Monday, January 8, 2018

Serie Heal a Broken Heart oleh A.Rafianti (serie 1 : Move On)

Kumpulan Cerita Patah Hati  (Fiksi)
Oleh : A. Rafianti

Serie 1 : Move on

I
MOVE ON


RANTING pohon kamboja terdengar mengetuk-ngetuk jendela ruang kerjaku. Aku bekerja di café milikku sendiri.
Aku bangkit dari tempat dudukku sambil mematikan AC karena tak tahan dengan udara yang mulai terasa dingin. Kutinggalkan sejenak bon-bon pembelian dan laporan rugi laba di komputerku. Aku lalu beranjak ke jendela dan membuka jendela lebar-lebar, membiarkan udara segar masuk.
Dengan seketika ketukan ranting di jendelapun berhenti, digantikan suara hujan yang turun dengan deras menerpa ranting, pohon dan halaman café.
Aku memperhatikan pohon kamboja baliku yang sudah semakin tinggi dengan perasaan bersalah.  Seharusnya kemarin aku merawatnya; membuang daun-daunnya yang mulai menguning dan memotong ranting-rantingnya yang mulai menjulur ke arah jendelaku, tapi aku tak sempat melakukannya karena sibuk dengan pekerjaanku.
Kamboja. Bunga itu selalu mengingatkan aku pada satu nama, nama yang setahun lalu sangat akrab mewarnai hidupku, hari-hariku, kesendirianku, nama yang kini harus aku kenang dan aku kubur dalam-dalam, bukan saja di hati dan pikiranku tapi juga di kehidupanku selanjutnya, karena nama itu, Cyntia Ambarwati, sudah almarhumah.
Cyntia Ambarwati adalah seorang wanita cantik yang nyaris jadi isteriku, sebelum kematian merenggutnya dariku.
“Mas Raya, ada yang mau ketemu nih!” suara Dion di balik pintu mengagetkanku.
“Siapa?” tanyaku langsung.
“Beberapa orang musisi, entah siapa, mereka mau mencari pekerjaan di sini.”
Aku akhirnya berjalan ke arah pintu dan membukanya. Dibalik pintu, Dion menatapku sambil nyengir.
“Kamu udah bilang kan kalau lowongannya udah ditutup,” ujarku langsung.
Cafeku minggu kemarin membuka lowongan untuk beberapa musisi karena setiap harinya di cafeku ada live music sehingga aku memerlukan beberapa homeband. Tapi tempat untuk mereka sudah terisi penuh dari hari Senin hingga Minggu, sehingga aku terpaksa menutup lowongan itu.
“Udah, gue udah bilang begitu, tapi mereka ngotot, mereka bilang mereka bersedia dipanggil kalo lagi ada musisi yang sedang berhalangan datang.”
“Ya udah deh, panggil mereka.” Aku akhirnya menyerah.
Dion segera berlalu dari hadapanku.
Sepeninggal Dion aku langsung menghela nafas panjang. Aku memang selalu begitu,  selalu nggak tega kalau ada orang yang mau melamar pekerjaan. Aku selalu menyempatkan diri untuk bertemu dengan mereka walau lowongan di cafeku benar-benar sudah penuh terisi, baik untuk bagian dapur, bagian front desk atau pelayan.
Itulah keseharianku, sibuk dengan waktu yang terus berputar. Saking sibuknya, terkadang aku lupa pada sosok wanita cantik yang bernama Cintya Ambarwati yang sudah kusebutkan tadi.
Cyntia, bagaimanapun berhubungan erat dengan bunga kamboja bali yang kini sedang kupandangi, karena Cyntia suka sekali bunga kamboja.

~ ~

Beberapa kali aku terbangun karena mimpi buruk. Aku lupa mimpi apa saja, tapi, selalu teriakan minta tolong Cyntia yang terngiang-ngiang di telingaku sehingga aku akan langsung membuka mata dan mengucap istigfar berkali-kali.
Dulu, di minggu-minggu awal setelah kematian Cyntia, aku sering tidur gelisah dan terbangun di tengah malam hanya untuk menangis. Aku tak perduli orang berpikiran aku pria cengeng atau apa, kenyataannya saat itu aku memang tak bisa mengatasi rasa kehilangan yang amat sangat.
Banyak sahabat yang menasehatiku untuk ikhlas melepas Cyntia pergi. Aku bilang pada mereka, aku ikhlas, tapi toh, di saat-saat tertentu, aku begitu merindukannya.
“Aku ingin kita berbulan madu ke Bangkok,” Cyntia tersenyum memandangku. Cyntia mengatakan itu saat kami sibuk mempersiapkan pernikahan kami.
Cyntia pernah ke Bangkok dengan sahabat-sahabatnya untuk berlibur di sana, dan sepertinya kota itu sudah menghipnotisnya hingga ia ingin kembali ke sana.
“Tenang Sweatheart,” senyumku pada Cyntia, “bulan madu ke Bangkok sudah masuk agenda kita.”
Tapi tentu saja, baik aku atau Cyntia tidak pernah sampai ke kota itu. Cyntia pergi meninggalkanku beberapa saat sebelum kami melangsungkan pernikahan.
Cyntia mengalami kecelakaan lalu lintas saat ia dan teman-temannya sibuk mencari lokasi pernikahan kami di daerah Puncak. Cyntia ingin menikah dengan konsep Garden Party, dan ia keukeuh ingin menyewa sebuah Villa untuk acara resepsi, menyulap Villa itu menjadi istana yang indah dengan kebunnya yang cantik.
Mobil yang dikendarai Amanda, teman Cyntia, nyaris ditabrak sebuah minibus dari arah yang berlawanan. Minibus itu ingin menyusul truk yang berjalan lambat di depannya dan melaju kencang ke arah mobil yang dikendarai Amanda. Amanda langsung membanting setir ke kiri untuk menghindari tabrakan, tapi mobil malah menabrak pohon. Cyntia yang duduk di samping Amanda, langsung meninggal di tempat kejadian, sementara Amanda luka parah.
Hanya Cyntia yang pergi, Amanda tidak. Sahabat-sahabat Cyntia yang lain; Mira dan Indah yang duduk di kursi belakang juga tidak. Aku, saat itu berteriak pada Tuhan di tengah kesedihanku, kenapa Tuhan memilih Cyntiaku untuk diambil?! Kenapa Cyntia harus pergi di saat kami akan mengikrarkan hubungan kami dalam ikatan perkawinan yang sudah kami nanti-nantikan?!
Aku langsung down dengan kejadian itu. Bahkan untuk bekerjapun aku seperti tidak punya tenaga. Sampai akhirnya aku memutuskan keluar dari pekerjaanku di sebuah perusahaan periklanan untuk menenangkan diri.
Sahabat-sahabatku banyak yang menghibur dan menguatkan aku. Aku bilang pada mereka bahwa aku baik-baik saja, tapi sepertinya mereka tak percaya.
Beberapa bulan aku menganggur dan terkungkung dalam kesedihan sampai akhirnya tanteku, Tante Bella mengajakku membuka usaha café.  Tapi itu sebenarnya akal-akalan Tante Bella saja agar aku ada kegiatan. Buktinya ketika perlahan-lahan café mengalami kemajuan, Tante Bella menjual semua sahamnya padaku sehingga café itu jadi milikku.
Usaha Tante Bella untuk membuat aku ‘sibuk’ ternyata berhasil. Aku hampir tak pernah bisa berhenti bergerak kecuali saat tidur. Semua urusan café aku handle sendiri. Dan perlahan tapi pasti usaha cafeku mengalami kemajuan.
Tapi sayangnya, kecemerlangan usaha cafeku tidak diiringi kecemerlangan kisah cintaku, karena sejak kepergian Cyntia hampir dua tahun lalu, aku nyaris tidak pernah kencan dengan siapapun. Aku takut merasa kehilangan lagi karena merasa kehilangan seseorang yang sangat kau sayangi itu sungguh menyakitkan. Aku takut tidak bisa mengatasi rasa sakit untuk yang kedua atau yang ketiga kalinya.

~ ~

“Hei cantik, lihat kamboja kesukaanmu. Mereka bermekaran dengan indahnya. Kalau kau di sini saat ini, kau pasti akan mengurus pohon kamboja ini juga sepertiku.” Aku berkata dalam hati pada sosok yang tak mungkin kutemui lagi di kehidupan nyataku. Sosok Cyntia.
Aku terkadang seperti itu, mengajak Cyntia bercakap-cakap seolah-olah dia ada di sekitarku. Tapi hanya dalam hati atau dalam pikiranku saja. Aku nggak mau Dion atau karyawanku yang lain kabur kalau melihat aku bercakap-cakap seorang diri, menyangka bahwa aku gila.
Telepon di meja kerjaku tiba-tiba berdering saat aku sedang asik memandangi bunga kambojaku.
Aku segera mengangkatnya, ternyata dari Anya, adikku.
“Hei ganteng, lagi apa?” cerocos Anya langsung. “Pulang kerja nanti, aku jemput ya, kita mau ditraktir oleh Tante Bella di daerah Jakarta Utara sana. Kita akan makan sea-food.
“Dalam rangka apa Tante traktir segala?” tanyaku, karena setahuku Tante Bella ulang tahun bulan Januari, sudah lewat beberapa bulan yang lalu.
“Denger-denger sih, proyek iklannya gol lagi.” Jelas Anya.
Tante Bella bekerja di bidang periklanan, seperti aku dulu. Dan ia biasa menangani klien dengan prospek yang bagus. Dengan kepintarannya, Tante Bella biasanya berhasil menarik minat klien untuk jadi membuat iklan di perusahaan tempat ia bekerja.
“Mau ya kak?” teriak Anya, “pokoknya kakak harus siap-siap, nanti aku jemput.”
“Baiklah, aku tunggu,” jawabku akhirnya dengan perasaan malas.
Entah kenapa, aku curiga kalau Tante Bella akan memperkenalkan aku pada seseorang, entah siapa, karena hal itu yang biasa dilakukan Tante Bella bila mengundangku dinner.
Tante ingin aku jatuh cinta lagi, pacaran lagi, dan tidak terus berkubang dalam kesedihan.
Anya datang menjemputku jam setengah tujuh dengan menggunakan Grand Livina hitam ayah. Ia menungguku membereskan pekerjaanku sambil makan pancake durianku yang terkenal.
“Kau nanti kekenyangan dan tidak makan apa-apa kalau makan terus seperti itu,” teriakku pada Anya.
“Oh, kalau itu jangan khawatir, perutku kan perut karet!” Anya tertawa.
Bila Anya sedang tidak menggangguku dengan acaranya yang aneh-aneh, aku biasanya meninggalkan café pukul sepuluh malam dan datang lagi keesokan paginya pada pukul sembilan pagi, sejam sebelum café buka, karena cafeku biasanya buka dari jam sepuluh pagi hingga jam sepuluh malam.
Aku tinggal di sebuah apartemen, berbeda tempat tinggal dengan orangtuaku, sementara Anya masih tinggal bersama ayah dan ibu. Aku hanya dua bersaudara dengan Anya.
Tadinya aku punya sebuah rumah untuk kutempati berdua Cyntia setelah kami menikah, tapi kematian Cyntia membuat aku memutuskan untuk menjual rumah tersebut dan menggantinya dengan apartemen karena aku nggak akan sanggup tinggal di rumah itu tanpa Cyntia.
Rumah yang aku jual itu adalah rumah pilihan Cyntia. Kami bahkan sempat belanja furniture bareng. Benar-benar kenangan yang menyesakkan dada.
“Aku tidur juga nih!” setelah kenyang makan pancake durian dan minum segelas teh tawar hangat, Anya nampak tiduran di sofa tempat aku biasa menerima tamu-tamuku. Sofa itu kujuluki sebagai sofa kesayangan Anya.
“Heh, sembarangan!” teriakku, “sebentar lagi kita pergi, tanggung nih!” aku menatap komputerku, mengklik safe lalu mengclosing laporan rugi laba yang sedang kukerjakan.
Aku masih sanggup mengerjakan semua pekerjaan akuntan ini seorang diri. Mungkin nanti ketika café sudah semakin besar aku akan mencari karyawan baru untuk mengerjakan apa yang kukerjakan sekarang.
“Kakak yang nyetir ya, aku benar-benar ngantuk, aku mau tidur di mobil sebentar.” Anya bangkit ketika melihat aku meraih tas pinggangku dan memasukkan hapeku ke sana. Aku terbiasa memakai tas pinggang bila pergi kemana-mana.
“Dasar,” seruku sambil mematikan lampu ruangan.

~  ~

Deburan ombak yang memecah bebatuan di pinggir pantai menghadirkan irama yang khas yang biasa kudengar. Aku dan Cyntia sangat suka pantai. Tiap aku sedang libur kerja, kami suka menyempatkan diri pergi ke pantai.
Huft, Cyntia lagi. Aku benar-benar tak bisa melepaskannya dari ingatanku walau sejenak.
“Jangan terlalu lelah bekerja,” Tante Bella tiba-tiba mengusap tanganku, suatu kebiasaan yang biasa ia lakukan kalau memberi ketenangan dan kekuatan padaku. “Nanti kamu sakit.”
“Tidak kok Tante, biasa saja.” Senyumku.
Seperti dugaanku tadi sebelum berangkat ke restoran sea food ini, Tante Bella pasti membawa seseorang untuk diperkenalkan padaku, dan aku benar, kali ini Tante Bella membawa anak bosnya yang bernama Elana or something.
“Elena cantik ya?” Tante Bella berusaha memancing reaksiku.
Yeah, she’s ok.” Jawabku malas.
Wanita yang dimaksud Tante Bella itu kini sedang asik memilih ikan dan udang berdua Anya, tidak jauh dari tempat aku duduk. Ikan dan udang itu nanti kami masak sendiri dengan cara merebusnya atau membakarnya.
“Elena sangat antusias loh waktu aku ceritakan bahwa kau punya bisnis café. Ia bilang, ia ingin punya café sendiri.”
“Oh, baguslah.” Jawabku, masih dengan nada malas.
“Raya Sayang, kau tidak bisa terus-terusan…”
“Mengingat Cyntia gitu?” potongku, “aku berusaha Tante, tapi aku nggak bisa, aku belum benar-benar bisa melupakannya.”
Terkadang, Tante Bella bisa menjadi teman curhatku yang paling dekat dibanding sahabat-sahabatku. Ia juga lebih pengertian dari ibuku, kakak semata wayangnya, yang ironisnya tidak terlalu dekat denganku.
“Tante mengerti Raya, Tante kan tidak memintamu melupakannya, hanya saja, tolong beri kesempatan pada dirimu, pada hatimu untuk mau menerima orang lain. Bersahabat saja dulu kalau kamu nggak mau pacaran. Bisa kan?”
Aku diam, tak tahu harus menjawab apa. Dan pembicaraan tentang Cyntiapun berakhir di sana karena Anya dan Elena keburu datang.
Kami berempat lalu asik menyantap makan malam yang ternyata cukup menggugah seleraku.
“Aku ingin magang di cafemu, boleh?” tanya Elena sambil tertawa setelah semua makanan tandas di hadapan kami.
“Maksudmu?” aku heran.
“Aku ingin belajar memasak. Aku akan membantu kokimu, memotong sayuran atau apalah, pokoknya membantunya.”
“Tapi pegawaiku sudah full dan...”
“Aku tidak perlu dibayar kok.” Potong Elena cepat. “Aku di sana benar-benar hanya untuk membantu.”
“Tapi…”
“Ayolah Raya, ijinkan dia.” Tante Bella langsung membujukku. “Dia bilang dia ingin pintar masak. Ia ingin memasak sendiri makanan untuk dirinya, suaminya dan anak-anaknya kelak. Dia tidak mau menyewa seorang koki walau ia mampu melakukannya. Bukan begitu sweety?”
“Benar,” Elena mengangguk cepat, “suatu saat aku akan menikah dan sebelum aku menikah aku harus menyiapkan diri, diantaranya belajar memasak.”
“Kenapa harus di cafeku?” tanyaku langsung.
Tante Bella langsung mengernyitkan kening mendengar kata-kataku barusan.
“Baiklah,” aku langsung memperbaiki situasi, aku tidak tega membuat Tante Bella kecewa, café itu toh pernah menjadi cafenya juga,  “besok datang saja jam sembilan pagi dan jangan terlambat.”
“Oke, terimakasih!”  Elena berteriak riang.
“Terimakasih Sayang,” Tante Bella tersenyum padaku yang kubalas dengan anggukan pelan.

~  ~

Sejak kehadiran Elena di cafeku, tiba-tiba saja suasana jadi berubah. Aku sukar mendeskripsikannya, tapi kalau boleh aku bilang sih jadi lebih hangat.
Antar satu karyawan dengan karyawan lain yang biasanya kaku dan ada jarak, tiba-tiba jadi lebih akrab, dan Elena yang menciptakan kondisi itu. Elena ternyata suka sekali mengobrol. Ia banyak bertanya tentang ini dan itu pada karyawan-karyawanku; tentang keluarga mereka, tentang gossip di televisi, tentang makanan kesukaan mereka, tentang hobi mereka, tentang kehidupan percintaan mereka. Tapi walau suka ngobrol, ia tak mengganggu pekerjaan mereka. Ia mengajak mereka mengobrol di waktu-waktu yang memungkinkan untuk mengobrol.
“Kamu tidak ada rencana menambah menu baru?” Elena bertanya padaku saat mau pulang. Ia biasa pulang jam lima sore. Aku tidak bisa mencegahnya pulang lebih lama dari jam lima sore karena aku toh tidak menggajinya. Aku bisa saja menggajinya, tapi ia pasti tidak mau menerima uang dariku.   
Bercakap-cakap dengannya di sore hari, kini menjadi suatu kebiasaan yang yeah kalau boleh jujur kukatakan, sangat menyenangkan. Sebelum pulang ia akan pamit padaku, tapi sebelum itu ia selalu duduk dulu di sofa kesayangan Anya untuk membaca koran atau sekedar memainkan hapenya. Dan ujung-ujungnya aku dan dia jadi asik ngobrol.
“Kamu tidak kepengen nambah menu baru?” Elena mengulangi pertanyaannya membuat aku terkejut.
“Apa? Menu apa?” sahutku, “menu di tempat ini cukup komplit kan, ada nasi bakar, nasi goreng, bahkan soto juga ada.”
“Gimana kalo nambah makanan Italia?”
“Makanan Italia?” tanyaku heran, “rasanya sudah terlalu banyak restoran yang menjajakan makanan seperti pizza atau spaghetti di Jakarta.”
“Jangan pizza atau spaghetti. Ravioli aja.”
“Ravioli?”
“Iya, pasta yang berisi berbagai macam sayuran atau daging atau ikan.”
“Ya, aku tahu ravioli, tapi apakah akan laku di jual di sini?”
“Coba saja. Aku bisa membuatnya kok. Nanti aku ajarin kokinya untuk membuat ravioli isi udang. Gimana?”
Aku terdiam sebentar, tapi rasanya nggak ada salahnya membiarkan Elena berkreasi. Siapa tahu masakannya benar-benar enak.
“Baiklah, tidak masalah,” jawabku.
“Makasih,” Elena tersenyum.
“Sama-sama.”
“Baiklah, aku pulang sekarang.” Elena lalu bangkit dari tempat duduknya.
“Ya.” Sahutku.
Entah kenapa, aku ingin sekali bilang padanya agar ia berhati-hati dalam mengemudikan mobilnya, tapi tak jadi.
“Pacarmu tidak menjemputmu?” Aku sebenernya tidak berencana menanyakan itu, tapi pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibirku.
“Oh, tidak.” Elena tersenyum dan berlalu dari hadapanku begitu saja.

~ ~

‘Jaga kesehatan. Jangan bekerja terlalu keras. Santai saja, hehe’
Kata-kata di atas adalah pesan singkat dari Elena melalui SMS yang baru saja kuterima. Elena sudah tidak magang lagi di cafeku. Dan kalau boleh jujur kukatakan, aku merindukan kehadirannya.
Tapi  walau begitu, komunikasi di antara kami tidak terputus. Aku masih suka SMS-an seperti sekarang dengannya.
Aku tersenyum membaca SMS darinya. Tak menunggu lama, aku langsung  meneleponnya.
Elena menjawab panggilan teleponku ketika aku baru saja mau mengurungkan niatku untuk meneleponnya.
“Hallo,” sahut Elena.
“Hallo juga,” ujarku, “makasih ya, SMSnya. Itu sangat…”
“Sangat apa?” Elena tertawa.
“Sangat memotivasi,” lanjutku.
“Itu cuma kata-kata biasa kok.”
“Iya sih, tapi jadi luar biasa kalau kau yang mengatakannya. Kau sangat memperhatikanku, makasih ya.”
“Iya, kembali kasih.”
“Kenapa sih kau begitu memperhatikanku?” tanyaku.
“Ehm.. a.. aku..” Elena diam sejenak, “karena aku sayang kamu.” Lanjutnya.
 “Wow, itu sesuatu,” komentarku, antara merasa senang dan tak percaya, “makasih.”
“Yeah,” Elena bergumam.
“Pacarmu tidak marah kan kalau aku meneleponmu seperti ini?” tanyaku kemudian, berusaha mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa kaku. Elena dulu pernah bercerita padaku bahwa ia punya pacar seorang Pilot.
“Aku tidak punya pacar kok,” Elena tertawa.
“Serius? Tapi dulu kamu bilang..”
“Aku bohong padamu,” potong Elena cepat, “dulu aku bilang aku punya pacar biar kamu merasa aman dan merasa tidak terancam dengan kehadiranku.”
“Maksudmu?”
“Ehm.. Tante Bella bilang, kamu selalu berhati-hati dan menjaga jarak dengan wanita yang baru kamu kenal. Aku tidak ingin kamu menjaga jarak denganku, aku ingin dekat denganmu.”
Aku diam, tak tahu harus berkata apa.
“Karena itulah kenapa aku berbohong,” Elena melanjutkan kata-katanya. “Aku tak punya pacar, sungguh.”
 “Menurutmu aku harus percaya kau tak punya pacar?”  tanyaku akhirnya.
“Terserah mau percaya atau tidak, tapi kali ini aku tidak bohong.
 “Baiklah, aku percaya.”
Cool,” seru Elena, “O, ya ngomong-ngomong Anya tadi menelepon, dia ingin ditemani nonton nanti sore, kau mau ikut?”
“Ehm.. tidak, kurasa lain kali saja, selamat bersenang-senang ya.”
“Kau sibuk ya?” nada bicara Elena tiba-tiba berubah, ada nada kecewa dalam kata-katanya.
“Begitulah.” Aku tertawa, “masalahnya, aku tidak mau nonton bertiga Anya. Aku hanya ingin nonton berdua denganmu. Jadi lain kali kita nonton berdua saja.”
Aku mengatakan itu sambil tersenyum lebar. Aku harus move on. Tekadku dalam hati.  Kata-kata Tante Bella saat memperkenalkan Elena dulu padaku, tiba-tiba terngiang-ngiang lagi di telingaku.
“Kau harus move on Raya, kau harus mencari pengganti Cyntia. Ayolah Sayang. Kehidupan kita harus berlanjut, tidak jalan di tempat.”



Baiklah Tante, bisikku dalam hati. Aku move on sekarang.

No comments:

Post a Comment