Tuesday, January 9, 2018

Serie Heal A Broken Heart (Serie 2 : Menjadi Feminin)


Kumpulan Cerita Patah Hati
Oleh. A. Rafianti

Serie 2 : Menjadi Feminin

II
MENJADI  FEMININ


SUARA Christina Perri menyanyikan “Jar of Hearts” terdengar cukup keras dari radio mobil. Pada saat pergi kerja seperti ini, aku terbiasa mendengarkan lagu sambil bernyanyi. Yah, sedikit menghilangkan ketegangan, sebelum sibuk dengan pekerjaanku.
O, ya perkenalkan, namaku Santi. Aku bekerja di sebuah perusahaan Tour and Travel. Aku bekerja sebagai sekretaris. Bosku, Ibu Rani, adalah Manager Operasional.
Basic pendidikanku sebenarnya di bidang bahasa. Aku dulu kuliah di Sastra Inggris. Saat melamar pekerjaan sebenarnya aku melamar untuk posisi guide. Aku suka sekali jalan-jalan. Jadi kupikir jadi guide itu enak, bisa jalan-jalan gratis, dibayar pula. Tapi lowongan yang ada ternyata untuk sekretaris. Ya sudah, kesempatan itu aku ambil aja, dengan harapan suatu saat nanti aku bisa pindah ke posisi guide seperti yang kuharapkan, tapi ternyata hingga detik ini,  menjadi guide masih terus jadi impian.
“Nggak ada lagu lain apa yang lebih ceria?!” Toro, kakakku langsung memindahkan “Jar of Hearts” ke radio lain.
Aku dan Toro harus berbagi mobil pagi-pagi begini. Dan aku nggak mau tahu, Toro harus mengantarku lebih dulu ke kantor sebelum ia sibuk dengan aktivitasnya.
Toro adalah seorang pemain sinetron. Ia memang agak-agak narsis gitu, cita-citanya dari kecil ingin dikenal banyak orang, dan alhamdulilah, terkabul.
Ketika menemukan lagu Lazy Song-nya Bruno Mars, Toropun langsung ikut bernyanyi. Aku dan Toro cukup akur, karena dia banyak mengalah untukku. Kami cuma dua bersaudara, jadi walau kami sering berantem, baikannya juga suka cepat.
O, ya sekarang Toro lagi jomblo. Ia kemarin sempat pacaran dengan anak konglomerat. Tapi orangtua Amira (nama anak konglomerat itu) menentang hubungan mereka dan menuduh Toro sebagai cowok matre yang hanya mengejar uang dan warisan Amira.
Toro marah dituduh seperti itu. Ia bilang cintanya tulus tanpa embel-embel apapun. Ia pun akhirnya memutuskan untuk berpisah dengan Amira. Keputusan yang cukup tragis mengingat cinta mereka berdua yang menggebu-gebu.
Amira, menurut berita gosip di televisi kabarnya sekarang sedang mengalami depresi berat. Ia harus diterbangkan ke Paris segala untuk menenangkan diri pasca putus cintanya dengan Toro.
Asik banget nggak sih. Kalau aku berasal dari keluarga kaya raya seperti Amira, aku pun akan melakukan hal yang sama dengan Amira kalau sedang patah hati.
Tapi pastinya aku tidak akan menenangkan diri di Paris saja melainkan juga menenangkan diri sambil shopping di Madrid, Wina, London dan kota-kota eksotik lainnya di benua Eropa. Hehe.
Sampai di kantor aku dikagetkan oleh kehadiran karyawan baru. Sebenarnya Bu Rani sudah bilang akan ada karyawan baru yang menggantikan Dina di bagian Customer Service karena Dina akan cuti melahirkan. Tapi yang bikin aku kaget, karyawan baru itu ternyata Nita, teman kuliahku.
Aku dan Nita dulu tidak terlalu akrab sih, tapi pertemanan kami berjalan cukup baik, dalam artian, aku tak pernah punya masalah dengannya.
“Ya ampun Santi, apa kabar?” Nita yang lebih dulu menyapaku saat aku memasuki ruang kerjaku.
Untuk sesaat aku bingung menatapnya karena aku tidak mengenalinya. Aku lalu berpendapat bahwa karyawan baru itu orang yang ramah, karena menyapaku seperti seorang sahabat lama.
“Ehm, kamu karyawan baru ya?” tanyaku  karena tidak tahu apa yang harus kukatakan.
“Iya, aku sungguh senang bisa bertemu denganmu di sini.”
Yeah, dan akupun senang kalau punya kesempatan dinner dengan putra mahkota dari Eropa. Seruku dalam hati. Lebay banget sih nih orang!
“Aku juga,” senyumku kemudian, berusaha bersikap ramah, “sekarang silahkan duduk dulu. Nanti Mba Mila akan mengajari tugas-tugasmu, dia sepertinya belum datang.”
“Oke, terimakasih.”
Akupun lalu duduk dan mulai mengecek email-email yang masuk ke email kantor.
“Gimana kabar Dide, kau masih pacaran dengannya?” tanya karyawan baru itu lagi.
Aku langsung melirik ke arahnya. Demi Tuhan, ia tahu tentang kehidupanku, jangan-jangan dia seorang detektif yang menyamar sebagai petugas CS yang diterima Bu Rani kerja khusus untuk memataiku. Tapi apa untungnya coba memataiku, hidupku sama sekali tidak menarik, sungguh.
“Alhamdulillah masih,” jawabku akhirnya.
“Wah keren, hubungan kalian awet.” Senyumnya.
Yeah, ujarku dalam hati, dikasih formalin sih, jadi awet, hihihi.
“Kalau aku.. ehm.. aku sudah tidak dengan Erry lagi.” Katanya tiba-tiba.
Aku langsung mengernyitkan kening, mencoba mengingat seseorang yang bernama Erry. Hmm.. Erry… Erry… tidak banyak orang yang bernama Erry yang kukenal.
Melihat kebingunganku, ia akhirnya bilang, “kau lupa padaku ya? Aku teman kuliahmu di Sastra Inggris dulu.”
Aku kaget, lalu memperhatikan wajahnya dengan seksama. Aku ingat wajahnya, tapi memoriku benar-benar buntu untuk mengingat namanya. Kulirik berkas lamarannya yang ada di mejaku. Nita Liandiani.
“Kamu Nita yang ikut Pecinta Alam?” tanyaku ragu. Ada tiga nama Nita saat aku kuliah dulu. Mudah-mudahan tebakanku tepat.
“Ya,” dia tersenyum, “aku Nita yang itu. Jadi dari tadi kau benar-benar tidak tahu aku ya?” tanyanya sambil tertawa.
“Maafkan aku,” ujarku sambil ikut tertawa, “kau berubah.”
“Ya, semua orang bilang begitu.”
Perubahan yang terjadi pada Nita adalah luar biasa. Dulu dia terkenal sangat tomboy,  rambut pendek, selalu memakai celana dan jaket jeans, dan punya hobi naik gunung. Tiap ada kesempatan, ia selalu bertualang untuk menaklukan beberapa gunung di Indonesia.
Kini, dia berambut panjang sepinggang, menggunakan rok panjang dengan blouse berwarna merah marun, senada dengan lipstick di bibirnya. Sangat chic dan girly. Demi Tuhan, apa yang merubahnya?
Aku ingin menanyakan itu padanya, ketika Mbak Mila tiba-tiba masuk ke ruanganku dan menyapa kami berdua, sebelum akhirnya meminta Nita ikut dengannya untuk memulai tugas barunya di kantorku.

~ ~

Kupikir, perubahan yang terjadi pada Nita dengan menggunakan rok panjang dan bukan celana panjang adalah untuk menampilkan kesan yang feminin di hari pertama ia bekerja, tapi ternyata untuk hari-hari selanjutnya, ia terus berpakaian seperti itu, kalau bukan rok panjang, ia akan mengenakan rok lipit selutut, atau rok lebar bermotif  bunga atau baju terusan yang terlihat manis dan praktis. Tak sekalipun Nita memakai celana panjang seperti yang biasa kupakai.
Baju kerjaku sehari-hari biasanya sangat praktis. Aku bahkan terkadang memakai celana jeans dan Bu Rani tidak protes dengan hal itu. Dan lucunya, hampir semua teman wanitaku di kantor berpenampilan sama.
Aku ingin sekali ngobrol dengan Nita tentang hal ini. Tentang kenapa dia berubah menjadi feminin, tapi sepertinya waktu belum berpihak padaku.
Sampai akhirnya kesempatan itu datang ketika pada hari Sabtu, saat aku pulang kerja, aku bertemu Nita di halte bus. Aku nggak tahu selama ini Nita pulang dan pergi naik apa, sementara aku biasa diantar dan dijemput Toro. Tapi kalau Toro sedang tidak bisa mengantar atau menjemputku seperti sekarang, aku akan minta ongkos taksi padanya, sebagai konsekuensi dari mobil yang dipakainya untuk syuting. Ayahku sengaja membeli mobil itu untuk aku dan Toro, jadi kami memang harus mau berbagi. Dan Toro tidak keberatan kalau aku minta ongkos taksi darinya, hehe.
Pacarku Dide sedang bertugas di pedalaman Kalimantan sebagai seorang dokter pemula. Jadi aku bertemu dengan Dide kalau ia menyempatkan waktu pulang ke Jakarta.
“Pulang naik apa Nit?” tanyaku langsung saat melihat Nita berdiri di halte yang terletak tidak jauh dari kantorku.
“Oh, aku mau naik bajaj saja, aku ada perlu pergi ke Lokasari.”
“Mau ngapain?”
“Hanya membeli beberapa pesanan Mama.”
“Oh, boleh aku ikut?” tanyaku.
“Kau sedang tidak ada acara?” Nita tersenyum menatapku, “This is Saturday evening. You have to prepare something in Saturday evening.
Nope, I don’t have to prepare anything. It’s a miserable sat-night for me now.”
“Hahaha,” Nita langsung tertawa. “Same with me.
O, really? You kidding right, how about Erry?”
“Erry, dia.. well,” Nita menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kata-katanya, “ceritanya panjang San, nanti pas kita makan aku ceritain. Aku lapar hehe, nanti kita makan dulu ya.”
“Oke.”
~ ~

Aku dan Nita akhirnya memilih makan dulu ketika sampai di Lokasari. Kami makan di restoran cepat saji.
“Erry sudah meninggal hampir setahun yang lalu.” Nita memulai ceritanya, saat aku dan dia sudah menandaskan makanan kami.
“Yang benar?” seruku langsung, “how come?” aku menatap Nita sedih. Erry adalah teman kuliahku juga. Ia kakak kelasku dan Nita.  Kabar kematiannya benar-benar mengejutkanku.
“Leukimia. Dia tidak bisa bertahan dengan penyakitnya itu.”
Aku menghela nafas panjang. Leukimia adalah salah satu penyakit yang mematikan, walau ada yang bisa ‘survive’ dari penyakit itu, tapi tidak sedikit juga yang meninggal karenanya.
“Aku sangat kehilangan dia. Tujuh tahun bersama bukan waktu yang sebentar,” ujar Nita pelan.
“Ya, pastinya,” sahutku sambil menggenggam tangan Nita erat.
“Tapi aku berusaha untuk melanjutkan hidupku.” Nita kemudian tersenyum.
“Harus begitu Nita. Kita tidak boleh stuck gara-gara orang yang kita sayangi pergi meninggalkan kita. We must to move on. Ngomong-ngomong kenapa kau kerja di kantorku? Sebelumnya kau kerja di mana?”
“Aku dulu bekerja di perusahaan Om Baskoro, Omnya Erry. Bisnisnya bergerak di bidang perhotelan, bisa dikatakan hotel milik keluarga gitu. Erry juga dulu kerja di sana. Aku dan Erry sudah sering membicarakan tentang masa depan kami, sudah planning ini dan itu, mencoba menyisihkan gaji kami untuk ditabung, tapi akhirnya maut menjemputnya sebelum semua impian itu terlaksana.”
“Ya, aku bisa membayangkan betapa terpukulnya kau dengan kepergiannya.”
“Yang terberat dari semuanya adalah keluarganya,” mata Nita kini berkaca-kaca. “Papa dan mama Erry sudah menganggapku sebagai anaknya sendiri, demikian juga om-nya. Kebiasaanku dulu, saat Erry masih hidup, masih terus kulakukan setelah Erry meninggal, seperti berpergian rutin dengan mereka ke suatu tempat. Mama Erry tidak ingin kehilangan aku. Dia bilang, dia sudah cukup kehilangan Erry dan dia tak mau kehilangan aku juga. Aku menerima itu sebagai suatu kehormatan. Aku masih terus membiarkan diriku terlibat terus dengan keluarga mereka, sampai…” Nita diam sebentar.
“Sampai apa?” tanyaku penasaran.
“Sampai mereka berniat menjodohkan aku dengan putra mereka yang lain.”
Oh my God.”
“Iya San, Mama Erry ternyata terobsesi padaku, dia ngotot menjadikan aku sebagai menantunya. Erry berbeda dengan saudara-saudaranya. Erry berbeda dengan cowok manapun di dunia ini. Mereka tidak bisa memaksaku, cinta tidak bisa dipaksakan.”
“Dan akhirnya kau memutuskan untuk keluar dari pekerjaanmu yang lama dan melamar pekerjaan di kantor tempat aku bekerja sekarang?” tanyaku kemudian.
“Iya. Ini berat untukku, tapi aku harus melakukan itu. Aku harus melepaskan diri dari mereka. Bukannya aku tidak menghargai kasih sayang mereka padaku. Tapi rasanya seperti aku mengkhianati Erry, kau mengerti maksudku? Aku seharusnya bersama Erry, bukan dengan abangnya.”
“Aku mengerti maksudmu,” ujarku sambil tersenyum. “Tidak apa-apa Nita, nikmati saja hidupmu, jangan paksakan apapun.”
“Mudah-mudahan keputusanku tepat.”
“Mudah-mudahan.”
“Aku sungguh terkejut bekerja di kantor yang sama denganmu Santi, sungguh.”
“Aku juga,” aku tertawa, “maafkan aku ya tidak langsung mengenalimu saat kita bertemu pertama kali di kantor dulu.”
“Tidak apa-apa.”
“Kau cantik sekali Nita. Kau berbeda dengan yang dulu. Maksudku dulu kau cantik juga, hanya saja sekarang berbeda. Apa yang merubahmu? Keharusan tampil feminin di hotel tempat kau bekerja dulu yang membuatmu jadi seperti sekarang?” tanyaku beruntun.
“Tidak.” Nita menghela nafas sebentar, “pekerjaanku yang dulu tidak ada hubungannya dengan ini. Aku berubah seperti ini karena permintaan Erry.”
“O, ya?” seruku kaget, “waktu kalian pacaran sepertinya Erry tidak keberatan dengan penampilanmu yang tomboy.”
“Itu karena ia tak pernah mengatakannya,” mata Nita mulai berkaca-kaca lagi. “Sebenarnya Erry nggak suka aku tomboy, tapi ia diam saja. Sampai akhirnya, beberapa bulan sebelum maut menjemputnya, ia mengatakan semuanya padaku, tentang apa harapannya, keinginannya dan ia memintaku untuk berubah menjadi feminin, dan beginilah aku sekarang.”
“Itu sungguh manis.”
“Terimakasih, Erry bilang aku lebih cantik dari sebelum-sebelumnya.”
“Dia benar.”
“Terimakasih.” Ujar Nita lagi sambil tersenyum menatapku.
“Kembali kasih.” Aku balas tersenyum menatapnya.

~ ~

Beberapa bulan kemudian…
“Ambil bolanya Santi! Ayolah, lempar sini padaku!” Toro berteriak di pinggir lapangan. Ia sedang bermain bola dengan sahabat-sahabat selebnya. Tapi bola itu terus-terusan meluncur ke arahku yang sedang asik duduk di pinggir lapangan, di bawah pohon yang rindang.
Aku dan Toro saat ini sedang liburan ke Mega Mendung. Toro bilang ia butuh suasana  alam yang segar. Dan ia memaksaku untuk turut mengajak Nita. Toro sendiri mengajak dua sahabat selebnya, Randy dan Biyan. Kami menginap semalam di dua cottage yang kami sewa. Nanti sore kami baru kembali ke Jakarta.
“Ambil saja sendiri!” teriakku. “Enak aja aku harus mondar-mandir ngambil bola. Aku kan nggak ikutan main!”
“Dasar pemalas!” gerutu Toro, “mondar-mandir itu bagus tahu untuk kesehatan. Banyak karbohidrat yang terbakar!”
“Bodo amat!” balasku cepat.
Babe, could you please take that ball and throw away to me?” ujar Toro kemudian ke arah Nita yang duduk di sampingku.
Nita langsung mengambil bola yang diminta Toro dan melemparkannya pada Toro.
Thank you Sweetheart, I love you.” Toro tersenyum pada Nita dan kembali bermain bola.
Babe? Sweetheart? I love you?” aku langsung berteriak pada Nita saat Nita kembali duduk di sampingku. “Could you tell me what’s going on here?”
Nita langsung tertawa menatapku. “Kakakmu gila, dia melamarku semalam. Dia bukan memintaku jadi pacarnya, tapi jadi isterinya.”
“APA?!”
“Dia bilang, pacarannya nanti saja abis menikah.”
“DAN KAMU MAU SAMA DIA?” teriakku histeris.
Kakakku adalah makhluk aneh, mungkin makhluk paling aneh sedunia. Siapapun cewek yang jadi kekasihnya akan tertular penyakit aneh seperti dia.
“Dia tidak jelek-jelek amat kan?” Nita tak menghentikan tawanya.
This is insane. Totally insane. Bilang padaku kalau Toro bercanda dengan lamarannya, dan kau tidak menerima lamarannya.”
“Tapi aku menerimanya.” Nita tersenyum.
“Nita sayang, kau jangan percaya kata-katanya. Toro itu sedang patah hati, kalau kau belum mendengar gosip yang menimpanya, ia dituduh orangtua mantan pacarnya sebagai cowok matre. Jadi apa yang dia bilang padamu, pasti bercanda, tidak serius.”
“Tapi dia mengatakan semuanya dengan sungguh-sungguh kok. Dia bilang dia jatuh cinta padaku saat melihatku di depan kantor waktu dia menjemputmu. Tapi perasaan itu ia pendam terus, sampai akhirnya ia mengatakan tentang perasaannya itu padaku semalam.”
“Tapi..”
“Aku harus melanjutkan hidupku Santi, aku tidak mau terus-terusan berada dalam suasana sedih sepeninggal Erry. Toro pun mengatakan hal yang sama padaku. Ia pernah mengalami patah hati, ia pernah mengalami kekecewaan yang luar biasa, tapi kemudian ia memutuskan untuk melanjutkan hidupnya. Kami berdua bisa saling mengobati rasa kehilangan yang sama-sama kami rasakan. Kami memutuskan untuk mulai mengisi hidup kami dengan keceriaan baru, cerita baru. Bagaimana menurutmu?”

Hening sejenak sebelum akhirnya aku menjawab pelan, “menurutku itu keren.”

No comments:

Post a Comment