Kumpulan Cerita Patah Hati (Fiksi)
Oleh : A. Rafianti
Serie 1 : Move on
I
MOVE ON
RANTING pohon kamboja terdengar
mengetuk-ngetuk jendela ruang kerjaku. Aku bekerja di café milikku sendiri.
Aku bangkit dari tempat
dudukku sambil mematikan AC karena tak tahan dengan udara yang mulai terasa
dingin. Kutinggalkan sejenak bon-bon pembelian dan laporan rugi laba di
komputerku. Aku lalu beranjak ke jendela dan membuka jendela lebar-lebar,
membiarkan udara segar masuk.
Dengan seketika ketukan
ranting di jendelapun berhenti, digantikan suara hujan yang turun dengan deras
menerpa ranting, pohon dan halaman café.
Aku memperhatikan pohon
kamboja baliku yang sudah semakin tinggi dengan perasaan bersalah. Seharusnya kemarin aku merawatnya; membuang
daun-daunnya yang mulai menguning dan memotong ranting-rantingnya yang mulai
menjulur ke arah jendelaku, tapi aku tak sempat melakukannya karena sibuk
dengan pekerjaanku.
Kamboja. Bunga itu
selalu mengingatkan aku pada satu nama, nama yang setahun lalu sangat akrab
mewarnai hidupku, hari-hariku, kesendirianku, nama yang kini harus aku kenang
dan aku kubur dalam-dalam, bukan saja di hati dan pikiranku tapi juga di
kehidupanku selanjutnya, karena nama itu, Cyntia
Ambarwati, sudah almarhumah.
Cyntia Ambarwati adalah
seorang wanita cantik yang nyaris jadi isteriku, sebelum kematian merenggutnya
dariku.
“Mas Raya, ada yang mau
ketemu nih!” suara Dion di balik pintu mengagetkanku.
“Siapa?” tanyaku
langsung.
“Beberapa orang musisi,
entah siapa, mereka mau mencari pekerjaan di sini.”
Aku akhirnya berjalan
ke arah pintu dan membukanya. Dibalik pintu, Dion menatapku sambil nyengir.
“Kamu udah bilang kan kalau lowongannya
udah ditutup,” ujarku langsung.
Cafeku minggu kemarin
membuka lowongan untuk beberapa musisi karena setiap harinya di cafeku ada live
music sehingga aku memerlukan
beberapa homeband. Tapi tempat untuk mereka sudah terisi penuh
dari hari Senin hingga Minggu, sehingga aku terpaksa menutup lowongan itu.
“Udah, gue udah bilang
begitu, tapi mereka ngotot, mereka bilang mereka bersedia dipanggil kalo lagi
ada musisi yang sedang berhalangan datang.”
“Ya udah deh, panggil
mereka.” Aku akhirnya menyerah.
Dion segera berlalu
dari hadapanku.
Sepeninggal Dion aku
langsung menghela nafas panjang. Aku memang selalu begitu, selalu nggak tega kalau ada orang yang mau
melamar pekerjaan. Aku selalu menyempatkan diri untuk bertemu dengan mereka
walau lowongan di cafeku benar-benar sudah penuh terisi, baik untuk bagian
dapur, bagian front desk atau
pelayan.
Itulah keseharianku,
sibuk dengan waktu yang terus berputar. Saking sibuknya, terkadang aku lupa
pada sosok wanita cantik yang bernama Cintya Ambarwati yang sudah kusebutkan
tadi.
Cyntia, bagaimanapun
berhubungan erat dengan bunga kamboja bali yang kini sedang kupandangi, karena
Cyntia suka sekali bunga kamboja.
~ ~
Beberapa kali aku
terbangun karena mimpi buruk. Aku lupa mimpi apa saja, tapi, selalu teriakan
minta tolong Cyntia yang terngiang-ngiang di telingaku sehingga aku akan
langsung membuka mata dan mengucap istigfar
berkali-kali.
Dulu, di minggu-minggu
awal setelah kematian Cyntia, aku sering tidur gelisah dan terbangun di tengah
malam hanya untuk menangis. Aku tak perduli orang berpikiran aku pria cengeng
atau apa, kenyataannya saat itu aku memang tak bisa mengatasi rasa kehilangan
yang amat sangat.
Banyak sahabat yang
menasehatiku untuk ikhlas melepas Cyntia pergi. Aku bilang pada mereka, aku
ikhlas, tapi toh, di saat-saat
tertentu, aku begitu merindukannya.
“Aku ingin kita
berbulan madu ke Bangkok ,”
Cyntia tersenyum memandangku. Cyntia mengatakan itu saat kami sibuk
mempersiapkan pernikahan kami.
Cyntia pernah ke Bangkok dengan sahabat-sahabatnya untuk berlibur di sana , dan sepertinya kota
itu sudah menghipnotisnya hingga ia ingin kembali ke sana .
“Tenang Sweatheart,” senyumku pada Cyntia, “bulan
madu ke Bangkok
sudah masuk agenda kita.”
Tapi tentu saja, baik
aku atau Cyntia tidak pernah sampai ke kota
itu. Cyntia pergi meninggalkanku beberapa saat sebelum kami melangsungkan
pernikahan.
Cyntia mengalami
kecelakaan lalu lintas saat ia dan teman-temannya sibuk mencari lokasi
pernikahan kami di daerah Puncak. Cyntia ingin menikah dengan konsep Garden
Party, dan ia keukeuh ingin menyewa sebuah Villa untuk acara
resepsi, menyulap Villa itu menjadi istana yang indah dengan kebunnya yang
cantik.
Mobil yang dikendarai
Amanda, teman Cyntia, nyaris ditabrak sebuah minibus dari arah yang berlawanan.
Minibus itu ingin menyusul truk yang berjalan lambat di depannya dan melaju
kencang ke arah mobil yang dikendarai Amanda. Amanda langsung membanting setir
ke kiri untuk menghindari tabrakan, tapi mobil malah menabrak pohon. Cyntia
yang duduk di samping Amanda, langsung meninggal di tempat kejadian, sementara
Amanda luka parah.
Hanya Cyntia yang
pergi, Amanda tidak. Sahabat-sahabat Cyntia yang lain; Mira dan Indah yang duduk
di kursi belakang juga tidak. Aku, saat itu berteriak pada Tuhan di tengah
kesedihanku, kenapa Tuhan memilih Cyntiaku untuk diambil?! Kenapa Cyntia harus
pergi di saat kami akan mengikrarkan hubungan kami dalam ikatan perkawinan yang
sudah kami nanti-nantikan?!
Aku langsung down
dengan kejadian itu. Bahkan untuk bekerjapun aku seperti tidak punya tenaga.
Sampai akhirnya aku memutuskan keluar dari pekerjaanku di sebuah perusahaan
periklanan untuk menenangkan diri.
Sahabat-sahabatku
banyak yang menghibur dan menguatkan aku. Aku bilang pada mereka bahwa aku
baik-baik saja, tapi sepertinya mereka tak percaya.
Beberapa bulan aku
menganggur dan terkungkung dalam kesedihan sampai akhirnya tanteku, Tante Bella
mengajakku membuka usaha café. Tapi itu
sebenarnya akal-akalan Tante Bella
saja agar aku ada kegiatan. Buktinya ketika perlahan-lahan café mengalami
kemajuan, Tante Bella menjual semua sahamnya padaku sehingga café itu jadi
milikku.
Usaha Tante Bella untuk
membuat aku ‘sibuk’ ternyata berhasil. Aku hampir tak pernah bisa berhenti
bergerak kecuali saat tidur. Semua urusan café aku handle sendiri. Dan
perlahan tapi pasti usaha cafeku mengalami kemajuan.
Tapi sayangnya,
kecemerlangan usaha cafeku tidak diiringi kecemerlangan kisah cintaku, karena
sejak kepergian Cyntia hampir dua tahun lalu, aku nyaris tidak pernah kencan
dengan siapapun. Aku takut merasa kehilangan lagi karena merasa kehilangan
seseorang yang sangat kau sayangi itu sungguh menyakitkan. Aku takut tidak bisa
mengatasi rasa sakit untuk yang kedua atau yang ketiga kalinya.
~ ~
Aku terkadang seperti
itu, mengajak Cyntia bercakap-cakap seolah-olah dia ada di sekitarku. Tapi
hanya dalam hati atau dalam pikiranku saja. Aku nggak mau Dion atau karyawanku
yang lain kabur kalau melihat aku bercakap-cakap seorang diri, menyangka bahwa
aku gila.
Telepon di meja kerjaku
tiba-tiba berdering saat aku sedang asik memandangi bunga kambojaku.
Aku segera
mengangkatnya, ternyata dari Anya, adikku.
“Hei ganteng, lagi
apa?” cerocos Anya langsung. “Pulang kerja nanti, aku jemput ya, kita mau
ditraktir oleh Tante Bella di daerah Jakarta Utara sana . Kita akan makan sea-food.”
“Dalam rangka apa Tante
traktir segala?” tanyaku, karena setahuku Tante Bella ulang tahun bulan
Januari, sudah lewat beberapa bulan yang lalu.
“Denger-denger sih,
proyek iklannya gol lagi.” Jelas Anya.
Tante Bella bekerja di
bidang periklanan, seperti aku dulu. Dan ia biasa menangani klien dengan
prospek yang bagus. Dengan kepintarannya, Tante Bella biasanya berhasil menarik
minat klien untuk jadi membuat iklan di perusahaan tempat ia bekerja.
“Mau ya kak?” teriak
Anya, “pokoknya kakak harus siap-siap, nanti aku jemput.”
“Baiklah, aku tunggu,”
jawabku akhirnya dengan perasaan malas.
Entah kenapa, aku
curiga kalau Tante Bella akan memperkenalkan aku pada seseorang, entah siapa,
karena hal itu yang biasa dilakukan Tante Bella bila mengundangku dinner.
Tante ingin aku jatuh
cinta lagi, pacaran lagi, dan tidak terus berkubang dalam kesedihan.
Anya datang menjemputku
jam setengah tujuh dengan menggunakan Grand Livina hitam ayah. Ia menungguku
membereskan pekerjaanku sambil makan pancake durianku yang terkenal.
“Kau nanti kekenyangan
dan tidak makan apa-apa kalau makan terus seperti itu,” teriakku pada Anya.
“Oh, kalau itu jangan
khawatir, perutku kan
perut karet!” Anya tertawa.
Bila Anya sedang tidak
menggangguku dengan acaranya yang aneh-aneh, aku biasanya meninggalkan café
pukul sepuluh malam dan datang lagi keesokan paginya pada pukul sembilan pagi,
sejam sebelum café buka, karena cafeku biasanya buka dari jam sepuluh pagi hingga
jam sepuluh malam.
Aku tinggal di sebuah
apartemen, berbeda tempat tinggal dengan orangtuaku, sementara Anya masih
tinggal bersama ayah dan ibu. Aku hanya dua bersaudara dengan Anya.
Tadinya aku punya
sebuah rumah untuk kutempati berdua Cyntia setelah kami menikah, tapi kematian
Cyntia membuat aku memutuskan untuk menjual rumah tersebut dan menggantinya
dengan apartemen karena aku nggak akan sanggup tinggal di rumah itu tanpa
Cyntia.
Rumah yang aku jual itu
adalah rumah pilihan Cyntia. Kami bahkan sempat belanja furniture
bareng. Benar-benar kenangan yang menyesakkan dada.
“Aku tidur juga nih!”
setelah kenyang makan pancake durian dan minum segelas teh tawar hangat,
Anya nampak tiduran di sofa tempat aku biasa menerima tamu-tamuku. Sofa itu
kujuluki sebagai sofa kesayangan Anya.
“Heh, sembarangan!”
teriakku, “sebentar lagi kita pergi, tanggung nih!” aku menatap komputerku,
mengklik safe lalu mengclosing
laporan rugi laba yang sedang kukerjakan.
Aku masih sanggup mengerjakan
semua pekerjaan akuntan ini seorang diri. Mungkin nanti ketika café sudah semakin
besar aku akan mencari karyawan baru untuk mengerjakan apa yang kukerjakan
sekarang.
“Kakak yang nyetir ya,
aku benar-benar ngantuk, aku mau tidur di mobil sebentar.” Anya bangkit ketika
melihat aku meraih tas pinggangku dan memasukkan hapeku ke sana . Aku terbiasa memakai tas pinggang bila
pergi kemana-mana.
“Dasar,” seruku sambil
mematikan lampu ruangan.
~ ~
Deburan ombak yang
memecah bebatuan di pinggir pantai menghadirkan irama yang khas yang biasa
kudengar. Aku dan Cyntia sangat suka pantai. Tiap aku sedang libur kerja, kami
suka menyempatkan diri pergi ke pantai.
Huft, Cyntia lagi. Aku
benar-benar tak bisa melepaskannya dari ingatanku walau sejenak.
“Jangan terlalu lelah
bekerja,” Tante Bella tiba-tiba mengusap tanganku, suatu kebiasaan yang biasa
ia lakukan kalau memberi ketenangan dan kekuatan padaku. “Nanti kamu sakit.”
“Tidak kok Tante, biasa
saja.” Senyumku.
Seperti dugaanku tadi
sebelum berangkat ke restoran sea food ini, Tante Bella pasti membawa
seseorang untuk diperkenalkan padaku, dan aku benar, kali ini Tante Bella
membawa anak bosnya yang bernama Elana or
something.
“Elena cantik ya?”
Tante Bella berusaha memancing reaksiku.
“Yeah, she’s ok.”
Jawabku malas.
Wanita yang dimaksud
Tante Bella itu kini sedang asik memilih ikan dan udang berdua Anya, tidak jauh
dari tempat aku duduk. Ikan dan udang itu nanti kami masak sendiri dengan cara
merebusnya atau membakarnya.
“Elena sangat antusias
loh waktu aku ceritakan bahwa kau punya bisnis café. Ia bilang, ia ingin punya
café sendiri.”
“Oh, baguslah.”
Jawabku, masih dengan nada malas.
“Raya Sayang, kau tidak
bisa terus-terusan…”
“Mengingat Cyntia
gitu?” potongku, “aku berusaha Tante, tapi aku nggak bisa, aku belum
benar-benar bisa melupakannya.”
Terkadang, Tante Bella
bisa menjadi teman curhatku yang
paling dekat dibanding sahabat-sahabatku. Ia juga lebih pengertian dari ibuku,
kakak semata wayangnya, yang ironisnya tidak terlalu dekat denganku.
“Tante mengerti Raya,
Tante kan
tidak memintamu melupakannya, hanya saja, tolong beri kesempatan pada dirimu,
pada hatimu untuk mau menerima orang lain. Bersahabat saja dulu kalau kamu
nggak mau pacaran. Bisa kan ?”
Aku diam, tak tahu
harus menjawab apa. Dan pembicaraan tentang Cyntiapun berakhir di sana karena Anya dan Elena
keburu datang.
Kami berempat lalu asik
menyantap makan malam yang ternyata cukup menggugah seleraku.
“Aku ingin magang di
cafemu, boleh?” tanya Elena sambil tertawa setelah semua makanan tandas di hadapan
kami.
“Maksudmu?” aku heran.
“Aku ingin belajar
memasak. Aku akan membantu kokimu, memotong sayuran atau apalah, pokoknya
membantunya.”
“Tapi pegawaiku sudah full
dan...”
“Aku tidak perlu
dibayar kok.” Potong Elena cepat. “Aku di sana
benar-benar hanya untuk membantu.”
“Tapi…”
“Ayolah Raya, ijinkan
dia.” Tante Bella langsung membujukku. “Dia bilang dia ingin pintar masak. Ia
ingin memasak sendiri makanan untuk dirinya, suaminya dan anak-anaknya kelak.
Dia tidak mau menyewa seorang koki walau ia mampu melakukannya. Bukan begitu sweety?”
“Benar,” Elena
mengangguk cepat, “suatu saat aku akan menikah dan sebelum aku menikah aku
harus menyiapkan diri, diantaranya belajar memasak.”
“Kenapa harus di
cafeku?” tanyaku langsung.
Tante Bella langsung
mengernyitkan kening mendengar kata-kataku barusan.
“Baiklah,” aku langsung
memperbaiki situasi, aku tidak tega membuat Tante Bella kecewa, café itu toh pernah menjadi cafenya juga, “besok datang saja jam sembilan pagi dan
jangan terlambat.”
“Oke,
terimakasih!” Elena berteriak riang.
“Terimakasih Sayang,”
Tante Bella tersenyum padaku yang kubalas dengan anggukan pelan.
~ ~
Sejak kehadiran Elena
di cafeku, tiba-tiba saja suasana jadi berubah. Aku sukar mendeskripsikannya,
tapi kalau boleh aku bilang sih jadi lebih hangat.
Antar satu karyawan
dengan karyawan lain yang biasanya kaku dan ada jarak, tiba-tiba jadi lebih
akrab, dan Elena yang menciptakan kondisi itu. Elena ternyata suka sekali
mengobrol. Ia banyak bertanya tentang ini dan itu pada karyawan-karyawanku;
tentang keluarga mereka, tentang gossip di televisi, tentang makanan kesukaan
mereka, tentang hobi mereka, tentang kehidupan percintaan mereka. Tapi walau
suka ngobrol, ia tak mengganggu pekerjaan mereka. Ia mengajak mereka mengobrol
di waktu-waktu yang memungkinkan untuk mengobrol.
“Kamu tidak ada rencana
menambah menu baru?” Elena bertanya padaku saat mau pulang. Ia biasa pulang jam
lima sore. Aku
tidak bisa mencegahnya pulang lebih lama dari jam lima sore karena aku toh tidak
menggajinya. Aku bisa saja menggajinya, tapi ia pasti tidak mau menerima uang
dariku.
Bercakap-cakap
dengannya di sore hari, kini menjadi suatu kebiasaan yang yeah kalau
boleh jujur kukatakan, sangat menyenangkan. Sebelum pulang ia akan pamit
padaku, tapi sebelum itu ia selalu duduk dulu di sofa kesayangan Anya untuk
membaca koran atau sekedar memainkan hapenya. Dan ujung-ujungnya aku dan dia
jadi asik ngobrol.
“Kamu tidak kepengen
nambah menu baru?” Elena mengulangi pertanyaannya membuat aku terkejut.
“Apa? Menu apa?”
sahutku, “menu di tempat ini cukup komplit kan , ada nasi bakar, nasi goreng, bahkan soto
juga ada.”
“Gimana kalo nambah
makanan Italia?”
“Makanan Italia?”
tanyaku heran, “rasanya sudah terlalu banyak restoran yang menjajakan makanan
seperti pizza atau spaghetti di Jakarta .”
“Jangan pizza atau
spaghetti. Ravioli aja.”
“Ravioli?”
“Iya, pasta yang berisi
berbagai macam sayuran atau daging atau ikan.”
“Ya, aku tahu ravioli,
tapi apakah akan laku di jual di sini?”
“Coba saja. Aku bisa
membuatnya kok. Nanti aku ajarin kokinya untuk membuat ravioli isi udang.
Gimana?”
Aku terdiam sebentar,
tapi rasanya nggak ada salahnya membiarkan Elena berkreasi. Siapa tahu
masakannya benar-benar enak.
“Baiklah, tidak
masalah,” jawabku.
“Makasih,” Elena
tersenyum.
“Sama-sama.”
“Baiklah, aku pulang
sekarang.” Elena lalu bangkit dari tempat duduknya.
“Ya.” Sahutku.
Entah kenapa, aku ingin
sekali bilang padanya agar ia berhati-hati dalam mengemudikan mobilnya, tapi
tak jadi.
“Pacarmu tidak
menjemputmu?” Aku sebenernya tidak berencana menanyakan itu, tapi pertanyaan
itu keluar begitu saja dari bibirku.
“Oh, tidak.” Elena tersenyum
dan berlalu dari hadapanku begitu saja.
~ ~
‘Jaga kesehatan. Jangan
bekerja terlalu keras. Santai saja, hehe’
Kata-kata di atas
adalah pesan singkat dari Elena melalui SMS yang baru saja kuterima. Elena
sudah tidak magang lagi di cafeku. Dan kalau boleh jujur kukatakan, aku merindukan
kehadirannya.
Tapi walau begitu, komunikasi di antara kami tidak
terputus. Aku masih suka SMS-an seperti sekarang dengannya.
Aku tersenyum membaca
SMS darinya. Tak menunggu lama, aku langsung
meneleponnya.
Elena menjawab
panggilan teleponku ketika aku baru saja mau mengurungkan niatku untuk
meneleponnya.
“Hallo,” sahut Elena.
“Hallo juga,” ujarku,
“makasih ya, SMSnya. Itu sangat…”
“Sangat apa?” Elena
tertawa.
“Sangat memotivasi,”
lanjutku.
“Itu cuma kata-kata
biasa kok.”
“Iya sih, tapi jadi
luar biasa kalau kau yang mengatakannya. Kau sangat memperhatikanku, makasih
ya.”
“Iya, kembali kasih.”
“Kenapa sih kau begitu
memperhatikanku?” tanyaku.
“Ehm.. a.. aku..” Elena
diam sejenak, “karena aku sayang kamu.” Lanjutnya.
“Wow, itu sesuatu,” komentarku, antara merasa
senang dan tak percaya, “makasih.”
“Yeah,” Elena bergumam.
“Pacarmu tidak marah kan kalau aku
meneleponmu seperti ini?” tanyaku kemudian, berusaha mencairkan suasana yang
tiba-tiba terasa kaku. Elena dulu pernah bercerita padaku bahwa ia punya pacar
seorang Pilot.
“Aku tidak punya pacar
kok,” Elena tertawa.
“Serius? Tapi dulu kamu
bilang..”
“Aku bohong padamu,”
potong Elena cepat, “dulu aku bilang aku punya pacar biar kamu merasa aman dan
merasa tidak terancam dengan kehadiranku.”
“Maksudmu?”
“Ehm.. Tante Bella
bilang, kamu selalu berhati-hati dan menjaga jarak dengan wanita yang baru kamu
kenal. Aku tidak ingin kamu menjaga jarak denganku, aku ingin dekat denganmu.”
Aku diam, tak tahu
harus berkata apa.
“Karena itulah kenapa
aku berbohong,” Elena melanjutkan kata-katanya. “Aku tak punya pacar, sungguh.”
“Menurutmu aku harus percaya kau tak punya
pacar?” tanyaku akhirnya.
“Terserah mau percaya
atau tidak, tapi kali ini aku tidak bohong.”
“Baiklah, aku percaya.”
“Cool,” seru Elena, “O, ya ngomong-ngomong Anya tadi menelepon, dia
ingin ditemani nonton nanti sore, kau mau ikut?”
“Ehm.. tidak, kurasa
lain kali saja, selamat bersenang-senang ya.”
“Kau sibuk ya?” nada
bicara Elena tiba-tiba berubah, ada nada kecewa dalam kata-katanya.
“Begitulah.” Aku
tertawa, “masalahnya, aku tidak mau nonton bertiga Anya. Aku hanya ingin nonton
berdua denganmu. Jadi lain kali kita nonton berdua saja.”
Aku mengatakan itu sambil
tersenyum lebar. Aku harus move on.
Tekadku dalam hati. Kata-kata Tante
Bella saat memperkenalkan Elena dulu padaku, tiba-tiba terngiang-ngiang lagi di
telingaku.
“Kau harus move on Raya, kau harus mencari
pengganti Cyntia. Ayolah Sayang. Kehidupan kita harus berlanjut, tidak jalan di
tempat.”
Baiklah Tante, bisikku dalam hati. Aku move on sekarang.
No comments:
Post a Comment