
Mila akan mengajari tugas-tugasmu, dia sepertinya belum datang.”
“Oke, terimakasih.”
Akupun lalu duduk dan
mulai mengecek email-email yang masuk ke email kantor.
“Gimana kabar Dide, kau
masih pacaran dengannya?” tanya karyawan baru itu lagi.
Aku langsung melirik ke
arahnya. Demi Tuhan , ia
tahu tentang kehidupanku, jangan-jangan dia seorang detektif yang menyamar
sebagai petugas CS yang diterima Bu Rani kerja khusus untuk memataiku. Tapi apa
untungnya coba memataiku, hidupku sama sekali tidak menarik, sungguh.
“Alhamdulillah masih,”
jawabku akhirnya.
“Wah keren, hubungan
kalian awet.” Senyumnya.
Yeah, ujarku dalam hati, dikasih
formalin sih, jadi awet, hihihi.
“Kalau aku.. ehm.. aku
sudah tidak dengan Erry lagi.” Katanya tiba-tiba.
Aku langsung
mengernyitkan kening, mencoba mengingat seseorang yang bernama Erry. Hmm..
Erry… Erry… tidak banyak orang yang bernama Erry yang kukenal.
Melihat kebingunganku,
ia akhirnya bilang, “kau lupa padaku ya? Aku teman kuliahmu di Sastra Inggris
dulu.”
Aku kaget, lalu
memperhatikan wajahnya dengan seksama. Aku ingat wajahnya, tapi memoriku
benar-benar buntu untuk mengingat namanya. Kulirik berkas lamarannya yang ada
di mejaku. Nita Liandiani.
“Kamu Nita yang ikut
Pecinta Alam?” tanyaku ragu. Ada
tiga nama Nita saat aku kuliah dulu. Mudah-mudahan tebakanku tepat.
“Ya,” dia tersenyum,
“aku Nita yang itu. Jadi dari tadi kau benar-benar tidak tahu aku ya?” tanyanya
sambil tertawa.
“Maafkan aku,” ujarku
sambil ikut tertawa, “kau berubah.”
“Ya, semua orang bilang
begitu.”
Perubahan yang terjadi
pada Nita adalah luar biasa. Dulu dia terkenal sangat tomboy, rambut pendek, selalu memakai celana dan jaket
jeans, dan punya hobi naik gunung. Tiap ada kesempatan, ia selalu bertualang
untuk menaklukan beberapa gunung di Indonesia .
Kini, dia berambut
panjang sepinggang, menggunakan rok panjang dengan blouse berwarna merah
marun, senada dengan lipstick di bibirnya. Sangat chic dan girly. Demi
Tuhan, apa yang merubahnya?
Aku ingin menanyakan
itu padanya, ketika Mbak Mila tiba-tiba masuk ke ruanganku dan menyapa kami
berdua, sebelum akhirnya meminta Nita ikut dengannya untuk memulai tugas barunya
di kantorku.
~ ~
Kupikir, perubahan yang
terjadi pada Nita dengan menggunakan rok panjang dan bukan celana panjang
adalah untuk menampilkan kesan yang feminin di hari pertama ia bekerja, tapi
ternyata untuk hari-hari selanjutnya, ia terus berpakaian seperti itu, kalau
bukan rok panjang, ia akan mengenakan rok lipit selutut, atau rok lebar
bermotif bunga atau baju terusan yang
terlihat manis dan praktis. Tak sekalipun Nita memakai celana panjang seperti
yang biasa kupakai.
Baju kerjaku
sehari-hari biasanya sangat praktis. Aku bahkan terkadang memakai celana jeans
dan Bu Rani tidak protes dengan hal itu. Dan lucunya, hampir semua teman
wanitaku di kantor berpenampilan sama.
Aku ingin sekali
ngobrol dengan Nita tentang hal ini. Tentang kenapa dia berubah menjadi
feminin, tapi sepertinya waktu belum berpihak padaku.
Sampai akhirnya
kesempatan itu datang ketika pada hari Sabtu, saat aku pulang kerja, aku
bertemu Nita di halte bus. Aku nggak tahu selama ini Nita pulang dan pergi naik
apa, sementara aku biasa diantar dan dijemput Toro. Tapi kalau Toro sedang
tidak bisa mengantar atau menjemputku seperti sekarang, aku akan minta ongkos
taksi padanya, sebagai konsekuensi dari mobil yang dipakainya untuk syuting.
Ayahku sengaja membeli mobil itu untuk aku dan Toro, jadi kami memang harus mau
berbagi. Dan Toro tidak keberatan kalau aku minta ongkos taksi darinya, hehe.
Pacarku Dide sedang
bertugas di pedalaman Kalimantan sebagai
seorang dokter pemula. Jadi aku bertemu dengan Dide kalau ia menyempatkan waktu
pulang ke Jakarta .
“Pulang naik apa Nit?”
tanyaku langsung saat melihat Nita berdiri di halte yang terletak tidak jauh
dari kantorku.
“Oh, aku mau naik bajaj
saja, aku ada perlu pergi ke Lokasari.”
“Mau ngapain?”
“Hanya membeli beberapa
pesanan Mama.”
“Oh, boleh aku ikut?”
tanyaku.
“Kau sedang tidak ada
acara?” Nita tersenyum menatapku, “This
is Saturday evening. You have to prepare something in Saturday evening.”
“Nope, I don’t have to prepare anything. It’s a miserable sat-night for
me now.”
“Hahaha,” Nita langsung
tertawa. “Same with me.”
“O, really? You kidding right, how about Erry?”
“Erry, dia.. well,” Nita menghela nafas panjang
sebelum melanjutkan kata-katanya, “ceritanya panjang San, nanti pas kita makan
aku ceritain. Aku lapar hehe, nanti kita makan dulu ya.”
“Oke.”
~ ~
Aku dan Nita
akhirnya memilih makan dulu ketika sampai di Lokasari. Kami makan di restoran
cepat saji.
“Erry sudah meninggal
hampir setahun yang lalu.” Nita memulai ceritanya, saat aku dan dia sudah
menandaskan makanan kami.
“Yang benar?” seruku
langsung, “how come?” aku menatap Nita sedih. Erry adalah
teman kuliahku juga. Ia kakak kelasku dan Nita.
Kabar kematiannya benar-benar mengejutkanku.
“Leukimia. Dia tidak
bisa bertahan dengan penyakitnya itu.”
Aku menghela nafas
panjang. Leukimia adalah salah satu penyakit yang mematikan, walau ada yang
bisa ‘survive’ dari penyakit itu,
tapi tidak sedikit juga yang meninggal karenanya.
“Aku sangat kehilangan
dia. Tujuh tahun bersama bukan waktu yang sebentar,” ujar Nita pelan.
“Ya, pastinya,” sahutku
sambil menggenggam tangan Nita erat.
“Tapi aku berusaha
untuk melanjutkan hidupku.” Nita kemudian tersenyum.
“Harus begitu Nita.
Kita tidak boleh stuck gara-gara
orang yang kita sayangi pergi meninggalkan kita. We must to move on. Ngomong-ngomong kenapa kau kerja di kantorku?
Sebelumnya kau kerja di mana?”
“Aku dulu bekerja di
perusahaan Om Baskoro, Omnya Erry. Bisnisnya bergerak di bidang perhotelan,
bisa dikatakan hotel milik keluarga gitu. Erry juga dulu kerja di sana . Aku dan Erry sudah
sering membicarakan tentang masa depan kami, sudah planning ini dan itu, mencoba menyisihkan gaji kami untuk ditabung,
tapi akhirnya maut menjemputnya sebelum semua impian itu terlaksana.”
“Ya, aku bisa
membayangkan betapa terpukulnya kau dengan kepergiannya.”
“Yang terberat dari
semuanya adalah keluarganya,” mata Nita kini berkaca-kaca. “Papa dan mama Erry
sudah menganggapku sebagai anaknya sendiri, demikian juga om-nya. Kebiasaanku
dulu, saat Erry masih hidup, masih terus kulakukan setelah Erry meninggal, seperti
berpergian rutin dengan mereka ke suatu tempat. Mama Erry tidak ingin
kehilangan aku. Dia bilang, dia sudah cukup kehilangan Erry dan dia tak mau
kehilangan aku juga. Aku menerima itu sebagai suatu kehormatan. Aku masih terus
membiarkan diriku terlibat terus dengan keluarga mereka, sampai…” Nita diam
sebentar.
“Sampai apa?” tanyaku
penasaran.
“Sampai mereka berniat
menjodohkan aku dengan putra mereka yang lain.”
“Oh my God.”
“Iya San, Mama Erry
ternyata terobsesi padaku, dia ngotot menjadikan aku sebagai menantunya. Erry
berbeda dengan saudara-saudaranya. Erry berbeda dengan cowok manapun di dunia
ini. Mereka tidak bisa memaksaku, cinta tidak bisa dipaksakan.”
“Dan akhirnya kau
memutuskan untuk keluar dari pekerjaanmu yang lama dan melamar pekerjaan di
kantor tempat aku bekerja sekarang?” tanyaku kemudian.
“Iya. Ini berat
untukku, tapi aku harus melakukan itu. Aku harus melepaskan diri dari mereka.
Bukannya aku tidak menghargai kasih sayang mereka padaku. Tapi rasanya seperti
aku mengkhianati Erry, kau mengerti maksudku? Aku seharusnya bersama Erry,
bukan dengan abangnya.”
“Aku mengerti
maksudmu,” ujarku sambil tersenyum. “Tidak apa-apa Nita, nikmati saja hidupmu,
jangan paksakan apapun.”
“Mudah-mudahan
keputusanku tepat.”
“Mudah-mudahan.”
“Aku sungguh terkejut
bekerja di kantor yang sama denganmu Santi, sungguh.”
“Aku juga,” aku
tertawa, “maafkan aku ya tidak langsung mengenalimu saat kita bertemu pertama
kali di kantor dulu.”
“Tidak apa-apa.”
“Kau cantik sekali Nita.
Kau berbeda dengan yang dulu. Maksudku dulu kau cantik juga, hanya saja
sekarang berbeda. Apa yang merubahmu? Keharusan tampil feminin di hotel tempat
kau bekerja dulu yang membuatmu jadi seperti sekarang?” tanyaku beruntun.
“Tidak.” Nita menghela
nafas sebentar, “pekerjaanku yang dulu tidak ada hubungannya dengan ini. Aku
berubah seperti ini karena permintaan Erry.”
“O, ya?” seruku kaget,
“waktu kalian pacaran sepertinya Erry tidak keberatan dengan penampilanmu yang
tomboy.”
“Itu karena ia tak
pernah mengatakannya,” mata Nita mulai berkaca-kaca lagi. “Sebenarnya Erry
nggak suka aku tomboy, tapi ia diam saja. Sampai akhirnya, beberapa bulan
sebelum maut menjemputnya, ia mengatakan semuanya padaku, tentang apa
harapannya, keinginannya dan ia memintaku untuk berubah menjadi feminin, dan
beginilah aku sekarang.”
“Itu sungguh manis.”
“Terimakasih, Erry
bilang aku lebih cantik dari sebelum-sebelumnya.”
“Dia benar.”
“Terimakasih.” Ujar
Nita lagi sambil tersenyum menatapku.
“Kembali kasih.” Aku
balas tersenyum menatapnya.
~ ~
Beberapa bulan
kemudian…
“Ambil bolanya Santi!
Ayolah, lempar sini padaku!” Toro berteriak di pinggir lapangan. Ia sedang
bermain bola dengan sahabat-sahabat selebnya.
Tapi bola itu terus-terusan meluncur ke arahku yang sedang asik duduk di
pinggir lapangan, di bawah pohon yang rindang.
Aku dan Toro saat ini
sedang liburan ke Mega Mendung. Toro bilang ia butuh suasana alam yang segar. Dan ia memaksaku untuk turut
mengajak Nita. Toro sendiri mengajak dua sahabat selebnya, Randy dan Biyan. Kami menginap semalam di dua cottage yang kami sewa. Nanti sore kami
baru kembali ke Jakarta .
“Ambil saja sendiri!”
teriakku. “Enak aja aku harus mondar-mandir ngambil bola. Aku kan nggak ikutan main!”
“Dasar pemalas!” gerutu
Toro, “mondar-mandir itu bagus tahu untuk kesehatan. Banyak karbohidrat yang
terbakar!”
“Bodo amat!” balasku
cepat.
“Babe, could you please take that ball and throw away to me?” ujar
Toro kemudian ke arah Nita yang duduk di sampingku.
Nita langsung mengambil
bola yang diminta Toro dan melemparkannya pada Toro.
“Thank you Sweetheart, I love you.” Toro tersenyum pada Nita dan
kembali bermain bola.
“Babe? Sweetheart? I love you?” aku langsung berteriak pada Nita
saat Nita kembali duduk di sampingku. “Could
you tell me what’s going on here?”
Nita langsung tertawa
menatapku. “Kakakmu gila, dia melamarku semalam. Dia bukan memintaku jadi
pacarnya, tapi jadi isterinya.”
“APA?!”
“Dia bilang, pacarannya
nanti saja abis menikah.”
“DAN KAMU MAU SAMA
DIA?” teriakku histeris.
Kakakku adalah makhluk
aneh, mungkin makhluk paling aneh sedunia. Siapapun cewek yang jadi kekasihnya
akan tertular penyakit aneh seperti dia.
“Dia tidak jelek-jelek
amat kan ?”
Nita tak menghentikan tawanya.
“This is insane. Totally insane. Bilang padaku kalau Toro bercanda
dengan lamarannya, dan kau tidak menerima lamarannya.”
“Tapi aku menerimanya.”
Nita tersenyum.
“Nita sayang, kau
jangan percaya kata-katanya. Toro itu sedang patah hati, kalau kau belum
mendengar gosip yang menimpanya, ia dituduh orangtua mantan pacarnya sebagai
cowok matre. Jadi apa yang dia bilang padamu, pasti bercanda, tidak serius.”
“Tapi dia mengatakan
semuanya dengan sungguh-sungguh kok. Dia bilang dia jatuh cinta padaku saat
melihatku di depan kantor waktu dia menjemputmu. Tapi perasaan itu ia pendam
terus, sampai akhirnya ia mengatakan tentang perasaannya itu padaku semalam.”
“Tapi..”
“Aku harus melanjutkan
hidupku Santi, aku tidak mau terus-terusan berada dalam suasana sedih
sepeninggal Erry. Toro pun mengatakan hal yang sama padaku. Ia pernah mengalami
patah hati, ia pernah mengalami kekecewaan yang luar biasa, tapi kemudian ia
memutuskan untuk melanjutkan hidupnya. Kami berdua bisa saling mengobati rasa
kehilangan yang sama-sama kami rasakan. Kami memutuskan untuk mulai mengisi
hidup kami dengan keceriaan baru, cerita baru. Bagaimana menurutmu?”
Hening sejenak sebelum
akhirnya aku menjawab pelan, “menurutku itu keren.”
No comments:
Post a Comment