Monday, March 26, 2018

Be With You (the Series) Serie Keempat Casey (part 2)


Casey Part 2 (Bab 18 ~ Selesai)


Matthew merapatkan jaketnya dengan kesal. Ia tadi sedang berjalan ke mobilnya untuk pulang saat Ivy mencegatnya dan mengajaknya menonton film di salah satu bioskop terbesar di Hall of City.

Kata Ivy film itu bagus, dan ia sudah membeli tiketnya secara online.

Matthew sempat menolak ajakan Ivy, tapi seperti biasa kalau Ivy ada kemauan ia selalu memaksa.

Jadi disinilah Matthew berada. Ia merasa ngantuk dan kedinginan. Walau ia masih berada di luar gedung bioskop karena film itu belum dimulai, tapi AC di wilayah luar gedung bioskop tersebut dingin sekali.

Matthew akhirnya bangkit dari duduknya untuk membeli kopi panas. Itu kopi kedua yang Matthew minum. Ia kedinginan dan merasa ngantuk, jadi kopi panas paling tepat untuknya.

Matthew hendak antri membeli kopi saat dilihatnya Philip juga akan beli kopi seperti dirinya.

“Philip?” tanya Matthew heran, “apa kabar?”

Sesaat Philip terkejut memperhatikan Matthew, tapi kemudian ia tersenyum ke arah Matthew. “Wow, Mr. Ricardo, lama hilang dari peredaran bumi.”

“Hahaha.” Sahut Matthew. “Kau sedang apa di sini?’

“Sedang mancing.” Jawab Philip.

“Kau tahu, dari dulu kau tidak berubah.”

“O, ya?” tanya Philip “pasti perubahan yang positif dong. Menjadi lebih menyenangkan barangkali?”

“Tidak, menjadi lebih menyebalkan.”

Seorang wanita tiba tiba menghampiri Philip dan menggenggam tangannya. “Babe, kupikir kopinya tidak usah saja. Nanti saja lagi, kita masuk sekarang saja, pintu teater satu sudah dibuka.”

Babe? Tanya Matthew dalam hati. Berarti wanita itu pacar Philip.

“Tidakkah seharusnya kau memperkenalkan pacarmu padaku Mr. Raven?” tanya Matthew kemudian.

“O, ya, perkenalkan, Melisa, ini adalah Matthew Ricardo, dan Matthew, ini pacarku Melisa Derrick.”

“Halo,” Matthew tersenyum sambil menyalami Melisa. “Aku Matthew.”

“Halo juga, aku Melisa, senang berkenalan denganmu.” Melisa memperhatikan Matthew dengan seksama. Apakah ini Matthew yang membuat Casey menangis semalaman karena patah hati? Tanya Melisa dalam hati.

“Kukira, aku dan Melisa masuk sekarang.” Ujar Philip, “kau di teater berapa?”

“Teater 2.” Jawab Matthew.

“Baiklah Matthew, sampai bertemu lagi.”

“Sampai bertemu lagi.”

Ivy tiba tiba datang menghampiri Matthew, “apakah beli kopinya antri? Kenapa lama sekali?” tanya Ivy. “Oh, hai, kalian teman Matthew?” tanya Ivy pada Philip dan Melisa. “Aku Ivy Grant.”

“Hai, aku Philip dan ini Melisa.”

“Halo.” Ujar Melisa.

“Kalian mau masuk sekarang?” tanya Ivy.

“Ya, kami di teater 1.” Jawab Melisa, “kami masuk duluan.”

“Oke.” Ivy tersenyum pada Philip dan Melisa sambil melambaikan tangan.

~

“Apakah tadi mantan Casey?” tanya Melisa ketika mereka sudah duduk di kursi mereka. “Maksudku, pria tampan yang bernama Matthew Ricardo.”

“Ya.” Jawab Philip. “Haruskah kau bilang dia ‘pria tampan’ segala?” protes Philip kemudian.

“Karena dia benar benar tampan. Dia seperti model.”

“Dia memang model, Melisa. Setidaknya pernah jadi model.”

“O, ya?” Melisa tertawa, “aku tak tahu.” Melisa kemudian mengambil popcorn dan memakannya. “Dan wanita yang bernama Ivy tadi pacarnya?” tanya Melisa lagi.

“Kurasa begitu,” ujar Philip. “Aku pernah ngobrol dengan Casey mengenai hal ini. Casey bilang Matthew sudah punya pacar lagi.”

“Kasihan Casey.” Gumam Melisa.

“Memang kenapa?” tanya Philip.

“Dia masih mencintai Matthew.”

“O, ya?” ujar Philip. “Casey masih mencintai Matthew dan ia berpacaran dengan Luke? Yang benar saja.”

Melisa diam. Ia mengunyah popcorn lagi.

“Yang aku tahu, Casey yang meninggalkan Matthew, bukan sebaliknya.” Ujar Philip lagi.

“Ya kau benar.” Melisa tersadar kalau Philip tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya. Casey memang meninggalkan Matthew tapi itu ia lakukan untuk mendampingi Luke yang sakit, bukan untuk berpacaran dengan Luke. Dan tidak ada yang tahu tentang hal ini kecuali dirinya.

“Filmnya sudah dimulai.” Ujar Philip sambil mulai makan popcorn seperti Melisa.

“Ya, ini asik sekali.” Melisa tertawa senang.

~

Matthew terus terusan menguap. Ivy mengajaknya menonton film drama. Padahal Matthew kurang suka film drama. Ia suka film detektif atau film misteri.

Matthew akhirnya membuka handphonenya untuk browsing. Ia membuka instagramnya dan tersenyum memperhatikan foto Dexter. Sandra membuat instagram khusus untuk Dexter, ia mengunggah perkembangan Dexter di sana berupa foto dan video sehingga keluarganya bisa tahu tentang perkembangan Dexter.

Matthew terus memperhatikan timeline instagramnya. Ia termasuk jarang membuka instagram. Teman temannya rata rata mengunggah kegiatan mereka sehari hari, ada yang sedang liburan, ada yang sedang makan di restoran, dan lain lain.

Tatapan Matthew tiba tiba terhenti pada foto Casey dan Luke. Foto itu diunggah oleh Viola. Matthew dan Viola saling mengikuti di Instagram. Viola adalah sahabat Casey, jadi saat Matthew masih berpacaran dengan Casey, Matthew mengikuti instagram sahabat sahabat Casey.

Matthew juga tidak unfollow Casey. Tapi Casey tidak menambah foto lagi di instagramnya sejak ia dan Matthew putus.

Di foto yang diunggah Viola itu, Casey dan Luke tampak berfoto di depan sebuah air mancur. Mereka berfoto sambil tersenyum. Luke tampak memeluk Casey.

Dua sahabat yang sangat aku sayangi; Casey dan Luke. #FontanaDeiQuattroFiumi #Roma #Italy

Begitu keterangan yang diberikan Viola pada foto Casey dan Luke.

Apa? Mereka pergi ke Roma?! Teriak Matthew dalam hati. Matthew sangat kesal melihat foto itu. Ia sangat cemburu pada Luke. Hingga detik ini ia selalu cemburu pada Luke.

~ ~

BAB SEMBILAN BELAS



Casey memakan makanannya dengan lahap sementara Viola tak mau menyentuh makanannya. Viola memperhatikan Casey makan sambil cemberut.

Mereka berdua sedang makan siang di suatu restoran tidak jauh dari tempat mereka kerja.

“Mau sampai kapan kau cemberut seperti itu Viola? Kau jelek kalau cemberut begitu.”

“Kau tidak sungguh sungguh keluar dari kerja awal bulan ini kan?”

“Aku sungguh sungguh Viola, aku sudah bilang Luke, dan Luke memperbolehkan aku untuk tidak bekerja lagi dengannya di studio foto miliknya.”

“Kenapa secepat ini? Aku akan sangat kehilangan dirimu.”

“Kau bisa main ke Castellina kalau kau mau, kita masih bisa bertemu.”

“Ya, tentu saja, dan gajiku selama beberapa bulan habis untuk pergi ke sana.”

“Atau kalau tidak, aku yang mengunjungimu ke Hall of City sini, bagaimana?” tawar Casey.

“Tidak, kurasa kau akan jarang main ke sini, kau akan lupa pada kami.”

“Aku tidak akan melupakanmu Viola, aku tidak akan melupakan Luke, Craig dan yang lainnya, kalian sudah seperti keluarga untukku. Tapi aku harus ke Castellina dan menetap di sana.”

“Aku tahu, tapi tidak secepat ini.”

“Aku berjanji akan sering meneleponmu. Aku harus tahu perkembangan pengobatan Luke darimu.”

“Kau harusnya mendampingi Luke sampai Luke benar benar sembuh.”

“Sekarang ada dirimu. Aku yakin kau akan menjaga Luke dengan baik.”

“Tapi akan tetap berbeda kalau tidak ada dirimu, Casey.”

“Aku minta maaf, tapi aku benar benar harus pergi. Makananmu mau dimakan atau tidak? Kalau tidak aku habiskan.”

“Habiskan saja, aku tidak lapar.” Viola mulai menangis.

~ ~

“Boleh aku masuk?” Casey mengetuk pintu ruang kerja Luke yang terbuat dari kaca.

Luke memperbolehkan Casey masuk dengan gerakan tangannya. Casey segera masuk.

“Kau sedang sibuk?” tanya Casey.

“Tidak terlalu, kenapa?”

“Aku ingin ngobrol sebentar denganmu.”

“Duduklah Casey,” Luke mempersilahkan Casey duduk dihadapannya. “Kau ingin bicara apa?”

“Viola marah aku pergi secepat ini,” ujar Casey. “Tapi aku tidak bisa tinggal di Hall of City lebih lama lagi.”

“Aku mengerti,” Luke tersenyum, “tempat yang tepat untukmu memang di Castellina, bersama keluargamu. Bersama ayahmu yang akan selalu menjaga dan melindungimu.”

“Ya, Luke, itu benar.” Casey ikut tersenyum, “aku kehilangan saat saat aku seharusnya menghabiskan waktu bersama dengan ayahku di masa kecilku, dan sekarang aku tidak mau kehilangan hal itu lagi.”

“Tentu,” Luke mengangguk, “kau tak perlu mengkhawatirkan apapun, masalah Viola, nanti aku bicara padanya.”

“Terima kasih. Tapi aku juga ingin mohon satu hal padamu.”

“Apa itu?”

“Jangan berhenti berobat sampai kau benar benar sembuh. Aku akan sangat marah kalau kau tidak melanjutkan pengobatanmu.”

“Aku akan berusaha, Casey. Kau tak perlu khawatir hal itu. Ayahku, ibuku, Viola pasti akan mengomeliku kalau aku tidak mau berobat. Mereka juga bisa memaksaku kalau aku tidak mau pergi kerumah sakit. Jadi jangan terlalu mengkhawatirkan hal ini.”

“Aku akan sangat merindukanmu Luke.”

“Aku juga.”

“Castellina akan selalu terbuka untukmu dan untuk teman teman di sini.”

“Ya, tentu, disana sangat asik, aku akan main kesana sesekali.”

“Yang menggantikan pekerjaanku siapa?”

“Kurasa aku bisa melakukannya.” Ujar Luke, “aku akan lebih sering di studio sekarang. Craig yang akan menggantikan pekerjaanku di luar studio. Biar Craig dan Brenda yang menangani klien di luar sana.”

“Itu bagus, kau memang harus banyak beristirahat. Bekerja di luar lebih berat daripada di sini.”

“Ya, kau benar.”

“Kurasa itu saja yang ingin kusampaikan,” Casey lalu berdiri dari duduknya. “Aku mau melanjutkan pekerjaanku.”

“Casey.”

“Ya?”

“Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih untuk semua yang sudah kaulakukan untukku. Semua perhatianmu, semua kecemasanmu, aku tidak tahu harus membayarnya dengan cara apa.”

“Kau bisa membayarnya dengan cara ‘kau harus sembuh’, kau pasti tahu maksudku.” Casey tersenyum dan melambai ke arah Luke sebelum menutup pintu ruang kerja Luke.

~ ~


Rasanya sudah lama sekali Casey tidak berkunjung ke Crown Palace seperti ini. Casey mengunjungi Bianca untuk memberikan beberapa botol wine yang ia bawa dari Castellina dua minggu yang lalu. Casey cukup sibuk sehingga baru bisa mengunjungi Bianca sekarang.

Bianca tadi menerima kedatangan Casey di ruang tamu Crown Palace yang elegan, tapi Casey ingin melihat Prince Arthur, sehingga Casey dan Bianca sekarang berada di kamar Prince Arthur. Mereka memperhatikan Prince Arthur sambil mengobrol. Princess Sabrina sedang tidur siang di kamarnya.

“Ini benar benar keajaiban,” komentar Bianca saat mendengar cerita Casey bahwa ia sudah bertemu dengan ayahnya karena Sandra menyewa seorang detektif untuk menyelidiki keberadaan ayah Casey. “Kau masih bisa bertemu ayahmu pada usiamu sekarang. Ini tak bisa kupercaya.”

“Semua orang bilang begitu,” Casey tersenyum, “dan semua orang bilang tidak ada kata terlambat untuk semuanya. Aku bahagia sekali Bianca, aku merasa tidak sendirian lagi.”

“Aku ikut bahagia untukmu.”

“Terima kasih.”

“Seharusnya kau meneleponku dan menceritakan itu semua padaku, semua orang sudah tahu apa yang terjadi padamu dan aku tahu belakangan?”

“Aku takut mengganggu aktivitasmu Bianca, saat itu kau sedang hamil besar. Kau juga banyak kesibukan.”

“Tapi aku akan selalu menyisihkan waktu untukmu Casey, kau tahu itu.”

“Baiklah, lain kali aku akan cerita apa saja padamu.”

“Itu bagus.”

“Ngomong ngomong aku ke sini mau pamit karena minggu depan aku pindah ke Castellina. Aku tidak akan tinggal di rumah Philip lagi.”

“Aku sangat sedih mendengar ini,” komentar Bianca. “Maksudku, rumah itu menjadi rumah kenangan kita. Tapi lucunya, kita tak pernah tinggal di sana secara bersama sama. Saat aku tinggal di rumah itu, aku tinggal bersama Sandra, Ivanka dan Sassy.”

“Dan saat aku tinggal disana, aku tinggal bersama Sandra, Philip dan Ivanka. Kemudian Sandra menikah, lalu Carol masuk ke rumah itu. Kau benar Bianca, rumah itu penuh kenangan, bukan hanya untukmu dan untukku, tapi juga untuk Sandra.”

“Apakah Philip akan menyewakan kamar yang kau tempati setelah kau pergi?”

“Mungkin, entahlah. Dengar dengar sih teman Carol ingin pindah ke sana.”

“Ya sudah, tidak apa apa. Hidup memang harus berlanjut. Kehidupanmu selanjutnya ternyata bukan di Hall of City lagi, tapi di Castellina. Ngomong ngomong boleh aku main ke sana kapan kapan?” tanya Bianca.

“Kau, main ke Castellina?” Casey tertawa senang. “Dengan senang hati, Bianca, aku akan menerima kedatanganmu dengan senang hati.”

“Terima kasih.” Bianca tersenyum, “aku akan sangat merindukanmu, Casey.” Lanjut Bianca sambil memeluk Casey erat.

“Aku juga akan merindukanmu Bianca.”

~ ~

Philip mengambil pizza ketiganya dan memakannya lagi. Ia dan Casey sedang makan pizza di balkon atas rumah Philip. Philip membawa pizza itu saat ia pulang kerja tadi. Dan ia menawari Casey untuk makan bersamanya.

“Aku mau minta tolong padamu,” ujar Casey sambil mengunyah pizzanya.

“Minta tolong apa?”

“Tolong berikan wine untuk Sandra kalau Sandra datang ke sini untuk mengambilnya.”

“Kenapa tidak kau berikan sendiri padanya Casey?”

“Tidak, tidak bisa. Aku pasti akan menangis kalau bertemu Sandra. Berpisah dengannya sangat berat untukku.”

“Lalu kau tidak akan mengucapkan selamat tinggal padanya?” tanya Philip kaget.

“Aku akan mengucapkan selamat tinggal pada Sandra, tapi di telepon saja, biar kalau aku menangis, Sandra tidak melihatku.”

“Casey, kau berlebihan. Kalian masih bisa bertemu. Kau bisa mengunjungi Sandra disini dan Sandra bisa mengunjungimu di sana. Kenapa harus menangis segala sih. Harusnya kau bahagia mau berkumpul dengan keluargamu.”

“Aku bahagia. Tapi aku tak tahu kapan bisa bertemu Sandra lagi. Dan bicara soal menangis, Melisa juga menangis saat aku meneleponnya semalam untuk mengucapkan selamat tinggal.”

“Melisa menangis?” tanya Philip kaget.

“Ya. Selamat datang di dunia wanita tuan Raven. Wanita kadang tidak sekuat pria. Perasaan wanita lebih peka, apalagi bila berhubungan dengan orang orang yang mereka sayangi.”

“Kau dan Melisa kan masih akan bertemu besok. Pulang kerja besok Melisa akan ke sini dan menginap di sini semalam. Lalu lusanya aku dan Melisa akan mengantarkan kau ke Bandara.”

“Terima kasih sudah mau mengantarku. Luke dan Viola juga akan mengantarku.”

“Bagaimana kalau besok malam kita makan malam di Parklane, di restoran sea food Mr. Lorenzo, sebagai kenang kenangan sebelum kau pergi, aku yang traktir.”

“Wah, itu asik sekali. Tentu, aku setuju.” Seru Casey gembira.

“Baiklah, aku akan menelepon Luke sekarang.”

“Luke ikut?” tanya Casey kaget.

“Ya, Luke, Viola, Ivanka, Carol. Semua ikut. Tapi mudah mudahan mereka bisa karena ini dadakan.”

“Terima kasih, Philip. Kau yang terbaik.”

“Sama sama Casey, sekarang bisakah kau memesan tempat di restoran Mr. Lorenzo untuk 7 orang?”

“Harus genap Philip, kalau tidak untuk 6 orang ya 8 orang.”

“Ya sudah, pesan tempat untuk 8 orang.”

“Oke.” Casey meraih handphonenya dan mulai menelepon Mr. Lorenzo.

~ ~

Casey berusaha untuk tidak menangis, tapi tetap saja matanya basah. Casey berulangkali melap matanya yang basah dengan tisu. Ia sedang menelepon Sandra untuk mengucapkan selamat tinggal padanya.

“Jadi sekarang kau akan berkumpul dengan ayahmu?” Sandra tertawa. “Ini berita hebat.”

“Ya,” ujar Casey. “Aku pergi lusa. Jadi aku memberitahumu sekarang.”

“Bisakah kita bertemu besok Casey?”

“Dimana?”

“Terserah kau.”

“Kau datang ke rumah Philip saja ya? Aku sedang packing. Tapi apakah tidak masalah Dexter ditinggal?”

“Aku hanya ingin memelukmu.” Ujar Sandra, “aku pergi tidak lama.”

“Baiklah kalau begitu, kutunggu besok, dan jangan lupa, bawakan masakan Cina untukku.”

Sandra tertawa. “Baik, besok aku akan membawa masakan Cina untukmu. Aku datang pas jam makan siang ya. Sampai besok Casey.”

“Sampai besok Sandra.”

~ ~

Hujan turun dengan derasnya saat Sandra tiba di rumah Philip. Casey langsung membuatkan Sandra cokelat panas.

Sandra datang ke rumah Casey dengan diantar supirnya dan ia tak bisa pergi lama. Ia pergi paling lama hanya satu jam saja. Menurut Sandra, Dexter baru tidur saat Sandra pergi. Tapi Dexter sudah kenyang menyusu sehingga Sandra tidak begitu khawatir.

Sandra langsung membuka masakan Cina yang dibawanya, dan makan masakan Cina itu bareng Casey.

Mereka makan dalam diam.

“Ini untukmu,” Sandra memberikan sebuah kotak perhiasan pada Casey setelah mereka selesai makan.

“Ini apa?” tanya Casey.

“Bukalah.”

Casey membuka kotak itu, ternyata sebuah liontin yang terbuat dari batu giok.

“Di dalam liontin itu ada foto kita berdua. Itu kenang kenangan untukmu.”

“Terima kasih Sandra,” Casey langsung merasa terharu. “Aku belum menyiapkan apa apa untukmu sebagai tanda perpisahan.”

“Kita tidak akan berpisah Casey, kau hanya sedang melakukan perjalanan, dan kita akan bertemu lagi, aku benci kata kata 'berpisah'.”

“Ya, kau benar.” Casey tertawa. “Aku saat ini hanya bisa memberi ini,” ujar Casey sambil menyerahkan dua botol wine produksi keluarga Caruso.

“Wow, terima kasih, suamiku sangat menyukainya. Wine yang kau berikan kemarin padaku, habis olehnya.”

“O, ya?” Casey tertawa, “syukurlah kalau begitu.”

“Mungkin kapan kapan aku main ke tempat dimana wine ini diproduksi.” Ujar Sandra sambil tersenyum.

“Kupikir itu ide yang bagus.” Casey ikut tersenyum. “Aku akan sangat gembira menerima kedatanganmu disana.”

“Hati hati di jalan ya,” Sandra memeluk Casey erat, “kabari aku kalau kau sudah tiba dirumahmu.”

“Oke.”

“Luke pasti akan merindukanmu, kau jauh darinya.”

“Tentu,” Casey tertawa, “dan aku juga akan sangat merindukan Luke.”

Lalu mereka sama sama terdiam.

“Sandra,”

“Ya?”

“Tolong sampaikan salamku pada Matthew ya?”

“Kenapa tidak kau sampaikan sendiri?”

“Tidak, aku tidak bisa. Aku pasti tidak akan bisa bicara kalau sudah berhadap hadapan dengannya. Tolong bilang padanya aku akan selalu mendoakan dirinya agar ia menjadi seorang pengacara yang handal seperti yang ia cita citakan.”

“Sebentar,” Sandra tiba tiba mengeluarkan handphonenya.

“Apa yang kau lakukan?” Casey heran.

“Ngomong lagi seperti yang tadi kau bilang, aku mau merekamnya, biar nanti Matthew mendengarkan rekaman suaramu.”

“Kau aneh, aku tidak akan mengulang kata kataku. Kau tinggal menyampaikan saja hal itu padanya.”

“Ayolah Casey, ngomong lagi, Matthew tidak akan percaya kalau aku yang ngomong, nanti disangka aku mengada ada.”

“Tidak, aku tidak mau ngomong lagi.”

“Casey!”

“Tidak Sandra! Tidak mau!”

“Casey!”

~ ~

BAB DUA PULUH


Melisa memakai jaketnya dengan gerakan cepat. Ia lalu memakai sepatu ketsnya. Melisa suka memakai sepatu kets kalau bepergian. Hal itu terasa nyaman bagi kakinya.

Melisa harusnya pulang jam empat sore, tapi ia sudah minta ijin pada atasannya untuk pulang jam satu siang. Melisa minta ijin pulang cepat karena ia ingin cepat cepat sampai di Hall of City.

Philip sebenarnya ingin menjemput Melisa ke Leefsmall, tapi Melisa tidak mengijinkan. Itu karena nanti Philip harus mengendarai mobilnya ke Parklane untuk makan malam bersama. Melisa tak mau Philip kelelahan sehingga Melisa memutuskan pergi ke Hall of City naik bis saja. Philip sama sama baru pulang kerja seperti dirinya. Mereka hanya punya waktu istirahat sebentar sebelum akhirnya pergi ke Parklane.

Ada dua mobil yang berangkat ke Parklane. Mobil Philip yang berisi Philip, dirinya, Ivanka dan Carol. Dan mobil Luke yang berisi Luke, Viola dan Casey.

Setelah mengambil tas ranselnya, Melisa lalu pergi keluar dari kamarnya dan mencari taksi untuk mengantarnya menuju terminal bis luar kota. Sesampainya di terminal, ia lalu naik bis jurusan Hall of City.

Melisa berangkat tepat pukul setengah dua, berarti ia akan sampai di Hall of City sekitar jam setengah enam, atau bisa lebih cepat dari itu kalau jalanan tidak macet.

Di sepanjang perjalanan Melisa tidur. Sesekali Philip meneleponnya, menanyakan Melisa sudah sampai mana.

Bis yang Melisa tumpangi ternyata sampai lebih cepat di terminal bis Hall of City yaitu jam lima sore.

Melisa langsung mencari taksi untuk mengantarnya ke tempat yang akan ia tuju.

~ ~


Tempat yang dituju Melisa saat naik taksi ternyata kantor pengacara Maurice Grant & Co. Melisa ingin berbicara dengan Matthew. Ia harus melakukan sesuatu sebelum Casey pergi besok.

Ia tahu apa yang ia lakukan mungkin tidak akan berpengaruh banyak pada hubungan Matthew dan Casey. Ia tahu Matthew sudah punya pacar lagi. Tapi ia tak ingin Matthew berpendapat bahwa Casey dan Luke selama ini berpacaran karena itu tidak benar.

Melisa bahkan baru tahu dari Casey kalau Luke sekarang berpacaran dengan Viola saat Casey pamit padanya di telepon dua malam yang lalu. Itulah kenapa Casey cepat cepat pergi ke Castellina karena ia tak terlalu khawatir lagi pada Luke karena ada Viola yang akan menjaga dan mendampingi Luke selama melakukan pengobatan.

Melisa bernafas lega saat tahu Matthew belum pulang kerja. Ia mengetahui hal itu dari bagian customer service. Ia khawatir Matthew sudah pulang karena jam pulang kerja karyawan Maurice Grant & Co adalah jam lima sore. Sementara saat Melisa datang ke kantor Matthew tadi, jam setengah enam sore.

Melisa langsung menuju lift dan pergi ke lantai delapan. Ia lalu menunggu Matthew di sofa ruang tamu di depan meja resepsionis.

Melisa tahu dari Philip kalau Matthew bekerja di Maurice Grant & Co. Ia lalu menyusun rencana untuk bisa bicara dengan Matthew. Dan sejauh in rencananya berhasil karena ia bisa tiba tepat waktu di kantor Matthew. Matthew belum pulang, itu yang terpenting.

Beberapa teman Matthew tampak pulang satu persatu. Ada yang menuju lift dan langsung turun ke lantai bawah, dan ada juga yang menuju area parkir untuk pulang dengan mobil mereka.

Melisa mulai didera rasa panik takut Matthew sudah pulang tanpa ia lihat, tapi akhirnya ia tersenyum senang saat dilihatnya Matthew keluar dari ruang kerjanya dan melewati meja resepsionis.

“Sampai besok Rachel,” teriak Matthew saat melewati meja resepsionis.

“Sampai besok tampan,” Rachel balas berteriak.

Matthew tertawa, semua wanita di kantornya memanggilnya ‘tampan’, jarang ada yang memanggil namanya.

“Mr. Ricardo,” panggil Melisa cepat. “Bisa aku bicara denganmu?”

Matthew menghentikan langkahnya dan memperhatikan Melisa. “Aku seperti pernah melihatmu,” komentar Matthew tanpa ingat pernah bertemu Melisa dimana.

“Ya, kita bertemu di bioskop. Aku pacar Philip.” Melisa tersenyum.

“Oh, ya.” Seru Matthew, “aku ingat sekarang. Sedang apa kau disini?”

“Ingin bicara denganmu, aku tadi sudah bilang.”

“Tentang apa?”

Melisa menimbang nimbang, ia takut Matthew tidak mau ngobrol dengannya kalau ia bilang tentang Casey, Melisa berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Matthew.

“Kau punya masalah?” tanya Matthew lagi, “dan masalahmu berhubungan denganku?”

“Tidak secara langsung.” Ujar Melisa lagi. “Ini tentang Philip.”

“Philip?”

“Ya, aku perlu menanyakan sesuatu padamu tentang Philip.”

“Aku tidak mengenal Philip dengan baik,” ujar Matthew,  “aku bahkan hampir tak tahu apa apa tentang dirinya.”

“Tapi Anda terlihat akrab dengannya di bioskop kemarin.”

“Itu karena...”

“Tampan,” teriak Rachel, “barusan Ivy marah marah padaku, katanya kau tidak mengangkat telepon darinya.”

Handphonenya aku silence, memang kenapa?” tanya Matthew.

“Entahlah, dia bilang dia ingin bicara denganmu, tapi ia masih ada meeting setengah jam kedepan, ia bilang padaku agar menyampaikan padamu agar jangan pulang dulu.”

Matthew lalu menghampiri Rachel dan berbisik pada Rachel, “bilang padanya kau tidak melihatku. Aku ingin pulang. Aku ingin beristirahat.”

“Oke,” Rachel tersenyum lebar. “Akan kutelepon Ivy sekarang.”

Matthew lalu kembali menghampiri Melisa, “sampai mana kita tadi? Oh, Philip.”

“Ya, aku ingin bicara tentang Philip denganmu, hanya sebentar kok, karena aku juga harus cepat cepat pergi ke rumah Philip untuk makan malam dengannya. Please?”

“Baiklah,” ujar Matthew akhirnya. “Kau bawa kendaraan?”

“Tidak, aku kesini naik taksi.”

“Kalau begitu kita bicara di mobilku saja.”

“Oke, terima kasih.” Melisa tersenyum senang. Ia lalu mengikuti Matthew yang berjalan ke arah mobilnya.

Melisa lalu masuk ke mobil Matthew dan duduk disamping Matthew.

“Terima kasih sudah mengijinkan aku berbicara denganmu.” Ujar Melisa.

“Tentu. Tapi aku mengemudikan mobilku ke arah apartemenku, nanti dari sana kau naik taksi saja ke rumah Philip. Aku tidak bisa mengantarmu ke rumah Philip, jalan yang kita lalui berbeda, aku ke Utara dan kau ke Selatan. Aku minta maaf.”

“Tidak apa apa, tidak masalah. Aku sudah cukup senang kau mau berbicara denganku.”

“Oke kalau begitu,” Matthew mulai mengendarai mobilnya menuruni area parkir di gedung Maurice Grant & Co satu per satu hingga ke lantai dasar, dan akhirnya keluar dari gedung menuju jalan raya.

“Aku minta maaf kalau kehadiranku mengganggu rencanamu untuk bertemu Ivy, pacarmu.” Melisa memecah keheningan di antara mereka.

“Ivy bukan...”

Kata kata Matthew terhenti ketika suara deringan handphone Melisa terdengar kencang. Melisa langsung menerima panggilan untuknya.

“Ya babe,” sahut Melisa saat dilihatnya Philip yang menelepon. “Aku sudah di Hall of City, tinggal menuju rumahmu, ya, sebentar lagi aku sampai. Aku ingin mandi air hangat dulu sebelum pergi ke Parklane. Tubuhku agak penat. Oke, sampai nanti.”

“Kalian mau ke Parklane?” tanya Matthew. “Mau apa ke Parklane?”

“Makan malam.”

“Makan malam jauh amat di Parklane. Itu kan tiga jam perjalanan dari sini.”

“Ya memang, itu karena kami mau mengadakan acara perpisahan kami dengan Casey.”

“Casey?”

“Ya, Casey besok berangkat. Philip ingin memberi kenangan pada Casey dengan makan malam di tempat favorit Casey. Sebenarnya tadinya restoran tersebut tempat makan favourit Bianca, tapi Casey menyukai tempat itu. Jadi demi Casey, kami rela makan malam jauh dari sini.”

“Casey mau berangkat kemana besok?”

“Italia.”

“Untuk jalan jalan?”

“Tidak, menetap disana.”

“Casey mau menetap di Italia?” teriak Matthew kaget.

“Kau tidak tahu? Kakakmu Sandra tidak memberitahumu?”

“Tidak.”

“Sebenarnya itulah sebabnya aku ingin berbicara denganmu, Matthew. Aku ingin berbicara tentang Casey, bukan tentang Philip. Aku dan Philip tidak punya masalah apa apa. Aku takut kau tidak mau berbicara denganku kalau tadi aku bilang padamu kalau aku ingin bicara tentang Casey.”

“Kenapa kau berpikiran aku tidak mau bicara denganmu kalau kau ingin berbicara tentang Casey?”

“Karena kau marah padanya. Kau pasti tidak mau membicarakan apa apa yang berhubungan dengannya.”

“Aku marah pada Casey?”

“Ya, karena Casey sudah memutuskan hubungan kalian. Casey lebih memilih Luke dari dirimu.”

Matthew diam sejenak, tapi kemudian ia bergumam pelan, “pada mulanya ya aku marah, tapi aku ikut bahagia kalau melihat Casey bahagia.”

“Aku tak percaya ini,” Melisa tiba tiba tertawa, “Casey juga mengatakan hal yang sama tentangmu.”

“O, ya?”

“Ya, waktu itu Casey menangis semalaman, ia patah hati saat tahu kau punya pacar lagi. Ia merasa sangat sedih karena kehilangan dirimu. Tapi akhirnya ia bilang, ia merasa bahagia kalau kau bahagia, karena kebahagianmu yang terpenting untuknya.”

“Tu.. tunggu dulu, Casey mengatakan itu semua, sementara ia memilih Luke daripada aku?”

“Casey terpaksa melakukannya.”

“Terpaksa?”

“Luke sakit parah. Ia menderita kanker darah. Dan Luke ingin Casey menemaninya berobat di Leefsmall selama sebulan lebih. Luke tidak mau berobat kalau Casey tidak menemaninya.”

“Luke sakit kanker darah?”

“Ya.” Ujar Melisa. “Casey ingin Luke sembuh. Casey sangat sayang pada Luke. Makanya Casey mau menemani Luke. Di rumah sakit itu pula aku bertemu Casey pertama kalinya. Aku satu kamar dengannya di asrama para suster.”

“Kau seorang suster?”

“Ya.”

“Lalu bagaimana caranya kau bertemu Philip?”

“Casey yang mempertemukan kami.”

“Okey, baiklah, kembali pada Casey yang mau menetap di Italia. Luke tidak keberatan dengan hal ini? Atau Luke ikut Casey pindah ke Italia?”

“Tidak, Luke tidak ikut pindah karena Luke masih harus menjalani pengobatannya di Leefsmall.”

“Sendiri? Tanpa Casey? Luke menjalani pengobatannya sendiri?”

“Tidak, tidak sendiri, ada Viola sekarang.”

“Dan siapakah Viola ini? Apakah ia Viola teman kerja Casey?”

“Ya, betul Viola yang itu. Viola adalah pacar Luke.”

“Viola adalah pacar Luke? JADI CASEY BUKAN PACAR LUKE?” teriak Matthew.

“Bukan, Casey bukan pacar Luke. Casey dan Luke tidak berpacaran. Tidak pernah. Sejak putus darimu Casey tidak punya pacar. Itu yang ingin aku coba sampaikan padamu dari tadi.”

“Tapi kenapa kau menyampaikannya secara berbelit belit?” ujar Matthew sambil membelokkan mobilnya, tidak menuju apartemennya lagi.

“Kita mau kemana?” tanya Melisa kaget, “kenapa kita putar balik?”

“Ke rumah Philip. Aku akan mengantarmu kesana.”

“Kau akan mengantarku?” teriak Melisa senang, “terima kasih.”

“Sama sama.”

“Kau tidak jadi pulang ke apartemenmu?”

“Tidak, aku berubah pikiran.”

~ ~

“Casey, kau sudah siap?” tanya Philip di depan pintu kamar Casey.

“Sebentar lagi. Apakah kita akan pergi sekarang?”

“Tidak, tidak sekarang, sebentar lagi perginya. Melisa juga baru datang dan sekarang sedang mandi air hangat. Tapi aku perlu berbicara dulu denganmu, bisa kau buka dulu pintunya?”

“Tentu,” Casey berjalan ke arah pintu kamarnya dan membukanya.

“Ada temanku satu orang lagi yang ingin ikut dengan kita ke Parklane, apakah kau tidak keberatan?”

“Tentu saja tidak.”

“Kau yakin?”

“Ya.”

“Tapi temanku, dia,” tunjuk Philip pada Matthew yang sedang duduk di ruang televisi di depan kamar Casey, membuat Casey terkejut.

Matthew tampak tersenyum pada Casey sambil melambaikan tangannya, tapi tidak berdiri untuk menghampiri Casey.

“Aku tahu dari Sandra kalau kau akan meninggalkan rumah penuh kenangan ini besok pagi,” ujar Matthew, “lalu malam ini aku datang ke sini untuk mengucapkan salam perpisahan padamu, tapi ternyata kalian akan pergi ke Parklane. Aku belum makan malam, jadi boleh aku ikut?”

Casey kehilangan kata kata. Ia terlalu merindukan Matthew. “Te.. tentu, tidak masalah.” Ujar Casey.

“Terima kasih kalau begitu.”

“Ya.” Casey kembali ke kamarnya dan menutup pintu kamar dengan perasaan bingung. Ia tak menyangka Matthew akan datang. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya.

Tapi Casey berusaha untuk bersikap wajar, seolah olah tidak terjadi apa apa.

~ ~

Mereka tetap pergi dalam dua mobil. Matthew ikut mobil Philip. Ia duduk di depan bersama Philip sementara Melisa duduk di belakang dengan Carol. Mobil Matthew di parkir di halaman rumah Philip selama ia pergi.

Mobilnya satunya, mobil Luke, terdiri dari Luke, Viola, Casey dan Ivanka. Viola duduk di depan bersama Luke, sementara Casey duduk di belakang dengan Ivanka.

Mereka berangkat jam delapan malam dan sampai di restoran Mr. Lorenzo jam sebelas malam.

Sudah cukup larut sebenarnya untuk makan malam, tapi restoran Mr. Lorenzo biasa ramai pada tengah malam hingga dini hari.

Oleh Mr. Lorenzo mereka ditempatkan di luar restoran, di pinggir pantai. Langit sedang tidak mendung sehingga bintang bintang terlihat berkelap kelip dengan indahnya.

Mereka semua makan dengan lahapnya. Sebelum makan mereka semua bersulang untuk keberhasilan Casey di tempat tinggal barunya dan untuk keberhasilan mereka semua.

Melisa lalu berdiri dari tempat duduknya, setelah selesai makan, dan tersenyum lebar menatap Casey.

“Selamat malam teman teman semua yang menyayangi Casey, pertama tama aku ingin mengucapkan terima kasih karena kalian mau menerimaku dengan baik di tengah tengah kalian. Kedua, aku ingin kalian menyampaikan kesan tentang Casey. Satu kata saja. Tapi kata itu bisa dikembangkan dalam beberapa kalimat. Oke, aku duluan ya, satu kata tentang Casey dariku, Casey itu Lucu. Selama mengenalnya, Casey sering membuatku tertawa. Terimakasih sudah menjadi sahabatku Casey, aku menyayangimu dan akan selalu begitu.”

“Satu kata tentang Casey dariku, adalah pancake.” Ujar Ivanka sambil tertawa. “Aroma pancake nanas yang sering dibikin Casey saat sarapan selalu membangunkan aku dari tidur, membuat aku kenyang dan semangat dalam menjalani hariku.”

“Kalau aku,” Philip tersenyum, “satu kata untuk Casey, Casey itu matchmaker, ia selalu ingin menjodohkan aku dengan seseorang. Dan usaha terakhir Casey berhasil. Aku punya Melisa sekarang. Terima kasih Casey, kau akan selalu aku sayangi.”

“Satu kata tentang Casey dariku,” kini Viola yang berdiri dari duduknya, “makanan cina.”

“Itu dua kata Viola.” Protes Melisa.

“Hurufnya disambung Melisa, makanancina. Tiap makan siang setelah setengah harian lelah bekerja,  Casey selalu bertanya padaku,“Viola, makanan cinaku mana? Sudah kau pesan belum”.. atau “saatnya makanan cina”. Jadi, jika aku melihat makanan cina dimanapun didunia ini, aku akan ingat Casey.”

“Satu kata tentang Casey dariku,” ujar Carol, “wine. Karena wine yang ia berikan padaku, yang terbaik rasanya yang pernah kucicipi selama ini. Itu minuman mewah untukku, dan aku tak akan pernah melupakannya. Terima kasih Casey untuk itu semua, semoga suatu saat nanti aku bisa mencicipi wine darimu lagi. Aku tak akan pernah melupakanmu. Kau salah satu teman terhebatku.”

“Satu kata tentang Casey dariku,” ujar Luke sambil berdiri. “Rindu. Aku akan selalu merindukan Casey kapanpun dan dimanapun. Aku harap Casey berhasil di tempat barunya dengan apapun yang ia lakukan, dan selalu ingat bahwa aku akan selalu ada disini untuknya.”

“Satu kata dariku tentang Casey,” Matthew kini berdiri, “maukah kau jadi pacarku lagi?”

Suara gumaman terdengar dimana mana. Teman teman Casey langsung bicara dengan teman disampingnya saat Matthew mengatakan itu.

“Itu lima kata Matthew!”  Melisa protes.

“Aku menggabungkannya dalam satu kata Melisa; maukah-kau-jadi-pacarku-lagi.” Ujar Matthew sambil tersenyum.

~


 EPILOG



Casey berjalan ke arah yang sepi untuk menerima telepon dari Melisa. Casey sedang berada di pusat keramaian waktu Melisa meneleponnya. Casey sudah teriak teriak bicara dengan Melisa, tapi suara ramai disekelilingnya, membuat suaranya tidak jelas.

Melisa baru memberitahu Casey bahwa ia yang sekarang menempati kamar Casey sejak Casey meninggalkan rumah Philip tiga bulan yang lalu.

“Philip merasa lelah kalau terus terusan harus bolak balik Leefsmall – Hall of City, jadi aku mengalah, aku keluar dari pekerjaanku dan tinggal di kamarmu.”

“Kau sudah mendapat pekerjaan di Hall of City?” tanya Casey.

“Masih mencari, tapi santai saja, nanti juga dapat. O, ya, minggu depan ayah Philip akan datang ke sini, ia ingin berkenalan denganku.”

“Wah asik sekali.” Seru Casey, “itu artinya hubungan kalian mulai mengarah ke arah yang lebih serius?”

“Mungkin,” Melisa tertawa, “aku tak tahu juga.”

“Ya, sudah kalau begitu, nanti beritahu aku ya kalau kau sudah bertemu ayah Philip. Kau harus cerita padaku.”

“Oke, tentu, kau sendiri bagaimana Casey?”

“Bagaimana apanya?”

“Kau berpacaran dengan Matthew, tapi tempat tinggal kalian berjauhan.”

“Oh, itu, kami bisa mengatasinya. Matthew sudah beberapa kali datang ke Castellina. Aku sudah memperkenalkan Matthew pada keluargaku.”

“Itu keren,” ujar Melisa.

“Ya, sepertinya begitu.” Casey tertawa, “ayahku sangat menyukainya, Valentina juga, tante Chiara juga, nenekku apalagi.”

“Oh, aku rindu jadi ingin bertemu denganmu Casey,”

“Bagaimana kalau besok malam? Besok malam aku mampir ke tempatmu ya, kau jangan kemana mana. Aku bawa wine lagi untuk kalian. Khusus untuk Carol aku bawa dua botol. Itu karena Carol tergila gila dengan wine produksi keluarga Caruso.”

“Besok malam kau mau kesini? Memang kau sedang ada dimana sekarang Casey?”

Hall of City.

Hall of City?” teriak Melisa kaget. “Kau ada di Hall of City dan baru bilang padaku?”

“Aku baru sampai semalam.”

“Casey!” Matthew berteriak memanggil Casey.

“Matthew memanggilku, Mel, nanti aku meneleponmu lagi ya.”

"Oke." jawab Melisa.

“Ada apa?” Casey setengah berlari menghampiri Matthew.

"Kita tidak punya waktu banyak, cepatlah memilih." Keluh Matthew.

"Kan aku sudah bilang aku suka sofa dengan lapis kulit yang berwarna cokelat itu."

"Menurut nenek itu jelek, menurut nenek yang motif bunga bunga bagus," Nenek Casey tiba tiba berdiri di antara Casey dan Matthew.

"Nenek, Matthew laki laki, masa sofa di apartemennya motif bunga bunga?" Casey protes pada neneknya.

"Ya sudah, sekarang kita serahkan pada Matthew, mau memilih yang mana."

Matthew tampak berpikir sebentar. "Baiklah, aku beli dua duanya."

"Apa?" seru Nenek Casey, "kau tidak bisa membeli dua duanya Matthew, itu pemborosan."

"Tapi aku menyukai dua duanya Nek."

Beberapa jam kemudian, sofa yang dipilih Casey dan nenek Casey sudah memenuhi apartemen Matthew. Petugas furniture tempat mereka berbelanja langsung membawanya ke sana dan menatanya untuk mereka.

"Tuh, lihat, muat kan?" ujar Matthew sambil tersenyum.

"Tempat ini jadinya seperti toko furniture," omel Nenek Casey. "Kan aku tadi bilang beli satu saja yang motif bunga bunga."

"Baik Nek, nanti sofa yang Casey pilih, masuk ke dalam kamarku biar tempat ini tidak terlihat seperti toko furniture."

"Ya, sudah, terserah kau saja, ayo Casey, kita kembali ke hotel."

"Nenek, tidak bisakah Casey menginap ditempatku malam ini?" protes Matthew.

"Tidak bisa, kau harus menikahi cucuku dulu kalau kau ingin Casey menemanimu disini."

"Baiklah, Casey, maukah kau menikah denganku?" tanya Matthew.

"Kau serius?" Casey berseru kaget, "kau tidak mendapat tekanan dari nenekku kan?"

"Tidak, aku tidak mendapat tekanan dari siapapun. Aku sungguh sungguh ingin menghabiskan waktuku denganmu."

"Aku juga," Casey tersenyum. "Ya, Matt, aku mau menikah denganmu."

.Selesai.


No comments:

Post a Comment