Wednesday, January 10, 2018

Serie Heal A Broken Heart (Serie 3 : Goodbye Bad Memory)


Kumpulan Cerita Patah Hati
Oleh. A. Rafianti

Serie 3 : Goodbye Bad Memory


III
GOODBYE BAD MEMORY


BIASANYA aku tak suka hari Selasa karena di hari Selasa aku seringkali mengalami kesialan. Aku tak tahu apakah ada yang namanya hari baik atau hari buruk, tapi kakekku pernah bilang bahwa semua hari sama baiknya.
Pendapat kakek mungkin benar, tapi pada kenyataannya, beberapa kejadian buruk menimpaku tepat pada hari Selasa.
Aku mendapat pengumuman tidak diterima di universitas pilihanku di kota Malang pas hari Selasa.  Kucing kesayanganku, si Oki, mati pada hari selasa, lalu hape favoritku dicopet orang di tengah keramaian saat aku belanja (saat asik memilih baju) pada hari Selasa.
Tapi hari Selasa ini akan aku percayai sebagai hari baikku karena hari ini aku berulang-tahun, dan pacarku, Dio, berjanji akan mengajakku makan berdua saja malam nanti.
Aku girang bisa makan berdua Dio karena waktu kebersamaan kami sangat kurang.
Aku dan Dio sama-sama kuliah malam. Jadi sepulang kerja, kami langsung pergi ke kampus masing-masing sehingga jarang menghabiskan waktu bersama.
Sebenarnya aku dan Dio bekerja di tempat yang sama, yaitu di bengkel ayahku, tapi itu pun tidak membantu frekwensi pertemuan kami karena kami disibuki oleh pekerjaan masing-masing.
Paling pada saat weekend saja kami bertemu, itu juga kalau Dio sedang tidak ada acara dengan teman-teman kampusnya.
Tapi malam ini, Dio mau mengorbankan jam kuliahnya untuk menghabiskan waktu denganku. Dia rela bolos kuliah demi aku. Jadi nggak usah heran kalau aku sangat menunggu malam nanti dengan perasaan tak sabar.
Aku tidak berharap candle light dinner yang romantis bersama Dio, atau makan malam di restoran terkenal. Hanya berdua Dio saja, entah dimana, aku akan senang sekali.
Dio adalah sosok yang aku puja selama ini. Aku sangat menyayanginya. Bukan hanya sekarang, tapi dari dulu. Bisa dikatakan Dio adalah cinta pertamaku.
Aku mengenal Dio saat kelas satu SMU. Dio bekerja di bengkel Ayah. Ayahku punya usaha bengkel yang cukup besar. Ayah punya karyawan lumayan banyak, salah satunya Dio.
Bengkel ayah terletak tidak jauh dari sekolahku, jadi tiap pulang sekolah aku selalu mampir ke tempat ayah. Ayah yang memintaku begitu, karena kami berdua akan pulang bareng ke rumah untuk makan siang. Setelah makan siang, ayah biasanya akan kembali ke bengkel untuk bekerja.
Aku anak tunggal, sejak kecil ayah dan ibu selalu membiasakan diri agar kami bertiga makan bersama.
Saat makan bersama itulah kami biasanya sering bercerita tentang segala hal; tentang karyawan-karyawan ayah, tentang teman-teman ibu yang punya hobi bergosip, tentang teman-teman sekolahku, tentang guruku, dan lain-lain.
Kebiasaan itu terus berlanjut, setidaknya sampai beberapa bulan yang lalu saat saudara sepupuku yang bernama Amy datang dan tinggal di rumah kami karena Amy diterima kuliah di  universitas Brawijaya, universitas yang notabene menjadi universitas impianku.
Ayah yang menawarkan Amy tinggal di rumah, karena menurut ayah biar irit, tidak usah kos.
Di Malang keluarga ayah adalah satu-satunya keluarga yang dikenal Amy, sementara seluruh keluarga Amy tinggal di Bengkulu. Ayah adalah kakak dari Mamanya Amy.
Sejak kehadiran Amy, suasana makan bersama jadi terasa kurang menyenangkan karena Amy sering mendominasi pembicaraan. Sepertinya semua orang harus mendengarkan ceritanya dan aku tak pernah punya kesempatan untuk bercerita tentang apapun lagi.
Aku benar-benar merasa tak nyaman dengan kehadiran Amy di rumah, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku harus mau berbagi segalanya, termasuk berbagi kamar dengannya.
Tapi lupakan Amy, sekarang lebih baik kembali ke Dio, karena segala sesuatu yang berkenaan dengan Dio selalu membuatku bersemangat.
Selain bekerja di bengkel ayah, Dio juga kuliah. Itulah salah satu hal yang membuat aku kagum padanya. Aku lalu punya tekad yang sama dengannya, yaitu kuliah sambil bekerja.
Maka saat aku tidak diterima di universitas Brawijaya, aku langsung mendaftarkan diri di universitas swasta dan memilih jam kuliah sore hingga malam hari. Aku lalu minta pada ayah agar memperbolehkan aku bekerja di bengkel ayah.
Ayah setuju dan akupun ditempatkan di bagian administrasi. Dan dari sanalah aku dan Dio jadi semakin dekat.        
Dio tidak pernah menyatakan perasaan cintanya padaku. Tapi orang-orang menganggap kami pacaran. Akupun menganggapnya begitu.
Hari ini, aku menjalani tiap detik dengan perasaan tak sabar karena nanti malam akan bertemu Dio. Dio sedang tidak masuk kerja karena sedang ada suatu keperluan, entah keperluan apa, dia tak cerita.
Beberapa kali aku mengecek  jam hanya untuk memastikan bahwa waktu benar-benar berputar dan tidak berhenti berputar. Mungkin aku terlalu lebay, tapi aku tak sabar untuk segera pulang, mandi dan berdandan cantik untuk Dio.
Aku akhirnya menarik napas lega ketika jam sudah menunjukkan pukul lima sore, pertanda aku boleh pulang. Walau aku bekerja di bengkel ayah, tapi aku menuntut digaji seperti karyawan lain sehingga akupun harus bertanggung jawab dengan jam kerjaku, yaitu masuk dan pulang kerja tepat waktu.

~ ~

Aku sudah selesai berdandan ketika Dio tiba-tiba meneleponku dan mengatakan tidak bisa menjemputku. Ia berjanji akan menemuiku di sebuah restoran Jepang. Aku akhirnya pergi dengan menggunakan taksi menuju restoran yang sudah dipilih Dio.
Ketika aku sampai di tempat itu, Dio ternyata sudah menungguku, tapi Dio menungguku bersama seorang wanita yang sudah kukenal. Wanita itu adalah Amy, saudara sepupuku. Dengan seketika kemarahan menyergap diriku, mau apa juga Amy di sini?
“Apa yang kau lakukan di sini?” teriakku marah pada Amy.
“Sabar dulu Diana,” ujar Dio cepat, “duduklah dulu, aku akan menjelaskan sesuatu.”
“Kupikir kau tidak perlu menjelaskan apapun,” ujar Amy pada Dio. Amy lalu menatapku tajam, seolah tak perduli dengan kemarahanku. “Lupakan makan malam romantis dengannya Diana, aku dan Dio akan menikah dalam waktu dekat. Aku sedang mengandung bayinya.”

~ ~

Cinta ternyata bisa sangat kejam menimpa seseorang, dan pada hari Selasa sial itu, cinta sedang kejam padaku, karena aku dicampakkan oleh seseorang yang aku percayai sebagai orang yang baik dan sayang padaku, seseorang yang selama ini aku kagumi, seseorang dimana aku menaruh harapan tentang masa depanku, tentang mimpiku.
Pria itu (aku kini malas menyebut namanya) ternyata tega mengkhianatiku sedemikian kejam. Aku terus bertanya dalam hati, apa salahku padanya, hingga ia tega menyakitiku seperti ini. Apa salahku pada Amy, sehingga Amy tega mengkhianati kepercayaan dan kebaikan yang sudah diberikan keluargaku padanya?
Aku kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan perasaanku sekarang, saking kagetnya dengan apa yang terjadi. Aku kini, hanya tak mau melihat mereka lagi dalam hidupku. Bagiku mereka tak pernah ada. Apa yang terjadi padaku hanya mimpi buruk.
Ayah sudah memecat pria itu dari pekerjaannya, dan Amypun sudah tidak tinggal di rumah lagi, tapi itu tidak menolongku terbangun dari mimpi burukku. Kuliahku kini jadi terbengkalai, sementara keinginan untuk bekerja tiba-tiba menguap entah kemana.
Ayah dan ibu sangat prihatin dengan keadaanku, tapi mereka tak bisa berbuat banyak, sampai akhirnya, Tante Yeni, adik Ibu yang tinggal di Jakarta datang ke rumah, dan membujukku untuk ikut dengannya ke Jakarta.
“Suasana baru mungkin akan sedikit membuat suasana hatimu berubah,” senyum Tante Yeni sambil membereskan baju-bajuku ke dalam koper.
Aku diam saja. Aku tidak menolak ajakan Tante Yeni untuk pergi ke Jakarta, tapi setuju juga tidak. Aku benar-benar malas melakukan apapun.
“Tante punya usaha penitipan bayi di Jakarta. Mereka semua lucu dan menggemaskan. Mereka akan membuatmu lupa pada kesedihanmu,” senyum Tante Yeni tambah lebar, “kau akan banyak tertawa melihat mereka semua, percayalah.”
Aku membalas senyum Tante Yeni malas, mudah-mudahan Tante, ujarku dalam hati. Mudah-mudahan aku bisa terhibur oleh mereka dan bangkit dari keterpurukkanku.

~ ~

Tangisan Adelia menyambutku saat aku baru memasuki ruang tempat bermain bayi. Aku lalu mengangkat Adelia untuk menghentikan tangisnya, dan belum sempat aku membujuknya, Adelia pun langsung berhenti menangis.
Adelia adalah salah satu bayi yang sering dititipkan di tempat penitipan bayi milik Tante Yeni. Umurnya baru empat bulan. Ia adalah salah satu bayi yang cukup akrab denganku selain Natasya dan Aldo, dua bayi lucu lainnya.
Orangtua para bayi itu rata-rata adalah orangtua yang sibuk bekerja dan mereka mempercayai Tante Yeni untuk mengurus bayi mereka selama mereka bekerja.
Usaha Tempat Penitipan Anak (TPA) milik Tante Yeni sudah dirintis selama tiga tahun. Tadinya Tante Yeni tidak berniat mendirikan usaha apapun, hanya saja sejak anak-anaknya sudah besar, dan Tante Yeni tidak punya banyak kegiatan, ia mau dititipi anak tetangganya yang masih balita.
Dari satu dua orang yang nitip, akhirnya jadi banyak yang nitip hingga Tante Yeni memutuskan mendirikan usaha TPA dengan benar.
Dengan benar yang dimaksud di sini adalah Tante Yeni mulai menjalankan usaha TPA itu dengan serius. Tante langsung merombak beberapa ruangan di rumahnya menjadi tempat tidur bayi, tempat bermain bayi, dan lain-lain.
Ia juga merekrut para perawat bayi yang sudah berpengalaman. Menyulap ruangan para bayi  dengan motif yang lucu dan ceria. Bahkan Tante sengaja ikut seminar  tentang usaha TPA agar bisa mengikuti peraturan yang ditetapkan.
Beberapa peraturan tentang pendirian TPA yang pernah dikatakan Tante Yeni padaku diantaranya adalah tempat yang kondusif, yang nyaman untuk para bayi atau balita, lalu memiliki pengetahuan dasar tentang mengasuh anak, lalu sarana operasional yang mendukung, seperti alat atau perlengkapan tidur bayi, para perawat/pengasuh anak yang sudah disiapkan, dan lain-lain.
Tanpa diduga, usaha TPA yang dirintis Tante Yeni ternyata mengalami kemajuan. Aku, yang tadinya hanya berniat main di tempat Tante Yeni, akhirnya tertarik  untuk  ikut mengasuh.
“Sayang ya, bayi manis dan lucu ini harus terpisah dari ibunya sejak kecil,” Sekar tiba-tiba mengagetkan aku saat aku asik menggendong Adelia. Sekar adalah salah satu karyawan Tante Yeni.
“Maksudmu apa?” tanyaku, “bukankah ibunya yang suka datang menitipkan Adelia?”
“Bukan,” Sekar langsung tertawa, “yang suka menjemput Adel itu tantenya, ibu Adelia tidak pernah mengurusi Adelia sejak bayi karena ia sudah bercerai dengan ayah Adelia. Ayah Adelialah yang merawat dan mengasuh Adelia selama ini.”
“Kok bisa begitu sih?” tanyaku heran, “ibu Adelia tidak merasa kangen apa sama anak lucu ini.”
“Entahlah,” Sekar mengangkat bahu. Dengar-dengar sih, pernikahan ayah dan ibu Adelia terjadi karena ibu Adelia hamil duluan, padahal dia belum siap jadi ibu.”
“Berarti ibu Adelia menolak anaknya sendiri?” tanyaku heran.
“Ya semacam itu.”
“Oh,” Aku lalu memeluk Adelia dengan perasaan sayang, merasa begitu sedih dan prihatin karena bayi seusia Adelia diabaikan oleh ibu kandungnya sendiri.

~ ~

Tiga bulan berlalu sejak aku tinggal di rumah Tante Yeni, aku jadi tambah akrab dengan bayi-bayi lucu itu.
Tante Yeni benar, mereka ternyata bisa mengalihkanku dari rasa sedihku. Mereka membuatku sibuk. Dan aku suka dengan kesibukanku yang baru. Tak jarang aku jadi sering ngerumpi dengan para orangtua bayi itu, terutama para ibunya. Bidang pekerjaan para ibu itu beragam. Ada pengacara, dokter dan lainnya.
“Aku ingin anakku tumbuh menjadi anak yang tidak minderan,” ujar Ibu Lela yang bekerja sebagai seorang pengacara. “Itulah kenapa aku menitipkan Andini di sini.”
“Maksud ibu, karena di sini Andini punya banyak teman?” tanyaku.
“Iya. Aku pernah membaca buku tentang psikologi anak, bahwa anak sebaiknya diperkenalkan pada lingkungan sekitarnya sejak ia kecil, agar ia familiar dengan lingkungannya itu, terbiasa berinteraksi dengan teman-teman sebayanya. Tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, pemberani dan bukan menjadi seseorang yang pemalu.”
Keluhan lain datang dari ibu lainnya.
“Aku tidak percaya baby sitter yang dulu pernah kusewa. Ia gampang marah gitu. Anak menangis bukannya dibujuk, malah diomelin. Aku kan membayar dia bukan buat mengomeli anakku.”
Aku tertawa, “jadi ibu memutuskan menitipkan Nando di sini?”
“Iya. Aku kenal tantemu sudah cukup lama, aku percaya padanya.”
“Terimakasih sudah mempercayai kami,” ujarku sambil tersenyum.
“Sama-sama,” ibu Nando membalas senyumku, “o ya Diana, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu.”
“Apa?”
“Kau dapat salam dari Papa Adelia. Aku kemarin bertemu dengannya saat aku belanja sayur di depan rumah. Rumah kami bersebelahan. Dia tahu tentang penitipan anak ini juga dariku. Dia bilang, ‘Bu Nando tolong sampaikan salam saya buat Diana.”
Aku langsung tertawa mendengar kata-kata ibu Nando.
“Kok malah tertawa, salam balik nggak?”
Kakek bilang, kita sebaiknya menjalin tali silaturahmi yang baik dengan banyak orang, ujarku dalam hati.
Dan rasanya tidak ada salahnya kalau aku menjalin tali silaturahmi yang baik dengan papanya Adelia.
“Baiklah, sampaikan juga salamku padanya. Salam kenal saja, karena aku dan dia kan belum pernah bertemu.”
“Sip, nanti aku sampaikan, sekalian nanti aku ajak dia ke sini untuk bertemu denganmu dan berkenalan secara langsung dengannya.”

~ ~

“Tiup lilinnya Sayang, ya seperti itu.” Aryo, papa Adelia tertawa dan langsung memeluk Adelia ketika Adelia berhasil meniup lilin yang berbentuk angka satu yang terletak di sebuah kue tart besar yang didominasi warna pink dan putih. Hiasan boneka Barbie yang cukup besar berada di atas tart itu.
Hari ini, Adelia ulang tahun yang pertama, dan aku serta Tante Yeni turut diundang ke ulang tahun Adelia yang pertama.
Setelah mendapat pelukan dan ciuman dari papanya, Adeliapun kini mendapat pelukan dan ciuman dari mamanya. Mama Adelia sengaja datang ke ulang tahun Adelia, dan dia menangis melihat Adelia yang sudah berumur satu tahun.
“Kau tidak cemburu pada Mama Adelia?” Ibu Nando tiba-tiba berbisik di telingaku. Usaha ibu Nando untuk mencomblangi aku dan papa Adelia berhasil, aku dan papa Adelia pacaran sekarang.
Aku memutuskan untuk melanjutkan hidupku, mencoba melupakan kenangan buruk yang pernah menimpaku; say goodbye to bad memory dan mulai membuka hatiku untuk cinta yang baru.
“Tidak,” tawaku, “buat apa cemburu?”
“Dia sepertinya berusaha menarik perhatian mantan suaminya lagi. Kau lihat, matanya tak pernah lepas memperhatikan Papa Adel.”
“Sudahlah Bu, jangan mengada-ngada.”
“Aku tidak mengada-ada.”
“Baiklah, mungkin ibu benar, tapi itu tidak berpengaruh apa-apa padaku, sungguh.” Aku tersenyum selebar mungkin pada ibu Nando, berusaha menyakinan dia bahwa aku baik-baik saja, padahal, perasaanku mulai merasa tak nyaman. Dan perasaan tak nyaman seperti ini berarti satu hal, bahwa aku cemburu. Baguslah, seruku dalam hati. Cemburu kan tanda cinta.
Setelah obrolanku dengan ibu Nando selesai, aku akhirnya disibukkan oleh acara ulang tahun Adelia; membagi-bagikan kue tart pada tamu-tamu kecil Adelia, mengajak mereka bernyanyi, dan hal-hal lainnya, hingga akhirnya membagikan bingkisan yang sudah disiapkan pada tamu-tamu kecil itu ketika mereka pulang.
“Terimakasih untuk bantuannya ya,” Aryo mengantarku sampai pintu pagar, ia tidak bisa mengantarku pulang, karena ada banyak tamu yang harus ia temui. “Terimakasih sudah mau direpotkan oleh aku dan Adel.”
“Tidak repot kok,” aku tertawa, “aku senang bisa membantu.”
“Sungguh tidak repot?”
“Tidak.”
“Bagus, kalau begitu tidak ada alasan lagi bagimu untuk tinggal bersama aku dan Adel di rumah ini. Maukah kau jadi isteriku?”

~ ~

“Kenapa sih senyum-senyum terus?” Tante Yeni memperhatikan wajahku yang sumringah saat aku masuk ke mobilnya dan duduk di sampingnya.
“Nggak ada apa-apa kok Tante.” Jawabku.
“Ya, tentu saja, untuk wajah secerah itu, pasti tidak ada sesuatu yang istimewa.”
“Aku dilamar Aryo!” Akhirnya aku berteriak tak sabar.
“Ya Tuhan, ini mengejutkan sekali!” Tante Yeni tertawa dan langsung memelukku. “Selamat ya Sayang. Aku bahagia mendengarnya.”
“Terimakasih Tante.”
“Kembali kasih.” Tante Yeni tersenyum lebar menatapku, “Tante senang mendengar berita ini sungguh. Moga-moga proses pernikahan nanti berjalan lancar.”
“Amin.”
“Ehm Sayang, apa kau masih percaya kalau hari Selasa adalah hari sialmu?” tanya Tante Yeni tiba-tiba.
“Memang kenapa?”
“Sekarang hari Selasa, dan kau dilamar pacarmu pada hari Selasa.”
Aku langsung nyengir, lupa kalau dulu pernah curhat pada Tante Yeni bahwa aku tak suka hari Selasa, “semua hari sama baiknya kok Tante, itu yang dibilang kakek padaku.”

~ ~

No comments:

Post a Comment