Kumpulan Cerita Patah Hati
Oleh. A. Rafianti
Serie 3 : Goodbye Bad Memory
III
GOODBYE BAD MEMORY
BIASANYA aku tak suka hari Selasa
karena di hari Selasa aku seringkali mengalami kesialan. Aku tak tahu apakah
ada yang namanya hari baik atau hari buruk, tapi kakekku pernah bilang bahwa
semua hari sama baiknya.
Pendapat kakek mungkin
benar, tapi pada kenyataannya, beberapa kejadian buruk menimpaku tepat pada
hari Selasa.
Aku mendapat pengumuman
tidak diterima di universitas pilihanku di kota Malang pas hari Selasa. Kucing kesayanganku, si Oki, mati pada hari
selasa, lalu hape favoritku dicopet orang di tengah keramaian saat aku belanja
(saat asik memilih baju) pada hari Selasa.
Tapi hari Selasa ini
akan aku percayai sebagai hari baikku karena hari ini aku berulang-tahun, dan
pacarku, Dio, berjanji akan mengajakku makan berdua saja malam nanti.
Aku girang bisa makan
berdua Dio karena waktu kebersamaan kami sangat kurang.
Aku dan Dio sama-sama
kuliah malam. Jadi sepulang kerja, kami langsung pergi ke kampus masing-masing
sehingga jarang menghabiskan waktu bersama.
Sebenarnya aku dan Dio bekerja
di tempat yang sama, yaitu di bengkel ayahku, tapi itu pun tidak membantu
frekwensi pertemuan kami karena kami disibuki oleh pekerjaan masing-masing.
Paling pada saat weekend
saja kami bertemu, itu juga kalau Dio sedang tidak ada acara dengan teman-teman
kampusnya.
Tapi malam ini, Dio mau
mengorbankan jam kuliahnya untuk menghabiskan waktu denganku. Dia rela bolos
kuliah demi aku. Jadi nggak usah heran kalau aku sangat menunggu malam nanti
dengan perasaan tak sabar.
Aku tidak berharap candle
light dinner yang romantis bersama Dio, atau makan malam di restoran
terkenal. Hanya berdua Dio saja, entah dimana, aku akan senang sekali.
Dio adalah sosok yang
aku puja selama ini. Aku sangat menyayanginya. Bukan hanya sekarang, tapi dari
dulu. Bisa dikatakan Dio adalah cinta pertamaku.
Aku mengenal Dio saat
kelas satu SMU. Dio bekerja di bengkel Ayah. Ayahku punya usaha bengkel yang
cukup besar. Ayah punya karyawan lumayan banyak, salah satunya Dio.
Bengkel ayah terletak
tidak jauh dari sekolahku, jadi tiap pulang sekolah aku selalu mampir ke tempat
ayah. Ayah yang memintaku begitu, karena kami berdua akan pulang bareng ke
rumah untuk makan siang. Setelah makan siang, ayah biasanya akan kembali ke
bengkel untuk bekerja.
Aku anak tunggal, sejak
kecil ayah dan ibu selalu membiasakan diri agar kami bertiga makan bersama.
Saat makan bersama
itulah kami biasanya sering bercerita tentang segala hal; tentang
karyawan-karyawan ayah, tentang teman-teman ibu yang punya hobi bergosip,
tentang teman-teman sekolahku, tentang guruku, dan lain-lain.
Kebiasaan itu terus
berlanjut, setidaknya sampai beberapa bulan yang lalu saat saudara sepupuku
yang bernama Amy datang dan tinggal di rumah kami karena Amy diterima kuliah
di universitas Brawijaya, universitas
yang notabene menjadi universitas impianku.
Ayah yang menawarkan
Amy tinggal di rumah, karena menurut ayah biar irit, tidak usah kos.
Di Malang keluarga ayah
adalah satu-satunya keluarga yang dikenal Amy, sementara seluruh keluarga Amy
tinggal di Bengkulu. Ayah adalah kakak dari Mamanya Amy.
Sejak kehadiran Amy,
suasana makan bersama jadi terasa kurang menyenangkan karena Amy sering
mendominasi pembicaraan. Sepertinya semua orang harus mendengarkan ceritanya
dan aku tak pernah punya kesempatan untuk bercerita tentang apapun lagi.
Aku benar-benar merasa
tak nyaman dengan kehadiran Amy di rumah, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
Aku harus mau berbagi segalanya, termasuk berbagi kamar dengannya.
Tapi lupakan Amy,
sekarang lebih baik kembali ke Dio, karena segala sesuatu yang berkenaan dengan
Dio selalu membuatku bersemangat.
Selain bekerja di
bengkel ayah, Dio juga kuliah. Itulah salah satu hal yang membuat aku kagum
padanya. Aku lalu punya tekad yang sama dengannya, yaitu kuliah sambil bekerja.
Maka saat aku tidak
diterima di universitas Brawijaya, aku langsung mendaftarkan diri di
universitas swasta dan memilih jam kuliah sore hingga malam hari. Aku lalu
minta pada ayah agar memperbolehkan aku bekerja di bengkel ayah.
Ayah setuju dan akupun
ditempatkan di bagian administrasi. Dan dari sanalah aku dan Dio jadi semakin
dekat.
Dio tidak pernah
menyatakan perasaan cintanya padaku. Tapi orang-orang menganggap kami pacaran.
Akupun menganggapnya begitu.
Hari ini, aku menjalani
tiap detik dengan perasaan tak sabar karena nanti malam akan bertemu Dio. Dio
sedang tidak masuk kerja karena sedang ada suatu keperluan, entah keperluan
apa, dia tak cerita.
Beberapa kali aku mengecek jam hanya untuk memastikan bahwa waktu
benar-benar berputar dan tidak berhenti berputar. Mungkin aku terlalu lebay, tapi aku tak sabar untuk segera
pulang, mandi dan berdandan cantik untuk Dio.
Aku akhirnya menarik
napas lega ketika jam sudah menunjukkan pukul lima sore, pertanda aku boleh pulang. Walau
aku bekerja di bengkel ayah, tapi aku menuntut digaji seperti karyawan lain
sehingga akupun harus bertanggung jawab dengan jam kerjaku, yaitu masuk dan
pulang kerja tepat waktu.
~ ~
Aku sudah selesai
berdandan ketika Dio tiba-tiba meneleponku dan mengatakan tidak bisa
menjemputku. Ia berjanji akan menemuiku di sebuah restoran Jepang. Aku akhirnya
pergi dengan menggunakan taksi menuju restoran yang sudah dipilih Dio.
Ketika aku sampai di
tempat itu, Dio ternyata sudah menungguku, tapi Dio menungguku bersama seorang
wanita yang sudah kukenal. Wanita itu adalah Amy, saudara sepupuku. Dengan
seketika kemarahan menyergap diriku, mau apa juga Amy di sini?
“Apa yang kau lakukan di
sini?” teriakku marah pada Amy.
“Sabar dulu Diana,”
ujar Dio cepat, “duduklah dulu, aku akan menjelaskan sesuatu.”
“Kupikir kau tidak perlu
menjelaskan apapun,” ujar Amy pada Dio. Amy lalu menatapku tajam, seolah tak
perduli dengan kemarahanku. “Lupakan makan malam romantis dengannya Diana, aku
dan Dio akan menikah dalam waktu dekat. Aku sedang mengandung bayinya.”
~ ~
Cinta ternyata bisa
sangat kejam menimpa seseorang, dan pada hari Selasa sial itu, cinta sedang
kejam padaku, karena aku dicampakkan oleh seseorang yang aku percayai sebagai
orang yang baik dan sayang padaku, seseorang yang selama ini aku kagumi,
seseorang dimana aku menaruh harapan tentang masa depanku, tentang mimpiku.
Pria itu (aku kini
malas menyebut namanya) ternyata tega mengkhianatiku sedemikian kejam. Aku terus
bertanya dalam hati, apa salahku padanya, hingga ia tega menyakitiku seperti
ini. Apa salahku pada Amy, sehingga Amy tega mengkhianati kepercayaan dan
kebaikan yang sudah diberikan keluargaku padanya?
Aku kehabisan kata-kata
untuk mendeskripsikan perasaanku sekarang, saking kagetnya dengan apa
yang terjadi. Aku kini, hanya tak mau melihat mereka lagi dalam hidupku. Bagiku
mereka tak pernah ada. Apa yang terjadi padaku hanya mimpi buruk.
Ayah sudah memecat pria
itu dari pekerjaannya, dan Amypun sudah tidak tinggal di rumah lagi, tapi
itu tidak menolongku terbangun dari mimpi burukku. Kuliahku kini jadi
terbengkalai, sementara keinginan untuk bekerja tiba-tiba menguap entah kemana.
Ayah dan ibu sangat
prihatin dengan keadaanku, tapi mereka tak bisa berbuat banyak, sampai
akhirnya, Tante Yeni, adik Ibu yang tinggal di Jakarta datang ke rumah, dan
membujukku untuk ikut dengannya ke Jakarta.
“Suasana baru mungkin
akan sedikit membuat suasana hatimu berubah,” senyum Tante Yeni sambil
membereskan baju-bajuku ke dalam koper.
Aku diam saja. Aku
tidak menolak ajakan Tante Yeni untuk pergi ke Jakarta , tapi setuju juga tidak. Aku
benar-benar malas melakukan apapun.
“Tante punya usaha
penitipan bayi di Jakarta .
Mereka semua lucu dan menggemaskan. Mereka akan membuatmu lupa pada
kesedihanmu,” senyum Tante Yeni tambah lebar, “kau akan banyak tertawa melihat
mereka semua, percayalah.”
Aku membalas senyum
Tante Yeni malas, mudah-mudahan Tante, ujarku dalam hati. Mudah-mudahan
aku bisa terhibur oleh mereka dan bangkit dari keterpurukkanku.
~ ~
Tangisan Adelia
menyambutku saat aku baru memasuki ruang tempat bermain bayi. Aku lalu
mengangkat Adelia untuk menghentikan tangisnya, dan belum sempat aku
membujuknya, Adelia pun langsung berhenti menangis.
Adelia adalah salah
satu bayi yang sering dititipkan di tempat penitipan bayi milik Tante Yeni.
Umurnya baru empat bulan. Ia adalah salah satu bayi yang cukup akrab denganku
selain Natasya dan Aldo, dua bayi lucu lainnya.
Orangtua para bayi itu
rata-rata adalah orangtua yang sibuk bekerja dan mereka mempercayai Tante Yeni
untuk mengurus bayi mereka selama mereka bekerja.
Usaha Tempat Penitipan
Anak (TPA) milik Tante Yeni sudah dirintis selama tiga tahun. Tadinya Tante
Yeni tidak berniat mendirikan usaha apapun, hanya saja sejak anak-anaknya sudah
besar, dan Tante Yeni tidak punya banyak kegiatan, ia mau dititipi anak
tetangganya yang masih balita.
Dari satu dua orang
yang nitip, akhirnya jadi banyak yang nitip hingga Tante Yeni memutuskan
mendirikan usaha TPA dengan benar.
Dengan benar yang dimaksud di sini
adalah Tante Yeni mulai menjalankan usaha TPA itu dengan serius. Tante langsung
merombak beberapa ruangan di rumahnya menjadi tempat tidur bayi, tempat bermain
bayi, dan lain-lain.
Ia juga merekrut para
perawat bayi yang sudah berpengalaman. Menyulap ruangan para bayi dengan motif yang lucu dan ceria. Bahkan
Tante sengaja ikut seminar tentang usaha
TPA agar bisa mengikuti peraturan yang ditetapkan.
Beberapa peraturan
tentang pendirian TPA yang pernah dikatakan Tante Yeni padaku diantaranya
adalah tempat yang kondusif, yang nyaman untuk para bayi atau balita, lalu
memiliki pengetahuan dasar tentang mengasuh anak, lalu sarana operasional yang
mendukung, seperti alat atau perlengkapan tidur bayi, para perawat/pengasuh
anak yang sudah disiapkan, dan lain-lain.
Tanpa diduga, usaha TPA
yang dirintis Tante Yeni ternyata mengalami kemajuan. Aku, yang tadinya hanya
berniat main di tempat Tante Yeni, akhirnya tertarik untuk ikut
mengasuh.
“Sayang ya, bayi manis
dan lucu ini harus terpisah dari ibunya sejak kecil,” Sekar tiba-tiba
mengagetkan aku saat aku asik menggendong Adelia. Sekar adalah salah satu
karyawan Tante Yeni.
“Maksudmu apa?”
tanyaku, “bukankah ibunya yang suka datang menitipkan Adelia?”
“Bukan,” Sekar langsung
tertawa, “yang suka menjemput Adel itu tantenya, ibu Adelia tidak pernah
mengurusi Adelia sejak bayi karena ia sudah bercerai dengan ayah Adelia. Ayah
Adelialah yang merawat dan mengasuh Adelia selama ini.”
“Kok bisa begitu sih?”
tanyaku heran, “ibu Adelia tidak merasa kangen apa sama anak lucu ini.”
“Entahlah,” Sekar
mengangkat bahu. Dengar-dengar sih, pernikahan ayah dan ibu Adelia terjadi
karena ibu Adelia hamil duluan, padahal dia belum siap jadi ibu.”
“Berarti ibu Adelia
menolak anaknya sendiri?” tanyaku heran.
“Ya semacam itu.”
“Oh,” Aku lalu memeluk
Adelia dengan perasaan sayang, merasa begitu sedih dan prihatin karena bayi
seusia Adelia diabaikan oleh ibu kandungnya sendiri.
~ ~
Tiga bulan berlalu
sejak aku tinggal di rumah Tante Yeni, aku jadi tambah akrab dengan bayi-bayi
lucu itu.
Tante Yeni benar,
mereka ternyata bisa mengalihkanku dari rasa sedihku. Mereka membuatku sibuk.
Dan aku suka dengan kesibukanku yang baru. Tak jarang aku jadi sering ngerumpi
dengan para orangtua bayi itu, terutama para ibunya. Bidang pekerjaan para ibu
itu beragam. Ada
pengacara, dokter dan lainnya.
“Aku ingin anakku
tumbuh menjadi anak yang tidak minderan,” ujar Ibu Lela yang bekerja sebagai
seorang pengacara. “Itulah kenapa aku menitipkan Andini di sini.”
“Maksud ibu, karena di
sini Andini punya banyak teman?” tanyaku.
“Iya. Aku pernah
membaca buku tentang psikologi anak, bahwa anak sebaiknya diperkenalkan pada
lingkungan sekitarnya sejak ia kecil, agar ia familiar dengan lingkungannya itu, terbiasa berinteraksi dengan
teman-teman sebayanya. Tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, pemberani dan bukan
menjadi seseorang yang pemalu.”
Keluhan lain datang
dari ibu lainnya.
“Aku tidak percaya baby
sitter yang dulu pernah kusewa. Ia gampang marah gitu. Anak menangis
bukannya dibujuk, malah diomelin. Aku kan
membayar dia bukan buat mengomeli anakku.”
Aku tertawa, “jadi ibu
memutuskan menitipkan Nando di sini?”
“Iya. Aku kenal tantemu
sudah cukup lama, aku percaya padanya.”
“Terimakasih sudah
mempercayai kami,” ujarku sambil tersenyum.
“Sama-sama,” ibu Nando
membalas senyumku, “o ya Diana, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu.”
“Apa?”
“Kau dapat salam dari
Papa Adelia. Aku kemarin bertemu dengannya saat aku belanja sayur di depan
rumah. Rumah kami bersebelahan. Dia tahu tentang penitipan anak ini juga
dariku. Dia bilang, ‘Bu Nando tolong sampaikan salam saya buat Diana.”
Aku langsung tertawa
mendengar kata-kata ibu Nando.
“Kok malah tertawa,
salam balik nggak?”
Kakek bilang, kita
sebaiknya menjalin tali silaturahmi yang baik dengan banyak orang, ujarku dalam hati.
Dan rasanya tidak ada
salahnya kalau aku menjalin tali silaturahmi yang baik dengan papanya Adelia.
“Baiklah, sampaikan
juga salamku padanya. Salam kenal saja, karena aku dan dia kan belum pernah bertemu.”
“Sip, nanti aku
sampaikan, sekalian nanti aku ajak dia ke sini untuk bertemu denganmu dan
berkenalan secara langsung dengannya.”
~ ~
“Tiup lilinnya Sayang,
ya seperti itu.” Aryo, papa Adelia tertawa dan langsung memeluk Adelia ketika
Adelia berhasil meniup lilin yang berbentuk angka satu yang terletak di sebuah
kue tart besar yang didominasi warna pink dan putih. Hiasan boneka Barbie yang
cukup besar berada di atas tart itu.
Hari ini, Adelia ulang
tahun yang pertama, dan aku serta Tante Yeni turut diundang ke ulang tahun
Adelia yang pertama.
Setelah mendapat
pelukan dan ciuman dari papanya, Adeliapun kini mendapat pelukan dan ciuman
dari mamanya. Mama Adelia sengaja datang ke ulang tahun Adelia, dan dia
menangis melihat Adelia yang sudah berumur satu tahun.
“Kau tidak cemburu pada
Mama Adelia?” Ibu Nando tiba-tiba berbisik di telingaku. Usaha ibu Nando untuk
mencomblangi aku dan papa Adelia berhasil, aku dan papa Adelia pacaran
sekarang.
Aku memutuskan untuk
melanjutkan hidupku, mencoba melupakan kenangan buruk yang pernah menimpaku; say
goodbye to bad memory dan mulai membuka hatiku untuk cinta yang baru.
“Tidak,” tawaku, “buat
apa cemburu?”
“Dia sepertinya
berusaha menarik perhatian mantan suaminya lagi. Kau lihat, matanya tak pernah
lepas memperhatikan Papa Adel.”
“Sudahlah Bu, jangan mengada-ngada.”
“Aku tidak
mengada-ada.”
“Baiklah, mungkin ibu
benar, tapi itu tidak berpengaruh apa-apa padaku, sungguh.” Aku tersenyum
selebar mungkin pada ibu Nando, berusaha menyakinan dia bahwa aku baik-baik
saja, padahal, perasaanku mulai merasa tak
nyaman. Dan perasaan tak nyaman
seperti ini berarti satu hal, bahwa aku cemburu. Baguslah, seruku dalam
hati. Cemburu kan
tanda cinta.
Setelah obrolanku
dengan ibu Nando selesai, aku akhirnya disibukkan oleh acara ulang tahun
Adelia; membagi-bagikan kue tart pada tamu-tamu kecil Adelia, mengajak mereka
bernyanyi, dan hal-hal lainnya, hingga akhirnya membagikan bingkisan yang sudah
disiapkan pada tamu-tamu kecil itu ketika mereka pulang.
“Terimakasih untuk
bantuannya ya,” Aryo mengantarku sampai pintu pagar, ia tidak bisa mengantarku
pulang, karena ada banyak tamu yang harus ia temui. “Terimakasih sudah mau
direpotkan oleh aku dan Adel.”
“Tidak repot kok,” aku
tertawa, “aku senang bisa membantu.”
“Sungguh tidak repot?”
“Tidak.”
“Bagus, kalau begitu
tidak ada alasan lagi bagimu untuk tinggal bersama aku dan Adel di rumah ini.
Maukah kau jadi isteriku?”
~ ~
“Kenapa sih
senyum-senyum terus?” Tante Yeni memperhatikan wajahku yang sumringah saat aku masuk ke mobilnya dan
duduk di sampingnya.
“Nggak ada apa-apa kok Tante.”
Jawabku.
“Ya, tentu saja, untuk
wajah secerah itu, pasti tidak ada sesuatu yang istimewa.”
“Aku dilamar Aryo!”
Akhirnya aku berteriak tak sabar.
“Ya Tuhan, ini
mengejutkan sekali!” Tante Yeni tertawa dan langsung memelukku. “Selamat ya
Sayang. Aku bahagia mendengarnya.”
“Terimakasih Tante.”
“Kembali kasih.” Tante
Yeni tersenyum lebar menatapku, “Tante senang mendengar berita ini sungguh.
Moga-moga proses pernikahan nanti berjalan lancar.”
“Amin.”
“Ehm Sayang, apa kau
masih percaya kalau hari Selasa adalah hari sialmu?” tanya Tante Yeni
tiba-tiba.
“Memang kenapa?”
“Sekarang hari Selasa, dan
kau dilamar pacarmu pada hari Selasa.”
Aku langsung nyengir,
lupa kalau dulu pernah curhat pada
Tante Yeni bahwa aku tak suka hari Selasa, “semua hari sama baiknya kok Tante,
itu yang dibilang kakek padaku.”
~ ~
No comments:
Post a Comment