Casey Part 2 (Bab 18 ~ Selesai)
Matthew merapatkan jaketnya dengan kesal. Ia tadi sedang berjalan ke
mobilnya untuk pulang saat Ivy mencegatnya dan mengajaknya menonton film di
salah satu bioskop terbesar di Hall of
City.
Kata Ivy film itu bagus, dan ia sudah membeli tiketnya secara online.
Matthew sempat menolak ajakan Ivy, tapi seperti biasa kalau Ivy ada kemauan
ia selalu memaksa.
Jadi disinilah Matthew berada. Ia merasa ngantuk dan kedinginan. Walau ia
masih berada di luar gedung bioskop karena film itu belum dimulai, tapi AC di wilayah
luar gedung bioskop tersebut dingin sekali.
Matthew akhirnya bangkit dari duduknya untuk membeli kopi panas. Itu kopi
kedua yang Matthew minum. Ia kedinginan dan merasa ngantuk, jadi kopi panas
paling tepat untuknya.
Matthew hendak antri membeli kopi saat dilihatnya Philip juga akan beli
kopi seperti dirinya.
“Philip?” tanya Matthew heran, “apa kabar?”
Sesaat Philip terkejut memperhatikan Matthew, tapi kemudian ia tersenyum ke
arah Matthew. “Wow, Mr. Ricardo, lama hilang dari peredaran bumi.”
“Hahaha.” Sahut Matthew. “Kau sedang apa di sini?’
“Sedang mancing.” Jawab Philip.
“Kau tahu, dari dulu kau tidak berubah.”
“O, ya?” tanya Philip “pasti perubahan yang positif dong. Menjadi lebih
menyenangkan barangkali?”
“Tidak, menjadi lebih menyebalkan.”
Seorang wanita tiba tiba menghampiri Philip dan menggenggam tangannya. “Babe, kupikir kopinya tidak usah saja. Nanti saja lagi, kita masuk
sekarang saja, pintu teater satu sudah dibuka.”
Babe? Tanya Matthew dalam hati. Berarti wanita itu pacar Philip.
“Tidakkah seharusnya kau memperkenalkan pacarmu padaku Mr. Raven?” tanya
Matthew kemudian.
“O, ya, perkenalkan, Melisa, ini adalah Matthew Ricardo, dan Matthew, ini
pacarku Melisa Derrick.”
“Halo,” Matthew tersenyum sambil menyalami Melisa. “Aku Matthew.”
“Halo juga, aku Melisa, senang berkenalan denganmu.” Melisa memperhatikan
Matthew dengan seksama. Apakah ini
Matthew yang membuat Casey menangis semalaman karena patah hati? Tanya
Melisa dalam hati.
“Kukira, aku dan Melisa masuk sekarang.” Ujar Philip, “kau di teater
berapa?”
“Teater 2.” Jawab Matthew.
“Baiklah Matthew, sampai bertemu lagi.”
“Sampai bertemu lagi.”
Ivy tiba tiba datang menghampiri Matthew, “apakah beli kopinya antri?
Kenapa lama sekali?” tanya Ivy. “Oh, hai, kalian teman Matthew?” tanya Ivy pada
Philip dan Melisa. “Aku Ivy Grant.”
“Hai, aku Philip dan ini Melisa.”
“Halo.” Ujar Melisa.
“Kalian mau masuk sekarang?” tanya Ivy.
“Ya, kami di teater 1.” Jawab Melisa, “kami masuk duluan.”
“Oke.” Ivy tersenyum pada Philip dan Melisa sambil melambaikan tangan.
~ ~
“Apakah tadi mantan Casey?” tanya Melisa ketika mereka sudah duduk di kursi
mereka. “Maksudku, pria tampan yang bernama Matthew Ricardo.”
“Ya.” Jawab Philip. “Haruskah kau bilang dia ‘pria tampan’ segala?” protes
Philip kemudian.
“Karena dia benar benar tampan. Dia seperti model.”
“Dia memang model, Melisa. Setidaknya pernah jadi model.”
“O, ya?” Melisa tertawa, “aku tak tahu.” Melisa kemudian mengambil popcorn
dan memakannya. “Dan wanita yang bernama Ivy tadi pacarnya?” tanya Melisa lagi.
“Kurasa begitu,” ujar Philip. “Aku pernah ngobrol dengan Casey mengenai hal
ini. Casey bilang Matthew sudah punya pacar lagi.”
“Kasihan Casey.” Gumam Melisa.
“Memang kenapa?” tanya Philip.
“Dia masih mencintai Matthew.”
“O, ya?” ujar Philip. “Casey masih mencintai Matthew dan ia berpacaran
dengan Luke? Yang benar saja.”
Melisa diam. Ia mengunyah popcorn lagi.
“Yang aku tahu, Casey yang meninggalkan Matthew, bukan sebaliknya.” Ujar
Philip lagi.
“Ya kau benar.” Melisa tersadar kalau Philip tidak tahu apa yang terjadi
sesungguhnya. Casey memang meninggalkan Matthew tapi itu ia lakukan untuk
mendampingi Luke yang sakit, bukan untuk berpacaran dengan Luke. Dan tidak ada
yang tahu tentang hal ini kecuali dirinya.
“Filmnya sudah dimulai.” Ujar Philip sambil mulai makan popcorn seperti
Melisa.
“Ya, ini asik sekali.” Melisa tertawa senang.
~ ~
Matthew terus terusan menguap. Ivy mengajaknya menonton film drama. Padahal
Matthew kurang suka film drama. Ia suka film detektif atau film misteri.
Matthew akhirnya membuka handphonenya
untuk browsing. Ia membuka
instagramnya dan tersenyum memperhatikan foto Dexter. Sandra membuat instagram
khusus untuk Dexter, ia mengunggah perkembangan Dexter di sana berupa foto dan
video sehingga keluarganya bisa tahu tentang perkembangan Dexter.
Matthew terus memperhatikan timeline instagramnya.
Ia termasuk jarang membuka instagram. Teman temannya rata rata mengunggah
kegiatan mereka sehari hari, ada yang sedang liburan, ada yang sedang makan di
restoran, dan lain lain.
Tatapan Matthew tiba tiba terhenti pada foto Casey dan Luke. Foto itu
diunggah oleh Viola. Matthew dan Viola saling mengikuti di Instagram. Viola adalah
sahabat Casey, jadi saat Matthew masih berpacaran dengan Casey, Matthew
mengikuti instagram sahabat sahabat Casey.
Matthew juga tidak unfollow
Casey. Tapi Casey tidak menambah foto lagi di instagramnya sejak ia dan Matthew
putus.
Di foto yang diunggah Viola itu, Casey dan Luke tampak berfoto di depan
sebuah air mancur. Mereka berfoto sambil tersenyum. Luke tampak memeluk Casey.
Dua sahabat yang sangat aku
sayangi; Casey dan Luke. #FontanaDeiQuattroFiumi #Roma #Italy
Begitu keterangan yang diberikan Viola pada foto Casey dan Luke.
Apa? Mereka pergi ke Roma?! Teriak Matthew dalam hati. Matthew sangat
kesal melihat foto itu. Ia sangat cemburu pada Luke. Hingga detik ini ia selalu
cemburu pada Luke.
~ ~
BAB SEMBILAN BELAS
Casey memakan makanannya dengan lahap sementara Viola tak mau menyentuh
makanannya. Viola memperhatikan Casey makan sambil cemberut.
Mereka berdua sedang makan siang di suatu restoran tidak jauh dari tempat
mereka kerja.
“Mau sampai kapan kau cemberut seperti itu Viola? Kau jelek kalau cemberut
begitu.”
“Kau tidak sungguh sungguh keluar dari kerja awal bulan ini kan?”
“Aku sungguh sungguh Viola, aku sudah bilang Luke, dan Luke memperbolehkan
aku untuk tidak bekerja lagi dengannya di studio foto miliknya.”
“Kenapa secepat ini? Aku akan sangat kehilangan dirimu.”
“Kau bisa main ke Castellina kalau kau mau, kita masih bisa bertemu.”
“Ya, tentu saja, dan gajiku selama beberapa bulan habis untuk pergi ke
sana.”
“Atau kalau tidak, aku yang mengunjungimu ke Hall of City sini, bagaimana?” tawar Casey.
“Tidak, kurasa kau akan jarang main ke sini, kau akan lupa pada kami.”
“Aku tidak akan melupakanmu Viola, aku tidak akan melupakan Luke, Craig dan
yang lainnya, kalian sudah seperti keluarga untukku. Tapi aku harus ke
Castellina dan menetap di sana.”
“Aku tahu, tapi tidak secepat ini.”
“Aku berjanji akan sering meneleponmu. Aku harus tahu perkembangan
pengobatan Luke darimu.”
“Kau harusnya mendampingi Luke sampai Luke benar benar sembuh.”
“Sekarang ada dirimu. Aku yakin kau akan menjaga Luke dengan baik.”
“Tapi akan tetap berbeda kalau tidak ada dirimu, Casey.”
“Aku minta maaf, tapi aku benar benar harus pergi. Makananmu mau dimakan
atau tidak? Kalau tidak aku habiskan.”
“Habiskan saja, aku tidak lapar.” Viola mulai menangis.
~ ~
“Boleh aku masuk?” Casey mengetuk pintu ruang kerja Luke yang terbuat dari
kaca.
Luke memperbolehkan Casey masuk dengan gerakan tangannya. Casey segera
masuk.
“Kau sedang sibuk?” tanya Casey.
“Tidak terlalu, kenapa?”
“Aku ingin ngobrol sebentar denganmu.”
“Duduklah Casey,” Luke mempersilahkan Casey duduk dihadapannya. “Kau ingin
bicara apa?”
“Viola marah aku pergi secepat ini,” ujar Casey. “Tapi aku tidak bisa
tinggal di Hall of City lebih lama
lagi.”
“Aku mengerti,” Luke tersenyum, “tempat yang tepat untukmu memang di
Castellina, bersama keluargamu. Bersama ayahmu yang akan selalu menjaga dan
melindungimu.”
“Ya, Luke, itu benar.” Casey ikut tersenyum, “aku kehilangan saat saat aku
seharusnya menghabiskan waktu bersama dengan ayahku di masa kecilku, dan
sekarang aku tidak mau kehilangan hal itu lagi.”
“Tentu,” Luke mengangguk, “kau tak perlu mengkhawatirkan apapun, masalah
Viola, nanti aku bicara padanya.”
“Terima kasih. Tapi aku juga ingin mohon satu hal padamu.”
“Apa itu?”
“Jangan berhenti berobat sampai kau benar benar sembuh. Aku akan sangat
marah kalau kau tidak melanjutkan pengobatanmu.”
“Aku akan berusaha, Casey. Kau tak perlu khawatir hal itu. Ayahku, ibuku,
Viola pasti akan mengomeliku kalau aku tidak mau berobat. Mereka juga bisa memaksaku
kalau aku tidak mau pergi kerumah sakit. Jadi jangan terlalu mengkhawatirkan
hal ini.”
“Aku akan sangat merindukanmu Luke.”
“Aku juga.”
“Castellina akan selalu terbuka untukmu dan untuk teman teman di sini.”
“Ya, tentu, disana sangat asik, aku akan main kesana sesekali.”
“Yang menggantikan pekerjaanku siapa?”
“Kurasa aku bisa melakukannya.” Ujar Luke, “aku akan lebih sering di studio
sekarang. Craig yang akan menggantikan pekerjaanku di luar studio. Biar Craig
dan Brenda yang menangani klien di luar sana.”
“Itu bagus, kau memang harus banyak beristirahat. Bekerja di luar lebih
berat daripada di sini.”
“Ya, kau benar.”
“Kurasa itu saja yang ingin kusampaikan,” Casey lalu berdiri dari duduknya.
“Aku mau melanjutkan pekerjaanku.”
“Casey.”
“Ya?”
“Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih untuk semua yang sudah kaulakukan
untukku. Semua perhatianmu, semua kecemasanmu, aku tidak tahu harus membayarnya
dengan cara apa.”
“Kau bisa membayarnya dengan cara ‘kau harus sembuh’, kau pasti tahu maksudku.”
Casey tersenyum dan melambai ke arah Luke sebelum menutup pintu ruang kerja
Luke.
~ ~
Rasanya sudah lama sekali Casey tidak berkunjung ke Crown Palace seperti ini. Casey mengunjungi Bianca untuk memberikan
beberapa botol wine yang ia bawa dari
Castellina dua minggu yang lalu. Casey cukup sibuk sehingga baru bisa
mengunjungi Bianca sekarang.
Bianca tadi menerima kedatangan Casey di ruang tamu Crown Palace yang elegan, tapi Casey ingin melihat Prince Arthur,
sehingga Casey dan Bianca sekarang berada di kamar Prince Arthur. Mereka
memperhatikan Prince Arthur sambil mengobrol. Princess Sabrina sedang tidur
siang di kamarnya.
“Ini benar benar keajaiban,” komentar Bianca saat mendengar cerita Casey
bahwa ia sudah bertemu dengan ayahnya karena Sandra menyewa seorang detektif
untuk menyelidiki keberadaan ayah Casey. “Kau masih bisa bertemu ayahmu pada
usiamu sekarang. Ini tak bisa kupercaya.”
“Semua orang bilang begitu,” Casey tersenyum, “dan semua orang bilang tidak
ada kata terlambat untuk semuanya. Aku bahagia sekali Bianca, aku merasa tidak
sendirian lagi.”
“Aku ikut bahagia untukmu.”
“Terima kasih.”
“Seharusnya kau meneleponku dan menceritakan itu semua padaku, semua orang
sudah tahu apa yang terjadi padamu dan aku tahu belakangan?”
“Aku takut mengganggu aktivitasmu Bianca, saat itu kau sedang hamil besar. Kau juga
banyak kesibukan.”
“Tapi aku akan selalu menyisihkan waktu untukmu Casey, kau tahu itu.”
“Baiklah, lain kali aku akan cerita apa saja padamu.”
“Itu bagus.”
“Ngomong ngomong aku ke sini mau pamit karena minggu depan aku pindah ke
Castellina. Aku tidak akan tinggal di rumah Philip lagi.”
“Aku sangat sedih mendengar ini,” komentar Bianca. “Maksudku, rumah itu
menjadi rumah kenangan kita. Tapi lucunya, kita tak pernah tinggal di sana
secara bersama sama. Saat aku tinggal di rumah itu, aku tinggal bersama Sandra,
Ivanka dan Sassy.”
“Dan saat aku tinggal disana, aku tinggal bersama Sandra, Philip dan
Ivanka. Kemudian Sandra menikah, lalu Carol masuk ke rumah itu. Kau benar
Bianca, rumah itu penuh kenangan, bukan hanya untukmu dan untukku, tapi juga
untuk Sandra.”
“Apakah Philip akan menyewakan kamar yang kau tempati setelah kau pergi?”
“Mungkin, entahlah. Dengar dengar sih teman Carol ingin pindah ke sana.”
“Ya sudah, tidak apa apa. Hidup memang harus berlanjut. Kehidupanmu
selanjutnya ternyata bukan di Hall of
City lagi, tapi di Castellina. Ngomong ngomong boleh aku main ke sana kapan
kapan?” tanya Bianca.
“Kau, main ke Castellina?” Casey tertawa senang. “Dengan senang hati,
Bianca, aku akan menerima kedatanganmu dengan senang hati.”
“Terima kasih.” Bianca tersenyum, “aku akan sangat merindukanmu, Casey.”
Lanjut Bianca sambil memeluk Casey erat.
“Aku juga akan merindukanmu Bianca.”
~ ~
Philip mengambil pizza ketiganya dan memakannya lagi. Ia dan Casey sedang
makan pizza di balkon atas rumah Philip. Philip membawa pizza itu saat ia
pulang kerja tadi. Dan ia menawari Casey untuk makan bersamanya.
“Aku mau minta tolong padamu,” ujar Casey sambil mengunyah pizzanya.
“Minta tolong apa?”
“Tolong berikan wine untuk Sandra kalau Sandra datang ke sini untuk
mengambilnya.”
“Kenapa tidak kau berikan sendiri padanya Casey?”
“Tidak, tidak bisa. Aku pasti akan menangis kalau bertemu Sandra. Berpisah
dengannya sangat berat untukku.”
“Lalu kau tidak akan mengucapkan selamat tinggal padanya?” tanya Philip
kaget.
“Aku akan mengucapkan selamat tinggal pada Sandra, tapi di telepon saja,
biar kalau aku menangis, Sandra tidak melihatku.”
“Casey, kau berlebihan. Kalian masih bisa bertemu. Kau bisa mengunjungi
Sandra disini dan Sandra bisa mengunjungimu di sana. Kenapa harus menangis
segala sih. Harusnya kau bahagia mau berkumpul dengan keluargamu.”
“Aku bahagia. Tapi aku tak tahu kapan bisa bertemu Sandra lagi. Dan bicara
soal menangis, Melisa juga menangis saat aku meneleponnya semalam untuk mengucapkan
selamat tinggal.”
“Melisa menangis?” tanya Philip kaget.
“Ya. Selamat datang di dunia wanita tuan Raven. Wanita kadang tidak sekuat
pria. Perasaan wanita lebih peka, apalagi bila berhubungan dengan orang orang
yang mereka sayangi.”
“Kau dan Melisa kan masih akan bertemu besok. Pulang kerja besok Melisa
akan ke sini dan menginap di sini semalam. Lalu lusanya aku dan Melisa akan
mengantarkan kau ke Bandara.”
“Terima kasih sudah mau mengantarku. Luke dan Viola juga akan mengantarku.”
“Bagaimana kalau besok malam kita makan malam di Parklane, di restoran sea
food Mr. Lorenzo, sebagai kenang kenangan sebelum kau pergi, aku yang traktir.”
“Wah, itu asik sekali. Tentu, aku setuju.” Seru Casey gembira.
“Baiklah, aku akan menelepon Luke sekarang.”
“Luke ikut?” tanya Casey kaget.
“Ya, Luke, Viola, Ivanka, Carol. Semua ikut. Tapi mudah mudahan mereka bisa
karena ini dadakan.”
“Terima kasih, Philip. Kau yang terbaik.”
“Sama sama Casey, sekarang bisakah kau memesan tempat di restoran Mr.
Lorenzo untuk 7 orang?”
“Harus genap Philip, kalau tidak untuk 6 orang ya 8 orang.”
“Ya sudah, pesan tempat untuk 8 orang.”
“Oke.” Casey meraih handphonenya
dan mulai menelepon Mr. Lorenzo.
~ ~
Casey berusaha untuk tidak menangis, tapi tetap saja matanya basah. Casey
berulangkali melap matanya yang basah dengan tisu. Ia sedang menelepon Sandra
untuk mengucapkan selamat tinggal padanya.
“Jadi sekarang kau akan berkumpul dengan ayahmu?” Sandra tertawa. “Ini
berita hebat.”
“Ya,” ujar Casey. “Aku pergi lusa. Jadi aku memberitahumu sekarang.”
“Bisakah kita bertemu besok Casey?”
“Dimana?”
“Terserah kau.”
“Kau datang ke rumah Philip saja ya? Aku sedang packing. Tapi apakah tidak masalah Dexter ditinggal?”
“Aku hanya ingin memelukmu.” Ujar Sandra, “aku pergi tidak lama.”
“Baiklah kalau begitu, kutunggu besok, dan jangan lupa, bawakan masakan
Cina untukku.”
Sandra tertawa. “Baik, besok aku akan membawa masakan Cina untukmu. Aku
datang pas jam makan siang ya. Sampai besok Casey.”
“Sampai besok Sandra.”
~ ~
Hujan turun dengan derasnya saat Sandra tiba di rumah Philip. Casey
langsung membuatkan Sandra cokelat panas.
Sandra datang ke rumah Casey dengan diantar supirnya dan ia tak bisa pergi
lama. Ia pergi paling lama hanya satu jam saja. Menurut Sandra, Dexter baru
tidur saat Sandra pergi. Tapi Dexter sudah kenyang menyusu sehingga Sandra
tidak begitu khawatir.
Sandra langsung membuka masakan Cina yang dibawanya, dan makan masakan Cina
itu bareng Casey.
Mereka makan dalam diam.
“Ini untukmu,” Sandra memberikan sebuah kotak perhiasan pada Casey setelah
mereka selesai makan.
“Ini apa?” tanya Casey.
“Bukalah.”
Casey membuka kotak itu, ternyata sebuah liontin yang terbuat dari batu
giok.
“Di dalam liontin itu ada foto kita berdua. Itu kenang kenangan untukmu.”
“Terima kasih Sandra,” Casey langsung merasa terharu. “Aku belum menyiapkan
apa apa untukmu sebagai tanda perpisahan.”
“Kita tidak akan berpisah Casey, kau hanya sedang melakukan perjalanan, dan
kita akan bertemu lagi, aku benci kata kata 'berpisah'.”
“Ya, kau benar.” Casey tertawa. “Aku saat ini hanya bisa memberi ini,” ujar
Casey sambil menyerahkan dua botol wine produksi
keluarga Caruso.
“Wow, terima kasih, suamiku sangat menyukainya. Wine yang kau berikan kemarin padaku, habis olehnya.”
“O, ya?” Casey tertawa, “syukurlah kalau begitu.”
“Mungkin kapan kapan aku main ke tempat dimana wine ini diproduksi.” Ujar Sandra sambil tersenyum.
“Kupikir itu ide yang bagus.” Casey ikut tersenyum. “Aku akan sangat
gembira menerima kedatanganmu disana.”
“Hati hati di jalan ya,” Sandra memeluk Casey erat, “kabari aku kalau kau
sudah tiba dirumahmu.”
“Oke.”
“Luke pasti akan merindukanmu, kau jauh darinya.”
“Tentu,” Casey tertawa, “dan aku juga akan sangat merindukan Luke.”
Lalu mereka sama sama terdiam.
“Sandra,”
“Ya?”
“Tolong sampaikan salamku pada Matthew ya?”
“Kenapa tidak kau sampaikan sendiri?”
“Tidak, aku tidak bisa. Aku pasti tidak akan bisa bicara kalau sudah
berhadap hadapan dengannya. Tolong bilang padanya aku akan selalu mendoakan
dirinya agar ia menjadi seorang pengacara yang handal seperti yang ia cita
citakan.”
“Sebentar,” Sandra tiba tiba mengeluarkan handphonenya.
“Apa yang kau lakukan?” Casey heran.
“Ngomong lagi seperti yang tadi kau bilang, aku mau merekamnya, biar nanti
Matthew mendengarkan rekaman suaramu.”
“Kau aneh, aku tidak akan mengulang kata kataku. Kau tinggal menyampaikan
saja hal itu padanya.”
“Ayolah Casey, ngomong lagi, Matthew tidak akan percaya kalau aku yang
ngomong, nanti disangka aku mengada ada.”
“Tidak, aku tidak mau ngomong lagi.”
“Casey!”
“Tidak Sandra! Tidak mau!”
“Casey!”
~ ~
BAB DUA PULUH
Melisa memakai jaketnya dengan gerakan cepat. Ia lalu memakai sepatu
ketsnya. Melisa suka memakai sepatu kets kalau bepergian. Hal itu terasa nyaman
bagi kakinya.
Melisa harusnya pulang jam empat sore, tapi ia sudah minta ijin pada
atasannya untuk pulang jam satu siang. Melisa minta ijin pulang cepat karena ia
ingin cepat cepat sampai di Hall of City.
Philip sebenarnya ingin menjemput Melisa ke Leefsmall, tapi Melisa tidak mengijinkan. Itu karena nanti Philip
harus mengendarai mobilnya ke Parklane
untuk makan malam bersama. Melisa tak mau Philip kelelahan sehingga Melisa
memutuskan pergi ke Hall of City naik bis saja. Philip sama sama baru pulang
kerja seperti dirinya. Mereka hanya punya waktu istirahat sebentar sebelum
akhirnya pergi ke Parklane.
Ada dua mobil yang berangkat ke Parklane.
Mobil Philip yang berisi Philip, dirinya, Ivanka dan Carol. Dan mobil Luke yang
berisi Luke, Viola dan Casey.
Setelah mengambil tas ranselnya, Melisa lalu pergi keluar dari kamarnya dan
mencari taksi untuk mengantarnya menuju terminal bis luar kota. Sesampainya di
terminal, ia lalu naik bis jurusan Hall
of City.
Melisa berangkat tepat pukul setengah dua, berarti ia akan sampai di Hall of City sekitar jam setengah enam,
atau bisa lebih cepat dari itu kalau jalanan tidak macet.
Di sepanjang perjalanan Melisa tidur. Sesekali Philip meneleponnya,
menanyakan Melisa sudah sampai mana.
Bis yang Melisa tumpangi ternyata sampai lebih cepat di terminal bis Hall of City yaitu jam lima sore.
Melisa langsung mencari taksi untuk mengantarnya ke tempat yang akan ia tuju.
~ ~
Tempat yang dituju Melisa saat naik taksi ternyata kantor pengacara Maurice Grant & Co. Melisa ingin
berbicara dengan Matthew. Ia harus melakukan sesuatu sebelum Casey pergi besok.
Ia tahu apa yang ia lakukan mungkin tidak akan berpengaruh banyak pada
hubungan Matthew dan Casey. Ia tahu Matthew sudah punya pacar lagi. Tapi ia tak
ingin Matthew berpendapat bahwa Casey dan Luke selama ini berpacaran karena itu
tidak benar.
Melisa bahkan baru tahu dari Casey kalau Luke sekarang berpacaran dengan
Viola saat Casey pamit padanya di telepon dua malam yang lalu. Itulah kenapa
Casey cepat cepat pergi ke Castellina karena ia tak terlalu khawatir lagi pada
Luke karena ada Viola yang akan menjaga dan mendampingi Luke selama melakukan
pengobatan.
Melisa bernafas lega saat tahu Matthew belum pulang kerja. Ia mengetahui
hal itu dari bagian customer service.
Ia khawatir Matthew sudah pulang karena jam pulang kerja karyawan Maurice Grant & Co adalah jam lima
sore. Sementara saat Melisa datang ke kantor Matthew tadi, jam setengah enam
sore.
Melisa langsung menuju lift dan pergi ke lantai delapan. Ia lalu menunggu
Matthew di sofa ruang tamu di depan meja resepsionis.
Melisa tahu dari Philip kalau Matthew bekerja di Maurice Grant & Co. Ia lalu menyusun rencana untuk bisa bicara
dengan Matthew. Dan sejauh in rencananya berhasil karena ia bisa tiba tepat
waktu di kantor Matthew. Matthew belum pulang, itu yang terpenting.
Beberapa teman Matthew tampak pulang satu persatu. Ada yang menuju lift dan
langsung turun ke lantai bawah, dan ada juga yang menuju area parkir untuk
pulang dengan mobil mereka.
Melisa mulai didera rasa panik takut Matthew sudah pulang tanpa ia lihat,
tapi akhirnya ia tersenyum senang saat dilihatnya Matthew keluar dari ruang
kerjanya dan melewati meja resepsionis.
“Sampai besok Rachel,” teriak Matthew saat melewati meja resepsionis.
“Sampai besok tampan,” Rachel balas berteriak.
Matthew tertawa, semua wanita di kantornya memanggilnya ‘tampan’, jarang
ada yang memanggil namanya.
“Mr. Ricardo,” panggil Melisa cepat. “Bisa aku bicara denganmu?”
Matthew menghentikan langkahnya dan memperhatikan Melisa. “Aku seperti
pernah melihatmu,” komentar Matthew tanpa ingat pernah bertemu Melisa dimana.
“Ya, kita bertemu di bioskop. Aku pacar Philip.” Melisa tersenyum.
“Oh, ya.” Seru Matthew, “aku ingat sekarang. Sedang apa kau disini?”
“Ingin bicara denganmu, aku tadi sudah bilang.”
“Tentang apa?”
Melisa menimbang nimbang, ia takut Matthew tidak mau ngobrol dengannya
kalau ia bilang tentang Casey, Melisa berpikir keras untuk menjawab pertanyaan
Matthew.
“Kau punya masalah?” tanya Matthew lagi, “dan masalahmu berhubungan
denganku?”
“Tidak secara langsung.” Ujar Melisa lagi. “Ini tentang Philip.”
“Philip?”
“Ya, aku perlu menanyakan sesuatu padamu tentang Philip.”
“Aku tidak mengenal Philip dengan baik,” ujar Matthew, “aku bahkan hampir tak tahu apa apa tentang
dirinya.”
“Tapi Anda terlihat akrab dengannya di bioskop kemarin.”
“Itu karena...”
“Tampan,” teriak Rachel, “barusan Ivy marah marah padaku, katanya kau tidak
mengangkat telepon darinya.”
“Handphonenya aku silence, memang kenapa?” tanya Matthew.
“Entahlah, dia bilang dia ingin bicara denganmu, tapi ia masih ada meeting setengah jam kedepan, ia bilang
padaku agar menyampaikan padamu agar jangan pulang dulu.”
Matthew lalu menghampiri Rachel dan berbisik pada Rachel, “bilang padanya
kau tidak melihatku. Aku ingin pulang. Aku ingin beristirahat.”
“Oke,” Rachel tersenyum lebar. “Akan kutelepon Ivy sekarang.”
Matthew lalu kembali menghampiri Melisa, “sampai mana kita tadi? Oh,
Philip.”
“Ya, aku ingin bicara tentang Philip denganmu, hanya sebentar kok, karena
aku juga harus cepat cepat pergi ke rumah Philip untuk makan malam dengannya. Please?”
“Baiklah,” ujar Matthew akhirnya. “Kau bawa kendaraan?”
“Tidak, aku kesini naik taksi.”
“Kalau begitu kita bicara di mobilku saja.”
“Oke, terima kasih.” Melisa tersenyum senang. Ia lalu mengikuti Matthew
yang berjalan ke arah mobilnya.
Melisa lalu masuk ke mobil Matthew dan duduk disamping Matthew.
“Terima kasih sudah mengijinkan aku berbicara denganmu.” Ujar Melisa.
“Tentu. Tapi aku mengemudikan mobilku ke arah apartemenku, nanti dari sana
kau naik taksi saja ke rumah Philip. Aku tidak bisa mengantarmu ke rumah
Philip, jalan yang kita lalui berbeda, aku ke Utara dan kau ke Selatan. Aku
minta maaf.”
“Tidak apa apa, tidak masalah. Aku sudah cukup senang kau mau berbicara
denganku.”
“Oke kalau begitu,” Matthew mulai mengendarai mobilnya menuruni area parkir
di gedung Maurice Grant & Co satu
per satu hingga ke lantai dasar, dan akhirnya keluar dari gedung menuju jalan
raya.
“Aku minta maaf kalau kehadiranku mengganggu rencanamu untuk bertemu Ivy,
pacarmu.” Melisa memecah keheningan di antara mereka.
“Ivy bukan...”
Kata kata Matthew terhenti ketika suara deringan handphone Melisa terdengar kencang. Melisa langsung menerima
panggilan untuknya.
“Ya babe,” sahut Melisa saat
dilihatnya Philip yang menelepon. “Aku sudah di Hall of City, tinggal menuju rumahmu, ya, sebentar lagi aku sampai.
Aku ingin mandi air hangat dulu sebelum pergi ke Parklane. Tubuhku agak penat. Oke, sampai nanti.”
“Kalian mau ke Parklane?” tanya
Matthew. “Mau apa ke Parklane?”
“Makan malam.”
“Makan malam jauh amat di Parklane.
Itu kan tiga jam perjalanan dari sini.”
“Ya memang, itu karena kami mau mengadakan acara perpisahan kami dengan
Casey.”
“Casey?”
“Ya, Casey besok berangkat. Philip ingin memberi kenangan pada Casey dengan
makan malam di tempat favorit Casey. Sebenarnya tadinya restoran tersebut
tempat makan favourit Bianca, tapi Casey menyukai tempat itu. Jadi demi Casey,
kami rela makan malam jauh dari sini.”
“Casey mau berangkat kemana besok?”
“Italia.”
“Untuk jalan jalan?”
“Tidak, menetap disana.”
“Casey mau menetap di Italia?” teriak Matthew kaget.
“Kau tidak tahu? Kakakmu Sandra tidak memberitahumu?”
“Tidak.”
“Sebenarnya itulah sebabnya aku ingin berbicara denganmu, Matthew. Aku
ingin berbicara tentang Casey, bukan tentang Philip. Aku dan Philip tidak punya
masalah apa apa. Aku takut kau tidak mau berbicara denganku kalau tadi aku
bilang padamu kalau aku ingin bicara tentang Casey.”
“Kenapa kau berpikiran aku tidak mau bicara denganmu kalau kau ingin
berbicara tentang Casey?”
“Karena kau marah padanya. Kau pasti tidak mau membicarakan apa apa yang
berhubungan dengannya.”
“Aku marah pada Casey?”
“Ya, karena Casey sudah memutuskan hubungan kalian. Casey lebih memilih
Luke dari dirimu.”
Matthew diam sejenak, tapi kemudian ia bergumam pelan, “pada mulanya ya aku
marah, tapi aku ikut bahagia kalau melihat Casey bahagia.”
“Aku tak percaya ini,” Melisa tiba tiba tertawa, “Casey juga mengatakan hal
yang sama tentangmu.”
“O, ya?”
“Ya, waktu itu Casey menangis semalaman, ia patah hati saat tahu kau punya
pacar lagi. Ia merasa sangat sedih karena kehilangan dirimu. Tapi akhirnya ia
bilang, ia merasa bahagia kalau kau bahagia, karena kebahagianmu yang
terpenting untuknya.”
“Tu.. tunggu dulu, Casey mengatakan itu semua, sementara ia memilih Luke
daripada aku?”
“Casey terpaksa melakukannya.”
“Terpaksa?”
“Luke sakit parah. Ia menderita kanker darah. Dan Luke ingin Casey
menemaninya berobat di Leefsmall
selama sebulan lebih. Luke tidak mau berobat kalau Casey tidak menemaninya.”
“Luke sakit kanker darah?”
“Ya.” Ujar Melisa. “Casey ingin Luke sembuh. Casey sangat sayang pada Luke.
Makanya Casey mau menemani Luke. Di rumah sakit itu pula aku bertemu Casey
pertama kalinya. Aku satu kamar dengannya di asrama para suster.”
“Kau seorang suster?”
“Ya.”
“Lalu bagaimana caranya kau bertemu Philip?”
“Casey yang mempertemukan kami.”
“Okey, baiklah, kembali pada Casey yang mau menetap di Italia. Luke tidak
keberatan dengan hal ini? Atau Luke ikut Casey pindah ke Italia?”
“Tidak, Luke tidak ikut pindah karena Luke masih harus menjalani
pengobatannya di Leefsmall.”
“Sendiri? Tanpa Casey? Luke menjalani pengobatannya sendiri?”
“Tidak, tidak sendiri, ada Viola sekarang.”
“Dan siapakah Viola ini? Apakah ia Viola teman kerja Casey?”
“Ya, betul Viola yang itu. Viola adalah pacar Luke.”
“Viola adalah pacar Luke? JADI CASEY BUKAN PACAR LUKE?” teriak Matthew.
“Bukan, Casey bukan pacar Luke. Casey dan Luke tidak berpacaran. Tidak
pernah. Sejak putus darimu Casey tidak punya pacar. Itu yang ingin aku coba
sampaikan padamu dari tadi.”
“Tapi kenapa kau menyampaikannya secara berbelit belit?” ujar Matthew
sambil membelokkan mobilnya, tidak menuju apartemennya lagi.
“Kita mau kemana?” tanya Melisa kaget, “kenapa kita putar balik?”
“Ke rumah Philip. Aku akan mengantarmu kesana.”
“Kau akan mengantarku?” teriak Melisa senang, “terima kasih.”
“Sama sama.”
“Kau tidak jadi pulang ke apartemenmu?”
“Tidak, aku berubah pikiran.”
~ ~
“Casey, kau sudah siap?” tanya Philip di depan pintu kamar Casey.
“Sebentar lagi. Apakah kita akan pergi sekarang?”
“Tidak, tidak sekarang, sebentar lagi perginya. Melisa juga baru datang dan
sekarang sedang mandi air hangat. Tapi aku perlu berbicara dulu denganmu, bisa
kau buka dulu pintunya?”
“Tentu,” Casey berjalan ke arah pintu kamarnya dan membukanya.
“Ada temanku satu orang lagi yang ingin ikut dengan kita ke Parklane, apakah kau tidak keberatan?”
“Tentu saja tidak.”
“Kau yakin?”
“Ya.”
“Tapi temanku, dia,” tunjuk Philip pada Matthew yang sedang duduk di ruang
televisi di depan kamar Casey, membuat Casey terkejut.
Matthew tampak tersenyum pada Casey sambil melambaikan tangannya, tapi
tidak berdiri untuk menghampiri Casey.
“Aku tahu dari Sandra kalau kau akan meninggalkan rumah penuh kenangan ini
besok pagi,” ujar Matthew, “lalu malam ini aku datang ke sini untuk mengucapkan
salam perpisahan padamu, tapi ternyata kalian akan pergi ke Parklane. Aku belum makan malam, jadi
boleh aku ikut?”
Casey kehilangan kata kata. Ia terlalu merindukan Matthew. “Te.. tentu,
tidak masalah.” Ujar Casey.
“Terima kasih kalau begitu.”
“Ya.” Casey kembali ke kamarnya dan menutup pintu kamar dengan perasaan
bingung. Ia tak menyangka Matthew akan datang. Ia tak tahu apa yang harus
dilakukannya.
Tapi Casey berusaha untuk bersikap wajar, seolah olah tidak terjadi apa
apa.
~ ~
Mereka tetap pergi dalam dua mobil. Matthew ikut mobil Philip. Ia duduk di
depan bersama Philip sementara Melisa duduk di belakang dengan Carol. Mobil
Matthew di parkir di halaman rumah Philip selama ia pergi.
Mobilnya satunya, mobil Luke, terdiri dari Luke, Viola, Casey dan Ivanka.
Viola duduk di depan bersama Luke, sementara Casey duduk di belakang dengan
Ivanka.
Mereka berangkat jam delapan malam dan sampai di restoran Mr. Lorenzo jam
sebelas malam.
Sudah cukup larut sebenarnya untuk makan malam, tapi restoran Mr. Lorenzo biasa ramai pada tengah malam hingga dini hari.
Oleh Mr. Lorenzo mereka ditempatkan di luar restoran, di pinggir pantai.
Langit sedang tidak mendung sehingga bintang bintang terlihat berkelap kelip
dengan indahnya.
Mereka semua makan dengan lahapnya. Sebelum makan mereka semua bersulang
untuk keberhasilan Casey di tempat tinggal barunya dan untuk keberhasilan
mereka semua.
Melisa lalu berdiri dari tempat duduknya, setelah selesai makan, dan tersenyum lebar menatap Casey.
“Selamat malam teman teman semua yang menyayangi Casey, pertama tama aku
ingin mengucapkan terima kasih karena kalian mau menerimaku dengan baik di
tengah tengah kalian. Kedua, aku ingin kalian menyampaikan kesan tentang Casey.
Satu kata saja. Tapi kata itu bisa dikembangkan dalam beberapa kalimat. Oke,
aku duluan ya, satu kata tentang Casey dariku, Casey itu Lucu. Selama
mengenalnya, Casey sering membuatku tertawa. Terimakasih sudah menjadi
sahabatku Casey, aku menyayangimu dan akan selalu begitu.”
“Satu kata tentang Casey dariku, adalah pancake.”
Ujar Ivanka sambil tertawa. “Aroma pancake
nanas yang sering dibikin Casey saat sarapan selalu membangunkan aku dari
tidur, membuat aku kenyang dan semangat dalam menjalani hariku.”
“Kalau aku,” Philip tersenyum, “satu kata untuk Casey, Casey itu matchmaker, ia selalu ingin menjodohkan aku dengan seseorang. Dan
usaha terakhir Casey berhasil. Aku punya Melisa sekarang. Terima kasih Casey,
kau akan selalu aku sayangi.”
“Satu kata tentang Casey dariku,” kini Viola yang berdiri dari duduknya, “makanan
cina.”
“Itu dua kata Viola.” Protes Melisa.
“Hurufnya disambung Melisa, makanancina.
Tiap makan siang setelah setengah harian lelah bekerja, Casey selalu bertanya padaku,“Viola, makanan cinaku
mana? Sudah kau pesan belum”.. atau “saatnya makanan cina”. Jadi, jika aku
melihat makanan cina dimanapun didunia ini, aku akan ingat Casey.”
“Satu kata tentang Casey dariku,” ujar Carol, “wine. Karena wine yang ia
berikan padaku, yang terbaik rasanya yang pernah kucicipi selama ini. Itu
minuman mewah untukku, dan aku tak akan pernah melupakannya. Terima kasih Casey
untuk itu semua, semoga suatu saat nanti aku bisa mencicipi wine darimu lagi. Aku tak akan pernah
melupakanmu. Kau salah satu teman terhebatku.”
“Satu kata tentang Casey dariku,” ujar Luke sambil berdiri. “Rindu. Aku
akan selalu merindukan Casey kapanpun dan dimanapun. Aku harap Casey berhasil
di tempat barunya dengan apapun yang ia lakukan, dan selalu ingat bahwa aku
akan selalu ada disini untuknya.”
“Satu kata dariku tentang Casey,” Matthew kini berdiri, “maukah kau jadi
pacarku lagi?”
Suara gumaman terdengar dimana mana. Teman teman Casey langsung bicara
dengan teman disampingnya saat Matthew mengatakan itu.
“Itu lima kata Matthew!” Melisa
protes.
“Aku menggabungkannya dalam satu kata Melisa; maukah-kau-jadi-pacarku-lagi.”
Ujar Matthew sambil tersenyum.
~ ~
EPILOG
Casey berjalan ke arah yang sepi untuk
menerima telepon dari Melisa. Casey sedang berada di pusat keramaian waktu
Melisa meneleponnya. Casey sudah teriak teriak bicara dengan Melisa, tapi suara
ramai disekelilingnya, membuat suaranya tidak jelas.
Melisa baru memberitahu Casey bahwa ia
yang sekarang menempati kamar Casey sejak Casey meninggalkan rumah Philip tiga
bulan yang lalu.
“Philip merasa lelah kalau terus
terusan harus bolak balik Leefsmall – Hall of City, jadi aku
mengalah, aku keluar dari pekerjaanku dan tinggal di kamarmu.”
“Kau sudah mendapat pekerjaan di Hall
of City?” tanya Casey.
“Masih mencari, tapi santai saja,
nanti juga dapat. O, ya, minggu depan ayah Philip akan datang ke sini, ia ingin
berkenalan denganku.”
“Wah asik sekali.” Seru Casey, “itu
artinya hubungan kalian mulai mengarah ke arah yang lebih serius?”
“Mungkin,” Melisa tertawa, “aku tak
tahu juga.”
“Ya, sudah kalau begitu, nanti
beritahu aku ya kalau kau sudah bertemu ayah Philip. Kau harus cerita padaku.”
“Oke, tentu, kau sendiri bagaimana
Casey?”
“Bagaimana apanya?”
“Kau berpacaran dengan Matthew, tapi
tempat tinggal kalian berjauhan.”
“Oh, itu, kami bisa mengatasinya.
Matthew sudah beberapa kali datang ke Castellina. Aku sudah memperkenalkan
Matthew pada keluargaku.”
“Itu keren,” ujar Melisa.
“Ya, sepertinya begitu.” Casey
tertawa, “ayahku sangat menyukainya, Valentina juga, tante Chiara juga, nenekku
apalagi.”
“Oh, aku rindu jadi ingin bertemu
denganmu Casey,”
“Bagaimana kalau besok malam? Besok malam aku mampir ke tempatmu ya, kau jangan kemana mana. Aku bawa wine lagi
untuk kalian. Khusus untuk Carol aku bawa dua botol. Itu karena Carol tergila
gila dengan wine produksi keluarga Caruso.”
“Besok malam kau mau kesini? Memang
kau sedang ada dimana sekarang Casey?”
“Hall of City.”
“Hall of City?” teriak Melisa
kaget. “Kau ada di Hall of City dan baru bilang padaku?”
“Aku baru sampai semalam.”
“Casey!” Matthew berteriak memanggil
Casey.
“Matthew memanggilku, Mel, nanti aku
meneleponmu lagi ya.”
"Oke." jawab Melisa.
“Ada apa?” Casey setengah berlari
menghampiri Matthew.
"Kita tidak punya waktu banyak,
cepatlah memilih." Keluh Matthew.
"Kan aku sudah bilang aku suka
sofa dengan lapis kulit yang berwarna cokelat itu."
"Menurut nenek itu jelek, menurut nenek yang motif
bunga bunga bagus," Nenek Casey tiba tiba berdiri di antara Casey dan Matthew.
"Nenek, Matthew laki laki, masa sofa di apartemennya motif bunga bunga?" Casey protes pada neneknya.
"Ya sudah, sekarang kita serahkan
pada Matthew, mau memilih yang mana."
Matthew tampak berpikir sebentar.
"Baiklah, aku beli dua duanya."
"Apa?" seru Nenek Casey,
"kau tidak bisa membeli dua duanya Matthew, itu pemborosan."
"Tapi aku menyukai dua duanya
Nek."
Beberapa jam kemudian, sofa yang
dipilih Casey dan nenek Casey sudah memenuhi apartemen Matthew. Petugas furniture tempat
mereka berbelanja langsung membawanya ke sana dan menatanya untuk mereka.
"Tuh, lihat, muat kan?" ujar
Matthew sambil tersenyum.
"Tempat ini jadinya seperti
toko furniture," omel Nenek Casey. "Kan aku tadi bilang
beli satu saja yang motif bunga bunga."
"Baik Nek, nanti sofa yang Casey
pilih, masuk ke dalam kamarku biar tempat ini tidak terlihat seperti toko furniture."
"Ya, sudah, terserah kau saja, ayo
Casey, kita kembali ke hotel."
"Nenek, tidak bisakah Casey menginap
ditempatku malam ini?" protes Matthew.
"Tidak bisa, kau harus menikahi
cucuku dulu kalau kau ingin Casey menemanimu disini."
"Baiklah, Casey, maukah kau
menikah denganku?" tanya Matthew.
"Kau serius?" Casey berseru kaget, "kau tidak
mendapat tekanan dari nenekku kan?"
"Tidak, aku tidak mendapat
tekanan dari siapapun. Aku sungguh sungguh ingin menghabiskan waktuku
denganmu."
"Aku juga," Casey tersenyum.
"Ya, Matt, aku mau menikah denganmu."
No comments:
Post a Comment